Anda di halaman 1dari 21

Beranda

 Profil
o Pengembangan berbasis Riset
o Tim Pengembang
 Kompetensi
 Materi
o K3 Lab
 APD
 Tata Tertib Lab
 Simbol Bahaya
 P3K
o Alat Lab
o Analisis Pangan
 Analisis Kadar Air
 Analisis Kadar Abu
 Analisis Kadar Lemak
 Analisis Kadar Protein
o GLP
 Simulasi
 Petunjuk Praktikum
o Analisis Kadar Lemak (Metode Soxhlet)
o Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldahl)
 Evaluasi
o Evaluasi Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldahl)
 Kontak Kami

Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldahl)

PETUNJUK PRAKTIKUM ANALISIS KADAR PROTEIN

(Metode Kjeldahl, AOAC 2001)

Tujuan: Mampu mengaplikasikan metode Kjeldahl untuk menetapkan kandungan protein dalam
bahan pangan.
Alat:

· Spatula · Neraca analitik

· Gelas beaker
· Mortar dan alu
· Gelas ukur
· Labu kjeldahl
· Pipet tetes
· Kaca arloji
· Lemari asam
· Kompor listrik
· Erlenmeyer
· Rangkaian alat destilasi (Heating
mantle, kondensor, pompa, selang, ember) · Corong

· Buret

Bahan:

· Sampel
· HCl
· K SO
2 4

· Akuades
· CuSO 4

· Indikator BCG-MR
· H BO
3 3

· Es batu
· NaOH
· Batu didih
· H SO
2 4

Prosedur Kerja:

Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC, 2001)

1. Penimbangan sampel yang telah dihaluskan sebanyak 1 g.


2. Pengisian sampel ke dalam labu Kjeldahl.
3. Penimbangan 7 g K SO dan 0,8 g CuSO
2 4 4

4. Penambahan 7 g K SO dan 0,8 g CuSO ke dalam labu Kjeldahl yang berisi sampel.
2 4 4

5. Penambahan larutan H SO sebanyak 12 ml, dilakukan di dalam lemari asam.


2 4
6. Proses destruksi dilakukan di dalam ruang asam dengan memanaskan sampel yang ada
pada labu Kjeldahl menggunakan kompor listrik hingga berwana hijau tosca.
7. Pendinginan labu Kjeldahl dengan cara didiamkan selama 20 menit.
8. Penambahan 25 ml akuades ke dalam labu Kjeldahl yang berisi sampel.
9. Penambahan 50 ml NaOH 40% dan beberapa butir batu didih ke dalam labu Kjeldahl
yang berisi sampel.
10. Penambahan 30 ml H BO ke dalam erlenmeyer dengan ditambahkan indikator BCG-MR
3 3

3 tetes untuk menangkap destilat dari hasil destilasi.


11. Perangkaian alat destilasi.
12. Destilat yang diperoleh dari hasil destilasi dititrasi dengan menggunakan larutan standar
HCl 0,1 N hingga warna larutan berubah menjadi merah muda seulas.
13. Lakukan prosedur yang sama untuk menghitung % N blanko (sampel diganti dengan
akuades).

Perhitungan:

% Protein kasar = % N x faktor konversi protein

Keterangan:

Tabel 1. Faktor Perkalian N Beberapa Bahan

Macam Bahan Faktor Perkalian

Bir, sirup, biji-bijian, ragi 6,25

Buah-buahan, teh, anggur, malt 6,25

Makanan ternak 6,25

Beras 5,95

Roti, gandum, makaroni, mie 5,70


Kacang tanah 5,46

Kedelai 5,75

Kenari 5,18

Susu 6,38

Gelatin 5,55

Sumber: Sudarmadji, dkk., 2007

Catatan:

 Prosedur penggunaan lemari asam:

1. Pastikan aliran listrik tersambung pada lemari asam.


2. Buka kaca penutup lemari asam hingga setengah terbuka.
3. Nyalakan stop kontak untuk menyalakan blower.
4. Lemari asam siap digunakan.

 Perangkaian alat destilasi:


Pastikan rangakain destilasi terpasang dengan baik sesuai dengan gambar di atas.

Untuk mengunduh file Petujuk Praktikum Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl, klik di sini.

Follow

Simulasi
 Analisis Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Lemak & Kadar Protein

Kampus
 Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri
 FPTK
 UPI

Visi Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri


Program studi pelopor dan unggul dalam bidang ilmu pendidikan teknologi agroindustri di tingkat
nasional pada tahun 2020 dan di tingkat regional ASEAN pada tahun 2025

Lokasi Kampus
Kampus Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri
FPTK UPI
Jl. Dr. Setiabudhi No. 207 Bandung 40154

Copyright © 2020 Agroindustry Virtual Laboratory. Powered by WordPress. Theme: Ample by


ThemeGrill.
http://labvirtual.agroindustri.upi.edu/analisis-kadar-protein-metode-kjeldahl

Beranda

 Profil
o Pengembangan berbasis Riset
o Tim Pengembang
 Kompetensi
 Materi
o K3 Lab
 APD
 Tata Tertib Lab
 Simbol Bahaya
 P3K
o Alat Lab
o Analisis Pangan
 Analisis Kadar Air
 Analisis Kadar Abu
 Analisis Kadar Lemak
 Analisis Kadar Protein
o GLP
 Simulasi
 Petunjuk Praktikum
o Analisis Kadar Lemak (Metode Soxhlet)
o Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldahl)
 Evaluasi
o Evaluasi Analisis Kadar Protein (Metode Kjeldahl)
 Kontak Kami

Analisis Kadar Protein


A. Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar setelah air. Diperkirakan
separuh atau 50% dari berat kering sel dalam jaringan seperti misalnya hati dan daging terdiri dari
protein. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N
yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein dapat mengandung unsur logam
seperti besi dan tembaga.

Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi. Disamping
berat molekul yang berbeda-beda, protein mempunyai sifat yang berbeda-beda pula. Ada protein
yang mudah larut dalam air, tetapi ada juga yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, rambut dan
kuku adalah suatu protein yang tidak larut dalam air dan tidak mudah bereaksi, sedangkan protein
yang terdapat dalam bagian putih telur mudah larut dalam air dan mudah bereaksi.

Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu
terjadi dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan proses pembentukan jaringan terjadi secara besar-
besaran, pada masa kehamilan protein yang membentuk jaringan janin dan pertumbuhan embrio.
Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu dirombak. Fungsi utama protein
bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada.

Protein dapat juga digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi
oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses tubuh, baik langsung
maupun tidak langsung dengan membentuk zat pengatur proses dalam tubuh. Protein mengatur
keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan
osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah. Sifat amfoter
protein yang dapat bereaksi dengan asam dan basa, dapat mengatur keseimbangan asam-basa dalam
tubuh.

B. Struktur Protein

Secara teoritik dari 20 jenis asam amino yang ada di alam dapat dibentuk protein dengan jenis yang
tidak terbatas. Struktur protein terbagi menjadi beberapa bentuk yaitu struktur primer, sekunder,
tersier, dan kuartener.

1. Struktur Primer

Struktur primer menunjukkan jumlah, jenis dan urutan asam amino dalam molekul protein. Oleh
karena ikatan antar asam amino ialah ikatan peptida, maka struktur primer protein juga menunjukkan
ikatan peptida yang urutannya diketahui. Salah satu contoh struktur primer protein yaitu struktur
primer enzim ribonuklease yang berasal dari cairan pankreas.
Gambar 1. Struktur primer ribonuklease
(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)

2. Struktur Sekunder

Bila hanya struktur primer yang ada dalam protein, maka molekul protein tersebut akan merupakan
bentuk yang sangat panjang dan tipis. Bentuk tersebut memungkinkan terjadinya banyak sekali reaksi
dengan senyawa yang lain, yang kenyataannya hal tersebut tidak terjadi di alam. Dalam
kenyataannya struktur protein biasanya merupakan polipeptida yang terlipat-lipat; merupakan bentuk
tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Pada rantai
polipeptida terdapat banyak gugus karboksil dan gugus amino. Kedua gugus ini dapat berikatan satu
dengan yang lain karena terbentuknya ikatan hidrogen antara atom oksigen dari gugus karboksil
dengan atom hidrogen dari gugus amino. Apabila ikatan hidrogen ini terbentuk antara gugus-gugus
yang terdapat dalam satu rantai polipeptida, akan terbentuk struktur heliks seperti tampak pada
Gambar 2.
Gambar 2. Struktur alfa heliks suatu polipeptida

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)

Ikatan hidrogen ini dapat pula terjadi antara dua rantai polipeptida atau lebih dan akan membentuk
konfigurasi α yaitu bukan bentuk heliks tetapi rantai sejajar yang berkelok-kelok dan disebut struktur
lembaran berlipat (plated sheet structure).

Ada dua bentuk lembaran berlipat, yaitu bentuk paralel dan bentuk anti paralel. Bentuk paralel terjadi
apabila rantai polipeptida yang berikatan melalui ikatan hidrogen itu sejajar dan searah, sedangkan
bentuk anti paralel terjadi apabila rantai polipeptia berikatan berikatn dalam posisi sejajar tetapi
berlawan arah. Struktur alfa heliks dan lembaran berlipat merupakan struktur sekunder protein.

Gambar 3. Struktur lembaran berlipat paralel

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)


Gambar 4. Struktur lembaran berlipat anti paralel

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)

Contoh bahan yang memiliki struktur ini ialah bentuk α-heliks pada wol, bentuk lipatan-lipatan
(wiru) pada molekul-molekul sutera, serta bentuk heliks pada kolagen. Dalam bentuk lipatan-lipatan,
kerangka peptida protein mempunyai pola zig-zag dengan gugus R mencuat ke atas dan ke bawah.
Struktur sekunder terdiri dari satu rantai polipeptida.

3. Struktur Tersier

Artinya adalah susunan dari struktur sekunder yang satu dengan struktur sekunder bentuk lain.
Contoh: beberapa protein yang mempunyai bentuk α-heliks dan bagian yang tidak berbentuk α-
heliks. Biasanya bentuk-bentuk sekunder ini dihubungkan dengan ikatan hydrogen, ikatan garam,
ikatan hidrofobik, dan ikatan disulfida. Ikatan disulfida merupakan ikatan yang terkuat dalam
mempertahankan struktur tersier protein. Ikatan hidrofobik terjadi antara ikatan-ikatan nonpolar
molekul-molekul, sedang ikatan-ikatan garam ternyata tidak begitu penting peranannya terhadap
struktur tersier molekul. Ikatan garam mempunyai kecenderungan bereaksi dengan ion-ion lain di
sekitar molekul.
Gambar 5. Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada polipeptida

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)

4. Struktur Kuartener

Struktur primer, sekunder, dan tersier umumnya hanya melibatkan satu rantai polipeptida. Tetapi bila
struktur ini melibatkan beberapa polipeptida dalam membentuk suatu protein, maka disebut struktur
kuartener. Struktur kuartener menunjukkan derajat persekutuan unit-unit protein. Sebagian besar
protein globular terdiri atas beberapa rantai polipeptida yang terpisah. Rantai polipeptida ini saling
berinteraksi membentuk persekutuan.

Gambar 6. Struktur kuartener protein globuler yang kompleks

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)

Gambar di atas menunjukkan suatu model struktur kuartener yang terdiri atas dua unit protein
globular. Sebagai contoh enzim fosforilase terdiri atas dua unit protein yang bila terpisah tidak
memperlihatkan aktivitas enzim, tetapi bila bersekutu membentuk enzim yang aktif, karena kedua
unit protein ini sama, maka disebut struktur kuartener homogen. Apabila unit-unit itu tidak sama,
misalnya virus mozaik tembakau, disebut kuartener heterogen.
C. Klasifikasi Protein

Protein dapat digolongkan berdasarkan struktur susunan molekul, kelarutan, keberadaan senyawa
lain dalam molekul, tingkat degradasi, dan fungsinya.

1. Struktur susunan molekul


– Protein fibriler/skleroprotein adalah protein yang berbentuk serabut. Protein ini tidak
larut dalam pelarut-pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa, ataupun alkohol. Berat
molekulnya yang besar belum dapat ditentukan dengan pasti dan sukar dimurnikan.
Susunan molekulnya terdiri dari rantai molekul yang panjang sejajar dengan rantai utama,
tidak membentuk kristal dan bila rantai ditarik memanjang, dapat kembali pada keadaan
semula. Kegunaan protein ini terutama hanya untuk membentuk struktur bahan dan
jaringan. Kadang-kadang protein ini disebut albuminoid dan sklerin. Contoh protein
fibriler adalah kolagen yang terdapat pada tulang rawan, myosin pada otot, keratin pada
rambut, fibrin pada gumpalan darah.
– Protein globuler/sferoprotein yaitu protein yang berbentuk bola. Protein ini banyak
terdapat pada bahan pangan seperti susu, telur, dan daging. Protein ini larut dalam larutan
garam dan asam encer, juga lebih mudah berubah di bawah mengaruh suhu, konsentrasi
garam, pelarut asam, dan basa dibandingkan protein fibriler. Protein ini mudah
terdenaturasi, yaitu susunan molekulnya berubah yang diikuti dengan perubahan sifat
fisik dan fisiologisnya seperti yang dialami oleh enzim dan hormon.
2. Kelarutan
Menurut kelarutannya, protein globuler dapat dibagi dalam beberapa grup, yaitu albumin,
globulin, glutelin, prolamin, histon dan protamin.
a. Albumin: larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya albumin telur,
albumin serum, dan laktalbumin dalam susu.
b. Globulin: tidak larut dalam air, terkogulasi oleh panas, larut dalam larutan garam
encer, dan mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi (salting out).
c. Glutelin: tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam atau basa encer.
Contohnya glutelin dalam gandum dan orizenin dalam beras.
d. Prolamin atau gliadin: larut dalam alkohol 70-80% dan tak larut dalam air maupun
alkohol absolut. Contohnya gliadin dalam gandum, hordain dalam barley, dan zein pada
jagung.
e. Histon: larut dalam air dan tidak larut dalam amonia encer. Histon dapat mengendap
dalam pelarut protein lainnya. Histon yang terkoagulasi karena pemanasan dapat larut
lagi dalam larutan asam encer. Contohnya globin dalam hemoglobin
f. Protamin: adalah protein paling sederhana dibandingkan protein-protein lain. Protein
ini larut di dalam air dan tidak terkoagulasi oleh panas. Larutan protamin dapat
mengendapkan protein lain, bersifat basa kuat, dan dengan asam kuat membentuk garam
kuat. Contohnya salmin dalam ikan salmon, klupein dalam ikan herring, skombin
(scombin) pada ikan mackerel, dan siprinin (cyprinin) pada ikan karper.
3. Protein Konjugasi
Protein yang mengandung senyawa lain yang nonprotein disebut protein konjugasi,
sedangkan protein yang tidak mengandung senyawa nonprotein disebut protein
sederhana. Ada bermacam-macam protein konjugasi, yang perbedaannya terletak pada
senyawa nonprotein yang bergabung dengan molekul proteinnya.
a. Nukleoprotein merupakan jenis protein konjugasi yang tersusun oleh protein dan asam
nuklet. Protein jenis ini terdapat pada inti sel dan kecambah biji-bijian.
b. Glikoprotein merupakan jenis protein konjugasi yang tersusun oleh protein dan
karbohidrat. Protein ini terdapat pada musin pada kelenjar ludah, tendomusin pada tendon
dan hati.
c. Fosfoprotein merupakan jenis protein konjugasi yang tersusun oleh protein dan fosfat
yang mengandung lesitin. Protein ini terdapat pada kasein susu dan vitelin atau kuning
telur.
d. Kromoprotein (metalprotein) yaitu jenis protein konjugasi yang terusun oleh protein
dan pigmen (ion logam). Protein ini terdapat pada hemoglobin.
e. Lipoprotein yaitu jenis protein konjugasi yang tersusun atas protein dan lemak. Protein
ini terdapat pada serum darah, kuning telur, susu dan darah.

D. Fungsi Protein

Protein mempunyai bermacam-macam fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai enzim, zat pengatur,
pertahanan tubuh, alat pengangkut, dan lain-lain.

1. Sebagai Enzim
Enzim merupakan biokatalisator yang dapat menurunkan energi aktivasi sehingga dapat
mempercepat reaksi. Hampir semua reaksi biologis dipercepat atau dibantu oleh suatu
senyawa makromolekul spesifik yang disebut enzim; dari reaksi yang sangat sederhana
seperti reaksi transportasi karbondioksida sampai yang sangat rumit seperti replikasi
kromoson. Hampir semua enzim menunjukkan daya katalitik yang luar biasa dan
biasanya dapat mempercepat reaksi sampai beberapa juta kali. Sampai kini lebih dari
seribu enzim telah dapat diketahui sifat-sifatnya dan jumlah tersebut masih terus
bertambah. Protein besar peranannya terhadap perubahan-perubahan kimia dalam sistem
biologis.

2. Alat Pengangkut
Banyak molekul dengan bobot molekul kecil serta beberapa ion dapat diangkut atau
dipindahkan oleh protein-protein tertentu. Misalnya hemoglobin mengangkut oksigen
dalam eritrosit, sedang myoglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut
dalam plasma darah oleh transferrin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan
ferritin, suatu protein yang berbeda denga transferrin.

3. Pengatur Pergerakan
Protein merupakan komponen utama daging. Gerakan otot terjadi karena adanya dua
molekul protein yang saling bergeseran. Pergerakan flagella sperma disebabkan oleh
protein.

4. Penunjang Mekanis
Kekuatan dan daya tahan robek kulit dan tulang disebabkan adanya kolagen, suatu
protein berbentuk bulat panjang dan mudah membentuk serabut.
5. Pertahanan Tubuh/Imunisasi
Pertahanan tubuh biasanya dalam bentuk antibodi, yaitu suatu protein khusus yang dapat
mengenal dan menempel atau mengikat benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh
seperti virus, bakteria, dan sel-sel asing lain. Protein ini pandai sekali membedakan
benda-benda yang menjadi anggota tubuh dengan benda-benda asing.

6. Media Perambatan Impuls Syaraf


Protein yang mempunyai fungsi ini biasanya berbentuk reseptor, misalnya rhodopsin,
suatu protein yang bertindak sebagai reseptor/penerima warna atau cahaya pada sel-sel
mata.

7. Pengendalian Pertumbuhan
Protein ini bekerja sebagai reseptor (dalam bakteri) yang dapat mempengaruhi fungsi
bagian-bagian DNA yang mengatur sifat dan karakter badan.

E. Metode Penetapan Kandungan Protein Dalam Bahan Pangan

1. Analisis Kualitatif
a. Reaksi Xantoprotein

Larutan asam nitrat pekat ditambahkan dengan hati-hati ke dalam larutan protein. Setelah dicampur
terjadi endapan putih yang dapat berubah menjadi kuning apabila dipanaskan. Reaksi yang terjadi
ialah nitrasi pada inti benzene yang terdapat pada molekul protein. Jadi reaksi ini positif untuk
protein yang mengandung tirosin, fenilalanin dan triptofan. Jika kulit terkena nitrat berwarna kuning,
hal tersebut terjadi karena reaksi xantoprotein.

b. Reaksi Hopkins-Cole

Triptofan dapat berkondensasi dengan beberapa aldehid dengan bantuan asam kuat dan membentuk
senyawa yang berwarna. Larutan protein yang mengandung triptofan dapat direaksikan dengan
pereaksi Hopkins-Cole yang mengandung asam glioksilat. Pereaksi ini dibuat dari asam oksalat
dengan serbuk magnesium dalam air.

Gambar 7. Reaksi Hopkins-Cole

(Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti, 2005)


Setelah dicampur dengan pereaksi Hopkins-Cole, asam sulfat dituangkan perlahan-lahan sehingga
membentuk lapisan di bawah larutan protein. Beberapa saat kemudian akan terjadi cincin ungu pada
batas antara kedua lapisan tersebut. Pada dasarnya reaksi Hopkins-Cole memberikan hasil positif
khas untuk gugus indol dalam protein.

c. Reaksi Millon

Pereaksi Millon adalah larutan merkuro dan merkuri nitrat dalam asam nitrat. Apabila pereaksi ini
ditambahkan pada larutan protein, akan menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi
merah oleh pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif untuk fenol-fenol, karena terbentuknya
senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang berwarna. Protein yang mengandung tirosin akan
memberikan hasil positif.

d. Reaksi Nitroprusida

Natriumnitroprusida dalam larutan amoniak akan menghasilkan warna merah dengan protein yang
mempunyai gugus –SH bebas. Jadi protein yang mengandung sistein dapat memberikan hasil positif.
Gugus –s–s– pada sistin apabila direduksi dahulu dapat jugamemberikan hasil positif.

e. Reaksi Sakaguchi

Pereaksi yang digunakan ialah naftol dan natriumhipobromit. Pada dasarnya reaksi ini memberi hasil
positif apabila ada gugus guanidine. Jadi arginine atau protein yang mengandung arginine dapat
menghasilkan warna merah.

2. Analisis Kuantitatif
a. Metode Kjeldahl

Penentuan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah
nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Metode tersebut dikembangkan oleh Kjeldahl,
seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya
nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi hal tersebut sulit dilakukan
karena kandungan senyawa lain memiliki jumlah yang cenderung sedikit. Penentuan jumlah N total
ini dikatakan sebagai representasi jumlah protein yang akan dicari. Kadar protein hasil dari analisis
kadar protein metode Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude
protein).

Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan
yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam
protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N-nya,
maka angka yang lebih tepat dapat dipakai.

Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui (dengan berbagai cara) maka jumlah protein
dapat diperhitungkan dengan:

Jumlah N x 100/16 atau


Jumlah N x 6,25

Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-unsur
penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25 inilah yang dipakai. Sedangkan beberapa jenis
protein telah diketahui faktor perkaliannya.

Tabel 1. Faktor Perkalian N Beberapa Bahan

Macam Bahan Faktor Perkalian

Bir, sirup, biji-bijian, ragi 6,25

Buah-buahan, teh, anggur, malt 6,25

Makanan ternak 6,25

Beras 5,95

Roti, gandum, makaroni, mie 5,70

Kacang tanah 5,46

Kedelai 5,75

Kenari 5,18

Susu 6,38

Gelatin 5,55

Sumber: Sudarmadji, dkk., 2007


Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap destruksi,
tahap destilasi dan tahap titrasi.

1. Tahap destruksi

Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi
unsur-unsurnya yaitu unsur C, H, O, N, dan S. Jumlah asam sulfat yang digunakan tergantung pada
kandungan protein, lemak dan karbohidrat bahan pangan yang dianalisis. Untuk mendestruksi 1 gram
protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak perlu 17,8 gram, sedangkan 1 gram
karbohidrat perlu asam sulfat sebanyak 7,3 gram. Karena lemak memerlukan asam sulfat yang paling
banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya lemak dihilangkan lebih
dahulu sebelum destruksi dilakukan. Asam sulfat yang digunakan minimum 10 ml (18,4 gram).
Sampel yang dianalisis sebanyak 0,3 – 3,5 gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04
gram.

Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na SO dan2 4

HgO (20:1) dan atau K SO dan CuSO . Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam
2 4 4

sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Tiap 1 gram K SO dapat menaikkan
2 4

titik didih 3 C. Suhu destruksi berkisar antara 370 – 410 C.


o o

Protein yang kaya asam amino histidin dan tryptophan umumnya memerlukan waktu yang lama dan
sukar dalam destruksinya. Untuk bahan seperti ini memerlukan katalisator yang relatif lebih banyak.

2. Tahap destilasi

Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH ) dengan penambahan NaOH
3

sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan
cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink (Zn).
Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang
dapat dipakai adalah asam klorida (HCl) atau asam borat (H BO ) 4%. Apabila penampung destilat
3 3

digunakan asam klorida maka indikator yang digunakan yaitu phenolftalein (PP). Sementara itu,
apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka digunakan indikator (BCG + MR). Agar
kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup
sedalam mungkin dalam asam. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna
dengan ditandai adanya perubahan warna larutan dalam erlenmeyer menjadi hijau muda.

3. Tahap titrasi

Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka sisa asam klorida yang tidak bereaksi
dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat
perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan
indikator PP. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.

%N = x N NaOH x 14,008 x 100%

Apabila penampung destilasi digunakan asam borat makan banyaknya asam borat yang bereaksi
dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indikator
(BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.

%N = x N HCl x 14,008 x 100%

Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor.
Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada presentase N yang menyusun
protein dalam suatu bahan.

b. Metode Lowry

Protein dengan asam fosfotungstat-fosfomolibdat pada suasana alkalis akan memberikan warna biru
yang intensitasnya bergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Konsentrasi protein diukur
berdasarkan optical density (OD) pada panjang gelombang 600 nm (OD terpilih). Untuk mengetahui
banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan hubungan
antara konsentrasi dengan OD. Biasanya digunakn protein standar Bovine Serum Albumin (BSA)
atau Albumin Serum Darah Sapi. Larutan Lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari
fosfotungstat-fosfomolibdat (1:1); dan larutan Lowry B yang terdisi dari Na-karbonat 2% dalam
NaOH 0,1 N, kupri sulfat dan Na-K-tartrat 2%. Cara penentuannya adalah sebagai berikut: 1 ml
larutan protein ditambah 5 ml Lowry B, digojog dan dibiarkan selama 10 menit. Kemudian ditambah
0,5 ml Lowry A digojog dan dibiarkan 20 menit, selanjutnya diamati OD-nya pada panjang
gelombang 600 nm. Cara Lowry 10-20 kali lebih sensitif daripada cara UV atau cara Biuret.

c. Metode Biuret

Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan larutan CuSO encer. Uji ini
4

untuk menunjukkan adanya senyawa-senyawa yang mengandung gugus amida asam (-CONH ) yang 2

berada bersama gugus amida asam yang lain atau gugus yang lain seperti – CSNH ; – C(NH)NH ; –
2 2

CH2NH ; – CRHNH ; – CHOHCH NH – CHOHCH NH – CHNH CH OH; – CHNH CHOH.


2 2 2 2 2 2 2 2 2

Dengan demikian uji biuret tidak hanya untuk protein tetapi zat lain seperti biuret atau malonamida
juga memberikan reaksi positif yaitu ditandai dengan timbulnya warna merah-violet atau biru-violet.

Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut:


Gambar 8. Reaksi positif adanya protein

(Sumber: Sudarmadji, dkk., 2007)

Intensitas warna tergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Penentuan protein cara biuret
adalah dengan mengukur OD pada panjang gelombang 560-580 nm. Agar dapat dihitung banyaknya
protein dalam bahan maka perlu lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan hubungan antara
konsentrasi protein dengan OD pada panjang gelombang terpilih. Dibandingkan dengan cara
Kjeldahl maka biuret lebih baik karena hanya protein atau senyawa peptida yang bereaksi dengan
biuret, kecuali urea.

d. Metode Spektrofotometer UV

Reagen yang digunakan pada metode ini yaitu reagen bradford. Kebanyakan protein mengabsorbsi
sinar ultraviolet maximum pada 280 nm. Hal ini tertutama oleh adanya asam amino tirosin triptophan
dan fenilalanin yang ada pada protein tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbsi sinar UV
adalah cepat, mudah dan tidak merusak bahan. Untuk keperluan perhitungan juga diperlukan kurva
standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi protein dengan OD.

e. Metode Turbudimetri atau Kekeruhan

Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila ditambahkan bahan
pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic Acid (TCA), Kalium Ferri Cianida K Fe (CN) atau
4 9 6

asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter. Tabel atau kurva juga harus
dibuat terlebih dahulu untuk menunjukkan hubungan antara kekeruhan dengan kadar protein (dapat
ditentukan dengan cara Kjeldahl). Cara ini hanya dapat dipakai untuk bahan protein yang berupa
larutan dan hasilnya biasanya kurang tepat.

f. Metode Pengecatan

Beberapa bahan pewarna misalnya Orange G, Orange 12 dan Amido Black dapat membentuk
senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut. Dengan mengukur sisa bahan pewarna
yang tidak bereaksi dalam larutan (dengan colorimeter), maka jumlah protein dapat ditentukan
dengan cepat. Tentunya tabel atau kurva standar perlu dibuat terlebih dahulu untuk keperluan ini.

g. Metode Titrasi Formol

Larutan dinetralkan dengan basa (NaOH), kemudian ditambahkan formalin akan membentuk
dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan
mempengaruhi reaksi antara asam (gugus karboksi) dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat
diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah PP, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan
warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik. Titrasi formol ini hanya tepat untuk
menentukan suatu proses terjadinya pemecahan protein dan kurang tepat untuk penetuan protein.

Reaksi titrasi formol adalah sebagai berikut:

Gambar 9. Reaksi Titrasi Formol

(Sumber: Sudarmadji, dkk., 2007)

***

Referensi:

Poedjiadi dan Supriyanti. (2005). Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.


Sudarmadji, dkk.. (2007). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Winarno. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai