Anda di halaman 1dari 4

 Judul Buku : Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan

 Penulis : Dr. Harun Nasution


 Penerbit : UI-Press
 Cetakan : V, 1986
 Tebal : xv+155 halaman

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan


dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, merupakan seorang ulama
sekaligus pedagang sukses. Dalam dunia kecendikiawanan, Harun Nasution dikenal sebagai
tokoh dengan pemikiran-pemikirannya yang cenderung liberal.

Beliau juga telah menerbitkan banyak karya baik berupa buku maupun artikel. Dan buku
“Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan” ini merupakan salah satu dari hasil
karya beliau yang cukup memberikan kontribusi ilmu teologi di Indonesia .Bagian pendahuluan
menyebutkan betapa pentingnya pengetahuan tentang teologi bagi umat Islam terutama bagi
mereka yang berpendidikan barat dan merasa tidak yakin pada keyakinan yang selama ini mereka
anut.

Buku ini tidak hanya membahas Islam dari sudut hukum dan fikihnya saja, tetapi juga dari sisi
lain yaitu keberadaan aliran-aliran teologi baik tradisional maupun liberal yang pernah mewarnai
dunia Islam dengan ajarannya, yang beberapa, bahkan memicu kontroversi di kalangan umat
Islam sendiri.
Teologi sendiri merupakan ilmu tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama, dalam Islam,
teologi disebut sebagai al Ilm al Kalam. Harun Nasution, membagi buku ini ke dalam 2 bagian.
Bagian pertama membahas tentang macam-macam aliran teologi yang pernah ada dalam Islam,
ajarannya, sejarah, dan uraian-uraian lainnya.

Sedangkan dalam bagian kedua, Dr. Harun Nasution membeberkan perbedaan dan menganalisa
ajaran-ajaran tiap aliran-aliran teologi yang ada. Dalam bukunya ini Harun Nasution menyatakan
bahwa memperkenalkan Islam melalui tinjauan teologi sangatlah penting agar umat Islam
terutama Indonesia tidak hanya mengenal satu aliran saja yang menurutnya benar, setidaknya
mereka bisa berfikir lagi dan membandingkan apa yang mereka yakini dengan apa yang diyakini
aliran lainnya.

Seperti yang telah disebutkan di atas bagian pertama buku ini membahas tentang aliran-aliran
teologi yang pernah dan masih ada sampai kini dalam Islam serta sejarahnya. Pada bagian ini
penulis mengajak kita kembali ke masa lalu. Sejarah menuturkan, banyak peristiwa yang memicu
munculnya masalah teologi.

Pembahasan pada buku dimulai dari ulasan tentang awal-awal tersiarnya ajaran agama Islam oleh
Nabi Muhammad SAW di Mekah. Selanjutnya, kita akan membaca beberapa peristiwa yang
memicu dan mengiringi fase perkembangan teologi di dunia Islam. Dalam buku ini juga
disebutkan, bahwa setelah Nabi wafat masyarakat Madinah pada saat itu sibuk mencari pengganti
Nabi untuk mengepalai negara. Hal ini karena Islam pada saat itu berperan ganda selain sebagai
sistem agama juga sebagai sistem politik, sehingga pada saat itu selain menjadi Nabi, Rasulullah
juga menjadi ahli negara (R. Strothmann).

Karena itulah setelah Nabi wafat, muncullah rezim kepemimpinan Khulafa’u Rasyidin yang
berawal dari Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan, hingga Ali Bin Abi Thalib.
Gejolak politik dan perebutan kekuasaan mewarnai setiap periode pemerintah para khalifah ini.

Seperti pemerintahan Utsman yang kontroversial dan menimbulkan perpecahan, karena hampir
semua pejabat pemerintahan terpilih saat itu adalah keluarga Utsman sendiri. setelah itu timbullah
pemberontakan-pemberontakan yang berujung pada pembunuhan Utsman.

Selanjutnya Ali menggantikan Utsman sebagi khalifah. Pemerintahan Ali juga menimbulkan
tentangan-tentangan dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Aisyah (istri Nabi) dan Muawiyyah yang
masih ada hubungan saudara dengan Utsman. Sama seperti Utsman, peristiwa ini juga berujung
pada wafatnya Ali yang selanjutnya digantikan Mu’awiyah; dan peristiwa-peristiwa di ataslah
yang memicu munculnya persoalan-persoalan teologi. Termasuk kemunculan aliran-aliran baru
dalam Islam.

Aliran pertama yang muncul setelah masa Khulafa’urrasyidin disebut Khawarij, aliran ini
mengajarkan mana yang pantas disebut berdosa mana yang tidak. Aliran kedua adalah Murji’ah,
diikuti oleh kemunculan Qadariah-Jabariah, Mu’tazilah yang liberal, dan banyak aliran lainnya
yang muncul setelah mundurnya aliran sebelum mereka.

Dalam bab ini Harun menunjukkan pada kita betapa sebuah persoalan politik bisa berkembang
menjadi persoalan teologi. Dalam menulis buku ini penulis juga menggunakan pendekatan
historis untuk menuturkan peristiwa-peristiwa bersejarah dengan timeline yang memudahkan kita
memahami sejarah. Selain diajak menelusuri sejarah, kita juga diajak berfikir tentang aliran-aliran
teologi dan ajarannya.
Dalam bagian kedua buku, Harun Nasution membandingkan ajaran beberapa aliran dengan
memunculkan permasalahan-permasalahan agama yaitu: mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan, mengetahui soal baik dan jahat serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik
dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Semua permasalahan di atas berkaitan dengan akal dan
wahyu.

Harun menuturkan, setiap aliran memiliki jawabannya masing-masing. Mu’tazilah misalnya,


mereka berpendapat bahwa pengetahuan dapat diperoleh lewat akal, sedangkan kewajiban-
kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang dalam. Sedangkan Asy’ariyah menolak
pendapat Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa kewajiban hanya dapat diketahui melalui
wahyu, sedangkan akal tidak bisa membuat sesuatu menjadi wajib, dan mengerjakan yang baik
serta menjauhi yang buruk adalah kewajiban bagi manusia.

Masih dalam bab ini, Harun mengajak pembaca menganalisa suatu ajaran dengan cara
membandingkannya dengan pendapat para tokoh-tokoh aliran mereka atau bahkan
membandingkannya dengan aliran lainnya. Harun mengajak kita memandang dari banyak sisi
agar mengenal banyak pendapat dan ajaran yang nantinya akan membantu memperkuat keimanan
atau bahkan menjawab semua keraguan yang ada pada keyakinan kita.

Harun mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua aliran teologi sama-sama mempergunakan
akal dan wahyu dalam menyelesaikan masalah-masalah umat saat itu. Perbedaan mereka
mungkin terletak pada perbedaan mengintepretasikan ayat Al Qur’an atau perbedaan dalam
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Mu’tazilah adalah salah satu aliran yang
berpandangan liberal, kebanyakan ajaran mereka menggunakan rasio untuk menyelesaikan
masalah yang ada. Dari aliran seperti inilah lahir teolog-teolog liberal. Kebanyakan dari mereka
berfikir dan berlaku sebagaimana kaum terpelajar, pembahasan mereka juga filosofis sehingga
bagi sebagian orang awam hal ini sulit dimengerti.

Sedangkan para teolog tradisional cenderung berpegang teguh dalam penafsiran ayat Qur’an dan
hadits yang terbatas pada harfiahnya saja dan kadang tidak menggunakan logika, hal ini kurang
sesuai jika dibandingkan dengan keadaaan saat ini dimana kini telah lahir banyak pemikir yang
berfikir secara logika dan kritis.

Dalam bagian terakhir bab ini penulis menulis tentang keberadaan Tuhan menurut beberapa
aliran. Bagi Mu’tazilah yang liberal. Tuhan bersifat immateri, tidak mempunyai badan dan tidak
tampak pada alam semesta ini sehingga ayat-ayat Al Qur’an yang selama ini menyebutkan
keberadaan tuhan dan singgasananya (Arsy) harus diberi interpretasi lain secara logika.

Sedangkan Asy’ariyah juga tidak menyetujui jika Tuhan bersifat jasmani sebagaimana manusia
(Anthropomorphisme), tetapi mereka setuju pada penjelasan Al Qur’an tentang Tuhan yang
memiliki mata, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya mereka juga percaya bahwa Tuhan akan
tampak ketika mereka di akhirat nanti. Perbedaan-perbedaan pemikiran dan aliran inilah yang
memperkaya khazanah teologi agama Islam.

Dalam buku ini, Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis barat.
Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad
pertengahan.
Membandingkan Harun dengan pemikir-pemikir teologi islam dari Barat, Montgomerry Watt
misalnya, adalah seperti membandingkan 2 sisi mata uang. Berbeda tetapi masih dalam satu ide
pemikiran. Keduanya juga seorang yang berfikiran liberal dan cenderung orientalis.

Jika Harun berbicara tentang teologi islam dari kacamata seorang muslim sendiri, maka Watt
membahas hal ini dari kacamata orientalis barat. Tetapi bagaimanapun juga, kontribusi kedua
teolog tersebut sangatlah penting bagi perkembangan ilmu teologi Islam di Indonesia khususnya,
dan di dunia pada umumnya.
Sebenarnya setiap aliran yang disebut di atas tidak pernah keluar dari Islam, mereka semua tetap
Islam. Sedangkan kita sebagai umat Islam diajak penulis untuk menentukan sikap, aliran
manakah yang sebenarnya cocok dengan keyakinan selama ini. Tidak ada yang salah dengan
perbedaan, karena setiap perbedaan memiliki keunikannya masing-masing sehingga dapat
melengkapi satu sama lainnya.

Seperti yang diungkapkan penulis, bahwa Nabi Muhammad pernah berucap,

Perbedaan faham di kalangan umatku membawa rahmat

Sehingga bukan karena aliran atau ajaran mana yang kita anut kita menjadi berbeda, tapi dari
sudut pandang kitalah kita berbeda. Jika kita bisa menyamakan sudut pandang, bahwa semua
manusia sama dan sederajat maka kita akan menemukan dunia yang serasi, selaras dan seimbang;
dan Dr. Harun Nasution telah menguraikan teologi yang bagi kita mungkin sulit ini menjadi hal-
hal kecil yang sebenarnya mudah untuk dipahami.

Anda mungkin juga menyukai