ABSTRAK
Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun dan pengatur, sebagai
enzim dalam proses biologis, alat pengangkut dan penyimpan, juga sebagai pertahanan tubuh atau
imunitas. Asam sianida (HCN) merupakan senyawa yang dapat menghambat penyerapan oksigen
pada sistem pernapasan sehingga terjadi kekejangan tenggorokan yang diikuti dengan sesak napas,
hilang kesadaran, bahkan kematian. Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui cara analisis
protein dengan metode Kjedahl dan analisis kadar HCN dengan metode titrasi argentometri. Hasil
pengamatan rata-rata kadar protein dari sampel susu bubuk dan tepung hanjeli yaitu 11,2537% dan
15%. Kadar protein dari sampel susu bubuk lebih rendah daripada kadar protein pada sampel tepung
hanjeli. Rata-rata kadar HCN pada sampel kulit pete, daun singkong, pete, dan ubi jalar berturut-turut
yaitu 89,98%; 224,915%; 935,703%; dan 144%.
Kata Kunci: Protein, HCN, Kjeldahl, dan Titrasi Argentometri.
Hasil pengamatan rata-rata kadar susu bubuk berlemak berdasarkan SNI 01-
protein pada tabel 1 dari sampel susu bubuk 2970-2006 (BSN, 2006) yaitu minimal 23%.
yaitu 11,2537%, dan hasil pengamatan rata- Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
rata kadar protein dari sampel tepung hanjeli Chandan (1997) mendapatkan hasil bahwa
yaitu 15%. Berdasarkan hasil pengamatan kadar protein pada susu bubuk yaitu 26,4%.
(Tabel 1) kadar protein dari sampel susu Kadar protein yang tercantum dalam kemasan
bubuk lebih rendah daripada kadar protein yaitu sebesar 22%. Hal ini berarti bahwa hasil
pada sampel tepung hanjeli. analisis kadar protein pada sampel susu bubuk
Kadar protein dari susu bubuk (Tabel 1) lebih kecil jika dibandingkan dengan
berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) yaitu SNI, kemasan, dan literatur. Perbedaan ini
sebesar 12,62% dan 9,89%. Kadar protein dari dapat terjadi karena beberapa faktor seperti
kondisi awal sampel susu bubuk yang sudah
terlalu lama disimpan dalam keadaan terbuka Analisis Kadar HCN
sehingga kadar air dalam produk menjadi Sampel yang digunakan dalam analisis
meningkat dan mempengaruhi kadar protein kadar HCN yaitu kulit petai, petai, daun
yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan singkong, dan ubi jalar. Metode yang
pernyataan Adawyah (2007), yaitu bahwa digunakan dalam analisis kadar HCN dalam
kadar air yang mengalami penurunan akan praktikum ini yaitu dengan metode titrasi
mengakibatkan kandungan protein didalam argentometri. Prinsip penetapannya adalah
bahan mengalami peningkatan. Selain itu, sampel yang sudah direndam kemudian
proses pengolahan susu segar menjadi susu didestilasi, larutan uji dalam suasana asam
bubuk yang berbeda juga mempengaruhi kadar direaksikan dengan larutan baku perak nitrat
protein yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai berlebih, kelebihan larutan baku dititrasi
dengan pernyataan oleh Walstra et al. (1999) kembali dengan larutan kalium tiosianat
bahwa pada pengeringan drum, susu menggunakan indikator ferri amonium sulfat
dikontakkan langsung dengan permukaan (Sudarmadji et al., 1996). Peredaman sampel
srum yang panas hingga menjadi kering. dalam akuades sangat penting dilakukan
Proses ini akan menghasilkan mutu yang karena sifat HCN yang sangat mudah larut
kurang baik karena akan menyebabkan dalam air, sehingga perendaman sangat
denaturasi protein pada susu bubuk yang diperlukan untuk mengurangi racun HCN dan
dihasilkan. agar semua HCN dalam sampel dapat
Kadar protein dari sampel tepung teruapkan karena sifat HCN yang volatil. Hal
hanjeli pada tabel 1 yaitu sebesar 10,65% dan ini sesuai dengan pernyataan oleh Yuniastuti
19,35% sehingga rata-ratanya yaitu 15%. (2008), hidrogen sianida bersifat volatil dan
Berdasarkan pernyataan Kuncoro dan Saribi mudah terbakar. Sifat HCN yang volatil ini
(2000), kadar protein tepung biji hanjeli juga menjadi alasan digunakan destilasi uap
sekitar 11% atau sekitar 150 kali lipat daripada pada metode analisisnya. HCN yang sudah
kadar protein jagung dan beras. Hal ini berarti teruapkan kemudian ditangkap oleh larutan
bahwa hasil rata-rata kadar protein dari sampel AgNO3 jenuh. Selain itu, dilakukan juga
tepung hanjeli yang didapatkan lebih besar penambahan HNO3. Penambahan larutan
daripada yang seharusnya. Perbedaan ini HNO3 6N dilakukan agar menimbulkan
diduga diakibatkan oleh perbedaan jenis suasana asam untuk mencegah hidrolisis
sampel biji hanjeli yang digunakan sebagai indikator (ion Fe3+), karena jika FAS
bahan baku dari pembuatan tepung hanjeli terhidrolisis, maka akan mempengaruhi titik
tersebut. Kelebihan kadar protein sampel dari akhir titrasi (Sukarti, 2012). Reaksi kimia
literatur juga diduga akibat kekurangan dari antara HCN dengan AgNO3 menurut Meloan
analisis protein dengan metode kjedahl yaitu (1987) yaitu sebagai berikut.
menganalisis protein berdasarkan jumlah CN- + AgNO3 berlebihan → AgCN↓ (Putih
unsur N dalam bahan pangan tersebut. Hal ini keruh) + NO3-
sesuai dengan pernyataan oleh Legowo, et al. Larutan yang sudah didestilasi
(2005), bahwa kadar protein yang ditentukan kemudian dititrasi dengan NH4CNS dan FAS
berdasarkan cara Kjeldahl disebut sebagai sebagai indikatornya. Reaksi yang terjadi yaitu
kadar protein kasar (crude protein) karena antara NH4CNS dan AgNO3 yang tidak habis
terikut senyawaan N bukan protein, misalnya bereaksi dengan HCN. Rekasi yang terjadi
urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, berdasarkan Day dan Underwood (2001)
asam amino, amida, purin, dan pirimidin. yaitu sebagai berikut.
Analisis kadar protein kali ini Kelebihan AgNO3- + NH4CNS → AgCNS ↓
dilakukan secara duplo. Namun, data yang (putih) + NH4NO3
didapatkan memiliki perbedaan yang cukup Jika reaksi telah sempurna, kelebihan
jauh dengan data yang lainnya. Hal ini diduga CNS– akan bereaksi dengan Fe 3+ membentuk
karena saat merangkai alat destilasi tidak endapan FeCNS2+ yang berwarna merah yang
seluruhnya kedap sehingga NH 3 yang digunakan sebagai titik akhir titrasi. Reaksi
berbentuk gas keluar dari alat destilasi dan yang terjadi adalah berdasarkan Day dan
tidak ikut terhitung sebagai kadar protein dan Underwood (2001) yaitu sebagai berikut:
mempengaruhi hasil pengamatan. Fe3+(aq) + CNS–(aq) ⇔ FeCNS2+(s)
Tabel 2. Hasil Pengamatan Analisis Kadar HCN
Sampel W Sampel (g) V NH4CNS (ml) W HCN (mg) Kadar HCN (ppm)
20,0001 1,4 1,8 89,99955
Kulit pete
20,0031 1,4 1,8 89,9681
20,0066 1,2 5,4 269,91
Daun singkong
20,0085 1,3 3,6 179,92
25,0009 0,1 25,2 1007,686
Pete
25,0081 0,3 21,6 863,72
50,00 1,1 7,6 144
Ubi Jalar
50,03 1,5 0 0
Hasil pengamatan (Tabel 1) yaitu rata- sehingga tidak semua HCN yang terkandung
rata kadar HCN pada sampel kulit pete, daun dalam sampel ikut dianalisis.
singkong, pete, dan ubi jalar berturut-turut Kadar sianida pada daging buah ubi
yaitu 89,98%; 224,915%; 935,703%; dan jalar yaitu sebesar 46,38-58,08 mg/kg,
144%. Berdasarkan hasil ini, kadar HCN sedangkan kadar sianida pada bagian kulit ubi
dalam sampel dari yang terbesar hingga jalar yaitu bervariasi antara 63,41-108,96
terkecil yaitu petai, daun singkong, ubi jalar, mg/kg untuk semua varietas (Ubwa, et al.,
dan kulit petai. 2015). Kadar sianida yang didapatkan dari
Kandungan HCN dalam masing- hasil pengamatan ubi jalar (Tabel 2) jika
masing bagian tanaman singkong berlainan, dikonversi menjadi 152 mg/kg. Hal ini berarti
dan bagian kulit umbi mengandung HCN lebih kadar sianida hasil analisis lebih besar
tinggi dibandingkan dengan bagian daunnya. daripada yang seharusnya. Hal ini
Biasanya kandungan sianida pada daun muda diperkirakan terjadi karena pengambilan
lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua sampel yang dilakukan yaitu pada bagian kulit
(Heyne, 1987). Kandungan sianida pada daun buah dan daging buah sehingga kadar
singkong muda berkisar antara 560-620 ppm, sianidanya akan bertambah. Hal ini diperkuat
dan daun tua antara 400-530 ppm (Sutrisno dengan penelitian yang dilakukan oleh
dan Keman, 1981). Hal ini berarti bahwa Bokanga (2001) yaitu kulit umbi mengandung
kandungan sianida dalam sampel yang sianida 5-10 kali lebih tinggi dari yang
dianalisis jauh lebih kecil daripada yang terdapat pada umbi.
seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor seperti sampel yang digunakan KESIMPULAN
telah disimpan terlalu lama sehingga sianida
yang bersifat volatil sudah hilang dari sampel Hasil pengamatan rata-rata kadar
dan tidak ikut terhitung dalam analisis kadar. protein dari sampel susu bubuk dan tepung
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang hanjeli yaitu 11,2537% dan 15%. Kadar
dilakukan oleh Ravindran et al. (1987), yang protein dari sampel susu bubuk lebih rendah
menunjukkan bahwa kadar sianida dalam daun daripada kadar protein pada sampel tepung
singkong segar berkurang 90% setelah hanjeli. Rata-rata kadar HCN pada sampel
disimpan selama 3 hari. kulit pete, daun singkong, pete, dan ubi jalar
Kadar sianida pada petai yaitu sebesar berturut-turut yaitu 89,98%; 224,915%;
17,3 mg dalam 100 g (Gernah, et al., 2007). 935,703%; dan 144%.
Kadar sianida yang didapatkan dari hasil
pengamatan (Tabel 2) lebih kecil jika DAFTAR PUSTAKA
dibandingkan dengan yang seharusnya. Hal ini
diduga terjadi akibat rangkaian alat destilasi Adawyah. R. 2007. Pengolahan Dan
yang digunakan tidak kedap sehingga HCN Pengawetan Ikan. PT Bumi Aksara,
yang berwujud gas keluar dari rangkaian alat Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01- Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1996.
2970-2006. Susu Bubuk. Badan Analisa Bahan Makanan dan
Standardisasi Nasional, Jakarta. Pertanian. Liberty, Yogyakarta.