Anda di halaman 1dari 3

SUMMARY SKENARIO 1

BLOK FARMASI RUMAH SAKIT

Nama : Fairuz Syafira Rahmah


NIM : 21811023
Klp :B

Pembahasan :
Osteoporosis merupakan penyakit klinis yang ditandai dengan penurunan massa tulang, gangguan pada
mikroarsitektur tulang dan gangguan pada kekuatan tulang dimana kejadian ini menyebabkan rentan terhadap patah
tulang (DiPiro, 2015). Kejadian osteoporosis yang sering terjadi yaitu pada tulang belakang, pinggul, pergelangan tangan.
Selain itu dapat terjadi pada lengan, dan tulang rusuk lainnya (NICE, 2021).

Osteoporosis merupakan “silent disease” dimana tidak ada gejala yang jelas sebelum pasien mengalami patah tulang,
kejadian ini hanya menyebabkan penurunan massa tulang tanpa adanya gejala khusus.
Akan tetapi, gejala yang dapat pasien rasakan yaitu nyeri, penurunan tinggi badan, terjadi bungkuk pada punggung
(NICE, 2021).

Faktor risiko terjadinya osteoporosis yaitu dapat dibagi menjadi yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor risiko
osteoporosis yang dapat diubah yaitu,
(1) Usia, ketika seseorang lanjut usia maka proses resorpsi tulang semakin tinggi dibandingkan pada pembentukan
tulang; (2) Jenis Kelamin, jenis kelamin perempuan lebih berisiko terkena osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki.
Hal ini, dihubungkan terhadap proses menopause pada perempuan;
(3) Ras dan etnik;
(4) riwayat mengalami patah tulang;
(5) wanita menopause.
Selain itu, terdapat faktor risiko yang dapat diubah yaitu,
(1) Penggunaan terapi glukokortikoid;
(2) kebiasaan merokok;
(3) kebiasaan mengkonsumsi alkohol;
(4) kurangnya konsumsi kalsium;
(5) kurang berolahraga; (6) sering terjatuh (DiPiro, 2015).
Selain itu osteoporosis juga dapat dibagi menjadi osteoporosis primer dan sekunder. Primer terlihat pada pasien tidak
mengalami mekanisme patogenik dan sekunder diakibatkan oleh suatu penyakit (Meeta, 2019).
Diagnosis osteoporosis dilihat dari ada atau tidaknya kerapuhan dan patah dan atau nilai BMD dari pasien khususnya
wanita menopause. Metode pemeriksaan kepadatan tulang dilihat dari tes DXA ( Dual X-ray Absorptiometry) dimana
ditampilkan dalam nilai T-score. Nilai T-score merupakan suatu nilai yang diperoleh dari standar deviasi kepadatan
tulang yang dibandingkan dengan standar deviasi kepadatan tulang dewasa normal dengan jenis kelamin yang sama.
Diagnosis osteoporosis dapat dibagi menjadi 4 yaitu, (1) normal, yaitu T-score diatas -1; (2) osteopenia atau kepadatan
tulang rendah yaitu ketika nilai T-score -1 sampai -2,5; (3) osteoporosis yaitu ketika nilai T-score dibawah atau sama
dengan -2,5;(4) severe osteoporosis yaitu ketika nilai T-score dibawah -2,5 dengan kejadian patah tulang (Meeta, 2020).
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan pada pasien osteoporosis yaitu dengan melakukan diet vitamin D
yaitu 800 - 1000 unit sehari, selain itu melakukan diet kalsium yaitu 1000-1200 mg sehari. Pasien harus melakukan
kebiasaan hidup sehat pada tulang dengan melakukan olahraga, diet nutrisi, menghindari penggunaan alkohol dan
berhenti merokok. Selain itu juga melakukan pencegahan risiko jatuh. Terapi farmakologi yang dapat dilakukan yaitu
dengan memilih first line therapy pada osteoporosis ini yaitu golongan bifosfonat yaitu alendronat, risedronat, asam
zoledronate. Terapi alternatif yang dapat dipilih yaitu abaloparatide, ibandronate, raloxifene. Terapi terakhir yang dapat
dipilih yaitu calcitonin intranasal. Bifosfonat merupakan terapi yang dipilih untuk pasien osteoporosis, osteoporosis
postmenopausal dan terapi corticosteroid induced osteoporosis. Mekanisme kerja dari bifosfonat yaitu dengan meniru
kerja dari pirofosfat yang berfungsi menghambat resorpsi tulang. Bifosfonat bekerja dengan menghambat prenilasi dan
menghambat keterikatan guanosin trifosfat dengan protein yang ada di tulang. Sehingga, dapat menurunkan
pematangan osteoklas. Sehingga kekuatan dan massa tulang meningkat (DiPiro, 2015). Dosis yang dapat diberikan pada
alendronat yaitu dosis pencegahan 5 mg/hari dan dosis terapi yaitu 10 mg/ hari atau 70 mg/minggu. Efek samping yang
dapat dirasakan pasien yaitu dispepsia dan maag (AHSF, 2011). Pengobatan yang dilakukan berfungsi untuk
meningkatkan massa tulang, pencegahan patah tulang dan meningkatkan kesehatan tulang selain itu tujuan terapi
osteoporosis yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (DiPiro, 2015).
Osteoarthritis adalah merupakan penyakit tulang rawan yang terjadi akibat kegagalan kondrosit dalam menjaga
keseimbangan yang tepat antara pembentukan tulang dan penghancurannya. Sehingga, kondisi ini menyebabkan
hilangnya tulang rawan yang ada di sendi, mengalami peradangan lokal, perubahan patologis pada tulang di bawahnya
dan mengalami kerusakan lebih lanjut. Kerusakan ini dipicu akibat tulang rawan tersebut mengenai tulang yang ada
diatasnya (DiPiro, 2015).
Gejala yang paling sering dialami pasien yaitu nyeri pada sendi yang dimana pasien akan mengalami penurunan fungsi
dan gerak. Faktor risiko pasien osteoarthritis yaitu usia, obesitas, jenis kelamin, pekerjaan, partisipasi dalam suatu
olahraga tertentu, cedera sendi atau pernah melakukan pembedahan dan genetik. Obesitas merupakan faktor utama
untuk mencegah terjadinya OA. Semakin besar berat badan seseorang maka semakin tinggi pula kebutuhan atau
penumpuan pada sendi (DiPiro, 2015).
Terapi pada OA tergantung pada tingkat keparahan dari sendi yang terganggu, penyakit komorbid pasien, obat
yang digunakan dan alergi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk mencegah dan memperlambat
terjadinya OA yaitu dengan melakukan kegiatan olahraga, penurunan berat badan, tindakan operasi dan edukasi pasien.
Terapi farmakologi yang dari OA yaitu penggunaan obat untuk mengurangi rasa nyeri pasien. First Line terapi yang
dipilih yaitu paracetamol maksimal 4 gram/hari. Terapi alternatif yaitu Topikal NSAID, Kortikosteroid, tramadol, dan oral
NSAID. Jika belum efektif maka dapat diberikan analgetik Opioid, duloxetine (untuk OA lutut) dan operasi (DiPiro, 2015).
Drug related problem (DRP) merupakan suatu kejadian atau permasalahan yang berhubungan dengan terapi
obat yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien (Andayani et al, 2020).
Permasalahan terkait obat dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yaitu terapi tanpa indikasi, indikasi tanpa
terapi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis yang terlalu rendah, dosis yang terlalu tinggi, reaksi efek samping, dan
kepatuhan pasien.
Setelah melakukan penentuan DRP lalu, apoteker dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan
evaluasi dan dokumentasi.Tujuan monitoring untuk melihat tujuan akhir atau outcome terapi pasien dan melihat
kemungkinan terjadi kesalahan dalam terapi (Menkes RI, 2016).
Matthew A. Wallig, Kevin P. Keenan, in Haschek and Rousseaux's Handbook of Toxicologic Pathology (Third Edition),
2013
Gyssens IC. 2005. Audit for monitoring the quality of antimicrobial prescription. I.M. Gould, Jos W.M. van der Meer,
editor. Antibiotics Policies: Theory and practice. New York:. Spinger.
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health System Pharmacists. 2011. AHFS Drug Information. United States of America.
Andayani, T. M. Rahmawati, F., Rokhman, M. R. 2020. Drug Related Problem. Identifikasi Faktor Risiko dan
Pencegahannya. UGM Press, Yogyakarta.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc, United States.
Meeta, M., Marwah, R., Sahay, R. Guidelines Clinical Practice Guidelines on Postmenopausal Osteoporosis: An Executive
Summary and Recommendations. Jornal of Mild-Life Health, 11, 69-112.
Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
kefarmasian di Rumah sakit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
National Institute for health and Care Excellence. 2021. Osteoporosis: Assessing the risk of fragility fracture. NICE, UK.

Anda mungkin juga menyukai