Anda di halaman 1dari 2

DAMPAK KONFLIK DAN

POLARITAS AGAMA DALAM


POLITIK INDONESIA: ANALISIS
MENGGUNAKAN TEORI
ASABIYYA IBN KHALDUN
Rendy Yuwan
21107020034
UAS studi khasus 2
Sosiologi Ibn Khaldun B

Pemilu 2014 di Indonesia menyebabkan konflik dan polarisasi antar umat


beragama, dengan labelisasi politik dan perdebatan mengenai kriteria pemimpin
dalam Islam. Situasi ini menghasilkan perpecahan sosial dan kehilangan
solidaritas di masyarakat. Pilkada DKI Jakarta 2016 menjadi contoh nyata
dampaknya, di mana polarisasi mempengaruhi proses politik dan demokrasi.
Dalam konteks ini, teori Asabiyya Ibn Khaldun menjelaskan bahwa penurunan
asabiyya, atau semangat kolektif, dapat berdampak negatif pada kohesi sosial dan
proses politik masyarakat. Selain itu, kami akan membahas faktor-faktor yang
mempengaruhi situasi ini, serta menjelaskan proses yang terjadi.

Sebelum kita masuk ke analisis, perlu dipahami bahwa teori Asabiyya Ibn
Khaldun memberikan wawasan yang penting dalam memahami dinamika konflik
dan polarisasi sosial. Teori Asabiyya Ibn Khaldun mengacu pada konsep
solidaritas sosial, ikatan kelompok, atau semangat kolektif yang ada di antara
anggota suatu masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa asabiyya yang tinggi, atau
semangat kolektif yang kuat, memainkan peran penting dalam membangun dan
mempertahankan sebuah masyarakat yang berhasil. Namun, penurunan asabiyya
dapat mengakibatkan perpecahan sosial, konflik, dan kelemahan dalam proses
politik dan hubungan antar kelompok.

Situasi konflik dan polarisasi agama yang terjadi setelah Pemilu 2014
mencerminkan penurunan asabiyya, yaitu solidaritas sosial di masyarakat. Konflik
ini dipicu oleh labelisasi politik yang memperkuat perbedaan antara kelompok-
kelompok pendukung capres. Akibatnya, terjadi kelemahan dalam ikatan sosial
dan kerjasama di masyarakat, yang berdampak pada proses politik dan demokrasi.

Salah satu contoh dampaknya adalah Pilkada DKI Jakarta 2016. Asabiyya yang
menurun berpengaruh terhadap solidaritas politik di kalangan masyarakat. Pilkada
menjadi medan pertempuran yang divisif, di mana identitas agama dan labelisasi
politik menjadi fokus perdebatan. Situasi ini mengganggu proses politik yang
seharusnya berjalan dengan damai dan menghambat pembangunan yang efektif.

Perkembangan new media juga berkontribusi pada situasi ini. Media sosial
memunculkan perdebatan di kalangan muslim maupun non-muslim mengenai
kriteria pemimpin dalam Islam. Hal ini semakin memperparah polarisasi dan
konflik yang terjadi. Kesimpangsiuran informasi dan pengaruh opini publik
1
melalui media sosial dapat memperkuat persepsi kelompok dan meningkatkan
ketegangan sosial.

Peran para ulama dan pemuka agama dalam konflik dan polarisasi agama pasca
Pemilu 2014 di Indonesia sangat penting. Mereka memiliki otoritas moral untuk
mempromosikan dialog, mediasi, dan pendidikan agama yang tepat guna
mengubah persepsi serta menjaga toleransi. Selain itu, mereka dapat memobilisasi
gerakan sosial yang membangun persaudaraan dan kerjasama di antara umat
beragama, berperan aktif dalam meredakan ketegangan dan menciptakan
kedamaian.

Faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi situasi ini adalah kasus penistaan


agama oleh salah satu calon gubernur. Kasus ini memicu resonansi di kalangan
umat Islam, yang kemudian melahirkan gerakan sosial protes. Umat Islam merasa
bahwa perkembangan politik tidak lagi mencerminkan nilai-nilai agama yang
mereka anut. Ketidaksesuaian antara nilai agama dan perkembangan politik
menjadi penyebab utama konflik yang terjadi.

Dalam situasi konflik dan polarisasi agama pasca Pemilu 2014 di Indonesia, teori
Asabiyya Ibn Khaldun memberikan pemahaman yang bermanfaat. Konflik ini
mencerminkan penurunan asabiyya, yang berdampak negatif pada solidaritas
sosial dan proses politik. Contohnya, Pilkada DKI Jakarta 2016 menjadi medan
pertempuran politik yang divisif. Faktor-faktor seperti labelisasi politik,
perkembangan new media, dan kasus penistaan agama juga berperan dalam
memperparah situasi. Dalam konteks ini, upaya membangkitkan kembali semangat
kolektif dan solidaritas menjadi penting untuk memperbaiki proses politik dan
demokrasi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai