149-162
ABSTRACT
The modernization era began after the mid-twentieth century. The religious influence for development is
not too significant, even people was assuming that religious’s influences in the development process as a threat.
In modern era, religion is viewed more as private matters, than as public matters that could be included to
common goods sector. This study attempts to explore the possibility of religious involvement to the development
agenda and analysing the religion in Indonesia as a focus of discussion. By using the descriptive method with a
qualitative approach, the authors took a specific case from three religions: Islam in Indonesia, Protestant in
Max Weber Perspective and Tokugawa Era in Japan, which is describing about the development agenda process
as result of religious ideas. The results of this study indicate that the involvement of religious ideas and
spirituality can be contribute to the development process if modernism for development purposes is seen as
constructive rather than as a conflict, and supporting by Ummah with solidarity value base.
ABSTRAK
Introduksi mengenai modernisasi mulai mengalami reorientasi pasca pertengahan abad ke-20.
Keterlibatan pengaruh agama dalam narasi pembangunan mulai dikesampingkan, bahkan diasumsikan bahwa
pengaruhnya dalam proses pembangunan sebagai ancaman. Dalam narasi modern, agama lebih dipandang
sebagai private matters, bukan sebagai public matters untuk diturutsertakan dalam kemaslahatan umum. Tulisan
ini mencoba menelusuri kemungkinan terlibatnya agama dalam agenda pembangunan dengan dinamika
keberagamaan di Indonesia sebagai ruang lingkup pembahasannya. Melalui pendekatan deskriptif dengan
menggunakan data dari studi pustaka, Penulis mengambil pembahasan utama yang memaparkan tiga agama
dengan kasus yang berbeda, diantaranya: Islam di Indonesia, Protestan dalam perspektif Max Weber, dan Era
Tokugawa di Jepang, yang menjelaskan tentang proses dan agenda pembangunan sebagai hasil dari ide-ide
agama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan ide-ide agama dan spiritualitas dapat
berkontribusi terhadap proses pembangunan apabila modernisasi dipandang sebagai sesuatu yang konstruktif
bukan sebagai konflik, serta didukung dengan nilai solidaritas dari Ummat.
1
2 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
studi terkini mengenai topik terkait pluralisme, Demografis Pilkada di Indonesia”, Pusat Studi
terlebih yang berangkat dari motif keagamaan, Kebijakan dan Kependudukan UGM
sebagai contoh misalnya hasil studi Ali-Fauzi1 mengungkapkan bahwa kampanye berbasis
tentang Pola-pola Konflik Keagamaan di agama menjadi pola kampanye paling potensial
Indonesia (1990-2008) yang menemukan dalam meningkatkan dukungan elektoral dan
bahwa dalam rentang periode tersebut, tercatat paling sering digunakan oleh masing-
setidaknya terjadi 832 insiden konflik masing kontestan. Penggunaan isu-isu
keagamaan di Indonesia, dengan 34 persen di segmental untuk kepentingan politik semacam
antaranya berakhir dengan kekerasan. Dalam ini tentu saja berpeluang mempertegas politik
kurun waktu 19 tahun tersebut, tercatat pula identitas berlandaskan keagamaan yang
konflik beragama telah memakan setidaknya memiliki kecenderungan buruk untuk berujung
55 ribu korban jiwa serta rusaknya 1.993 pada sikap intoleransi dan saling
bangunan, termasuk di antaranya 70 rumah mengintimidasi antar golongan umat.
ibadah. Secara akumulatif, isu-isu berbasis Dari rentetan konflik keagamaan yang
sektarian, isu komunal dan pemahaman yang ada, kita tidak perlu pula bersikap naif untuk
berujung pada aksi terorisme menjadi pemicu melihat bahwa umat muslim sebagai kelompok
utama terjadinya konflik keagamaan yang pemeluk agama mayoritas di Indonesia
menimbulkan kerugian cukup masif tersebut. menjadi kelompok yang paling sering terseret
Merujuk pada data yang lebih kontemporer, ke dalam arus konflik tersebut. Meskipun
sepertinya permasalahan ini tidak pula secara ideal, perihal nilai kebenaran (truth) dan
mengalami perbaikan yang signifikan. solidaritas sebagai doktrin yang digunakan
Berangkat dari laporan Komnas HAM2 tentang untuk berkonflik atau dimanfaatkan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, kepentingan kekuasaan yang berujung pada
selama 2016 saja terdapat 97 pengaduan konflik-konflik horizontal, dapat menjadi
mengenai pelanggaran kebebasan beragama energi yang luar biasa pula jika diarahkan
dan berkeyakinan. Angka tersebut naik dari untuk kepentingan-kepentingan pembangunan.
tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 87 Namun, secara institusional maupun
pengaduan. Klaim kebenaran yang diperkokoh konstitusional terdapat semacam hubungan
oleh aspek solidaritas afektif sering menjadi canggung antara entitas Islam dengan entitas
landasan bagi kelompok-kelompok beragama Negara yang seringkali ditemukan di negara-
untuk kemudian bersikap permisif dan negara dengan muslim sebagai masyarakat
menjustifikasi aksi-aksi kekerasan yang mayoritasnya.4 Hubungan canggung yang
dilakukan.3 Memprihatinkannya lagi, dua dimaksud adalah pemerintah dan organisasi
aspek ini pula yang sering dijadikan komoditas Islam misalnya yang sering berbeda pandangan
untuk tujuan-tujuan politis. Sebagai gambaran, dalam sebuah kebijakan hingga ketegangan-
kita ambil saja kontestasi dinamika kampanye ketegangan. Hal ini berangkat dari apatisme—
& Pilkada DKI sepanjang 2016-2017 lalu. baik dari perspektif modernisme Barat bahkan
Dalam sebuah seminar berjudul “Analisis tak jarang pula dari kelompok masyarakat
muslim itu sendiri—mengenai sejauh mana
1
Ihsan Ali-Fauzi, et. al, Pola-Pola Konflik Islam dapat dijadikan sebagai fondasi
Keagamaan Di Indonesia (1990-2008). Laporan membangun negara melalui tawaran yang
Penelitian. Jakarta: YWMP. 2009 empiris. Konsepsi kecanggungan antar kedua
2
Komnas HAM RI. Laporan Tahunan: Kebebasan
entitas ini terlihat pula dari tesis Geertz dari
Beragama Dan Berkeyakinan 2016. Jakarta:
Komnas HAM RI. 2016
3
Firdaus M Yunus, Konflik Agama Di Indonesia:
4
Problem Dan Solusi Pemecahannya. Vol. 16 (2), Abd. Asis T. et. al, Islam dan Negara dalam
hal. 207-228. Jurnal Substantia. 2014. Politik Orde Baru (1966-1994). No. 8 (2a), (pp
201-212). BPPS UGM. 1995
3 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
dari proses investasi tersebut yang menjadikan langsung antara moralitas dan kesejahteraan
penganut Calvinisme cenderung ekonomi. Untuk urusan kebijakan ekonomi,
merepresentasikan ‘manusia ekonomi modern’ para pemikir Konfusian menawarkan
melalui basis kepercayaannya. Seperti yang pandangan bahwa jumlah produsen harus lebih
dituliskan oleh Richard Peet & Elaini dominan dari konsumen. Sehingga meskipun
Hartwick8: aktivitas produksi terus digenjot, penghematan
dalam hal pengeluaran tetap tak bisa
“In term of this connection with dinegasikan. Hanya dengan begitu sumber
capitalism, Calvinists considered daya ekonomi potensial untuk tercukupi bagi
themselves ethically bound to sustain seluruh masyarakat. Dan kesadaran ini turut
profitability through relentless, steady, pula dimanifestasikan ke dalam kesadaran para
and systematic activity in business. They elit Jepang untuk memiliki sikap hemat dalam
strove for maximal returns on invested menjalankan kekuasannya. Hal ini tercermin
assets and yet abstained from immediate dari tulisan Kaibara Ekiken (1630-1714),
enjoyment of the fruits of their activity. seorang filsuf Neo-Konfusianis sekaligus guru
Hence capital accumulated through sosiologis dan spritualis Jepang di era
continous investment and the repression Tokugawa yang dalam bukunya berjudul
of all-too-human feelings of solidarity Kunshikun menuliskan:
toward other.”
“Jika penguasa ingin memerintah
Sedikit lebih kontemporer, kita juga rakyatnya dengan kebajikan, dia harus
kemudian dapat merujuk pada tulisan Robert melaksanakan sikap hemat. Produktivitas
N. Bellah berjudul Tokugawa Religion: The tanah ada batasnya, sehingga jika
Values of Pre-industrial Japan yang penguasa terbiasa mewah-mewah dan
menggunakan kerangka kerja sosiologis Max boros, sumber daya yang ada dalam
Weber dalam mengamati Etika Protestan untuk kekuasaannya akan segera kering dan dia
digunakan pula dalam mengkerangkai akan berada dalam kesulitan untuk
kemajuan pembangunan Jepang yang pesat di mencukupi kebutuhanny. Semua
era Tokugawa yang dimulai dari awal Abad penguasa yang bijak selalu hemat. Sikap
ke-15 dan berakhir di penghujung Abad ke-17. hemat, memang dasar kebajikan yang
Bellah menemukan terdapat pengaruh aliran- penting bagi penguasa.”
aliran agama Budha dan Konfusianisme yang
dimodifikasikan dengan kultur kehidupan Etos ekonomi hemat ini dipegang teguh
masyarakat Jepang yang dipengaruhi oleh oleh para samurai sebagai elite pemerintahan
konsep-konsep ajaran Shinto. Peleburan inilah feudal militeristik kekaisaran Jepang di era
yang kemudian melahirkan etos-etos kerja Tokugawa, yang kemudian dikemas ke dalam
masyarakat pra-industrial Jepang yang terus etika Bushidō sebagai codes of honour yang
berlangsung hingga era perekonomian modern mendikte gaya hidup para samurai. Meskipun
saat ini, seperti: menahan diri (self-restrain), tidak terlibat langsung dalam kegiatan bisnis,
kerja produktif dan ketahanan serta konsistensi perilaku hemat para samurai cukup signifikan
dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan— dalam mempengaruhi perilaku elite
yang apabila diistilahkan oleh tesis Weber pemerintahan yang mengurusi langsung urusan
sebagai Etika Protestan. Kita ambil saja perekonomian dan para penggiat bisnis,
contohnya sistem perekonomian Jepang yang terutama di zaman kekaisaran Meiji.9
dipengaruhi paham Confusianisme yang Namun, introduksi mengenai ide-ide
melihat bahwa terdapat keterkaitan secara modernisasi sepertinya mulai mengalami
8 9
Ibid, pp. 110 Robert N. Bellah, op. cit, pp. 136
5 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
reorientasi pasca pertengahan abad ke-20, Tapi sampai di sini, menarik jika kita
serentak dengan berakhirnya Perang Dunia II. kemudian turut pula merujuk pada argumen
Keterlibatan pengaruh agama dalam ide-ide Jeffrey Haynes, Profesor dari Center for the
pembangunan mulai dikesampingkan, bahkan Study of Religion Conflict and Cooperation
diasumsikan bahwa pengaruhnya dalam proses London Metropolitan University, dalam
pembangunan sebagai ancaman. Tak hanya di bukunya Religion and Development: Conflict
Dunia Barat, di berbagai negara berkembang di or Cooperation? yang masih meyakini
seluruh dunia pun, paham tentang agama kemungkinan kebangkitan agama dalam
sebagai urusan privat (private matters) mulai pewacanaan dan proses pembangunan. Agama,
menjadi pemahaman awam. Fenomena ini menurut Haynes, mulai kembali mendapatkan
kemudian tak ayal turut mereduksi peran-peran tempat dalam masyarakat akibat kekecewaan
aktor yang berangkat dari motivasi keagamaan dan kegagalan yang dijanjikan pembangunan.
untuk berpartisipasi dalam urusan publik Gairah keberagamaan (religious fervour)
(public matters). Kutipan singkat namun cukup dianggap mampu mengkompensasikan
mengena dari William Tyndale berikut kenyamanan dari kekurangan kapasitas
mungkin relevan dijadikan sebagai gambaran materialistik. Terutama bagi masyarakat
stigmatis betapa terkikisnya peran agama dari miskin di negara berkembang yang
proses modernisasi. Tyndale menyebutkan: ‘it pembangunannya belum juga terakselerasikan,
is impossible to talk of religions in general agama menjadi aspek penting dari identitas
without giving a false picture’. 10 Dari kutipan masyarakat. Haynes kemudian mengutip studi
singkat itu kita dapat membaca bahwa tidak perihal kesejahteraan yang dilakukan oleh
ada kepercayaan, atau tidak dimungkinkan World Bank terhadap 60 ribu orang dari 60
untuk dilibatkannya nilai-nilai agama yang negara yang mengidentifikasikan diri maupun
berkutat pada isu etis dan moral di tengah diidentifikasi oleh komunitasnya sebagai
upaya pembangunan karena sifatnya yang masyarakat miskin mengungkapkan bahwa
seringkali kontradiktif dengan aspek aspek keharmonisan dengan urusun-urusan
rasionalitas. Kompleksitas inilah yang sering transendental (transcendent matters) seperti
dihadapi oleh organisasi berbasis keagamaan aktivitas spiritual dan keagamaan merupakan
untuk terlibat dalam agenda pembangunan. Di bagian dari kesejahteraan (well-being).
satu sisi, pakem pembangunan era modern Sehingga tak heran jika kemudian mulai
berlangsung dalam transformasi yang cepat muncul opini yang menyatakan bahwa agama
dan mendalam (abrupt and profound harus terlibat sebagai influential voice dalam
transformation) dalam merubah perilaku pemetaan strategi pembangunan.
masyarakat tradisional untuk beranjak ke Kesadaran ini sesuai dengan temuan Max
dalam peradaban baru sesuai standar Weber pada masyarakat Amerika Serikat—
modernitas. Sedangkan untuk melakukan hal yang bahkan sebagai negara maju dan
yang sama, organisasi harus menghadapi mengadopsi prinsip pemisahan entitas Gereja
semacam trade-off, yaitu bagaimana dan Negara sekalipun, afiliasi keagamaan tetap
merekonsiliasikan nilai-nilai kearifan menjadi faktor pertimbangan guna membangun
tradisional keagamaan dengan perubahan- relasi dalam aktivitas industrial masyarakatnya.
perubahan yang diperlukan demi tujuan Ambil saja contohnya identitas denominasi
pembangunan. 11 kelompok Gereja, pertanyaan seperti ‘what
church do you belong?’ masih mungkin
ditemui dan dianggap relevan dalam praktik-
10
Jefrey Haynes, Religion and Development:
Conflict or Cooperation? (pp. 54). NY: Palgrave
Macmillan. 2007
11
Ibid, pp. 17
6 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
perihal tersebut. Hal ini didasari eksisnya etos Namun, bukan berarti kemudian
rukun sebagai nilai kebudayaan bersama di solidaritas ummat tidak dapat diharapkan untuk
mana momen kematian menjadi salah satu tujuan-tujuan yang lebih konstruktif. Kita
momen penuh makna dan empatik untuk dapat pula memanfaatkan konteks serupa untuk
mengekspresikan etos tersebut, lebih dari membangun nuansa yang lebih protagonistik,
sekedar perdebatan kebenaran ritual berangkat seperti untuk tujuan amal sebagai salah satu
dari keyakinan masing-masing. Seperti yang manifestasi langsung dari rasa solidaritas
diungkapkan Geertz15: ummat. Dan optimisme terwujudnya harapan
ini rasanya turut tercermin jika menilik dari
“The conflict around Paidjan’s death laporan tahunan Charity Aid Foundation
took place simply because all the (CAF) berjudul World Giving Index 2016.
kampong residents did share a common, Laporan yang menunjukkan tingkat
highly integrated, cultural tradition generousity behaviour masyarakat di 140
concerning funerals. There was no negara ini menempatkan Indonesia sebagai
argument over whether the slametan negara ke-7 perihal kegiatan amal melalui tiga
pattern was the correct ritual, whether indikator, yaitu: menolong orang asing;
the neighbors were obligated to attend, or mendonasikan uang untuk tujuan amal; dan
whether the supernatural concepts upon meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan
which the ritual is based were valid ones. volunter keorganisasian. Sebagai
For both santris and abangans in the perbandingan, Indonesia cukup jauh berada di
kampongs, the slametan maintains its atas Malaysia di peringkat ke-22, meskipun
force as a genuine sacred symbol; it still sama-sama memiliki komposisi dan
provides a meaningful framework for karakteristik sebagai negara dengan mayoritas
facing death—for most people the only muslim.
meaningful framework.” Menarik untuk juga diketahui bagaimana
Corak konflik berbasis keagamaan yang sebenarnya charity yang jika dilihat dari
konteks Islam dikenal dengan ZIS (Zakat,
sama juga masih kita temui saat ini. Seperti
yang telah diungkapkan di bagian-bagian awal Infaq, dan Sedekah) ini merupakan perwujudan
bahwa klaim tentang kebenaran seringkali solidaritas ummat yang menggambungkan
kemudian menjadi sumbu dari pecahnya unsur ibadah, sosial, dan ekonomi sekaligus.
konflik berkeyakinan dan beragama di Yang tidak kalah menarik adalah
perkembangan yang begitu konstruktif ketika
Indonesia. Dan solidaritas, atau yang sering
dikerangkai dengan istilah ummat—yang oleh agama mampu menjelma sebagai sebuah
Ali Syari’ati seorang pemikir revolusioner Iran proses yang dikenal dengan lembaga-lembaga
dianggap lebih powerful dari sekedar kata filantropi Islam modern, yang mulai tercium
‘nation’ dan diartikan sebagai himpunan sejak tahun 1970-an. Sebut saja contohnya
manusia yang secara bersama-sama bergerak Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah
menuju satu arah—sering diperdayakan untuk (BAZIS), Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan
kepentingan konfliktual.16 Amil Zakat, badan-badan pengumpul zakat
yang dimiliki oleh organisasi Islam, seperti:
NU dan Muhammadiyah. Filantropi modern ini
15
Clifford Geertz, Ritual and Social Change: A lantas mengelola dana zakat, infaq, dan
Javanese Example (pp. 32-54). American
sedekah yang diperuntukkan usaha-usaha
Anthropologist, Vol. 59 (1). 1957. DOI:
produktif dan berkelanjutan. Adapun metode
https://doi.org/10.1525/aa.1957.59.1.02a00040
16
Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah: Suatu yang dipakai dengan memberikan pinjaman
Tinjauan Sosiologis. Terjemahan Afif Muhammad modal, memberi beasiswa bagi anak-anak yang
(pp. 150). Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah. kurang mampu, mendirikan klinik, dan
1995
8 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
kegiatan-kegiatan penunjang lainnya.17 ZIS muncul masalah-masalah aktual yang lahir dari
merupakan bentuk nyata dalam perwujudan hubungan agama dan pembangunan ini.
kecintaan Islam terhadap umat manusia. Yang Nilai-nilai yang berasal dari agama
mana kecintaan ini disalurkan dalam kerangka seperti: keadilan, kejujuran, dan kepedulian
kerja produktif di bidang kesehatan, terhadap sesama pada hakikatnya merupakan
pendidikan, hingga sosial-ekonomi pijakan kuat bagi pelaksanaan pembangunan.
18
masyarakat. Sayangnya, negeri ini selalu dihadapkan
dengan oligarki partai-partai Islam-nya yang
“Dan orang-orang yang beriman: lelaki tak mampu menangkap baik keberkaitan
dan perempuan sebagian (mereka) agama dalam proses pembangunan di
menjadi penolong bagi sebagian yang Indonesia. Relasi antar partai Islam seringkali
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) konfliktual akibat kepentingan politik.
yang makruf, mencegah dari yang Polarisasi kekuasaan politik di tubuh partai-
mungkar, mendirikan solat, menunaikan partai Islam masih berjalan dengan “siapa yang
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan merebut kursi DPR?”. Alhasil negeri ini yang
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat bermayoritas masyarakat Islam sudah sejak
oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha lama seperti tidak mampu menemukan tujuan
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (at- dalam orientasi politik dan pembangunan.
Taubah:71) Namun, menurut pengamatan penulis,
kehadiran organisasi-organisasi yang mampu
Zakat, infaq, dan sedekah ini sebagai berperan baik menerjemahkan peran agama
salah satu bentuk filantropi Islam yang dalam proses pembangunan menjadi angin
mengupayakan kemajuan ekonomi ummat, segar yang terus dinanti. Sebut saja NU dan
apalagi seperti Indonesia, dengan mayoritas Muhammadiyah yang sudah sejak lama
Islam dan masih banyak masyarakat kurang berkontribusi positif bagi pembangunan di
mampu, yang bisa dibantu melalui ZIS. Di negeri ini. Sehingga menurut hemat penulis
Indonesia, pengelolaan ZIS termuat dalam mengatakan bahwa agama menjadi
aturan Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun penghambat pembangunan di Indonesia terlalu
1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab III pasal 6 menyederhanakan persoalan. Bangsa Indonesia
dan pasal 7, berbunyi bahwa Lembaga yang majemuk dan memiliki perbedaan tak
Pengelola Zakat (LAZISIS) terdiri dari dua hanya agama, namun etnis, hingga kebudayaan
macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) merupakan aset berharga negeri ini. Karenanya
dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga penulis berpendapat, jika masyarakat di negeri
Amil Zakat (LAZIS) didirikan oleh swasta.19 ini ingin menjadi masyarakat madani, maka
Artinya bentuk kegiatan amal seperti ZIS sudah seharusnya rumah ibadah, seperti
secara lebih konstruktif mampu mendukung mesjid, gereja, pura, tidak sekadar sebagai
proses pembangunan di negeri ini. Hal ini tempat ritual ibadah. Melainkan menjadi
menunjukkan bahwa unsur moralitas agama tempat menyalurkan kekuatan dan
menjadi bagian sistem pembangunan sosial di pembaharuan dalam sektor-sektor penting
negeri ini. Tapi walau bagaimanapun tetap saja seperti pendidikan, kesehatan, atau ekonomi.
Artinya, pembangunan yang disokong oleh
17
Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat agama terletak pada tataran nilai yang
Islam (pp. 8-10). Penerbit: Elex Media
Komputindo. 2008
memahami bahwa pembangunan bukan termin
18
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (pp. 90). yang sifatnya pragmatis, tapi harus meletakkan
Penerbit: Gema Insani. 2003 fungsi etisnya agar struktur-struktur politik dan
19
UU Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999, sosial yang tidak konstuktif seperti penulis
daring, diakses pada tanggal 11 September 2018
pukul 08.10 jelaskan sebelumnya bisa ditanggulangi.
https://kemenag.go.id/file/dokumen/UU3899.pdf
9 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
Tentu saja argumen yang dibangun di atas Kembali pada temuan Bellah yang
tidak dimaksudkan untuk memposisikan menjelaskan kemajuan pembangunan Jepang
peranan Islam di Indonesia secara pivotal sejak Era Tokugawa karena pengaruh aliran-
layaknya determinasi Etika Protestan terhadap aliran agama Budha dan Konfusianisme serta
perkembangan kapitalisme di Eropa dan kultur ajaran Shinto di masyarakat Jepang,
Agama Tokugawa terhadap semangat begitupun pandangan Weber dalam mengurai
industrial masyarakat Jepang. Harus ada riset pengaruh gereja dalam etos kerja orang
yang dilakukan secara masif dan membutuhkan Kristen. Maka menilik nilai-nilai Islam yang
proses panjang untuk menghasilkan tesis secara historis sudah sangat melekat dengan
seperti yang dihasilkan oleh Max Weber dan sejarah bangsa ini, dari perjuangan meraih
Robert N. Bellah tersebut. Namun begitu, kemerdekaan, perumusan dasar negara, sudah
pewacanaan di atas setidaknya dapat sedikit selayaknya dipandang sebagai apa yang
menimbulkan optimisme bahwa agama yang Haynes sebut sebagai gairah keberagaman
selama ini ditengarai sebagai ‘biang keladi’ (religious fervour). Gairah yang seharusnya
penghambat ide-ide modernisme untuk tujuan bisa diaktualisasikan bagi pembangunan negeri
pembangunan, melalui semangat ummat-nya ini. Seperti yang disampaikan Mohammad
dapat sedikit berkontribusi demi tujuan yang Natsir bahwa “Orang Islam tidak akan
lebih konstruktif—ketimbang terus-menerus berhenti hingga itu (yakni kemerdekaan)…”. 21
terjebak dalam konflik-konflik keagamaan tak Hubungan religius-politis tersebut seharusnya
berkesudahan. Jangan terus-terusan agama bisa mempengaruhi prinsip-prinsip
dikonfrontasi. Tidak ada salahnya mengubah modernisasi yang ingin dicapai bangsa ini.
dari yang konfrontasi ke akomodasi. Kita Afiliasi keagamaan dalam proses
selalu berfokus pada persaingan, padahal yang pembangunan bangsa ini jangan kemudian
dibutuhkan masyarakat madani adalah hanya dipakai sebagai bentuk legitimasi bagi
kerjasama. Seringkali konflik-konflik di keuntungan ekonomi atau politik, walaupun
Indonesia dikira adalah konflik agama, padahal tidak bisa dikesampingkan hal tersebut juga
sebenarnya konflik berbasis ekonomi-politik memberikan pengaruh pada masyarakat
yang memakai simbol agama, serta memakai Indonesia. Misalnya saja sertifikasi dan
ummat sebagai alat. labelisasi halal yang sudah menjadi bagian
Terlebih mengingat posisi kita sebagai operasionalisasi bagi produk-produk makanan,
masyarakat dengan tatanan agama yang minuman, bahkan hari ini merambah ke sektor
kentara, yang secara percaya diri disebutkan jasa. Labelisasi halal tersebut menunjukkan
oleh Abd. Asis T, Affan Gaffar dan Riswandha bagaimana sektor bisnis in line dengan agama
Imawan tidak akan pernah berhasil untuk yang mendukung profit dalam aktivitas
disekularisasikan.20 Sudah seharusnya perdagangan, selain merupakan bentuk public
memposisikan agama dan negara (baca: interest, bahkan sudah diregulasi oleh
teokrasi) sekalipun Indonesia bukan negara pemerintah. Namun, hubungan erat juga terjadi
agama, tapi juga bukanlah negara sekuler antara kultur masyarakat Indonesia dengan
(memisahkan agama dalam pengambilan ajaran Islam sendiri. Madura adalah salah satu
keputusan), mereaktualisasi bahwa keberadaan suku yang memiliki etos kerja tinggi, sehingga
agama secara fungsional sebagai landasan di pelosok negeri dapat dipastikan kita temui
moral ataukah hanya untuk memenuhi perantau-perantau dari tanah Madura. Ajaran-
kebutuhan konstitusional? ajaran Islam terinternalisasi dalam kehidupan
21
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in
20
Abd. Asis T. et. al. Islam dan Negara dalam Indonesia. Dalam Bahtiar Effendy. Islam dan
Politik Orde Baru (1966-1994. No. 8 (2a) (pp. 201- Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
212). BPPS UGM. 1995. Islam di Indonesia. p. 276. 2011
10 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
orang Madura, khususnya di dunia dagang. hal yang lebih konstruktif melalui pemanfaatan
Orang Madura berdagang dengan ikatan afektif (ummat) yang telah tersedia.
mengedepankan kejujuran, tidak curang, Memang kita tak bisa menyangkal fakta bahwa
karena tujuan mereka adalah berkah dari sejak awal reformasi, ragam konflik yang
Pencipta—halal dan barokah.22 Dalam boleh dikatakan mencuat dengan bernuansa
kehidupan masyarakat Madura internalisasi agama terjadi. Konflik di Poso, Ambon,
nilai-nilai Islam mengakar kuat hingga tercipta Ketapang, Mataram merupakan beberapa bukti
sebuah semboyan “abhantal syahadat, asapo’ konflik yang bernuansa agama.
iman, apajung Allah” yang artinya Adanya potensi kerawanan konflik-
berbantalkan syahadat, berselimut iman, dan konflik bernuansa agama bisa ditekan dengan
berpayung pada Allah. 23 Semboyan tersebut adanya kegiatan dialog yang diprakasai
secara langsung membangun sumber daya pemuka-pemuka agama, dengan
manusia Madura yang beretos kerja tinggi dan menitikberatkan untuk menyumbang
jujur. pemikiran-pemikiran yang konstruktif bukan
Berkaca pada Era Tokugawa dan Etika malah sebaliknya kepada masyarakat. Karena
Protestan dan masyarakat Madura sendiri, pemerintah membutuhkan dukungan seluruh
maka kita sebenarnya menyadari betul bahwa elemen bangsa untuk mampu mencapai tujuan
pembangunan adalah menempatkan positif dalam keberkaitan agama terhadap
masyarakat menjadi fokus titik pembangunan. pembangunan dan modernisasi.
Terdapat beberapa kondisi yang harus Padahal kondisi di masyarakat Indonesia
dijadikan faktor pertimbangan agar entitas sendiri yang kesehariannya tak terlepas dari
agama berperan secara kontributif terhadap ritual keagamaan tentu membentuk pola
proses pembangunan, tidak sekedar sebagai interaksi yang cenderung menekankan pada
bentuk labelisasi, konfrontasi, bahkan menjadi dinamika religiusitas, baik Islam, Kristen,
penyebab konflik. Sehingga akhirnya kita Hindu, maupun Buddha. Agama nyatanya
mampu menemukan titik ideal dimana nilai- memang memiliki peran penting dalam
nilai agama terimplementasi dengan baik mendukung pembangunan berkelanjutan di
dalam pembangunan dan politik di Indonesia. Indonesia “Kota Santri” adalah metafora yang
ditujukan untuk beberapa kota di Indonesia
Kesimpulan yang memiliki banyak pondok pesantren.
Konsolidasi para elite politik, tokoh Fenomena tersebut bukan saja dipahami dalam
keagamaan dan aktor yang memiliki akses kacamata sosiologis, apalagi sekedar
terhadap sumber informasi dapat menjadi pilar simbolistik semata. Keberadaan mereka harus
dalam mentransformasikan isu-isu identitas dimaknai lebih filosofis dan secara
keagamaan yang masih berada pada tataran intelektualitas berkontribusi bagi pembangunan
klaim kebenaran (truth claim) dan potensial negeri ini. Pembangunan yang membutuhkan
memicu konflik untuk diarahkan kepada hal- proses yang terus-menerus ke arah yang lebih
baik pada hakekatnya sangat bergantung pada
22
Muhammad Djakfar, Religion, Work Ethnic, and fungsi-fungsi elemen bangsa yang beragama
Bussiness Attitude: A Case Study on The Meaning secara matang, berdemokrasi secara
of Bussiness Behavior of Madurase Fruits in berkeadilan, dan penuh kepedulian terhadap
Malang. Vol. 16 (2) (pp. 102-103). International sesama. Namun, adanya aksi Bela Islam di
Journal of Accounting and Business Brawijaya
penghujung tahun 2016 yang awalnya berakhir
University Society. 2007.
23 dengan chaos (‘411’) berbalik 180 derajat
Muhammad. Faraby E, Etos Kerja Islam dalam
menjadi aksi damai pada aksi selanjutnya
Masyarakat Etnis Madura. Vol. 3 (1) (p. 53).
Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, UIN Jakarta. (‘212’), adalah aksi yang melibatkan dua unsur
2016, doi: 10.15408/sjsbs.v1i2.1536/ajis besar religiusitas dan unsur nasionalisme
11 Anwar Firmansyah dan Tiffany Setyo Pratiwi | Agama dan Pembangunan: Beragam Pandangan dalam Melihat
Keberkaitan Agama terhadap Proses Pembangunan dan Modernisasi
Jurnal:
Djakfar, Muhammad. (2007). Religion, Work
Ethnic, and Bussiness Attitude: A Case
Study on The Meaning of Bussiness
Behavior of Madurase Fruits in Malang.
International Journal of Accounting and
Business Brawijaya University Society.
Vol. 16 (4).