Anda di halaman 1dari 2

Manggarai! Manggarai! Ayo, buruan!

” Kondektur bus terus berteriak-teriak memberitahukan jurusan


yang dituju bus ini.

Aku bergegas menuju bus itu yang sedang mangkal di Jalan Raya Pasar Minggu ini. ”Manggarai?”
Kondektur mengangguk.

Aku segera duduk deret kedua kursi terluar, dekat lorong. Tidak lama berselang, beberapa
penumpang naik dan menambah sesak bus berwarna merah ini. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku.
Aryati…. . Busyet! Ini kan zaman komputer. Hebat juga ada yang memutar lagu keroncong.

Ah, lagu Aryati itu yang dibawakan Mus Mulyadi itu seperti membawaku saat berada di rumah
simbah dulu di pelosok Sleman sana. Setelah cukup lama mangkal di dekat terminal, bus mulai
melaju perlahan, menyusuri Jalan Raya Pasar Minggu yang mulai lengang.

lagu keroncong itu malah membuatku mengantuk. Bekerja selama sepekan dari malam hari hingga
dini hari membuat fisikku dengan mudah terkuras habis. Kadang aku menyiasatinya dengan tidur di
bus. Sering kali aku terbangun, justru di Terminal Manggarai. Mau tidak mau, aku membayar ongkos
dobel untuk sampai kantor. Aku harus naik bus lagi untuk menuju kantorku di Jalan Soepomo.

Sejatinya, sih, bisa saja naik ojek atau kendaraan tuhan alias bajaj, tapi ongkosnya lebih baik aku
belikan makan malam seafood yang lezat. Bus berguncang dengan hebat. Mungkin ada sebuah
lubang raksasa yang tidak dilihat oleh sopir bus. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati......
Samar-samar aku mendengar lagu itu lagi. Masya Allah, masih lagu yang sama? Aku ingin
memejamkan mata tetapi belum bisa.

Keterkejutan membuatku sulit untuk membuat mata kembali tertutup. "Bandung lautan api ini hanya
taktik. Saya setuju, bung." "Nanti kalau di Yogyakarta, kita masuk pasukan mana, ya?" "Ah, pasukan
mana saja,

bung. Kita berjuang demi bangsa dan negara. Mau pasukan Jawa, Ambon, Bugis,atau Aceh, saya tidak
peduli! Yang penting negara ini merdeka. ".Kok, malam-malam begini ada yang bicara soal
kemerdekaan? Wah, Indonesia sudah merdeka dari penjajahan Belanda, tapi aku tidak tahu kapan
lepas dari penjajahan bangsa sendiri. Aku membuka mataku lebar-lebar. Perlahan, aku melihat bus
yang sama, tetapi dengan orang-orang yang berbeda. Ada satu keluarga yang tengah duduk bersama.
Ada tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Aku mengucek-ucek mataku. Tidak salah lihat, nih?
Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati..... Aku memalingkah pandangan ke sekeliling. Beberapa
orang menyapa dengan ramah. "Merdeka!" "Merdeka!" "Merdeka, bung!" "Merdeka juga!" jawabku
dengan lantang. "Bung sepertinya bukan tentara atau pengungsi? Apa pekerjaan bung? Oh, maaf,
nama bung siapa?" "Saya Pratama. Saya penulis infotainment." "Wah, bung ini seorang penulis?
Wartawan?. Kawan-kawan, di bus ini ada kawan seperjuangan seorang wartawan!" "Wartawan?"
"Wartawan?" "Kawan dari Rosihan Anwar atau Mochtar Lubis?" "Bukan, saya penulis biasa," kilahku
merendah. "Jangan begitu, bung. Dalam perjuangan tidak ada yang biasa atau luar biasa. Semuanya
berjasa kepada negara. Bung merasa diri sebagai penulis biasa, tetapi di mata kami, bung adalah
penyebar berita perjuangan bagi bangsa dan negara. Perjuangan kami akan bung tulis, lantas dimuat
di surat kabar, kemudian rakyat tahu bagaimana kami berjuang. Bangsa ini akan semakin
bersemangat memperjuangkan kemerdekaannya.

ketemu dengan para pejuang yang bicara soal kemerdekaan! Aku pusing! Aku butuh Aspirin dengan
segera! Perbincangan seputar kemerdekaan terus berlanjut. Aku tambah pusing sebelas. keliling.
Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati..... Aku kembali jatuh tertidur. "Manggarai! Manggarai!
Habis! Habis!" Aku masih terlelap dalam kantukku. kondektur seraya menguncang tubuhku. Aku
terperanjat. "Manggarai? Bukan Yogyakarta?" "Lho, abang mau ke mana?" "Soepomo." "Sudah lewat,
bang. Terus kenapa abang mau ke Yogya segala?" tanya kondektur bingung. "Salah sebut, "kilahku.
"Oh." Aku segera melihat sekeliling. Benarini Terminal Manggarai. Beberapa bus merah sedang
mangkal di sini. Orang-orang berseliweran. Kondektur berteriak-teriak. Ojek-ojek menunggu

Pedagang menanti pembeli. Martabak sedang dibuat. Pasaraya Manggarai tutup. Pak satpam sedang
berjaga. Halte busway sepi. Ah, aku sudah di Manggarai, bukan ke Yogyakarta. Aku melangkah turun
dan hendak menuju ke seberang. "Abang mau ke Soepomo?" tanya kondektur. Aku mengangguk.
"Mobil ini nanti balik lagi ke sana. Aku ingin melangkah dan naik ke bus yang sama, tapi tiba-tiba. aku
urungkan niatku itu. Aryati. Engkaulah bunga di tamanku. Aryati..... Lagu itu lagi! Lagu itu lagi! Aku
menggeleng pelan lantas melangkah pergi dari bus itu.

Kondektur tidak ambil pusing. Aku berjalan menuju tempat ojek biasa mangkal. Malam ini aku mau
naik ojek saja. Aku tidak ingin naik bus itu lagi. Aku ingin sampai secepatnya ke Soepomo. Aku tidak
ingin mendengar lagu keroncong itu lagi, lebih baik telingaku mendengar lagu "Kucing Garong"saja.
Lebih aman!

Anda mungkin juga menyukai