Tugas Mingguan (Searching of Journal): THE DAWAH OF QARYAH THAYYIBAH
(DQT) AS A MODEL OF MODERATE ISLAM IN INDONESIA
Nama Mahasiswa : Azizul Mahdha Lewis NIM : 23052160028 Hp : 085609721337 Nama Penulis Artikel: Rohmat Suprapto, Mufnaetty Alamat Sumber Searching: Google Schoolar atau alamat Jurnal: http://inferensi.iainsalatiga.ac.id/ A Judul Artikel THE DAWAH OF QARYAH THAYYIBAH (DQT) AS A MODEL OF MODERATE ISLAM IN INDONESIA B 1. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) bagaimana penerapan (terjemahnya) Dakwah Qaryah Metode Thayyibah (DQT) adalah, (2) apakah metode DQT efektif dalam menyebarkan Islam moderat, dan (3) kendala penerapan metode tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian agama, dilaksanakan di Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen atau DIMSA (Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen ~Inggris), Indonesia. Data diperoleh berdasarkan open-ended wawancara berbasis pertanyaan dengan responden kunci. Datanya adalah kemudian dianalisis dalam tiga langkah: reduksi, penyajian, dan kesimpulan.Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: Pertama, DQT dilakukan oleh mengirimkan siswanya ke suatu komunitas dalam jangka waktu tertentu untuk berinteraksi dengan masyarakat, membantu baik dalam kegiatan keagamaan maupun sosial di masyarakat; Oleh karena itu, terjadilah interaksi antara siswa dan siswa komunitas yang lebih luas. Kedua, DQT efektif untuk penyebaran moderat Islam, dan efektifitasnya ada pada dua hal: pertama, dimiliki oleh santri kesadaran baru bahwa terdapat keberagaman dalam masyarakat baik dari segi agama, budaya, dan masyarakat, sehingga metode DQT dapat mengurangi dan meminimalkan konflik baik dalam ajaran agama maupun sosial serta kelemahannya kemanusiaan; kedua, ada beberapa nilai moderat yang mungkin terjadi dikembangkan dengan metode DQT, diantaranya tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan), tasamuh (toleransi), dan syura (permusyawaratan) untuk menciptakan suatu sikap inklusif-partisipatif. Ketiga, kendala dalam pelaksanaannya Metode DQT merupakan waktu interaksi antar siswa yang relatif singkat dan komunitas; itulah hasil internalisasi Islam moderat nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya terlihat secara nyata. 2. Teori yang Menurut Fanani (2013), anggapan bahwa gerakan radikal dan Digunakan terorisme merupakan kreasi Barat untuk memperburuk citra Islam tampaknya perlu dikoreksi. Misalkan Anda melihat berbagai macamnya peristiwa teror di Indonesia yang terus bermunculan. Dalam hal ini, itu terlihat bukti bahwa orang-orang dengan sengaja mengabdikan diri untuk menjadi teroris, menggalang calon teroris, dan mengajarkan terorisme dari kalangan umat Islam sendiri (Fanani, 2013) 3. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pengumpulan data Penelitian tekniknya diperoleh dari berbagai sumber yaitu, pendistribusian daftar pertanyaan dan wawancara mendalam dari unsur utama penelitian (Hadi, 2007), pencetus ide, aktor (alumni mahasiswa), dan tokoh masyarakat yang berinteraksi langsung ketika siswa melaksanakan DQT. Kyai Pesantren DIMSA, Pimpinan Dewan Pendidikan Dasar dan Menengah, disingkat Dewan Pendidikan Pimpinan Daerah Muhammadiyah, disingkat PDM Kabupaten Sragen, dan beberapa alumni kunci yang berpartisipasi dalam DQT sebelum pandemi. Dampak dari Covid-19 pandemi ini tentu saja sangat mempengaruhi teknik pengumpulan data sehingga beberapa wawancara dilakukan melalui video call (VC), dan responden mengirimkan jawaban pertanyaan melalui WhatsApp dan email. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode induktif. Spesifik, data yang kecil kemudian ditarik untuk diambil kesimpulan yang luas (Hadi, 2007).
4. Hasil Berdasarkan wawancara terhadap hampir seluruh mahasiswa
Penelitian DIMSA angkatan 1994 Pesantren yang mengikuti program DQT pada tahun 1999 itu menunjukkan bahwa masyarakat menerima dengan baik metode DQT yang mereka miliki sebelumnya digunakan. Hal ini dikarenakan metode DQT memerlukan tepa selira, menghargai perbedaan, tidak mudah mengkafirkan dan menganut paham yang ada tradisi. Penerapan metode DQT sangat efektif dilakukan di pesantren mana saja dan kapan saja. Efektivitasnya terletak pada dua hal. Pertama, Siswa harus menyadari pola-pola keagamaan praktiknya berbeda dari apa yang mereka pahami dan lakukan selama berada di dalamnya pesantren. Mahasiswa harus menjadi calon pemimpin masyarakat yang beragama, menghormati, peka terhadap perbedaan pemahaman dan pola praktik keagamaan dan budaya masyarakat. Ini Pemahaman terhadap berbagai tradisi dalam masyarakat harus dijadikan sebagai penguatan bagi munculnya sikap tasamuh (toleran) demikian masyarakat menjadi damai (Suciati & Erzad, 2018). Dalam Islam sendiri, banyak ayat Alquran dan Hadits yang menekankan bahwa manusia itu harusnya ramah, tidak saling curiga, tidak saling mengancam dan memaksa, cara yang terbaik adalah mengembangkan budaya toleransi (Syafii Maarif, 2015: 188) dan saling memberi kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Memang ada beberapa ayat atau hadits terkesan sulit, namun harus ditempatkan dan ditempatkan di dalamnya konteks situasi agar tidak muncul sikap keras menjadi ciri khas Islam. Beberapa ayat sulit di satu tempat pasti ada dihubungkan dengan ayat-ayat persahabatan di tempat lain sehingga wajah menjadi terlalu disederhanakan Islam tidak muncul. Sebagai contoh sikap assyida’ ala al-kuffar (keras terhadap orang-orang kafir), pasti ada hubungannya dengan ayat lain, misalnya Allah tidak melarangmu berbuat baik, dan berlaku adil terhadap mereka yang tidak memerangi kamu dalam hal keyakinanmu, atau jangan usir kamu keluar rumah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil (Surat al-Mumtahanah: 8). Kedua, mahasiswa yang mengikuti program DQT bisa berinovasi dakwah, sehingga tercipta budaya saling memahami perbedaan muncul. Dengan memiliki kreativitas dalam dakwah maka dakwah akan lebih mudah dilakukan. Siswa selalu memahami dan menyadari bahwa ada berbagai model pengamalan keagamaan di masyarakat untuk melaksanakan dakwah dengan sikap yang seimbang. Bukan ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Itu Model DQT diterapkan di DIMSA Pesantren secara efektif mengurangi ketegangan atau konflik antar umat dan internal agama. Hal itu diakui Andi, Ketua Pesantren Treinsain IRM/Osis yang juga merupakan salah satu peserta dalam hal ini DQT. Menurutnya, dengan DQT ini para siswa akan langsung dihadapkan pada perbedaan pengajaran dan sosial. Menurut Syafiq A. Mughni (2001), perbedaan atau konflik berputar di tiga wilayah. Yang pertama adalah bidang pengajaran dalam istilah ibadah, keyakinan, dan moral, dimana masing- masing agama memiliki keunikannya masing-masing ajaran dan moral bahkan mungkin bertentangan satu sama lain. Itu Perbedaan dan kontradiksi seringkali menjadi bahan yang menarik untuk disimak menyatakan. Baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk ceramah. Jika memang disampaikan secara retorika, maka akan mengganggu antar umat beragama hubungan. Saat ini sudah ada kesadaran akan adanya perbedaan dalam pengajaran terdapat potensi ketegangan, oleh karena itu perlu dilakukan mengangkat dasar-dasar teologis berbagai agama. Ada juga konsep atau jargon kalimatun sawa’ dalam konteks ini, yang mana Nurcholis Madjid kerap mengungkapkan. Pada hakikatnya semua agama mengandung titik pertemuan penting. Sehingga konflik antar manusia berlandaskan mengenai agama tidak perlu terjadi. Kedua, bidang ketegangan sosial. Ketegangan sosial tidak terjadi jauh berbeda dengan ketegangan lainnya. Mendirikan rumah ibadah dari agama minoritas di tengah agama mayoritas pasti akan memimpin untuk berkonflik. Jadi penyelesaiannya harus musyawarah dan mufakat dalam kelompok masyarakat. Baik atau tidaknya rumah ibadah dibangun juga perlu diperhatikan oleh umat beragama dan jumlah tempat ibadah. Ketegangan ini tentu bisa dihindari jika Anda memiliki pengalaman berharga dalam menangani kasus ketegangan sosial atau konflik sejak usia dini. Ketiga, tidak ada keprihatinan bersama terhadap masalah kemanusiaan. Setiap agama berputar keluar untuk memuat ajaran-ajaran yang sangat obyektif, menurut umum akal, terutama yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran, kemakmuran, dan kesejahteraan. Persoalan ini patut mendapat tanggapan dari umat beragama untuk bekerjasama dalam membangun kerukunan dan perdamaian bersama (Kuswaya & Ali, 2021). Setiap agama atau penganut agama pasti meyakini hal tersebut apa yang dilakukan adalah benar. Sehingga dia akan melakukan apa pun untuk menjaga keyakinan itu agar tidak hilang dalam hidupnya. Ini termasuk mensosialisasikan keyakinan agamanya kepada orang lain, yang dalam bahasa tersebut Islam adalah dakwah. Pola dakwah yang cenderung menyalahkan orang lain ajaran orang/orang lain serta mempertimbangkan ajaran dan ibadahnya pola yang paling benar, merupakan gejala yang terjadi di masyarakat saat ini. Di sinilah dituntut pola-pola baru yang lebih segar, lebih banyak alami, dan secara bertahap akan menjadi merek dagang keagamaan di masa depan. Itu Pola barunya adalah dialog multikultural (Baidhawi, 2006) yang penuh rahmat (Syafii Maarif, 2015). Dialog multikultural berarti pemahaman perbedaan dengan sikap memandang perbedaan. Kami memahami perbedaan orang lain karena kami ada di dalamnya perbedaan itu sendiri. Penting untuk memahami perbedaan karena kita menjadi makhluk yang mempunyai sifat berbeda-beda dan karakteristik. Sifat dan karakter masing-masingnya adalah berbeda tentunya mengikuti pesan Alquran Surah Annisa ayat 1. Yang membedakan adalah saling memahami dan mengenal satu sama lain. Dakwah DQT yang penuh tasamuh (kesopanan), tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan), dan syura (penuh dialog), merupakan pelajaran yang sangat penting. Interaksi yang dilakukan yang dilakukan santri DIMSA Pesantren memerlukan dialog multikultural yang penuh rahmat dan ketulusan. Dengan model dialog seperti ini, hal itu akan terjadi menjadi obat mujarab untuk meredam ketegangan berbasis agama yang ada selalu muncul akhir-akhir ini. 5. Kesimpulan Dapat disimpulkan Pertama, penerapan metode DQT untuk Pesantren DIMSA Pesantren adalah dengan cara berinteraksi atau terlibat secara langsung dengan komunitas. Siswa menjadi pemimpin kelompok, sedangkan anggota rombongan terdiri dari beberapa siswa kelas III SMA/SMK Muhammadiyah yang dijadwalkan mengikuti DQT. Interaksi langsung ini bersifat dua arah, terutama ketika melaksanakan program pengajaran TPQ untuk anak dan mengajar layanan doa komunitas. Interaksi yang dilakukan yang dilakukan oleh para santri Pesantren DIMSA membangkitkan kesadaran baru tentang keberagaman agama, masyarakat, dan budaya yang harus dipahami. Siswa dituntut untuk matang dan mengembangkan pola baru dalam agama yaitu dialog dua arah. Dari dialog tersebut akan mengalir sikap tawasuth, tasamuh, tawazun, taadul dan syura (musyawarah), dan inilah yang menjadi rukun Islam moderat. Kedua, dari hasil wawancara mendalam dengan berbagai pihak sumber utama, baik Pengurus Pusat Program DQT, Pimpinan Pesantren, Alumni, maupun masyarakat penerima manfaat, dapat disimpulkan bahwa metode DQT sangat efektif dalam penyebaran Islam Wasatiyah, Islam moderat menuju Islam yang rahmatan lil alamin. Ketiga, terdapat dua kendala utama dalam pelaksanaan DQT ini, (1) usia peserta DQT yang masih sangat muda, sedangkan mereka menerima tugas dan amanah untuk berinteraksi secara langsung dengan komunitas. Kondisi ini akan tergantung pada jatuh temponya para peserta. (2) kendala kedua adalah durasi program. Sebagai upaya terstruktur untuk memutus rantai kekerasan beragama dan menyebarkan Dakwah Islam moderat, memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga program DQT akan lebih bermanfaat jika diterapkan pada minimal 2 sampai 3 bulan agar internalisasi Islam moderat. Nilai-nilai mudah dicapai dan keberhasilannya dapat diukur. 6. Saran Kendala kedua adalah durasi waktu. Program DQT ini jika dilihat dari waktu pelaksanaannya baru tujuh hari enam malam (tahun 2018). Proses interaksi dengan masyarakat sehingga muncul budaya yang humanis dan moderat, rupanya tidak cukup hanya memiliki waktu satu atau dua minggu. Waktu yang hanya ada enam hari efektif secara budaya, hanyalah tahap pengenalan masyarakat. Belum lagi beradaptasi dan menyebarkan proses dakwah, yang secara budaya dapat diterima di masyarakat. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan tahun 90an yang berlangsung selama 15 (lima belas) hari. Proses interaksi dibangun sedemikian rupa sehingga hanya tinggal memperkuatnya saja masyarakat nantinya. Jadi agar efektif dan memperkuat program dakwah yang moderat tentunya waktu pelaksanaannya DQT perlu ditingkatkan, minimal 10 hari atau bahkan 14 hari dengan pengawasan dari guru PAI disetiap sekolah, dan guru posisi juga harus bersatu, tetap bersatu selama program DQT. Dengan durasi waktu yang cukup, proses dakwah yang bersifat moderat, menghargai perbedaan pemahaman dan pola keberagaman masyarakat akan lebih mudah tercapai. 7. Daftar Afandi. 2020. Pertumbuhan Pesantren Muhammadiyah Melonjak, Rujukan Haedar Beri Tantangan Ini. Www.Muhammadiyah.or.Id. Amar, A. 2018. Pendidikan Islam Wasathiyah ke-Indonesia-an. AlInsyiroh : Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 18–37. https://doi. org/10.35309/alinsyiroh.v2i1.3330 Baidhawi , Z. 2006. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulturalisme. Gelora Aksara Pratama. Bruinessen, M. Van. 1995. Kitab kuning : pesantren dan tarekat, pengantar, Abdurahman Wahid. Mizan. Dikdasme n Sragen, P. 2018. Buku Panduan Qoryah Thoyyibah, Students dan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Sragen. Dzhofier , Z. 1983. Tradidi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES. Fanani, A. F. 2013. Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda. MAARIF Institute, 8(1-Juli), 4. The Dawah of Qaryah Thayyibah (DQT) as a Model of Moderat Vol. 15, No.2, Desember 2021 : 361-390 387 H. Abror, R. 2014. Rethinking Muhammadiyah: Masjid, Teologi Dakwah Dan Tauhid Sosial (Perspektif Filsafat Dakwah). Jurnal Ilmu Dakwah, 6(1), 53. https://doi.org/10.15575/jid. v6i1.327 Hadi, S. 2007. Matodelogi Research 1 (p. 42). Yogyakarta: Andi Offset. Hafidz, M. 2021. The Role of Pesantren in Guarding The Islamic Moderation (A Case Study at Pesantren Al Ittihad Poncol , Semarang Regency). Inferensi; , Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 15(1), 117–140. Hamdi, S., Carnegie, P. J., & Smith, B. J. 2015. The recovery of a non-violent identity for an Islamist pesantren in an age of terror. Australian Journal of International Affairs, 69(6), 692– 710. https://doi.org/10.1080/10357718.2015.1058339 Hanafi, M. S. 2014. The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia. International Journal of Humanities and Social Science, 4(9(1)), 51–62 Hasyim, S. 2011. The Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama Indonesia, MUI) and Religious Freedom: Vol. null (null (ed.)). Hew, W. W. 2018. The Art of Dakwah: social media, visual persuasion nd the Islamist propagation of Felix Siauw. Indonesia and the Malay World, 46(134), 61–79. https://doi.org/10.1080/136398 11.2018.1416757 Hidayatulloh, M. S., & Nurhidayati, F. 2020. Deradikalisasi Agama Melalui Kegiatan Keagamaan di Masjid Kampus Ulul Azmi UNAIR Surabaya. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 13(2), 305–328. https://doi.org/10.18326/infsl3. v13i2.305-328 Huda, I. 2020. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Multikultural di Majelis Taklim An Najach Magelang. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 13(2), 253–278. https://doi. org/10.18326/infsl3.v13i2.253-278 Jati, W. R. 2013. Radicalism in the perspective of islamic- 388 INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Rohmat Suprapto, Mufnaetty populism: Trajectory of political islam in Indonesia. Journal of Indonesian Islam, 7(2), 268–287. https://doi.org/10.15642/ JIIS.2013.7.2.268-287 Kawakib, A. N. 2009. Pesantren and Globalisation: cultural and educational transformatif. Kuswaya, A., & Ali, M. 2021. The concept of peace in the Koran: A socio- thematic analysis of Muslims’ contestation in Salatiga, Indonesia. Qudus International Journal of Islamic Studies, 9(1), 73–102. https://doi.org/10.21043/QIJIS.V9I1.10483 Laksamana, N. 2017. Deradikalisasi Agama Melalui Pesantren. TAJDID: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 1(1), 25–44. https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i1.2 Maharani, T., & www.compas.com. 2021. Densus 88 Tangkap 22 Terduga Teroris di Jakarta, Sumbar, dan Sumut. https:// nasional.kompas.com/read/2021/03/22/15335671/densus-88- tangkap-22-terduga-teroris-di-jakarta-sumbar-dan-sumut. Maskuri. 2020. Laporan rapat koordinasi penyelenggaraan pesantren muhammadiyah di masa pandemi covid-19. Mu’ti., A. 2020. Tolerasi yang Otentik (III). Al Wasat Publising House dan Majelis Pusataka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mu’ti, A., & Khoirudin, A. 2019. Pluralisme Positif (I). Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Majelis Pustaka PP Muhammadiyah. Mughni, S. A. 2001. Syafiq A. Mughni, Nilai- nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Pustaka Pelajar. Munip, A. 2012. Menangkal Radikalisme di Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, (2), 159–182. Ni’am, S. 2015. Pesantren: The miniature of moderate Islam in Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 5(1), 111–134. https://doi.org/10.18326/ijims.v5i1.111-134 Rasimin, R. 2017. Implementasi Model Pembelajaran Multikultural Untuk Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa (Studi Pada Mahasiswa PGMI di IAIN Salatiga). Inferensi, 11(1), 141. The Dawah of Qaryah Thayyibah (DQT) as a Model of Moderat Vol. 15, No.2, Desember 2021 : 361-390 389 https://doi.org/10.18326/infsl3.v11i1.141-162 Rohimah, R. B. 2019. Persepsi Students tentang Moderasi Islam dan Wawasan Kebangsaan. Hayula: Indonesia Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, 3(2), 139–156. Rokhmad, A. 2012. Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1), 79. https://doi.org/10.21580/ws.20.1.185 Saleh, M. N. I., Nudin, B., Khusaini, K., Alim, P., & Putri, I. A. 2020. Pesantren and the Deradicalization Efforts of Islamic Education in Madura. Jurnal Pendidikan Islam, 8(2), 259–286. https:// doi.org/10.14421/jpi.2019.82.259-286 Setiawan, E. 2012. Kamus Bahasa Indonesia On Line. Www.Kbbi. Online. Suciati, & Erzad, A. M. 2018. The existence of Kudus Islamic local culture to prevent radicalism in globalization era. Qudus International Journal of Islamic Studies, 6(1), 39–56. https:// doi.org/10.21043/qijis.v1i1.3460 Suharno. 2015. Penarikan Peserta Qoryah Thoyyibah. Www. Muhammadiyah.or.Id. Sumadinata, R. W. S., Sulaeman, O., & Yulianti, D. 2020. Islamic Peace Education: Internalization of God’s Feminine Names to Students in the Syukrillah Pesantren. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 14(1), 49–70. https://doi. org/10.18326/infsl3.v14i1.49-70 Suprapto, R. 2014. Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural- Inklusivisme. PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, 15(2), 246–260. Suprapto, R. 2019. Report Pra Research Dawah Qaryah Thayyibah at Pesantren DIMSA. Suprapto, R. 2021. Wawancara Dengan Alumni Pesantren Muhammadiyah Sragen. Suprapto, R., & Ocktarani, Y. M. 2017. Deradikalisasi Agama Melalui Pendekatan Da’i Hijrah. 1–13. 390 INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Rohmat Suprapto, Mufnaetty Susanto, N. H. 2018. Menangkal Radikalisme Atas Nama Agama Melalui Pendidikan Islam Substantif. Nadwa, 12(1), 65. https:// doi.org/10.21580/nw.2018.12.1.2151 Sutomo, I. 2014. Implementasi Nilai Religiusitas Dan Toleransi Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pada Jamaah Masjid AlHikmah Sidomukti Salatiga. Inferensi, 8(1), 93. https://doi. org/10.18326/infsl3.v8i1.93-114 Syafi’e, I. 2015. Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al- Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8, 85–103. Syafii Maarif, A. 2015. Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah (II). Mizan. https:// opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=698565# Umar, A. R. M. 2016. A genealogy of moderate islam: Governmentality and discourses of islam in Indonesia’s foreign policy. Studia Islamika, 23(3), 399–433. https://doi.org/10.15408/sdi. v23i3.3157 Warsah, I. 2021. Jihad and Radicalism: Epistemology of Islamic Education At Pesantren Al-Furqan in Musi Rawas District. Jurnal Ilmiah Islam Futura, xx(x). https://jurnal.ar-raniry. ac.id/index.php/islamfutura/article/view/7683