Anda di halaman 1dari 17

TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. DEFINISI DAN PENGGOLONGAN

Dikemukakan oleh Sudarto, pada hakikatnya hukum itu mengatur


masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang
diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Terkait dengan
narkotika, Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa narkotika
merupakan zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang
menggunakannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi
atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui
dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan,
menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.1

Sejalan dengan pendapat ahli mengenai pengertian narkotika, secara


tegas dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Narkotika) dikatakan bahwa definisi narkotika menurut hukum adalah
sebagai berikut:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari


tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan: penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.”

Adapun Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Narkotika, menggolongkan


narkotika menjadi tiga golongan, antara lain:

1. Narkotika Golongan I
1Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Alumni, 1987, hlm.7.

1
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.

Contoh: Opium mentah, Opium masak (Candu, Jicing, Jicingko),


Koka, Kokain, Ganja, dan lain sebagainya sebagaimana yang diatur
dalam Lampiran I Undang-Undang Narkotika.

2. Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan


terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: Alfasetilmetadol, Diampromida, Difenoksin, Ekgonina,


Furetidina, Mirofina, dan lain sebagainya sebagaimana yang diatur
dalam Lampiran I Undang-Undang Narkotika.

3. Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan


dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: Asetildihidrokodeina, Kodeina, Nikodina, Propiram, dan


lain sebagainya sebagaimana yang diatur dalam Lampiran I
Undang-Undang Narkotika.

Terhadap 3 golongan di atas, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang


Narkotika menentukan keterbukaan aturan mengenai
penggolongan ini dengan mencantumkan frasa “perubahan
penggolongan Narkotika”, frasa ini berarti penyesuaian

2
penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional
dan pertimbangan kepentingan nasional.2

Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:3

PASAL KETENTUAN

Pasal 111 - Pasal Mengatur tentang tindak pidana narkotika


112 berkaitan dengan menanam, memelihara,
mempunyai dalam persediaan, atau menguasai
narkotika (yang dalam bentuk tanaman atau
bukan tanaman).

Pasal 113 Mengatur tentang memproduksi, mengekspor,


mengimpor, serta menyalurkan narkotika
golongan I.

Pasal 114 Mengatur tentang tindak pidana menawarkan


untuk dijualkan, membeli, menjual, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar
atau menyerahkan narkotika golongan I.

Pasal 115 Mengatur tentang tindak pidana membawa,


mengirim, mengangkut atau mentransito
narkotika golongan I.

Pasal 116 Mengatur tindak pidana setiap orang yang tanpa


hak atau melawan hukum menggunakan
narkotika golongan I terhadap orang lain atau
memberikan narkotika golongan I untuk
digunakan orang lain.

Pasal 117 Mengatur tentang tindak pidana melawan


hukum menyimpan, memiliki, menguasai, atau
menyediakan narkotika golongan II.

Pasal 118 Mengatur tentang tindak pidana tanpa hak atau


melawan hukum mengimpor, mengekspor,
memproduksi, atau menyalurkan Narkotika
golongan II.

Pasal 119 Mengatur tentang tindak pidana menawarkan


untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menukar menyerahkan narkotika atau menjadi
perantara dalam jual beli, golongan II.

2Lihat Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, hlm. 90.

3
Pasal 120 Mengatur tentang tindak pidana membawa,
mengangkut, mengirim, atau mentransito
narkotika golongan II.

Pasal 121 Mengatur tindak pidana mengenai Setiap orang


yang tanpa hak melawan hukum menggunakan
narkotika golongan II 26 terhadap orang lain
atau memberikan narkotika golongan II untuk
digunakan orang lain.

Pasal 122 Mengatur tentang tindak pidana mengenai


setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menyimpan, memiliki, menyediakan
atau menguasai Narkotika golongan III.

Pasal 123 Mengatur tentang tindak pidana mengenai


setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menyalurkan,
mengekspor, atau mengimpor Narkotika
golongan III

Pasal 124 Mengatur tindak pidana mengenai setiap orang


yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk, membeli, menerima, dijual,
menjual, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika dalam
golongan III.

Pasal 125 Mengatur tentang tindak pidana


membawa,mengangkut, mengirim, atau
mentransito Narkotika golongan III.

Pasal 126 Mengatur tindak pidana mengenai setiap orang


yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika golongan III terhadap
orang lain atau memberikan untuk digunakan
orang lain.

Pasal 127 ayat 1 Mengatur mengenai setiap orang penyalahguna


narkotika golongan I, narkotika golongan II,
narkotika golongan III bagi diri sendiri.

Pasal 128 Mengatur mengenai pecandu narkotika yang


sengaja tidak melaporkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

B. UNSUR TINDAK PIDANA NARKOTIKA

4
1. Tanpa Hak atau Melawan Hukum

Unsur tanpa hak atau melawan hukum ini diatur sebagai unsur
dalam perbuatan pidana narkotika yang diatur dalam BAB XV
mengenai Ketentuan Pidana.

2. Percobaan dan Permufakatan Jahat Tindak Pidana Narkotika

Percobaan dan permufakatan jahat diatur dalam Pasal 132 ayat (1)
Undang-Undang Narkotika dengan bunyi sebagai berikut:

“Percobaan atau permufakatan jahat untuk


melakukan tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan
Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana
penjara yang sama sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal
tersebut.”

Percobaan menurut Undang-Undang Narkotika adalah adanya


unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri4 terkait dengan pengaturan tindak pidana
yang ditentukan dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang
Narkotika di atas.

Percobaan atau poging untuk melakukan tindak pidana adalah


pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai
akan tetapi tidak selesai ataupun suatu kehendak untuk
melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di
dalam suatu permulaan pelaksanaan.5 Unsur-unsur percobaan
yang ditentukan di Undang-Undang Narkotika adalah sama dengan

4 Lihat Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002,
hlm. 18

5
yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu sebagai berikut
beserta dengan penjelasannya:

a. Niat

Niat adalah sikap batin yang memberi arah kepada perbuatan atau
akibat yang dituju. Pandangan para ahli terhadap unsur niat ini
berbeda. ada yang berpandangan luas seperti Simons, Van Hamel,
Van Dijck dan ahli lainnya bahwa unsur niat ini sama dengan
sengaja dengan tingkatannya, yaitu sengaja sebagai maksud,
sengaja insyaf akan kepastian dan sengaja insyaf akan
kemungkinan. Sedangkan Vos memiliki pandangan sempit bahwa
niat ini hanya sama dengan kesengajaan sebagai maksud.
Terhadap perbedaan pandangan ini, Arrest Hoge Raad tanggal 6
Februari 1951 mendukung unsur niat dalam arti yang luas dengan
menjatuhkan pidana percobaan pembunuhan dengan tingkat
kesengajaan insyaf akan kemungkinan. Para ahli di Indonesia
seperti Moeljatno setuju dengan pandangan yang luas ini, namun
ia tidak setuju bahwa niat itu sama dengan kesengajaan.
Singkatnya, niat adalah unsur sikap batin yang belum tentu
diwujudkan dengan perbuatan sedangkan kesengajaan sudah
tentu telah diwujudkan dengan perbuatan.6

b. Adanya Permulaan Pelaksanaan

Berhubungan dengan unsur niat di atas, pemidanaan tidaklah


dapat dikenakan terhadap tercelanya sikap batin seseorang. Bahwa
niat perlu diwujudkan dalam suatu perbuatan atau kesengajaan
yang menunjukkan bahayanya terhadap kepentingan yang
dilindungi undang-undang. Ketentuan percobaan ini dapat
dikenakan terhadap seseorang yang telah berbuat, minimalnya
Permulaan Pelaksanaan karena dalam beberapa kasus, beberapa
perbuatan sudah dapat tergolong ke perbuatan pelaksanaan tapi

6 Andi Sofyan dan Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Makassar: Pustaka Pena Press, 2016,
hlm. 161-162.

6
delik tidak selesai karena terjadi sesuatu di luar kemampuan
pelaku. Seperti menarik pelatuk (tergolong kepada perbuatan
pelaksanaan) untuk membunuh tapi meleset.7

c. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan


karena kehendaknya sendiri.

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan ini bukan semata-mata


disebabkan oleh kehendaknya sendiri dengan terjadinya berbagai
kemungkinan eksternal yang terjadi sebagai berikut: 1) Adanya
penghalang fisik; 2) Walaupun tidak ada penghalang fisik tetapi
tidak selesainya disebabkan karena akan adanya penghalang fisik;
dan 3) Adanya penghalang yang disebabkan oleh
faktor-faktor/keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi
sasaran. Oleh karenanya, apabila individu menghentikan
pelaksanaan kejahatan karena kehendaknya sendiri atau sukarela,
ia tidak dapat dipidana dengan ketentuan percobaan.8

Sedangkan mengenai permufakatan jahat yang diwujudkan dalam


perbuatan-perbuatan pidana narkotika yang diatur dalam Pasal
132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Terkait dengan definisi,
Undang-Undang Narkotika mengaturnya dalam Pasal 1 angka 18
dengan bunyi sebagai berikut:

“Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua


orang atau lebih yang bersekongkol atau
bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, turut serta melakukan, menyuruh,
menganjurkan, memfasilitasi, memberi
konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi
kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan
suatu tindak pidana Narkotika.”

C. RUANG LINGKUP NARKOTIKA


1. Pengadaan Narkotika
7 Ibid.,hlm. 162-163.
8 Ibid., hlm. 166.

7
Untuk pengadaan, Undang-Undang Narkotika mengaturnya dalam
Pasal 9 - 10 yang singkatnya menentukan bahwa ketersediaan
narkotika di lingkup nasional dijamin oleh Menteri, hal ini ditujukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Selanjutnya
terkait dengan keperluan ketersediaan ini, Rencana Kebutuhan
Tahunan Narkotika perlu disusun berdasarkan data pencatatan dan
realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan
menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
narkotika secara nasional di Indonesia. Berdasar kepada rencana
kebutuhan tahunan narkotika sebagai pedoman yang diatur dalam
Peraturan Menteri, agar narkotika tetap tersedia, Indonesia
memperolehnya dengan melakukan praktik perdagangan
internasional, yaitu dengan impor, produksi dalam negeri dan/atau
sumber lain.

2. Produksi Narkotika

Terkait dengan produksi, Undang-Undang Narkotika menentukannya


secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) yang memiliki bunyi sebagai
berikut:

“Produksi adalah kegiatan atau proses


menyiapkan, mengolah, membuat, dan
menghasilkan Narkotika secara langsung atau
tidak langsung melalui ekstraksi atau non
ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia
atau gabungannya, termasuk mengemas
dan/atau mengubah bentuk Narkotika.”

Untuk melakukan kegiatan produksi, Undang-Undang Narkotika


mengaturnya dalam Pasal 11. Singkatnya yang berperan sebagai
produsen adalah Industri Farmasi yang telah memiliki izin dan telah
dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Selanjutnya disebut dengan Badan POM) terhadapnya. Selanjutnya,
industri farmasi ini perlu mendapatkan izin khusus dari Menteri yang

8
sekaligus berupaya untuk mengendalikan kegiatan produksi
narkotika agar sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan narkotika.
Selain melakukan audit, Badan POM berperan sebagai pengawas
terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir.

Khusus mengenai narkotika golongan I, penyelenggaraan produksi


dan/atau digunakannya narkotika golongan ini dilarang dengan
pengecualian bahwa produksi dan/atau digunakannya narkotika
dibatasi dalam jumlah terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Terhadap kegiatan ini, Badan POM
akan melakukan pengawasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
12 Undang-Undang Narkotika.

3. Peredaran Narkotika

Terkait dengan peredaran, Undang-Undang Narkotika


menentukannya secara jelas dalam Pasal 35 dengan bunyi sebagai
berikut:

“Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan


atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.”

Bab VI mengenai Peredaran beserta pasal-pasalnya menentukan


bahwa narkotika berbentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah
mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana yang telah diatur dalam
Peraturan Menteri terkait. Izin edar ini dapat dimiliki hanya dengan
melakukan pendaftaran kepada Badan POM yang diatur dalam
Peraturan Kepala Badan POM.

Bahan baku yang digunakan untuk produksi obat adalah narkotika


golongan II dan golongan III, baik alami atau sintetis. Hal ini diatur
dalam Peraturan Menteri terkait. Mengenai penyelenggaraan
peredaran, Pasal 38 Undang-Undang Narkotika menentukan bahwa:

9
“Setiap kegiatan peredaran narkotika wajib
dilengkapi dengan dokumen yang sah.”

Dokumen yang dimaksud adalah Surat Persetujuan Impor/Ekspor,


faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau
salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari Narkotika bersangkutan. Secara konsekuen, pasal ni
menentukan bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk
pemindahan Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir,
wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir,
industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, atau apotek.9

4. Penyimpanan dan Pelaporan Narkotika.

Penyimpanan narkotika hanya diizinkan pada industri farmasi


dengan izin khusus dan pemilik izin resmi dari pemerintah, yaitu
beberapa tempat atau lembaga sehingga dapat melakukan
penyimpanan. Penyelenggaraan ini disertai dengan pelaporan

Jelasnya mengenai penyelenggaraan penyimpanan dan pelaporan ini,


Pasal 14 Undang-Undang Narkotika menentukan pihak-pihak yang
dapat melakukannya sebagai berikut: Industri farmasi, pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan.

Terkait dengan penyimpanan, pihak-pihak ini perlu menyimpannya


secara khusus, baik itu dalam aspek jangka waktu, bentuk dan isi.
Untuk pelaporan sendiri, pihak-pihak ini wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri

9 Lihat Pasal 38 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

10
terkait, hal ini ditujukan agar Pemerintah dapat mengetahui
persediaan narkoba dalam peredaran secara up to date dan sekaligus
digunakan sebagai bahan dalam menyusun rencana kebutuhan
tahunan narkotika.10

Pelanggaran terhadap ketentuan penyimpanan dan pelaporan ini,


Menteri dapat memberikan sanksi administratif atas dasar
rekomendasi dari Kepala Badan POM sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Narkotika, yaitu sebagai berikut: a.
teguran; b. peringatan; c. denda administratif; d. penghentian
sementara kegiatan; atau e. pencabutan izin.

D. DASAR HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA


1. Penyidikan, Penuntutan, Persidangan

Pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika


maupun prekursor narkotika dilakukan oleh Penyidik yang
berwenang yakni POLRI dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Dalam melakukan penyidikan, Penyidik POLRI memberitahukan
dimulainya penyidikan secara tertulis kepada Penyidik BNN,
begitupun sebaliknya.

BNN merupakan sebuah lembaga non struktural yang bertanggung


jawab langsung kepada Presiden. Terbentuknya BNN didasari
dengan dikeluarkannya Keppres No. 17 Tahun 2002 Jo. Keppres No.
83 Tahun 2007 Jo. Perpres No. 23 Tahun 2010. BNN bertugas
mengkoordinasikan instansi pemerintah yang terkait dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan di bidang pencegahan,
ketersediaan, dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.

10Lihat Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

11
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan perkara pecandu narkotika,
majelis hakim yang memeriksa dan mengadili kasus tersebut dapat
menjatuhkan putusan berupa:11

a. Memerintahkan pecandu yang telah terbukti bersalah


melakukan tindak pidana narkotika untuk menjalankan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan untuk
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
jika pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan
tindak pidana narkotika dengan masa menjalankan pengobatan
dan/atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani
hukuman.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang Narkotika dikenal dua


macam rehabilitasi antara lain:12

a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan


secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan Narkotika.
b. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial
dalam kehidupan masyarakat.

2. Pemusnahan Barang Bukti Sitaan

Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 7


Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Penanganan dan Pemusnahan

11 Esti Aryani, Penyalahgunaan Narkotika dan Aturan Hukumnya, Jurnal Wacana Hukum Vol.
IX, No. 2, Oktober 2011, hlm. 97.
12Yunita Ramadhani, Pertimbangan Hukum Rehabilitasi Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana
Narkotika, Jurnal RechtsIdee, Vol. 14, No. 1, Juni 2019, hlm.44.

12
Barang Sitaan Narkotika, Prekursor Narkotika dan Bahan Kimia
Lainnya Secara Aman mengatur mengenai definisi dari pemusnahan
ini, yaitu sebagai berikut:

“Pemusnahan adalah serangkaian tindakan


penyidik untuk memusnahkan barang sitaan,
yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada
penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri
setempat untuk dimusnahkan dan disaksikan
oleh pejabat yang mewakili, unsur Kejaksaan,
Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Dalam hal unsur pejabat
tersebut tidak bisa hadir, maka pemusnahan
disaksikan oleh pihak lain, yaitu pejabat atau
anggota masyarakat setempat.”

Ketentuan pasal di atas menentukan pengawasan terhadap


pemusnahan barang sitaan, bahwa pemusnahan perlu disaksikan
oleh pejabat perwakilan dari tiga unsur, yaitu: a. Kejaksaaan negeri
setempat; b. Kementerian kesehatan; dan c. Badan POM. Terkait
dengan pemusnahan narkotika. Undang-Undang Narkotika
menentukan bahwa kewajiban pemusnahan barang bukti sitaan
narkotika telah hadir saat dalam proses penyidikan. Bahwa
pemusnahan ini tidak hanya dapat diadakan setelah putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap.13 Kewajiban untuk
memusnahkan ini diawali dengan kewajiban yang melekat pada
pihak-pihak terkait yang apabila tidak dilaksanakan secara melawan
hukum akan dipidana (Pasal 140 Undang-Undang Narkotika bagi
Penyidik dan Pasal 141 Undang-Undang Narkotika bagi Kepala
Kejaksaan Negeri Setempat), yaitu:14

a. Penyidik wajib untuk segera meminta Penetapan Status Barang


Sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika dengan
menyampaikan tembusan berita acara penyitaan kepada
kejaksaan negeri setempat; dan

13 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., Modul Narkotika, Jakarta: Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2019, hlm. 35-36.
14 Ibid., hlm. 36.

13
b. Kepala Kejaksaan Negeri untuk segera menerbitkan Penetapan
Status Barang Sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk
kepentingan pembuktian perkara/kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan
pelatihan, dan/atau “dimusnahkan”.

Selanjutnya dengan berdasar kepada Pasal 91 ayat (2) Undang-


Undang Narkotika, maka penyidik wajib memusnahkan barang sitaan
narkotika dan prekursor narkotika dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari setelah menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan
negeri setempat. Namun dalam keadaan tertentu, batas jangka waktu
ini dapat diperpanjang satu kali untuk waktu yang sama, yaitu 7
(tujuh) hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 ayat (4)
Undang-Undang Narkotika. Jangka waktu ini salah satunya
ditujukan untuk menghindari praktik kejahatan melalui
penyimpanan barang bukti hasil sitaan ini.

Apabila pemusnahan telah dilakukan, penyidik memiliki kewajiban


dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam untuk membuat berita acara
pemusnahan. Terkait dengan barang sitaan narkotika dan preskursor
narkotika yang akan digunakan sebagai barang bukti, Undang-
Undang Narkotika mengaturnya dalam Pasal 90 ayat (1) dengan bunyi
sebagai berikut:

“Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan


pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik
BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil
menyisihkan sebagian kecil barang sitaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk
dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium
tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
dilakukan penyitaan.”

Terkait dengan pemusnahan, ketentuan pasal di atas menentukan


bahwa penyimpanan barang bukti narkotika yang disita penyidik
sebagian kecilnya perlu disisihkan untuk pembuktian nanti saat

14
acara persidangan dan sisanya perlu dimusnahkan sesuai dengan
prosedur yang telah dijelaskan di atas.15 Hal ini ditentukan sesuai
dengan Pasal 45 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Selanjutnya disebut dengan KUHAP) yang memiliki bunyi sebagai
berikut:

“Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin


disisihkan sebagian kecil benda tersebut untuk
pembuktian.”

Oleh karena itu, pemusnahan ini tidak memiliki pengaruh terhadap


kekuatan sebagian kecil barang sitaan yang dijadikan sebagai barang
bukti karena pasal ini secara jelas ditentukan untuk mengakomodir
kekuatan barang bukti dalam persidangan yang sebagian besarnya
telah dimusnahkan.16

3. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Narkotika

Penyelesaian perkara-perkara narkotika di pengadilan memiliki


preferensi atau harus didahulukan dari perkara-perkara lain terkait
dengan pengajuannya ke pengadilan agar mendapatkan pemeriksaan,
pengambilan keputusan sampai dengan ekskusi secara cepat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang
Narkotika yang memiliki bunyi sebagai berikut:

“Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap


Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara
yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
pengadilan guna penyelesaian secepatnya.”

Namun apabila terdapat perkara lain yang oleh undang-undang juga


sama ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas

15 Arummni Dede Athia dan Arassurya Diani, PENGARUH PEMUSNAHAN BARANG SITAAN
NARKOTIKA TERHADAP KEKUATAN BARANG BUKTI DI PERSIDANGAN, Jurnal Serambi
Hukum, Vol. 08, No. 02, 2014, hlm. 257
16Ibid., hlm. 261.

15
mengenai perkara mana yang perlu diselesaikan lebih dahulu
diserahkan kepada pengadilan yang bersangkutan.17

E. PELAKU PENYALAHGUNA NARKOTIKA

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,


pelaku penyalahgunaan narkotika dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:

a. Pengguna, maka akan dikenakan ketentuan pidana berdasarkan


pasal 116 Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.

Contoh Kasus

Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor


111/Pid.Sus/2017/PN.SAG yang memutus terdakwa Fidelis Arie
bersalah dalam melakukan pendayagunaan ganja untuk
pengobatan istrinya, dengan vonis 8 bulan pidana penjara dan
denda Rp. 1.000.000.000,- jika tidak dibayarkan maka diganti
kurungan selama 1 bulan. Sedangkan, putusan Hakim tersebut
terdapat kejanggalan dalam menerapkan hukuman terhadap
Fidelis, karena dalam melakukan perbuatannya Fidelis didalamnya
tidak ada unsur kejahatan melainkan mutlak untuk hal yang
positif dengan mengobati istrinya. Kemudian dalam vonis Hakim
tersebut Fidelis dikenakan sanksi pidana dibawah minimum
khusus dalam ketentuan pasal 116 ayat (1) UU Narkotika.

b. Pengedar, maka akan dikenakan ketentuan pidana berdasarkan


pasal 127 Undang- Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika,
dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.

Contoh Kasus

17Lihat Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Narkotika.

16
Menurut putusan pengadilan No.47/Pid.Sus/2014/PN.TK
Penerapan sanksi pidana terhadap Wan Jonori umur 49 tahun
dijerat Pasal 112 ayat (1) UU RI No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika yaitu “Setiap orang yang tanpa hak melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman.” Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI. NO.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yaitu “Setiap penyalahguna
narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun.” Hakim menjatuhkan vonis
lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yaitu 1 (satu) tahun dan 2
(dua) bulan penjara.

c. Produsen, maka akan dikenakan ketentuan pidana berdasarkan


pasal 113 Undang-Undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman
hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.

Contoh Kasus

Putusan Pengadilan Nomor 979/Pid.Sus/2019/PN Tng, bahwa


seorang terdakwa bernama Samuel Machadi Nhaveen dimana
dikenakan vonis pidana penjara selama 10 (Sepuluh) tahun dan
denda sebesar Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) apabila
denda tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima)
bulan karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana Mengimpor Narkotika Golongan I bukan
tanaman dengan berat melebihi 5 gram dan dikenakan dengan
pasal 113 dimana melanggar salah satu frasanya yaitu mengimpor
narkotika.

17

Anda mungkin juga menyukai