Anda di halaman 1dari 3

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : UCI SANTIKA

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042427943

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4310/Tindak Pidana Korupsi

Kode/Nama UT Daerah : 17/ UNIVERSITAS TERBUKA JAMBI

Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
1.

1. Argumentasi untuk penerapan pidana mati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
dapat didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, korupsi merupakan tindakan kejahatan
yang merugikan banyak pihak, termasuk negara dan masyarakat secara luas. Penerapan
pidana mati dapat dianggap sebagai bentuk hukuman yang sepadan dengan tingkat kerugian
yang ditimbulkan oleh korupsi tersebut.

Selain itu, teori tujuan pemidanaan menyatakan bahwa hukuman harus memiliki efek jera
yang kuat untuk mencegah terulangnya tindakan kejahatan. Penerapan pidana mati bagi
koruptor dapat menjadi deterrensi yang efektif bagi para pelaku korupsi lainnya dan
masyarakat secara umum, sehingga dapat mengurangi kasus korupsi di masa depan.

2. Legalitas penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) dari undang-
undang tersebut menyebutkan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

3. Mengenai permasalahan yuridis dalam rumusan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terkait dengan unsur "pengulangan tindak pidana" (recidive), mungkin terdapat
ketidakjelasan atau kekurangan dalam rumusan hukum tersebut. Perlu dilakukan kajian lebih
lanjut untuk mengklarifikasi bagaimana unsur recidive harus diinterpretasikan dan
diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi.

Selain itu, mungkin terdapat pertimbangan etis dan moral dalam penerapan pidana mati
terhadap pelaku korupsi, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan kepatutan hukuman. Oleh
karena itu, penting untuk mempertimbangkan secara menyeluruh dampak dan implikasi dari
penerapan pidana mati dalam pemberantasan korupsi, serta memastikan bahwa hukuman
yang dijatuhkan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.

2.

KPK memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum terhadap para tersangka meskipun
jumlah barang bukti yang diperoleh jauh di bawah Rp. 1.000.000.000,-. Hal ini berdasarkan Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyatakan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Meskipun nilai barang bukti yang diperoleh dalam kasus ini hanya sebesar Rp. 156.758.000,-, hal ini
tidak membatalkan kewenangan KPK untuk melakukan penindakan terhadap para tersangka. Nilai
uang bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan seseorang
sebagai tersangka atau melakukan penuntutan. Faktor lain seperti alat bukti lainnya, termasuk
rekaman percakapan, kesaksian saksi, dan dokumen-dokumen yang relevan juga dianggap dalam
proses penyelidikan dan penuntutan.

Selain itu, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada tindakan
penggelapan uang atau aset dengan nilai tertentu, tetapi juga mencakup tindakan korupsi lainnya
seperti penerimaan suap atau memberi suap. Oleh karena itu, KPK memiliki kewenangan untuk
menindaklanjuti kasus korupsi seperti suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama, meskipun nilai
barang bukti yang diperoleh tidak mencapai Rp. 1.000.000.000,-.

Anda mungkin juga menyukai