Anda di halaman 1dari 116

PERLINDUNGAN PATEN VAKSIN COVID-19 TERHADAP

PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH DIKAITKAN


DENGAN KEPENTINGAN MASYARAKAT MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang


Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Frans Daniel Marbun
110110170174

Program Kekhususan: Teknologi Informasi Komunikasi dan


Kekayaan Intelektual

Pembimbing:
Prof. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M.
Helitha Novianty Muchtar, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2021
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

PERLINDUNGAN PATEN VAKSIN COVID-19 TERHADAP

PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH DIKAITKAN DENGAN

KEPENTINGAN MASYARAKAT MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

FRANS DANIEL MARBUN

110110170174

Disetujui untuk diajukan dalam Sidang Ujian Tugas Akhir

Bandung, 28 Juni 2021

Mengetahui/Mengesahkan,

Pembimbing Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. An-An Chandrawulan S.H., LL.M. Helitha Novianty Muchtar S.H., M.H.

NIP. 196001131986012001 NIP. 198511112015042002

ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

PATENT PROTECTION OF THE COVID-19 VACCINE ON THE

GOVERNMENT USE RELATED TO NATIONAL EMERGENCY USE

ACCORDING TO LAW NUMBER 13 OF 2016 CONCERNING PATENT

FRANS DANIEL MARBUN

110110170174

Approved to be submitted in the Final Project Examination

Bandung, 28th June 2021

Authorize,

Supervisor I Supervisor II

Prof. Dr. An-An Chandrawulan S.H., LL.M. Helitha Novianty Muchtar S.H., M.H.

NIP. 196001131986012001 NIP. 198511112015042002

iii
HALAMAN PENGESAHAN KEPALA PROGRAM STUDI

PERLINDUNGAN PATEN VAKSIN COVID-19 TERHADAP

PELAKSANAAN PATENOLEH PEMERINTAH DIKAITKAN DENGAN

KEPENTINGAN MASYARAKAT MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

FRANS DANIEL MARBUN

110110170174

Mengetahui/Mengesahkan,

Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Dr. Anita Afriana, S.H., M.H.


NIP. 197804022003122001

iv
ABSTRAK

Perlindungan Paten Vaksin COVID-19 Terhadap Pelaksanaan Paten


Oleh Pemerintah Dikaitkan Dengan Kepentingan Masyarakat Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten

Frans Daniel Marbun


110110170174

Kemunculan pandemi COVID-19 di akhir tahun 2019 membuat


beberapa negara harus bersiap mengontrol ekonomi dan tentunya virus itu
sendiri. Selain mencegah dengan sering muncuci tangan, memakai masker,
dan menjaga jarak, salah satu cara memutus mata rantai COVID-19 adalah
dengan memanfaatkan produk farmasi seperti vaksin. Adanya sistem
perlindungan kekayaan intelektual pada rezim paten sempat dikatakan
dapat menghalangi pendistribusian vaksin COVID-19. Mendapatkan tingkat
kesehatan tertinggi adalah hak warga negara sebagaimana hak asasi
manusia diatur. Sulitnya mendapatkan vaksin COVID-19 bagi negara
berkembang dan negara belum berkembang, maka pemanfaatan
pelaksanaan paten oleh pemerintah diharapkan mampu menyelesaikan
masalah ini. Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap pembaca
mengerti bagaimana perlindungan hak eksklusif pada pemanfaatan
pelaksanaan paten oleh pemerintah atas kepentingan masyarakat.
Penulis melakukan penelitian deskriptif analitis dengan metode
pendekatan yuridis normatif yang dianalisis secara kualitatif. Penelitian juga
dilakukan dengan mendatangi instansi terkait dan penelitian secara virtual
dikarenakan keadaan pandemi yang mengharuskan adanya physical
distancing.
Perlindungan paten juga berarti membuka paten kepada negara dan
tunduk kepada kepentingan masyarakat. Hal ini tidak dapat dipandang
sebelah mata karena justru pendaftaran paten dapat membantu membuat
inventor atau pemegang paten mendapatkan hak ekonominya secara
penuh. Maka kebijakan pelaksanaan paten oleh pemerintah harus dapat
dilihat sebagai daya tarik inventor atau pemegang paten agar mau
berinvestasi dan mendaftarkan patennya di Indonesia guna mempercepat
distribusi vaksin juga memanfaatkan hak ekonomi bagi pemegang paten.

Kata Kunci: Paten, Vaksin, Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah

v
ABSTRACT

PATENT PROTECTION OF THE COVID-19 VACCINE ON THE


GOVERNMENT USE RELATED TO NATIONAL EMERGENCY USE
ACCORDING TO LAW NUMBER 13 OF 2016 CONCERNING PATENT

Frans Daniel Marbun


110110170174

The emergence of the COVID-19 pandemic at the end of 2019 made


several countries have to prepare to control the economy and of course the
virus itself. In addition to preventing frequent hand washing, wearing masks,
and keeping a distance, one way to break the COVID-19 chain is to use
pharmaceutical products such as vaccines. The existence of an intellectual
property protection system in the patent regime was said to be able to hinder
the distribution of COVID-19 vaccines. Getting the highest level of health is
a citizen's right as human rights are regulated. Based on data, it is difficult
to get a COVID-19 vaccine for developing and undeveloped countries, so
the Government Use is expected to be able to solve this problem. With this
research, the author hopes that readers will understand how the protection
of exclusive rights in the use of patent implementation by the government
on National Emergency Use.
The author conducted a descriptive analytical research with a
normative juridical approach which was analyzed qualitatively. Research is
also carried out by visiting relevant institute and conducting research
virtually due to the pandemic situation that requires physical distancing.
Patent protection also means opening patents to the state and
submitting to the National Emergency Use. This cannot be underestimated
because patent registration can actually help the inventor or patent holder
get full economic rights. So the policy of Government Use must be seen as
an attraction for inventors or patent holders to invest and register their
patents in Indonesia in order to accelerate vaccine distribution and also take
advantage of economic rights for patent holders.

Keywords: Patent, Vaccine, Government Use

vi
KATA PENGANTAR

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar


kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan
meluruskan jalanmu.”

Assalamualaikum Wr Wb,

Shalom,

Om Swastiastu,

Namabudaya,

Salam Kebajikan untuk kita semua,

Sebagai manusia biasa yang sering melakukan keluhan dalam

keterbatasan, penulis percaya dan tidak lupa bahwa keputusan sekecil

apapun dapat mempengaruhi hidup kita. Adanya rintangan yang datang

membuat penulis semakin membentuk karakter diri sendiri. Terimakasih

kepada Tuhan Yesus Kristus, karena walau dengan keterbatasan penulis

dan kepercayaan terhadapNya, kasih dan kelemahlembutanNya,

kesempatan dalam setiap keterpurukan yang telah diberiNya, penulis dapat

menyelesaikan perjuangan tahap Strata I yang telah dimulai sejak tahun

2017 hingga tahun 2021, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhirnya di

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang berjudul "Perlindungan

Paten Vaksin COVID-19 Terhadap Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

Dikaitkan Dengan Kepentingan Masyarakat Menurut Undang-Undang

vii
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten" sebagai salah satu persyaratan

meraih gelar Sarjana Hukum.

Pertama, saya tak lupa untuk mengucapkan rasa hormat dan terima

kasih kepada pembimbing utama, Alm. Prof. Dr. An An Chandrawulan, S.H.,

LL.M. dan Helitha Novianty Muchtar S.H., M.H., selaku dosen pembimbing

kedua yang selalu berusaha untuk menjaga api semangat penulis dan

membimbing penulis dalam kesulitan. Tanpa bantuan kedua wanita hebat

ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan tepat dan

baik.

Tidak lupa juga penulis berterima kasih terhadap orang-orang yang

berjasa, rekan kuliah, instansi, maupun kementerian terkait yang berupaya

besar memberi dukungan serta bantuan untuk penulis menyelesaikan tugas

akhir ini. Maka izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dari hati

terdalam kepada pihak-pihak tersebut di bawah ini.

Terima kasih Penulis haturkan kepada segenap jajaran pimpinan

dan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, yakni:

1. Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., MSIE., selaku Rektor Universitas

Padjadjaran Periode 2019-2024;

2. Dr. Idris, S.H., M.A. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran;

3. R. Ahmad Gusman Catur Siswandi, S.H., LL.M., Ph.D., selaku Wakil

Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran;

4. Dr. Enni Soerjati, S.H., M.H. selaku Dosen Wali Penulis yang telah

memberikan kehangatan sebagai orangtua di dalam kampus;

viii
5. Dr. Anita Afriana, S.H., M.H. selaku Kepala Program Studi S1

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran;

6. Dr. Sinta Dewi, S.H., LL.M selaku Kepala Departemen Hukum

Teknologi, Informasi, Komunikasi dan Kekayaan Intelektual,

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran;

7. Dr. Sudjana, S.H., M.Si. dan Miranda Risang Ayu Palar, S.H., LL.M.,

Ph. D. yang telah bersedia menjadi Dosen Penguji Penuilis pada

tahap Sidang Usulan Penelitian dan Sidang Tugas Akhir berbentuk

Skripsi ini serta untuk masukan dan saran revisi;

8. Dr. Hj. Rika Ratna Permata, S.H., M.H. selaku penguji komprehensif

yang telah meluangkan waktunya untuk menguji Penulis; dan

memberikan masukan kepada Penulis dalam proses pengerjaan

Tugas Akhir dalam bentuk Skripsi ini;

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang telah

bersedia mengajar, memberikan ilmu pengetahuan, mendidik

Penulis selama Penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran;

10. Semua Staf Akademik, Staf Sub Bagian Akademik, Staf Sub Bagian

Administrasi, Staf Sub Bagian Kemahasiswaan, dan Staf

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Kemudian penulis juga tidak lupa mengucapkan syukur atas

keluarga yang telah memberikan dukungan secara materil dan immaterial

sehingga Penulis dapat menyelesaikan Strata I nya tanpa halangan berarti

hingga dalam penulisan Tugas Akhir ini, yakni:

ix
1. Bonaparte Marbun, S.H. dan Tiar Ambarita, S.E. selaku orang tua

penulis yang telah banyak berkorban demi kenyamanan hidup

Penulis di perantauan maupun di rumah. Rasa terima kasih ini tidak

akan pernah terbayar dengan perbuatan apapun bahkan dengan

kata-kata. Hanya kesehatan dan kehidupan sejahtera yang bisa saya

panjatkan kepada Tuhan setiap harinya;

2. Yosepina Marbun, S.H. selaku kakak Penulis yang sangat Penulis

kasihi, kiranya Ia dapat melanjutkan studinya ke jenjang berikutnya

dengan tujuan mulia yang sesuai dengan kehendak-Nya. Terima

kasih atas dukungan yang telah diberikan di setiap saat.

Berikutnya Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada teman-

teman yang selalu berusaha ada di dekat Penulis dalam masa sulit maupun

bahagianya. Dukungan kalian yang membuat sedikit banyak Penulis dapat

menyelesaikan perkuliahan hingga ditutup oleh Tugas Akhir ini. Orang-

orang tersebut, yakni:

1. Ramos ASW, David Ronaldo Butar-butar, dan Ripael Tampubolon

teman-teman pertama Penulis di kampus FH Unpad Jatinanangor

yang sangat saya kasihi juga banggakan, berkat mereka Penulis

memiliki keluarga kecil yang suka sekali membuat penulis kesal,

namun lebih banyak kenangan manis yang terbentuk melalui bejana

waktu yang telah kita lewati bersama. Saya berharap untuk kalian

agar kelak dapat berkumpul tanpa pandang bekerja di mana dan

memiliki gaji berapa, semoga kalian sehat selalu jaga kesehatan, dan

Puji Tuhan selalu. Amin;

x
2. Sherin Amazia Situmorang, Mathew Beckham Dhanaryanto, dan

Sam Christopher Situmeang teman-teman Penulis yang

dibanggakan dan dikasihi, naik turun perkuliahan ini hingga belajar

bersama di perpustakaan nasional saat masa pandemi tidak pernah

akan saya lupa kenangannya, bantuan yang tidak terelakkan oleh

penulis yang kadang ceroboh ini sangat Penulis syukuri. Penulis

sangat berterima kasih kepada kalian karena dapat merasakan

kehangatan dari teman-teman sebaya tanpa pandang apa yang bisa

Penulis berikan, walau Penulis sadar suatu hari akan mampu

memberikan bantuan yang terbaik dan berusaha ada di samping

kalian disaat sedih maupun senang;

3. Christopher Sitepu dan Muhammad Vinandy teman-teman Penulis di

Jakarta yang selalu mau diajak berkelana mencari hiburan di saat

pandemi menyiksa Penulis ditengah kesibukan menulis Tugas Akhir

ini. Kiranya masa depan ada dan cerah menanti kita bertiga untuk

kembali bersama bukan hanya bermain, namun juga mencari jati diri

kita yang sebenarnya. Tuhan lindungi dan jaga kalian sekeluarga.

4. Agatha Sherissa Marpaung, Katya Benalda, dan Bernadetta Utomo

S.H., yang membantu Penulis dalam memulai Tugas Akhir ini

sehingga akhirnya topic dapat diajukan dan Penulis dapat memulai

penyusunan Skripsinya. Tanpa kalian mungkin Penulis tidak akan

sampai pada titik ini dengan kewarasan yang sama pada saat ini

juga;

xi
5. Teman-teman pengurus Soli Deo Gloria, khususnya Bang Immanuel

Tampubolon S.H., Kak Desimawati Sinaga S.H., Dicky Kristiadi S.H.,

dan Kak Mutiara Manik S.H yang telah memberi banyak motivasi

hidup, pelajaran kepemimpinan, dan hangatnya diterima di PMK FH

UNPAD yang amat Penulis banggakan. Tanpa kalian Penulis sadar

tidak akan berkembang hingga sejauh ini;

6. Teman-teman pengurus Kabinet Compass, khususnya Agustina

Nababan, Sophia Sihole, Sri Novita Bulolo, Kristin Sidjabat, Andreas

Pungu Anggito, Manuel Mangapuli Sinambela, dan Yosua

Sitanggang, karena kebersamaan mereka selama menjalankan PMK

FH UNPAD, Penulis merasakan keluarga yang selalu berusaha ada

dalam setiap kesulitan dan tidak memandang bisa mendapatkan apa

dibalik pengorbanan mereka. Semoga kalian selalu dalam lindungan

Tuhan dan segala urusan dipermudah oleh Tuhan Yesus Kristus;

7. Teruntuk sahabat PMK penulis di hidupnya, Sarah Tabitha, Jeremy

Reba, dan Gibson Siahaan yang telah mau menerima Penulis di

saat-saat yang tidak mengenakkan hati. Mereka bukan lain daripada

anak bidang kepengurusan pada Kabinet Compass, namun tetap

mau menganggap Penulis sebagai teman sepantaran. Penulis

berharap dengan sifat kalian saat ini, kalian dapat menyongsong

kehidupan yang benar dan sukses di masa yang akan datang, jangan

pernah berhenti berharap karena hari esok ada karena suatu

harapan dalam hidup kita;

xii
8. Kepada teman-teman Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

angkatan 2017 yang sedang berjuang bersama untuk

menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa, semoga kita

dapat memimpin negeri ini sesuai kemampuan dan porsi kita masing-

masing.

9. Seluruh teman-teman Penulis dari kepanitian HKB PMK FH 2018,

Gebyar FH Unpad 2017, Inaugurasi FH Unpad 2017, Olimpus 2018,

Natal PMK FH 2017, Natal PMK FH 2018, Natal PMK Unpad 2019,

Padjadjaran Law Fair X, Padjadjaran Law Fair XI, Alsa E-Challenge

2019, dan Kepanitiaan lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga kelak kita dapat bertemu dan bertatap muka dengan bangga

serta bahagia. Terima kasih atas kesempatannya untuk

mengembangkan diri Penulis di Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran.

10. Atas kesempatan ini saya sangat ingin mengucapkan terima kasih

kepada Kepala Sub Bagian Pemeriksaan Paten Direktorat Jenderal

Kekayaan Intelektual karena telah memberi kesempatan untuk saya

menggali ilmu lebih khususnya tentang paten, kepada Pak

Bambang, Bang Andrew, Kak Rizky, Bang Andy, dan yang lainnya

tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas masukannya!

11. Last but not least, i wanna thank me, i wanna thank me for believing

in me, i wanna thank me for doing all this hard work, i wanna thank

me for having no days off, i wanna thank me for… for never quitting,

i wanna thank me for always being a giver and tryna give more than

xiii
i receive, i wanna thank me for tryna do more right than wrong, i

wanna thank me for just being me at all times.

“Ketika mimpi kita pikirkan berubah menjadi rencana, ketika rencana kita ucapkan,
rencana berubah menjadi komitmen. Ketika komitmen kita lakukan, akan berubah lagi
menjadi kenyataan.”
- William Tanuwijaya (Founder & CEO at Tokopedia) -

Sebagai penutup, Penulis menyampaikan permintaan maaf jika


terdapat kekurangan dalam penulisan dalam melakukan penelitian Tugas
Akhir ini. Seluruh prosesnya memberikan pelajaran bagi Penulis dan
semoga segala keterbatasan dan kekurangan Penulis dapat selalu
berkembang menjadi kebaikan. Akhir kata, Penulis berharap penelitian ini
dapat berguna bagi masa yang akan datang dan bermanfaat bagi pembaca
khususnya Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Jakarta, 17 Juli 2021

Penulis,

Frans Daniel Marbun


NPM. 110110170174

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN KEPALA PROGRAM STUDI .......................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah........................................................................ 16
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 16
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 17
E. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 18
F. Metode Penelitian .......................................................................... 31
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PATEN DAN KEPENTINGAN
MASYARAKAT ........................................................................................ 35
A. Tinjauan Umum Mengenai Kekayaan Intelektual ........................... 35
B. Tinjauan Umum Mengenai Paten ................................................... 37
1. Pengertian Paten ........................................................................ 37
2. Objek Paten ................................................................................ 39
3. Subjek Paten .............................................................................. 44
4. Pengalihan Hak, Lisensi, dan Lisensi-Wajib ............................... 45
C. Tinjauan Umum Tentang Kepentingan Umum ............................... 51
BAB III PELINDUNGAN PATEN VAKSIN COVID-19 DAN PELAKSANAAN
PATEN OLEH PEMERINTAH .................................................................. 58
A. Pelindungan Paten Vaksin COVID-19............................................ 58
B. Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah ............................................ 63
1. Konsep Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah ............................ 63
2. Hak dan Kewajiban Pemerintah.................................................. 65
3. Pelaksanaan Paten COVID-19 Oleh Pemerintah ....................... 68
C. Lisensi-Wajib .................................................................................. 72

xv
D. Perbedaan Lisensi-wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
75
BAB IV PEMANFAATAN PATEN PADA VAKSIN COVID-19 TERKAIT
KEPENTINGAN MASYARAKAT .............................................................. 77
A. Penggunaan Paten Vaksin COVID-19 Terkait Kepentingan
Masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten ....................................................................................... 77
B. Pemanfaatan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten ....................... 85
BAB V PENUTUP .................................................................................... 93
A. Kesimpulan .................................................................................... 93
B. Saran ............................................................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 96

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi informasi pada revolusi industri berdampak

kepada daya saing perdagangan secara nasional maupun internasional.

Berbagai perusahaan nasional maupun multinasional berlomba-lomba

menguasai pasar sesuai keahlian di bidangnya masing-masing. Setiap

perusahaan ingin dikenal dengan valuasi sebuah aset bernilai tidak terlihat

maupun yang terlihat. Perkembangan teknologi dalam berbagai bidang

telah berkembang sedemikian pesat, sehingga diperlukan adanya suatu

perlindungan bagi penemuan karena melibatkan proses penelitian yang

telah diinvestasikan agar pengorbanan dari penemu atau kelompok peneliti

maupun perusahaan yang menaungi dapat dihargai.

Suatu keuntungan jika penelitian yang dikembangkan oleh para

penelitinya dalam melakukan suatu penemuan dapat dihargai oleh suatu

negara bahkan berbagai negara. Hal ini selaras dengan pemahaman

bahwa Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu persaingan perdagangan

secara sehat sangat diperlukan, sehingga setiap pengorbanan yang telah

dilakukan dapat menghasilkan hak yang diterima oleh penemu dari negara

tempat mendaftarkan paten atas penemuan tersebut. Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) merupakan istilah yang dipergunakan untuk merujuk

1
2

kepada seperangkat hak eksklusif yang masing-masing diberikan kepada

seseorang atau kelompok yang telah menghasilkan karya dari olah pikirnya,

yang memiliki wujud, sifat atau memenuhi kriteria tertentu berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.1

Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut KI) dilindungi sedemikian

rupa oleh negara untuk menghargai penemu atau pencipta, karena KI

tergolong benda bergerak tidak berwujud (Intangible Assets) yang memiliki

nilai atas hak-hak yang berikan berupa hak eksklusif. Hak Eksklusif pada

suatu Kekayaan Intelektual (KI) adalah hak yang dimiliki oleh pemilik KI dan

tidak ada pihak yang berhak menikmati hak eksklusif tanpa izin dari

pemiliknya.2 Hak Eksklusif meliputi hak moral dan hak ekonomi. Hak Moral

adalah hak yang melekat pada pemilik KI berupa hak atas keutuhan dari

karya tersebut serta hak untuk tetap dicantumkan namanya sebagai

pencipta KI tersebut.3 Sedangkan Hak Ekonomi adalah hak untuk

mendapatkan manfaat ekonomi dari KI yang dimilikinya.4

Pada dasarnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terbagi menjadi dua

kategori, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta adalah hak

eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau

memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak

1
HKI,<http://www.hki.co.id/hki.html#:~:text=HAK%20KEKAYAAN%20INTELEKTUAL...&te
xt=adalah%20istilah%20yang%20dipergunakan%20untuk,peraturan%20perundang%2Du
ndangan%20yang%20berlaku.> [diakses pada 09/12/2020]
2
Sudaryat, (et.al) Hukum Kekayaan Intelektual, Bandung: Global Sinergi Indonesia, 2019,
hlm. 10.
3
Sudaryat, (et.al), Ibid
4
Sudaryat, (et.al), Ibid
3

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sedangkan hak kekayaan industri terdiri dari hak Paten, Merek,

Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia

Dagang, dan Varietas Tanaman.

Dalam penelitian ini, penulis akan lebih fokus pada Hak Kekayaan

Intelektual Paten di antara bentuk KI yang lainnya. Perkembangan teknologi

dalam berbagai bidang telah sedemikian pesat berkembang, sehingga

diperlukan peningkatan perlindungan bagi pemilik karya intelektual

khususnya penemu (inventor) dan pemegang paten. Perlindungan paten

dapat ditemui dalam ketentuan dalam kesepakatan antar negara maupun

peraturan perundang-undangan nasional. Sebagai negara anggota World

Trade Organization (WTO), peraturan mengenai perlindungan Paten di

Indonesia merupakan konsekuensi atas kesepakatan Indonesia menjadi

negara anggota. Sehingga Indonesia harus menyesuaikan peraturan

mengenai Kekayaan Intelektual mengikuti standar berdasarkan Trade-

Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

Berdasarkan ketentuan dalam TRIPs, paten merupakan

perlindungan invensi apapun, berbentuk produk atau proses, dalam bidang

teknologi, menunjukkan bahwa ada kebaruan, terdapat langkah inventif,

dan dapat diterapkan dalam perindustrian.5 Dalam ratifikasi TRIPs6,

5
Art. 27 TRIPs
6
Saat ini peraturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)
diatur dalam TRIPs sebagai annex (lampiran) dari persetujuan umum tentang tarif dan
perdagangan GATT pada tanggal 15 April 1994. Indonesia sebagai salah satu
penandatangan menandakan kesepakatan atas lampiran-lampiran termasuk TRIPs di
4

khususnya Undang-undang Paten yang mengalami beberapa kali

pergantian dan perubahan (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016), Paten

didefinisikan sebagai hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada

inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu

tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan

persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.7 Tidak hanya itu

tetapi terdapat pengecualian yang menjelaskan bahwa vaksin dapat

menjadi objek paten. Pada article 27 TRIPs dijelaskan bahwa penemuan

(invensi) yang dapat menyangkut ketertiban umum dan moralitas termasuk

mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan atau kesehatan

tidak dapat dipatenkan. Namun terdapat pengecualian pada tumbuhan dan

tanaman seperti mikro organisme, non biologis dan mikrobiologis proses,

hal ini dapat dipatenkan. Vaksin merupakan zat yang dikombinasikan untuk

merangsang pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu. 8 Dalam

hal ini vaksin COVID-19 adalah vaksin yang dibuat melalui virus yang

dinonaktifkan dengan cara melemahkan virus menggunakan bentuk

patogen yang dilemahkan. Selain itu ada juga vaksin yang menggunakan

materi genetik sintesis secara kimiawi di laboratorium dan cara terakhir

adalah membuat virus tidak aktif dengan mematikan patogen bukan

melemahkan ataupun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ia tidak akan

dalamnya dengan ratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan


Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
7
Pasal 1 ayat (1) UU PATEN
8
Virdita Ratriani, “Apa itu vaksin dan bagaimana cara kerjanya?”, 2020,
<https://kesehatan.kontan.co.id/news/apa-itu-vaksin-dan-bagaimana-cara-
kerjanya?page=all> [Diakses 02/04/2021]
5

bereplikasi.9 Mengetahui hal ini vaksin ada yang merupakan makhluk mikro

organisme yang dinonaktifkan atau dilemahkan sehingga dapat menjadi

objek yang dapat dipatenkan.

Perlindungan pemanfaatan KI oleh pemegangnya diatur oleh negara

melalui peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak yang

didapat seperti yang telah dijelaskan di awal. Perlindungan ini hadir karena

adanya akibat hukum atas pendaftaran atau pengumuman Kekayaan

Intelektual berupa hak milik atas benda tidak berwujud (intangible asset)

seperti pada KI. Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual

diperlukan atas dasar adanya persaingan usaha secara sehat antar pelaku

usaha agar memiliki hak monopoli atas penemuan yang telah dilakukan

riset dan melakukan banyak pengorbanan. Ada beberapa teori yang

mengatakan mengenai mengapa Hak Kekayaan Intelektual harus

dilindungi. Hak milik dalam Hak Kekayaan Intelektual tidak semata-mata

hanya karena pendaftaran yang dilakukan pemilik kepada negara sebagai

simbol pengakuan oleh publik secara sukarela. Direktur Jenderal Kekayaan

Intelektual, Freddy Harris, mengatakan bahwa Kekayaan Intelektual

dilindungi karena memiliki nilai ekonomis.

Hak milik yang melekat pada Kekayaan Intelektual merupakan

perkembangan dari hak milik pribadi terhadap hak kebendaan. 10 Namun

9
Rizal Setoy Nugroho, “Bagaimana Vaksin Covid-19 Dibuat dan Cara Kerjanya?”, 2021,
<https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/30/070000965/bagaimana-vaksin-covid-19-
dibuat-dan-cara-kerjanya-?page=all> [diakses 02/04/2021]
10
Peter Drahos pada Winner Sitorus, “Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Paten,”
Yuridika: Vol. 29 No 1, April 2014, hlm. 41
6

kepemilikan atas Kekayaan Intelektual ini seringkali dieksploitasi berlebihan

dengan alasan hak milik untuk memonopoli yang dianggap memiliki nilai

mutlak. Hal ini menghadirkan paradigma bahwa sifat eksklusif HKI sering

ditempatkan di atas kepentingan umum yang justru memberikan justifikasi

dari pemberian hak eksklusif itu sendiri.11 Hal ini perlu dihindari dengan

pengaturan mengenai pembatasan hak eksklusif terhadap kepentingan

umum seperti yang juga telah dicantumkan di dalam TRIPs. Secara tidak

sadar, hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan social (social unjust).12

Walau begitu pada dasarnya TRIPs telah memberikan ketentuan

mengenai kepentingan umum dalam Article 7 ‘Objectives’ yang berbunyi:

The protection and enforcement of intellectual property rights should


contribute to the promotion of technological innovation and to the
transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of
producers and users of technological knowledge and in a manner
conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights
and obligations.
Frasa “conducive to social and economic welfare” dalam Article 7 ini

memberi ruang pada negara-negara anggota World Trade Organization

(WTO) yang meratifikasi TRIPs, untuk mengatur bagaimana negara tetap

melindungi hak eksklusif dalam Kekayaan Intelektual namun tidak

menaruhnya di atas kepentingan umum dan kesejahteraan sosial. Hal ini

telah tertulis dalam TRIPs, pada article 27 yang menekankan bahwa objek

paten yang menyangkut ketertiban umum dan moralitas, termasuk untuk

melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan atau kesehatan,

11
Winner Sitorus, Ibid
12
Winner Sitorus, Ibid
7

atau yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan tidak dapat

dipatenkan. Terdapat pengecualian pada tumbuhan dan tanaman seperti

mikro organisme, non biologis dan mikrobiologis proses, dapat dipatenkan.

Hal ini dilindungi demi tercapainya prinsip pada Article 8 yang berarti

negara anggota dalam pembuatan dan amandemen undang-undang

nasional harus mengadopsi langkah-langkah untuk melindungi kebutuhan

kesehatan dan nutrisi publik yang penting bagi perkembangan sosial-

ekonomi dan teknologi mereka. Begitu pula pada akhirnya negara dapat

menambahkan ketentuan dalam hukum nasionalnya masing-masing. Hal

ini selaras dengan Pasal 36 UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatakan,

bahwa Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,

bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Tidak

seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewen ang-wenang dan

secara melawan hukum. Namun Hak Milik tetap mempunyai fungsi sosial.13

Sejalan dengan UU HAM, hak milik (eigendom) seseorang terhadap suatu

benda juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata), terjemahan dari burgerlijk wetboek milik belanda. Pada

pasal 570 Dikatakan bahwa,

13
Pasal 36 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bagian
penjelasannya dinyatakan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai
fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus memperhatikan
kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-
benar maka hak milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
8

“hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan


dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-
hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan
akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas
ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”
Ketentuan dalam UU maupun KUH Perdata tentang hak milik, memiliki

nada yang serupa bahwa hak milik memang dapat dimanfaatkan

sepenuhnya oleh yang berhak, namun tidak menutup kemungkinan adanya

pencabutan hak demi kepentingan umum atas dasar perundang-undangan

yang berlaku. Rumusan pasal-pasal di atas mengisyaratkan adanya fungsi

sosial yang melekat pada setiap hak milik seseorang atas suatu benda.

Isu yang dibahas oleh penulis merupakan isu yang sedang hangat

diperbincangkan pada masa pandemi, hubungannya dengan pemanfaatan

perlindungan paten pada objek paten yaitu, Vaksin COVID-19. Pendaftaran

paten terhadap suatu invensi memberikan hak kepada pemegang paten

tersebut. Hak yang diberikan kepada pemilik paten berupa paten produk

adalah melarang pihak ketiga, tanpa seizin pemegang paten untuk

membuat, menggunakan, menawarkan untuk menjual, atau mengimpor

barang tersebut. Sedangkan hak yang diberikan kepada pemegang paten

proses adalah melarang pihak ketiga, tanpa seizin pemegang paten, untuk

menggunakan proses tersebut, atau menggunakannya, menawarkan untuk

menjual, menjual, atau mengimpor produk yang didapat langsung dari

proses produksi tersebut.


9

Hak eksklusif pemegang paten memiliki pembatasan jika terkait

ketertiban umum atau moralitas, termasuk melindungi manusia, kehidupan

hewan, tanaman, untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi

asalkan ketentuan tidak dibuat hanya karena eksploitasinya dilarang oleh

undang-undang nasional. Selain itu, atas alasan kepentingan masyarakat

(kekurangan pekerjaan, kesehatan masyarakat, pembangunan ekonomi,

dan pertahanan nasional), negara anggota TRIPs dapat mengizinkan

pemanfaatan paten oleh orang ketiga tanpa izin pemegang paten atau

dikenal dengan permohonan lisensi-wajib.14 Berbeda dengan pelaksanaan

paten oleh pemerintah, lisensi adalah bentuk perjanjian antara pihak

pemegang paten dengan individu atau kelompok agar dapat berbagi hak

ekonomi satu sama lain. Lisensi dapat dilakukan tanpa dasar keadaan

mendesak atau keadaan tertentu. Selain Lisensi pada umumnya, UU Paten

mengatur mengenai Lisensi-Wajib yang berbentuk permohonan dari pihak

ketiga yang ingin melaksanakan paten namun bersifat non-eksklusif.15

Berdasarkan Pasal 82 yang menyatakan,

“Lisensi-wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan paten yang

dapat dilaksanakan ketika mendapat Keputusan Menteri atas dasar

permohonan dengan alasan:

a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk

membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia

14
Sudaryat, (et.al), op.cit., hlm. 29
15
Pasal 81 UU PATEN
10

sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) dalam jangka

waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten;

b. Paten telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau

penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang

merugikan kepentingan masyarakat; atau

c. Paten hasil pengembangan dari paten yang telah diberikan

sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan

Paten pihak lain yang masih dalam perlindungan.”

Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, berbagai negara sedang

gencar mencari vaksin untuk dapat memperbaiki kesulitan ekonomi yang

dirasakan setiap negara karena roda perekonomiannya tersendat. Vaksin

maupun obat dalam kondisi seperti ini menjadi momok penting karena

dapat menjadi jalan keluar permasalahan ekonomi berbagai negara,

khususnya negara seperti Indonesia bahkan negara berkembang lainnya

yang tidak dapat melakukan kebijakan lockdown secara ketat, karena

tingkat kemampuan ekonomi yang kurang merata (timpang) antar warga

negara, menyebabkan pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup

sebagian tingkat ekonomi masyarakat. Pemanfaatan paten oleh inventor

dapat dilihat dari hak eksklusif yang didapat seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya. Namun pemanfaatan hak eksklusif pada paten vaksin COVID-

19 harus dibatasi dengan adanya lisensi-wajib yang bersifat non-eksklusif.

Menteri dapat memberikan Lisensi-wajib atas impor pengadaan produk


11

farmasi yang diberi paten di Indonesia tetapi belum dapat diproduksi di

Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia.16

Selain itu, pembatasan hak eksklusif atas dasar mendahului

kepentingan masyarakat juga dilaksanakan oleh Pemerintah dengan istilah

Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah. pemerintah dapat melaksanakan

sendiri Paten di Indonesia berdasarkan pertimbangan, berkaitan dengan

pertahanan dan keamanan negara; atau kebutuhan sangat mendesak

untuk kepentingan masyarakat. Pelaksanaan paten ini dilaksanakan secara

terbatas, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan bersifat non-

komersial dan dilakukan untuk jangka waktu tertentu serta dapat

diperpanjang setelah diskusi lebih lanjut bersama para menteri terkait.17

Berkaitan erat dengan pembatasan di atas, Indonesia juga tengah

dalam pengembangan bibit vaksin melalui konsorsium riset dibawah

naungan Kementrian Riset dan Teknologi/ Badan Riset Inovasi Nasional.

Vaksin ini memiliki beberapa model dengan sebutan vaksin merah-putih.

Vaksin merah-putih ini bukan sebuah nama suatu vaksin, melainkan

kelompok vaksin yang dikembangkan di Indonesia dengan menggandeng

berbagai lembaga. Dilansir dari Detikhealth, dalam konsorsium ini ada 7

lembaga yang turut mengembangkan vaksin merah-putih, Institut Teknologi

Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, Universitas

16
Pasal 93 ayat (2) UU Paten
17
Pasal 109 UU Paten
12

Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman,

dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.18

Guru Besar Kekayaan Intelektual dan Pakar Kekayaan Intelektual

Universitas Padjadjaran, Ahmad M. Ramli, menjelaskan saat ini masyarakat

bertanya-tanya tentang hak paten atas obat atau vaksin COVID-19. Untuk

produk farmasi khususnya obat dan vaksin dalam masa pandemi,

pelaksanaan paten bisa dilaksanakan oleh pemerintah, di mana Indonesia

punya hak untuk melakukannya.19 Ketua BRIN, Prof Ali Ghufron,

menjelaskan belum ada kepastian besaran produksi, namun nantinya tahap

distribusi tetap menyesuaikan keadaan pandemi di indonesia. Ditargetkan

sudah selesai uji klinis pada akhir tahun 2021 dan dapat dipakai pada tahun

2022. Walaupun nantinya COVID-19 sudah selesai, tetap akan diproduksi

oleh biofarma agar didistribusikan ke luar negeri, karena masih banyak

negara miskin dan berkembang yang penyediaan vaksinnya sangat

minim.20

Jika dibandingkan dengan produksi vaksin yang sudah ada patennya

seperti Vaksin Moderna di Amerika, perusahaan mengumumkan bahwa

mereka tidak akan melaksanakan hak paten terkait vaksin COVID-19

18
AN Uyung Pramudiarja, “Vaksin Nusantara Vs Vaksin Merah Putih, Bedanya Apa Sih?”,
2021, <https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5399932/vaksin-nusantara-vs-vaksin-
merah-putih-bedanya-apa-sih> [diakses pada 23/02/2021]
19
Rea, “Bio Farma Buka Suara soal Pentingnya Paten Vaksin Covid-19”,
<https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200707130902-204-521771/bio-farma-buka-
suara-soal-pentingnya-paten-vaksin-covid-19> [diakses pada 10/12/2020]
20
Vidya Pinandhita, “Vaksin Covid-19 Merah Putih Ditargetkan Rampung Akhir 2021, Siap
pakai 2022”, 2021, <https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5368294/vaksin-covid-
19-merah-putih-ditarget-rampung-akhir-2021-siap-pakai-2022> [diakses 02/04/2021]
13

selama pandemi berlangsung. Diperkuat oleh pernyataan Professor of

Health Policy, E. Mossialos, bahwa salah satu mempercepat berakhirnya

pandemi suatu negara adalah dengan percepatan persiapan distribusi dari

produk anti virus COVID-19 itu sendiri.21 Sehingga jika dikaitkan dengan

vaksin COVID-19 seperti di Amerika, ditambah kebijakan Biden demi

keadilan penyebaran vaksin dengan melakukan executive powers untuk

melepaskan paten vaksin Moderna, Pfizer, Johnson & Johnson, dari

monopoli dan memberikan akses lisensi22 kepada World Health

Organization’s COVID-19 Technology Access Pool, untuk meningkatkan

skala produksi vaksin generik seluruh dunia.23

Namun pada pasal 19 UU Paten tertulis bahwa pemegang paten

memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan

melarang pihak lain tanpa persetujuannya. Sejalan dengan ketentuan

tersebut, Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah atas dasar Kebutuhan

Sangat Mendesak untuk Kepentingan Masyarakat, tidak mengurangi hak

Pemegang Paten untuk melaksanakan hak eksklusifnya sebagaimana

dimaksud dalam pasal 19. Namun terdapat ketentuan yang tidak memiliki

kepastian hukum yang cukup dalam penjaminan hak eksklusif Pemegang

21
Koukakis, Nasos, “Countries worldwide look to acquire the Intellectual Property rights of
Covid-19 Vaccine makers”, <https://www.cnbc.com/2021/01/22/countries-look-to-acquire-
the-ip-of-vaccine-makers-to-fight-pandemic.html> [diakses 02/04/2021]
22
Penggunaan lisensi sangat penting daripada menonaktifkan hak paten, karena hak
ekonomi tersebut sangat penting untuk memelihara riset dan pengembangan inovasi.
23
Shaffer, Jonathan, “Biden Should use emergency powers to license covid-19 vaccine
technologies to the WHO for global access”,
<https://www.statnews.com/2021/03/25/biden-use-emergency-powers-license-covid-19-
vaccines-for-global-access/> [diakses 02/04/2021]
14

Paten terkait. Pada pasal 115, Pemerintah memberi Imbalan yang wajar

sebagai kompensasi atas Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

sebagaimana pasal 109 ayat (1) telah menyatakan.24 Namun pasal 117 ayat

(1) berbunyi “dalam hal Pemegang Paten tidak menyetujui besaran Imbalan

yang diberikan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115,

pemegang paten dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.”

Kemudian ditambahkan kembali pada ayat (4) bahwa gugatan atas besaran

imbalan tidak menghentikan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah.

Pelaksanaan Isu ini menarik bagi penulis karena menyangkut

pemanfaatan karya intelektual namun bersinggungan dengan aspek sosial

dimana harus memperhatikan kepentingan masyarakat diatas hak eksklusif

pemilik paten. Berkaitan dengan perlindungan hak eksklusif pemegang

paten di Indonesia, belum ada ketentuan yang jelas dalam indicator sebuah

paten dapat dilaksanakan proses pelaksanaan paten oleh pemerintah

kepada keadaan mendesak maupun kepentingan masyarakat.

Beberapa penelitian terdahulu telah meneliti mengenai Perlindungan

Hukum pada Penerima Paten dan Kepentingan Umum pada sebuah Paten.

Penelitian yang dimaksud tersebut ialah sebagai berikut.

1. Penelitian dalam bentuk skripsi yang dilakukan oleh Mifta Hatul

Jannah (NPM. 110110130065) pada tahun 2019 dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA PATEN PADA

24
Pasal 115 UU Paten
15

PERJANJIAN LISENSI PATEN DALAM RANGKA ALIH

TEKNOLOGI DI INDONESIA BERDASARKAN KITAB UNDANG –

UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) DAN UNDANG –

UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN”. Penelitian

ini membahas perlindungan penerima paten atas perjanjian lisensi

paten dalam rangka alih teknologi demi pembangunan nasional,

agar tidak menimbulkan kerugian bagi penerima paten.

2. Penelitian dalam bentuk disertasi oleh Catharina Ria Budiningsih

(NPM. 2003822011) pada tahun 2009 dengan judul “ANALISIS

NORMATIF DAN PEMANFAATAN ASAS FUNGSI SOSIAL PADA

PATEN BAGI PENGEMBANGAN HUKUM PATEN DI INDONESIA:

TELAAH KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PATEN”.

Penelitian ini membahas mengenai aspek fungsi sosial dalam hak

kepemilikan paten bagi kepentingan masyarakat Indonesia.

Penelitian ini memperlihatkan sifat esensial pada paten yakni aspek

kepentingan masyarakat demi menjawab kebutuhan globalisasi

yang bersifat adil.

Berdasarkan penelusuran di situs repositori milik Universitas

Padjadjaran, belum ada penelitian yang berjudul serupa mengenai

pelaksanaan paten oleh pemerintah dan kaitannya dengan kepentingan

masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah penulis jabarkan

sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang


16

membahas masalah-masalah yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang

berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HAK EKSKLUSIF

PEMILIK PATEN TERHADAP PELAKSANAAN PATEN OLEH

PEMERINTAH PADA PATEN VAKSIN COVID-19 DIKAITKAN DENGAN

KEPENTINGAN MASYARAKAT MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN”. Penulis ingin menganalisis

dan mengkaji bagaimanakah hak eksklusif inventor dalam ketentuan

mengenai proses pelaksanaan paten oleh pemerintah dan bagaimanakah

pelaksanaan paten oleh pemerintah dalam praktiknya.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaturan Hak Eksklusif Inventor dikaitkan dengan

Kepentingan Masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2016 tentang Paten?

2. Bagaimana Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah pada Paten Vaksin

COVID-19 terkait dengan Kepentingan Masyarakat berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menentukan pengaturan mengenai pembatasan hak inventor

dalam indikator kepentingan masyarakat.

2. Untuk menentukan lebih lanjut mengenai praktik pemerintah dalam

melakukan pelaksanaan paten oleh pemerintah.


17

D. Kegunaan Penelitian

Penulis berharap atas penelitian yang dilakukan ini akan memberi

banyak manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran maupun bagi masyarakat luas. Hasil penelitian ini

diharapkan memberikan kegunaan berupa:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar baru dalam

pengembangan penelitian selanjutnya sehingga dapat berguna

dalam perumusan teori yang mengarah kepada pemahaman dan

perkembangan hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

bahkan di luar Indonesia, khususnya mengenai perlindungan hak

eksklusif inventor dalam pelaksanaan paten oleh pemerintah di

Indonesia

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi gagasan baru sebagai

masukan dan sarana informasi bagi para pihak yang terkait,

diantaranya:

a. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perancang undang-undang

maupun pihak yang berkepentingan agar lebih mengakomodir

perlindungan hak eksklusif inventor di Indonesia.

b. Sebagai informasi bagi para pihak yang terkait diantaranya

inventor, pemerintah, atau peneliti atau periset, serta praktisi

hukum dan ahli hukum juga seluruh masyarakat umum.


18

E. Kerangka Pemikiran

Pemerintah dan jajarannya sebagai pemegang kekuasaan negara

memiliki suatu amanah dari rakyatnya untuk mengatur kehidupan

masyarakatnya dengan adil. Digagas oleh Jeremy Bentham, Stuart Mill, dan

Rudolf von Jhering, Teori Utilitarianisme menjadi landasan penting jika

berbicara mengenai pengaturan pembatasan hak seseorang jika berkaitan

dengan kepentingan umum. Menurut bentham tujuan hukum adalah

kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya

warga masyarakat. Buruk-baik maupun adil atau tidaknya hukum dilihat dari

kemanfaatan yang memberi kebahagiaan kepada manusia. Menurut

Bentham, hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang

bebas dari kesengsaraan. Tujuan akhirnya dapat memberikan jaminan

kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada orang banyak (the

greatest happiness of the greatest number).

Dalam mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka

hukum harus mencapai empat tujuan:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);

b. To provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan

berlimpah);

c. To provide security (untuk memberikan perlindungan); dan

d. To attain equity (untuk mencapai persamaan).

Hal ini yang membuat teori Bentham penting karena menghubungkan

pemikiran filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis, menghubungkan hak-


19

hak individu yang tahu diri dan menempatkannya setelah kebahagiaan

sejumlah besar individu (mayoritas). Artinya teori ini juga mementingkan

tujuan-tujuan hukum yang lebih sosial praktis daripada hanya berupa dalil-

dalil abstrak.25 Hubungannya dengan penelitian ini adalah keadaaan

dimana pembatasan HKI dapat dengan baik dimanfaatkan asal dengan

peraturan hukum yang jelas bersifat praktis-sosial. Maka tujuan hukum

adanya pembatasan HKI ini tetap mengatasnamakan kepentingan

masyarakat umum, bukan kepada individu-individu saja.

Untuk menjamin negara melakukan kewajibannya, dibutuhkan

hukum positif yang dapat mengatur wewenang para pejabat negara. Hal ini

ditujukan agar negara dapat mengatur rakyatnya dengan baik tanpa ada

penyelewengan kekuasaan kepada rakyat. Berdasarkan pemahaman ini,

Prof Mochtar Kusumaatmadja, menyebutkan sebuah ungkapan “hukum

tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah

kelaliman”. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan tanpa

landasan hukum adalah kesewenang-wenangan dan hukum hanya dapat

ditegakkan jika ada kekuasaan.26

Hukum dalam hal ini undang-undang merupakan salah satu alat

mengatur dan/atau menyalurkan kegiatan bermasyarakat sehingga dapat

mencapai tujuan suatu negara. Teori ini awalnya dikemukakan oleh

25
Besar, “Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia di Indonesia”,
2016, <https://business-law.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-
perkembangan-hukum-multimedia-di-indonesia/>, [diakses pada 31 Maret 2021]
26
Salman L, “Hubungan Hukum Dan Kekuasaan” Jurnal Hukum Vol. 14 No. 02, April 2007,
hlm. 167
20

Roscoe Pound lewat doktrinnya yang mengatakan “law is a tool of social

engineering”. Doktrin ini mengartikan bahwa hukum dalam wujud hakim

pada sistem hukum common law menjadi alat untuk membentuk hukum

sehingga yurisprudensinya (sumber hukum utama dalam negara common

law) dapat membentuk kebiasaan yang memperbarui kehidupan

masyarakatnya. Prof. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa negara

dengan sistem hukum civil law seperti Indonesia memiliki kemampuan

untuk mengatur dalam arti penyalur arah kegiatan masyarakatnya. Namun

berbeda dari negara sistem hukum common law, Indonesia mengandalkan

undang-undang untuk mengarahkan perilaku masyarakatnya. Perbedaan

ini sangat mendasar sehingga kualitas undang-undang sangat berperan

penting di dalam roda pemerintahan.

Dengan sistem hukum civil law dan adanya bunyi pasal 1 UUD 1945,

bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang bertumpu pada

kepastian hukum sehingga suatu kebijakan harus memiliki landasan hukum

yang jelas. Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 kita berusaha

mengakomodir pasal-pasal terkait hak asasi manusia untuk menjamin

kepastian hukum warga negaranya khususnya terkait hak kekayaan

intelektual. Robert C. Sherwood mengemukakan 5 teori, alasan mengapa

KI perlu dilindungi, yaitu:27

1. Reward Theory

27
Robert M. Sherwood, Intellectual Property and Economic Development: Westview
Special Studies in Science Technology and Public Policy, dalam Sudaryat, et.al, Loc. cit.
21

2. Recovery Theory

3. Incentive Theory

4. Risk Theory

5. Economic Growth Stimulus Theory

Berdasarkan teori yang dikemukakan Sherwood, salah satunya

menyebutkan bahwa Kekayaan Intelektual merupakan alat pembangunan

ekonomi suatu negara dan yang dimaksud pembangunan ekonomi adalah

keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan yang efektif.28

Adanya kepastian perlindungan hak eksklusif akan mengundang investasi

pihak lain kepada para pemegang hak kekayaan intelektual itu sendiri,

sehingga akan menjadi pemacu aktivitas kreatif lainnya yang akan ada di

masa yang akan datang.

Teori Hukum Pembangunan (THP) rumusan Prof. Mochtar memiliki

definisi hukum sebagai “keseluruhan kaidah dan asas-asas yang

mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula

mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan

untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”. Asas adalah dasar

(sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat). Satjipto

Rahardjo mengatakan asas hukum merupakan jantung dari sebuah

peraturan hukum29, karena asas berfungsi sebagai landasan, asas hukum

28
Sudaryat, et.al, Ibid
29
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, dalam Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan,
“Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme
Hukum”, Jurnal Credipo Vol. 1 No. 1, 2019, hlm. 1
22

juga merupakan alasan atau ratio legis dari peraturan hukum. Maka suatu

asas dalam suatu perundang-undangan dapat dikatakan menjiwai rumusan

dari undang-undang tersebut. Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa asas

dijadikan landasan berpikir merumuskan suatu kaidah hukum agar

mendapat bentuk konkrit dan lebih mengikat secara hukum kepada

masyarakat. Khususnya pada penelitian ini, Hak Kekayaan Intelektual

sebagai hak yang melekat pada kepemilikan perlu dijamin perlindungannya.

Pasal 27 (ayat 2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights/ UDHR) menyatakan: “Setiap orang berhak

untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril

maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusastraan

atau kesenian yang diciptakannya”. Namun seperti dikatakan sebelumnya,

hak kepemilikan terhadap suatu benda tidak bersifat absolut dapat

dimanfaatkan oleh kepentingan pribadi saja, jika bertemu dengan

kepentingan umum yang mendesak maka tetap mengutamakan aspek

sosialnya. DUHAM merupakan deklarasi mengenai hak asasi manusia yang

dibentuk setelah perang dunia kedua (PD II) dengan tujuan tercapainya hak

asasi manusia karena melihat kerusakan yang dialami dunia setelah perang

tersebut dengan dibentuknya PBB. Deklarasi ini memiliki klausul yang

mengikat kepada para anggotanya karena deklarasi ini merupakan salah

satu bentuk perjanjian internasional menurut Prof. Mochtar dan telah

diterima baik oleh kekuasaan tertinggi dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa

dan memiliki tujuan serta standar minimum hak asasi manusia yang dicita-
23

citakan oleh manusia dan dibuat oleh negara-negara PBB. Terbentuknya

DUHAM ini adalah hasil rumusan komisi HAM pada badan PBB, dengan

catatan negara anggota PBB menerima deklarasi itu secara aklamasi,

walaupun ada negara anggota yang tidak memberikan suara.30 Banyak

negara yang mengadopsi klausul dalam UDHR ke dalam peraturan

perundang-undangan nasional mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa

deklarasi ini telah diterima secara umum sebagai praktik kebiasaan

internasional.

Selain DUHAM, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya31

membawa hak asasi terkait kesehatan yang ada pada pasal 12, berbunyi

“negara-negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk

mengenyam standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi.”. Begitu juga

dengan Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik32 juga membawa

pembatasan terhadap hak-hak seseorang dalam suatu negara dengan

syarat pembatasan diatur dalam ketentuan berdasarkan hukum, dan yang

diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral

masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Hingga

kepada UU HAM yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk

hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya,

Setiap Orang berhak tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan

30
Rukmana Amanwinata, “Kekuatan Mengikat UDHR 1948 terhadap Negara Anggota PBB
Khususnya Indonesia”, Jurnal Hukum: No. 14 Vol. 7, 2000, hlm 31-45
31
Diratifikasi melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005
32
Diratifikasi melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005
24

batin, dan Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat”.33 [garis bawah oleh penulis]

Adanya kaidah hukum tidak akan terwujud jika tidak ada kekuasaan

dari suatu lembaga yang menegakkan. Lembaga dalam hal ini tidak selalu

berbentuk seperti Lembaga Negara atau Institusi Pemerintah, namun dapat

berbentuk hukum tertulis. Kesemuanya ini menghasilkan suatu sistem yang

selalu bergerak menanggapi isu-isu dalam mewujudkan tujuan hukum itu

sendiri.

Prof. Mochtar Kusumaatmadja mengembangkan teori Roscoe

Pound dari semula “law is a tool of social engineering” menjadi “hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat”. Selain tujuan negara pada

alinea keempat pembukaan UUD 1945,34 pengembangan ini dilakukan

dengan memperhatikan ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila

sekaligus sebagai dasar hukum dan ius constituendum. Sila kelima yang

berbunyi “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” mencerminkan bahwa

Indonesia bercita-cita mewujudkan keadaan sosial yang adil untuk

menjunjung kesejahteraan rakyat. Salah satu cara mensejahterakan rakyat

yaitu melalui pembangunan nasional sehingga taraf hidup bangsa

berkembang kearah yang lebih baik.35

33
Pasal 9 UU HAM
34
Tujuan Negara: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.”
35
Yenny Yorisca, “Pembangunan Hukum Yang Berkelanjutan” Jurnal LEGISLASI
INDONESIA Vol. 17 No. 01, Maret 2020, hlm. 103
25

Pembangunan nasional menjadi momok penting bagi dasar

pemikiran Prof. Mochtar pada saat itu karena latar belakang negara

Indonesia yang masih butuh banyak perubahan melalui hukum yang

mengatur kekuasaan. Konsep Teori Hukum Pembangunan yang

menyatakan hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan

masyarakat didasari anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban

dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang

dipandang mutlak diperlukan.36 Anggapan lain yang terkandung adalah

bahwa hukum dalam arti kaidah hukum memang bisa berfungsi sebagai alat

(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan

manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.

Berdasarkan pada penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

kekayaan intelektual dapat dimanfaatkan untuk menunjang proses

pembangunan nasional.

Direktur Jenderal KI, Freddy Harris, menyatakan bahwa KI itu inline

dengan hak ekonomi yang mendasar pada HAM.37 Selain Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, pernyataan ini sejalan dengan pasal 28c BAB

XA UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan

“ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

36
Lilik Mulyadi, “Teori Hukum Pembangunan”, Badilum: Mahkamah Agung, Jakarta, hlm.
1
37
Admin DJKI, “Wamenkumham Eddy: Pemenuhan dan Pelindungan Kekayaan
Intelektual adalah HAM”, <dgip.go.id/artikel/detail-artikel/wamenkumham-eddy-
pemenuhan-dan-pelindungan-kekayaan-intelektual-adalah-ham?kategori=liputan-
humas> [diakses pada 27/01/2021]
26

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh

manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi

meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”

dan “ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan negaranya”. Hak asasi tentu sangat erat hubungannya dengan

hak eksklusif pada Kekayaan Intelektual dan ini tentunya dapat dikaitkan

dengan perlindungan HKI.

Membahas Kekayaan Intelektual dapat dimulai dari istilah Hak

Kekayaan Intelektual itu sendiri. HKI terdiri dari 3 kata yaitu Hak, Kekayaan,

dan Intelektual. Hak adalah benar, milik kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan, untuk berbuat sesuatu (yang telah ditentukan undang-undang),

atau berwenang menurut hukum. Kekayaan adalah perihal yang (bersifat,

ciri) kaya, harta yang menjadi milik orang. Sedangkan Intelektual adalah

cerdas, berakal dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau

yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendekiawan, atau totalitas

pemahaman.38 Tugas negara sebagai entitas yang berkewajiban

melindungi hak-hak diatas, berdasarkan teori kontrak sosial juga

berkewajiban membatasi hak-hak warga negaranya.

Perlindungan HKI harus menjamin keadilan dalam pendistribusian

dan pemanfaatannya terutama bagi pihak-pihak yang memiliki

38
Sudarsono, Buku Ajar Mata Kuliah Pengetahuan HKI, Surakarta: ISI Press, 2017, hlm.
6
27

keterbatasan. John Rawls mengembangkan teori Justice as Fairness yang

kita kenal juga dengan konsep keadilan distributif (distributive justice),

dimana terdapat 2 unsur di dalamnya. Kedua unsur tersebut dikenal dengan

greatest equal liberty, yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai

hak yang sama terhadap kebebasan dasar paling luas, seluas yang orang

lain miliki. Berikutnya menyatakan bahwa ketidaksamaan sosial dan

ekonomi diatur sedemikian rupa untuk memberikan keuntungan yang sama

bagi semua anggota masyarakat yang kurang beruntung (difference

principle) dan setiap posisi jabatan terbuka bagi semua pihak (principle of

fair equality of opportunity).39

Prinsip inilah yang membenarkan adanya pemberian kesempatan

yang sama untuk memperoleh hak milik, termasuk KI (Paten) di dalamnya.

HKI yang menjadi sarana pembangunan nasional lewat komersialisasi

karya-karya tersebut. Namun di sisi lain, prinsip kedua dari Teori Keadilan

John Rawls mengisyaratkan adanya perlindungan bagi semua pihak jika

memberikan keuntungan kepada semua orang, terutama bagi mereka yang

kurang beruntung (difference people). Teori ini relevan dengan dasar

ketentuan kepentingan umum dalam perlindungan paten di dunia.

Paten40 merupakan buah pikir karya intelektual dari penemu

(inventor), sehingga merefleksikan wujud diri dan mempunyai unsur refleksi

39
John Rawls, A Theory of Justice, Massachusetts: Harvard University Press, 1999, hlm.
5
40
Salah satu rezim perlindungan HKI
28

pribadi (alter ego) inventor. Hubungan antara inventor dengan invensi yang

melalui banyak proses dan pengorbanan yang membuat paten sudah

selayaknya dilindungi oleh negara. Pendaftaran paten bertujuan untuk

melindungi hak-hak yang terkandung di dalamnya seperti menjual produk

(pada paten produk) atau memproduksi (pada paten proses) suatu

penemuan baik oleh pihak pemegang maupun pihak lain dengan perjanjian

lisensi. Objek pada perlindungan paten adalah ‘klaim’ atas invensi

pemohon.41 Objek perlindungan paten adalah di bidang teknologi. Dapat

berupa teknologi tinggi (hi-tech) atau teknologi sederhana (low-tech).42

Sedangkan subjek pada perlindungan paten adalah Inventor atau Orang

yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.43 Suatu

Invensi harus dapat memecahkan masalah spesifik yang dibutuhkan

masyarakat. Paten dapat berupa produk maupun proses, atau

penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.44

Perlindungan paten berlaku secara teritorial, sehingga hak eksklusif

baru dapat dimanfaatkan ketika paten itu didaftarkan45 pada suatu negara.46

Perlindungan paten bersifat konstitutif dan memiliki prinsip first to file,

artinya perlindungan paten dilihat berdasarkan pihak pertama pendaftaran

41 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Buku Ajar Hukum Kekayaan
Intelektual, Bandung: Unpad Press, 2016, hlm. 124-125.
42 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Ibid
43 Pasal 10 UU Paten
44 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Loc. cit.
45 Setelah pemeriksaan formalitas dinyatakan lengkap oleh Pemeriksa Paten.
46 Rika Amrikasari, “Seluk Beluk Paten”,
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5372c4c71a0c1/seluk-beluk-
paten/#:~:text=Hak%20paten%20berlaku%20teritorial.,negara%20atau%20wilayah%20y
ang%20bersangkutan. > [diakses pada 28/01/2021]
29

yang mendaftarkan paten ke Kementerian Hukum dan HAM. Walaupun

begitu, mengacu pada ketentuan dalam TRIPs dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku memungkinkan suatu keadaan mendesak dapat

mengesampingkan hak eksklusif pemegang paten, sehingga harus tetap

mengutamakan fungsi sosialnya. Maka pelaksanaan Paten Oleh

Pemerintah diakomodir dalam Undang-Undang Paten.

Pada tanggal 30 Januari 2020 World Health Organization (WHO)

menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/ Public Health Emergency of

International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO

sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.47 Berdasarkan Pasal 109

UU Paten, Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dapat dilaksanakan atas

dasar pertimbangan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan

negara atau kebutuhan mendesak untuk kepentingan masyarakat.48 Untuk

itu Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun

2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat COVID-19. Dalam

Keppres ini dinyatakan kasus kematian karena Coronavirus sudah

meningkat dan meluas antar wilayah dan antar negara serta memiliki

dampak pada kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan

kesejahteraan masyarakat Indonesia.

47
Iwee, “Mengulas Kembali Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)”,
<https://rsudsoediranms.com/2020/07/14/mengulas-kembali-coronavirus-disease-2019-
covid-19/> [diakses pada 10/12/20]
48
Pasal 109 UU Paten
30

Tujuan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah adalah menekan harga

vaksin atau obat yang memiliki paten terdaftar di Indonesia, dengan kata

lain pemerintah berusaha menjamin hak-hak dasar masyarakatnya.

Berdasarkan pasal 120 UU Paten, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pelaksanaan Paten oleh Pemerintah diatur dengan peraturan presiden.

Dengan begitu dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77

Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten Oleh pemerintah,

membuat pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten di Indonesia

dengan pertimbangan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan

masyarakat. Terkait dengan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, Pasal

112 Undang-Undang Paten menyatakan,

“Dalam hal pelaksanaan Paten oleh pemerintah untuk kebutuhan


sangat mendesak bagi kepentingan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) huruf b dan Pasal 111, tidak
mengurangi hak Pemegang Paten untuk melaksanakan hak
eksklusifnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 19.”
Dalam melakukan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah, negara

menentukan imbalan yang wajar kepada Pemegang Paten. Namun disisi

lain, jika Pemegang Paten tidak setuju dengan besaran imbalan, pemegang

paten hanya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dan tidak

menghentikan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.

Dalam kasus ini penulis merasa pengaturan mengenai pelaksanaan

paten oleh pemerintah kurang memperhatikan hak eksklusif pada

pemegang paten (Inventor) maupun indikator mengenai kepentingan

masyarakat.
31

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian deskriptif

analitis adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat

suatu sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk

menentukan frekuensi suatu gejala.49

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka data

sekunder seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder dinamakan penelitian yuridis

normatif.50

3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini berdasarkan penelitian kepustakaan yang bersifat

mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, yaitu:

49
Sri Mamudji, (et.al), Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
FHUI, 2005, hlm. 9-10
50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1983, hlm. 13
32

1) Bahan Hukum Primer

Peraturan perundang-undangan yang terkait kepada

penelitian ini, berupa:

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

d) Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.

e) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2012 tentang

Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Terhadap Obat

Antiviral dan Antiretroviral.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum, dan bahan kepustakaan lainnya.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seprti kamus,


33

ensiklopedia, indeks kumulatif, koran, data dari internet dan

seterusnya.

b. Penelitian Lapangan

Untuk menunjang penelitian, penulis melakukan wawancara pada

instansi terkait mengenai objek yang diteliti guna memperoleh data

primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Teknik yang digunakan oleh penulis adalah dengan melakukan

studi dokumen, yaitu alat pengumpul data pada penelitian

kepustakaan yang memerlukan data sekunder.51 Metode ini

dilakukan dengan membaca buku-buku, peraturan perundang-

undangan, dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan

dengan objek penelitian.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara terhadap

praktisi hukum di bidang terkait, diantaranya Pejabat Paten DJKI

hingga praktisi hukum lain yang terkait dengan penelitian ini.

5. Metode Analisis Data

51
Sri Mamudji (et.al), Loc. Cit, hlm. 22
34

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif. Yuridis

kualitatif adalah metode dengan membandingkan peraturan perundang-

undangan secara vertikal berdasarkan hierarki peraturan perundang-

undangan. Data-data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis

secara kualitatif dan diharmonisasi dengan berbagai ketentuan yang

ada sehingga mendapatkan penjelasan terkait dengan penyelesaian

masalah dan kesimpulan.52

6. Metode Penelitian Virtual

Penelitian yang dilakukan penulis sebagian besar dilakukan saat waktu

pandemi masih terjadi, sehingga penelitian dilakukan dengan cara

berselancar di internet dengan kredibilitas sumber-sumber yang jelas

seperti e-Jurnal, e-Book, dan sebagainya.

7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan antara lain di

a. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jl. Medan Merdeka

Selatan No.11, Jakarta .

b. Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Jl. H. R. Rasuna

Said Kav. 8-9, DKI Jakarta.

52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007, hlm. 10
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI

PATEN DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT

A. Tinjauan Umum Mengenai Kekayaan Intelektual

Dengan adanya proses pembentukan Agreement Estabilishing the

Multilateral Trade Organization pada tahun 1994 pada Uruguay Round

terciptalah World Trade Organization (WTO). Tindakan ini melahirkan

beberapa annexes (lampiran) yang salah satunya kita kenal dengan nama

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights

(TRIPs).53 Indonesia yang merupakan anggota ikut menandatangani dan

meratifikasi TRIPs dalam bentuk Undang-undang No.7 Tahun 1994. Artinya

Indonesia memiliki kemajuan dalam melindungi hak asasi manusia dalam

hal kekayaan intelektual. Konsekuensi atas tindakan Indonesia

membuahkan beberapa undang-undang yang mengatur mengenai

Perlindungan Varietas Tanaman, Rahasia Dagang, Desain Industri, Tata

Letak Sirkuit Terpadu, Paten, Merek dan Indikasi Geografis, dan Hak Cipta

hingga saat penulis menulis penelitian ini.

Kekayaan Intelektual atau yang biasa disebut KI merupakan

kekayaan yang timbul atas daya pikir kreativitas atas intelektual manusia.54

53 Neni Sri Imaniyati, “Perlindungan HKI Sebagai Upaya Pemenuhan Hak atas IPTEK,
Budaya, dan Seni”, Jurnal: Media Hukum, Vol. 17 No. 1, Juni 2010, hlm. 162
54 Sudaryat, et.al, Op. Cit. hlm. 7

35
36

KI pada pokoknya adalah benda tidak berwujud yang dapat

berpindah (intangible assets) dan bernilai ekonomis yang ada pada

lapangan harta benda. Benda menurut pasal 499 KUHPerdata adalah

segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Adanya hak milik pada

kebendaan yang dapat dialihkan, berlaku juga kepada kekayaan intelektual.

Kekayaan intelektual dapat dialihkan kepada orang lain secara eksklusif

kepada satu pihak saja, atau non-eksklusif kepada lebih dari satu pihak.

Pengalihan kekayaan intelektual tidak berarti berganti kepemilikan

barangnya, namun hak kekayaan intelektual tersebutlah yang dapat

berpindah.

Hak yang terdapat dalam hak kekayaan intelektual diberi istilah Hak

Eksklusif. Hak ekslusif terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Dalam

hukum kekayaan intelektual, dijelaskan bahwa hak eksklusif inilah yang

dilindungi agar tidak ada orang lain yang menggunakan kekayaan

intelektual tanpa seizin pemegang hak eksklusif pada rezim manapun. Hak

ekonomi yaitu hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari komersialisasi

kekayaan intelektual. Hak moral adalah hak yang melekat pada pemilik

kekayaan intelektual berupa keutuhan dari karya tersebut serta hak untuk

teteap dicantumkan namanya sebagai pencipta atau penemu.55

KI terdiri dari KI Individual dan KI Komunal. KI Individual berupa hak

cipta, merek, paten, desain industry, desain tata letak sirkuit terpadu,

rahasia dagang, serta perlindungan varietas tanaman. Sedangkan KI

55 Sudaryat, et.al, Op. Cit., hlm. 10


37

Komunal terdiri dari Indikasi Geografis, Pengetahuan Tradisional, dan

Ekspresi Budaya Tradisional. Perbedaan pada keduanya terletak pada

pemanfaatan haknya. KI Individual dimiliki oleh seorang atau kelompok

yang bersama-sama menciptakan atau menemukan kekayaan intelektual

seperti yang telah dituliskan diatas, sedangkan KI Komunal tidak bisa

dimiliki oleh seseorang melainkan suatu kelompok masyarakat adat yang

dijaga, dipelihara atas pengetahuan budaya atau tradisi yang sudah ada

turun temurun dari nenek moyangnya, sehingga tidak dapat dialihkan.

Pelindungan pemerintah terhadap hak kekayaan intelektual melalui

hukum adalah upaya memenuhi hak asasi manusia atas kebebasan

berkaryanya. Orang yang telah mengorbankan waktu untuk melakukan

proses kreativitas selayaknya diberi penghargaan dari negaranya. Dengan

adanya perlindungan dari pemerintah maka diharapkan adanya kemauan

untuk penemu atau pencipta lain untuk membangun Indonesia dengan cara

mendaftarkan kekayaan intelektual yang telah dibuat dengan syarat yang

telah ditentukan undang-undang.

B. Tinjauan Umum Mengenai Paten

1. Pengertian Paten

Istilah paten yang dipakai di Indonesia awalnya berasal dari istilah

bahasa Belanda octrooi. Kata ini diadaptasi dari istilah bahasa Latin
38

auctor/auctorizare56 yang berarti dibuka. Artinya suatu penemuan (Invensi)

yang dipatenkan menjadi dapat diketahui umum, namun tetap dalam

perlindungan hukum. Semua rahasia yang berkaitan dengan Invensi

tersebut harus dijabarkan dan dibuka kepada Pemerintah agar

mendapatkan perlindungan hukum yang dilampirkan bersamaan dengan

permohonan paten. Maksudnya dibuka kepada pemerintah adalah agar tiap

penemuan terbuka untuk kepentingan umum, agar bermanfaat bagi

masyarakat luas dan perkembangan teknologi.57 Sangat disayangkan

masyarakat luas menganggap paten sebagai padanan kata “hak kekayaan

intelektual”. Pemahaman ini tidak tepat karena paten hanya salah satu

bentuk perlindungan dari rezim hak kekayaan intelektual.

Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2016, Paten adalah

hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil

invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan

sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain

untuk melaksanakannya.58 Invensi dalam UU Paten adalah ide inventor

yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang

spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau

penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

56 Endang Purwaningsih, “Paten Sebagai Konstruksi Hukum Perlindungan Terhadap


Invensi Dalam Bidang Teknologi dan Industri”, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 24 No. 2,
April 2006, hlm. 129
57 Doddy Kridasaksana, Suatu Pengantar Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia,

Semarang: Semarang University Press, 2005, hlm. 15


58 Pasal 1 ayat (1) UU Paten 2016
39

2. Objek Paten

Bidang teknologi yang dimaksud dalam UU Paten merupakan

bidang-bidang seperti kimia-farmasi, biologi, dan elektro-fisika (invensi

yang diimplementasikan-komputer).59 Objek perlindungan paten ada di

bidang teknologi. Dapat berupa teknologi tinggi (hi-tech) atau teknologi

sederhana (low-tech). Agar mendapat perlindungan paten, Invensi harus

dapat memecahkan masalah spesifik yang dibutuhkan masyarakat. Paten

dapat berupa produk maupun proses, atau penyempurnaan dan

pengembangan produk atau proses.60

Perlindungan paten meliputi Paten dan Paten Sederhana.

Perlindungan Paten biasa diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung

langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Sedangkan Paten

Sederhana diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk

atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat

diterapkan dalam industri.61 Pasal 4 UU Paten menyebutkan bahwa Invensi

tidak mencakup:

a. kreasi estetika;

b. skema;

c. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:

59 Kementerian Hukum dan HAM, Petunjuk Teknis Pemeriksaan Petunjuk Paten, Jakarta:
Kemenkumham, lampiran
60 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Buku Ajar Hukum Kekayaan

Intelektual, Bandung: Unpad Press, 2016, hlm. 124


61 Pasal 3 (ayat 2) UU Cipta Kerja
40

1) Yang melibatkan kegiatan mental;

2) Permainan; dan

3) Bisnis.

d. Aturan dan metode yang hanya berisi program komputer;

e. Presentasi mengenai suatu informasi; dan

f. Temuan (discovery) berupa:

1) Penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau

dikenal; dan/atau

2) Bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak

menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat

perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari

senyawa.

Invensi yang dianggap baru adalah jika pada Tanggal Penerimaan62

permohonan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Invensi

tersebut sama sekali tidak diungkapkan sebelumnya.63 Teknologi yang

diungkapkan sebelumnya ini merupakan teknologi yang telah diumumkan

di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau

melalui peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan

seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum ada tanggal

penerimaan atau tanggal prioritas (dalam hal mengajukan permohonan

62 Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah memenuhi


persyaratan minimum. (Pada tahap pemeriksaan administrasi)
63 Pasal 5 ayat (1) UU Paten
41

dengan Hak Prioritas64). Hal ini juga termasuk jika ada yang sudah

mengajukan permohonan terhadap DJKI, dan tanggal penerimaannya lebih

dahulu, begitu juga dengan tanggal penerimaan pada permohonan dengan

hak prioritas.65

Dalam pendaftaran paten, bagian yang dilindungi adalah ‘klaim’.

Klaim adalah bagian dari permohonan yang menggambarkan inti invensi

yang dimintakan perlindungan hukumnya, yang diuraikan secara jelas dan

harus didukung oleh deskripsi. Klaim tersebut mengungkapkan tentang

semua keistimewaan teknik yang terdapat dalam invensi. Penulisannya

diketik dengan bahasa Indonesia dan tidak boleh mengandung kata-kata

yang meragukan dan ambigu. Jika ada bahasa teknis, harus ditulis dengan

bahasa yang baik dan benar dan ditulis terpisah dari uraian invensi. Klaim

tidak boleh berisi gambar atau grafik, namun dapat berisi tabel, rumus

matematika, hingga rumus kimia.66

Seperti yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Paten, Objek Paten yang

mendapat perlindungan paten harus mengandung syarat & kriteria

(Patentabilitas) yaitu:67

64 Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari
negara yang tergabung dalam Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan Industri
(Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World
Trade Organization) untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara
asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua
perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan berdasarkan perjanjian internasional dimaksud.
65 Pasal 5 ayat (3) UU Paten
66 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Loc.cit.
67 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Ibid
42

a. Baru (Novelty)

Artinya pada saat tanggal penerimaan, invensi tidak sama dengan

teknologi yang saat itu ada atau diungkapkan sebelumnya (prior art

atau the state of art). Pengungkapan dapat berbentuk secara lisan

seperti peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan

seorang ahli dapat melaksanakan hal tersebut. Invensi tidak

dianggap telah diumumkan jika dalam waktu paling lama 6 (enam)

bulan sebelum Tanggal Penerimaan, Invensi telah: dipertunjukkan

dalam suatu pameran resmi atau dalam suatu pameran yang diakui

sebagai pameran resmi, baik yang diselenggarakan di Indonesia

maupun di luar negeri; digunakan di Indonesia atau di luar negeri

dengan tujuan penelitian/pengembangan; diumumkan oleh

inventornya dalam sidang ilmiah maupun forum ilmiah, dan invensi

juga tidak dianggap telah diumumkan jika dalam waktu 12 (dua

belas) bulan sebelum tanggal penerimaan, ada pihak lain yang

mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga

kerahasiaan Invensi tersebut.68

b. Mengandung Langkah Inventif (Inventive Step)

Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi

seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik

merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.69

68 Pasal 6 UU Paten
69 Pasal 7 UU Paten
43

c. Dapat Diterapkan Dalam Industri (Industrial Applicable)

Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat

dilaksanakan dalam industri sebagaimana diuraikan dalam

Permohonan. Jika berupa produk, harus dapat diproduksi berulang-

ulang secara massal dengan kualitas yang sama, jika paten berupa

proses harus dapat diterapkan dalam kegiatan produksi dan mampu

dijalankan atau digunakan dalam praktik. Unsur teknologi dan

industri kental dan invensi itu haruslah dalam bidang teknologi dan

dapat diterapkan dalam aktivitas industri.70

d. “Tidak dapat dipatenkan jika paten meliputi:71

1) Proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau

pelaksanaanya bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

2) Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau

pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau

hewan;

3) Teori dan metode ilmu pengetahuan dan matematika;

4) Makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau

5) Proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman

atau hewan, kecuali proses non biologis atau proses

mikrobiologis.”

70 Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Loc.cit.


71 Pasal 9 UU Paten
44

e. Untuk jangka waktu perlindungan Paten, diberikan waktu 20 (dua

puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan tidak dapat

diperpanjang. Tanggal mulai dan berakhirnya perlindungan

diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-

elektronik.72 Sedangkan perlindungan paten sederhana diberikan

untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal

Penerimaan. Hal ini sudah sesuai dengan perjanjian TRIPs. Pada

prakteknya perlindungan paten sekitar 5 sampai 10 tahun. Di negara-

negara maju, umumnya perlindungan diberikan antara 15-20 tahun,

seperti di Amerika dan Kanada yang memiliki perlindungan 17 tahun

sedangkan Italia dan Jepang 15 tahun.73

3. Subjek Paten

Dalam paten penemu dikenal dengan istilah Inventor. Inventor

adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama

melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan

Invensi. Inventor harus melakukan pendaftaran untuk mendapatkan

perlindungan terhadap hak eksklusif invensinya. Inventor tidak berarti selalu

menjadi pemegang paten. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai

pemilik paten, pihak yang menerima hak atas paten tersebut dari pemilik

Paten, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak atas Paten tersebut

yang terdaftar dalam daftar umum Paten. Pihak yang berhak memperoleh

72 Pasal 22 UU Paten
73 Doddy Kridasaksana, Op.cit., hlm. 20
45

Paten adalah Inventor atau orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor

yang bersangkutan. Jika invensinya dihasilkan oleh beberapa orang secara

bersama-sama, hak atas Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para

Inventor yang bersangkutan. Berbeda jika dalam hubungan kerja,

Pemegang Paten atas Invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam

hubungan kerja merupakan pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali

diperjanjikan lain. Ketentuan ini juga berlaku terhadap Invensi yang

dihasilkan, baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data

dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya.74

4. Pengalihan Hak, Lisensi, dan Lisensi-Wajib

Hak eksklusif berupa hak ekonomi dalam paten adalah hak yang

diberikan kepada inventor ataupun pemegang paten untuk jangka waktu

tertentu guna melaksanakan sendiri secara komersial atau memberikan hak

lebih lanjut kepada orang lain, dengan demikian, orang lain dilarang

melaksanakan paten tersebut tanpa persetujuan pemegang paten.

Dikatakan hak ekonomi ada karena KI adalah benda yang dapat dinilai

dengan uang. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang

yang diperoleh karena penggunaan sendiri KI, atau karena penggunaan

74 Pasal 12 UU Paten
46

oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Hak Pemegang Paten yang dilindungi

berupa:

1. Memiliki hak eksklusif melarang orang lain melakukan proses

atau membuat produk tanpa persetujuan Pemegang Paten.75

● Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual,

mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan

untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang

diberi Paten;

● Dalam hal Paten-proses; menggunakan proses produksi

yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya.

2. Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain

berdasarkan surat perjanjian lisensi.

3. Berhak menggugat ganti rugi melalui pengadilan negeri

setempat sebagaimana melakukan angka 1 diatas.

4. Berhak menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak

melanggar hak pemegang paten.

Disamping Hak Ekonomi ada aspek lain dalam hak eksklusif yaitu

Hak Moral (Moral Right). Hak Moral adalah hak yang melindungi

kepentingan pribadi atau reputasi penemu. Walau hak paten dapat

dialihkan, Hak Moral melekat pada pribadi penemu dan bersifat kekal.

75 Pasal 19 UU Paten
47

Bersifat kekal berarti melekat pada penemu selama ia hidup bahkan setelah

meninggal. Berbeda dengan hak ekonominya, perlindungan terhadap hak

ekonomi hanya terpaut waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Artinya Hak atas Paten yang dapat dialihkan hanyalah hak ekonominya.

Hak atas paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun

sebagian karena pewarisan; hibah; wasiat; wakaf; perjanjian tertulis; atau

sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.76 Pengalihan hak tidak serta merta menghapus hak Inventor

untuk tetap dimuat nama dan identitasnya dalam sertifikat Paten.

Pemegang paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk

melaksanakan hak pemegang paten pada pasal 19 UU Paten. 77 Imbalan

dalam perjanjian Lisensi disebut dengan istilah Royalti. Perjanjian Lisensi

dapat mencakup sebagian atau semua perbuatan yang diatur dalam pasal

19 UU Paten. Perjanjian Lisensi ini hanya berlaku dalam wilayah Indonesia

selama waktu yang ditentukan. Pemegang Paten berhak melaksanakan

sendiri patennya sebagaimana dimaksud dalam perjanjian Lisensi, kecuali

diperjanjikan lain dalam klausula.78

76 Pasal 74 UU Paten
77 Pasal 76 UU Paten
78 Pasal 77 UU Paten
48

Berbeda dengan perjanjian Lisensi, Lisensi-Wajib merupakan

Lisensi bersifat non-eksklusif untuk melaksanakan Paten yang diberikan

berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan:

1) Pemegang Paten tidak melaksanakan proses di Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 (ayat 1) dalam jangka

waktu 36 bulan setelah diberikan Paten;

2) Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten penerima

Lisensi dalam bentuk yang merugikan masyarakat;

3) Paten hasil pengembangan dari Paten yang telah diberikan

sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa penggunaan

Paten pihak lain yang masih dalam perlindungan.

Permohonan Lisensi-Wajib memiliki syarat dan ketentuan yang harus

dipenuhi oleh pemohon, yaitu pemohon harus mengajukan bukti

mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten dimaksud

secara penuh dan mempunyai fasilitas untuk melaksanakan paten tersebut;

pemohon sudah berusaha mengambil langkah-langkah untuk mengadakan

perjanjian Lisensi dari pemegang paten, namun tidak memperoleh hasil;

dan Menteri berpendapat Paten dimaksud dapat dilaksanakan di Indonesia

dalam skala ekonomi yang layak dan memberi manfaat kepada

masyarakat.79 Artinya Lisensi-Wajib adalah permohonan yang diajukan

79 Pasal 84 UU Paten
49

oleh pihak lain selain negara dengan alasan tertentu, untuk melaksanakan

paten, dan dengan syarat tertentu.

Permohonan yang dikabulkan oleh Menteri ditetapkan melalui

Keputusan Menteri mengenai pemberian Lisensi-Wajib kepada pemohon

atau kuasanya. Berbeda dengan perjanjian lisensi, Royalti pada Lisensi-

Wajib diistilahkan dengan Imbalan bukan Royalti.80 Penerima Lisensi-Wajib

harus membayar Imbalan kepada Pemegang Paten. Berakhirnya Lisensi-

Wajib karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan

pemberian Lisensi-Wajib oleh menteri. Selain itu adanya putusan

pengadilan niaga yang membatalkan pemberian pemberian Lisensi-Wajib

tersebut. Berakhirnya Lisensi-Wajib juga bisa karena alasan yang dijadikan

dasar sudah tidak ada; penerima Lisensi-Wajib tidak melaksanakan Lisensi-

Wajib; atau penerima Lisensi-Wajib tidak menaati syarat dan ketentuan

lain.81

Pengaturan mengenai Lisensi-Wajib (Compulsory License) memiliki

pihak pro di satu sisi dan kontra di sisi lain. Pihak pendukung mengatakan

ketentuan hukum mengenai lisensi-wajib ini harus ada untuk memaksa

pemegang paten melaksanakan patennya, sehingga masyarakat dapat

menerima keuntungan dari inovasi tersebut. Di sisi lain pihak yang kontra

mengatakan adanya ketentuan ini justru menghancurkan insentif penelitian

80 Pasal 88 UU Paten
81 Pasal 103 UU Paten
50

bagi para peneliti padahal inilah inti perlindungan hak paten.82 Keuntungan

yang memungkinkan adanya ketentuan ini adalah, pertama, lisensi-wajib

dapat membantu membuat paten terdaftar yang tidak dilaksanakan

prosesnya atau diproduksi produknya, menjadi harus dilaksanakan

dan/atau diproduksi oleh si pemegang paten di negara terdaftar. Kedua,

lisensi-wajib juga dapat mendorong pemegang paten membawa invensinya

kepada industri untuk menghindari lisensi-wajib dengan alasan yang sesuai

dengan undang-undang paten. Ketiga, keuntungan potensial yang ada dari

lisensi-wajib adalah para penemu tidak perlu membuang-buang waktu

untuk membuat produk imitasi dan hanya ‘bergerak di tempat’ saja. Artinya

lisensi-wajib dapat mengurangi energi penemu yang berkutat di penemuan

yang sama.83

Di Amerika Serikat Compulsory License cenderung digunakan oleh

pemerintah atau pihak ketiga untuk kepentingan nasional juga untuk

membantu mengembangkan pemanfaatan dari paten tersebut. Biasanya

hal ini diberlakukan pada paten farmasi untuk melawan keadaan darurat

negara. Tentunya penggunaan oleh negara bersifat secara non komersial.

Keseluruhan ketentuan ini telah dimandatkan oleh TRIPs pada pasalnya

yang ke-31. Sebagai tambahan, pemberian lisensi-wajib harus

mempertimbangkan kemampuan produktivitas penerima lisensi, imbalan

yang wajar didasarkan dari nilai lisensi, serta klausa penggunaan non-

82 Lauroesch, Mark W., “General Compulsory Patent Licensing in the United States: Good
in Theory, But Not Necessary in Practice” , Vol. 6 Santa Clara High Tech. L.J. 41 (1990).
83 Lauroesch, Mark W, Ibid
51

eksklusif dan ketentuan tidak dapat mengalihkan hak kepada pihak lain. 84

Namun implementasi mengenai lisensi-wajib sulit untuk dilakukan, dengan

kata lain penggunaan lisensi-wajib sangat minim. Sebanyak 193 negara

yang diteliti, 90% diantaranya mengatur mengenai ketentuan lisensi-

wajib.85

C. Tinjauan Umum Tentang Kepentingan Umum

Pembatasan terhadap KI ini berawal dari TRIPs pada pasalnya yang

ketujuh, mengisyaratkan untuk mengatur bagaimana negara tetap

melindungi hak eksklusif dalam Kekayaan Intelektual namun tidak

menaruhnya di atas kepentingan umum dan kesejahteraan sosial. Hal ini

dibuat untuk memenuhi hak asasi manusia masyarakat dunia seperti yang

telah diatur dalam DUHAM Pasal 27 (ayat 2) yang menyatakan: “Setiap

orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-

keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya

ilmiah, kesusastraan atau kesenian yang diciptakannya”.

Tidak terlepas dari DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya pasal 12 yang berbunyi “negara-negara pihak

84
Yang, Deli, “Compulsory Licensing: For Better or For Worse, the Done Deal Lies in the
Balance”, Global IP Debates: Vol. 17, January 2012, pp 76-81 (78)
85
Yang, Deli, Ibid
52

pada kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk mengenyam standar

kesehatan fisik dan mental yang tertinggi” dan Pasal 15 (ayat 1b)

menyatakan bahwa negara-negara peserta perjanjian mengakui hak setiap

orang dalam hal ini, menikmati manfaat kemajuan ilmiah dan

penerapannya.86 Kaidah-kaidah hukum ini termaktub juga ke dalam hukum

positif Indonesia pada pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, “negara

sehubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

seyogyanya lebih memperhatikan warganya yang kurang beruntung”. 87 Hal

ini selaras dengan Pasal 34 (ayat 3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan

dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Ketika kita melihat kekayaan

intelektual selain Paten, definisi dari pasal 1 (ayat 1) UU No. 28 Tahun 2014,

Hak Cipta adalah hak eksklusif dengan pembatasan sesuai peraturan

perundang-undangan. Hal ini menandakan hak kekayaan intelektual

memiliki dasar kepentingan umum. Salah satu penyebabnya karena

Indonesia tidak memiliki paham individualism dalam arti sebenarnya. Hak

individu tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

86
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
87Anis Mashdurohatun, Mengembangkan Fungsi Sosial Hak Cipta Indonesia: Suatu Studi
Pada Karya Cipta Buku, Semarang: UNS Press, 2016, hlm. 92
53

umum. Norma ini dibangun atas kegelisahan berbenturan kepentingan

individu dengan kepentingan masyarakat.88 Pembatasan hak cipta maupun

kekayaan intelektual lainnya didasari konsep fungsi sosial, konsep

keseimbangan hak dan kewajiban serta norma kesusilaan dan ketertiban

umum.

Fungsi sosial diawali dengan diakuinya hukum adat di Indonesia,

dalam hal ini pemahaman komunal. Menurut supomo dalam hukum adat,

manusia bukan individu terasing, bebas dari segala ikatan dan semata-

mata hanya ingat keuntungan sendiri, melainkan ia adalah anggota

masyarakat.89 Maka dari itu dalam hukum adat yang primer adalah

masyarakat, bukanlah individu. Masyarakat berdiri ditengah-tengah

kehidupan hukum. Masyarakat ialah keseluruhan dari sekalian anggota-

anggota seorang-seorang. Karena itu keinsyafan individu bercampur baur.

Itulah sebabnya hukum adat mempunyai sifat komunal (untuk bersama).90

Dengan pemahaman komunal di Indonesia ini, tidak mudah bagi

masyarakat untuk berhadapan dengan keharusan mengikuti sistem

88 Anis Mashdurohatun, Ibid


89 Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Jakarta: Pradya
Paramita, 1983, hlm. 10
90 Supomo, Op.cit., hlm. 11
54

berhukum dalam bidang HKI yang mengusung konsep individual atas nama

pentaatan terhadap kesepakatan internasional, terlebih ketika hukum yang

harus diikuti adalah konsep hukum yang eksklusif dan berbeda terhadap

hak kepemilikan dalam konsep komunal. Konsep hak milik pada umumnya

dikenal dengan hak milik atas benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Konsep hak milik atas benda bergerak dapat dibagi dalam hak milik benda

bergerak berwujud dan benda bergerak tidak berwujud seperti hak

kekayaan intelektual, yaitu suatu hak milik yang muncul karena aktivitas

hasil kreativitas intelektual seseorang (alter ego).

Konsep hak milik intelektual ini sama dengan hak milik atas tanah.91

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pasal 6 merumuskan

semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini membuktikan

bahwa hak milik bukan berarti semata-mata hanya dipergunakan untuk

kepentingan pribadi apalagi menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat

daripada haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan

kebahagiaan pemilik hak maupun bagi masyarakat dan negara. Fungsi

sosial pada tanah ini merupakan wujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat,

91 Anis Mashdurohatun, Op.cit., hlm 93


55

sehingga selalu berkaitan erat dengan jaminan hak milik pribadi dan

kepentingan bersama, yakni menjaga agar orang tidak saling merugikan

satu sama lain dan mengarahkan manusia untuk menggunakan hak milik

demi kepentingan bersama.

Menurut Abdulkadir Muhammad, sistem hukum Indonesia setiap hak

milik memiliki fungsi sosial termasuk juga HKI. Fungsi sosial ini

mengandung makna bahwa hak milik di samping untuk kepentingan pribadi,

juga kepentingan umum. Kepentingan umum merupakan pembatasan

terhadap penggunaan hak milik pribadi yang diatur dengan peraturan

perundang-undangan.92 Budi Rahardjo mengatakan perlindungan HKI

seharusnya memang memperhatikan manfaat sebesar-besarnya kepada

masyarakat luas, bukan hanya kepentingan individu.93 Selanjutnya menurut

William Fisher, ada 4 pendekatan yang berkaitan dengan pengaturan HKI,

yaitu:94

1. Pengaturan hak milik seharusnya dimaksimalkan untuk

kesejahteraan masyarakat banyak, dengan demikian harus

92 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 25
93 Muhamad Djumhana, Perkembangan Teori dan Doktrin Perlindungan Hak Kekayaan

Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 33


94 William Fisher, Theories of Intellectual Property: new Essays in the Legal and Political

Theory of Property, dalam Anis Mashdurohatun, Op.cit., hlm. 101


56

dioptimalkan keseimbangan antara kekuatan eksklusif yang

dimiliki pencipta untuk mendorong kreasi dan penemuan,

serta hak public untuk memperoleh atau menikmati suatu

ciptaan (dipengaruhi pandangan kaum Utilitarian);

2. Seseorang telah berusaha telah bersusah payah

menuangkan segala kemampuan atau keahliannya untuk

menciptakan sesuatu maka sudah sewajarnya memperoleh

hak milik alamiah atas jerih payahnya (dipengaruhi

pandangan John Locke);

3. Pengaturan hak milik intelektual seharusnya didasarkan

sebagai pemberian perlindungan karena investasi yang telah

ditanamkan atau sebagai hasil kreativitas atau kepandaian

pencipta yang telah mengekspresikan ide cemerlangnya juga

didasarkan pada alasan mereka telah menciptakan kondisi

sosial ekonomi, yang pada hakikatnya penting untuk

kemajuan manusia itu sendiri (dipengaruhi pandangan Kant

dan Hegel);

4. Hak milik pada umumnya, hak milik pada khususnya, dapat

dan seharusnya dibentuk guna membantu mendorong

pencapaian keadilan dan attractive culture.

Berdasarkan uraian diatas diharapkan fungsi sosial menguntungkan kedua

belah pihak dengan cara yang adil, baik bagi pencipta atau penemu atas
57

hak moral maupun ekonominya maupun bagi masyarakat luas karena

adanya kemajuan kualitas kehidupan dan mensejahterakan negara.


BAB III

PELINDUNGAN PATEN VAKSIN COVID-19 DAN PELAKSANAAN

PATEN OLEH PEMERINTAH

A. Pelindungan Paten Vaksin COVID-19

Vaksin merupakan zat yang dikombinasikan untuk merangsang

pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu. Dalam hal ini vaksin

COVID-19 adalah vaksin yang dibuat melalui virus yang dinonaktifkan

dengan cara melemahkan virus menggunakan bentuk patogen yang

dilemahkan. Selain itu ada juga vaksin yang menggunakan materi genetik

sintesis secara kimiawi di laboratorium dan cara terakhir adalah membuat

virus tidak aktif dengan mematikan patogen bukan melemahkan ataupun

dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ia tidak akan bereplikasi. 95

Mengetahui hal ini vaksin ada yang merupakan makhluk mikro organisme

yang dinonaktifkan atau dilemahkan sehingga dapat menjadi objek yang

dapat dipatenkan.

Hal ini berlaku sesuai pasal 27 TRIPs bahwa penemuan (invensi)

yang dapat menyangkut ketertiban umum dan moralitas termasuk

mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan atau kesehatan

95
Rizal Setoy Nugroho, “Bagaimana Vaksin Covid-19 Dibuat dan Cara Kerjanya?”, 2021,
<https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/30/070000965/bagaimana-vaksin-covid-19-
dibuat-dan-cara-kerjanya-?page=all> [diakses 02/04/2021]

58
59

tidak dapat dipatenkan. Namun terdapat pengecualian pada

tumbuhan dan tanaman seperti mikro organisme, non biologis dan

mikrobiologis proses, hal ini dapat dipatenkan. Vaksin merupakan zat yang

dikombinasikan untuk merangsang pembentukan kekebalan tubuh dari

penyakit tertentu

Vaksin memiliki beberapa tahapan sebelum dapat diproduksi

massal. Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19,

Wiku Adisasmito, proses pertama (TAHAP I) diawali dengan penelitian

menelusuri mekanisme potensial berdasarkan ilmu yang dipakai (science

and bio medical).96 Tahap ini bertujuan untuk melihat bagaimana reaksi sel-

sel virus yang diperbanyak dan jika diekstraksi dalam jumlah lebih banyak.

Pada tahap I biasanya vaksin sudah dibuat dalam jumlah terbatas. Pada

TAHAP II, dilakukan uji pre-klinis pada hewan dengan tujuan mengetahui

tingkat keamanan vaksin jika diujikan kepada manusia. Selanjutnya pada

TAHAP III, IV, dan V disebut dengan tahap uji klinis.

Inventor harus memperhatikan proses atau produknya agar tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban

umum, atau kesusilaan.97 Bahan dasar ataupun zat yang digunakan harus

dari barang yang sudah dijamin kehalalannya, karena hal ini dapat berakibat

bagi distribusi vaksin itu sendiri. Adanya perhatian inventor kepada hal ini

akan membuat vaksin dapat diakses dengan mudah.

96Barratut Taqiyyah Rafie, “5 Tahap Pengembangan Vaksin, Mulai Penelitian Hingga


Produksi Massal” < https://kesehatan.kontan.co.id/news/5-tahap-pengembangan-vaksin-
mulai-penelitian-hingga-produksi-massal?page=all> [diakses pada 23/06/2021]
97
Pasal 9 UU Paten
60

Ada 3 fase, fase pertama memastikan keamanan dosis pada

manusia dengan menilai farmaco kinetic dan farmaco dinamik. Pada fase 2,

studi mulai dilakukan pada sampel 100 sampai 500 orang dengan tujuan

menilai keamanan serta efikasi untuk menentukan rentan dosis paling

optimal dan efek samping jangka pendek. Setelah itu ada fase ketiga

dengan uji sampel 1000 sampai 5000 orang untuk memastikan keamanan,

efikasi, keuntungan yang melebihi risiko pengguanaan pada populasi yang

lebih besar. Namun tidak sampai pada tahap ini, setelah selesai fase uji

klinis ketiga, maka harus mendapatkan persetujuan dari Badan

Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).98 Dari sisi peraturan

internasional saat ini, peraturan yang mengatur mengenai proses

pembuatan vaksin dari hulu ke hilir, uji klinis, dan proses lisensi sampai

vaksin tersebut dapat dilepas di pasaran diatur ketat dalam prosedur Good

Manufacturing Practices (GMP) hingga Post marketing Surveillance.99

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paten memiliki syarat

patentabilitas agar dapat mendapat perlindungan. Namun sebelum

berbicara mengenai substansi, permohonan harus melalui pemeriksaan

administratif selama maksimal 14 hari. Jika permohonan dinyatakan tidak

lengkap, DJKI memberitahukan pemohon atau kuasa hukum untuk

melengkapi dokumen-dokumen yang telah diatur dalam pasal 25 (Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten) selama tiga sampai enam

98 Barratut Taqiyyah Rafie, Ibid


99 WHO, Peraturan-peraturan Yang Mengatur tentang Vaksin, < https://in.vaccine-safety-
training.org/vaccine-regulations.html>, [diakses pada 23/06/2021]
61

bulan. Sebaliknya, jika dinyatakan lengkap sesuai dengan pasal 25 (syarat

minimum), paten sudah mulai mendapatkan perlindungannya di negara

tempat pemohon mendaftarkan atau tanggal prioritas jika melalui hak

prioritas.

Setelah dinyatakan lengkap secara administratif, permohonan paten

diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik

sehingga dapat dilihat oleh setiap orang. Pengumuman dilakukan dalam

waktu enam hingga 18 bulan. Jika dalam pengumuman terdapat keberatan,

dijadikan pertimbangan oleh pemeriksa paten. Setelah dinyatakan tidak ada

keberatan, selama waktu 30 bulan dan disetujui baru diberikan sertifikat

dalam waktu maksimal 2 bulan. Jika tidak disetujui, pemohon dapat

mengajukan banding ke komisi banding, jika masih ditolak dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan niaga. Keputusan pengadilan adalah

keputusan final mengenai permohonan paten, sehingga jika dinyatakan

ditolak maka upaya hukum terakhir adalah mengajukan kasasi. Ketentuan

ini berlaku dalam objek paten apapun, dalam hal ini vaksin maupun obat

COVID-19.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pendaftaran paten

sudah mendapat perlindungan sejak tanggal penerimaan. Maka bagi para

inventor pelindungan vaksin COVID-19 dapat didaftarkan untuk

mendapatkan perlindungan walaupun masih dalam tahap pengembangan.

Pendaftaran dilakukan dengan memenuhi syarat patentabilitas. Dalam

pendaftaran paten kita mengenal syarat-syarat sebuah penemuan bisa


62

mendapatkan paten. Syarat pertama Kebaruan, Langkah Inventif, dan

Dapat Diterapkan Dalam Industri. Vaksin yang dikatakan baru berarti tidak

sama dengan vaksin yang ada selama ini atau tidak pernah diungkapkan

sebelumnya, termasuk dalam seminar atau pameran sehingga bisa disebut

Baru (Novelty). Ini berarti vaksin yang dapat didaftarkan adalah vaksin

dengan sel-sel virus baru.

Invensi dalam hal ini vaksin COVID-19 juga harus mengandung

Langkah Inventif (Inventive Step) yang ahli sekalipun tidak dapat menduga

akan adanya penemuan ini. Jika dalam masa Research and Development

inventor menemukan metode baru dalam memproduksi vaksin atau untuk

memecahkan masalah teknis maka hal ini juga dapat termasuk dari langkah

inventif. Terakhir, vaksin harus dapat diproduksi dan diterapkan pada

industry. Artinya produk atau proses harus dapat dipakai atau di produksi

berulang-ulang secara massal dengan kualitas yang sama. Hal ini juga

berlaku bagi pihak lain yang memohonkan lisensi, sehingga pihak yang

mendapat lisensi juga dapat memproduksi atau memakai produk sesuai

pasal 19 UU Paten. Keseluruhan ketentuan ini sesuai dengan apa yang

diamanahkan WTO kepada pemerintah untuk melindungi hak eksklusif

kekayaan intelektual paten, sehingga pelindungan paten harus

dimanfaatkan untuk melindungi hak-hak inventor ataupun pemegang paten.


63

B. Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

1. Konsep Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

Pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten yang sudah terdaftar

di Indonesia berdasarkan pertimbangan:100

a. Berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; atau

b. Kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat.

Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah bersifat non-komersial dan hanya

dilaksanakan untuk kebutuhan dalam negeri saja. Pelaksanaan Paten oleh

Pemerintah berdasrkan pertibangan tentang pertahanan dan keamanan

negara meliputi:

a. Senjata api;

b. Amunisi;

c. Bahan peledak militer

d. Intersepsi;

e. Penyadapan;

f. Pengintaian;

g. Perangkat penyandian dan perangkat analisis sandi; dan/atau

h. Proses dan/atau peralatan pertahanan dan keamanan negara

lainnya.

Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dalam hal kebutuhan sangat

mendesak untuk kepentingan masyarakat meliputi:

100 Pasal 109 UU Paten


64

a. Produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal

dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang

dapat mengakibatkan jumlah kematian yang signifikan, dan

merupakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang

Meresahkan Dunia (KKMMD);

b. Produk kimia dan/atau bioteknologi yang berkaitan dengan

pertanian yang diperlukan untuk ketahanan pangan;

c. Obat hewan yang diperlukan untuk menanggulangi hama

dan/atau penyakit hewan yang berjangkit secara luas;

dan/atau

d. Proses dan/atau produk untuk menanggulangi bencana alam

dan/atau bencana lingkungan hidup.

Hak eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 UU Paten

dalam hal pelaksanaan paten oleh pemerintah yang berkaitan dengan

pertahanan dan keamanan negara tidak dapat dilaksanakan, sedangkan

dalam hal pelaksanaan paten oleh pemerintah pada kebutuhan sangat

mendesak bagi kepentingan masyarakat, tidak mengurangi hak

eksklusifnya.101

Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah dicatat dalam daftar umum

paten dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-

elektronik. Keputusan pemerintah bahwa suatu paten dilaksanakan sendiri

oleh pemerintah bersifat final dan mengikat. Pemerintah melaksanakan

101 Pasal 112 UU Paten


65

sendiri paten dengan tetap memberi imbalan yang wajar kepada Pemegang

Paten sebagai kompensasi. Dalam hal pemerintah tidak dapat

melaksanakan sendiri paten, pemerintah dapat menunjuk pihak ketiga

untuk melaksanakan paten dengan syarat-syarat seperti:102

a. Memiliki fasilitas dan mampu melaksanakan Paten;

b. Tidak mengalihkan pelaksanaan paten dimaksud kepada

pihak lain; dan

c. Memiliki cara produksi yang baik, peredaran, dan

pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pemberian Imbalan atas nama pemerintah tetap dilakukan melalui pihak

ketiga yang ditunjuk untuk melaksanakan Paten tersebut. Biaya ini

dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jika

Pemegang Paten tidak menyetujui besaran imbalan yang diberikan oleh

pemerintah, pemegang paten dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan

Niaga dalam jangka waktu paling lama 90 hari. Namun gugatan tersebut

tidak dapat menghentikan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.

2. Hak dan Kewajiban Pemerintah

Pemerintah dalam melaksanakan paten sendiri memiliki hak

tertentu. Pemerintah berhak melaksanakan paten sendiri jika paten

mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan dan

102 Pasal 116 UU Paten


66

keamanan negara. Namun dalam hal pemerintah tidak atau belum

bermaksud untuk melaksanakan sendiri, paten dapat dilaksanakan oleh

pemegang paten hanya dengan persetujuan pemerintah. Paten yang

dilaksanakan pemerintah sendiri oleh pemerintah dalam hal pertahanan

dan keamanan negara dibebaskan dari kewajiban membayar biaya

tahunan paten.103 Berbeda dengan pelaksanaan paten oleh pemerintah

dalam hal kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat,

pemegang paten tetap membayar biaya tahunan.104 Biaya yang diperlukan

dalam rangka pelaksanaan paten oleh pemerintah dialokasikan dari

Anggaran

Pemerintah dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan paten

sesuai pasal 109 ayat (1). Pihak yang ditunjuk pemerintah wajib memenuhi

persyaratan:

a. Memiliki fasilitas dan mampu melaksanakan Paten;

b. Tidak mengalihkan pelaksanaan Paten dimaksud kepada pihak lain;

dan

c. Memiliki cara produksi yang baik, peredaran dan pengawasan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan paten oleh pemerintah diawali dengan pengajuan surat

permohonan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-

kementerian kepada Menteri Hukum dan HAM. Kemudian Menteri Hukum

103 Pasal 113 UU Paten


104 Pasal 118 UU Paten
67

dan HAM memberitahukan kepada Pemegang Paten mengenai pengajuan

permohonan pelaksanaan paten oleh pemerintah sejak pemeriksaan

administratif dan terdapat perlindungan paten.105 Pemerintah dalam

melaksanakan paten harus mencatatkan pelaksanaan paten oleh

pemerintah dalam daftar umum paten dan mengumumkannya.

Pengumuman dilakukan melalui media elektronik dan/atau media non-

elektronik.106

Dalam hal ada pendaftaran paten di Indonesia, menteri Hukum dan

HAM membentuk tim yang bertugas dalam memberikan pertibangan dan

menentukan besaran imbalan. Tim terdiri atas unsur:107

a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

di bidang hukum;

b. kementerian/lembaga yang terkait dengan permohonan

pelaksanaan Paten;

c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

di bidang keuangan;

d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

di bidang kesekretariatan negara; dan

e. tenaga ahli.

Imbalan diberikan dalam jumlah yang wajar. Pemberian imbalan ini

merupakan kompensasi atas pelaksanaan paten oleh pemerintah. Jika

105 Pasal 9 Peraturan Presiden (Perpres) No. 77 Tahun 2020


106 Pasal 21 Perpres No. 77 Tahun 2020
107 Pasal 28 Perpres No. 77 Tahun 2020
68

pemerintah menunjuk pihak ketiga, pemberian imbalan tetap dilakukan oleh

pihak ketiga.

Pelaksanaan paten oleh pemerintah menandakan hal yang penting

mengenai tugas sosial dari pemerintah. Banyak negara yang mengatur

mengenai pembatasan ini dalam hukum nasionalnya, salah satunya negara

India. Sebagai perbandingan, India telah banyak menangani kasus

mengenai pelaksanaan paten oleh pemerintah dengan ketentuan yang

ditafsirkan luas sehingga memaksa pemerintah menunjukkan alasan yang

memadai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

mendapatkan kuasa dari pemegang paten atas pelaksanaan paten oleh

pemerintah.108

3. Pelaksanaan Paten COVID-19 Oleh Pemerintah

Sesuai pasal 109 (ayat 1), prinsipnya pelaksanaan paten oleh

pemerintah itu dilaksanakan atas permintaan pemerintah sendiri. Dalam

keadaan mendesak pemerintah ingin melaksanakan paten, sehingga

permintaan datang melalui Kementerian Kesehatan (dalam hal KKMMD -

pandemi). Hal ini bisa terjadi jika vaksin Pfizer yang sudah diberi hak

eksklusif di Amerika juga didaftarkan di Indonesia. Kementerian kesehatan

melalui departemen kesehatan mengirim surat ke departemen kekayaan

intelektual Kementerian Hukum dan HAM bahwa pemerintah ingin memakai

108Avasarala, Sameer and Jain, Chhavi, “Government Use of Patents: Understanding of


Limits & Evolving Indian Jurisprudence in Comparative Light” (March 24, 2019). Available
at SSRN: https://ssrn.com/abstract=3359118 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3359118
69

paten Pfizer. Jika pemerintah tidak bisa melaksanakan paten, maka

pemerintah dapat menunjuk pihak ketiga yang mampu memenuhi syarat

pelaksanaan paten seperti contoh kimia farma. Maka kimia farma sesuai

amanah pemerintah ikut andil. Tetapi walaupun dalam ketentuan

perundang-undangan pemerintah bisa langsung melaksanakan paten,

menteri kesehatan tetap menyurati pihak vaksin Pfizer dengan tujuan

pemberitahuan akan dilakukan pelaksanaan paten oleh pemerintah

Indonesia demi terjalinnya hubungan yang baik. Pelaksananya akan

ditunjuk kemudian oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah.

Sehingga prinsip pelaksanaan paten oleh pemerintah adalah G2B

(government to business).

Pelaksanaan paten tidak harus dilakukan BUMN. Namun yang perlu

diperhatikan adalah fasilitas yang memadai sesuai ketentuan yang

diberikan oleh pemegang paten. Perusahaan farmasi Indonesia yang

memiliki fasilitas baik salah satunya adalah Dexa Medica. Tetapi berlaku

sebaliknya, jika BUMN mampu memproduksi vaksin sesuai standar yang

diberikan pemegang paten maka dapat dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah (BUMN). Hal ini sangat penting diperhatikan karena ada

beberapa vaksin bahkan obat yang memiliki ketentuan khusus untuk

pemeliharaannya. Contohnya dalam obat vaksin COVID-19, Remdesivir,

milik Gilead Science yang harus disimpan dalam suhu ruangan -50° C.

Prinsip dalam pelaksanaan paten oleh pemerintah, harga ditentukan

oleh sepihak oleh pemerintah. Sehingga tidak ada campur tangan oleh
70

pemegang paten. Jika keberatan terhadap harga yang ditentukan, dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan niaga. Namun hal ini tidak

memberhentikan pelaksanaan paten tersebut. Pemerintah memberi harga

berdasarkan kemampuan masyarakatnya, berapa besarannya diatur oleh

kementerian kesehatan. Pemegang paten tetap mendapatkan imbalan dari

pemerintah (namun dilakukan sepihak oleh pemerintah). Seperti contohnya

pelaksanaan paten oleh pemerintah pada tahun 2012 terhadap obat

Antiretroviral dan Antiviral untuk HIV/AIDS. Imbalan ditentukan sebesar 0,5

dari netto penjualan produk tersebut dipasarkan.

Perlu diperhatikan penurunan harga produk yang diproduksi dan

telah dipatenkan oleh pemegang paten dibanding dengan produksi oleh

pemerintah, biasanya perbedaannya antara ⅓ - 1/10 harga. Dianalogikan

jika produksi oleh pemegang paten bisa mencapai 2 juta rupiah, maka

produksi pemerintah bisa turun mencapai 200 ribu rupiah, 300 ribu rupiah,

atau bahkan 600 ribu rupiah. Misalnya tablet obat COVID-19 AVIGEN

(favipiravir), harga per tablet 60 ribu. Jika dalam masa uji coba subjek

hampir menggunakan 100 tablet. Artinya masyarakat mungkin

membutuhkan 6 juta rupiah per orang. Oleh karena itu Kimia Farma

mengatakan ada kemungkinan tablet dapat dijual dengan harga 17 ribu

rupiah per tablet atau setara ¼ harga. Kemudian ada obat COVID-19 lain,

remdesivir, yang diketahui harganya 3 juta per injeksi (suntikan). Berlaku

juga dengan hal ini, ketika kimia farma mengatakan bisa diproduksi dengan

harga 500 ribuan, barulah harga diturunkan.


71

Kemampuan bayar masyarakat juga didapat dari data pada

departemen kesehatan (Kemenkes). Data dilihat untuk biaya produksi,

berapa masyarakat yang mampu, dan kurang mampu. Untuk masyarakat

yang tidak mampu bisa dilakukan subsidi silang agar mendapatkan secara

gratis seperti vaksin COVID-19. Berkaitan dengan vaksin, pada saat ini

belum ada pendaftaran patennya di Indonesia. Maka dari itu bio farma

(melalui kemenkes) belum meminta DJKI untuk menelusuri vaksin itu ada

di daftar paten atau tidak. Berbeda dengan obat COVID-19, kemenkes

memang meminta DJKI untuk memeriksa AVIGEN (favipiravir nama

generiknya) untuk dianalisa apakah ada patennya atau tidak, sehingga jika

pemerintah bersama pihak ketiga membuat, melanggar atau tidak. Jika

tidak ada patennya, berarti tidak bisa menggunakan Government Use

(pelaksanaan paten oleh pemerintah).

Terkait keadaan KKMMD sebagai dasar alasan pelaksanaan paten

oleh pemerintah tidak cukup hanya melalui pernyataan pandemi oleh WHO.

Perlindungan teritorial pada paten menimbulkan suatu akibat hukum

dimana pernyataan keadaan mendesak (KKMMD) harus dinyatakan oleh

pemerintah negara itu sendiri, dalam hal pandemi yaitu Kementerian

Kesehatan. Pernyataan keadaan mendesak dinyatakan melalui Keppres

No. 12 tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam penyebaran

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Dalam

keadaan pandemi seperti saat ini, sudah bisa dikatakan bahwa COVID-19

adalah keadaan KKMMD. Biasanya status ini dimintakan oleh kemenkes


72

berdasarkan adanya jumlah penderita yang jumlahnya signifikan

bertambah terus, diikuti kebutuhan obat yang diprediksikan per-tahunnya.

C. Lisensi-Wajib

Lisensi-wajib berbeda dengan pelaksanaan paten oleh pemerintah.

Dalam lisensi-wajib pemohonnya merupakan pihak ketiga selain

pemerintah. Seperti perusahaan swasta Dexa Medica, Pratapa Nirmala,

maupun Kalbe yang minta lisensi-wajib sesuai ketentuan pasal 91 UU

Paten. Namun sangat disayangkan peraturan pemerintah mengenai

pelaksanaan lisensi-wajib belum pernah ada. Berbeda dengan

pelaksanaan paten oleh pemerintah, lisensi-wajib sangat kompleks dalam

prosesnya karena memiliki pertimbangan antara bisnis dan kepentingan

masyarakat. Lebih baik industri farmasi di masa pandemi seperti ini

memohonkan lisensi-wajib untuk membantu pendistribusian yang lebih

masif. Hambatan dalam lisensi-wajib kembali lagi kepada fakta bahwa

produksi obat hingga instalasi yang mahal. Seperti instalasi untuk

memproduksi Amoxilin, belum tentu dapat memproduksi Remdesivir.

Maka ketika membangun instalasi, pemerintah harus menjamin

bahwa mereka mampu menjaga kualitas dan dapat dipakai habis oleh

masyarakatnya. Karena jika tidak ada jaminan, pemegang paten akan

merasa dirugikan. Harus ada jaminan setelah obat ini dibuat, akan diborong

habis oleh kementerian kesehatan, dimanfaatkan sebaik mungkin, dan

distribusinya jelas. Di sisi lain pembangunan instalasi itu memakan waktu

yang lama, sehingga sikap yang diambil pertama biasanya mencoba


73

membeli obatnya untuk tujuan uji coba apakah efektif atau tidaknya pada

manusia di Indonesia (dalam hal perbedaan iklim dan perbedaan tubuh).

Ketika efektif barulah berpikir untuk instalasi. Hal ini yang dikatakan rumit

antara bisnis dan keadaan mendesak.

Walaupun belum ada praktik Lisensi-wajib di Indonesia, negara

berkembang lainnya seperti India pada tahun 2016 pernah melakukan

permohonan lisensi-wajib pada produk farmasi untuk penyembuhan

penyakit hati dan kanker ginjal. Lisensi-wajib dimohonkan kepada Natco

Pharma untuk obat Nexavar dari Bayer Corporation dengan tiga syarat yang

termaktub pada pasal 84 Undang-undang Paten India. Bayer menjual obat

pada harga Rs 2.84.000. Natco Pharma menargetkan dapat menjual pada

harga Rs 9000, sehingga jauh lebih terjangkau dibanding sebelum adanya

lisensi-wajib.109 Namun kantor paten India menolak permohonan ini karena

kurangnya bukti atas persyaratan yang dituliskan dalam pasal 84 tersebut.

Banyak perusahaan farmasi yang ingin menjadikan permohonan Natco

Pharma menjadi kasus pertama untuk dijadikan contoh oleh permohonan

para perusahaan farmasi lain. Namun sulitnya membuktikan syarat-syarat

pada pasal 84 membuat beberapa perusahaan farmasi belum pernah

mendapatkan lisensi-wajib.

109Aayush Sharma, “Compulsory License: The Most Happening Section Of The Patent Act,
1970”,
<https://www.mondaq.com/india/patent/435044/compulsory-license-the-most-happening-
section-of-the-patents-act-1970> [diakses pada 12/06/2021]
74

Pada Undang-undang Paten India, lisensi-wajib dapat diberikan

dengan memenuhi salah satu alasan antara lain; a. Bahwa ada alasan dari

permintaan publik karena paten tidak dilaksanakan, b. Bahwa invensi yang

dipatenkan tidak tersedia di publik dengan harga yang wajar, atau c. bahwa

invensi yang dipatenkan tidak dilaksanakan dalam wilayah India. Ketentuan

ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2016. Pada tahun 2015, perusahaan farmasi Lee Pharma

juga mencoba mendapatkan lisensi-wajib dari AstraZeneca pada obat

untuk Diabetes Mellitus Type II. Namun permohonan lisensi-wajib oleh Lee

Pharma tidak memenuhi salah satu dari ketiga alasan tersebut. Kantor

paten India menyatakan tidak dapat memberikan lisensi-wajib pada obat

Saxagliptin milik AstraZeneca.110 Selain sulitnya membuktikan persyaratan

diatas, kesulitan pada permohonan lisensi-wajib terletak pada pemenuhan

hak-hak pemegang paten atas investasi yang telah mereka fokuskan

terhadap produk yang dipatenkan. Para pemegang paten menganggap

lisensi-wajib akan membongkar rahasia berdagang atau know how paten

produk atau proses terkait, sehingga banyak yang menganggap lisensi-

wajib akan sangat merugikan pemegang paten atau inventor karena tidak

terpenuhinya persaingan sehat antar perusahaan.

110 Aayush Sharma, Ibid


75

D. Perbedaan Lisensi-wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah

Pelaksanaan Paten Oleh


Lisensi-wajib
Perbedaan Pemerintah (Government
(Compulsory License)
Use)
Paten yang telah terdaftar di Paten yang telah terdaftar di
Objek
Indonesia. Indonesia.
Pemerintah, khususnya
kementerian terkait. (Dalam
hal pandemi Kementerian
Pihak ketiga selain
Subjek Kesehatan, sedangkan dalam
pemerintah (Swasta).
hal keamanan negara ada
Kementerian Pertahanan
Negara)
Pendekatan dan
pemberitahuan di awal hanya
bertujuan menjaga hubungan
Harus ada pendekatan kedua negara dan kesehatan
terlebih dahulu kepada ekosistem industri terkait.
pemegang paten karena Namun karena dengan
Proses
alasan utamanya bukan alasan keamanan negara
berdasarkan keadaan ataupun keadaan KKMMD,
mendesak (KKMMD). Pelaksanaan Paten Oleh
Pemerintah tidak memerlukan
pendekatan atau izin dari
pemegang paten.
Untuk mematok harga
harus melihat keadaan
masyarakat di Indonesia
Harga tidak ditentukan sama
berdasarkan kemampuan
rata terhadap seluruh paten,
beli yang dimiliki oleh
namun dari praktik yang
masyarakat. Terkait
sudah ada sebelumnya,
imbalan, harus diteliti
ditentukan 1/3 – 1/10 harga
terlebih dahulu berapa
Harga awal. Untuk imbalan kepada
benchmarking imbalan yang
pemegang paten ditentukan
ada dari beberapa negara
pada angka 0,5 dari nilai jual
kemudian membahas
netto produk per tahun yang
dengan industri terkait yang
dilaksanakan patennya oleh
akan melaksanakan agar
pemerintah.
jumlah imbalan tidak terlalu
tinggi tapi juga tidak terlalu
rendah.
Berbeda dengan Pelaksanaan Paten Oleh
Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah tidak
Pemerintah, Lisensi-wajib mengganggu ekslusivitas
dimohonkan oleh pihak inventor dalam
Dampak
ketiga selain pemerinth memanfaatkan paten karena
dalam bentuk lisensi namun tetap mendapatkan imbalan
dengan alasan dan tujuan dari pemerintah yang
yang bersifat non-eksklusif. melaksanakan dan hanya
76

Bersifat non-eksklusif dilakukan oleh salah satu


artinya pemanfaatan paten pihak yang ditunjuk oleh
tidak lagi eksklusif terhadap pemerintah.
satu pihak saja, sehingga
hak moral dan hak
ekonominya tetap berjalan.
Tabel 1.0
BAB IV

PEMANFAATAN PATEN PADA VAKSIN COVID-19 TERKAIT

KEPENTINGAN MASYARAKAT

A. Penggunaan Paten Vaksin COVID-19 Terkait Kepentingan Masyarakat

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Pada tahun 2019, penyakit coronavirus (COVID-19) mulai menyebar

ke berbagai negara. Dimulai dari negara Republik Rakyat Cina (RRC)

menyebar ke seluruh benua hingga sampai ke Indonesia. COVID-19

dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020.

Kendati demikian beberapa negara belum mengetahui ada virus yang telah

menyebar di negaranya, sehingga pencegahan yang seharusnya dilakukan

lebih awal tidak terjadi. Karena tingkat kemampuan suatu negara dalam

melakukan tracking, tracing, dan testing sangat berpengaruh, akibatnya

lonjakan angka positif aktif terus meningkat tajam di seluruh dunia,

termasuk di Indonesia.

Pada masa pandemi seperti ini, negara-negara mencari cara agar

dapat menekan krisis ekonomi yang melanda. Salah satu caranya dengan

mencari obat atau vaksin COVID-19 yang dipercaya dapat memberi

harapan untuk memperlancar siklus ekonomi seperti sebelum adanya

pandemi. Vaksin adalah zat yang sengaja dibuat untuk merangsang

pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu. Berbeda dengan

77
78

vaksin, obat dibuat untuk menyembuhkan suatu penyakit.

Perbedaan fungsi kedua hal ini memiliki kelebihan dan kekurangannya

masing-masing. Berdasarkan data yang diteliti, obat COVID-19 sebenarnya

bukan obat khusus untuk COVID-19, hanya saja efektif dapat membunuh

virus COVID-19.

Dengan penemuan seperti obat ataupun vaksin COVID-19 seperti

saat ini, perlindungan paten dapat memberikan manfaat ekonomi yang

sangat menjanjikan bagi pemegang paten maupun inventor dengan

pengalihan hak ekonomi melalui perjanjian lisensi eksklusif atau non-

eksklusif. Peraturan perundang-undangan tentang paten sangat penting

untuk kejadian ini, karena dapat mengundang para inventor dari luar

maupun dalam negeri untuk mendaftarkan patennya di Indonesia. Dengan

adanya peraturan yang jelas, maka diharapkan juga perlindungan paten

dapat menunjang perekonomian suatu negara. Di sisi lain negara yang

didaftarkan juga dapat menerima manfaat seperti dapat mengajukan

pelaksanaan paten atau lisensi non-eksklusif agar distribusi vaksin maupun

obat lebih cepat dan merata.

Dalam paten kita mengenal beberapa subjek dengan istilah Inventor

dan Pemegang Paten. Tentunya kedua subjek ini memiliki hak yang

berbeda, pihak yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau orang

yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan. Jika

invensinya dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas

Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor yang


79

bersangkutan. Berbeda jika dalam hubungan kerja, Pemegang Paten atas

Invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan kerja merupakan

pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain. Hal ini

mengartikan bahwa inventor hanya berhak sebatas apa yang dia berikan.

Inventor dalam paten tidak serta merta menjadi pemegang paten.

Jika inventor bekerja dalam hubungan dinas atau hubungan perjanjian kerja

diluar instansi pemerintah, maka inventor hanya berhak mendapatkan hak

moral dan imbalan dari pemberi kerja maupun royalti jika instansi

pemerintah menunjuk pihak ketiga untuk pelaksanaan paten. Dalam hal ini

pemegang paten adalah pemberi kerja atau instansi pemerintah, kecuali

diperjanjikan lain. Ketentuan ini tidak menghapus hak inventor sebagai

penemu untuk dicantumkan namanya dalam sertifikat paten. Pengalihan

tetap dapat dilaksanakan oleh inventor, namun yang dialihkan hanyalah hak

ekonominya saja.

Disisi lain, inventor yang berperan sebagai pemegang paten dapat

memanfaatkan hak eksklusif secara utuh, baik itu hak ekonomi maupun hak

moralnya. Berkaitan dengan vaksin COVID-19, inventor berhak

mendaftarkan patennya kepada suatu negara sesuai ketentuan perundang-

undangannya. Di Indonesia sendiri pemegang paten berhak memanfaatkan

hak ekonominya dengan cara melarang orang lain tanpa seizin pemegang

paten dalam hal paten-produk (vaksin atau obat COVID-19): membuat,

menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau

menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang


80

diberi Paten. Dalam hal Paten-proses (langkah memproduksi vaksin atau

obat COVID-19); menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk

membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam poin

sebelumnya.

Pihak lain yang ingin memanfaatkan hak ekonomi paten vaksin atau

obat COVID-19 dapat mengadakan perjanjian lisensi bersifat eksklusif

maupun non-eksklusif kepada pemegang paten. Pemegang lisensi dapat

memanfaatkan paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan

dengan syarat tertentu sesuai pasal 19 UU Paten. Maka dari itu pemegang

paten vaksin maupun obat COVID-19 yang patennya terdaftar di Indonesia

tetap dapat memanfaatkan hak-haknya secara utuh. Dengan begitu

pendistribusian vaksin ke beberapa negara yang belum bisa memproduksi

vaksin mandiri dapat cepat diselesaikan. Namun langkah ini hanya bisa

dilakukan jika paten tersebut terdaftar di Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan pada BAB sebelumnya, pemegang

paten memiliki hak milik atas kekayaan intelektual dilihat dari aspek yuridis.

Secara yuridis, penggunaan istilah kekayaan dikaitkan dengan kepemilikan

atas suatu benda yang bernilai ekonomis seperti benda bergerak dan tidak

bergerak serta benda berwujud ataupun tidak berwujud. Kemudian dilihat

dari aspek ekonomis, pemegang paten memiliki hak eksklusif yang

melegalkan pemegang untuk memonopoli paten tersebut. Selain itu

pemegang juga dapat memanfaatkan hak ekonomi untuk memperoleh


81

manfaat ekonomis111. Jika dikaitkan dengan fungsi sosial dalam hak milik,

tentu pemanfaatan paten oleh pemegang paten memiliki pembatasan

ketika bertemu kepentingan masyarakat.

Kepentingan masyarakat dalam undang-undang paten diartikan

sebagai keadaan mendesak yang dapat mengakibatkan terjadinya

kematian dalam jumlah yang banyak dan mendadak, menimbulkan

kecacatan yang signifikan, dan merupakan Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Dapat terlihat ‘benang

merah’ antara hak milik oleh inventor dan fungsi sosial pada hak milik

tersebut yang sebenarnya sudah diatur dalam TRIPs, UU HAM,

KUHPerdata, dan terlebih dalam hak masyarakat untuk mendapatkan

kesehatan tertinggi yang telah diatur dalam ICESCR dan ICCPR. Ketentuan

ini dibuat agar kepentingan individu dalam hak milik tersebut tidak

diutamakan jika ada kepentingan umum yang membutuhkan. Artinya

ketentuan mengenai kepentingan masyarakat dalam paten memiliki

landasan hukum yang jelas.

Hak inventor dalam paten yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak

berubah sepanjang sertifikat masih atas nama inventor. Melihat adanya

pengurangan harga pada paten yang dilaksanakan pemerintah, maka

pelaksanaan paten oleh pemerintah hanya menyesuaikan hak ekonomi

111 Risa Amrikasari, “Hak Kekayaan Intelektual sebagai Harta Gono-Gini”,


<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5371e6d69a222/hak-kekayaan-
intelektual-sebagai-harta-gono-gini/>, diakses pada [03/05/2021]
82

yang seharusnya didapat utuh digantikan dengan imbalan yang sesuai

dengan nilai paten tersebut sebagai kompensasi dan tetap mewajibkan

pemegang paten membayar biaya tahunan kepada negara. Sesuai dengan

pasal 112 (ayat 2) bahwa hak eksklusif pemegang paten seperti dalam

pasal 19 tidak dikurangi dan tetap dapat dilaksanakan. Ketentuan ini

berbeda dengan paten yang dapat mengganggu pertahanan dan

keamanan negara karena tidak lagi dapat melaksanakan paten dan hak

eksklusifnya. Perlu diketahui paten yang mengganggu pertahanan dan

keamanan negara hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah.

Selain itu hak pemegang paten dalam jangka waktu perlindungan

juga tidak berubah. Sesuai pasal 22 UU Paten, perlindungan paten tetap

selama 20 tahun dan untuk paten sederhana selama 10 tahun.

Pelaksanaan paten oleh pemerintah tidak membuat perlindungan paten

terhenti. Pemerintah hanya melaksanakan paten untuk waktu terbatas dan

bukan untuk motif ekonomi. Pelaksanaan paten oleh pemerintah dilakukan

untuk mengatasi keadaan mendesak dengan cara memanfaatkan paten

yang telah terdaftar dengan imbalan yang sesuai sebagai kompensasi. Hal

ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakat adalah prioritas negara

dibanding hak individualnya.

Jika dikaitkan dengan teori utilitarianisme yang mengatakan bahwa

hak milik pribadi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan

umum, kesejahteraan masyarakat banyak, sehingga kekuatan eksklusif

yang dimiliki inventor harus seimbang dengan pemanfaatannya. Karena


83

adanya perlindungan hukum mengenai HKI bukan semata-mata untuk

melindungi kepentingan pribadi, namun juga untuk dimanfaatkan negara

jika sewaktu-waktu negara membutuhkan. Berawal dari ketentuan dalam

TRIPs pada pasalnya yang ketujuh, bahwa negara tetap melindungi hak

eksklusif pada suatu KI namun tidak menaruhnya di atas kepentingan

umum dan kesejahteraan sosial, maka seluruh negara anggota WTO harus

menjunjung hak-hak warga negaranya melalui penyediaan perlindungan KI

yang pasti dan seimbang dengan pemanfaatan bagi inventor maupun

memajukan kesejahteraan umum.

Berbicara mengenai kepentingan umum ataupun kepentingan

masyarakat, harus ada kriteria yang pasti agar tidak ditafsirkan berbeda

oleh pemerintah. Pembatasan untuk kepentingan masyarakat dituliskan

sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, untuk lebih spesifiknya

didasari oleh cita-cita negara dan tujuan negara yang telah diatur dalam

Pembukaan UUD 1945.112 Cita-cita negara Indonesia adalah mewujudkan

rakyat, bangsa, dan negara yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur.

Sedangkan tujuan negara kita adalah melindungi segenap bangsa dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.113

112 Winner Sitorus, Op. cit., hlm. 48


113 Alinea ke-4 Pembukaan UUD RI 1945
84

Dengan adanya tujuan negara ikut memajukan kesejahteraan

umum, maka sudah sepantasnya perlindungan vaksin digencarkan,

sehingga dapat dilakukan upaya-upaya yang lebih cepat dalam

pendistribusian vaksin. Perlindungan yang telah diakomodir dalam UU

Paten sudah cukup untuk melaksanakan perlindungan paten beserta

dengan pembatasannya. Pemegang paten vaksin yang nantinya akan

didaftarkan di Indonesia memiliki hak eksklusif melarang orang lain

melakukan proses atau membuat produk tanpa persetujuan pemegang

paten. Pemegang paten juga berhak memberikan lisensi eksklusif maupun

non-eksklusif. Selain itu, pemegang paten berhak menggugat ganti rugi

melalui pengadilan negeri setempat. Dari perspektif pemidanaan, berhak

menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak

pemegang paten.

Jika melihat keadaan sekarang, kebutuhan negara terhadap obat

atau vaksin COVID-19 semakin meningkat. Salah satu cara agar dapat

mempercepat penanganan COVID-19 adalah dengan cara mendaftarkan

paten untuk dimanfaatkan oleh negara sebagai pelaksanaan paten oleh

pemerintah (government use), perjanjian lisensi eksklusif maupun non-

eksklusif. Ketentuan mengenai pelaksanaan paten oleh pemerintah sama

sekali tidak mempengaruhi hak eksklusif inventor maupun pemegang

paten. Justru pendaftaran paten diharapkan dapat memaksimalkan hak

ekonomi dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan

adanya pendaftaran paten pada pada negara-negara yang belum dapat


85

memproduksi vaksin secara mandiri, dapat memutus mata rantai COVID-

19.

Pelaksanaan paten oleh pemerintah tentunya harus memperhatikan

prinsip keadilan yang sudah disebutkan pada BAB pertama. Prinsip ini

mengatakan bahwa adanya pemberian hak eksklusif pada seluruh inventor

harus dapat diberikan seluas dan sesuai dengan porsinya, semua manusia

berhak mendapatkannya. Namun di sisi lain hak itu harus juga menjadi

sarana perlindungan dan hal yang bermanfaat dan keuntungan bagi semua

kalangan terutama bagi orang yang kurang beruntung (difference people).

Dengan prinsip keadilan ini pemerintah juga harus memperhatikan

bahwa dengan adanya pelaksanaan paten oleh pemerintah, hak-hak

inventor seperti imbalan dan insentif harus tetap diperhatikan agar hak

ekonomi lainnya tetap menarik minat para inventor untuk tetap melanjutkan

penemuan-penemuan lain. Apabila negara tidak memiliki dana yang cukup,

maka negara bisa mempertimbangkan nilai moral dari inventor. Artinya jika

imbalan hanya dapat dibayarkan ½ dari totalnya, maka ½ dari sisanya bisa

disebut sebagai pemenuhan nilai kemanusiaan dari inventor kepada

masyarakat dalam hal kepentingan umum.

B. Pemanfaatan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

Kasus COVID-19 yang terjadi di Indonesia sudah kian membaik

pada pertengahan bulan Mei 2021. Walaupun begitu penyebaran vaksin


86

dinilai lambat oleh masyarakat. Karena penyebaran baru dilakukan

terhadap garda terdepan seperti tenaga kesehatan, anggota kepolisian,

anggota TNI, pekerja pelayan publik, hingga tenaga kependidikan. Hingga

pada akhirnya kelompok pengusaha meminta vaksin mandiri yang dapat

dibeli untuk para karyawannya. Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian

kurang dapat berputar semenjak adanya COVID-19 karena berkurangnya

ruang gerak perusahaan akibat penghentian kegiatan usaha oleh negara.

Vaksin di Indonesia didapat dari jalur multilateral yang dilakukan

Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri yang bekerja sama dengan

negara-negara lain dalam Covax AMC. Menteri Retno mengatakan bahwa

Indonesia sebagai negara penerima akan mendapat donor vaksin sebesar

3-20 persen jumlah penduduk melalui fasilitas Covax. Dalam jangka waktu

panjang vaksin dapat diupayakan dari perjanjian bilateral telah

mengamankan vaksin Sinovac, AstraZeneca, dan Novavax.114 Selain itu

pemerintah juga telah mengupayakan ‘Vaksin Gotong Royong’ untuk

memenuhi inisiasi yang telah dilakukan Asosiasi Pengusaha Indonesia

(Apindo). Dengan adanya vaksin ini, para pengusaha yang ingin

mempercepat vaksinasi terhadap karyawannya dapat membeli vaksin

Sinopharm dan juga rencana dari vaksin Moderna dari pemerintah dengan

harga yang telah ditentukan.115

114 Sania Mashabi, “Upaya Pemerintah Peroleh Vaksin Covid-19...”,


<https://nasional.kompas.com/read/2021/03/09/08475231/upaya-pemerintah-peroleh-
vaksin-covid-19-secara-gratis-mulai-membuahkan?page=all> [diakses pada 16/05/2021]
115 Achmad Reyhan, “Tok, Tarif Vaksinasi Gotong Royong...”
<https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5571083/tok-tarif-vaksinasi-gotong-royong-
maksimal-rp-439570-per-dosis> [diakses pada 17/05/21]
87

Adanya berbagai cara untuk mendapatkan vaksin semakin

menunjukkan proses mengakhiri masa pandemi yang terjadi saat ini. Selain

jalur diplomasi, vaksin juga dapat diusahakan dari pemanfaatan KI.

Beberapa cara untuk mendapatkan antivirus COVID-19 (obat maupun

vaksin) dapat dilakukan dengan cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah,

Lisensi secara eksklusif maupun non-eksklusif, serta Lisensi-wajib.

Persamaan ketiga pemanfaatan paten tersebut adalah terdaftarnya obat

maupun vaksin COVID-19 di negara Indonesia. Lamanya proses distribusi

vaksin ke negara-negara berkembang seharusnya menjadikan negara-

negara tersebut menarik inventor atau pemegang paten agar mau

mendaftarkan paten obat atau vaksin di negaranya.

Langkah pertama pelaksanaan paten oleh pemerintah dapat

diusulkan oleh kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Kesehatan

kepada Kementerian Hukum & HAM. Pemerintah dapat mengusahakan

agar vaksin COVID-19 mau didaftarkan di Indonesia oleh inventor dengan

menawarkan perlindungan KI yang kuat. Namun di sisi lain pemerintah

justru dapat memanfaatkan KI lewat pembatasan tersebut. Jika sudah ada

vaksin yang terdaftar melalui kantor paten, Kementerian Kesehatan dapat

mengirimkan surat kepada pihak pemegang paten atau inventor yang berisi

pemberitahuan akan diadakannya pelaksanaan paten oleh pemerintah.

Tujuannya bukan untuk meminta persetujuan, melainkan untuk menjaga

hubungan baik antara kedua pihak.


88

Permohonan pelaksanaan paten harus dilakukan pemeriksaan

apakah memuat objek yang dimohonkan, judul dan anti Invensi yang ada di

klaim paten, dan alasan pelaksanaan paten oleh pemerintah.116 Menteri

memberitahu kepada pemegang paten sejak tanggal penerimaan

(pengecekan administratif) mengenai pengajuan pelaksanaan paten ini. 117

Jika terdapat perlindungan paten, tim dibentuk oleh Menteri Hukum & HAM

yang berisi kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum,

kementerian/lembaga yang terkait dengan permohonan pelaksanaan

paten, kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan,

bidang kesekretariatan negara, dan tenaga ahli. Artinya jika dalam hal

pandemi, tim tersebut berisi Kementerian Hukum & HAM, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Keuangan, Sekretaris Negara, BUMN (Biofarma),

dan Tenaga Ahli. Tim ini harus memberikan pertimbangan dan menentukan

imbalan untuk pemegang paten. Tim ini bertugas paling lama dalam waktu

90 hari terhitung ditetapkannya keputusan menteri atas pembentukan tim

tersebut.118 Hasil akhir tugas tim tersebut dilaporkan kepada Menteri Hukum

& HAM untuk diteruskan kepada Presiden dengan hasil akhir Peraturan

Presiden.119

Seperti yang kita ketahui pelaksanaan paten oleh pemerintah

dilakukan untuk dapat mempercepat distribusi vaksin. Ketentuan ini timbul

melihat produksi produk farmasi memang sulit didapatkan jika terhambat

116 Pasal 8 Perpres No. 77 Tahun 2020


117 Pasal 9 Perpres No. 77 Tahun 2020
118 Pasal 10 Perpres No. 77 Tahun 2020
119 Pasal 11 Perpres No. 77 Tahun 2020
89

perlindungan paten. Ketentuan seperti ini belakangan sedang diusahakan

di berbagai negara berkembang seperti India, Indonesia, dan juga Afrika

Selatan dalam hal vaksin COVID-19. Melalui proposal waiver yang diajukan

oleh India dan Afrika Selatan, Indonesia juga mendukung melalui Menteri

Luar Negeri, Retno Marsudi, dengan menyampaikan permohonan secara

resmi menjadi co-sponsor pada tanggal 10 Mei 2021.120 Pada tanggal 19

Mei 2021, Indonesia secara resmi tercatat sebagai co-sponsor proposal

waiver pada dokumen WTO IP/C/W/699/Rev.1.

Indonesia mendukung proposal ini karena melihat kesenjangan

distribusi vaksin COVID-19 antara negara maju, berkembang, dan negara

berpenghasilan rendah. Sampai saat ini hanya ada 0,3 persen pasokan

vaksin COVID-19 secara global pada negara berpenghasilan rendah, 17

persen pada negara berkembang, dan 83 persen ada pada negara maju.

Maka dari itu Presiden Indonesia, Joko Widodo, menyampaikan dunia

harus meningkatkan kerja sama kolektif global pada pertemuan virtual KTT

Kesehatan Global.

Kebijakan waiver seperti yang telah dikatakan sebelumnya

merupakan kebijakan untuk mengenyampingkan suatu kaidah hukum

secara sukarela untuk kepentingan umum, terutama dalam hal ini paten

mengenai vaksin atau obat. Secara global atau internasional, waiver dapat

diterapkan pada TRIPs Agreement terkait pemanfaatan KI khususnya rezim

120
Erik Mangajaya Simatupang, Waiver Kekayaan Intelektual bagi Penanganan Covid-19
dan Kesiapan Nasional, <Waiver Kekayaan Intelektual bagi Penanganan COVID-19 dan
Kesiapan Nasional Halaman all - Kompasiana.com> [diakses pada 30/05/2021]
90

paten. Makna dari kebijakan waiver bukan berarti meniadakan TRIPs,

namun menunda pelaksanaan kaidah hukum KI dalam TRIPs untuk jangka

waktu tertentu.121 Waive bukan hanya terpaut pada pelaksanaan paten oleh

pemerintah (government use) atau Lisensi-wajib (compulsory license),

namun juga termasuk memilih beberapa kebijakan nasional diluar TRIPs

yang dikenakan kebijakan waive, mengubah hukum nasional, atau tetap

mempertahankan hukum nasional yang ada. Maka waiver policy tidak dapat

dilihat dalam bentuk pelaksanaan paten oleh pemerintah atau lisensi-wajib

saja.

Begitu juga dari sisi undang-undang nasional (UU No. 13 Tahun

2016 tentang Paten) tidak berarti dihapuskan. Karena TRIPs hanya sebagai

soft law dalam UU Paten yang kita kenal sekarang, sehingga bisa disebut

sebagai ‘pengembangan’ dari standar minimum perlindungan kekayaan

intelektual yang dimuat dalam TRIPs.122 Dalam hal ini waiver juga

memberikan kebebasan (freedom to operate) penuh kepada pemerintah

untuk mengisi kekosongan kebijakan (policy space) mengenai isu

perlindungan KI yang ditunda akibat kebijakan waiver proposal. Maka

adanya waiver secara internasional membuka kemungkinan penyerahan

kewenangan pada hukum nasional untuk menetapkan kebijakan sesuai

kepentingan nasionalnya.123 Untuk menyambut kebijakan ini, negara yang

mengeluarkan kebijakan nasional kekayaan intelektual yang terkena

121 Erik Mangajaya Simatupang, Ibid


122 Erik Mangajaya Simatupang, Ibid
123 Erik Mangajaya Simatupang, Ibid
91

waived tidak akan dianggap melanggar perjanjian multilateral dan tidak

dapat digugat di WTO.

Kelebihan dalam kebijakan waiver dapat menaikkan posisi tawar

suatu negara berkembang jika disandingkan dengan perusahaan farmasi

dunia.124 Proposal ini merangsang pasar yang kompetitif di antara industri

farmasi karena hal ini akan menekan harga dan memperbesar skala proses

manufaktur global. Melalui waiver juga perusahaan farmasi memiliki pilihan

mendesak antara dilakukanya lisensi-wajib, pelaksanaan paten oleh

pemerintah, atau memilih jalan win-win solution melalui voluntary license

(berinvestasi) dan berkolaborasi dengan negara yang dituju.125

Kebijakan waiver memiliki kelemahan mengenai penelitian dan

pengembangan yang membutuhkan waktu lama, sedangkan kebijakan

waiver memiliki waktu yang sangat terbatas. Maka dari itu harus ada

penyelesaian masalah untuk menaikkan bargaining position Indonesia agar

banyak perusahaan obat-vaksin COVID-19 mau berinvestasi dan

memproduksikan patennya di Indonesia. Hal ini dapat diminimalisir dengan

beberapa faktor:126 Pertama, negara yang membutuhkan obat atau vaksin

harus proaktif menarik investor vaksin, obat, bahan baku obat atau vaksin,

alat kesehatan untuk penanganan COVID-19; kedua, bagaimana kesiapan

iklim investasi, infrastruktur, sumber daya manusia seperti peneliti dan

tenaga kerjanya; ketiga, kelangkaan sumber bahan baku di negara calon

124Erik Mangajaya Simatupang, Ibid


125 Erik Mangajaya Simatupang, Ibid
126 Erik Mangajaya Simatupang, Ibid
92

penerima; keempat, faktor pertimbangan geopolitik mengenai kedekatan

hubungan bilateral kedua negara.

Pertimbangan lain adalah dengan melakukan impor paralel untuk

tujuan mengendalikan harga produk farmasi jika patennya terdaftar di

Indonesia, sehingga menjamin adanya harga wajar dibanding dengan

harga di pasar internasional. Seluruh ketentuan ini tentu membutuhkan

pendaftaran paten suatu produk maupun proses untuk dapat dilaksanakan.

Karena itu negosiator Indonesia harus lebih proaktif mencari investor

produsen produk farmasi seperti obat atau vaksin COVID-19 agar mau

berinvestasi di Indonesia. Keadaan pandemi bukan hanya menjadi momen

negara maju untuk bersatu membantu negara-negara berkembang dan

belum berkembang, tapi juga untuk menjalin kerja sama baru yang tidak

pernah terbuka sebelumnya demi kepentingan umum.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dengan penemuan seperti obat ataupun vaksin COVID-19 seperti saat

ini, perlindungan paten dapat memberikan manfaat ekonomi yang

sangat menjanjikan bagi pemegang paten maupun inventor dengan

pengalihan hak ekonomi melalui perjanjian lisensi eksklusif atau non-

eksklusif karena hak eksklusifnya tetap dapat dimanfaatkan. Di sisi lain

adanya pembatasan tidak dapat dilihat sebagai hal yang merugikan

semata bagi inventor maupun pemegang paten. Karena dengan

adanya pelaksanaan paten oleh pemerintah, selain kepentingan

masyarakat terpenuhi, produksi meningkat dan tetap dapat

memaksimalkan hak ekonomi melalui kebijakan pelaksanaan paten

oleh pemerintah, lisensi, lisensi-wajib, secara eksklusif maupun non-

eksklusif.

2. Pelaksanaan paten oleh pemerintah pada vaksin atau obat COVID-19

dilakukan atas keadaan mendesak seperti Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD), dalam hal ini pandemi.

Pelaksanaan paten oleh pemerintah, lisensi-wajib, ataupun lisensi

secara sukarela (berinvestasi) dapat dilakukan jika paten telah terdaftar

di Indonesia (kebijakan waiver). Dengan adanya kepentingan

masyarakat yang berhak mendapatkan standar kesehatan tertinggi,

93
94

pendistribusian vaksin maupun obat COVID-19 harus semakin

dipercepat. Untuk itu kebijakan waiver seperti yang telah disebutkan

diatas adalah salah satu cara untuk proaktif mencari investor agar mau

mendaftarkan patennya terlebih dahulu di Indonesia.

B. Saran

1. Penulis menyarankan untuk pemerintah segera melaksanakan

pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk obat maupun vaksin COVID-

19 agar dapat mempercepat penanganan COVID-19 dan pemulihan

ekonomi Indonesia. Untuk jangka panjang, pemerintah dapat

mensosialisasikan pentingnya mendaftarkan paten oleh para inventor

untuk menjamin perlindungan hak ekslusif. Dengan catatan penting

bahwa pemerintah harus dapat menyeimbangkan pemanfaatan paten

terhadap kepentingan masyarakat dan keuntungan bagi Inventor

melalui prinsip keadilan yaitu dengan memperhatikan insentif dan

imbalan bagi inventor, sehingga hak masyarakat dan hak ekonomi bagi

inventor tetap dapat dimanfaatkan secara maksimal.

2. Penulis menyarankan agar Indonesia tetap mengusahakan kegiatan

pengadaan vaksin ataupun obat COVID-19. Di samping itu, pemerintah

harus mengundang para inventor paten vaksin atau obat COVID-19

agar mau berinvestasi dan mendaftarkan patennya di Indonesia,

sehingga kebijakan waiver seperti pelaksanaan paten oleh pemerintah,


95

lisensi-wajib, maupun voluntary license dapat dilaksanakan dalam

waktu dekat
96

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001
Anis Mashdurohatun, Mengembangkan Fungsi Sosial Hak Cipta Indonesia:
Suatu Studi Pada Karya Cipta Buku, Semarang: UNS Press, 2016
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007
Doddy Kridasaksana, Suatu Pengantar Hak atas Kekayaan Intelektual di
Indonesia, Semarang: Semarang University Press, 2005
Kementerian Hukum dan HAM, Petunjuk Teknis Pemeriksaan Petunjuk
Paten, Jakarta: Kemenkumham, 2021
Muhammad Amirulloh dan Helitha Novianty Muchtar, Buku Ajar Hukum
Kekayaan Intelektual, Bandung: Unpad Press, 2016
Muhamad Djumhana, Perkembangan Teori dan Doktrin Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1983
Sri Mamudji, (et.al), Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta:
Badan Penerbit FHUI, 2005
Sudarsono, Buku Ajar Mata Kuliah Pengetahuan HKI, Surakarta: ISI Press,
2017
Sudaryat, (et.al) Hukum Kekayaan Intelektual, Bandung: Global Sinergi
Indonesia, 2019
Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Jakarta:
Pradya Paramita, 1983

B. Artikel Dalam Jurnal


Avasarala, Sameer and Jain, Chhavi, “Government Use of Patents:
Understanding of Limits & Evolving Indian Jurisprudence in
Comparative Light” (March 24, 2019).
Endang Purwaningsih, “Paten Sebagai Konstruksi Hukum Perlindungan
Terhadap Invensi Dalam Bidang Teknologi dan Industri”, Jurnal
Hukum Pro Justitia Vol. 24 No. 2, April 2006
Idris Ruslan, “Pemikiran Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau dan Masa
Depan Umat Beragama” Al-AdYan: Vol. VIII No. 2, Desember 2013
Lauroesch, Mark W., “General Compulsory Patent Licensing in the United
States: Good in Theory, But Not Necessary in Practice” , Vol. 6 Santa
Clara High Tech. L.J. 41 (1990).
Lilik Mulyadi, “Teori Hukum Pembangunan”, Badilum: Mahkamah Agung,
Jakarta
97

Neni Sri Imaniyati, “Perlindungan HKI Sebagai Upaya Pemenuhan Ha katas


IPTEK, Budaya, dan Seni”, Jurnal Media Hukum: Vol. 17 No. 1, Juni
2010
Rawls, John, “A Theory of Justice”, Massachusetts: Harvard University
Press, 1999
Rukmana Amanwinata, “Kekuatan Mengikat UDHR 1948 terhadap Negara
Anggota PBB Khususnya Indonesia”, Jurnal Hukum: No. 14 Vol. 7,
2000, hlm 31-45
Salman L, “Hubungan Hukum Dan Kekuasaan” Jurnal Hukum Vol. 14 No.
02, April 2007
Yang, Deli, “Compulsory Licensing: For Better or For Worse, the Done Deal
Lies in the Balance”, Global IP Debates: Vol. 17, January 2012
Yenny Yorisca, “Pembangunan Hukum Yang Berkelanjutan” Jurnal
LEGISLASI INDONESIA Vol. 17 No. 01, Maret 2020
Winner Sitorus “Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Paten,” Yuridika:
Vol. 29 No 1, April 2014

C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Masyarakat COVID-19

D. Sumber Lain
Achmad Reyhan, “Tok, Tarif Vaksinasi Gotong Royong...”
<https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5571083/tok-tarif-
vaksinasi-gotong-royong-maksimal-rp-439570-per-dosis> [diakses
pada 17/05/21]
Admin DJKI, “Wamenkumham Eddy: Pemenuhan dan Pelindungan
Kekayaan Intelektual adalah HAM”, <dgip.go.id/artikel/detail-
artikel/wamenkumham-eddy-pemenuhan-dan-pelindungan-
kekayaan-intelektual-adalah-ham?kategori=liputan-humas> [diakses
pada 27/01/2021]
AN Uyung Pramudiarja, “Vaksin Nusantara Vs Vaksin Merah Putih,
Bedanya Apa Sih?”, 2021, <https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-5399932/vaksin-nusantara-vs-vaksin-merah-putih-
bedanya-apa-sih> [diakses pada 23/03/2021]
Barratut Taqiyyah Rafie, “5 Tahap Pengembangan Vaksin, Mulai Penelitian
Hingga Produksi Massal” < https://kesehatan.kontan.co.id/news/5-
tahap-pengembangan-vaksin-mulai-penelitian-hingga-produksi-
massal?page=all> [diakses pada 23/06/2021]
98

Besar, “Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia di


Indonesia”, 2016, <https://business-
law.binus.ac.id/2016/06/30/utilitarianisme-dan-tujuan-perkembangan-
hukum-multimedia-di-indonesia/> [diakses 02/04/2021]
Erik Mangajaya Simatupang, Waiver Kekayaan Intelektual bagi
Penanganan COVID-19 dan Kesiapan Nasional, <Waiver Kekayaan
Intelektual bagi Penanganan COVID-19 dan Kesiapan Nasional
Halaman all - Kompasiana.com> [diakses pada 30/05/2021]
HKI,<http://www.hki.co.id/hki.html#:~:text=HAK%20KEKAYAAN%20INTEL
EKTUAL...&text=adalah%20istilah%20yang%20dipergunakan%20unt
uk,peraturan%20perundang%2Dundangan%20yang%20berlaku.>
[diakses pada 09/12/2020]
Iwee, “Mengulas Kembali Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)”,
<https://rsudsoediranms.com/2020/07/14/mengulas-kembali-
coronavirus-disease-2019-COVID-19/> [diakses pada 10/12/2020]

Koukakis, Nasos, “Countries worldwide look to acquire the Intellectual


Property rights of COVID-19 Vaccine makers”,
<https://www.cnbc.com/2021/01/22/countries-look-to-acquire-the-ip-
of-vaccine-makers-to-fight-pandemic.html> [diakses pada 02/04/2021]
Rea, “Bio Farma Buka Suara soal Pentingnya Paten Vaksin COVID-19”,
<https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200707130902-204-
521771/bio-farma-buka-suara-soal-pentingnya-paten-vaksin-COVID-
19> [diakses pada 10/12/2020]
Rizal Setoy Nugroho, “Bagaimana Vaksin COVID-19 Dibuat dan Cara
Kerjanya?”, 2021,
<https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/30/070000965/bagaima
na-vaksin-COVID-19-dibuat-dan-cara-kerjanya-?page=all> [diakses
pada 02/04/2021]
Risa Amrikasari, “Hak Kekayaan Intelektual sebagai Harta Gono-Gini”,
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5371e6d69a222/
hak-kekayaan-intelektual-sebagai-harta-gono-gini/>, diakses pada
[03/05/2021]
Rika Amrikasari, “Seluk Beluk Paten”,
<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5372c4c71a0c1/
seluk-beluk-
paten/#:~:text=Hak%20paten%20berlaku%20teritorial.,negara%20at
au%20wilayah%20yang%20bersangkutan.> [diakses pada
28/01/2021]
Sania Mashabi, “Upaya Pemerintah Peroleh Vaksin COVID-19...”,
<https://nasional.kompas.com/read/2021/03/09/08475231/upaya-
pemerintah-peroleh-vaksin-COVID-19-secara-gratis-mulai-
membuahkan?page=all> [diakses pada 16/05/2021]
Shaffer, Jonathan, “Biden Should use emergency powers to license COVID-
19 vaccine technologies to the WHO for global access”,
<https://www.statnews.com/2021/03/25/biden-use-emergency-
99

powers-license-COVID-19-vaccines-for-global-access/> [diakses
pada 02/04/2021]
Sharma, Aayush, “Compulsory License: The Most Happening Section Of
The Patent Act, 1970”,
<https://www.mondaq.com/india/patent/435044/compulsory-license-
the-most-happening-section-of-the-patents-act-1970> [diakses pada
12/06/2021]
Vidya Pinandhita, “Vaksin COVID-19 Merah Putih Ditargetkan Rampung
Akhir 2021, Siap pakai 2022”, 2021, <https://health.detik.com/berita-
detikhealth/d-5368294/vaksin-COVID-19-merah-putih-ditarget-
rampung-akhir-2021-siap-pakai-2022> [diakses pada 02/04/2021]
WHO, Peraturan-peraturan Yang Mengatur tentang Vaksin, <
https://in.vaccine-safety-training.org/vaccine-regulations.html>,
[diakses pada 23/06/2021]

Anda mungkin juga menyukai