Anda di halaman 1dari 4

Nama : Khoiriah Ramadhani

NIM : B011181466

FAKULTAS HUKUM - UNIVERSITAS HASANUDDIN


UJIAN AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah : Kejahatan Korporasi


Semester/Thn. Akademik : Akhir/2020-2021
Sifat Ujian : Terbuka

POSISI KASUS
Mat (laki-laki, 37 tahun) seorang Direktur Utama PT. Angin Ribut yang sekaligus
merupakan Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Politik “ Partai
Kuda Hitam” Sulawesi Timur.
Mat kemudian mengikutkan perusahaannya dalam tender pengadaan vaksin untuk
sapi yang diselenggarakan oleh Dinas Peternakan Sulawesi Timur. Perusahaan Mat
kemudian memenangi tender tersebut dengan nilai Rp. 10 miliar. Perusahaan Mat
memenangi tender mengingat Mat telah merekayasa agar pengadaan vaksin tersebut
jatuh pada perusahaanya.
Setelah memenangi tender dan menerima dana, perusahaan Mat melakukan
pengadaan vaksin tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi dan jumlah yang ditentukan.
Keuntungan dari harga pengadaan vaksin senilai Rp. 2,5 miliar disetorkan Mat ke
kas partai politiknya dan selanjutnya oleh partai politiknya digunakan sebagai dana
operasional partai politik. Namun kemudian Mat dan perusahaannya diperiksa oleh
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Timur .

Pertanyaan : Jawab dengan argumentasi hukum :

1. Tindak pidana apakah yang dapat disangkakan terhadap Partai Politik “Partai
Kuda Hitam” dalam contoh kasus di atas ?
2. Apakah Partai Politik “Partai Kuda Hitam” dalam contoh kasus di atas dapat
dipertanggungjawabkan karena melakukan tindak pidana ? Jika ya, jelaskan
tindak pidananya, Jika tidak jelaskan dasar argumentasinya !
3. Siapakah yang dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang
dilakukan oleh partai politik ?

Jawaban :

1. Berdasarkan contoh kasus yang telah diuraikan dalam posisi kasus diatas,
tindak pidana yang dapat di persangkakan terhadap Partai Politik “Partai Kuda
Hitam” adalah tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Ya, kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh kumpulan


orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik
dapat dianggap sebagai korporasi karena partai politik merupakan badan
hukum yang dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan terhadap orang atau
badan lain.
Dalam kasus ini Mat merupakan pengurus dari Partai Politik “ Partai
Kuda Hitam” Sulawesi Timur yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan
Pengurus Wilayah (DPW) yang melakukan tindak Pidana Korupsi
sebagimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 20
tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak pidana Korupsi bahwa :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah orang perorangan
atau korporasi. Oleh karena Mat sebagai pengurus partai politik “Partai Kuda
Hitam” telah melakukan korupsi dan dilakukan untuk memperkaya partai
politiknya, maka partai politik tersebut juga dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Hal ini tercantum dalam pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi, bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.”
Formulasi norma Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13
Tahun 2016 telah menjadi dasar hukum untuk menetapkan Partai Kuda Hitam
sebagai badan hukum yang dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana
korupsi. Alasan penilaian kesalahan terhadap Partai Kuda Hitam selaku badan
hukum dari norma Pasal 4 tersebut adalah;
a. Partai Kuda Hitam memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak
pidana korupsi atau tindak pidana korupsi tersebut dilakukan untuk
kepentingan Partai Kuda Hitam, yakni pembiayaan dana operasional
Partai Kuda Hitam;
b. Partai Kuda membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi yang
dilakukan anggota/pengurus partainya;
c. Partai Kuda Hitam tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana.
Namun, Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada Mat
selaku pengurus partai politik dan Korporasi “Partai Kuda Hitam” haruslah
dianggap terpisah. Dengan demikian Mat sebagai pengurus dan Korporasi
(Partai Kuda Hitam) harus menanggung pertanggungjawaban pidana masing-
masing, yaitu Mat yang telah melakukan unsur-unsur dalam pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor diberi sanksi pidana pokok berupa penjara dan pidana denda,
sedangkan Partai Politik “Partai Kuda Hitam” diberi sanksi pidana pokok
berupa denda dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Hal
ini juga telah diatur dalam pasal 20 ayat (7) UU Tipikor yang berbunyi :
“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah 1/3 (satu pertiga).”
Selain pidana denda, untuk korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a) Pengumuman putusan hakim,
b) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi,
c) Pencabutan izin usaha,
d) Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi,
e) Perampasan aset korporasi untuk negara, dan/atau;
f) Pengambilalihan korporasi oleh negara.
3. Yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang
dilakukan oleh partai politik ialah pengurus yang melakukan tindak pidana
dari partai politik dan juga partai politik itu sendiri.
Pengurus partai politik yang melakukan tindak pidana dapat dimintai
pertanggungjawaban karena ia yang melakukan semua unsur-unsur dari
tindak pidana kejahatan korporasi guna memberi keuntungan pada partai
politiknya. Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana sifatnya pribadi hal
ini berarti bahwa barangsiapa yang melakukan tindak pidana, maka ia harus
bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut sepanjang tidak ditemukannya
dasar penghapusan pidana.
Dalam hal tindak pidana kejahatan korporasi yang dilakukan oleh
pengurus partai politik, maka pengurus yang bersangkutan harus menanggung
pertanggungjawaban pidananya berupa pidana penjara dan pidana denda
sesuai dengan unsur-unsur kejahatan yang dilakukannya yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi. Namun, karena tindak pidana tersebut dilakukan untuk
kepentingan dan atas nama korporasi dalam hal ini partai politiknya, maka
partai politik tersebut juga harus dimintai pertanggungjawaban pidana yaitu
pidana pokok berupa denda dan pidana tambahan.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
oleh Korporasi pasal 4 ayat (1) dan (2), bahwa :
Ayat (1): “Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai
dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur
tentang korporasi”.
Ayat (2): “Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat
menilai kesalahan korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak
pidana korupsi tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk
kepentingan korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana atau; Korporasi
tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku
guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai