Anda di halaman 1dari 14

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE PENGADAAN BARANG DAN JASA

MELALUI PROBITY AUDIT

OLEH:
Apriyadi Romian Kardono, SE., Akt., M.Ak., CA.
Auditor Muda

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good governance menghendaki pemerintahan dijalankan dengan mengikuti
prinsip-prinsip pengelolaan yang baik, seperti transparansi (keterbukaan), akuntabilitas,
partisipasi, keadilan, dan kemandirian, sehingga sumber daya negara yang berada dalam
pengelolaan pemerintah benar-benar mencapai tujuan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara. Penerapan prinsip-prinsip good
governance dalam penyelenggara negara tak lepas dari masalah akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan Keuangan Negara, karena aspek keuangan negara
menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan bangsa, baik dari segi sifat,
jumlah maupun pengaruhnya terhadap kemajuan, ketahanan, dan kestabilan
perekonomian bangsa. Hal inilah juga yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah menjadi dasar hukum (yang mencabut semua peraturan sebelumnya) bagi
para pihak dalam pengadaan Barang/Jasa untuk melaksanakan proses pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah. Secara umum, pengadaan dimulai dari perencanaan, persiapan
pengadaan, melakukan pengadaan (melalui swakelola atau pemilihan penyedia),
pelaksanaan kontrak dan serah terima barang/jasa. Aktifitas-aktifitas yang termasuk
dalam proses diatas, diantaranya identifikasi kebutuhan, melakukan analisa pasar,
melakukan kualifikasi terhadap penyedia, melakukan tender, mengevaluasi penyedia,
menetapkan pemenang, melaksanakan kontrak dan melakukan serah terima.
Peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pembendalian Intern Pemerintah pada pasal 47
dan 48 menyatakan bahwa APIP harus melakukan pengawasan intern atas
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan
negara.

1
Probity Audit merupakan proses identifikasi masalah, analis, dan evaluasi yang
dilakukan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar audit untuk
menilai kebenaran dan kecermatan. Dalam probity audit terdapat beberapa isu-isu yang
menghambat, antara lain tidak jujur, tidak berintegritas, tidak berkompeten, tidak etis,
korupsi, bertentangan dengan prosedur dan perundangan yang berlaku. APIP dapat
melaksanakan Probity Audit dalam melakukan pengawasan independen terhadap suatu
proses pengadaan barang/jasa, dan memberikan pendapat atau simpulan yang obyektif
mengenai apakah proses pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan persyaratan
kejujuran (probity requirement), yakni telah mematuhi prosedur pengadaan barang/jasa
sesuai ketentuan yang berlaku, serta memenuhi prinsip-prinsip dan etika pengadaan
barang/jasa. Probity audit hanya memberikan keyakinan yang memadai terhadap probity
requirement. Keyakinan yang diberikan sebatas berdasarkan hasil audit atas
data/dokumen/informasi yang diterima APIP. Probity audit juga merupakan mekanisme
peringatan dini (early warning mechanism) bagi manajemen pengadaan barang/jasa atas
kemungkinan terjadinya penyimpangan dan/atau kecurangan. Probity audit terutama
dilakukan bersamaan dengan proses pengadaan barang/jasa atau segera setelah proses
pengadaan barang/jasa terjadi (real time audit).
Probity Audit dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu:
a. Efisien dan efektif sehingga belanja pengadaan barang/jasa dapat memaksimalkan
nilai uang (best value for public money);
b. Transparan, terbuka, adil/tidak diskriminatif, dan bersaing;
c. Akuntabel yaitu seluruh proses pengadaan barang/jasa dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest).
Dalam mewujudkan good governance, maka fungsi pengawasan internal
pemerintah harus berjalan sehingga mencapai pemeriksaan dan pengawasan keuangan
negara yang efisien dan efektif, bermanfaat bagi auditee dalam mewujudkan program dan
tujuan yang telah ditetapkan secara efektif, efisien dan ekonomis.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka yang menjadi rumusan masalah
dalam kajian ini adalah Mewujudkan Good Governance Pengadaan Barang dan Jasa
Melalui Probity Audit.

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun yang menjadi tujuan dalam kajian ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana peran APIP dalam pelaksanaan Probity Audit dapat mewujudkan Good
Governance Pengadaan Barang dan Jasa. Sedangkan manfaat kajian ini adalah dapat
dijadikan sebagai bahan acuan bagi manajemen dalam proses pengadaan barang dan jasa
pemerintah dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung untuk meningkatkan Probity
Audit Pengadaan Barang dan Jasa untuk mewujudkan Good Governance Pengadaan
Barang dan Jasa.

II. GOOD GOVERNANCE / TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK


Good governance / tata pemerintahan yang baik bisa diartikan menjalankan
pemerintahan dengan baik oleh perangkat-perangkat pemerintah. Good governance
diperkenalkan oleh World Bank pada tahun 1989. Menurut Sedarmayanti (2012)
pentingnya penerapan Good Governance di beberapa negara sudah mulai meluas sejak
tahun 1980an, dan di Indonesia Good Governance mulai dikenal secara lebih dalam sejak
tahun 1990an sebagai wacana penting yang muncul dalam berbagai pembahasan, diskusi,
penelitian, dan seminar, baik di lingkungan pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat termasuk di lingkungan para akademisi. Indonesia telah memulai berbagai
inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan Good Governance, akuntabilitas dan
partisipasi yang lebih luas. Good Governance dipandang sebagai paradigma baru dan
menjadi ciri yang perlu ada dalam sistem administrasi publik.
Secara umum, Governance diartikan sebagai kualitas hubungan antara
pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, Governance mencakup 3
(tiga) domain yaitu state (negara/pemerintahan), private sectors (sektor swasta/dunia
usaha), dan society (masyarakat). Oleh sebab itu, Good Governance sektor publik
diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan
stakeholders, terhadap berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik dan pemanfaatan
beragam sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi
3
kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas: keadilan, pemerataan,
persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas (World Conference on Governance,
UNDP, 1999).
Good Governance adalah suatu penyelengaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal
dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Good governance pada
dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan
pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu
konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi
penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Good Governance di Indonesia
sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang
dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut
proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat
Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat
dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good
Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sesuai dengan cita-cita
Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam
pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good
Governance.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-
prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja
suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan
dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Prinsip Good Governance
menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terdiri dari :
a. Kepastian Hukum
Mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dam keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
b. Tertib Penyelenggaraan Negara
Mengutamakan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian dan
penyelenggaraan negara.
4
c. Kepentingan Umum
Mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Keterbukaan
Membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang bensr,
jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara.
e. Proporsionalitas
Mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
f. Profesionalitas
Mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
g. Akuntabilitas
Setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan peyelenggaraan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menciptakan
mewujudkan Good Governance, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi
informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan
pengelolaan APBN. Tuntutan terhadap kinerja penyelenggara pemerintahan di era
reformasi tidak hanya menginginkan agar cita-cita negara dapat terwujud secara efektif,
namun juga menginginkan adanya reformasi di segala bidang, terutama terwujudnya
pemerintahan yang bersih (clean government) dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Good governance mensyaratkan adanya pengawasan yang dilakukan
secara internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh unit pengawasan yang
berada di bawah lingkup organisasi yang bersangkutan, sedangkan pengawasan
eksternal dilakukan oleh unit pengawasan di luar organisasi yang bersangkutan. Dalam
mendukung good governance, maka fungsi pengawasan internal pemerintah dan fungsi
pemeriksa eksternal pemerintah harus berjalan pada fungsi masing-masing, namun tetap
terkoordinasi, sehingga mencapai pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang
efisien dan efektif, bermanfaat bagi auditee dalam mewujudkan program dan tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif, efisien dan ekonomis.
5
III. PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk
mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang dibutuhkannya, dengan menggunakan
metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan spesifikasi, harga, waktu, dan
kesepakatan lainnya. Agar tujuan dari pengadaan barang/jasa tersebut dapat dilaksanakan
sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak Pengguna dan Penyedia haruslah
selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan barang/jasa, tunduk kepada etika dan norma
pengadaan barang/jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode dan proses
pengadaan barang dan jasa yang baku.
Menurut Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun
2018 disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
barang/jasa oleh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh
kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut
dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh
Penyedia barang/jasa.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempunyai peran penting dalam
mensukseskan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan pelayanan publik baik
pusat maupun daerah. Adapun tujuan dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018, yaitu:
1. Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari
aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia.
2. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri.
3. Meningkatkan peran serta usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.
4. Meningkatkan peran pelaku usaha nasional.
5. Mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian.
6. Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif.
7. Mendorong pemerataan ekonomi.
8. Mendorong pengadaan berkelanjutan.
Pengelompokan kebutuhan barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan yang
dapat dikerjakan terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Barang, yaitu kebutuhan akan benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
6
dimanfaatkan oleh K/L/PD. Contoh: pengadaan buku sekolah, pengadaan AC,
pengadaan kendaraan dinas, dan lainnya.
2. Pekerjaan Konstruksi, yaitu keseluruhan atau sebagian kegiatan konstruksi yang
meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan
pembangunan kembali suatu bangunan. Contoh : Pekerjaan bangunan gedung/sipil
dan mencakup juga yang pekerjaan konstruksi spesialis, yaitu instalasi, konstruksi
khusus, konstruksi prapabrikasi, penyelesaian bangunan, dan penyewaan peralatan.
3. Jasa Konsultansi, yaitu jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu
di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware).
Contoh : Jasa konsultansi di bidang pekerjaan konstruksi, Jasa konsultansi di bidang
transportasi, Jasa konsultansi di bidang hukum, Jasa konsultansi di bidang
pendidikan, Jasa konsultansi di bidang kesehatan, Jasa keahlian profesi, dan lain
sebagainya.
4. Jasa Lainnya, yaitu jasa non-kon.sultansi atau jasa yang membutuhkan peralatan,
metodologi khusus, dan/ atau keterampilan dalam suatu sistem tata kelola yang telah
dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Contoh :
pengadaan jasa boga (catering service), pengadaan jasa layanan kebersihan (cleaning
service), pengadaan jasa penyedia tenaga kerja, pengadaan jasa penyewaan,
pengadaan jasa akomodasi, pengadaan jasa penyelenggaraan acara (event organizer),
pengadaan jasa pengamanan, pengadaan jasa layanan internet, dan lain sebagainya.
Pengadan barang/jasa pemerintah menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus
menjadi acuan, pedoman dan harus dijalankan dalam Pengadaann Barang/Jasa. Prinsip-
prinsip tersebut bermanfaat untuk : (a) mendorong praktek Pengadaan Barang/Jasa yang
baik, (b) menekan kebocoran anggaran (clean governance). Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2018, pengadaan barang/jasa pemerintah menerapkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Efisien. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus memperhatikan penggunaan dana
APBN/APBD yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Efektif. Dalam pengadaan barang/jasa harus didasarkan pada kebutuhan yang telah
ditetapkan (yang ingin dicapai) dan dapat memberikan manfaat yang tinggi dan
sebenar-benarnya sesuai dengan sasaran yang dimaksud.

7
3. Transparansi. K/L/D menyampaikan semua informasi dan ketentuan mengenai
pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, yang sifatnya terbuka
kepada seluruh peserta penyedia barang/jasa, serta bagi masyarakat luas pada
umumnya.
4. Bersaing. Memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa yang
setara dan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, untuk menawarkan
barang/jasanya berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku dan tidak
terjadi kecurangan dan praktek KKN.
5. Adil/tidak diskriminatif. Pemberian perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia
barang/jasa yang berminat mengikuti pengadaan barang/jasa dan tidak mengarah
untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan.
6. Akuntabel. Pertanggung jawaban pelaksanaan pengadaan barang/jasa kepada pihak
yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan ketentuan peraturan
perundang-undangna yang berlaku. Dalam arti bahwa pengadaan barang/jasa harus
mencapai sasaran, baik secara fisik, maupun keuangannya serta manfaat atas
pengadaan tersebut terhadap tugas umum pemerintahan dan/atau pelayanan
masyarkat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam
pengadaan barang/jasa.

IV. MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE PENGADAAN BARANG DAN JASA


MELALUI PROBITY AUDIT
Penyediaan barang dan jasa pemerintah adalah sektor penting dari pengelolaan
pemerintahan yang baik. Pada hakikatnya penyediaan barang dan jasa pemerintah
bertujuan untuk mendapatkan barang maupun jasa dengan harga yang sesuai dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kualitas, jumlah dan tepat waktu. Penyediaan barang
dan jasa pemerintah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
diperlukan penerapan yang lebih tepat sasaran dan berdaya guna, dengan
memprioritaskan etika persaingan usaha yang sehat, keterbukaan dan tidak memihak.
Pada kenyataannya pelaksanaan penyediaan barang dan jasa pemerintah, kerap kali tidak
sesuai dan menyimpang dari prosedur, peraturan penyediaan atau pengadaan barang dan
jasa yang berlaku.

8
Untuk menjaga pemakaian anggaran negara yang tepat sasaran dan berdaya
guna yang dikeluarkan melalui pengadaan barang maupun jasa pemerintah, diperlukan
pengawasan yang komprehensif dari mulai perencanaan sampai diterimanya barang/jasa.
Upaya Pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance
dengan memprioritaskan pemberantasan korupsi, kolusi dan juga nepotisme, tentunya
prestasi pelaksanaan organisasi dari pemerintah, terutama yang berkontribusi pada
penyediaan barang atau jasa, merupakan hal penting untuk diperbaiki lagi, yang salah
satunya lewat sistem audit yang tepat tujuan, hal ini dapat dilakukan dengan peran dan
kewenangan Aparat pengawas Intern Pemerintah (APIP). Tujuan dibentuknya APIP
merupakan perwujudan dari isi Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, keterbukaan,
dan pertanggungjawaban di dalam penyelenggaraan keuangan negara. Menurut Peraturan
Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
dimaksud dengan Aparat Pengawas Intern Pemerintah merupakan aparat yang bertugas
melaksanakan pengawasan melalui audit, reviu, kaji ulang atau evaluasi, pemantauan dan
melakukan pengawasan lain pada pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.
Prinsip dasar kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi sarana
kontrol sekaligus sebagai sarana bagi setiap panitia pengadaan barang/jasa pemerintah
untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Berdasarkann hal
tersebut, seluruh peraturan dan keterangan, baik yang bersifat teknis maupun yang
bersifat administrasi termasuk proses pemantauan, hasil dari pemantauan, dan keputusan
terhadap penyedia barang maupun jasa haruslah bersifat transparan atau terbuka bagi para
peserta penyedia barang maupun jasa yang ikut didalam tender, tidak boleh bertindak
pilih kasih dalam memberikan pelayanan kepada para penyedia barang/jasa serta harus
menghindari adanya upaya-upaya KKN dari pihak-pihak lain dengan maksud untuk
memberikan sesuatu baik langsung ataupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi
integritas, netralitas, objektivitas, profesionalitas panitia pengadaan barang maupun jasa
pemerintah yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada sektor pengelolaan keuangan
negara. Untuk menjamin terselenggaranya akuntabilitas terhadap kegiatan pengadaan
barang/jasa pemerintah disyaratkan adanya keterbukaan dengan menyampaikan
perlakuan yang adil tidak diskriminasi terhadap setiap penyedia barang maupun jasa yang
ikut serta didalam tender sebagai bentuk kesungguhann serta tanggung jawab panitia
dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah agar dapat berjalan
9
efektif dan efisien. Untuk mencegah adanya permasalahan hukum di kemudian hari,
maka panitia wajib menggunakan prinsip kehati-hatian, memperteguh kemandirian
dengan cara menghindari adanya upaya-upaya pihak lain untuk mempengaruhi arah
keputusan panitia dalam memutuskan pemenang lelang. Hal ini sebagai wujud adanya
integritas panitia selaku aparat birokrat dalam menciptakan suasana tata kelola yang baik.
Dalam Penyediaan barang dan jasa khususnya pada sektor publik atau
pemerintah, adanya tata pemerintahan yang baik dan bersih merupakan suatu keharusan.
Penerapan good governance pada instrumen penyediaan barang atau jasa pada
Pemerintah dapat ditemukan pada Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 mengenai
Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah pada Pasal 6 yang memuat: “Pengadaan
Barang/Jasa menerapkan prinsip sebagai berikut : a. efisien; b. efektif; c. transparan;
d.Terbuka; e. Bersaing; f. Adil; dan g. Akuntabel.”. Untuk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik atau good governance Pemerintah menerapkan prinsip
akuntabilitas dan memberdayakan sumber daya dibidang pengadaan barang dan jasa
beserta aparatur yang melakukan audit atau pengawasan. Kinerja organisasi pemerintah
khususnya dalam pengadaan barang atau jasa pada sektor publik atau pemerintah sudah
saatnya lebih mendapatkan prioritas untuk diperhatikan yang salah satunya melalui
kewenangan dan kegiatan pengawasan yang tepat tujuan dan sasaran dari Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah kerap
kali dijadikan momentum untuk mendapatkan keuntungan dengan menyalahgunakan
wewenang yang berujung pada korupsi. Dalam penerapan good governance pada
pengadaan barang/jasa pemerintah maka yang perlu ditelusuri adalah bagaimana aspek
hukum pengadaan barang dan jasa yang menimbulkan kerugian negara dan bagaimana
peran dan wewenang APIP dalam pencegahan tindak pidana korupsi di bidang
penyediaan barang dan jasa. Seperti kita ketahui, maraknya permasalahan yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa menjadi latar belakang lahirnya probity audit sejak tahun
2012. Peran dan kontribusi dari Aparat Pengawas Intern pada pelaksanaan penyediaan
barang maupun jasa pemerintah, sifatnya sangat menentukan, sebab dapat menemukan
dan menyampaikan perbaikan tentang adanya ketidaksesuaian penyelenggaraan
penyediaan mulai tahap awal penyediaan barang atau jasa. Aparat Pengawas Intern
Pemerintah diharapkan mengikuti seluruh tahapan sejak dari tahap merencanakan,
mempersiapkan, melaksanakan sampai pada serah terima kegiatan penyediaan barang
atau jasa pemerintah.
10
Probity audit merupakan kegiatan penilaian secara independen untuk
memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan secara konsisten
sesuai dengan prinsip integritas (integrity), kebenaran (uprightness), dan kejujuran
(honesty) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan
meningkatkan akuntabilitas keuangan negara (BPKP, 2012). Secara singkatnya, proses
kegiatan ini melibatkan APIP sebagai detector/early warning system dalam proses
pengadaan barang/jasa yang sedang berlangsung (real time). Salah satu perbedaan yang
kentara apabila dibandingkan dengan audit yang biasa kita kenal adalah waktu
pelaksanaannya. Berbekal real time, diharapkan segala permasalahan yang terjadi pada
setiap tahapan pengadaan barang/jasa (perencanaan/penganggaran, pemilihan penyedia
barang/jasa, pelaksanaan kontrak sampai dengan pemanfaatannya) akan segera
ditindaklanjuti dan diminimalisir penyimpangannya. Lalu, bagaimanakah caranya
probity audit dapat meninimalisir terjadinya penyimpangan?
Penyimpangan terjadi ketika perencanaan tidak matang dan pengawasan tidak
optimal. Apa saja contohnya? Praktik yang sering dijumpai adalah kemahalan nilai
kontrak karena mark-up harga (tahap perencanaan), persekongkolan dalam lelang (tahap
pemilihan penyedia barang/jasa), volume pekerjaan kurang (tahap pelaksanaan kontrak),
kualitas tidak sesuai dengan umur perencanaan (tahap pemanfaatan barang/jasa). Probity
audit dilakukan dalam setiap tahapan tersebut secara real time dan langsung
ditindaklanjuti oleh auditee pada saat yang bersamaan. Kriteria target paket pekerjaan
yang menjadi target probity audit adalah paket-paket pekerjaan yang berisiko tinggi dan
kompleks, mempunyai sejarah kontroversial dengan hukum, memiliki potensi konflik
kepentingan, berhubungan dengan kepentingan masyarakat, berhubungan dengan
pelayanan dasar masyarakat dan memiliki nilai kontrak yang besar (BPKP, 2012).
Pada praktiknya, pelaksanaan kegiatan probity audit tidaklah selalu mulus dan
belum sepenuhnya dapat mencegah terjadinya kecurangan/fraud. Hal ini disebabkan
berbagai faktor, diantaranya adalah keterbatasan dana, sarana-prasarana audit,
kompetensi auditor yang belum terpenuhi (bersertifikat PBJ), kurangnya jumlah auditor
probity audit yang berpengalaman, waktu pelaksanaan yang terbatas, serta keterbatasan
pemenuhan dokumen untuk keperluan audit (Ramadhan & Arifin, 2019). Hal yang perlu
diperhatikan lainnya yang tidak kalah penting yaitu begitu banyaknya paket pengadaan
barang/jasa, sistem yang terbangun dalam pelaksanaan probity audit sampai dengan saat
ini masih sangat minim. Perlu disadari bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh
11
Auditor Internal dalam pelaksanaannya adalah keterbukaan informasi dimana auditee
tidak kooperatif dan terbuka dalam memberikan data yang dibutuhkan dalam proses
audit. Oleh sebab itu, praktek teknik audit dengan Teknologi Informasi sangat diperlukan
sebagai support system dalam pelaksanaannya.
Jika kita pahami lebih lanjut, manfaat pelaksanaan probity audit ini akan
memberikan dampak yang cukup besar bagi efisiensi keuangan negara yaitu:
1. Menghindari konflik dan permasalahan dalam proses pengadaan barang/jasa;
2. Meminimalisir praktik korupsi, kolusi dan nepotisme;
3. Meningkatkan integritas sektor publik melalui perubahan perilaku menuju tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance);
4. Meningkatkan keyakinan masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan sektor
publik;
5. Meminimalkan potensi adanya litigasi (permasalahan hukum).
Pelaksanaan Probity Audit yang efektif dengan sumber daya yang memadai
dalam proses pengadaan barang dan jasa akan mendorong terwujudnya tata kelola
pemerintahan yang baik.

IV. PENUTUP
Pengadaan Barang dan Jasa pada pemerintah merupakan bagian dari
pengelolaan keuangan Negara sehingga perlu pengaturan tata kelola yang baik (Good
Governance) dan akuntabilitas. Pengadaan Barang dan Jasa itu sendiri menurut Peraturan
Presiden Nomor 16 tahun 2018 adalah kegiatan pengadaan barang/jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang
prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu,
meningkatkan kualitas perencanaan PBJ, melaksanakan PBJ yang lebih transparan,
terbuka dan kompetitif, memperkuat kapasitas kelembagaan & sumber daya manusia
(SDM) PBJ, mengembangkan E-marketplace, menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi serta transaksi elektronik, mendorong penggunaan barang/jasa dalam negeri
& SNI, mendorong pelaksanaan penelitian & industri kreatif, dan melaksanakan
pengadaan berkelanjutan, yang mana kebijakan kebijakan tersebut juga tertuang pada
Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
12
Peran dan kontribusi dari Aparat Pengawas Intern pada pelaksanaan penyediaan
barang maupun jasa pemerintah, sifatnya sangat menentukan, sebab dapat menemukan
dan menyampaikan perbaikan tentang adanya ketidaksesuaian penyelenggaraan
penyediaan mulai tahap awal penyediaan barang atau jasa. Aparat Pengawas Intern
Pemerintah diharapkan mengikuti seluruh tahapan sejak dari tahap merencanakan,
mempersiapkan, melaksanakan sampai pada serah terima kegiatan penyediaan barang
atau jasa pemerintah. Menyadari tujuan tersebut, maka Aparat Pengawas Intern
Pemerintah harus menguasai dan memahami segala regulasi dibidang penyediaan barang
atau jasa pemerintah. APIP harus berperan sebagai early warning terhadap tahap-tahap
penyediaan barang atau jasa, sejak tahap dari perencanaan untuk mempersiapkan,
pelaksanaan hingga penyerahan pekerjaan dalam Pengadaan barang/jasa pemerintah.
Auditor yang melaksanakan probity audit harus dapat menyakinkan bahwa
proses pengadaan telah/belum dilaksanakan sesuai dengan prinsip probity dan etika
pengadaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan tidak ada/ada kecurangan yang melibatkan
pimpinan/manajemen atau pegawai lain di lingkungan instansi terhadap proses
pengadaan barang/jasa. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang efisien, terbuka dan
kompetitif akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Pelaksanaan Probity
Audit yang efektif atas Pengadaan barang dan Jasa akan sangat mendorong terwujudnya
tata kelola pemerintahan yang baik.

13
Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.

Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor Per-362/K/04/2012


Tentang Pedoman Probity Audit Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Bagi Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah (APIP).

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (2012). Selayang Pandang Tentang
Probity Audit Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Ramadhan, M. S., & Arifin, J. (2019). Efektivitas Probity Audit dalam Mencegah Kecurangan
Pengadaan Barang dan Jasa. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 10 (No. 3).

14

Anda mungkin juga menyukai