Anda di halaman 1dari 58

96

BAB IV

ANALISIS KASUS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NO.

344/PID.SUS/2013/PT.BDG TENTANG PEMIDANAAN TERHADAP

KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana

Lingkungan sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan

Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg

1. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Terdakwa I dan

Terdakwa II dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.

344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg

Pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.

344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam

pertimbangannya menjatuhkan putusan pada tanggal 18 November

2013 berupa pemidanaan terhadap Terdakwa I yakni Direktur Utama PT

Albasi Priangan Lestari sebagai perorangan dan Terdakwa II yakni PT

Albasi Priangan Lestari sebagai korporasi. Dalam amar putusannya,

hakim menjatuhkan pemidanaan sebagai berikut:166

1. Menerima permohonan banding dari para Pembanding:


Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ciamis dan
Terdakwa I CR;
2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Ciamis, tanggal 5
September 2013, Nomor 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms yang

166
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21
96
97

dimohonkan banding tersebut, sekedar mengenai


pemberatan pemidanaan kepada para
Terdakwa, sehingga amar lengkapnya sebagai berikut:
a. Menyatakan Terdakwa I CR dan Terdakwa II PT APL,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Pelanggaran Baku Mutu Air
Limbah”.

Penjatuhan pidana tersebut didasarkan pada berbagai

pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadlan Tinggi. Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa putusan hakim tingkat

pertama yang menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti bersalah

melakukan tindak pidana Pelanggaran Baku Mutu Air Limbah telah tepat

dan benar menurut hukum.167 Dalam putusan ini, Terdakwa I yakni

perseorangan dan Terdakwa II yakni korporasi dijatuhi pemidanaan

dalam sebuah putusan yang sama.

Terdakwa I yakni Chrisdianto Rahardjo merupakan Direktur Utama

PT Albasi Priangan Lestari. Terhadap Terdakwa I, Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya tidak sependapat dengan

pidana bersyarat yang dijatuhkan.168 Menurut Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi, pidana bersyarat atau percobaan (voorwaardelijke veroordeling)

yang dijatuhkan hakim tingkat pertama kepada Terdakwa I sangat

ringan, tidak memberi efek jera kepada Terdakwa I sebagai pelaku

industri serta membuktikan Terdakwa I melalaikan kewajibannya

melaksanakan norma-norma pelestarian fungsi lingkungan.

167
Ibid., hlm. 14
168
Ibid.
98

Selanjutnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi turut berpendapat

pelanggaran baku mutu air limbah yang dilakukan oleh Terdakwa harus

dipandang sebagai pelanggaran serius sebab limbah cair dari kegiatan

industri melebihi baku mutu yang ditetapkan. Baku mutu tersebut telah

ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:

Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan

Industri maupun Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 6 Tahun 1999

tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat.

Kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat pula

bahwa pemidanaan terhadap Terdakwa I merupakan

pertanggungjawaban perannya sebagai orang yang memberi perintah

atau bertindak memimpin kegiatan perusahaan. Hal tersebut ditegaskan

dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana

pemidanaan kepada Terdakwa I sebagai pengurus dianggap sebagai

mewakili perseroan baik dalam maupun di luar pengadilan sesuai

perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga diatur dalam Pasal 98

ayat (1) Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.

Selanjutnya, sesuai dengan amar putusannya bahwa Majelis Hakim

memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor

155/Pid.Sus/2013/PN.Cms yang dijatuhkan pada tanggal 5 September

2013 dikarenakan dengan beberapa pertimbangannya memutuskan

untuk tidak sependapat dengan penjatuhan pidana untuk korporasi,


99

khususnya terhadap besaran nilai atau jumlah pidana denda yang

dijatuhkan kepada Terdakwa II.169 Pemidanaan yang ringan terhadap

pelaku industri yang berpotensi mencemari lingkungan sangatlah tidak

tepat karena artinya Majelis Hakim Pengadilan Negeri memposisikan

kepentingan penegak hukum lingkungan berada di belakang

kepentingan ekonomi/bisnis. Setiap pelaku usaha mempunyai provit

oriented tanpa mengabaikan kepentingan pelestarian lingkungan.

Selain itu, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, pemidanaan

terhadap Terdakwa II selaku korporasi sudah sesuai dengan Pasal 116

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur mengenai prinsip

corporate liability.170 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat

bahwa penegakan hukum pidana pada PT Albasi Priangan Lestari

selaku korporasi tetaplah memperhatikan asas ultimum remidium171

yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya

terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap

tidak berhasil dan asas subsidiaritas.172 Diperoleh fakta bahwa PT

169
Ibid.
170
Ibid., hlm. 16
171
Asas Ultimum Remedium adalah asas yang mewajibkan penerapan hukum pidana
sebagai upaya terakhri setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak
berhasil. Penerapan asas ultimum remidium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan
gangguan (Poin 6 Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
172
Asas Subsidiaritas adalah bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila
sanksi hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif
penyelesaian sengketa lingkungan hidup sudah dinyatakan tidak efektif, dan/atau tingkat
kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan dalam masyarakat (Joejoen Tjahyani, “Tinjauan Yuridis Asas
100

Albasi Priangan Lestari diwakilkan oleh direktur nya tidak mematuhi

Surat Deputi KEMENLH Bidang Penataan Lingkungan Hidup,

Kementerian Lingkungan Hidup Nomor: B-253/Dep-V-2/LH/01/2010

tanggal 15 Januari 2010 perihal perintah melakukan tindakan tertentu.

Dengan tidak dipatuhinya sanksi administrasi tersebut menunjukkan

bahwa Terdakwa II selaku korporasi telah mengabaikan kepentingan

pelestarian lingkungan khususnya kawasan di sekitar lokasi

beroperasinya industri pengolahan kayu yang berpotensi mencemari

lingkungan atau ekosistem yang berpengaruh pada daya dukung

lingkungan. Padahal, Terdakwa II sebagai korporasi berkewajiban

menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup seperti yang

ditegaskan dalam Pasal 68 huruf c Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebagai sebuah korporasi, Terdakwa II mempunyai kinerja yang

buruk di bidang penataan dan pengelolaan lingkungan. Dari fakta hukum

perkara a quo maupun publikasi Kementerian Lingkungan Hidup

mengenai laporan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan

dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER)173 periode 2006-

2007, Terdakwa II pernah dua kali mendapat penilaian Proper Hitam.

Subsidiaritas yang diubah menjadi Asas Ultimum Remidium dalam Penegakan Hukum
Pidana Lingkungan”, Jurnal Unisla, Vol. 2, No.2, Tahun 2016, hlm. 147)
173
Program Peniliana Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PROPER) adalah salah satu program unggulan penilaian lingkungan yang
dilaksanakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan merupakan bentuk kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (Dwi Setyaningsih,
et. al., Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro, Bogor: IPB Press, 2016, hlm. 34)
101

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun

2011, Proper merupakan salah satu instrument kebijakan yang

dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong

penataan dan kepedulian perusahaan dalam pengelolaan lingkungan

hidup. Proper Hitam menunjukkan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang

mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau tidak

melaksanakan sanksi administrasi.

Mencermati pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan

pada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor

344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II, dapat

dilihat bahwa pemidanaan dijatuhkan terhadap subyek hukum yang

berbeda yakni perorangan atau manusia dan korporasi. Pasca

dijatuhkannya pemidanaan tersebut, para Terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan amar yang

diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Permasalahan yang perlu

ditilik adalah apakah para Terdakwa tersebut dapat

mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya.

Istilah “criminal responsibility” atau pertanggungjawaban pidana

dapat diartikan sebagai suatu mekanisme untuk menentukan apakah

seseorang Terdakwa atau Tersangka dapat dipertanggungjawabkan

atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Seorang pelaku
102

dapat dipidana apabila telah memenuhi syarat yakni tindak pidana yang

dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam

undang-undang. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna

bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan

hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya.

Pelaku atau orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

ia memiliki kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan tersebut dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah

dilakukan orang tersebut.174 Adanya kesalahan dalam diri Terdakwa

merupakan unsur mutlak yang mengakibatkan dimintakannya

pertanggungjawaban pidana.175 Terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya, jika

ditemukan unsur kesalahan padanya,176 karena suatu tindak pidana itu

terdiri atas a criminal act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea).177

Actus reus atau guilty act dan mens rea atau guilty mind di atas mutlak

harus ada dalam pertanggungjawaban pidana.178 Maka dari itu, tindak

174
Moeltajno, Op. Cit., hlm. 41
175
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 258
176
Suharto R.M., Loc. Cit.
177
Robert W. Emerson, Loc. Cit.
178
Paul Dobson, Loc. Cit.
103

pidana tidak dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana, atau

dipisahkan dari unsur kesalahan.179 Prinsip actus reus dan mens rea

dapat dikecualikan pada delik yang bersifat strict liability di mana mens

rea tidak perlu dibuktikan.180

Adapun kesalahan sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu

kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).181 Kesengajaan terdiri dari 3

(tiga) macam yaitu kesengajaan yang bersifat tujuan, kesengajaan

secara keinsyafan kepastian, dan kesengajaan secara keinsyafan

kemungkinan,182 sedangkan kelalaian terletak antara sengaja dan

kebetulan yang bagaimanapun dipandang lebih ringan dibandingkan

dengan sengaja. Culpa mengandung 2 (dua) macam bentuk, yaitu delik

kelalaian yang menimbulkan akibat (culpa lata) dan yang tidak

menimbulkan akibat (culpa levi).

Disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (schuld) dan

sifat melawan hukum (wederrechtelijk), Soedarto183 mengatakan bahwa

syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahayaan masyarakat oleh

perbuatan tersebut. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban

pidana dalam artinya dipidananya si pembuat, terdapat beberapa syarat

yang harus dipenuhi, yakni: (1) adanya suatu tindak pidana yang

dilakukan oleh pembuat, (2) adanya unsur kesalahan berupa

179
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 57
180
Roger Geary, Loc. Cit,
181
Ibid., hlm. 48
182
Ibid., hlm. 46
183
Edi Yunara, Op. Cit., hlm. 43
104

kesengajan, (3) adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab; dan

(4) tidak adanya alasan pemaaf.184

Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor

344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg di atas, tindak pidana dilakukan oleh subyek

hukum yang berbeda. Dalam penjatuhan pidana, dikenal konsep

tentang subjek hukum atau “orang” selaku pendukung hak dan

kewajiban yang memiliki kedudukan penting dalam ilmu hukum

termasuk penjatuhan pidana tersebut. Dalam hukum pidana dikenal 2

(dua) jenis pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan

hukum. Badan hukum dapat diartikan sebagai kumpulan orang-orang

yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta

kekayaan serta hak dan kewajiban sendiri.185 Perbedaan jenis subyek

hukum dari para Terdakwa tentu mempengaruhi pemidanaan yang

dijatuhkan.

Pemidanaan terhadap Terdakwa I tentunya didasarkan pada posisi

atau jabatan yang dudukinya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam

pertimbangan hakim, dalam Akta Berita Acara Rapat Umum No. 17

tanggal 20 Juni 2009 yang dibuat oleh Notaris dan PPAT Asep

Wachjudin, S.H. mengenai Perubahan Anggaran Dasar PT Albasi

Priangan Lestari, sebagaimana telah disetujui dengan Keputusan

Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: AHU-39701.AH.01.02 Tahun 2009

184
Ibid., hlm. 44
185
Salim, Op. Cit., hlm. 26
105

tanggal 14 Agustus 2009 tentang Persetujuan Akta Perubahan

Anggaran Dasar Perseroan PT Albasi Priangan Lestari yang pada Pasal

11 ayat (2) secara khusus menyebutkan Perseroan diurus dan dipimpin

oleh Direksi yang terdiri dari 1 (satu) orang Direksi. Kemudian, dalam

Pasal 12 ayat (2) butir a, menyebutkan Direktur Utama berhak dan

berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili

Perseroan.186

Terdakwa I diangkat sebagai Direktur PT Albasi Priangan Lestari

berdasarkan Akta Risalah Rapat No. 21 tanggal 15 Februari 2007 dan

Akta No. 17 tanggal 2 Juni 2009 tentang berita Acara Rapat.

Berdasarkan hal tersebut, Terdakwa I mempunyai tugas untuk

memimpin, menjaga aset prusahaan supaya bertambah, mencari

profit/keuntungan, fungsi administrasi seperti hubungan birokrasi,

hubungan dengan bank dan dalam melakukan pekerjaan tersebut

bertanggung jawab kepada Komisaris, serta aktif dalam melakukan

pengelolaan perusahaan termasuk bertanggung jawab dalam kegiatan

pengelolaan lingkungan hidup di PT Albasi Priangan Lestari.

Dalam menganalisis dan menilai apakah pemidanaan yang

dijatuhkan terhadap Terdakwa I oleh hakim dengan seluruh

pertimbangan-pertimbangannya telah sesuai atau tidak perlu dikaji dari

berbagai aspek. Aspek pertama ditinjau dari perbuatan hukum atau

actus reus dari Terdakwa I. Berdasarkan Surat Nomor B-253/Dev.v-

186
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, hlm. 15
106

2/LH/01/2010 tanggal 15 Januari 2010 perihal perintah melakukan

tindakan tertentu yang merupakan sanksi administrasi, Terdakwa I

terbukti tidak mematuhi surat tersebut dan tidak melakukan pengecekan

langsung ke lapangan mengenai masalah pengelolaan lingkungan

hidup. Terdakwa baru turun ke lapangan hanya jika terdapat

permasalahan yang menghambat kinerja perusahaan dan ternyata

setelah 2 (dua) kali pemeriksaan, air limbah yang dihasilkan masih

melampaui baku mutu.187

Mencermati hal di atas, actus reus dari Terdakwa I sudah dapat

terlihat dan dinyatakan tepat untuk dijatuhkan pemidanaan. Hal ini

dikarenakan artinya Direksi tidak melakukan kewajibannya

sebagaimana ditetapkan dalam Akta Risalah Rapat No. 21 tanggal 15

Februari 2007 dan Akta No. 17 tanggal 2 Juni 2009 tentang berita Acara

Rapat. Disamping itu, tebukti pula Terdakwa I tidak melakukan

pengurusan yang baik sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5

Undang-Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.188 Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi memiliki peran

ganda, yaitu di satu pihak menunjukan keberadaan perseroan, dan

dilain pihak menjadi pembatas bagi kecakapan bertindak perseroan.189

187
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, hlm. 6
188
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar. (Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)
189
Fred B.G. Tumbuan, Op. Cit., hlm. 14 (i)
107

Direksi hanya berwenang bertindak atas nama dan untuk kepentingan

peseroan dalam batas yang diizinkan perundang-undangan dan

anggaran dasarnya.

Sebagai satu-satunya organ yang melaksanakan fungsi pengurusan

perseroan dan bertanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan

perseroan,190 seorang direksi dalam menjalankan fungsi manajemen191

dan fungsi perwakilan192 wajib melakukan cara-cara yang baik, layak,

dan berlandaskan itikad baik, dengan memperhatikan doktrin dari

kaidah hukum perseroan yang berlaku universal, perundang-undangan,

anggaran dasar perseroan serta kebiasaan dalam praktik untuk

perseroan sejenis,193 serta jika ada, perjanjian kerja,194 yang

ditandatangani ketika dia diangkat sebagai direksi. Tindakan direksi

dianggap sah sepanjang bersesuaian dengan undang-undang,

anggaran dasar, dan RUPS sebagaimana ditegaskan pula oleh

Yurisprudensi Mahakamah Agung No. 1020K/Pdt/1966 tanggal 20

Maret 1997. Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-

190
Ibid.
191
Fungsi Manajemen atau Fungsi Pengurusan adalah fungsi yang dilakukan oleh
direksi saat melakukan tugas memimpin perusahaan. Pengurusan yang dilakukan oleh
Direksi harus dijalankan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam undang-undang dan/atau ADRT PT dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab. (Lihat Pasal 92 ayat (2) jo. Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)
192
Fungsi Perwakilan adalah fungsi yang dilakukan oleh direksi saat mewakili perseroan
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan mewakili dilakukan untuk dan atas
nama (for on behalf) perseroan, bukan atas nama direksi sendiri atau pemegang saham
atau komisaris tetapi untuk mewakili Perseroan (representative of the company) (M. Yahya
Harahap, Op. Cit., hlm. 349)
193
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003,
hlm. 60
194
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 164
108

hari untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

perseroan disebut sebagai prinsip fiduciary duties.195 Dalam

pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota direksi sebagai

organ vital dalam perusahaan tersebut merupakan pemegang amanah

(fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang

kepercayaan. Tindakannya yang diluar kewenangannya tidak mengikat

perseroan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.196 Padahal,

kewenangan direksi untuk mengurus perseroan sesuai dengan

tujuannya sudah timbul sejak adanya penunjukannya sebagai direksi,

sehingga tidak lagi diperlukan sesuatu apapun dari pemegang saham

untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, karena telah diberikan undang-

undang. Direksi mewakili perseroan dalam hukum tanpa memerlukan

surat kuasa khusus. Maka dari itu, dalam putusan ini Terdakwa I dapat

dijatuhkan pemidanaan karena telah terbukti tidak melakukan

kewajibannya sesuai dengan tujuan perseroan.

Aspek kedua yang perlu ditinjau adalah niat atau mens rea serta

kondisi batin dari Terdakwa I. Dalam putusan, dapat dilihat bahwa tidak

ditemukan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidana terhadap

Terdakwa I. Kemudian, Terdakwa I sudah jelas dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya dikarenakan kedudukannya

sebagai direktur utama sebagaimana diangkat berdasarkan Akta

195
Katharina Pistor dan Chenggang Xu, Loc. Cit.
196
Gunawan Widjadja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta:
Forum Sahabat, 2008, hlm. 43
109

Risalah Rapat No. 21 tanggal 15 Februari 2007 dan Akta No. 17 tanggal

2 Juni 2009 tentang berita Acara Rapat. Niat atau mens rea dari

Terdakwa I terbukti dengan tidak adanya itikad baik dari Terdakwa I

untuk mencegah atau mengatasi tindak pidana pelanggaran baku mutu

air limbah tersebut.

Sebagaimana kita tahu bahwa direksi bersifat kolegial197 dan di

antara anggtoanya boleh diadakan pembagian tugas. Pembagian tugas

ini merupakan tata kelola internal organisasi perseroan yang mengikat

ke dalam. Namun, setiap anggtoa direksi bertanggung jawab secara

pribibadi apabila bersalah atau lalai saat menjalankan tugasnya.

Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan tanggung jawab

renteng di antara anggota direksi.198 Demi meminimalisir terjadinya hal

tersebut, perlu dilakukannya check and balance.199 Dengan adanya

pembagian tugas disertai dengan check and balance, maka anggota

direksi yang ditugasi mengurus bidang tertentu tidak wajib terikat terus

menerus menekuni bidang tugas anggota direksi yang lain.200 Namun,

dalam putusan ini, dengan posisi Terdakwa I sebagai direktur utama

sudah menjustifikasi bahwa Terdakwa I lah yang berhak

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya dalam bentuk

197
Kolegial adalah sistem yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang berarti tiap anggota direksi mewakili perseroan namun
untuk kepentingan perseroanm anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan
diwakili oleh anggota direksi tertentu (Penjelasan Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
198
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 155
199
Gunawan Widjadja, Loc. Cit.
200
M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
110

tindak pidana pelanggaran baku mutu air limbah.

Aspek ketiga yang perlu dikaji adalah dari sudut pandang jenis

pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi.

Terdakwa I yang dikategorikan sebagai subjek hukum perorangan

dalam tindak pidana korporasi dapat dijatuhkan pemidanaan berbentuk

pidana badan dan pidana denda. Pidana badan yang dijatuhkan oleh

majelis hakim dalam putusan ini berupa pidana penjara. Adapun

pengertian dari pidana penjara adalah suatu pidana yang berupa

pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang

dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga

pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati

semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga

pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi

mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.201 Sedangkan, pidana

denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda

tersebut oleh Majelis Hakim di pengadilan untuk membayarkan sejumlah

uang tertentu oleh karena ia telah terbukti melakukan suatu perbuatan

yang dapat dipidana.202 Hal di atas sudah dirasa tepat dikarenakan

dalam amar putusan sudah jelas dipaparkan bahwa terhadap Terdakwa

I dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda

sebanyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan

201
PAF. Lamintang, Op. Cit., hlm. 69
202
Ibid., hlm. 222
111

apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana

kurungan selama 4 (empat) bulan.

Selanjutnya, pemidanaan terhadap Terdakwa II tentunya

dipengaruhi dengan bentuk subyek hukumnya. Terdakwa II merupakan

badan hukum berjenis perseroan atau korporasi bernama PT Albasi

Priangan Lestari bergerak dibidang pengelolaan kayu lapis dengan

produksi barecore, block board, dan fancy block tersebut dihasilkan air

limbah kurang lebih 100 liter perminggu. Air Limbah tersebut ditampung

dalam IPAL yang kemudian dibuang langsung melalui peralon ke media

lingkungan (selokan).203 PT Albasi Priangan Lestari berkedudukan di

Kota Banjar dan lahir pada tanggal 15 Februari 2007. Terdakwa II dalam

hal ini diwakilkan oleh Iwan Irawan Yohan yang menjabat sebagai

Direktur I (umum) PT Albasi Priangan Lestari.

Seperti hal nya analisis pemidanaan terhadap Terdakwa I yang telah

diuraikan di atas, dalam mengkaji dan menilai apakah pemidanaan yang

dijatuhkan terhadap Terdakwa II oleh hakim dengan seluruh

pertimbangan-pertimbangannya telah sesuai atau tidak perlu dikaji dari

berbagai aspek. Aspek pertama yang perlu ditinjau oleh penulis adalah

dari perbuatan hukum atau actus reus dari Terdakwa II. Sebagaimana

sudah dijelaskan dalam surat Deputi KEMENLH Bidang Penataan

Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup Nomor: B-

253/Dep.V-2/LH/01/2010 tanggal 15 Januari 2010 yang membahas

203
Lihat Putusan Nomor 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 4
112

perihal perintah melakukan tindakan tertentu ditujukan kepada Direktur

PT Albasi Priangan Lestari terbukti tidak dipatuhi. Dengan tidak

dipatuhinya sanksi administrasi tersebut menunjukan bahwa Terdakwa

II selaku korporasi telah mengabaikan kepentingan lingkungan

khususnya kawasan di sekitar lokasi beroperasinya industri pengolahan

kayu yang berpotensi mencemari lingkungan atau ekosistem yang

berpengaruh pada daya dukung lingkungan. Seharusnya Terdakwa II

sebagai korporasi berkewajiban menaati ketentuan baku mutu

lingkungan hidup sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 68 butir c

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.204

Sebagai korporasi, Terdakwa II mempunyai kinerja buruk di bidang

penataan dan pengelolaan lingkungan. Dari fakta hukum perkara a quo

maupun publikasi Kementerian Lingkungan Hidup mengenai laporan

PROPER periode 2006-2007, PT Albasi Priangan Lestari, pernah dua

kali mendapat penilaian PROPER Hitam. Berdasarkan Peraturan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2011, Program

Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup (PROPER) merupakan salah satu instrument kebijakan yang

dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong

penataan dan kepedulian perusahaan dalam pengelolaan lingkungan

204
Lihat Pasal 68 butir c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
113

hidup. PROPER Hitam menunjukkan, penanggung jawab usaha

dan/atau kegiatan sengaja melakukan perbuatan atau melakukan

kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Dalam mengkaji actus reus dari Terdakwa II dinilai sudah sesuai

dalam penjatuhan pidana, perlu ditinjau dari teori-teori

pertanggungjawaban dan pemidanaan terhadap korporasi. Pada awal

perkembangan mengenai subjek hukum pidana dan

pertanggungjawaban pidana, secara universal diakui bahwa subjek

hukum pidana adalah orang pribadi (natural person). Bahkan dalam ilmu

hukum dikenal doktrin yang juga turut diterima pada waktu itu yakni

universitas delinquere non potest yang artinya adalah korporasi tidak

mungkin melakukan tindak pidana. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan

Von Savigny bahwa korporasi sebagai subjek hukum merupakan suatu

yang fiksi hukum yang diterima dalam hukum keperdataan yang tidak

cocok untuk diambil alih begitu saja dalam hukum pidana.205 Walaupun

pada masa itu belum ada pengakuan korporasi sebagai subjek hukum

pidana, namun tidak berarti kejahatan korporasi tidak pernah terjadi.

Dalam khazanah hukum pidana dan kriminologi, tindak pidana korporasi

pada umumnya dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni: (1) Criminal

Corporation (Corporatie’s Misdaad), Crime for Corporation dan Crime

205
Jan Remellink, Op. Cit., hlm. 99
114

Against Corporation.206

Pengakuan terhadap subyek hukum korporasi tidak diatur dalam

KUHP karena KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban dari subyek

hukum orang perorangan (legal person). Akan tetapi, KUHP mengatur

mengenai pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi sebagaimana

dapat dilihat dalam Pasal 389 KUHP yang menyatakan bahwa jika

seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas maskapai andil

Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan

pailit atau diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan

pidana selama satu tahun empat bulan.207 Dari permasalahan akibat

tidak diakuinya subyek hukum korporasi oleh KUHP, maka pengaturan

tersebut diakomodir dalam undang-undang di luar KUHP seperti halnya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya dalam Pasal 116 tentang

corporate liability, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor

PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara pidana

dengan Subjek Hukum Korporasi, dan Peraturan Mahkamah Agung RI

Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Oleh Korporasi. Pasca perkembangan pengakuan terhadap

korporasi, terdapat pula terdapat beberapa doktrin yang turut mengatur

mengenai penjeratan dan pertanggungjawaban suatu korporasi dalam

206
Steven Box, Loc. Cit.
207
Lihat Pasal 398 KUHP
115

tindak pidana yang dilakukannya. Doktrin-doktrin terdiri dari

identification theory atau directy liability doctrine, strict liability atau

absolute liability doctrine, vicarious liability doctrine, the corporate

culture model atau company culture theory, doctrine of aggregation, dan

reactive corporate fault.

Kembali lagi kepada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor

344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa II yang berbentuk

korporasi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, doktrin

pertanggungjawaban pidana korporasi yang selaras dengan perbuatan

yang dilakukan oleh Terdakwa II adalah identification theory (teori

identifikasi) atau direct liability doctrine (pertanggungjawaban langsung).

Adapun maksud dari doktrin ini adalah korporasi dapat melakukan

tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer)

sehingga perbuatan “pejabat senior” (senior officer) tersebut dapat

diidentifikasi sebagai perbuatan dan kehendak dari perusahaan atau

korporasi itu sendiri.208 Oleh karena itu, pihak-pihak tersebut dalam

struktur perusahaan harus mempunyai kedudukan yang penting

sehingga perbuatannya dapat diatributkan pada perusahaan. Dalam hal

demikian, maka baik orang pribadi maupun perusahaan dapat diminta

208
Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ditinjau dari berbagai Konvensi
Internasional, Op. Cit., hlm. 85-98
116

pertanggungjawaban pidana.209 Sebagaimana kita tahu bahwa dalam

kasus ini “pejabat senior” yang relevan dengan teori di atas adalah

Direktur Utama PT Albasi Priangan Lestari yakni Terdakwa I. Seperti

yang sudah dijelaskan di atas bahwa Direktur Utama sebagai pihak yang

mewakili korporasi melakukan tindak pidana “Pelanggaran Baku Mutu

Air Limbah”. Dikarenakan adanya teori identifikasi, PT Albasi Priangan

Lestaripun dapat dijerat pertanggungjawaban pidana pula dan

dijatuhkan hukuman dengan kedudukannya sebagai Terdakwa II.

Dengan demikian, unsur actus reus dari Terdakwa II sudah sesuai dan

tepat untuk dijatuhkan pemidanaan.

Dalam pelaksanaan putusan hakim, PT Albasi Priangan Lestari

diwakilkan oleh Direktur I yakni Iwan Irawan Yohan. Sebagaimana

sudah dijelaskan sebelumnya bahwa para anggota direksi, baik

bersama-sama maupun secara pribadi wajib mewakili perseroan di

dalam dan di luar pengadilan.210 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat

disimpulkan bahwa segala tindakan hukum yang dilakukan oleh

perusahaan dapat dibebankan pertanggungjawaban kepada para

direksi. Para direksi harus memikul pertanggungjawaban pidana yang

dilakukan oleh PT Albasi Priangan Lestari karena setiap tindakan hukum

para direksi di perusahaan adalah untuk dan atas nama perusahaan. PT

Albasi Priangan Lestari memiliki jajaran direksi yang lebih dari satu

209
Ibid., hlm. 102-103
210
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms hlm. 49
117

orang dan masing-masing direksi berwenang mewakili perseroan. Oleh

sebab itu, penunjukan terhadap Iwan Irawan Yohan sudah dapat

dikatakan tepat.

Actus reus dari Terdakwa juga diperkuat dengan adanya fakta

bahwa PT Albasi Priangan Lestari telah dua kali masuk dalam dafar

hitam, hingga diterbitkannya surat bernomor: B-235/Dep.V/LH/01/2010

tanggal 15 Januari 2010 perihal perintah melakukan tindakan tertentu

yang harus diselesaikan paling lambat tiga bulan sejak tanggal

dikeluarkan tersebut, telah membuktikan adanya dua kali pelanggaran

yang dilakukan PT Albasi Priangan Lestari.

Selanjutnya, pemidanaan terhadap Terdakwa II perlu ditinjau pula

dari aspek yang kedua yakni niat atau mens rea dari Terdakwa II. Dalam

hukum pidana, untuk terciptanya suatu tindak pidana haruslah

memenuhi syarat mutlak, yakni adanya actus reus dan mens rea.

Terhadap syarat mutlak tersebut berlaku prinsip actus non facit reum,

nisi mens sit rea. Dikarenakan keberadaan dari asas ini, maka hanya

manusia yang dapat melakukan suatu tindak pidana mengingat hanya

manusia yang mempunyai kesalahan/mens rea atau evil mind atau evil

will (sikap batin jahat).211 Seperti halnya yang sudah dipaparkan di atas,

untuk membuktikan actus reus dari sebuah korporasi didasarkan pada

identification theory. Beberapa pakar mengatakan bahwa teori ini

didasarkan pada doktrin strict liability (tanggung jawab langsung) yang

211
Sigid Suseno & Nella Sumika Putri, Op. Cit., hlm. 209
118

menetapkan pertanggungjawaban pidana pada pelaku tanpa

membuktikan adanya kesalahan pada pelaku.212 Maka dari itu, untuk

membuktikan pemidanaan terhadap korporasi dapat dilakukan tanpa

membuktikan adanya mens rea dari korporasi tersebut. Berdasarkan hal

di atas pula, dikarenakan actus reus dari Terdakwa II sudah jelas, maka

mens rea dari PT Albasi Priangan Lestari tidak perlu dibuktikan.

Selanjutnya, aspek terakhir yang perlu dikaji adalah dari sudut

pandang jenis pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi terhadap Terdakwa II. Terdakwa II sebagai subyek

hukum berbentuk korporasi hanya dapat dijatuhkan hukuman berupa

pidana denda. Adapun pengertian dari pidana denda adalah kewajiban

seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Majelis Hakim

di pengadilan untuk membayarkan sejumlah uang tertentu oleh karena

ia telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Pidana denda ini dapat diancamkan baik satu-satunya pidana pokok

maupun secara alternatif dengan pidana penjara atau alternative

dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.213 Dalam

putusan tingkat pertama yakni Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No.

155/Pid.Sus/PN.Cms, Terdakwa II dijatuhi pidana denda sebesar Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.214 Namun,

212
I.S. Susanto, Loc. Cit.
213
PAF Lamintang, Op. Cit., hlm 222
214
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms hlm. 69
119

dalam putusan tingkat banding yakni dalam Putusan Pengadilan Tinggi

Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg, Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi memperbaiki putusan tingkat pertama tersebut khususnya

terhadap Terdakwa II dikarenakan sebuah korporasi tidak dapat

dijatuhkan pidana badan. Pada amar putusannya, Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana denda sebanyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) kepada Terdakwa II. Dengan

demikian, maka jenis pemidanaan terhadap Terdakwa II sudah dirasa

tepat.

2. Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya

menjatuhkan amar putusan yang memperbaiki putusan Pengadilan

Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms yang telah dimohonkan

banding. Adapun bentuk perbaikan berupa pemberatan pemidanaan

yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi adalah terhadap para

Terdakwa salah satunya mengenai jenis dan berat pemidanaan. Dalam

putusan pengadilan tingkat pertama, Terdakwa I dijatuhkan pidana

penjara selama 5 (lima) bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak

perlu dijalankan kecuali apabila dalam tenggang waktu selama 7 (tujuh

bulan) dengan putusan hakim, Terdakwa telah melakukan suatu

perbuatan yang dapat dihukum. Sedangkan, dalam putusan tingkat

banding, Terdakwa I dijatuhkan pidana lebih berat yakni pidana penjara

selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebanyak Rp. 200.000.000,00


120

(dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak

dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan.

Selanjutnya, dalam putusan pengadilan tingkat pertama, terhadap

Terdakwa II dijatuhkan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar

diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. Sedangkan, dalam

putusan pengadilan tingkat banding, Terdakwa II dijatuhkan pidana

denda sebanyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka sebagian

aset/harta PT APL, disita dan dijual lelang untuk sekedar cukup untuk

membayar jumlah denda dimaksud. Selain itu, Terdakwa II juga

dijatuhkan pidana tambahan.

Dalam memutus sebuah kasus tindak pidana korporasi di bidang

lingkungan, majelis hakim dapat menggunakan beberapa pendekatan

yang mendasari pertimbangan-pertimbangannya dalam menjatuhkan

putusan. Pendekatan tersebut terdiri dari pendekatan antroposentrisme,

biosentrisme, dan ekosentrisme. Mencermati kedua putusan di atas,

dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pandangan antara hakim pada

tingkat pertama maupun tingkat banding yang mempengaruhi

penjatuhan pidana. Mencermati pertimbangan-pertimbangan hukum

hakim pada tingkat pertama dan banding, Majelis Hakim pada tingkat

pertama memutus dengan menggunakan pendekatan antroposentrisme

dan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, psikologis, dan


121

filosofis. Adapun arti dari pendekatan antroposentrisme adalah teori

etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari

sistem alam semesta. Pendekatan ini juga merupakan teori filsafat yang

mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia

dan bahwa kebutuhan serta kepentingan manusia mempunyai nilai

paling tinggi dan paling penting. Bagi pendekatan antroposentrisme,

etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, kewajiban dan tanggung jawab

moral manusia terhadap lingkungan hidup semata-mata hanya demi

memenuhi kepentingan sesama manusia, bukan merupakan

perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap

alam itu sendiri.215

Pendekatan antroposentrisme yang menjadi dasar pemidanaan

membuat pidana yang dijatuhkan cenderung ringan. Dalam

pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri berpendapat

bahwa putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan hukum demi untuk

menjamin kepastian hukum dan dengan mempertimbangkan rasa

keadilan sehingga akan bermanfaat baik bagi yang bersangkutan

(pelaku tindak pidana) maupun bagi masyarakat. Kemudian, tanpa

adanya kepastian hukum, masyarakat tidak tahu apa yang harus

diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Akan tetapi, apabila kita

terlalu mengejar kepastian hukum yang terlalu ketat dalam menaati

peraturan hukum, akibatnya akan menjadi kaku dan akan menimbulkan

215
A. Sonny Keraf, Op. Cit., hlm. 47-48
122

rasa tidak adil. Undang-undang akan terasa kejam apabila dilaksanakan

secara ketat seperti dipaparkan dalam adagium “lex dura, secta mente

skripta” (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah

bunyinya). Faktanya, meskipun telah terbukti para Terdakwa telah

terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum,

Majelis tidak memperoleh fakta bahwa permasalahan air limbah PT

Albasi Priangan Lestari menimbulkan keresahan bagi masyarakat

sekitar perseroan. Warga masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi

pabrik merasa tidak terganggu dengan adanya aktivitas pabrik PT Albasi

Priangan Lestari.216

Kemudian, pendekatan antroposentrisme yang digunakan oleh

Majelis Hakim Pengadilan Negeri menghadirkan aspek yuridis,

sosiologis, psikologis dan filosofis sebagai dasar dalam

mempertimbangkan penjatuhan pidananya. Bukti dari penerapan aspek

yuridis ini dapat dilihat dari amar putusan yang berbunyi sebagai

berikut:217

“Menjatuhkan pidana oleh karenanya kepada Terdakwa I


tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan
ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali
apabila dalam tenggang waktu selama 7 (tujuh) bulan
dengan putusan hakim, Terdakwa telah melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum”

Penerapan aspek yuridis tersebut didasarkan pada Pasal 14 a ayat (1)

216
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Ciamis No. 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms hlm. 63-64
217
Ibid., hlm. 65
123

KUHP yang isinya sebagai berikut:218

“Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau


pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti
maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula
bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari
ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si
terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa
percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis,
atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak
memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam
perintah itu.”

Selanjutnya, bukti dari penerapan sosiologis dapat terlihat dari

pemidanaan yang cukup ringan dikarenakan majelis hakim menghindari

pelaku mengalami dehumanisasi. Pidana perampasan kemerdekaan

yakni pidana penjara seringkali mengakibatkan dehumanisasi.

Dehumanisasi dapat diartikan sebagai pengasngan dari masyarakat

selama masyarakat kehilangan kemerdekaannya. Dehumanisasi sendiri

dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa

ketidakmampuan untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di

dalam masyarakat dan ada kecenderungan membuat seorang

narapidana menjadi residivis. Kemudian, hal yang dihindari oleh majelis

hakim adalah pidana penjara yang sangat pendek tidak memberikan

manfaat. Dengan penjatuhan pidana bersyarat akan memberikan

kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya dalam

masyarakat dan memungkinkan baginya untuk melanjutkan kebiasaan

sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Majelis

218
Lihat Pasal 14 a ayat (1) KUHP
124

Hakim Tingkat Pertama berpendapat bahwa Terdakwa I adalah

pemimpin dan pengendali perusahaan dengan jumlah karyawan yang

sangat banyak (kurang lebih 2500 orang) yang tentunya akan lebih

berguna apabila ia tetap dapat bekerja dan berada di tengah-tengah

karyawannya dalam mengelola PT Albasi Priangan Lestari daripada

apabila Terdakwa I berada dalam tahanan di mana Terdakwa I tidak

dapat lagi memberikan kontribusi kepada masyarakat.219

Aspek selanjutnya adalah aspek psikologis. Majelis Hakim

Pengadilan Negeri berpendapat bahwa dengan dicap sebagai seorang

terpidana telah cukup memberikan tekanan bagi Terdakwa karena akan

lebih adil apabila dalam menjalankan hukumannya tersebut Terdakwa

tidak pula dirampas kemerdekaannya. Aspek terakhir yang

mempengaruhi pemidanaan adalah aspek filosofis. Artinya adalah

walaupun secara fisik Terdakwa tidak menjalani penahanan, akan tetapi

secara filosofis terdakwa sesungguhnya berada dalam masa waktu

yang di isyaratkan terikat dengan ketentuan harus bertingkah laku yang

baik dengan tidak melakukan tindak pidana lain. Secara kejiwaan, hal

ini berarti kebebasan terdakwa berada dalam suatu pembatasan.

Mudah-mudahan hal ini akan memberikan shock teraphy agar Terdakwa

lebih berhati-hati dikemudian hari. Dari keempat aspek di atas, dapat

dilihat bahwa pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri cenderung cukup ringan dan melindungi para

219
Ibid., hlm. 65-66
125

Terdakwa.

Hal tersebut sangat berbeda dengan pertimbangan-pertimbangan

yang dikemukakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Mencermati

hal di atas, dapat dilihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

memutus dengan menggunakan pendekatan biosentrisme dan

ekosentrisme. Pendekatan biosentrisme dapat diartikan sebagai

kesadaran bahwa kehidupan adalah hal yang sakral. Kesadaran ini

mendorong manusia untuk selalu berusaha mempertahankan

kehidupan dan memperlakukan kehidupan dengan sikap hormat.

Pendekatan ini didasarkan pada hubungan yang khas antara manusia

dana lam, dan nilai yang ada pada alam itu sendiri. Alam memiliki harkat

dan nilai karena ada kehidupan di dalamnya. Terlepas dari apapun

kewajiban dan tanggung jawab moral yang manusia miliki terhadap

sesama manusia, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab

moral terhadap semua mahluk di bumi demi kepentingan manusia.220

Kemudian, pendekatan ekosentrisme adalah pendekatan yang

menawarkan pemahaman yang semakin memadai tentang lingkungan.

Kepedulian ini diperluas sehingga mencakup komunitas ekologis

seluruhnya, baik yang hidup maupun yang tidak. Dengan demikian,

manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun suatu

kearifan budi dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan saling

ketergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta

220
A. Sonny Keraf, Op. Cit., hlm. 48
126

sebagai suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan alam.221

Pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme yang menjadi dasar

pemidanaan membuat pidana yang dijatuhkan cenderung sangat

berbeda dengan pidana yang dijatuhkan di Pengadilan Negeri Ciamis.

Pidana yang dijatuhkan di tingkat banding ini cenderung sangat berat.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak

sependapat dengan pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada

Terdakwa maupun mengenai besaran nilai atau jumlah pidana denda

yang dijatuhkan kepada Terdakwa II. Alasan pertama majelis hakim

adalah pidana bersyarat atau percobaan yang dijatuhkan kepada

Terdakwa I sangat ringan dan tidak memberi efek jera kepada Terdakwa

I maupun pelaku industri lain yang berpotensi melakukan pelanggaran

baku mutu air limbah. Alasan selanjutnya adalah majelis hakim

berpendapat pelanggaran baku mutu air limbah yang dilakukan oleh

Terdakwa harus dipandang sebagai pelanggaran serius sebab limbah

cair dari kegiatan industri melebihi baku mutu yang ditetapkan.

Kemudian, alasan selanjutnya adalah majelis hakim berpendapat

pidana denda kepada Terdakwa patut diperbeta. Denda sebesar Rp.

100.000.000,00 yang dijatuhkan hakim tingkat pertama sangat ringan

dan tidak signifikan bagi Terdakwa II selaku korporasi atas dasar kinerja

penataan dan tingkat kepedulian perusahaan dalam pelestarian

221
Antonius Atosokhi Gea & Antonia Panca Yuni Wulandari, Loc. Cit.
127

lingkungan.222

Kedua pendekatan yang berbeda antara Majelis Hakim Pengadilan

Negeri dan Pengadlan Tinggi disinyalir dikarenakan beberapa faktor.

Faktor yang paling kuat adalah faktor yang bersumber dari diri hakim

sendiri. Persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the

aims of punishments” atau dapat juga disebut sebagai “the basic

difficulty”, sangat memegang peranan penting di dalam penjatuhan

pidana.223 Seorang hakim mungkin berpikir bahwa tujuan “deterrence”

hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan

tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa pengenaan

denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang “classical

school” lebih baik daripada “positive school” akan memidana lebih berat,

sebab pandangannya adalah “let the punishment fir the crime”. Dan

sebaliknya yang berpandangan modern (positive school) akan

memidana lebih ringan sebab ia akan berfikir bahwa “punishment fit the

criminal”. 224

Dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Direktur Utama dan

korporasi PT Albasi Priangan Lestari, perbedaan pendekatan yang

digunakan para hakim dalam putusan pengadilan negeri dan pengadilan

tinggi disinyalir karena adanya faktor yang bersumber dari hakim sendiri.

222
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 15-17
223
Sigid Suseno & Nella Sumika Putri, Op. Cit., hlm. 94
224
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia” Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai
Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003
128

Masing-masing hakim pada tingkat pertama dan tingkat banding

memiliki perspektif yang berbeda dalam penjatuhan pidana berdasarkan

pendekatan lingkungan yang dijadikan dasar pemidanaan. Selain

pandangan atau perspektif dari hakim yang disebabkan pendekatan

lingkungan yang berbeda, dalam kasus lingkungan kerap kali ditemukan

bahwa hakim yang memutus tidak atau belum memiliki keahlian untuk

memutus kasus lingkungan khususnya mengenai tindak pidana

korporasi di bidang lingkungan. Keahlian ini dibuktikan dengan ada atau

tidaknya sertifkasi lingkungan yang dimiliki para hakim.225

Fenomena perbedaan pendekatan yang digunakan oleh para hakim

dalam putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi perlu dikaji dan

dihubungkan dengan pemenuhan tujuan pemidanaan dan tujuan hukum

lingkungan. Tujuan pemidanaan sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) yakni

teori absolut / retributive, teori relative / teologis, dan teori gabungan /

retributive teologis. Teori absolut adalah suatu hal yang mutlak harus

dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Dalam teori absolut atau

teori pembalasan ini, pidana tidaklah bertujuan untuk tujuan praktis

seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung

unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak tetap

ada karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan

manfaat dari penjatuhan pidana.226 Selanjutnya, teori relatif adalah teori

225
Hasil wawancara dengan Bapak H. Hanifah Hidayat Noor, S.H., M.H., seorang Hakim
Pengadilan Tinggi Bandung, pada tanggal 20 September 2019
226
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op. Cit., hlm. 26
129

yang memiliki makna pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan

absolut dari keadilan akan tetapi pembalasan tersebut tidak memiliki

nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan

masyarakat.227 Terakhir, teori gabungan adalah teori yang

menitikberatkan pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya

unsur pembalasan seimbang dengan unsur prevensi. Pada intinya, teori

ini menunjukan pidana bertujuan untuk mempersiapakn dan

mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan pemidanaan tentunya berbeda dengan tujuan hukum

lingkungan. Tujuan hukum lingkungan sudah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup khususnya dalam Pasal 3, yang berbunyi:228

“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:


a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan
kelestarian ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Menjamin keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan
generasi masa depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan
hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.”

227
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 7
228
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
130

Tujuan di atas dapat dilaksanakan dengan adanya ruang lingkup dari

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sendiri sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni:

“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:


a. Perencanaan;
b. Pemanfaatan;
c. Pengendalian;
d. Pemeliharaan;
e. Pengawasan; dan
f. Penegakan Hukum.”

Mencermati hal di atas, hukum lingkungan dibuat dengan tujuan

untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat.

Dengan kata lain harus ada kepastian hukum di dalamnya. Dalam

pembangunan hukum lingkungan, diperlukan adanya kepastian hukum

karena kepastian hukum menghendaki bagaimana hukum

dilaksanakan, tanpa peduli bagaimana “pahitnya” (fiat Justitia et prereat

mundus: meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan). Hal ini

dimaksudkan bahwa barang siapa mencemarkan lingkungan harus

dihukum. Ketentuan ini menghendaki agar siapapun (tidak peduli

jabatannya) apabila melakukan pencemaran lingkungan haruslah tetap

dihukum.229

Dengan adanya perbedaan pendekatan yang digunakan para hakim

229
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms hlm. 62
131

dalam putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi mencerminkan

adanya kesenjangan dalam pemenuhan tujuan pemidanaan dan tujuan

hukum lingkungan. Pemidanaan yang ringan yang diputuskan dalam

putusan pengadilan negeri memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak

dicapai adalah tujuan dari sudut pandang pidana yakni tujuan

pemidanaan dalam kaca mata teori gabungan. Hal ini terlihat dari

pertimbangan hakim yang selaras dengan makna dari teori ini yakni

untuk mempersiapkan dan mengembalikan terpidana ke dalam

kehidupan masyarakat. Pemidanaan yang ringan disinyalir dikarenakan

meskipun para Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang

didakwakan, akan tetapi untuk menyelaraskan tuntutan Penuntut Umum

sebagai penerapan asas ultimum remidium atas kesalahan yang harus

dipertanggungjawabankan para Terdakwa degan kepastian,

kemanfaatan dan keadilan, perlu kiranya diperkirakan apakah

perbuatan para Terdakwa berdampak besar dan menimbulkan

keresahan bagi masyarakat atau tidak. Berdasarkan fakta-fakta

diperoleh bahwa pencemaran lingkungan yang dilakukan para

Terdakwa tidak memberikan dampak yang begitu besar bagi

masyarakat dan tidak menimbulkan keresahan. Maka dari itu, Majelis

Hakim Pengadilan Negeri memutus dengan putusan yang sangat

ringan. Dengan putusan yang sangat ringan ini, tentunya tujuan hukum

lingkungan tidak dapat tercapai secara efektif. Walaupun tidak

menimbulkan keresahan bagi masyarakat, tindak pidana ini tetap


132

menimbulkan pencemaran pada lingkungan yang sesungguhnya perlu

untuk dipulihkan.

Kecenderungan ini diatasi dan diperbaiki oleh Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang dalam

pertimbangannya tidak setuju dengan pemidanaan yang ringan lebih

condong kepada pemenuhan tujuan hukum lingkungan. Pemidanaan

yang ringan kepada pelaku industri yang berpotensi mencemari

lingkungan sangat tidak tepat sebab cenderung memposisikan

kepentingan penegakan hukum lingkungan berada di belakang

kepentingan ekonomi/bisnis. Padahal seharusnya aspek kepentingan

itu berjalan parallel, seimbang dan berkelanjutan. Setiap pelaku usaha

mempunyai provit oriented tanpa mengabaikan kepentingan pelestarian

lingkungan. Pemidanaan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi berujung cukup berat dan berorientasi lingkungan. Pemidanaan

yang cukup berat dari amar putusan Pengadilan Tinggi juga belum dapat

dikatakan tepat mengingat pencemaran lingkungan yang terjadi tidak

menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Dalam hal ini tujuan hukum

lingkungan dapat tercapai akan tetapi tujuan hukum230 yang sangat

relevan dengan kasus ini adalah kemanfaatan dari pemidanaan sendiri

belum tercapai.

230
Tujuan Hukum adalah keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus
mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari kepastian hukum dan
kemanfaatan. (Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000,
hlm. 49)
133

Menurut pendapat Penulis, kesenjangan dalam pemenuhan tujuan

pemidanaan dan tujuan hukum lingkungan yang tercerminkan dalam

putusan tingkat pertama dan tingkat banding ini dapat diatasi dengan

cara menjamin bahwa Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia No. 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim

Lingkungan Hidup sudah diterapkan pada semua perkara lingkungan

khususnya dalam kasus ini adalah tindak pidana lingkungan dengan

pelaku korporasi. Seluruh perkara lingkungan perlu ditangani secara

khusus oleh institusi pengadilan yang memahami urgensi perlindungan

lingkungan hidup dengan cara ditangani oleh hakim yang mempunyai

sertifikasi lingkungan hidup. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 2

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup yang

berbunyi “perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan

hidup yang bersertifikat dan telah diangkat oleh ketua Mahkamah

Agung”.

Selanjutnya, hingga sekarang proses peradilan tindak pidana

lingkungan hidup masih ditangani dalam peradilan umum yang artinya

tidak ada kekhususan dalam penanganan tindak pidana lingkungan

hidup. Maka dari itu, untuk kedepannya perlu adanya peradilan khusus

lingkungan hidup guna memberikan kepuasan bagi masyarakat atas

kepercayaan penegakan hukum serta kualitas putusan yang dihasilkan

atas perkara lingkungan hidup.


134

B. Penetapan Pidana Pengganti Denda dan Pidana Tambahan untuk

Korporasi dihubungkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1. Penetapan Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi

dihubungkan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013 dalam

pertimbangannya menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok dapat diartikan sebagai pidana utama yang dijatuhkan

dalam suatu putusan. Pidana pokok dapat terdiri dari pidana mati,

pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Dalam putusan ini,

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menjatuhkan

pidana pokok beserta pidana penggantinya dalam amar putusan yang

berbunyi sebagai berikut:231

a. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I dengan pidana


penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebanyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti
dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;
b. Menjatuhkan pidana denda kepada Terdakwa II sebanyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka sebagian
aset/harta PT APL, disita dan dijual lelang untuk sekedar
cukup untuk membayar jumlah denda dimaksud;

Dari amar tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana pokok yang

231
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21
135

dijatuhkan terhadap Terdakwa I berupa pidana penjara dan pidana

denda dengan pidana pengganti berupa kurungan. Kemudian, terhadap

Terdakwa II dijatuhkan pidana pokok berupa pidana denda dengan

pidana pengganti denda berupa penyitaan dan pelelangan aset/harta PT

Albasi Priangan Lestari untuk sekedar cukup untuk membayar sejumlah

denda tersebut.

Mencermati amar putusan di atas, dapat dilihat bahwa Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana pengganti terhadap Terdakwa II

sebagai korporasi berupa penyitaan dan pelelangan aset / harta

korporasi untuk sekedar cukup membayar jumlah denda sebagaimana

sudah dijelaskan di atas. Hal ini perlu dikaji dikarenakan hingga kini

penyitaan dan pelelangan aset/harta korporasi sebagai pidana

pengganti denda tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap korporasi

khususnya dalam konteks sebagai pelaku Tindak Pidana Lingkungan.

Pengaturan yang mengatur mengenai aset/harta korporasi salah

satunya adalah Pasal 21 ayat (1) sampai ayat (6) Peraturan Mahkamah

Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi tentang “Penanganan Harta

Kekayaan Korporasi” yang bunyinya sebagai berikut:232

Bagian Kedelapan
Penanganan Harta Kekayaan Korporasi Pasal 21
232
Lihat Pasal 21 ayat (1) sampai ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
136

(1) Harta kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan penyitaan


adalah benda sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas
rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk
disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang
bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya
penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau
dapat mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin
dengan persetujuan tersangka atau kuasanya benda tersebut
dapat diamankan atau dilelang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Harta kekayaan yang dilelang, sebagaimana dimaksud ayat
(2), tidak dapat dibeli oleh tersangka atau terdakwa dan/atau
pihak yang mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai
derajat kedua, hubungan semenda, hubungan keuangan,
hubungan kerja/manajemen, hubungan kepemilikan dan/atau
hubungan lain dengan tersangka atau terdakwa tersebut.
(4) Dalam hal benda sitaan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), telah dilelang dan penetapan tersangka terhadap
Korporasi dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan atau
penyidikan maupun penuntutan terhadap Korporasi dihentikan
berdasarkan surat penetapan penghentian penyidikan atau
penuntutan, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan
harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak putusan praperadilan berkekuatan hukum tetap
atau sejak surat penetapan penghentian penyidikan atau
penuntutan berlaku.
(5) Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan pada ayat (3) telah dilelang, namun berdasarkan putusan
berkekuatan hukum tetap dinyatakan benda sitaan tersebut tidak
dirampas untuk negara, maka uang hasil penjualan lelang barang
sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
(6) Dalam hal dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) terdapat
bunga keuntungan maka perampasan atau pengembalian uang
hasil lelang benda sitaan juga disertai dengan bunga keuntungan
yang diperoleh dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan
tersebut.

Untuk lebih memahami mengenai pasal di atas, maka penulis perlu

mengkaji dari dasar hukum yang lainnya yakni dari KUHAP. Adapun
137

pasal yang relevan adalah Pasal 46 KUHAP yang bunyinya sebagai

berikut:233

Pasal 46
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan
hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.

Dari kedua pasal di atas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya pengaturan

mengenai pidana pengganti denda apabila korporasi tidak mampu

membayarkannya diganti dalam bentuk perampasan aset / harta

kekayaan milik korporasi untuk sekedar memenuhi pidana denda yang

dijatuhkan.

Hingga kini, peraturan perundang-undangan yang menerapkan

pidana pengganti denda seperti amar putusan di atas adalah Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya dalam Pasal 7 dan 9, yang

bunyinya sebagai berikut:234

Pasal 7
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah
pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:

233
Lihat Pasal 46 KUHAP
234
Lihat Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
138

a. pengumuman putusan hakim;


b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda
tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya
sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang
dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil
Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang
telah dibayar.

Seperti yang jelas dijelaskan di atas, bahwa dalam peraturan perundang-

undangan di atas diatur secara jelas bahwa pidana pengganti denda

dapat berupa perampasan harta kekayaan milik korporasi yang nilainya

sama dengan putusan denda yang dijatuhkan.

Kembali kepada Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.

344/Pid.Sus/2013, putusan tingkat banding ini memutus mengenai tindak

pidana lingkungan. Maka dari itu, terhadap amar putusan terdapat dua

permasalahan yang perlu dikaji. Permasalahan yang pertama adalah

suatu pemidanaan dengan subyek hukum yang sama, yang dalam

konteks ini adalah korporasi, tidak dapat diselaraskan atau disamakan

dalam hal penjatuhan pidananya terutama ketika tindak pidana tersebut

tidak dalam bidang yang sama. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, hingga sekarang tidak terdapat pengaturan mengenai

pidana pengganti denda dalam peraturan perundang-undangan yang


139

mengatur mengenai tindak pidana korporasi di bidang lingkungan seperti

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor

13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana,

dll. Dalam hal ini, pengaturan yang mengatur mengenai pidana

pengganti tersebut hanyalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang.

Selain ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai pidana

tambahan serta pidana pengganti, sebagai berikut:235

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang


tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagain perusahaan untuk
waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.

235
Lihat Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
140

Terhadap pidana pokok berupa denda dengan pidana tambahan

maupun pidana penggantinya, maka untuk menjamin korporasi

menunaikan pidana tersebut, dapat dilakukan penyitaan terhadap harta

kekayaan korporasi apabila korporasi tidak bersedia membayar pidana

denda yang telah dijatuhkan. Dengan kondisi demikian, maka harta

kekayaan korporasi tersebut harus dilelang yang hasilnya digunakan

untuk melunasi pidana denda tersebut. Bahkan terhadap korporasi yang

bukan badan hukum, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap harta

benda pengurus. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pemisahan

antara harta kekayaan kroporasi dan harta pengurus.236

Pidana pengganti denda berupa perampasan aset atau harta

korporasi untuk dilelang juga turut dijatuhkan dalam Putusan Nomor

113/Pid.B/LH/2016/PN.Pwk di mana hakim dalam amar putusannya

menjatuhkan pemidanaan sebagai berikut:237

“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT Indo Bharat Rayon


yang diwakili oleh SIBNATH AGARAWALLA oleh karena itu
dengan pidana sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima
ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar diganti dengan perampasan asset Terdakwa PT Indo
Bharat Rayon oleh Penuntut Umum untuk dijual lelang menutupi
sejumlah pidana denda tersebut.”

236
H. Shantos Wachjoe P, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 2, Juli 2016, hlm. 172-173
237
Lihat Putusan Nomor 113/Pid.B/LH/2016/PN.Pwk hlm. 95
141

Menurut pendapat Penulis, penjatuhan pidana pengganti denda

seperti yang sudah dipaparkan di atas merupakan hal yang sangat baik

dan perlu diterapkan dalam seluruh putusan perkara lingkungan hidup.

Hal ini diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi demi

terciptanya efektivitas pemidanaan khususnya terhadap korporasi

pelaku tindak pidana lingkungan. Dengan demikian, pelaksanaan

pidana denda yang dijatuhkan tidak memiliki kemungkinan tidak dapat

dilakukan oleh Terdakwa II karena langsung dapat dieksekusi dari

harta/aset korporasi.

2. Penetapan Pidana Tambahan untuk Korporasi dihubungkan

dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Putusan Pengadilan Tinggi

Bandung No. 344/Pid.Sus/2013 dalam pertimbangannya menjatuhkan

pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terhadap putusan ini

telah dipaparkan di dalam pembahasan sebelumnya. Dalam bagian ini,

penulis akan menyoriti pidana tambahan yang dijatuhkan kepada

korporasi. Pidana tambahan dapat diartikan sebagai pidana yang hanya

dapat dijatuhkan di samping pidana pokok.238 Terhadap korporasi tidak

dapat dikenakan hukuman pidana pokok selain hukuman pidana denda,

akan tetapi pengenaan pidana denda sering kali dirasakan oleh

238
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 121.
142

korporasi bukan sebagai hukuman, sehingga pengenaan denda saja

dirasakan kurang cukup.239 Penjatuhan pidana tambahan sifatnya

fakultatif yang artinya penjatuhan pidana tambahan tidak boleh tanpa

dengan menjatuhkan pidana pokok dan harus bersama-sama.240 Jenis-

jenis pemidanaan tambahan dapat dibagi menjadi pidana pencabutan

hak-hak tertentu, pidana perampasan barang tertentu, dan pidana

pengumuman putusan. Dalam perkembangannya, pidana tambahan

dapat berupa pencabutan izin usaha, perampasan keuntungan yang

diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat

usaha dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban

mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, penempatan perusahaan

di bawah pengampuan paling lama tiga tahun, pembubaran korporasi

yang diikuti dengan likuidasi, pengumuman putusan hakim, pembekuan

sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pembubaran dan/atau

pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara,

pengambilalihan korporasi oleh negara, pengembalian dana hasil tindak

pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang

dirugikan, pencabutan status badan hukum, perbaikan akibat tindak

pidana, dan pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.241

Pengaturan mengenai pidana tambahan dalam tindak pidana

lingkungan diatur dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

239
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 341-342
240
Marjane Termorshuizen, Loc. Cit.
241
H. Shantos Wachjoe P, Op. Cit., hlm. 171
143

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun yang diatur dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:242

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang


ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan
atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau


kegiatan;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;


dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama


3 (tiga) tahun.

Pada perkembangannya, tercatat 24 (dua puluh empat) peraturan

perundang-undangan dari sekitar 44 (empat puluh empat) peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi

yang di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai pidana

tambahan, yakni:243

a. Hanya berupa pencabutan izin usaha:


1) Pasal 70 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997;
2) Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2008;
3) Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No. 43 tahun 2008;
4) Pasal 315 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009.
b. Hanya berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan
status badan hukum:
1) Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007;
2) Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007;

242
Lihat Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
243
Hasbullah F. Sjawie, Op. Cit., hlm. 344-345
144

3) Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008;


4) Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009;
5) Pasal 92 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2009;
6) Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009;
7) Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009;
8) Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009.
c. Berupa pencabutan izin usaha dan/atau pidana tambahan
lainnya selain pencabutan status badan hukum
1) Pasal 49 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;
2) Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999;
3) Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001;
4) Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003;
5) Pasal 18 ayat (3) Perpu No. 1 Tahun 2002 jo. Undang-
Undang No. 15 Tahun 2003;
6) Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007;
7) Pasal 41 Undang-Undang No. 44 Tahuyn 2008;
8) Pasal 82 ayat (3) Undang-Undang No. 33 Tahun 2009
d. Berupa pidana tambahan lainnya
1) Pasal 58 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001;
2) Pasal 40 Undang-Undang No. 27 Tahun 2003;
3) Pasal 30 Undang-Undang No. 9 Tahun 2008;
4) Pasal 119 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.

Di dalam putusan ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam

pertimbangannya menjatuhkan pidana tambahan dalam amar putusan

sebagai berikut:244

Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa II, untuk


melakukan tindakan sebagai berikut:
1) Memperbaiki kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media
lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu;
2) Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah cair
secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas
biaya perusahaan pada laboratorium rujukan;
3) Menyampaikan laporan tentang debit harian kadar
parameter baku mutu limbah cair, produksi dan/atau bahan
baku bulanan senyatanya, sekurang-kurangnya tiga bulan
244
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 19-21
145

sekali kepada Wali Kota Banjar dengan tembusan kepada


Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mencermati amar putusan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana tambahan

terhadap Terdakwa II yakni PT Albasi Priangan Lestari untuk melakukan

3 (tiga) tindakan.

Permasalahan yang perlu dikaji dalam pembahasan ini adalah ketiga

tindakan di atas tidak diatur secara kongkret dalam pengaturan

mengenai Pidana Tambahan khususunya yang diatur dalam Pasal 119

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, hal yang menarik bagi

penulis adalah dikarenakan dari sekian banyak putusan mengenai

pertanggungjawaban korporasi, putusan inilah yang mencantumkan

pidana tambahan yang berorientasi pada pencegahan dilakukannya

tindak pidana sekaligus sebagai upaya untuk pemulihan dampak

kejahatan. Majelis Hakim Tingkat Banding memperbaiki dan

memperberat pemidanaan kepada para Terdakwa dengan tujuan untuk

meningkatkan tujuan fungsi pelestarian lingkungan. Hal ini tentunya

perlu diperhatikan di mana sesungguhnya pemidanaan yang cukup

berat harus pula mempertimbangkan tujuan hukum khususnya tujuan

untuk kemanfaatan sebagaimana sudah dijabarkan dalam pembahasan

permasalahan pertama studi kasus ini.


146

Sesungguhnya para pembentuk undang-undang jauh-jauh hari

secara sengaja menggunakan konsep double track system atau sistem

dua jalur dalam menyusun pemidanaan terhadap korporasi.245 Double

track system atau sistem dua jalur dapat diartikan sebagai bagi

korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan, maka selain

dikenai sanksi pidana harus pula dikenai pula sanksi tindakan tata tertib.

Jan Remmelink kemudian menguraikan bahwa sanksi pidana (straf)

berkenaan dengan pembalasan berupa pemberia derita atau nestapa

sebagai upaya menjaga ketentraman masyarakat sehingga lebih

condong pada prevensi umum (general preventive). Sedangkan, sanksi

tindakan (maatregel) meskipun tetap memberikan derita kepada

terpidana tetapi lebih condong pada prevensi khusus atau special

preventive.246 Masih mengenai double track system, pada hakikatnya

sistem ini menghendaki agar unsur pencelaan/penderitaan dan unsur

pembinaan sama-sama diakomodasi. Maka dari itu sesungguhnya

dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan

atau pidana tambahan.247 Akan tetapi, suatu pidana tambahan tidak

dapat dijatuhkan hanya dengan tujuan untuk memaksimalkan tujuan dari

pemidanaan.

245
Hariman Satria, “Penerapan Pidana Tambahan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup”, Jurnal Yudisial, Vol. 10 No. 2, Agustus 2017, hlm.
165
246
Jan Remmelink, Op. Cit., hlm. 458
247
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 23
147

Dalam pembahasan ini, penulis mencermati bahwa diperlukan

adanya penafsiran terhadap Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

untuk mengkaji apakah pidana tambahan yang dijatuhkan oleh Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi sudah tepat. Penafisran terhadap Pasal 119

ini sesungguhnya dapat ditemukan dalam penjelasan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup, akan tetapi dalam penjelasan tersebut sudah

dinyatakan “cukup jelas”. Maka dari itu, diperlukan adanya proses

penafsiran terhadap pasal tersebut. Proses ini dapat disebut sebagai

penemuan hukum. Penemuan hukum adalah proses pembentukan

hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk

menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa kongkret. Hakim

akan selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus yang

harus diselesaikan atau dipecahkannya, dan untuk itu perlu dicarikan

hukumnya. Maka dari itu, dalam penemuan hukum yang penting adalah

mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. 248

Penemuan hukum dibagi ke dalam beberapa metode, yakni

interprestasi bahasa atau gramatikal, sejarah atau historis, sistematis

atau logis, otentik, teleologis atau sosiologis, komparatif, antisipatif atau

futuristis, restriktif, dan ekstensif. Dalam kasus ini, Majelis Hakim

248
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
148

Pengadilan Tinggi menerapkan penemuan hukum dengan metode

ekstensif dalam memutus. Interpretasi ekstensif adalah penafsiran yang

memperluas arti suatu peraturan dengan tidak hanya bertitik tolak pada

artinya menurut bahasa.249 Penafsiran ini juga kerap kali disebut

sebagai penafsiran analogi. Penafsiran ekstensif dalam putusan ini

dapat ditemukan ketika hakim dalam pertimbangannya memaknai Pasal

119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan

Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam pertimbangannya, Majelis

Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana tambahan yakni 3 (tiga)

tindakan didasarkan pada penafsiran terhadap nomenklatur huruf d

yakni “pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak”.

Nomenklatur tersebut ditafsirkan dalam bentuk tindakan-tindakan yakni

memperbaiki kinerja IPAL sehingga air limbah yang dibuang ke media

lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu, memeriksa kadar

parameter baku mutu air limbah cair secara periodik sekurangnya sekali

dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan, dan

menyampaikan laporan tentang debit harian kadar parameter baku mutu

limbah cair, produksi dan atau bahan baku bulanan senyatanya,

sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Walikota Banjar dengan

tembusan kepada Menteri Lingkungan Hidup.250

Mencermati pertimbangan di atas, penafsiran yang dilakukan oleh

249
Ibid., hlm. 91
250
Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 344/Pid.Sus/2013/PT.Bdg hlm. 17
149

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sudah tepat. Adapun alasannya adalah

PT Albasi Priangan Lestari pernah menerima surat dari Kementerian

Lingkungan Hidup bernomor B-253/Dev.V-2/lh/01/2010 tanggal 15

Januari 2010 perihal melakukan tindakan tertentu yang harus

diselesaikan paling lambat tiga bulan sejak tanggal dikeluarkan.

Perintah tersebut berisi mengenai beberapa hal, sebagai berikut: (1)

supaya merevisi secara total dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan

(untuk selanjutnya disebut sebagai UPL) dan Upaya Pemantauan

Lingkungan (untuk selanjutnya disebut sebagai UKL) sesuai dengan

kegiatan PT APL yang kemudian dilaporkan kepada Walikota Banjar

melalui kantor BLH Banjar, (2) menyalurkan air limbah log pond dari

rotary ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (untuk selanjutnya disebut

sebagai IPAL) serta melakukan pemeriksaan parameter baku mutu

limbah cair ke Balai Besar Bahan Barang Teknik di Bandung dan (3)

mengoptimalkan kinerja IPAL sehingga air limbah yang dibuang ke

media lingkungan hidup memenuhi baku mutu air.

Faktanya surat perintah yang berisi sanksi administrasi tidak dipatuhi

oleh PT Albasi Priangan Lestari dan ternyata setelah 2 (dua) kali

dilakukan pemeriksaan air limbah yang dihasilkan masih melampaui

baku mutu, di mana seharusnya PT Albasi Priangan Lestari melakukan

upaya-upaya untuk memperbaki kadar air limbah yang dihasilkan untuk

tidak melampaui baku mutu yang ditetapkan. Terdakwa I juga tidak

pernah melakukan pengecekan langsung ke lapangan mengenai


150

masalah pengelolaan lingkungan hidup. Terdakwa I baru turun ke

lapangan hanya jika terdapat permasalahan yang menghambat kinerja

perusahaan Menurut Terdakwa I, surat tersebut belum sepenuhnya

dilaksanakan karena terkendala masalah waktu, birokrasi dan biaya

yang terlalu besar. .

Maka dari itu, ketiga tindakan yang dijatuhkan dalam amar putusan

merupakan tindakan-tindakan yang belum dilakukan atau dilalaikan dari

surat yang berisi sanksi administrasi yang nyatanya tidak dipatuhi oleh

Terdakwa II. Tindakan pertama yakni memperbaiki kinerja IPAL

sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah

memenuhi ketentuan baku mutu relevan dengan perintah ketiga untuk

mengoptimalkan kinerja IPAL yang nyatanya belum dilakukan.

Kemudian, tindakan kedua yakni memeriksa kadar parameter baku

mutu air limbah cair secara periodik sekurangnya sekali dalam sebulan

atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan relevan dengan

perintah kedua yakni menyalurkan air limbah log pond dari rotary ke

Instalasi Pengolahan Air Limbah (untuk selanjutnya disebut sebagai

IPAL) serta melakukan pemeriksaan parameter baku mutu limbah cair

ke Balai Besar Bahan Barang Teknik di Bandung. Terakhir, tindakan

ketiga yakni menyampaikan laporan tentang debit harian kadar

parameter baku mutu limbah cair, produksi dan atau bahan baku

bulanan senyatanya relevan dengan merevisi secara total dokumen

Upaya Pengelolaan Lingkungan (untuk selanjutnya disebut sebagai


151

UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (untuk selanjutnya disebut

sebagai UKL) sesuai dengan kegiatan PT APL yang kemudian

dilaporkan kepada Walikota Banjar melalui kantor BLH Banjar.

Pidana tambahan berupa tindakan untuk melakukan beberapa

tindakan-tindakan tata tertib yang tidak diatur di dalam Pasal 119

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan

Perlindungan Lingkungan Hidup juga dijatuhkan dalam Putusan Nomor

113/Pid.B/LH/2016/PN.Pwk di mana hakim dalam amar putusannya

menjatuhkan pemidanaan sebagai berikut:251

“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa PT Indo


Bharat Rayon yang diwakili oleh Sibnath Agarwalla, yakni:
a. Membersihkan (to clean up) limbah B3 yang saat ini tertimbun
di Rawa Kalimati hingga kedalaman Rawa Kalimati kembali lagi
menjadi seperti sediakala;
b. Dalam menjalankan pidana tambahan tersebut Terdakwa PT
Indo Bharat Rayon wajib melaporkan hasilnya secara bertahap
kepada Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Dampak
pada Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta dengan
melibatkan Laboratorium-laboratorium yang telah melakukan
analisa laboratis atas sampel-sampel yang dipakai dalam
pemeriksaan perkara ini, yaitu Laboratorium Intertek Utama
Services, Laboratorium TekMira dan Laboratorium ALS
Laboratory Group, atau Laboratorium yang ditunjuk sendiri oleh
pihak Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta,
sehingga pelaksanaan pidana tambahan tersebut dapat
disupervisi dan dievaluasi secara teratur dan bertahap, hingga
Rawa Kalimati benar-benar bersih dari limbah B3;
c. Mengenai anggaran pembiayaan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pidana tambahan tersebut dibebankan kepada
Terdakwa PT Indo Bharat Rayon.”

251
Lihat Putusan Nomor 113/Pid.B/LH/2016/PN.Pwk hlm. 95
152

Adapun pertimbangan majelis hakim dalam putusan pembanding

ini adalah sebagai bentuk pengadopsian prinsip-prinsip Deklarasi Rio

1992, yaitu asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian

(precautionary principle), keadilan, pencemar membayar (pollutan pays

principle), partisipatis (participation principle) dan kearifan lokal (local

wisdom principle), yang menurut Hakim Agung dan pakar hukum

lingkungan hidup, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LLM pengadopsian

ini adalah merupakan politik hukum pro natura (pro lingkungan hidup)

yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan

lingkungan hidup manakala berhadapan dengan kepentingan

pengelolaan lingkungan hidup manakala berhadapan dengan

kepentingan ekonomi jangka pendek, sehingga menurutnya, hakim

dalam mengadili perkara-perkara lingkungan hidup dapat menggunakan

prinsip-prinsip tersebut untuk memberikan perhatian atas kepentingan

pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh

pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.252

Menurut pendapat Penulis, penjatuhan pidana tambahan yang

dijatuhkan atas penafsiran ekstensif seperti yang sudah dijelaskan di

atas merupakan hal yang sangat baik dan perlu diterapkan dalam

seluruh putusan perkara lingkungan hidup. Hal ini diputuskan oleh

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi demi terciptanya efektivitas

pemidanaan khususnya terhadap korporasi pelaku tindak pidana

252
Ibid., hlm. 88
153

lingkungan. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dan tujuan hukum

lingkungan yakni pemulihan lingkungan dapat dicapai dengan mudah

pasca dijatuhkannya pidana tambahan yang berorientasi kepada

perbaikan dan pemulihan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai