Anda di halaman 1dari 2

Putusan Hakim dan Kecerdasan Artifisial

Kecerdasan artifisial bisa digunakan untuk memberikan rekomendasi kepada hakim sebelum
memutus suatu perkara.

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa dikatakan sebagai upaya
Mahkamah Agung mencegah disparitas putusan dalam kasus korupsi. Disparitas putusan adalah
salah satu isu yang masih relevan untuk dibahas terkait dengan putusan seorang hakim. Di satu sisi,
adanya pedoman pemidanaan membuat seorang hakim tidak bebas dalam menjatuhkan putusan.
Pedoman ini bisa juga dianggap tidak sesuai dengan asas kemerdekaan hakim.

Di sisi yang lain, pedoman pemidanaan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya disparitas putusan
dan mendorong akuntabilitas seorang hakim dalam memutus. Penting bagi seorang hakim memutus
berdasarkan pada pertimbangan yang rasional dan sesuai dengan fakta hukum di persidangan.
Terkait dengan pedoman pemidanaan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) sudah mengatur pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan
diatur di dalam Pasal 53–Pasal 56 KUHP Baru.

Pasal 53 ayat (1) KUHP Baru menjelaskan bahwa dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib
menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) KUHP Baru menjelaskan bahwa
apabila hakim dalam mengadili suatu perkara mengalami pertentangan antara kepastian hukum dan
keadilan, maka hakim wajib mengutamakan keadilan. Kemudian, di dalam Pasal 54 KUHP baru
menjelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana hakim harus mempertimbangkan sebelas kriteria
yaitu: bentuk kesalahan pelaku tindak pidana; motif dan tujuan melakukan tindak pidana; sikap batin
pelaku tindak pidana; tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; cara
melakukan tindak pidana; sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana; riwayat
hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana; pengaruh pidana terhadap masa
depan pelaku tindak pidana; pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

Penjelasan ini memperlihatkan bahwa pedoman pemidanaan di dalam KUHP baru ingin memastikan
putusan hakim menjadi lebih akuntabel karena didasarkan pada pertimbangan yang cukup. Selain
terkait akuntabilitas dalam memutus, alasan mengapa pedoman pemidanaan diperlukan adalah
karena hakim juga seorang manusia yang sering terjebak pada pada bias dan noise dalam mengambil
suatu putusan. Terkait dengan Bias dan Noise ini dijelaskan dengan baik oleh seorang psikolog yang
juga peraih hadiah nobel di bidang ekonomi yaitu Daniel Kahneman.

Bias adalah kumpulan gangguan yang tidak langsung memengaruhi sasaran meski bertumpuk pada
salah satu sisi saja. Sementara itu, noise adalah kumpulan gangguan yang terpencar ke mana-mana
dan ada salah satu yang tepat mengenai sasaran. Bias dan Noise menurut Kahneman adalah
penyebab utama terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan (error). Oleh sebab itu, salah
satu upaya untuk mengurangi Bias dan Noise dalam pengambilan keputusan oleh hakim adalah
dengan menerapkan sentencing guideline.

Lebih lanjut dalam buku karya Kahneman menjelaskan bagaimana penerapan sentencing guideline di
Amerika Serikat yang diinisiasi oleh Hakim Marvin Frankel. Hasilnya berpengaruh terhadap
berkurangnya noise dalam pemberian hukuman di pengadilan federal. Sentencing guideline yang
diwajibkan kepada para hakim menghasilkan berkurangnya disparitas hukuman di pengadilan
federal. Namun, ketika sentencing guideline tidak lagi diwajibkan justru disparitas hukuman di
pengadilan federal naik dua kali lipat. Kahneman juga menjelaskan dua upaya yang dapat digunakan
untuk mengurangi error. Pertama adalah menggunakan pendekatan statistik. Kedua adalah dengan
bantuan algoritma komputer untuk menghasilkan putusan yang lebih terprediksi. Jadi, penggunaan
kecerdasan artifisial (artificial intelligence) dalam pengambilan keputusan menjadi semakin relevan.

Terkait dengan penggunaan kecerdasan artifisial (artificial intelligence), Pemerintah Indonesia


melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi sudah menerbitkan Surat Edaran Menteri
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan
Artifisial. Surat Edaran itu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kecerdasan artifisial yaitu bentuk
pemrograman pada suatu perangkat komputer dalam melakukan pemrosesan dan/atau pengolahan
data secara cermat. Sementara itu, yang dimaksud dengan Etika Kecerdasan Artifisial adalah
landasan yang mengatur prinsip dan norma etis dalam penyelenggaraan pemrograman berbasis
kecerdasan artifisial yang didasari dengan nilai inklusivitas, transparansi, kemanusiaan, dan
keamanan dalam penyelenggaraan sumber daya data yang tersedia. Surat Edaran itu juga
menjelaskan tanggung jawab penggunaan kecerdasan artifisial yang salah satunya memastikan
kecerdasan artifisial tidak diselenggarakan sebagai penentu kebijakan dan/atau pengambil
keputusan yang menyangkut kemanusiaan. Rupanya dari sini dapat disimpulkan bahwa penggunaan
kecerdasan artifisial di Indonesia saat ini belum bisa digunakan untuk menggantikan putusan hakim.
Upaya maksimal yang paling mungkin untuk diterapkan adalah menggunakan kecerdasan artifisial
untuk memberikan rekomendasi kepada hakim sebelum memutus suatu perkara.

Sebagai hakim, penulis menilai perlu ada inovasi bagaimana menggunakan kecerdasan artifisial
dalam mengurangi disparitas putusan oleh hakim. Perlu juga ada keseimbangan pendekatan antara
pendekatan teknologi dengan pendekatan humanis. Pendekatan teknologi digunakan untuk
mengurangi error sedangkan pendekatan humanis digunakan agar setiap putusan yang diberikan
masih memanusiakan manusia.

Anda mungkin juga menyukai