Anda di halaman 1dari 6

PRAKTIKUM ANALISIS PROTEIN DAN HCN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
Evi Yuliantie (240210140016)
Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Jatinangor
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600 Telp. (022) 7798844,
779570 Fax. (022) 7795780 Email: eviyuliantieds@gmail.com

ABSTRACT
Protein is an important macro nutrient for the body needs . Existence of protein in food
can affect the quality, and nutrition content. So there should be analysis of the protein in food
material to determine the quality of the food. Cyanide acid in food is very danger for health and
even causing death. So there should be analysis of the HCN in food. The method used in the
analysis of protein is Kjeldahl method which N is equivalent with protein, and argentometric
method to detect cuantitative of HCN. The results of the analysis we found that protein in hanjeli
flour is 12.465 % and milk powder 9.634%. HCN content in petai is 935.6 ppm, cassava leaves
180 ppm, shell petai 89.985 ppm, and sweet potato 0 ppm.
Key words: protein, nitrogen, cyanide acid, Kjeldahl method, argentometric

PENDAHULUAN
Protein merupakan zat gizi makro yang
sangat
penting
bagi
kelangsungan
metabolisme makhluk hidup. Kebutuhan
tubuh manusia akan protein salah satunya
bersumber dari makanan, maka dari itu
asupan makanan yang dikonsumsi harus
memenuhi standar gizi agar metabolisme
dalam tubuh lancar. Kadar protein di dalam
makanan perlu diketahui secara kuantitatif
agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan
asupan gizi. Salah satunya dengan cara
analisis protein dengan metode Kjeldahl.
Protein adalah polimer dari asam amino
yang dihubungkan dengan ikatan peptida.
Molekul protein mengandung unsur-umsur
C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung
unsur logam seperti besi dan tembaga
(Winarno, 1994).
Metode Kjeldahl merupakan metode
yang sederhana untuk penetapan nitrogen
total pada asam amino, protein dan senyawa
yang mengandung nitrogen. Metode ini
cocok digunakan secara semimikro, sebab
hanya memerlukan jumlah sampel dan
pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang
pendek. Cara Kjeldahl digunakan untuk
menganalisis kadar protein kasar dalam

bahan makanan secara tidak langsung,


karena yang dianalisis dengan cara ini
adalah
kadar
nitrogennya.
Dengan
mengalikan hasil analisis tersebut dengan
angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein
dalam bahan makanan itu (Makfoeld, 2002).
Prinsip kerja dari metode Kjeldahl
adalah protein dan komponen organic dalam
sampel didestruksi dengan menggunakan
asam sulfat dan katalis. Hasil destruksi
dinetralkan dengan menggunakan larutan
alkali dan melalui destilasi. Destilat
ditampung dalam larutan asam borat.
Selanjutnya ion- ion borat yang terbentuk
dititrasi dengan menggunakan larutan HCl.
Asam sianida atau HCN merupakan zat
racun yang sangat kuat sehingga dapat
membahayakan
sampai
menyebabkan
kematian. HCN terdapat secara alami dalam
beberapa bahan pangan, namun dengan
kadar yang masih di bawah ambang batas
diperbolehkan masuk ke dalam tubuh.
Analisis HCN penting dilakukan salah
satunya untuk mengetahui kadar HCN pada
bahan pangan sehingga dapat menanganinya
dengan baik.
Asam bebas HCN mudah menguap dan
sangat
berbahaya,
sehingga
semua
eksperimen, dimana kemungkinan asam

sianida akan dilepas atau dipanaskan, harus


dilakukan didalam lemari asam (Vogel,
1990).
Analisis HCN pada praktikum kali ini
menggunakan
prinsip
argentometri.
Argentometri adalah suatu proses titrimetri
dengan menggunakan larutan standar
sekunder perak nitrat (AgNO3) dan
diperlukan suatu indikator untuk melihat
perubahan pada titik akhir titrasi. Cara yang
digunakan yaitu cara Vollhard. Cara
Volhard digunakan untuk titrasi perak
dengan adanya asam nitrat dengan larutan
standar KCNS atau NH4CNS. Indikatornya
adalah larutan besi (III) nitrit atau larutan
besi (III) ammonium sulfat (Gandjar, dkk.,

2007).
Tujuan praktikum pengujian protein dan
HCN yaitu untuk menganalisis secara
kuantitatif kandungan protein dan HCN
pada bahan pangan dengan sampel tepung
hanjeli dan susu bubuk untuk pengujian
protein, sedangkan pengujian HCN
menggunakan sampel petai, kulit petai, daun
singkong dan ubi jalar.

METODOLOGI
Bahan dan alat
Sampel yang digunakan yaitu tepung
hanjeli, dan susu bubuk untuk analisis
protein. Sedangkan petai, kulit petai, daun
singkong, dan ubi jalar digunakan untuk
analisis HCN. Serbuk K2SO4, HgO, larutan
H2SO4, aquades, NaOH-Na2S2O3, indikator
metil campuran (merah-biru), larutan H3BO3
jenuh, larutan HCl 0.016 N, larutan AgNO3,
HNO3, indikator FAS, dan larutan NH4CNS.
Alat yang digunakan yaitu botol
timbang, labu kjeldahl, labu destilasi
protein, labu erlenmeyer, kondensor, heat
mantle, buret, pipet tetes, pipet volum, pipet
ukur, bulb pipet, spatula, batang pengaduk,
beaker glass, labu didih, gelas ukur, botol
semprot, timbangan analitik, grinder, kertas
saring dan labu ukur.
Penentuan kadar protein dengan metode
Kjeldahl
Tahapan pertama adalah destruksi.
Sebanyak 0.1 gram sampel dimasukkan ke
dalam botol timbang kemudian ditambah 0.9

gram K2SO4, 0.04 gram HgO, dan 2 ml


H2SO4. Isi botol timbang kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan
disusun pada alat. Setelah itu dididihkan
sampai jernih sekitar 3 jam.
Tahapan kedua yaitu netralisasi dan
destilasi. Sampel yang telah didihkan pada
labu kjeldahl menggunakan katalisator dan
sebagainya, kemudian dibilas menggunakan
aquades. Alat destilasi protein dirangkai
yang selanjutnya sampel dalam labu kjeldahl
dituangkan ke dalam alat destilasi.
Kemudian ditambahkan larutan NaOHNa2S2O3 sebanyak 10 ml dan dibilas kembali
menggunakan aquades. Di samping itu,
disiapkan labu erlenmeyer yang diisi dengan
5 ml H3BO3 jenuh dan 3 tetes indikator metil
merah biru. Kemudian pasangkan labu
erlenmeyer pada penampug destilat dengan
ujung selang tercelup di larutan pada
erlenmeyer. Kondensor dinyalakan dan
proses destilasi berlangsung hingga destilat
yang tertampung sebanyak 100 ml.
Tahapan ketiga yaitu titrasi. 100 ml
destilat pada erlenmeyer hasil destilasi
dititrasi menggunakan HCl 0.016 N sampai
berwarna pink (merah muda) dan dilihat
volume HCl yang terpakai untuk titrasi.
Setelah itu penentuan kadar N% dan %
protein.
Kadar N% dapat dihitung sebagai berikut.
N% =

(Vsampel-Vblanko) x NHCl x Ar HCl x fp


mg sampel

x 100

% protein = N% x fk
Normalitas HCl yang digunakan yaitu
0.01625 N, Ar HCl yaitu 14.007, dan fk
merupakan faktor konversi protein dari
persen Nitrogen menjadi % protein. Untuk
setiap bahan berbeda nilai fk nya. Secara
umum fk bahan yaitu 6.25, sedangkan susu
bubuk 6.38.
Penentuan kadar HCN kuantitatif
Tahapan pertama adalah preparasi
sampel. Sebanyak 50 gram sampel
dimasukkan ke dalam beaker glass. Sampel
petai, kulit petai, daun singkong dan ubi jalar
dihaluskan terlebih dahulu menggunakan
grinder. Tahapan selanjutnya yaitu sampel
yang telah dihaluskan dan ditimbang,
dimasukkan ke dalam labu didih dan
aquades hingga sampel terendam. Di

samping itu, disiapkan 50 ml AgNO3 dan 1


ml HNO3 dalam erlenmeyer 250 ml.
kemudian dipasangkan pada selang tempat
keluarnya destilat. Setelah itu destilasi
dinyalakan dan dibiaran sampai destilat
mencapai 150 ml.
Tahapan selanjutnya yaitu titrasi.
Destilat yang telah tertampung di dalam
erlenmeyer
kemudian
disaring
menggunakan kerta saring. Setelah
didapatkan filtratnya, filtrat dipindahkan ke
dalam labu ukur 500 ml dan ditambahkan
aquades sampai tepat 500 ml. Setelah itu
diambil 10mluntuk dititrasi, kemudian
ditambahkan 1 ml indikator FAS. Titrasi
menggunakan larutan NH4CNS sampai
berwarna merah. Kemudian dihitung jumlah
HCN dalam % dan ppm. WHCN dapat
dihitung sebagai berikut.
W=

V(blanko-sampel) x N AgNO3 x fp x 0.54mg


Vblanko x 0.02

HCN =

WHCN (g)
Wsampel (g)

x 106 ppm

1 ml AgNO3 = 0.54 mg HCN

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis protein dilakukan pada sampel
tepung hanjeli atau jail-jali, dna susu bubuk
rasa cokelat. Metode yang digunakan adalah
Kjeldahl. Sedangkan
analisis
HCN
menggunakan prinsip argentometric cara
Vollhard dengan sampel petai, kulit petai,
daun singkong dan ubi jalar.
Analisis protein metode Kjeldahl
Hasil pengujain kadar protein dengan
metode Kjeldahl adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Analisis kadar protein
Sampel

T.
Hanjeli
Susu
bubuk

W
sampel
(g)

V HCl
(g)

N%

Protein
%

0.1003
0.1005
0.9970
0.1007

8
11.4
6.9
8.2

1.61
2.38
1.37
1.65

10.06
14.87
8.739
10.53

Berdasarkan tabel 1, hasil analisa kadar


protein pada tepung hanjeli yaitu sekitar
12.465%. Berdasarkan penelitian Sulaeman
(1993) tepung jali mempunyai sifat

fisik/fungsional yang tidak begitu berbeda


dengan terigu, tepung ini mempunyai nilai
gizi yang tinggi terutama kadar protein dan
kadar lemak yaitu masing-masing 13.05
persen dan 3.76 persen. Hasil praktikum
menunjukkan adanya kesesuaian dengan
literatur yaitu 12.465% lebih kecil dari
13.05%.
Jali (Coix lacryma-jobi L.) merupakan
tanaman serealia yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan dan pakan
(Nurmala,1998). Menurut Nurmala (1998)
kandungan protein pada biji jali yaitu sekitar
11%. Hal ini menunjukkan bahwa biji jali
setelah diolah menjadi tepung kadar
proteinnya bertambah. Maka dari itu
pengolahan sangat penting dilakukan untuk
menambah nilai gizi.
Sampel susu bubuk hasil analisa
menunjukkan kandungan protein sebanyak
9.6345%. Hasil uji kandungan protein pada
susu bubuk menurut (SNI) 01-2970-2006
yaitu 23% b/b. Hasil analisa menunjukkan
ketidaksesuaian dengan standar mutu SNI.
Hal ini dikarenakan beberapa hal.
Diantaranya dikarenakan sampel yang
dicuplik tidak sama beratnya untuk duplo
sehingga berpengaruh kepada kadar protein
yang dianalisa. Pipet yang digunakan
volumenya tidak akurat atau terjadi
kerusakan pada ujung pipet sehingga hasil
tidak akurat. Kesalahan titrasi juga bisa
menjadi salah satu sebabnya. Sedangkan
menurut SNI 3752:2009 kadar protein
minimal pada susu bubuk cokelat adalah
11% b/b. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
analisa masih di bawah syarat minimal.
Analisis protein metode Kjeldahl
merupakan analisis protein kasar (crude
protein) karena terhitung senyawaan N
bukan protein. Tahapan analisis protein
dibagi menjadi 3 tahapan yaitu destruksi,
netralisasi dan destilasi, dan titrasi.
Tahapan destruksi dimulai dari sampel
dipanaskan dalam asam sulfat pekat
sehingga terjadi destruksi menjadi unsurunsur C, H, O, N, S, dan P. Elemen karbon,
hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan
H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan
berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk
mempercepat proses destruksi ditambahkan
katalisator berupa campuran K2SO4 dan
HgO, dengan penambahan katalisator

tersebut titk didih asam sulfat akan


dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih
cepat, serta mempercepat kenaikan suhu
asam sulfat sehingga destruksi berjalan lebih
cepat dan lebih sempurna. Karena titik didih
menjadi lebih tinggi, maka asam sulfat akan
membutuhkan waktu yang lama untuk
menguap. Karena hal ini, kontak asam sulfat
dengan sampel akan lebih lama sehingga
proses destruksi akan berjalan lebih efektif.
Asam sulfat yang bersifat oksidator kuat
akan mendestruksi sampel menjadi unsurunsurnya. Hasil destruksi adalah ion NH4+
yang menunjukkan keberadaan protein. Ion
ammonium bereaksi dengan ion sufat dari
asam sulfat membentuk ammonium sulfat.
Reaksi di katalisis dengan adanya garam
kjeldahl. Proses destruksi di tandai dengan
perubahan warna larutan menjadi warna biru
dan bening. Selama proses destruksi, terjadi
reaksi berikut.
HgO + 2H2SO4 HgSO4 + 2 H2O + SO2
protein + H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4
Tahapan kedua yaitu netralisasi dan
destilasi. Ammonium sulfat dipecah menjadi
ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH
sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia
yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap
oleh asam borat jenuh dalam jumlah yang
berlebihan. Asam borat (H3BO3) berfungsi
sebagai penangkap NH3 sebagai destilat
berupa gas yang bersifat basa. Supaya
ammonia dapat ditangkap secara maksimal,
maka sebaiknya ujung alat destilasi ini
tercelup semua ke dalam larutan asam
standar sehingga dapat ditentukan jumlah
protein sesuai dengan kadar protein
bahan.Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebihan maka diberi indikator
metil merah biru, dimana saat asam borat
ditambah indikator warnanya berubah
menjadi merah tua.
Selama proses destilasi lama-kelamaan
larutan asam borat akan berubah warna
menjadi hijau kebiruan, hal ini karena
larutan menangkap adanya ammonia dalam
bahan yang bersifat basa sehingga
mengubah warna merah muda menjadi biru.
Reaksi yang terjadi :
(NH4)2SO4 + NaOH Na2SO4 + 2 NH4OH
2NH4OH

2NH3
+
2H2O
4NH3 + 2H3BO3 2(NH4)2BO3 + H2

Reaksi destilasi berakhir bila terjadi


perubahan warna larutan dalam erlenmeyer
menjadi hijau muda akibat reaksi indikator
pada suasana basa akibat menangkap
ammonia juga sampai tertampung destilat
sebanyak 100 ml.
Tahapan terakhir adalah titrasi. Titrasi asambasa digunakan untuk menentukan kadar
protein dalam sampel. Karena NH3 yang
terbentuk adalah asam lemah, digunakan
HCl baku 0,1N untuk menitrasi asam borat
yang sudah menangkap ammonia hasil
destilasi, titik akhir di tandai dengan
perubahan warna menjadi merah muda.
Reaksi yang terjadi
4NH3 + 2H3BO3 2(NH4)2BO3 + H2(1)
(NH4)2BO3 +2 HCl2NH4Cl + H2BO3..(2)
Reaksi (1) adalah reaksi penangkapan
ammonia distilat oleh asam borat.
Sedangkan reaksi (2) adalah reaksi
penetralan pada titrasi asam-basa.
Faktor yang mempengaruhi pengujian
yaitu penimbangan, titrasi, tingkat ketelitian,
alat yang dIgunakan dan posedur yang
dijalankan apakah sesuai yang diperintahkan
atau tidak.
Analisis HCN kuantitatif
Hasil pengujian kadar HCN dengan cara
argentometri adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Analisis kuantitatif HCN
Sampel

Petai
Daun
Singkong
Kulit petai
Ubi jalar

W
sampel
(g)

V
NH4
(ml)

WHCN
(mg)

HCN
(ppm)

25.01
25.01
25.00
25.00
20.01
20.03
50.00
50.03

0.2
0.2
1.3
1.2
1.4
1.4
1.1
1.5

23.4
23.4
3.6
5.4
1.8
1.8
7.6
0

935.6
935.6
144
216
89.99
89.98
144
0

Berdasarkan tabel 2, sampel petai


mengandung HCN rata-rata 935.6 ppm
dengan berat HCN 23.4 mg setiap 25 gram
petai. Berdasarkan literatur kadar HCN pada
petai yaitu sekitar 0.1%-0.5%. Jika
dibandinkan dengan literatur, sampel yang
diuji lebih banyak mengandung HCN. Hal
ini disebabkan karena petai yang digunakan
memang mengandung sianida yang banyak.

Sampel
kulit
petai
diketahui
mengandung HCN sebanyak 89.985 ppm.
Namun belum diketahui literatur yang pasti
mengenai kadar HCN pada kulit
petai.Sebagaimana kita tahu bahwa petai
sendiri mengandung asam sianida, dengan
itu kulit petai juga mengandung sianida
namun dengan jumlah yang berbeda. Hal ini
berkaitan dengan cara penghilangan sianida
yang berbahay salah satunya dnegan
mengupas petai yang akan dikonsumsi dan
mengolahnya terlebih dahulus eperti
perebusan agar kandungan HCN dpaat
menguap dna hilang.
Daun singkong mengandung HCN
sekitar 180 ppm. Menurut Sutrisno dan
Keman (1981) kandungan sianida pada daun
singkong muda berkisar antara 560-620
ppm, dan daun tua antara 400-530 ppm.
Sampel daun singkong masih dapat
dikonsumsi dikarenakan kandungan HCN
pada bahan masih di bawah ambang batas
dan lebih rendah dibandingkan menurut
literatur.
Hasil analisa terhadap sampel ubi jalar
yaitu 0% HCN. Hal ini sesuai literatur
bahwa pada Ubi jalar negatif mengandung
HCN .Hal ini karena tingkat kemanisan
pada ubi tersebut. Dimana, yang kita ketahui
semakin tinggi kemanisan suatu umbi maka
kadar HCN yang terdapat pada umbi
semakin sedikit dengan kadar HCN rendah
<100>100 mg/kg. Namun, satu kelompok
yang menganalisa HCN pada ubi jalar
menemukan 144%kandungan HCN pada ubi
jalar. Terjadi kesalahan analisa diakibtakan
kontaminasi dan kesalahan titrasi.
Praktikum kali ini menghitung kadar
HCN dalam sampel dengan menggunakan
metode destilasi uap dan titrasi. HNO3
berfungsi agar tercipta kondisi asam, karena
dalam kondisi basa Fe3+ pada FAS akan
terhidrolisis dan sebagai penstabil saat titrasi
karena NH4CNS merupakan basa lemah.
Larutan AgNO3 berfungsi untuk menangkap
HCN. Reaksi yang terjadi yaitu sebagai
berikut.
HCN + AgNO3 AgCN + HNO3
Alat destilasi yang digunakan adalah
destilasi uap, sehingga hasil yang akan
digunakan merupakan uap dari sampel. Pipa
panjang dalam rangkaian alat destilasi yang

tegak keatas berfungsi untuk mengatur


tekanan agar uap air mengalir tidak kembali
lagi ke sampel melainkan ke dalam tabung.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
tekanan dimana tekanan di lingkungan lebih
besar dibandingkan tekanan ditabung.
Indikator FAS (Ferri Ammonium sulfat)
ditambahkan sebanyak 1 ml ke dalam
erlenmeyer
yang
berfungsi
untuk
mendeteksi kelebihan ion tiosianat. Larutan
lalu dititrasi dengan NH4CNS hingga
berwarna merah. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut.
CN + AgNO3 AgCN putih keruh +NO3
AgNO3 + KCNS AgCNS putih + KNO3
Fe+ + 3 KCNSFe ( CNS )3 + 3 K
Warna merah yang timbul ketika titik
akhir
titrasi,
diakibatkan
adannya
ammonium ferisulfat yang bereaksi dengan
NH4CNS membentuk senyawa Fe(CNS)2yang membuat larutan berubah warna
menjadi merah.
Dosis
HCN
yang
dapat
mengakibatkan kematian adalah 0,5 3,5
mg HCN per kg berat badan. Gejala yang
timbul mati rasa pada seluruh tubuh dan
pusing pusing. Hal ini diikuti oleh
kekacauan mental dan pingsan, kejang
kejang dan akhirnya koma ( pingsan lama ).
Dosis
yang
lebih
rendah
dapat
mengakibatkan sakit kepala, sesak pada
tenggorokan dan dada berdebar debar serta
kelemahan pada otot otot.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum, protein
yang terkandung dalam sampel tepung
hanjeli 12.465% sedangkan dalam susu
bubuk sekitar 9.6345%. Hal ini dapat
dikatakan sesuai dnegan literatur karena
tidak terdapat perbedaan yang sigifikan.
Kandungan protein paling tinggi terdapat
pada tepung hanjeli.
Analaisis kuantitatif HCN pada petai
aldalah 935.6 ppm, daun singkong 180 ppm,
kulit petai 89.985 ppm, and pada ubi jalar 0
ppm. Kandungan HCN dalam daun
singkong masih di bawah ambang batas,
kulit
petai
dan
petai
sama-sama
mengandung
HCN
namun
dengan
presentase yang berbeda dan lebih banyak

terdapat pada petai, sedangkan ubi jalar


mengandung HCN sebanyak 0 ppm.
Kandungan HCN paling banyak terdapat
pada petai, selanjutnya kulit petai, singkong
dan ubi jalar.

DAFTAR PUSTAKA
Winarno, F.G. 1994. Pangan Gizi,
Teknologi
dan
Konsumen.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Makfoeld, Djarir DKK. 2002. Kamus Istilah
Pangan dan Nutrisi. Kaninus
Yogyakarta.
Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik
Kualitatif Makro dan Semimikro.
Jilid I. PT. Kalman Media Pusaka.
Jakarta.
Gandjar, Ibnu G. dan Abdul Rohman. 2007.
Kimia Farmasi Analisis. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Sulaeman, Ahmad dan Faisal Anwar. 1993.
Karakteristik Tepung Dan Pati Jali
(Coix lacryma-jobi, LINN) Untuk
Pengembangan Produk Makanan
Bergizi. Gizi Masyarakat dan
Sumber
Daya
Keluarga

FAPERTA.
Nurmala, T. 1998. Serelia Sumber
Karbohidrat Utama. Rineka Cipta.
Jakarta.
BSN [Badan Standarisasi Nasional. SN 012970-2006. Syarat Mutu Susu
Bubuk . Jakarta.
Sutrisno dan Keman. 1981. Nilai Makanan
hijauan segar ketela pohon untuk
ternak sapid an kerbau. Pros.
Seminar Penelitian Peternakan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai