Anda di halaman 1dari 5

ESAI OSTEOPOROSIS

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:


Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pengampu:
Wardah Fauziyah, S.Kep.Ners., M.Kep

Disusun Oleh:

Aulia Nurfadilah (10404016)

KELAS 2A
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK NEGERI SUBANG
2024
Jln Brigjen Katamso No. 37 (Belakang RSUD Subang), Dangdeur, Kec. Subang,
Kab. Subang, Jawa barat 41211
Sudah Tahukah kalian Mengenai Penyakit Silent Epidemic “Osteoporosis”?
Oleh Aulia Nurfadilah

Massa tulang pada lansia adalah massa tulang maksimum yang dicapai
antara usia 18 dan 25 tahun, dikurangi massa tulang yang hilang sejak saat itu.
Massa tulang maksimal ditentukan oleh faktor genetik, faktor nutrisi, status
hormonal, aktivitas fisik, dan kesehatan selama pertumbuhan. Fase pertumbuhan
membangun 90% massa tulang, diikuti dengan fase pengerasan yang berlangsung
dari usia 15 hingga 30 tahun. Proses pembentukan dan resorpsi tulang biasanya
terjadi berpasangan. Pada orang dewasa muda, tulang yang diserap digantikan
oleh jaringan tulang baru dalam jumlah yang sama. Namun apa jadinya jika
tulang tersebut tidak tergantikan dengan yang baru? Maka yang terjadi adalah
pengeroposan tulang atau dalam bahasa medis disebut Osteoporosis.

Osteoporosis merupakan penyakit laten atau silent epidemic karena


pengeroposan tulang terjadi tanpa menimbulkan gejala. Penderita Osteoporosis
mungkin tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap Osteoporosis, dan biasanya
mereka tidak mengetahuinya, hingga tulangnya menjadi rapuh dan patah
(Djuwantono dkk., 2012).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi massa tulang pada orang
lanjut usia. Yang pertama adalah faktor penentu massa tulang yang dipengaruhi
oleh faktor genetik, mekanik, nutrisi, dan hormonal. yang kedua adalah faktor
penentu pengeroposan tulang, antara lain faktor genetik, faktor mekanik,
rendahnya kalsium, protein, hormon estrogen, asupan kafein, dan asupan alkohol
(Vinna, 2023).

Jika Osteoporosis terdeteksi sejak dini dan diobati, hasilnya akan baik.
Namun, jika kondisi ini tidak diobati, hal ini dapat menyebabkan nyeri kronis dan
patah tulang. Risiko Osteoporosis dapat diturunkan melalui penggunaan
bifosfonat, olahraga, dan pola makan kaya kalsium. Sayangnya, bifosfonat tidak
hanya mahal tetapi juga memiliki efek samping yang serius. Selain itu, apakah
obat tersebut dapat mengurangi patah tulang masih menjadi perdebatan. Patah
tulang belakang juga sering terjadi dan dapat menyebabkan kifosis, nyeri kronis,
gangguan pernapasan, dan risiko tinggi terkena pneumonia. Kebanyakan pasien
kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri karena tidak mampu berfungsi
(Porter & Varacallo, 2024).

Adapun tanda-tanda Osteoporosis, begitu Osteoporosis dimulai, kepadatan


tulang perlahan menurun tanpa gejala apapun, Nyeri dapat terjadi secara tiba-tiba
tanpa adanya patah tulang atau cedera. Nyeri hebat mungkin terlokalisasi di area
tulang belakang tempat terjadinya Osteoporosis. Rasa sakitnya mereda ketika
pasien atau penderitanya beristirahat di tempat tidur. Nyeri ringan saat bangun
tidur, bertambah seiring beraktivitas. Serta terjadi penurunan berat badan akibat
penyakit dada dan deformitas tulang belakang (Setiyorini & Wulandari, 2018).

Beberapa pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui apakah


seseorang menderita Osteoporosis. Pemeriksaan radiologi mengukur kepadatan
massa tulang, tampilan khasnya adalah penipisan area kortikal dan trabekuler. Tes
kepadatan massa tulang (densitometri): Jika nilai BMD (Bone Mineral Density) -
2,5 maka terjadi Osteoporosis, jika BMD antara -2,5 dan -1 maka terjadi
osteopenia, dan jika BMD > -1 normal. Metode untuk menilai kepadatan massa
tulang: SPA (Single Photon Absorptiometry), DPA (Dual Photon
Absorptiometry), QCT (Quantitative Computer Tomography). Sono densitometri;
MRI; biopsi tulang dan histomorfometri. Pemeriksaan laboratorium CT scan:
Kadar Ca, alkali fosfatase, HPT, ekskresi fosfat dan hidroksiporin, nilai serapan
1,25-(OH)2-D3 Ca menurun (Setiyorini & Wulandari, 2018).

Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien Osteoporosis dengan terapi


farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi berupa obat Osteoporosis
seperti kalsium, Bifosfat, Kaltisonin, Estrogen atau Vitamin D dan obat penyerta
lainnya. Lalu terapi non farmakologinya yaitu dengan perubahan gaya hidup,
nutrisi, olahraga, dan fisisoterapi (Ahkyar, 2018).

Dalam intervensi farmakologi maupun non farmakologi yang dilakukan


pada pasien Osteoporosis, perawat harus menegakan diagnosa keperawatan sesuai
dengan kondisi pasien. Diagnosa keperawatan pada pasien Osteoporosis adalah
nyeri kronik yang berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis dan
gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
(PPNI, 2016).

Langkah selanjutnya setelah menegakan diagnosa keperawatan yaitu


melakukan rencana keperawatan atau disebut juga intervensi keperawatan.
Intervensi yang dilakukan perawat untuk mengurangi nyeri kronis pada pasien
Osteoporosis menurut PPNI (2018), yaitu dengan observasi terlebih dahulu lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, identifikasi skala nyeri,
identifikasi respons nyeri non verbal dan faktor-faktor yang memperburuk atau
meringankan nyeri. Tindakan yang diberikan bisa dengan memberikan teknik non
farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri misalnya terapi musik, terapi pijat
atapun pemberian aromaterapi.
Lalu dengan kontrol juga lingkungan yang memperberat rasa nyeri,
misalnya suhu rungan, Serta fasilitasi pasien dengan istirahat atau tidurnya dan
dibantu pula dengan mengedukasi dengan menjelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri. Selain itu jika pasien tetap merasakan nyeri yang tidak bisa
dikendalikan lagi, maka dilakukan pemberian obat analgetik. Namun, harus
berkolaborasi terlebih dahulu dengan dokter. Setelah rencana tindakan tersebut
dilakukan diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil, kemampuan
menuntaskan aktivitas meningkat, keluhan nyeri menurun, dan ketegangan otot
menurun (PPNI, 2018).

Intervensi selanjutnya yang dilakukan perawat untuk mengurangi


gangguan mobilitas fisik pada pasien Osteoporosis menurut PPNI (2018), yaitu
observasi apakah ada nyeri atau keluhan fisik lainnya, identifikasi toleransi fisik
melakukan saat ambulasi, monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
atau selama melakukan ambulasi. Fasilitasi juga aktivitas ambulansi
menggunakan alat bantu dengan libatkan keluarga dalam meningkatkan ambulansi
pasien. Tidak lupa berikan edukasi mengenai tujuan dan prosedur tindakan
ambulansi, ambulansi dini, dan ambulansi sederhana misalnya berjalan dari
tempat tidur ke kursi. Perlu diketahui bahwa rencana tindakan atau intervensi
yang diberikan kepada pasien harus spesifik, jelas, dan terukur. Rencana
pengobatan didasarkan pada rencana medis dan saling melengkapi untuk
meningkatkan kesehatan pasien. Setelah rencana tindakan tersebut dilakukan
diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil pergerakan ekstemitas
meningkat, kekuatan otot meningkat, dan rentang gerak meningkat (PPNI, 2018).

Osteoporosis merupakan penyakit yang menyebabkan tulang menjadi


keropos dan rapuh sehingga meningkatkan risiko terjatuh dan patah tulang.
Cedera tulang ini sering terjadi dan seringkali tanpa gejala hingga patah tulang
pertama kali terjadi. Maka perawat perlu meyampaikan edukasi kepada pasien
dengan pengetahuan yang tepat, untuk mengurangi risiko terkena Osteoporosis
atau komplikasi terkait sangatlah penting. Perawat sebaiknya menilai pengetahuan
pasien tentang Osteoporosis dan memberikan edukasi mengenai asupan makanan
(seperti meningkatkan asupan kalsium dan vitamin D, mengenali makanan tinggi
kalsium, dan membatasi minuman soda atau cola yang biasanya tinggi fosfor),
dan berolahraga. Saat memberikan edukasi kepada pasien, perawat juga harus
menilai potensi hambatan seperti terbatasnya akses terhadap makanan sehat di
masyarakat, terbatasnya pendapatan, atau hambatan bahasa. Perawat juga
bertanggung jawab untuk mengajarkan pentingnya pemeriksaan rutin (seperti tes
kepadatan tulang) dan pilihan gaya hidup sehat (seperti berhenti merokok dan
mengurangi asupan alkohol)
DAFTAR PUSTAKA

Ahkyar, A. W. (2018). Studi Profil Pengobatan Osteoporosis pada Pasien Rawat Jalan Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Tahun 2016. Universitas Negeri Syarifudin Hidayatullah
Jakarta.

Djuwantono, T., Bayuaji, H., & Permadi, W. (2012). Step By Step Penanganan Kelainan
Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas dalam Praktikb Sehari-hari (G. Ginanjar & W.
Andi, Ed.). CV Sagung Seto.

Porter, J. L., & Varacallo, M. (2024). Osteoporosis. StatPearls Publishing.

PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan. DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

Setiyorini, E., & Wulandari, N. A. (2018). Asuhan Keperawatan Lanjut Usia dengan Penyakit
Degeneratif. Media Nusa Creative.

Vinna, A. F. (2023). Asuhan Keperawatan Gerontiik pada Klien dengan Osteoporosis di Panti
Jompo Bhakti Abadi Kota Balikpapan Tahun 2023. Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai