HKUM4309 Tindak Pidana Khusus - Fajar
HKUM4309 Tindak Pidana Khusus - Fajar
TUGAS 2
2.
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara historis UU Pengadilan HAM lahir
karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM
berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum. Ini merupakan wujud dari kepedulian
negara terhadap warga negaranya sendiri. Negara menyadari bahwa perlunya suatu
lembaga yang menjamin akan hak pribadi seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan
nantinya setiap individu dapat mengetahui batas haknya dan menghargai hak orang
lain. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan pelanggaran HAM berat untuk
kedepannya.
Meskipun KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga mengatur tentang jenis
kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan/penganiayaan, perkosaan, dan kejahatan berencana lainnya, namun jenis
kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa
(ordinary crimes). Bila dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
diatur dalam Statuta Roma 1998, seharusnya memenuhi beberapa unsur atau
karakteristik tertentu agar bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Sebagaimana ditegaskan sebelumnya bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan
extra-ordinary crimesyang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan
yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan begitu, mestinya
standar konvensional KUHAP akan sulit diharapkan bisa membongkar kejahatan yang
tidak hanya dilakukan secara personal/individual, melainkan melalui organisasi yang
rapi, kuat, dan memiliki pengaruh besar terhadap kekuasaan. Jangkauan KUHAP inilah
yang kurang memenuhi standar hukum hak asasi manusia internasional, khususnya
menyangkut hukum acara terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat. Misalnya,
perlunya penerapan yang menyandarkan pada praktek hukum peradilan pidana
internasional dalam soal pembuktian. Dalam praktek peradilan internasional yang
menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat
justru lebih banyak menampilkan penggunaan alat-alat bukti di luar ketentuan hukum
yang diatur oleh KUHAP, seperti rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang
berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan
tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan
berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini
yang terkait dengan kasus yang disidangkan.
Yang menarik sebagai kekhususan dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah alasan
penahanan. Alasan penahanan dalam hukum acara ini didasarkan atas alasan subyektif
dari penyidik atau majelis hakim atas kondisi yang disyaratkan tersebut. Dengan
demikian, pertimbangan atas adanya bukti permulaan yang cukup, kekhawatiran akan
menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah
alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau
hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP
yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan
kepada tersangka maupun terdakwa.
3.
Kasus di atas jelas merupakan salah satu alasan bisa di pidananya seseorang. Dalam
aturan hukum bahwa ketika ada yang melakukan tindak pidana kita bisa melaporkan
hal tersebut kepada aparat penegak hukum. Bu Lela berdasarkan pada Undang-Undang
Narkotika No 35 Tahun 2009 telah mengatur sanksi-sanksi yang diberikan pada tindak
pidana Narkotika bisa dikenai Pidana sebagaimana yang dijelaskan bahwa Tindak
pidana bagi orang yang tidak melaporkan Adanya Tindak pidana Narkotika (Pasal 131).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
lama banyak Rp. 50.000,000 (lima puluh juta rupiah).
Urgensi diaturnya kewajiban setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika
adalah untuk menumbuhkan kesadaran dan peran serta yang nyata bagi masyarakat
dalam memberantas tindak pidana narkotika. Hal tersebut tertulis dalam Naskah
Akademik pembentukan UU Narkotika yang secara konkrit terwujud dalam ketentuan
Pasal 131 UU Narkotika. Pasal diatas dengan jelas dan tegas akan memberikan sanksi
pidana penjara kepada setiap orang yang tidak melaporkan tindak pidana yang terjadi
dalam wilayah kekuasaannya.
Sumber:
1. Buku Materi Pokok (BMP) HKUM4309, Tindak Pidana Khusus , Universitas Terbuka.
2.https://jatim.bnn.go.id/tindak-pidana-pencucian-uang-money-laundering-dalam-
transaksi/
3.https://permadin.or.id/images/pdf/hukumacara/HUKUM%20ACARA
%20PENGADILAN%20HAM.pdf
4. Cuncun Kurniadi,Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia,
Jurnal, 2019.