Anda di halaman 1dari 16

PENA Akuatika Volume 18 No.

2 September 2019

REKAYASA TEKNOLOGI BUDIDAYA KEPITING BAKAU


(Scylla paramaosain) MELALUI REKAYASA PAKAN
DAN LINGKUNGAN UNTUK PERCEPATAN PERTUMBUHAN
DAN KELULUSHIDUPAN

Istiyanto Samidjan1*, Diana Rachmawati1, Hadi Pranggono2


1
Dosen Program Studi Budidaya Perairan, FPIK Undip.
2
Dosen Fakultas Perikanan Unikal Pekalongan

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji peran rekayasa pakan dan lingkungan terhadap
percepatan pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting bakau, dengan memanfaatkan pakan dari berbagai
jenis pakan segar (limbah ikan dan wideng) dan rekayasa lingkungan dengan kombinasi biofilter system
menggunakan daun mangrove, dimana masing masing dari kepiting bakau diperlihara dengan sistem
batery. Metode penelitian dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan
pemberian jenis pakan yang berbeda. Ulangan dilakukan pemeliharaan terhadap sepuluh ekor kepiting
bakau. Dosis pemberian pakan tiap perlakuan sebanyak 5 % . Perlakuan ”A”, pemberian pakan ikan
rucah, perlakuan ”B” pemberian pakan wideng sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari dan perlakuan
”C”, pemberian pakan pelet sebanyak 5 % dari berat biomassa perhari. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pakan terbaik untuk budidaya kepiting bakau dengan sistem batery adalah pakan pelet.Sedangkan
Perbedaan pakan (Segar, Pelet) berupa ikan rucah, wideng dan pelet memberi pengaruh yang nyata
(p<0,05) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) kepiting bakau.
Pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (SGR) tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan C
sebesar 60.58 g ± 2.140 dan 0.81 % ± 0.022. Sedangkan terhadap kelulushidupan perbedaan pakan segar
maupun pelet tidak memberi pengaruh yang nyata (p>0,05). Kualitas air untuk budidaya kepiting bakau
relatif layak.

Kata Kunci : Ikan rucah, Wideng dan Pelet, Scylla paramaosain

ABSTRACT

The study aims is to examine the role of feed engineering and the environment in accelerating growth and
survival of mangrove crabs, by utilizing feed from various types of fresh feed (fish and wideng waste)
and environmental engineering with a combination of biofilter systems using mangrove leaves, where
each of the crabs mangrove maintained with a batery system. The research method uses a completely
randomized design (CRD) with three treatments giving different types of feed. Repeated maintenance of
ten mangrove crabs was carried out. Feeding dose for each treatment is 5%. Treatment "A", feeding trash
fish, treatment "B" feeding wideng as much as 5% of the weight of biomass per day and treatment "C",
feeding pellets as much as 5% of the weight of biomass per day. The results showed that the best feed for
the cultivation of mangrove crabs with the batery system was pellet feed. While the difference in feed
(fresh, pellets) in the form of trash fish, wideng and pellets gave a significant effect (p <0.05) on the
growth of absolute biomass and growth rate specific (SGR) mangrove crabs. Absolute growth and the
highest daily growth rate (SGR) were produced by feed C treatment of 60.58 g ± 2.140 and 0.81% ±
0.022. Whereas the survival rate of differences in fresh feed and pellets did not have a significant effect
(p> 0.05). Water quality for mangrove crab cultivation is relatively decent.

Keywords: Trash fish, Bread and Pellets, Scylla paramaosain

47
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

PENDAHULUAN untuk dibudidayakan karena memiliki


laju pertumbuhan yang cepat dan harga
Keunggulan kepiting bakau
jualnya tinggi.
(Scylla serrata Froskal) merupakan
salah satu produk perikanan yang Selama ini permintaan kepiting
banyak disenangi masyarakat karena bakau dipenuhi dari hasil tangkapan
kandungan proteinnya tinggi dan alam. Pemenuhan kebutuhan kepiting
berkalori rendah. Kepiting bakau bakau melalui usaha intensifikasi
mengandung 65,72% protein, 7,5% penangkapan secara besar-besaran
mineral dan 0,88% lemak. Telurnya dikhawatirkan akan mengakibatkan
mengandung 88,55% protein, 3,2% penurunan jumlah bahkan kelangkaan
mineral dan 8,16% lemak (Alamyah dan kepiting bakau di alam. Melihat kondisi
Fujaya. 2011). tesebut, perlu dilakukan usaha budidaya
kepiting bakau secara intensif dengan
Kepiting selain komposisi
harapan dapat menghasilkan kepiting
gisinya yang baik dan bergizi juga
bakau secara kontinyu dengan jumlah
mempunyai potensi pasar kepiting
memadai.
bakau yang baik di dalam negeri dan di
luar negeri potensi pasarnya yang cukup Kendala utama budidaya
besar. Harga kepiting bakau di pasaran pembesaran atau penggemukan kepiting
lokal dengan ukuran 200 g/ekor sebesar bakau biasanya menggunakan pakan
Rp. 25.000/kg (Dirjen Perikanan, 2004). utama berupa ikan rucah. Namun para
Tingkat ekspor kepiting bakau pada pembudidaya kepiting bakau
tahun 1995–2000 mengalami mengeluhkan ketersediaan ikan rucah
peningkatan sebesar 193%. Nilai yang terbatas pada saat akhir tahun.
ekspornya hanya sebesar 4220 ton pada Dirjen Perikanan (2004), melaporkan
tahun 1995 dan tahun 2000 meningkat harga ikan rucah pada akhir tahun
menjadi 8135 ton dengan nilai US$ meningkat dari Rp. 2.000/kg menjadi
69.297.006 (Fujaya et al.2011). Hal ini Rp. 3.500/kg, sehingga perlu alternative
memberikan peluang pengembangan pakan buatan yang tersedia setiap waktu
komoditas kepiting bakau secara lebih dalam jumlah yang cukup.
serius dan komersial. Menurut
Kebutuhan akan pakan alternatif
Purnomawati dan Dewantoro (2001), diharapkan dapat menghasilkan
kepiting bakau sangat menguntungkan

48
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

pertumbuhan dan kelulushidupan biofilter system menggunakan daun


kepiting bakau yang tinggi, namun tidak mangrove,sehingga dapat meningkatkan
sulit mendapatkannya atau mahal pertumbuhan dan kelulushidupan
harganya. kepiting bakau.

Permasalahan dalam Usaha


Tujuan Penelitian
budidaya kepiting bakau antara lain
Tujuan dari penelitian ini adalah
adalah rendahnya tingkat pertumbuhan
untuk mengetahui peran rekayasa pakan
dan kelulushidupan. Salah satu faktor
dan lingkungan terhadap percepatan
yang mempengaruhi rendahnya tingkat
pertumbuhan dan kelulushidupan
pertumbuhan dan kelulushidupan
kepiting bakau, dengan memanfaatkan
kepiting bakau adalah jenis dan jumlah
pakan dari pakan segar (limbah ikan dan
pakan yang diberikan dan lingkungan
wideng) dan rekayasa lingkungan
kualitas air yang kurang layak untuk
dengan kombinasi biofilter system
kehidupan kepaiting bakau. Untuk
menggunakan mangrove, dimana
mengatasi masalah tersebut dilakukan
masing masing dari kepiting bakau
rekayasa pakan dan lingkungan.
diperlihara sistem batery.
Menurut Aslamyah dan Fujaya (2009),
pertumbuhan dan kelulushidupan MATERI DAN METODE
kepiting bakau dipengaruhi oleh ukuran PENELITIAN
benih kepiting bakau, kualitas air media
Penelitian ini dilaksanakan
budidaya dan pakan yang diberikan.
dengan menggunakan metode
Diharapkan dengan rekayasa teknologi
eksperimental yang dilakukan di
budidaya kepiting bakau dengan
lapangan. Rancangan percobaan yang
rekayasa lingkungan dan pakan maka
digunakan adalah Rancangan Acak
dapat mempercepat pertumbuhan dan
Lengkap (RAL) dimana unit-unit
meningkatkan kelulushidupan kepiting
percobaan diambil secara acak
bakau.
(Srigandono, 1985). Penelitian ini
Penelitian ini memberikan pakan menggunakan tiga perlakuan
alternatif lain untuk budidaya kepiting pemberian jenis pakan yang berbeda
bakau berupa wideng (Neoepisesarma dan masing-masing perlakuan diulang
lafondi) dan pellet dan rekayasa sebanyak empat kali. Untuk tiap
lingkungan dengan menggunakan ulangan dilakukan pemeliharaan

49
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

terhadap sepuluh ekor kepiting bakau. dan wideng yang diperoleh dari sekitar
Dosis pemberian an tiap perlakuan tempat budidaya di perairan Pidodo
sebanyak 5 % (Giri et al, 2002). Kulon, Kendal. Sedangkan pelet yang
Perlakuan tersebut adalah pemberian digunakan adalah pakan komersial
pakan berupa ikan rucah, wideng dan udang 581 merk Bintang dalam bentuk
pelet (A, pemberian pakan ikan rucah crumble yang diproduksi oleh
sebanyak 5 % dari berat biomassa PT.Central Proteinaprima. Kemudian
perhari menggunakan biofilter sistem pakan pelet dilakukan proses repeleting
daun mangrove, (B pemberian pakan sehingga menjadi bentuk pelet.
wideng sebanyak 5 % dari berat Pelaksanaan penelitian
biomassa perhari dengan menggunakan dilakukan memulai dari persiapan alat
daun mangrove sebagai biofiltersistem) dan bahan yang digunakan selama
(C, pemberian pakan pelet sebanyak 5 penelitian. Alat yang dibutuhkan antara
% dari berat biomassa perhari dengan lain wadah pemeliharaan (basket),
menggunakan daun mangrove sebagai karamba, media pemeliharaan dan
biofitersystem). Penempatan kultivan peralatan pengukuran kualitas air.
dan perlakuannya pada karamba sistem Karamba dibuat dengan menggunakan
batery dilakukan secara acak dengan bambu yang didesain sedimikian rupa
menggunakan metode Randomisasi. sehingga dapat terapung di permukaan
air dan memudahkan dalam
Hewan Uji
pengamatan. Basket pemeliharaan
Penelitian ini menggunakan
berukuran 30 x 20 x 15 cm3 terbuat dari
hewan uji berupa kepiting bakau (S.
bahan plastik dan dimasukkan dalam
serrata) dewasa yang berukuran lebar
karamba bambu dan biofilter sistem dari
karapas berkisar antara 8,5–9,5 cm dan
daun mangrove ditempatkan dalam
rata-rata bobot tubuhnya sebesar 149,13
basket.
g ± 3,716. Kepiting bakau ini diperoleh
dari hasil tangkapan nelayan di wilayah Pengumpulan Data

perairan Pidodo Kulon, Kendal. Data-data yang dikumpulkan


Sedangkan sebagai pakan uji yang dalam penelitian ini meliputi hasil
digunakan adalah pakan segar dari pengamatan tingkat kelulushidupan,
rucah, wideng dan pelet. Ikan rucah pertumbuhan, pemanfaatan pakan dan

50
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

data kualitas air seperti: suhu, salinitas, FCR 


F
(Wt  D )  Wo
pH, DO, ammonia dan nitrit media
pemeliharaan. Dimana :
FCR = Konversi pakan
a. Pertumbuhan Mutlak
Wo = Bobot hewan uji pada awal
Pertumbuhan mutlak dihitung penelitian (g)
Wt = Bobot hewan uji pada akhir
dengan rumus Effendie (2002), yaitu:
penelitian (g)
W = Wt – Wo D = Jumlah bobot hewan uji yang
mati selama penelitian (g)
Dimana : F = Jumlah pakan yang
W = Pertumbuhan bobot mutlak (g) dikonsumsi (g)
Wt = Bobot total pada akhir penelitian
(g) d. FER (Food Efficiency Ratio)
Wo = Bobot total pada awal penelitian
Perhitungan Efisiensi pakan
(g)
(FER) dilakukan dengan menggunakan
b. Laju Pertumbuhan Harian rumus dari Djarijah (2006), yaitu :
(Spesific Growth Rate/SGR)
 Wt  D   Wo 
SGR dihitung berdasarkan FER     100%
 F
rumus Steffens (1989) sebagai berikut :
Dimana :
ln Wt  ln Wo FER = Efisiensi pakan (%)
SGR   100%
t Wt = Bobot hewan uji pada waktu t
(g)
Dimana :
Wo = Bobot hewan uji pada waktu
SGR = Laju pertumbuhan harian
awal (g)
(%/hari)
D = Jumlah bobot hewan uji yang
Ln Wt = Ln Bobot hewan uji pada
mati selama penelitian (g)
akhir penelitian (g)
F = Bobot pakan yang diberikan
Ln Wo = Ln Bobot hewan uji pada
(g)
awal penelitian (g)
t = Lama penelitian (hari) e. PER (Protein Efficiency Ratio)

c. FCR (Food Convertion Ratio) Untuk menghitung PER

Untuk menghitung FCR digunakan rumus dari Hepher (1988),

digunakan rumus dari Djarijah (2006), yaitu :

yaitu : Pertambahan berat ikan uji


PER 
Berat total protein pakan ( pi )

51
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

Dimana : No = Jumlah kepiting yang hidup


PER = Protein efisiensi ratio. pada awal penelitian (ekor)
Pi = Jumlah pakan yang
dikonsumsi dikali persentase h. Pemantauan Kualitas Air
protein dalam pakan
Pengukuran kualitas air berupa
f. NPU (Net Protein Utilization) suhu perairan dilakukan setiap pagi dan
sore hari. Sedangkan pengukuran
NPU dihitung dengan
kualitas air berupa pH, salinitas, DO,
menggunakan rumus dari Tacon (1987),
ammonia dan nitrit dilakukan satu kali
yaitu:
seminggu. Pengukuran kualitas air
Pb  Pa
NPU  x 100% berupa DO, ammonia dan nitrit, N,P,K
Pi
dilakukan di Balai Laboratorium
Dimana : Kesehatan Semarang.
NPU = Nilai pemanfaatan protein
(%) Analisis Data
Pb = Kandungan protein kepiting
Data yang diperoleh berupa
pada akhir penelitian (g)
Pa = Kandungan protein kepiting pertumbuhan mutlak, kelulushidupan,
pada awal penelitian (g) SGR, FCR, Efisiensi Pakan, PER dan
Pi = Kandungan protein pada
NPU dianalisis dengan analisis ragam
pakan yang diberikan (g)
(ANOVA). Khusus data dalam bentuk
g. Tingkat Kelulushidupan/Survival persentase (%) dilakukan transformasi
Rate (SR) Arcsin. Sebelum menggunakan analisis
Kelulushidupan dari kepiting ragam terlebih dahulu dilakukan uji
bakau selama penelitian dihitung Normalitas, uji Homogenitas dari
dengan rumus Effendie (2002) sebagai Barlett, dan uji Additifitas untuk
berikut: memastikan data bersifat normal dan
homogen. Jika persyaratan telah
Nt
SR = x 100 %
No dipenuhi kemudian dilanjutkan dengan
uji ragam. Jika antar perlakuan
Dimana :
SR = Tingkat kelulushidupan memberikan perbedaan yang nyata,
kepiting (%) maka dilanjutkan dengan uji Wilayah
Nt = Jumlah kepiting yang hidup Ganda Duncan untuk mengetahui
pada akhir penelitian (ekor)
perbedaan antar perlakuan.

52
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

HASIL DAN PEMBAHASAN Hal ini memperlihatkan bahawa


adanya perbedaan pada pemberian
Pertumbuhan Biomassa Mutlak
pakan ikan rucah, wideng dan pelet
Pertumbuhan biomassa mutlak
memberi pengaruh yang nyata (P<0,05)
kepiting bakau dari hasil penelitian
terhadap pertumbuhan biomassa mutlak
yang dilaksanakan selama 42 hari
kepiting bakau. Adanya perbedaan jenis
pengamatan dengan selang waktu
pakan dan penggunaan biofilter sistem
pengukuran pertumbuhan 7 hari sekali,
dengan menggunakan daun mangrove
berpengaruh nyata (P<0.05) (Tabel.1).
dapat mempercepat pertumbuhan dan
Tabel 1. Hasil penelitian terhadap Biomas meningkatkan kelulushidupan kepiting
mutlak, Spesifik growth rate,
Konversi rasio pakan (FCR), Protein bakau. Hal ini terlihat dari pertumbuhan
efisiensi pakan (PER), NPU dan
Kelulushidupan (SR) Kepiting Bakau biomassa mutlak dan laju pertumbuhan
pada rekayasa budidaya pakan dan
lingkungan. harian kepiting bakau menunjukkan
Variabel A B C bahwa nilai tertinggi terdapat pada
Biomas 47.89±3.381a 50.19±1.697a 60.58±2.140b perlakuan C (Pelet) sebesar 6,28 g ±
mutlak (gr)
Spesific 0.67±0.042a 0.69±0.026ab 0.81±0.022b 2,140 dan 0,81% ± 0,022 dibanding
Growth Rate
(SGR %) perlakuan B (Wideng) sebesar 50,19 g ±
FCR 6.45±0.471a 6.27±0.521a 6.07±0.192a
PER 0.1550±0.073a 0.2988±0.241a 0.3350±0.170a
NPU 22.062±2.703a 29.433±9.896a 45.018±7.964a
1,697 dan 0,69% ± 0,026 serta
SR (%) 92.50±9.574a 87.50±9.574a 92.50±9.574a
perlakuan A (Ikan rucah) 47,89 g ±
Keterangan : Angka rerata dengan huruf 3,381 dan 0,67% ± 0,042. Berdasarkan
superskrip yang berbeda
menunjukkan adanya perbedaan analisis ragam memperlihatkan bahwa
yang nyata (P<0,05).
perlakuan perbedaan pakan memberikan
Tabel 1 menunjukkan perlakuan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap
pakan C (60,58 g ±2.140) memberikan pertumbuhan mutlak dan laju
pertumbuhan biomassa mutlak kepiting pertumbuhan harian kepiting bakau.
bakau yang tertinggi dari pada Pertumbuhan biamassa memerlukan
perlakuan pakan B (50,19 g ±1.697) energi yang terutama bersumber dari
dan A (47,89 g ±3.381). Analisis ragam makanan. Makanan mengandung
terhadap data pertumbuhan biomassa berbagai zat makanan seperti protein,
mutlak menunjukkan berpengaruh nyata lemak dan karbohidrat. Bahan-bahan
(P<0,05). tersebut sangat diperlukan dalam proses
metasbolisme sehingga diubah menjadi

53
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

215
energi untuk pertumbuhan dan
205

kelangsungan hidup (Bardach et 195


A
al.1972, Aslamyah dan 185

175
Fujaya.2009,2011). Menurut Hepher B
165

(1988), Fujaya et al (2011) 155 C


mengemukakan bahwa zat makanan 145

135
dalam pakan berfungsi bagi organisme 0 7 14 21 28 35 42

untuk pertumbuhan dan kelulushidupan. Gambar. 1. Grafik laju pertumbuhan harian


(SGR) pada berbagai perlakuan
Sedang fungsi utama dari makanan
adalah untuk memelihara tubuh dan Dari Tabel 1 dapat diketahui
mengganti organ yang rusak, kemudian bahwa nilai laju pertumbuhan harian
kelebihannya digunakan untuk kepiting bakau (Gambar 1), berdasarkan
pertumbuhan. Uji Wilayah Ganda gambar 1 terdapat pertumbuhan terbaik
Duncan terhadap rata-rata pertumbuhan dihasilkan oleh perlakuan perlakuan
biomassa mutlak menghasilkan pakan C (0.81%/hari) di bandingkan
perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan pakan B (0.69%/hari) dan A
perlakuan pakan A dengan pakan C dan (0.67%/hari). Sedangkan analisis ragam
perlakuan pakan B dengan pakan C. terhadap data laju pertumbuhan harian
Sedangkan perlakuan pakan B dengan berpengaruh nyata (P<0,05).
pakan A tidak terdapat perbedaan yang Nilai laju pertumbuhan harian
nyata. juga diuji dengan Uji Wilayah Ganda
Laju Pertumbuhan Harian Duncan dan dihasilkan perbedaan yang
sangat nyata antara perlakuan pakan C
Data laju pertumbuhan harian
dengan pakan A. Sedang perlakuan
atau Spesific Growth Rate (SGR)
pakan A dengan B dan pakan B dengan
kepiting bakau untuk masing-masing
C tidak menghasilkan perbedaan yang
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
nyata. Laju pertumbuhan kepiting bakau
Grafik laju pertumbuhan harian kepiting
tertinggi dihasilkan pada perlakuan
bakau tersaji pada Gambar 1 Ada
pelet. Hal ini diduga karena kandungan
kecenderungan terjadi kenaikan laju
nutrisi dalam pakan pelet sesuai dengan
pertumbuhan harian.
kebutuhan kepiting bakau untuk
melakukan pertumbuhan dibanding

54
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

dengan pakan wideng maupun ikan dilakukan dengan melalui dua proses,
rucah. yaitu: molting atau ecdysis. Proses
molting berhubungan dengan
Kandungan nutrisi dalam pakan
perkawinan dan pergantian kulit dengan
yang biasa digunakan oleh kepiting
melukai tubuhnya, sedang ecdysis
untuk pertumbuhan adalah protein
merupakan pergantian exoskeleton
(Djunaidah,et al.2004, Herlinah.,et al.
(kulit luar) yang menyebabkan
2010, Neil, et al. 2005, Giri, et al.
meningkatnya panjang dan bobot tubuh
2002). Sedangkan kandungan nutisi
kepiting bakau.
lain, seperti: Lemak dan Karbohidrat
diubah oleh tubuh dan digunakan Konversi Pakan
sebagai energi. Menurut Hepher (1988), Penelitian yang dilaksanakan
Keenan et al (1998), Kuntiyo (1992), selama 42 hari ini, juga dilakukan
Landra (1992), Lavina (1980) pengamatan terhadap konversi pakan
mengatakan bahwa protein memiliki
atau Food Convertion Ratio (FCR)
peranan yang penting dalam pakan kepiting bakau. Hasil pengamatan dari
untuk pertumbuhan kultivan budidaya konversi pakan kepiting bakau dapat
dan setiap usaha budidaya dilihat pada Tabel.1. Berdasarkan
mengharapkan pertumbuhan yang cepat. Tabel.1., menunjukkan bahwa nilai
Lemak dan karbohidrat merupakan rasio konversi pakan kepiting bakau
nutrisi dalam pakan yang dibutuhkan dari setiap perlakuan pakan A (6,45),
oleh kultivan budidaya sebagai sumber pakan B (6,47) dan pakan C (6,07).
energi. Sedangkan analisis ragam nilai rasio
Proses pertumbuhan dari kepiting konversi pakan tidak berpengaruh
bakau ditandai dengan adanya proses terhadap kepiting bakau (P>0,05). Hal
molting atau pergantian kulit. Menurut ini menunjukkan bahwa pelakuan
Lavina (1980), Dirjen Perikanan (1990, perbedaan pakan tidak memberikan
2004), Mardjono et al 1994), perbedaan yang nyata terhadap rasio
Purnamawati dan Dewantoro, (2001), konversi pakan.
Rosminar. (2008), Shelly, dan Lovatelli, Nilai konversi pakan (FCR)
(2011), Simanchala dan Nayak. (2012),
pada perlakuan perbedaan pakan
Sopana et al (2009) mengatakan bahwa memiliki rata-rata 6,26±0,414.
pertumbuhan pada kepiting bakau

55
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

Sedangkan rata-rata nilai efisiensi pakan memiliki kualitas pakan yang kurang
(FER) pada perlakuan perbedaan pakan baik.
sebesar 16,03% ± 1,007. Berdasarkan
Protein Efficiency Ratio
analisis ragam konversi pakan dan
efisiensi pakan terlihat bahwa perlakuan Nilai Protein Efficiency Ratio
perbedaan pakan tidak memberikan (PER) selama 42 hari penelitian tersaji
pengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pada Tabel 1. Hasil nilai PER berkisar
konversi pakan dan efisiensi pakan. Hal antara 0,1550 sd 0,3350. Analisis ragam
in sesuai dengan pendapat Shelly dan terhadap rasio efisiensi protein (PER)
Lovatelli, (2011), Simanchala dan tidak berpengaruh nyata (P>0.05).
Nayak, (2012), Sopana,et al. (2009), Tabel 1 menunjukkan bahwa
Suwirya,et al.(2003), Tacon,( A.G.J. tidak ada perbedaan yang nyata
1987),Warner, (1977), Watanabe et (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein
al.2001), menyatakan bahwa semakin kepiting uji, menggambarkan bahwa
rendah atau kecil nilai konversi pakan, perbedaan pakan segar maupun pelet
maka efisiensi pemanfaatan pakan tidak memberi pengaruh yang nyata
semakin besar atau bertambah. (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein
Secara umum nilai konversi pakan kepiting bakau. Berdasarkan nilai
pakan pada penelitian ini terlalu tinggi rata-rata PER yaitu perlakuan A
dengan nilai rata-rata tiap perlakuan (0,1550), perlakuan B (0,2988) dan
adalah 6,26±0,414. Hal ini perlakuan C (0,3350). Sedangkan hasil
menunjukkan bahwa ketiga jenis pakan analisis ragam menunjukkan bahwa
yang diberikan memiliki kualitas yang perbedaan pakan segar maupun pelet
kurang baik dan menyebabkan efisiensi tidak memberi pengaruh yang nyata
pakan yang rendah. Menurut Shelly dan (P>0,05) terhadap rasio efisiensi protein
Lovatelli,(2011), Simanchala dan pakan kepiting bakau. Nilai PER yang
Nayak. (2012), nilai konversi pakan dihasilkan dalam penelitian ini sangat
(FCR) yang baik adalah kurang dari 2,0. rendah, hal ini diduga dipengaruhi oleh
Sedang menurut (Fujaya et kandungan protein dari pakan yang
al.2011),nilai konversi pakan yang tinggi. Kandungan protein dalam pakan
tinggi dan efisiensi pakan yang rendah rendah akan menyebabkan PER menjadi
menunjukkan bahwa pakan tersebut tinggi, dan akan menurun seiring

56
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

dengan meningkatnya kandungan Nilai NPU tertinggi dihasilkan


protein. oleh perlakuan pakan C (Pelet) sebesar
45.018%, dibanding pakan B (Wideng)
Kandungan nutrisi dan jumlah
29.433% dan pakan A (Ikan Rucah)
pakan yang sesuai dengan kebutuhan
22.062%. Hal ini menunjukkan bahwa
kepiting bakau sangat berpengaruh
kandungan protein dalam pakan pelet
terhadap pertumbuhan kepiting bakau
dapat dimanfaatkan dengan baik dari
itu sendiri. Menurut Fujaya et al (2011)
pada pakan wideng maupun ikan rucah
mengatakan bahwa nutrisi dalam pakan
yang menggunakan daun mangrove
seperti protein mempunyai fungsi bagi
sebagai biofilter sistem yang Mampu
tubuh sebagai zat pembangun atau
memperbaiki kualitas air (Fujaya et
pertumbuhan, zat pengatur dan zat
al.2011, Steffens.1989).
pembakar. Begitu juga peran daun
mangrove sebagai biofilter sistem dapat Pemanfaatan protein untuk
memperbaki kualitas air dan pertumbuhan juga dipengaruhi oleh
meningkatkan kelulushidupan kepiting kandungan nutrisi pakan yang lain,
bakau dan mempengaruhi PER menjadi seperti: Lemak dan karbohidrat. Apabila
tinggi, dan akan menurun seiring kandungan nutrisi dalam pakan (selain
dengan menurunnya kualitas air. protein) berjumlah sedikit atau kurang,
maka protein dalam pakan akan
Net Protein Utilization
dimanfaatkan oleh tubuh untuk tenaga
Nilai Net Protein Utilization atau energi. Menurut Djunaidah et
(NPU) yang diperoleh dalam penelitian al.(2004), Genodepa et al. (2018) pada
tersaji pada Tabel 1. Sedangkan analisis organisme air yang dibutuhkan sebagai
ragam terhadap NPU menunjukkan sumber tenaga adalah protein, kemudian
bahwa tidak terdapat pengaruh yang lemak dan karbohidrat. Kelebihan
nyata (P>0,05) terhadap NPU kepiting energi yang dihasilkan dalam proses
bakau, hal ini menggambarkan bahwa metabolisme akan disimpan dalam
perbedaan pakan segar maupun pelet bentuk daging untuk pertumbuhan dan
tidak memberi pengaruh yang nyata perkembangan kedewasaan.
(P>0,05) terhadap NPU pakan kepiting Ditambahkan pula oleh Genodepa et
bakau. al.(2018) bahwa adanya peran enzim
dalam pencernaan kepiting bakau, maka

57
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

akan membantu dalam memecah protein (2011) mengatakan bahwa


oleh enzim protease sehingga pakan kelulushidupan dari kepiting bakau
lebih mudah dicernak dan akan tidak dipengaruhi oleh pakan dengan
mempercepat pertumbuhan kepiting kandungan protein pakan yang berbeda.
bakau. Penggunaan wadah basket plastic untuk
budidaya kepiting bakau dengan sistem
Tingkat Kelulushidupan
budidaya batery, dimana 1 ekor kepiting
Dari pengamatan yang
dipelihara dalam 1 wadah basket.
dilakukan selama 42 hari terhadap
Sistem budidaya ini akan mengurangi
kelulushidupan kepiting bakau dapat
resiko kematian karena sifat dari
dilihat pada Tabel 1.
kepiting yang suka memangsa sesama
Dari Tabel 1 dapat diketahui (kanibal). Aslamyah dan Fujaya (2009)
bahwa nilai tingkat kelulushidupan mengemukakan bahwa pada kondisi
kepiting bakau adalah pada perlakuan A tertentu kepiting dapat memangsa
(92,5%), B (87,5%) dan C (92,5%). sesama terutama bila terdapat kepiting
Sedangkan analisis ragam dari data lain yang sedang molting. Sedang
kelulushidupan kepiting tidak menurut Aslamyah dan Fujaya (2011),
berpengaruh nyata terhadap sistem batery akan menghasilkan
kelulushidupan kepiting bakau tingkat kelulushidupan dari kepiting
(P>0.05). bakau yang tinggi dibanding sistem

Tingkat kelulushidupan dari budidaya kepiting yang lain.

kepiting bakau yang dipelihara selama Kualitas Air


penelitian cukup tinggi yaitu perlakuan
Pengamatan kualitas air yang
pakan A 92,5%, pakan B 87,5% dan
dilakukan selama 42 hari pada perairan
pakan C 92,5%. Berdasarkan analisis
tambak yang digunakan untuk
ragam varian menunjukkan bahwa
pemeliharaan kepiting bakau dengan
perlakuan perbedaan pakan tidak
sistem batery dapat dilihat pada Tabel 2.
memberikan pengaruh yang nyata
kelulushidupan kepiting bakau
(P>0,05). Hal ini didukung dengan
pendapat Djunaidah et a.l (2004),d).
Kuntiyo.(1992).e). Shelly and Lovatelli

58
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

Tabel.2. Pengamatan kualitas air yang oleh Fujaya dan Alam (2012),
dilakukan selama 42 hari pada
Herlinah.,et al (2010), dan Djunaidah et
perairan tambak yang dipelihara
kepiting bakau dengan system al. (2004) bahwa kandungan nutrient
biofilter system. N,P,K sesuai bagi kehidupan kepiting
Para- Awal Penelitian Akhir Penelitian
meter bakau
Pustaka yang dipelihara.
A B C A B C
< 0,5,
N 0,019 0,017 0,017 0,315 0,302 0,294
KESIMPULAN
a)
< 4,6
P 0,033 0,030 0,028 0,041 0,033 0,030
,b)
K 0,52 0,51 0,47 0,61 0,53 0,50
0,5 – 10 Hasil penelitian menunjukkan
, c)
NH3 0,24 0,25 0,26 0,25 0,27 0,29 bahwa adanya rekayasa pakan (berbeda
< 1,d)
DO 4,2 4,1 4,1 4,0 3,9 3,8 >3,e).
jenis pakan, ikan rucah, wideng dan
< 15,
CO2 10,08 10,21 11,05 11,09 11,25 11,65
c), e)
7,5pellet)
- dan penggunaan biofilter siatem
pH 8 8 8 8 8 8
8,5,d)
Salinit 20daun
- mangrove) memberi pengaruh
20 21 20 23 22 22
as 38,a),d)
26yang
– nyata (P<0,05) terhadap
Suhu 28 29 29 29 30 30 32,d),e)
.
pertumbuhan biomassa mutlak.dan laju
Keterangan: a) Fujaya dan Alam
(2012) pertumbuhan harian (P<0,05). Serta
b) Herlinah.,et al (2010) tidak berpengaruh nyata terhadap,
c) Djunaidah et al (2004)
d) Kuntiyo (1992) terhadap konversi pakan (FCR), rasio
e) Shelly and Lovatelli efisiensi protein (PER), NPU (net
(2011)
protein utility), kelulushidupan.
Hasil pengukuran kualitas air Sedangkan pertumbuhan terbaik
yang diperoleh selama penelitian tertinggi pada budidaya kepiting bakau
berlangsung, terlihat parameter Suhu, dengan sistem batery adalah pakan
Salinitas, DO, Ammonia, Nitrit dan pH. pelet, perlakuan C yaitu (biomas mutlak
Nutrient N, P, K masih dalam kisaran 60.58±2.140bg, Spesifik growth rate
normal untuk pemeliharaan kepiting (0.81±0.022b,% ), FCR (6.07±0.192a),
bakau. Menurut Djunaidah et a.l PER (0.3350±0.170a), NPU
(2004),d). Kuntiyo.(1992).e). Shelly and (45.018±7.964a), dan kelulushidupan
Lovatelli (2011). Masih layak karena (92.50±9.574a %)
sesuai dengan syarat lokasi budidaya
yang baik adalah memiliki parameter UCAPAN TERIMA KASIH

kualitas air seperti berikut: tidak Ucapan terima kasih kami


tercemar, memiliki pH, suhu, oksigen sampaikan kepada Direktur pengabdian
dan salinitas, begitu juga ditambahkan Kepada Masyarakat dan penelitian Dikti

59
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

TA 2008/2009, program Vucer Djunaidah, I.S., M.R. Toelihere, M. I.


Effendie3, S. Sukimin3 dan E.
multitahun, dan Bpk. H. Karimun yang
Riani. 2004. Pertumbuhan dan
telah dipakai tambaknya untuk budidaya Kelangsungan Hidup Benih
Kepiting Bakau (Scylla
kepiting bakau.
paramamosain) yang Dipelihara
pada Substrat Berbeda. Jurnal
DAFTAR PUSTAKA Ilmu Kelautan, Vol. 9(1) : 20–
25.
Aslamyah, S. dan Y. Fujaya. 2009.
Formulasi Pakan Buatan Khusus Effendie, M. I.2002. Biologi Perikanan.
Kepiting yang Berkualitas Yayasan Pustaka Nusatama.
Murah dan ramah Lingkungan. Yogyakarta. 163 hlm.
Jurnal Sains & Teknologi, Seri
Imu-Ilmu Pertanian 9 (2) 133- Funjaya, Y. 2004. Pemanfaatan Ekstrak
141. Ganglion Toraks Kepiting Non-
Ekonomis sebagai Stimulan
Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2011. Perkembangan In Vitro Sel
Respon Molting, Pertumbuhan, Telur Kepiting Bakau (Scylla
dan Komposisi Kimia Tubuh oliviceous). Dalam Trobos. No.
Kepiting Bakau Pada Berbagai 56/ tahun ke-V/ Edisi Mei 2004.
Kadar Karbohidrat-Lemak hlm 11-12.
Pakan buatan Yang Diperkaya
Dengan Vitomolt. Jurnal Sains Fujaya,Y., S. Alamsyah dan Z. Usman.
& Teknologi, Seri Imu-Ilmu 2011. Respon Molting,
Pertanian 9 (2) 133-141. Pertumbuhan dan Mortalitas
Kepiting Bakau (Scylla
Bardach, J.E., Ryther, J.H. and olivacea) yang Disuplementasi
McLarney, W.O. 1972. Vitomolt melalui Injeksi dan
Aquacultur The Farming and Pakan Buatan. Ilmu Kelautan,
Husbandry of Freshwater and 16(4): 211-218.
Marine Organism. John Wiley &
Sons. Canada. 867 pp. Fujiya, Y. dan N. Alam. 2012. Pengaruh
Kualitas Air, Siklus Bulan, Dan
Dirjen Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pasang Surut Terhadap Molting
Pengenalan Sumber Perikanan dan Produksi Kepiting Cangkang
Laut (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Lunak (Soft Shell Crab) di
Penting). Direktorat Jenderal Tambak Komersil. Fakultas Ilmu
Perikanan. Jakarta. 170 hlm. Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makasar.
Dirjen Perikanan. 2004. Petunjuk
Teknis Budidaya Kepiting Herlinah., Sulaeman, dan A. Tenriulo.
Bakau (Scylla serrata). 2010. Pembesaran Kepiting
Direktorat pembuudidayaan. Bakau (Scylla serrata)
Direktorat Jendral Perikanan Di Tambak Dengan Pemberian
Budidaya. Departemen Kelautan Pakan Berbeda. Dalam: Prosiding
dan Perikanan. Jakarta. 19 hlm. Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. Balai Riset Perikanan

60
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

Bududaya Air Payau, Sulawesi Kuntiyo. 1992. Fattening of Mud Crab


Selatan, pp. 169-174. Scylla serrata Froskal in Net
Cage Installed in Drain Canal of
Neil, L., Foterdar, R., dan Shelly, C. Intensive Praw Ponds Fed with
2005. Effect of aciute and Chronic Trash Fish and Praw Pellet. The
Toxicity of Unionized Ammonia Faculty of Fisheries of The
on Mud Crab (Sylla serata) University of The Philippines in
Larvae. Aqua. Res., 36: 927-932. The Visayas. Iloilo. (Thesis). 60
pp.
Idha, A., I. samidjan dan Diana
Rachmawati. 2013. Pemberian Landra, D. F. 1992. Mudcrab Fattening
Kombinasi Pakan Koeng Macan Practices in Philippines. Report
Dan Ikan Rucah Terhadap of The Mud Crab Culture and
Pertumbuhan Dan Kelulushidupan Trade. Bay of Bengal
Kepiting Bakau (Scylla Programme. Madras. Pp. 151-
paramamosain). Journal of 153.
aquaculture management and
technology. Vol 2. Hal 131-138. Lavina. A. Fe. D 1980. Notes on The
Biology and Aquaqulture of
Genodepa J.,C.Zeng.,PC.Southgate. Scylla serrata (F.) De Haan. The
2018. Changes in digestive Seminar-Workshop on
enzyme activities and nutrient Aquabusiness Project
utilization during embryonic Development and Management
development and starvation of II. Iloilo. 32 pp.
newly hatched larvae of the mud
crab, Scylla serrata Mardjono, M., Anindiastuti, Hamid, N.,
J.Aquaculture.Accepted date 27 Djunaida, I.S. dan Satyantini,
April 2018. W.H. 1994. Pedoman
Pembenihan Kepiting Bakau
Giri, N. A., Yunus, Suwirya Ketut dan (Scylla serrata). Balai Budidaya
Marzuqi. M. 2002. Kebutuhan Air Payau Direktorat Jendral
Protein untuk Pertumbuhan Perikanan. Jepara. 40 hlm.
Yuwana Kepiting Bakau Scylla
paramamosain. Jurnal Penelitian Purnamawati dan Dewantoro, E. 2001.
Indonesia Volume 8 Nomor (5). Prospek Budidaya Kepiting
Pusat riset Perikanan Budidaya. Bakau Di Kalimantan Barat.
Jakarta. Hlm. 31 – 36. Warta Penelitian Perikanan
Indonesia Volume 7 Nomer (2).
Hepher, B. 1988. Nutrition of Pond Pusat Riset Perikanan Budidaya.
Fishes. Cambridge University Jakarta. Hlm. 7-12.
Press. New York. 385 pp.
Rosminar. 2008. Kepadaan dan
Keenan C.P., Davie P.J.F and Mann Distribusi Kepiting Bakau (Scylla
D.L. 1998. A Revision of the sp.) serta Hubungannya dengan
Genus Scylla de Haan, 1983 Faktor Fisika Kimia di Perairan
(Crustacea: Decapoda: Pantai Labu Kabupaten Deli
Branchyura: Portunidae). The Serdang, Sekolah Pascasarjana.
Raffles Bulletin of Zoology. 46 Universitas Sumatra Utara.
(1): 217 – 245 Medan. [tesis]. 78 hlm.

61
PENA Akuatika Volume 18 No. 2 September 2019

Shelly, C., and Lovatelli, A. 2011. Mud Srigandono, B. 1985. Rancangan


Crab Aquaculture A practical Percobaan. Universitas
Manual. FAO Fisheries Technical Diponegoro, Semarang 140 pp
Paper. No. 567. Rome, FAO. pp.
57. Steffens, W. 1989. Principles of Fish
Nutrition. Elis Horward Limited,
Simanchala and L. Nayak. 2012. Pen England. 384 PP.
Culture of Mud Crab (Scylla
serrata) in Chilika Lagoon, Tacon, A.G.J. 1987. The Nutrition and
Orissa, East Coast of India. Feeding of Farmed Fish and
DCSI, 7: 109-116. Shrimp - a Training Manual, 1.
The Essential Nutrient. Food
Sopana, A. G., Widyaleksono, T., Aquaculture Organization of
Soedarti, S. 2009. Produktivitas The United Nation , Brazil. 108
Serasah Mangrove di Kawasan pp.
Wonorejo Pantai Timur Surabaya.
Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). Warner, G.F. 1977. The Biologi of
34-41. Crab. Elek Science. London. 202
pp.
Suwirya, K. Marzuki, M. dan Giri, N,
A. 2003. Pengaruh Vitamain C Watanabe. S, Sulistiono and Yokota. M.
dalam Pakan Terhadap 2001. Crabs Resources and
Pertumbuhan Juvenil Kepiting Stock Enhancement. Jurnal
Bakau (Scylla Paramamosain). Ilmu-ilmu Perairan dan
Prociding Penerapan Teknologi Perikanan Indonesia Edisi
Tepat Guna dalam Mendukung Khusus Crustacea. Intitut
Agribisnis. Balai Besar Riset Pertanian Bogor. pp. 85-96.
Perikanan Budidaya Laut Gondol.
Bali. 6 hlm.

62

Anda mungkin juga menyukai