Anda di halaman 1dari 8

Tugas Mingguan (Searching of Journal): THE DAWAH OF QARYAH THAYYIBAH

(DQT) AS A MODEL OF MODERATE ISLAM IN INDONESIA


Nama Mahasiswa : Azizul Mahdha Lewis
NIM : 23052160028
Hp : 085609721337
Nama Penulis Artikel: Rohmat Suprapto, Mufnaetty
Alamat Sumber Searching: Google Schoolar
atau alamat Jurnal: http://inferensi.iainsalatiga.ac.id/
A Judul Artikel THE DAWAH OF QARYAH THAYYIBAH (DQT) AS A
MODEL OF MODERATE ISLAM IN INDONESIA
B 1. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) bagaimana penerapan
(terjemahnya) Dakwah Qaryah Metode Thayyibah (DQT) adalah, (2) apakah
metode DQT efektif dalam menyebarkan Islam moderat, dan (3)
kendala penerapan metode tersebut. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan kajian agama, dilaksanakan
di Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen atau
DIMSA (Pondok Pesantren Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen
~Inggris), Indonesia. Data diperoleh berdasarkan open-ended
wawancara berbasis pertanyaan dengan responden kunci. Datanya
adalah kemudian dianalisis dalam tiga langkah: reduksi,
penyajian, dan kesimpulan.Hasil penelitian menunjukkan sebagai
berikut: Pertama, DQT dilakukan oleh mengirimkan siswanya ke
suatu komunitas dalam jangka waktu tertentu untuk berinteraksi
dengan masyarakat, membantu baik dalam kegiatan keagamaan
maupun sosial di masyarakat; Oleh karena itu, terjadilah interaksi
antara siswa dan siswa komunitas yang lebih luas. Kedua, DQT
efektif untuk penyebaran moderat Islam, dan efektifitasnya ada
pada dua hal: pertama, dimiliki oleh santri kesadaran baru bahwa
terdapat keberagaman dalam masyarakat baik dari segi agama,
budaya, dan masyarakat, sehingga metode DQT dapat mengurangi
dan meminimalkan konflik baik dalam ajaran agama maupun
sosial serta kelemahannya kemanusiaan; kedua, ada beberapa nilai
moderat yang mungkin terjadi dikembangkan dengan metode
DQT, diantaranya tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan),
tasamuh (toleransi), dan syura (permusyawaratan) untuk
menciptakan suatu sikap inklusif-partisipatif. Ketiga, kendala
dalam pelaksanaannya Metode DQT merupakan waktu interaksi
antar siswa yang relatif singkat dan komunitas; itulah hasil
internalisasi Islam moderat nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya
terlihat secara nyata.
2. Teori yang Menurut Fanani (2013), anggapan bahwa gerakan radikal dan
Digunakan terorisme merupakan kreasi Barat untuk memperburuk citra Islam
tampaknya perlu dikoreksi. Misalkan Anda melihat berbagai
macamnya peristiwa teror di Indonesia yang terus bermunculan.
Dalam hal ini, itu terlihat bukti bahwa orang-orang dengan sengaja
mengabdikan diri untuk menjadi teroris, menggalang calon teroris,
dan mengajarkan terorisme
dari kalangan umat Islam sendiri (Fanani, 2013)
3. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pengumpulan data
Penelitian tekniknya diperoleh dari berbagai sumber yaitu, pendistribusian
daftar pertanyaan dan wawancara mendalam dari unsur utama
penelitian (Hadi, 2007), pencetus ide, aktor (alumni mahasiswa),
dan tokoh masyarakat yang berinteraksi langsung ketika siswa
melaksanakan DQT. Kyai Pesantren DIMSA, Pimpinan Dewan
Pendidikan Dasar dan Menengah, disingkat Dewan Pendidikan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah, disingkat PDM Kabupaten
Sragen, dan beberapa alumni kunci yang berpartisipasi dalam
DQT sebelum pandemi. Dampak dari Covid-19 pandemi ini tentu
saja sangat mempengaruhi teknik pengumpulan data sehingga
beberapa wawancara dilakukan melalui video call (VC), dan
responden mengirimkan jawaban pertanyaan melalui WhatsApp
dan email. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
induktif. Spesifik, data yang kecil kemudian ditarik untuk diambil
kesimpulan yang luas (Hadi, 2007).

4. Hasil Berdasarkan wawancara terhadap hampir seluruh mahasiswa


Penelitian DIMSA angkatan 1994 Pesantren yang mengikuti program DQT
pada tahun 1999 itu menunjukkan bahwa masyarakat menerima
dengan baik metode DQT yang mereka miliki sebelumnya
digunakan. Hal ini dikarenakan metode DQT memerlukan tepa
selira, menghargai perbedaan, tidak mudah mengkafirkan dan
menganut paham yang ada tradisi. Penerapan metode DQT sangat
efektif dilakukan di pesantren mana saja dan kapan saja.
Efektivitasnya terletak pada dua hal. Pertama, Siswa harus
menyadari pola-pola keagamaan praktiknya berbeda dari apa yang
mereka pahami dan lakukan selama berada di dalamnya
pesantren. Mahasiswa harus menjadi calon pemimpin masyarakat
yang beragama, menghormati, peka terhadap perbedaan
pemahaman dan pola praktik keagamaan dan budaya masyarakat.
Ini Pemahaman terhadap berbagai tradisi dalam masyarakat harus
dijadikan sebagai penguatan bagi munculnya sikap tasamuh
(toleran) demikian masyarakat menjadi damai (Suciati & Erzad,
2018). Dalam Islam sendiri, banyak ayat Alquran dan Hadits yang
menekankan bahwa manusia itu harusnya ramah, tidak saling
curiga, tidak saling mengancam dan memaksa, cara yang terbaik
adalah mengembangkan budaya toleransi (Syafii Maarif, 2015:
188) dan saling memberi kebebasan untuk memeluk agama dan
kepercayaan masing-masing. Memang ada beberapa ayat atau
hadits terkesan sulit, namun harus ditempatkan dan ditempatkan
di dalamnya konteks situasi agar tidak muncul sikap keras menjadi
ciri khas Islam. Beberapa ayat sulit di satu tempat pasti ada
dihubungkan dengan ayat-ayat persahabatan di tempat lain
sehingga wajah menjadi terlalu disederhanakan Islam tidak
muncul. Sebagai contoh sikap assyida’
ala al-kuffar (keras terhadap orang-orang kafir), pasti ada
hubungannya dengan ayat lain, misalnya Allah tidak melarangmu
berbuat baik, dan berlaku adil terhadap mereka yang tidak
memerangi kamu dalam hal keyakinanmu, atau jangan usir kamu
keluar rumah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat adil (Surat al-Mumtahanah: 8). Kedua, mahasiswa yang
mengikuti program DQT bisa berinovasi dakwah, sehingga
tercipta budaya saling memahami perbedaan muncul. Dengan
memiliki kreativitas dalam dakwah maka dakwah akan lebih
mudah dilakukan. Siswa selalu memahami dan menyadari bahwa
ada berbagai model pengamalan keagamaan di masyarakat untuk
melaksanakan dakwah dengan sikap yang seimbang. Bukan
ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Itu Model DQT diterapkan di
DIMSA Pesantren secara efektif mengurangi ketegangan atau
konflik antar umat dan internal agama. Hal itu diakui Andi, Ketua
Pesantren Treinsain IRM/Osis yang juga merupakan salah satu
peserta dalam hal ini DQT. Menurutnya, dengan DQT ini para
siswa akan langsung dihadapkan pada perbedaan pengajaran dan
sosial. Menurut Syafiq A. Mughni (2001), perbedaan atau konflik
berputar di tiga wilayah. Yang pertama adalah bidang pengajaran
dalam istilah ibadah, keyakinan, dan moral, dimana masing-
masing agama memiliki keunikannya masing-masing ajaran dan
moral bahkan mungkin bertentangan satu sama lain. Itu Perbedaan
dan kontradiksi seringkali menjadi bahan yang menarik untuk
disimak menyatakan. Baik dalam bentuk tertulis maupun dalam
bentuk ceramah. Jika memang disampaikan secara retorika, maka
akan mengganggu antar umat beragama hubungan. Saat ini sudah
ada kesadaran akan adanya perbedaan
dalam pengajaran terdapat potensi ketegangan, oleh karena itu
perlu dilakukan mengangkat dasar-dasar teologis berbagai agama.
Ada juga konsep atau jargon kalimatun sawa’ dalam konteks ini,
yang mana Nurcholis Madjid kerap mengungkapkan. Pada
hakikatnya semua agama mengandung titik pertemuan penting.
Sehingga konflik antar manusia berlandaskan mengenai agama
tidak perlu terjadi. Kedua, bidang ketegangan sosial. Ketegangan
sosial tidak terjadi jauh berbeda dengan ketegangan lainnya.
Mendirikan rumah ibadah dari agama minoritas di tengah agama
mayoritas pasti akan memimpin untuk berkonflik. Jadi
penyelesaiannya harus musyawarah dan mufakat dalam kelompok
masyarakat. Baik atau tidaknya rumah ibadah dibangun juga perlu
diperhatikan oleh umat beragama dan jumlah tempat ibadah.
Ketegangan ini tentu bisa dihindari jika Anda memiliki
pengalaman berharga dalam menangani kasus ketegangan sosial
atau konflik sejak usia dini. Ketiga, tidak ada
keprihatinan bersama terhadap masalah kemanusiaan. Setiap
agama berputar keluar untuk memuat ajaran-ajaran yang sangat
obyektif, menurut umum akal, terutama yang berkaitan dengan
kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran, kemakmuran, dan
kesejahteraan. Persoalan ini patut mendapat tanggapan dari umat
beragama untuk bekerjasama dalam membangun kerukunan dan
perdamaian bersama (Kuswaya & Ali, 2021). Setiap agama atau
penganut agama pasti meyakini hal tersebut apa yang dilakukan
adalah benar. Sehingga dia akan melakukan apa pun untuk
menjaga keyakinan itu agar tidak hilang dalam hidupnya. Ini
termasuk mensosialisasikan keyakinan agamanya kepada orang
lain, yang dalam bahasa tersebut Islam adalah dakwah. Pola
dakwah yang cenderung menyalahkan orang lain ajaran
orang/orang lain serta mempertimbangkan ajaran dan ibadahnya
pola yang paling benar, merupakan gejala yang terjadi di
masyarakat saat ini. Di sinilah dituntut pola-pola baru yang lebih
segar, lebih banyak alami, dan secara bertahap akan menjadi
merek dagang keagamaan di masa depan. Itu Pola barunya adalah
dialog multikultural (Baidhawi, 2006) yang penuh rahmat (Syafii
Maarif, 2015). Dialog multikultural berarti pemahaman perbedaan
dengan sikap memandang perbedaan. Kami memahami perbedaan
orang lain karena kami ada di dalamnya perbedaan itu sendiri.
Penting untuk memahami perbedaan karena kita menjadi makhluk
yang mempunyai sifat berbeda-beda dan karakteristik. Sifat dan
karakter masing-masingnya adalah berbeda tentunya mengikuti
pesan Alquran Surah Annisa ayat 1. Yang membedakan adalah
saling memahami dan mengenal satu sama lain. Dakwah DQT
yang penuh tasamuh (kesopanan), tawazun (keseimbangan),
ta’adul (keadilan), dan syura (penuh dialog), merupakan pelajaran
yang sangat penting. Interaksi yang dilakukan yang dilakukan
santri DIMSA Pesantren memerlukan dialog multikultural yang
penuh rahmat dan ketulusan. Dengan model dialog seperti ini, hal
itu akan terjadi menjadi obat mujarab untuk meredam ketegangan
berbasis agama yang ada selalu muncul akhir-akhir ini.
5. Kesimpulan Dapat disimpulkan Pertama, penerapan metode DQT untuk
Pesantren DIMSA Pesantren adalah dengan cara berinteraksi atau
terlibat secara langsung dengan komunitas. Siswa menjadi
pemimpin kelompok, sedangkan anggota rombongan terdiri dari
beberapa siswa kelas III SMA/SMK Muhammadiyah yang
dijadwalkan mengikuti DQT. Interaksi langsung ini bersifat dua
arah, terutama ketika melaksanakan program pengajaran TPQ
untuk anak dan mengajar layanan doa komunitas. Interaksi yang
dilakukan yang dilakukan oleh para santri Pesantren DIMSA
membangkitkan kesadaran baru tentang keberagaman agama,
masyarakat, dan budaya yang harus dipahami. Siswa dituntut
untuk matang dan mengembangkan pola baru dalam agama yaitu
dialog dua arah. Dari dialog tersebut akan mengalir sikap
tawasuth, tasamuh, tawazun, taadul dan syura (musyawarah), dan
inilah yang menjadi rukun Islam moderat. Kedua, dari hasil
wawancara mendalam dengan berbagai pihak sumber utama, baik
Pengurus Pusat Program DQT, Pimpinan Pesantren, Alumni,
maupun masyarakat penerima manfaat, dapat disimpulkan bahwa
metode DQT sangat efektif dalam penyebaran Islam Wasatiyah,
Islam moderat menuju Islam yang rahmatan lil alamin. Ketiga,
terdapat dua kendala utama dalam pelaksanaan DQT ini, (1) usia
peserta DQT yang masih sangat muda, sedangkan mereka
menerima tugas dan amanah untuk berinteraksi secara langsung
dengan komunitas. Kondisi ini akan tergantung pada jatuh
temponya para peserta. (2) kendala kedua adalah durasi program.
Sebagai upaya terstruktur untuk memutus rantai kekerasan
beragama dan menyebarkan Dakwah Islam moderat, memerlukan
waktu yang relatif lama, sehingga program DQT akan lebih
bermanfaat jika diterapkan pada minimal 2 sampai 3 bulan agar
internalisasi Islam moderat. Nilai-nilai mudah dicapai dan
keberhasilannya dapat diukur.
6. Saran Kendala kedua adalah durasi waktu. Program DQT ini jika dilihat
dari waktu pelaksanaannya baru tujuh hari enam malam (tahun
2018). Proses interaksi dengan masyarakat sehingga muncul
budaya yang humanis dan moderat, rupanya tidak cukup hanya
memiliki waktu satu atau dua minggu. Waktu yang hanya ada
enam hari efektif secara budaya, hanyalah tahap pengenalan
masyarakat. Belum lagi beradaptasi dan menyebarkan proses
dakwah, yang secara budaya dapat diterima di masyarakat. Hal ini
berbeda dengan pelaksanaan tahun 90an yang berlangsung selama
15 (lima belas) hari. Proses interaksi dibangun sedemikian rupa
sehingga hanya tinggal memperkuatnya saja masyarakat nantinya.
Jadi agar efektif dan memperkuat program dakwah yang moderat
tentunya waktu pelaksanaannya DQT perlu ditingkatkan, minimal
10 hari atau bahkan 14 hari dengan pengawasan dari guru PAI
disetiap sekolah, dan guru posisi juga harus bersatu, tetap bersatu
selama program DQT. Dengan durasi waktu yang cukup, proses
dakwah yang bersifat moderat, menghargai perbedaan
pemahaman dan pola keberagaman masyarakat akan lebih mudah
tercapai.
7. Daftar Afandi. 2020. Pertumbuhan Pesantren Muhammadiyah Melonjak,
Rujukan Haedar Beri Tantangan Ini. Www.Muhammadiyah.or.Id. Amar,
A. 2018. Pendidikan Islam Wasathiyah ke-Indonesia-an.
AlInsyiroh : Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 18–37. https://doi.
org/10.35309/alinsyiroh.v2i1.3330 Baidhawi , Z. 2006.
Pendidikan Agama Berwawasan Multikulturalisme. Gelora
Aksara Pratama. Bruinessen, M. Van. 1995. Kitab kuning :
pesantren dan tarekat, pengantar, Abdurahman Wahid. Mizan.
Dikdasme n Sragen, P. 2018. Buku Panduan Qoryah Thoyyibah,
Students dan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Sragen. Dzhofier
, Z. 1983. Tradidi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. LP3ES. Fanani, A. F. 2013. Fenomena Radikalisme di
Kalangan Kaum Muda. MAARIF Institute, 8(1-Juli), 4. The
Dawah of Qaryah Thayyibah (DQT) as a Model of Moderat Vol.
15, No.2, Desember 2021 : 361-390 387 H. Abror, R. 2014.
Rethinking Muhammadiyah: Masjid, Teologi Dakwah Dan
Tauhid Sosial (Perspektif Filsafat Dakwah). Jurnal Ilmu Dakwah,
6(1), 53. https://doi.org/10.15575/jid. v6i1.327 Hadi, S. 2007.
Matodelogi Research 1 (p. 42). Yogyakarta: Andi Offset. Hafidz,
M. 2021. The Role of Pesantren in Guarding The Islamic
Moderation (A Case Study at Pesantren Al Ittihad Poncol ,
Semarang Regency). Inferensi; , Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 15(1), 117–140. Hamdi, S., Carnegie, P. J., & Smith,
B. J. 2015. The recovery of a non-violent identity for an Islamist
pesantren in an age of terror. Australian Journal of International
Affairs, 69(6), 692– 710.
https://doi.org/10.1080/10357718.2015.1058339 Hanafi, M. S.
2014. The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic
Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia.
International Journal of Humanities and Social Science, 4(9(1)),
51–62 Hasyim, S. 2011. The Council of Indonesian Ulama
(Majelis Ulama Indonesia, MUI) and Religious Freedom: Vol.
null (null (ed.)). Hew, W. W. 2018. The Art of Dakwah: social
media, visual persuasion nd the Islamist propagation of Felix
Siauw. Indonesia and the Malay World, 46(134), 61–79.
https://doi.org/10.1080/136398 11.2018.1416757 Hidayatulloh,
M. S., & Nurhidayati, F. 2020. Deradikalisasi Agama Melalui
Kegiatan Keagamaan di Masjid Kampus Ulul Azmi UNAIR
Surabaya. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan,
13(2), 305–328. https://doi.org/10.18326/infsl3. v13i2.305-328
Huda, I. 2020. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Multikultural
di Majelis Taklim An Najach Magelang. INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 13(2), 253–278. https://doi.
org/10.18326/infsl3.v13i2.253-278 Jati, W. R. 2013. Radicalism
in the perspective of islamic- 388 INFERENSI, Jurnal Penelitian
Sosial Keagamaan Rohmat Suprapto, Mufnaetty populism:
Trajectory of political islam in Indonesia. Journal of Indonesian
Islam, 7(2), 268–287. https://doi.org/10.15642/
JIIS.2013.7.2.268-287 Kawakib, A. N. 2009. Pesantren and
Globalisation: cultural and educational transformatif. Kuswaya,
A., & Ali, M. 2021. The concept of peace in the Koran: A socio-
thematic analysis of Muslims’ contestation in Salatiga, Indonesia.
Qudus International Journal of Islamic Studies, 9(1), 73–102.
https://doi.org/10.21043/QIJIS.V9I1.10483 Laksamana, N. 2017.
Deradikalisasi Agama Melalui Pesantren. TAJDID: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 1(1), 25–44.
https://doi.org/10.52266/tadjid.v1i1.2 Maharani, T., &
www.compas.com. 2021. Densus 88 Tangkap 22 Terduga Teroris
di Jakarta, Sumbar, dan Sumut. https://
nasional.kompas.com/read/2021/03/22/15335671/densus-88-
tangkap-22-terduga-teroris-di-jakarta-sumbar-dan-sumut.
Maskuri. 2020. Laporan rapat koordinasi penyelenggaraan
pesantren muhammadiyah di masa pandemi covid-19. Mu’ti., A.
2020. Tolerasi yang Otentik (III). Al Wasat Publising House dan
Majelis Pusataka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Mu’ti, A., & Khoirudin, A. 2019. Pluralisme Positif (I).
Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Majelis Pustaka PP
Muhammadiyah. Mughni, S. A. 2001. Syafiq A. Mughni, Nilai-
nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Pustaka
Pelajar. Munip, A. 2012. Menangkal Radikalisme di Sekolah.
Jurnal Pendidikan Islam, (2), 159–182. Ni’am, S. 2015. Pesantren:
The miniature of moderate Islam in Indonesia. Indonesian Journal
of Islam and Muslim Societies, 5(1), 111–134.
https://doi.org/10.18326/ijims.v5i1.111-134 Rasimin, R. 2017.
Implementasi Model Pembelajaran Multikultural Untuk
Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa (Studi Pada Mahasiswa
PGMI di IAIN Salatiga). Inferensi, 11(1), 141. The Dawah of
Qaryah Thayyibah (DQT) as a Model of Moderat Vol. 15, No.2,
Desember 2021 : 361-390 389
https://doi.org/10.18326/infsl3.v11i1.141-162 Rohimah, R. B.
2019. Persepsi Students tentang Moderasi Islam dan Wawasan
Kebangsaan. Hayula: Indonesia Journal of Multidisciplinary
Islamic Studies, 3(2), 139–156. Rokhmad, A. 2012. Radikalisme
Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal. Walisongo:
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1), 79.
https://doi.org/10.21580/ws.20.1.185 Saleh, M. N. I., Nudin, B.,
Khusaini, K., Alim, P., & Putri, I. A. 2020. Pesantren and the
Deradicalization Efforts of Islamic Education in Madura. Jurnal
Pendidikan Islam, 8(2), 259–286. https://
doi.org/10.14421/jpi.2019.82.259-286 Setiawan, E. 2012. Kamus
Bahasa Indonesia On Line. Www.Kbbi. Online. Suciati, & Erzad,
A. M. 2018. The existence of Kudus Islamic local culture to
prevent radicalism in globalization era. Qudus International
Journal of Islamic Studies, 6(1), 39–56. https://
doi.org/10.21043/qijis.v1i1.3460 Suharno. 2015. Penarikan
Peserta Qoryah Thoyyibah. Www. Muhammadiyah.or.Id.
Sumadinata, R. W. S., Sulaeman, O., & Yulianti, D. 2020. Islamic
Peace Education: Internalization of God’s Feminine Names to
Students in the Syukrillah Pesantren. INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 14(1), 49–70. https://doi.
org/10.18326/infsl3.v14i1.49-70 Suprapto, R. 2014.
Deradikalisasi Agama Melalui Pendidikan Multikultural-
Inklusivisme. PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, 15(2), 246–260.
Suprapto, R. 2019. Report Pra Research Dawah Qaryah
Thayyibah at Pesantren DIMSA. Suprapto, R. 2021. Wawancara
Dengan Alumni Pesantren Muhammadiyah Sragen. Suprapto, R.,
& Ocktarani, Y. M. 2017. Deradikalisasi Agama Melalui
Pendekatan Da’i Hijrah. 1–13. 390 INFERENSI, Jurnal Penelitian
Sosial Keagamaan Rohmat Suprapto, Mufnaetty Susanto, N. H.
2018. Menangkal Radikalisme Atas Nama Agama Melalui
Pendidikan Islam Substantif. Nadwa, 12(1), 65. https://
doi.org/10.21580/nw.2018.12.1.2151 Sutomo, I. 2014.
Implementasi Nilai Religiusitas Dan Toleransi Dalam
Pemberdayaan Masyarakat Pada Jamaah Masjid AlHikmah
Sidomukti Salatiga. Inferensi, 8(1), 93. https://doi.
org/10.18326/infsl3.v8i1.93-114 Syafi’e, I. 2015. Pondok
Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 8, 85–103. Syafii Maarif,
A. 2015. Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan :
sebuah refleksi sejarah (II). Mizan. https://
opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=698565# Umar, A. R.
M. 2016. A genealogy of moderate islam: Governmentality and
discourses of islam in Indonesia’s foreign policy. Studia Islamika,
23(3), 399–433. https://doi.org/10.15408/sdi. v23i3.3157 Warsah,
I. 2021. Jihad and Radicalism: Epistemology of Islamic Education
At Pesantren Al-Furqan in Musi Rawas District. Jurnal Ilmiah
Islam Futura, xx(x). https://jurnal.ar-raniry.
ac.id/index.php/islamfutura/article/view/7683

Anda mungkin juga menyukai