Anda di halaman 1dari 12

PROBLEM SOLVING TERKAIT ANAK PUTUS SEKOLAH DAN

PERUBAHAN KARAKTER SISWA SELAMA PANDEMI COVID-19 DI


KABUPATEN WONOSOBO

Novanda Herafigo
PDAM Tirta Aji Wonosobo
Herafi60@gmail.com

ABSTRAK
Tanpa disadari, waktu telah masuk triwulan kelima sejak Surat Edaran Nomor 4
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran
Coronavirus Disease (Covid-19) diterbitkan. Kemerosotan ekonomi menuntun cara
berpikir sebagian orang tua/wali siswa untuk mengarahkan anaknya membantu
perekonomian keluarga. Efek jenuh akibat pandemi juga menimbulkan ego dari dalam
diri siswa menjadi tidak terkontrol dan merubah kepribadian sebagian dari mereka. Dalam
buku “The Ego and the Id” (1923) yang disusun Sigmund Freud menyebutkan bahwa
kepribadian manusia memiliki tiga komponen yaitu id, superego dan ego. Perubahan
karakter siswa disebabkan karena kebiasaan mereka dalam mengendalikan ego terhalang.
Kegiatan belajar mengajar dari rumah masing – masing berarti sekolah tidak punya
kebijakan kontrol penuh terhadap siswa – siswinya di rumah. Secara perlahan berdampak
pada karakter siswa yang berubah. Problematika mengenai anak putus sekolah dapat
diatasi dengan mendirikan sekolah nonformal di setiap penjuru daerah yang dapat
menghasilkan laba. Untuk kasus perubahan karakter siswa dapat diminimalkan dengan
membentuk program diskusi semiformal bersama guru yang mempersilakan kelompok
tersebut untuk memilih tempat dan model diskusi secara bebas. Tentu saja kedua solusi
tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit. Maka dari itu diharapkan Pemerintah
Kabupaten Wonosobo lebih bijak dalam membagi anggaran dana yang disalurkan untuk
sektor pendidikan.

Kata kunci : pandemi, putus sekolah, karakter, dana pendidikan


Tanpa disadari, waktu telah masuk triwulan kelima sejak Surat Edaran Nomor 4
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran
Coronavirus Disease (Covid-19) diterbitkan. Suasana telah masuk pertengahan semester
genap dan para siswa tahun ajaran akhir sedang berada di puncak fokus persiapan
menghadapi berbagai macam bentuk ujian akhir di sekolahnya. Perubahan status endemic
menjadi pandemic menyulut kepanikan setiap orang di seluruh dunia yang berakibat
munculnya sistem WFH (Work From Home) dan mempopulerkan aplikasi – aplikasi
belajar online demi melanjutkan kegiatan belajar mengajar tanpa bertatap muka. Tidak
bisa dihindari bahwa berdiam diri di rumah selama yang tadinya dua minggu, kemudian
menjadi berbulan – bulan, membuat sebagian orang mengalami tingkat stress dan
kejenuhan yang cukup parah. Apalagi menilik proses usia remaja yang masih
membutuhkan transisi adaptasi lingkungan menuju “kedewasaan” menjadi berlubang.
Satu tahun generasi atau mungkin bisa lebih lama, terancam tidak mendapatkan suplai
pendidikan yang cukup layak. Grafik ekonomi mengalami kemerosotan yang cukup
curam, lalu berujung pada peningkatan angka putus sekolah di masyarakat.
Kabupaten Wonosobo yang pada tahun 2019 dapat menekan angka kemiskinan
hingga 16,63 persen, pada tahun 2020 meningkat kembali menjadi 17,36 persen1. Secara
tidak langsung kondisi tersebut berdampak pada kelangsungan sekolah anak, terutama
anak – anak masyarakat miskin. Kepala Bidang Pengembangan Kurikulum dan
Pengendalian Mutu Dikpora Wonosobo, Slamet Faizi mengatakan pertemuannya dengan
sejumlah guru BK (Bimbingan Konseling) di Kabupaten Wonosobo mendapat
kesimpulan bahwa banyak siswa dari jenjang SD maupun SMP memilih untuk keluar dari
sekolah dengan alasan bekerja2. Dari laporan yang diterima, terdapat siswa yang datanya
masih ada di sekolah tetapi anak tersebut sudah di kota lain. Ada juga anak SD di
Kecamatan Kejajar bekerja jadi tukang ojek kentang. Selain putus sekolah, masalah
karakter juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. "Dampak PJJ terhadap
perilaku anak sudah di depan mata, perilaku anak berbeda dari sebelum PJJ. Sekarang
banyak anak yang merokok. Dari laporan guru agama bahkan banyak siswa perempuan

1
Rahmanto Sigit, “Terdampak Pandemi, Persentase Penduduk Miskin Naik”, Berita Online : Jawa Pos,
diakses pada tanggal 2 Juli 2021, Pukul 17.21 WIB.
2
Fokussaba, “Dilema Dunia Pendidikan di Wonosobo Saat Pandemi Covid-19, Terlalu Lama PJJ Angka
Putus Sekolah Bertambah” Berita Online : Fokus Saba, diakses pada tanggal 2 Juli 2021, Pukul 18.22 WIB.
yang sekarang rambutnya di cat warna," ungkap Slamet Faizi3. Hal serupa juga
diungkapkan Kepala SMP Negeri 1 Wonosobo, Sri Puji Astuti. Menurutnya, terkait ilmu
pengetahuan dapat diserap dengan baik oleh siswa. Namun dalam hal sikap, perilaku serta
kebiasaan tidak bisa terbentuk secara maksimal. Terbukti anak – anak setelah satu tahun
PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dalam bertutur kata, kepribadian dan tindakan tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan4.
Kegiatan belajar mengajar dari rumah masing – masing berarti sekolah tidak
punya kebijakan kontrol penuh terhadap siswa – siswinya di rumah. Terlebih lagi tidak
sedikit oknum – oknum guru malas dengan tanpa alasan, jarang sekali atau bahkan tidak
pernah melakukan pembelajaran dengan aplikasi secara live. Pastinya sebagian siswa
merasa senang walaupun sebenarnya mereka dalam kondisi yang tidak diuntungkan. Di
sinilah celah kebebasan para siswa sangat lebar, yang mengakibatkan kontrol kedisiplinan
guru terhadap siswa berkurang. Para siswa tidak peduli lagi dengan aturan norma seperti
upacara bendera setiap hari senin, sopan santun ketika berpapasan ataupun mengobrol
dengan guru, hingga aturan penampilan seperti rambut tidak boleh di cat yang telah
diterapkan oleh sekolah masing – masing. Di sisi lain, orang tua siswa dengan ekonomi
yang pas – pasan cenderung berpikir dua kali. Haruskah mereka melanjutkan sekolah
anak atau mengarahkan anaknya untuk membantu perekonomian keluarga. Belum lagi
dengan hadirnya sistem PJJ, mengharuskan setiap siswa menggunakan perangkat
minimal smartphone dengan spesifikasi yang cukup. Pihak pemerintah dan beberapa
sekolah justru memberikan kebijakan subsidi berupa paket data beberapa waktu lalu
selama pandemi berlangsung. Padahal jika dilogika, yang memiliki smartphone dengan
spesifikasi cukup, pasti sanggup untuk membeli paket data. Belum lagi beberapa diantara
mereka memasang Wi-Fi (Wireless Fidelity) di rumah. Lantas apakah ada cara efektif
untuk menyelesaikan masalah anak yang putus sekolah? Kemudian menyangkut
perubahan karakter siswa akibat PJJ yang terlalu lama, apakah ada cara efektif untuk
menangani hal tersebut?
Bukan sebuah hal terpendam apabila pandemi Covid-19 adalah sebab dari
berbagai biang masalah yang meneror dunia pendidikan, terutama di Wonosobo. Di Kota
Asri ini, bisa disoroti permasalahan timbul menjadi dua macam dampak. Dampak tersebut

3
Ibid.
4
Ibid.
terlihat secara langsung dan tidak langsung. Permasalahan secara langsung timbul di
kalangan siswa dengan perekonomian yang terancam. Ketika orang tua tidak memiliki
biaya untuk menyekolahkan anaknya, mau tidak mau si anak harus berhenti menambah
beban orang tua untuk membayar sekolah. Kalau bisa si anak malah ikut mendongkrak
perokonomian keluarganya dengan bekerja. Pada akhirnya sebagian anak yang menjadi
korban pandemi tersebut merasa minder dan tidak mendapatkan pendidikan karakter
melalui jenjang sekolah. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jawa Tengah,
APS (Angka Partisipasi Sekolah) tahun 2020 di Kabupaten Wonosobo sudah cukup tinggi
dengan menunjukan persenan sebesar 99,78 untuk jenjang usia 7 – 12 tahun dan 94,12
persen untuk usia 13 – 15 tahun5. Angka ini sudah termasuk pendidikan nonformal seperti
program paket. Namun sangat disayangkan untuk jenjang usia 16 – 18 tahun, persentase
yang diberikan masih 58,82 persen. Angka tersebut menunjukkan penurunan, yang
sebelumnya pada tahun 2019 APS menunjukkan 59,22 persen6. Sebanyak 17.528 anak
kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan jenjang sekolah. Seharusnya
pemerintah daerah dapat menawarkan solusi atas permasalahan ini dalam bentuk dana.
Yang kedua adalah dampak secara tidak langsung. Dampak ini menyerang secara tidak
langsung kepada para siswa yang menjalani kegiatan belajar mengajar secara tidak tatap
muka. Jauh dari sekolah berarti jauh dari aturan – aturan mengikat yang bertujuan untuk
mendisiplinkan siswa. Semakin lama guru tidak mengawasi para siswanya secara
langsung, semakin lalai juga para siswa dalam mengendalikan dirinya dibawah aturan.
Rasa hormat kepada guru menjadi berkurang. Bimbingan Konseling secara face to face
tidak lagi diterima oleh siswa “bermasalah”. Sebenarnya para siswa hanya perlu bertemu
dengan teman sekolah sebagai tempat bersenda gurau, maupun guru sebagai tempat
menaruh rasa hormat. Sehingga karakter mereka sebagai “siswa” tetap ada.
Pendidikan di Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan (Kumalasari
et al., 2008). Berbicara mengenai karakter seseorang, tidak jauh dengan kepribadiannya
secara individu. Kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh alam bawah sadar.
Dalam buku “The Ego and the Id” (1923) yang disusun Sigmund Freud menyebutkan

5
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, “Angka Partisipasi Sekolah (APS) (Persen), 2018-2020”,
diakses pada tanggal 3 Juli 2021 Pukul 05.21 WIB.
6
Ibid.
bahwa kepribadian manusia memiliki tiga komponen yang selalu berdinamika dan
berkonflik. Bapak psikoanalisis itu menyebutnya id, superego dan ego. Id adalah
dorongan dari dalam diri kita. Id digambarkan sebagai semacam insting yang memiliki
peran untuk memuaskan hasrat terdalam manusia pada alam bawah sadarnya tanpa
pandang bulu. Id tidak peduli apa itu aturan ataupun norma. Sebagai contoh ketika
seseorang tidak memiliki uang dan persediaan makanannya terbatas, id akan mendorong
100 persen orang tersebut menghalalkan seribu cara untuk memuaskan hasrat laparnya,
termasuk mencuri. Komponen selanjutnya adalah superego. Superego kebalikan dari id,
yaitu pikiran mana yang benar dan mana yang salah. Ketika kita mempunyai pikiran yang
melebihi batas – batas norma dan aturan, superego akan melarangnya. Berbeda dengan
id, Superego itu sendiri terbentuk melalui perkataan orang tua, norma dan aturan yang
diajarkan di lingkungannya. Perdebatan antara id dan superego kadangkala terjadi yang
kemudian sering kita sebut “konflik batin”. Komponen yang ketiga adalah ego. Ego itu
sendiri merupakan penghubung sekaligus penyeimbang id dan superego dengan dunia
nyata. Apakah id dapat diwujudkan, apakah sesuai aturan dan norma di masyarakat yang
dikehendaki superego, itu semua disesuaikan oleh ego. Komponen ego inilah yang dapat
kita kendalikan.
Lalu bagaimana cara memperkuat ego? Ada beberapa cara, salah satunya dengan
menganalisis apa yang kita alami pada masa lalu. Ego terbentuk dari hasil cerminan
didikan orang tua terhadap seorang anak semasa kecil. Misalnya seorang anak dari kecil
sangat tergantung oleh orang tua, kita sering menyebutnya “anak mami”. Maka ego yang
terbentuk akan memiliki kemampuan yang kurang atas pengendalian diri anak tersebut
ketika besar nanti. Hal ini akan menjadi pengingat ketika kita akan melakukan hal yang
salah, sehingga kita berasumsi “oh ternyata niat burukku selama ini hanya cerminan dari
masa lalu”. Cara kedua yaitu dengan menyalurkan kecemasan dengan cerita kepada orang
lain. Menurut Freud, dengan menceritakan masalah diri sendiri kepada orang lain dari
hati ke hati, akan mengurangi tingkat stress yang dialami. Apalagi jika lingkup cerita
yang ditemuinya hanya sebatas keluarga di rumah. Cara yang terakhir yaitu dengan
mengenali defence mechanism. Defence mechanism adalah cara seseorang untuk
mereduksi perasaan cemas, tertekan, stress, maupun konflik yang dialami. Defence
mechanism tanpa sadar akan mengarahkan kita untuk mempertahankan harga diri. Salah
satu contohnya ketika kita tidak suka dengan seseorang. Semakin lama pikiran kita tanpa
sadar memproyeksikan seolah orang tersebut juga tidak suka terhadap kita, padahal itu
hanyalah khayalan yang terbentuk dari alam bawah sadar. Terdapat banyak sekali jenis
defence mechanism, salah satu contoh yang tadi termasuk jenis defence mechanism
proyeksi. Semakin kita mengenali cara tanpa sadar kita melindungi harga diri yang tidak
perlu, semakin sadar bahwa kita melakukan hal yang tidak ada gunanya dan hal tersebut
akan menaikkan kualitas ego kita.
Mengembalikan mental siswa akibat pandemi tidak dapat hanya dilakukan secara
persuatif. Salah satu penanganan yang terbilang mudah, seperti apa yang sudah dijelaskan
di atas, dengan bercerita kepada orang lain. Minimal mereka harus memiliki interaksi
secara tatap muka. Kunci utama untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah kembali
metode awal, dimana pembelajaran dilakukan secara tatap muka secara berkala. Begitu
juga dengan anak yang tidak mendapatkan hak-nya untuk bersekolah, setidaknya
diberikan edukasi ringan terkait hal – hal dasar yang membuat mereka merasa mempunyai
rasa pertemanan dan rasa hormat di dalam lingkup studi. Metode tersebut dapat
diterapkan dalam dua cara, dengan memberikan subsidi kepada siswa putus sekolah yang
terdampak untuk kembali ke sekolah atau dengan memperbanyak pendidikan nonformal
di desa – desa terpencil dengan tambahan subsidi pemerintah. Adanya pendidikan
nonformal bertujuan untuk mengimbangi perkembangan dunia yang semakin cepat, serta
menjawab kebutuhan atas dan kondisi (Syufa’ati & Nadhifah, 2020). Kita perlu
pendekatan terhadap orang tua/wali siswa mengapa anaknya tidak dapat melanjutkan
sekolah. Kita juga perlu koordinasi dengan para kepala desa di daerah terpencil supaya
dibentuk lembaga pendidikan non-formal untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Mengingat bahwa mayoritas anak tidak sekolah berasal dari jenjang usia 16 – 18 tahun,
akan lebih tepat apabila lembaga pendidikan yang dibentuk lebih ke kejuruan. Dalam
proses studinya nanti juga diberi pembekalan praktik lapangan secara langsung.
Istilahnya ketika mereka masih mengenyam pembelajaran, mereka juga bisa
menghasilkan laba. Pengenalan dasar terhadap teknologi modern juga dapat dimasukkan
di dalamnya, mengingat revolusi industri 4.0 berkembang pesat. Mereka juga harus
mendapat pembekalan berupa pendidikan karakter yang layak seperti anak yang
bersekolah secara formal.
Adanya interaksi dengan sekolah akan memperkuat ego dalam diri seorang siswa,
sehingga kemauan liar dalam dirinya akan lebih ditekan. Minimal setiap siswa masih
mengingat jika dirinya merupakan anak yang sedang bersekolah, punya aturan dan tata
krama yang harus dipenuhi. Mereka juga akan merasa menghilangkan perasaan introvert
dalam diri mereka masing – masing. Perasaan tanggung jawab tersebut sulit untuk muncul
apabila seseorang tidak bertemu dengan individu manusia yang lain. Terlebih ego seorang
siswa, hingga kini sudah ter-mindset untuk mengerjakan tugas dan pembelajaran
didampingi dan diawasi guru secara langsung. Kemudian mereka akan melihat teman –
teman satu perjuangannya sebagai cerminan dan tolak ukur seberapa jauh kemampuan
dirinya. Dengan pembelajaran tanpa bertemu juga menurunkan semangat daya saing antar
siswa. Sikap tersebut memicu perasaan malas memperhatikan penjelasan guru, apalagi
jika kamera boleh dimatikan. Terlebih isu “pekerjaan rumah” yang sebelumnya menjadi
perdebatan karena membuat siswa jenuh, kini menjadi komponen wajib dalam metode
belajar. Selanjutnya yang terjadi adalah copy & paste jawaban milik teman. Didukung
oleh teknologi digital yang sangat dikuasai sebagian siswa, mereka dapat mengakali tugas
yang diberikan. Belum lagi jika guru kurang update mengenai teknologi modern.
Garis besar permasalahan terletak pada tidak adanya kesempatan siswa bertemu
teman dan guru dalam lingkup “diskusi”. Padahal diluar jam sekolah, mereka bisa – bisa
saja keluar dari rumah dan bermain ke tempat teman. Tidak sedikit pemuda usia sekolah,
beraktivitas di alun – alun yang notabene berpapasan dengan orang banyak. Beberapa
yang lain bahkan pergi ke tempat umum seperti cafe dan kedai makan. Berdasarkan
pengambilan survei terhadap 10 siswa secara acak, didapati bahwa 4 diantaranya
beraktivitas di luar rumah lebih dari 6 kali dalam seminggu7. Satu orang selama 4 – 6 kali
dalam seminggu dan lima orang lainnya minimal satu kali. Kendati pun demikian,
mereka tetap mengikuti aturan protokol kesehatan. Bukankah aturan kepada peserta didik
untuk melakukan pembelajaran jarak jauh menjadi tidak efektif? Dunia pendidikan akan
lebih kondusif lagi jika pembelajaran tatap muka kembali dilaksanakan.
Dilansir dari magelang ekspres, empat sekolah di Kabupaten Wonosobo secara
resmi telah memulai uji coba Pembelajaran Tatap Muka pada tanggal 5 Maret kemarin 8.
Setiap sekolah hanya boleh memberangkatkan 48 siswa yang dibagi menjadi empat kelas
di dua lantai terpisah. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan tanpa istirahat dengan total

7
Data survei penulis tentang kejenuhan siswa selama pandemi, 12 Juli 2021.
8
Magelang Ekspres, “Uji Coba PTM 4 Sekolah di Wonosobo Berjalan Lancar”, Berita Online : Magelang
Ekspres diakses pada tanggal 6 Juli 2021 Pukul 20.31 WIB.
waktu empat jam. Ketentuan tersebut sangat preventif sehingga efektifitas dalam
pembelajaran tatap muka tidak didapat 100 persen. Namun, uji coba tersebut cukup untuk
mengembalikan mental siswa yang kendor selama satu tahun terakhir. Program yang
dijalankan beriringan dengan kabupaten lain di satu provinsi Jawa Tengah tersebut
berjalan lancar. Melihat keberhasilan uji coba yang dicanangkan pemerintah provinsi
Jawa Tengah, Kabupaten Wonosobo kemudian secara mandiri melakukan uji coba
serupa. Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) Wonosobo, M. Kristijadi
mengatakan, simulasi PTM dilaksanakan selama sembilan hari mulai tanggal 9 Juni. PTM
pertama ini dilakukan di 35 SD dan SMP yang telah direkomendasikan oleh Disdikpora9.
Pelaksanaan PTM tersebut juga berjalan aman dan lancar. Para siswa juga lebih
menikmati proses pembelajaran secara langsung. Sayangnya, kedua program
pembelajaran tatap muka yang dilaksanakan hanya sebatas uji coba. Itu pun tidak semua
siswa dipanggil oleh sekolah untuk berangkat. Seharusnya pemerintah mengambil
langkah berani untuk merealisasikan tahap uji coba ini. Minimal setiap siswa merasakan
dirinya kembali berinteraksi seperti layaknya anak sekolah walaupun hanya beberapa kali
dalam sebulan.
Ada solusi lain yang bisa dipertimbangkan. Kita lihat lagi persoalan siswa yang
tetap keluar rumah untuk melakukan aktivitas seperti berolahraga dan nongkrong.
Bukannya sama saja bohong apabila PJJ tetap dilaksanakan dengan tujuan mencegah
rantai penularan? Apabila pemerintah masih kurang berani untuk mendatangkan siswa
bersekolah, pihak sekolah dapat membentuk program kelompok diskusi yang terjadwal.
Kelompok belajar ini bersifat semiformal dimana nanti guru dapat hadir di dalam
kelompok tersebut. Forum diskusi ini tidak harus dilaksanakan di sekolah. Namun dapat
dilakukan di cafe, perpustakaan, atau tempat diskusi lain yang tujuan utamanya untuk
meluweskan relasi antara teman sekolah dan guru. Tentu saja forum ini dilaksanakan
sesuai protokol kesehatan dan dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, misalkan
maksimal lima orang. Dengan jumlah orang yang tidak terlalu banyak, maka tidak ada
kesan berkerumun dan setiap individu dapat saling berdiskusi dengan efektif
dibandingkan pertemuan dengan seluruh anggota kelas yang terbilang banyak. Sifat
forum diskusi yang semiformal juga membuat forum ini lebih leluasa karena tidak 100

9
Ari Sunandar, “35 SD dan SMP di Wonosobo Gelar Simulasi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas”,
Berita Online : Sorot Wonosobo diakses pada tanggal 6 Juli 2021 Pukul 21.43 WIB.
persen berkaitan dengan kebijakan sekolah. Selain dapat mengobati rasa jenuh,
pertemuan ini juga sebagai momen untuk saling memahami antar guru dan murid karena
lebih menjurus ke “teman ngobrol” dibanding kegiatan belajar mengajar formal biasa.
Setidaknya minimal 30 menit dalam satu kali seminggu untuk setiap kelompok belajar
sudah cukup. Diharapkan dalam pergaulannya, siswa jaman now tidak hanya “nongkrong
bareng temen”. Namun juga “nongkrong bareng guru”. Apalagi jika dari sekolah
menambahkan setidaknya sedikit alokasi dana untuk setiap kegiatan diskusi untuk
sekadar membeli camilan atau biaya nongkrong, pasti tidak sedikit siswa yang tertarik
dengan forum kegiatan kelompok belajar ini.
Bisa kita perhatikan bahwa problematika pendidikan yang timbul akibat pandemi
Covid-19 di Wonosobo ada dua. Permasalahan yang pertama adalah secara langsung
dimana pandemi Covid-19 menyerang sektor ekonomi yang berakibat meningkatnya
anak putus sekolah sehingga banyak anak yang merasa minder dan tidak mendapat
pembekalan pendidikan karakter dari sekolah. Kedua, di sisi lain secara tidak langsung
dengan sistem PJJ membuat sebagian besar siswa merasa jenuh dan lambat laun merubah
pola disiplin dan karakternya. Persoalan pertama dapat diatasi dengan salah satu solusi,
yaitu apabila pemerintah berani membangun lembaga pendidikan nonformal secara gratis
di setiap penjuru daerah yang bersifat kejuruan sekaligus dapat menghasilkan laba. Di
samping mengatasi anak putus sekolah, adanya pendidikan nonformal ini juga dapat
meningkatkan SDM masyarakat daerah tersebut. Sektor ekonomi juga meningkat melalui
pembelajaran yang sekaligus dapat menghasilkan laba. Persoalan kedua dapat di
minimalisir dampaknya apabila siswa mendapatkan gambaran kembali perannya sebagai
“siswa”. Peran sekolah dan pemerintah sangat penting dalam mengembangkan inovasi,
salah satunya dengan membentuk kelompok diskusi secara semi formal. Program diskusi
ini juga akan dapat lebih berjalan apabila ada suntikan dana dari sekolah maupun
pemerintah. Kedua solusi atas permasalahan yang terjadi sangat bergantung pada faktor
dana. Pendidikan di suatu daerah akan lebih maju apabila dana yang disediakan cukup
untuk menjalankan program-program yang efektif.
Sudah menjadi dasar yang fundamental bahwa adanya pendidikan di Indonesia
ialah mencerdaskan kehidupan bangsa (Sujatmoko, 2010). Tanggung jawab pemerintah
mengenai pendidikan tercantum jelas pada Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang – kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”10. Anggaran pendidikan suatu daerah terdiri dari
minimal 20 persen APBN dan 20 persen APBD daerah tersebut11. Secara ringkas sudah
cukup jelas bahwa setiap warga negara mendapatkan hak untuk memiliki pengetahuan
dan pemerintah bertanggung jawab atas itu. Sudahkah pemerintah Kabupaten Wonosobo
sudah melaksanakan mandatnya dengan baik, bisa kita crosscheck mengenai APBD
Kabupaten Wonosobo yang disalurkan untuk pendidikan. Pemerintah Kabupaten
Wonosobo pada tahun 2020 mengalokasikan sebesar Rp. 600.261.992.378 atau sekitar 31
persen APBD Kabupaten Wonosobo untuk pendidikan12. Persenan tersebut sangat cukup
dimana amanat pasal 31 ayat 4 menyebut minimal 20 persen APBD saja. Namun jika
dihitung lebih teliti, dari 31 persen tersebut hanya 7 persen yang masuk ke dalam
anggaran belanja langsung. Sisa 24 persen lainnya masuk ke dalam anggaran belanja tidak
langsung. Ini artinya sebanyak 24 persen tersebut digunakan untuk gaji pendidik dan
tenaga kependidikan. Hanya 7 persen saja yang digunakan untuk pembangunan dan
operasional pendidikan. Seharusnya proporsi antara belanja pegawai dengan belanja
operasional kurang lebih seimbang. Menurut pakar Ekonomi Pendidikan John Vaizey
(1967), di negara – negara yang pendidikannya telah maju, gaji guru terhitung 50 – 60
persen dari total pengeluaran pendidikan. Sedangkan apa yang tercantum di APBD
Wonosobo, gaji guru terhitung 77,4 persen dari total pengeluaran13.
Di era modern yang serba canggih, kita dimanjakan dengan berbagai teknologi
sebagai pendamping dan penyelamat hidup. Hal tersebut terbukti ketika pandemi covid-
19 menghancurkan berbagai aktivitas yang vital termasuk pendidikan, teknologi hadir
sebagai penunjang kegiatan belajar melalui online. Namun tidak semua aktivitas dapat
dilakukan secara online, sehingga perekonomian turun drastis dan angka putus sekolah
meningkat. Di sisi lain, kembali lagi sebagai mahluk yang memiliki akal, seorang manusia
memiliki titik bosan dan jenuh. Sifat buruk tersebut menimbulkan masalah untuk
kesehatan mental, terutama anak usia sekolah. Kepribadian yang sudah dididik sedari

10
Undang – Undang Dasar 1945
11
Sunandar dan Nurkolis, “Efisienkah Belanja Pendidikan Kabupaten” (Semarang: IKIP PGRI
Semarang, 2012), hlm 96.
12
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wonosobo Tahun 2020.
13
Sunandar dan Nurkolis, Op.Cit, hlm 97.
dulu, berubah drastis dalam waktu satu tahun karena pengawasan yang kurang dari
sekolah. Banyak berbagai macam solusi yang ditawarkan untuk menangani kedua
permasalahan tersebut. Baik dari pembentukan berbagai pendidikan nonformal di setiap
daerah hingga program diskusi kelompok yang ditujukan untuk para siswa yang
melakukan pembelajaran jarak jauh. Namun dari banyaknya solusi tersebut kita
kembalikan lagi ke dana. Kurangnya dana yang dianggarkan mengurangi kualitas dan
perkembangan suatu program. Diharapkan kedepannya pihak masing – masing sekolah
lebih cerdas untuk membuat inovasi supaya setiap siswa dapat bertemu dengan kawan
dan gurunya minimal sekali dalam seminggu. Pemerintah Kabupaten Wonosobo juga
diharapkan dapat lebih bijak dalam membagi biaya operasional pendidikan.
Daftar Pustaka

Angka Partisipasi Sekolah (APS) (Persen), 2018-2020. Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Tengah. https://jateng.bps.go.id/indicator/28/71/1/angka-partisipasi-sekolah-
aps-.html

Fokus saba. (2021, 30 Juni). Dilema Dunia Pendidikan di Wonosobo Saat Pandemi
Covid-19, Terlalu Lama PJJ Angka Putus Sekolah Bertambah. fokussaba.
https://www.fokussaba.com/2021/06/dilema-dunia-pendidikan-di-wonosobo.html

Freud, S. (1923). The Ego and the Id and Other Works. In Standard Edition of the
Complete Works of Sigmund Freud.

Kumalasari, D., Pd, M., Ilmu, F., Dan, S., & Yogyakarta, U. N. (2008). PENGANTAR
SEJARAH PENDIDIKAN I Oleh : Diktat, 52.

Magelang Ekspres. (2021, 6 April). Uji Coba PTM 4 Sekolah di Wonosobo Berjalan
Lancar. Magelang Ekspres. https://magelangekspres.com/2021/04/06/uji-coba-ptm-
4-sekolah-di-wonosobo-berjalan-lancar/

Sigit, R. (2021, 23 Maret). Terdampak Pandemi, Persentase Penduduk Miskin Naik. Jawa
Pos. https://radarsemarang.jawapos.com/advertorial/gema-legislasi/2021/03/23/
terdampak-pandemi-persentase-penduduk-miskin-naik/#

Sunandar dan Nurkolis. (2012). Efisienkah Belanja Pendidikan Kabupaten. Semarang:


IKIP PGRI Semarang.

Sunandar, Ari. (2021, 12 Juni). 35 SD dan SMP di Wonosobo Gelar Simulasi Pembelajaran
Tatap Muka Terbatas. https://wonosobo.sorot.co/berita-4594-35-sd-dan-smp-di-
wonosobo-gelar-simulasi-pembelajaran-tatap-muka-terbatas.html

Sujatmoko, E. (2010). Hak Warga Negara Dalam Memperoleh Pendidikan. Jurnal


Konstitusi, 7(1), 181–212.

Syufa’ati, & Nadhifah, N. (2020). Perkembangan Pendidikan Non Formal di Era Merdeka
Belajar. In JPT: Jurnal Pendidikan Tematik (Vol. 1, Issue 3, pp. 161–165).

Anda mungkin juga menyukai