Anda di halaman 1dari 6

PRAKTIKUM ANALISIS KADAR PROTEIN DAN HCN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN

Fressylia Raisha Faressi (240210140095)

Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Jatinangor


Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600 Telp. (022) 7798844, 779570
Fax. (022) 7795780 Email: Fressyliaraisha@gmail.com

ABSTRAK

Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun dan pengatur, sebagai
enzim dalam proses biologis, alat pengangkut dan penyimpan, juga sebagai pertahanan tubuh atau
imunitas. Asam sianida (HCN) merupakan senyawa yang dapat menghambat penyerapan oksigen
pada sistem pernapasan sehingga terjadi kekejangan tenggorokan yang diikuti dengan sesak napas,
hilang kesadaran, bahkan kematian. Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui cara analisis
protein dengan metode Kjedahl dan analisis kadar HCN dengan metode titrasi argentometri. Hasil
pengamatan rata-rata kadar protein dari sampel susu bubuk dan tepung hanjeli yaitu 11,2537% dan
15%. Kadar protein dari sampel susu bubuk lebih rendah daripada kadar protein pada sampel tepung
hanjeli. Rata-rata kadar HCN pada sampel kulit pete, daun singkong, pete, dan ubi jalar berturut-turut
yaitu 89,98%; 224,915%; 935,703%; dan 144%.
Kata Kunci: Protein, HCN, Kjeldahl, dan Titrasi Argentometri.

PENDAHULUAN N bukan protein, misalnya urea, asam nukleat,


ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida,
Protein merupakan suatu zat makanan purin, dan pirimidin (Legowo, et al., 2005).
yang amat penting bagi tubuh karena berfungsi Menurut Sudarmadji, et al. (1996)
sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat metode kjeldahl terdiri dari tiga langkah yaitu
pembangun dan pengatur, sebagai enzim destruksi, destilasi, dan tirasi. Prinsip analisis
dalam proses biologis, alat pengangkut dan protein metode Kjeldahl adalah bahan organik
penyimpan, juga sebagai pertahanan tubuh dididihkan dengan asam sulfat pekat sehingga
unsur-unsur dapat terurai. Atom karbon
atau imunitas (Winarno, 2004). Namun,
menjadi CO2 dan nitrogen menjadi amonium
protein dalam makanan yang dikonsumsi
sulfat. Larutan tersebut kemudian dibuat
manusia dapat menimbulkan reaksi-reaksi alkalis dengan menambahkan NaOH
alergik dalam tubuh pada beberapa orang yang berlebihan sehingga ion amonium bebas
makan makanan yang mengandung protein menjadi amonia bebas. Amonia yang
seperti susu, ikan laut, udang, dan telur dipisahkan dengan cara distilasi kemudian
(Winarno, 2004). Oleh karena itu, analisis dijerat dengan larutan asam borat. Garam borat
kadar protein dalam bahan pangan sangat yang terbentuk dititrasi dengan HCl
penting untuk dilakukan. (Sudarmadji et al., 1996). Metode ini tidak
Kandungan protein dalam makanan menghitung kadar protein secara langsung,
umumnya ditetapkan berdasarkan total diperlukan faktor konversi (F) untuk
nitrogen yang terkandung di dalamnya yang menghitung kadar protein total dari kadar
disebut sebagai protein kasar. Penetapan nitrogen. Faktor konversi 6,25 (setara dengan
protein kasar bertujuan untuk menentukan 0,16 g nitrogen per gram protein) digunakan
jumlah protein total di dalam bahan pangan. untuk jenis yang berbeda tergantung
Metode penetapan kadar protein yang paling komposisi asam amonianya (Sudarmadji et al,
lazim digunakan adalah metode Kjeldahl. 1996).
Kadar protein yang ditentukan berdasarkan Ada dua kelemahan utama dalam
cara Kjeldahl  disebut sebagai kadar protein metode Kjeldahl, yaitu waktu yang diperlukan
kasar (crude protein) karena terikut senyawan untuk analisis sangat lama dan perlu untuk
melakukan dua analisis untuk menetapkan 5 ml, pipet 50 ml, oven, labu erlenmeyer 250
perbedaan Non-protein Nitrogen (NPN) dan ml, grinder, dan statif.
Total Protein Nitrogen (TPN). Meskipun Sampel yang digunakan dalam analisis
demikian, metode Kjeldahl ini masih secara kadar protein yaitu susu bubuk dengan merk
luas digunakan dalam ilmu dan teknologi Dancow dan tepung hanjeli, sedangkan sampel
pangan dan telah diaplikasikan secara yang digunakan untuk analisis kadar HCN
mendunia untuk menentukan kadar nitrogen yaitu daun singkong, ubi jalar, dan petai.
dalam berbagai jenis makanan dan merupakan Reagent kimia yang digunakan yaitu akuades,
K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, indikator metil
metode standard yang lazim dilakukan untuk
merah-biru, larutan campuran NaOH dan
penetapan kadar protein (Isaac dan Michael,
Na2S2O3 dengan perbandingan 60:5, HCl 0,02
1995). N, AgNO3 0,02 N, HNO3, indikator FAS, dan
Asam sianida (HCN) merupakan NH4CNS. Reagen kimia yang digunakan pada
senyawa yang dapat menghambat penyerapan praktikum ini sudah memenuhi standar
oksigen pada sistem pernapasan sehingga laboratorium.
terjadi kekejangan tenggorokan yang diikuti
dengan sesak napas, hilang kesadaran, bahkan Penentuan Kadar Protein Metode Kjeldahl
kematian (Bradbury dan Holloway, 1988). Sebanyak ± 0,1 gram sampel di
Residu HCN pada olahan pangan yang timbang dan dimasukkan dalam labu kjeldahl.
dikonsumsi tubuh walaupun tidak mencapai Kemudian tambahkan 0,9 gram K2SO4, 0,04
dosis letal, dapat menyebabkan kekurangan gram H9O, dan 2 ml H2SO4 dan didihkan
kalori protein (KKP) dan gangguan hingga larutan berwarna jernih (destruksi).
penyerapan iodium. HCN (asam sianida) Bilas sampel yang sudah didestruksi dengan
sebenarnya dapat dihilangkan selama proses akuades, lalu masukkan ke dalam alat destiasi
pengolahan asalkan diketahui cara penanganan yang sudah ditambahkan 10 ml larutan
yang tepat (Wahyuningsih dan Haslina, 2011). campuran NaOH dan Na 2S2O3. Masukkan juga
5 ml asam borat (H3BO3) jenuh dan 3 tetes
Oleh karena itu, analisis kadar HCN dalam
indikator metil merah-biru dalam erlenmeyer
bahan pangan sangat penting untuk dilakukan.
250 ml yang digunakan sebagai penampung
Metode yang digunakan dalam destilat. Lakukan destilasi hingga destilat pada
analisis kadar HCN yaitu metode argentometri erlenmeyer mencapai volume 100 ml. Destilat
Volhard. Titrasi argentometri digunakan untuk kemudian dititrasi dengan HCl hingga
penatapan kadar zat uji yang mengandung ion berwarna merah. Volume HCL yang
halogenida atau anion yang dapat membentuk dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi
endapan dengan ion perak. Titrasi ini digunakan untuk menghitung kadar protein.
berdasarkan atas reaksi pembentukan endapan Semua langkah dilakukan secara duplo.
dari komponen zat uji dengan larutan baku Perhitungan kadar protein yaitu sebagai
AgNO3 (Khopkar, 1990). berikut.
Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk Kadar N (%) =
mengetahui cara analisis protein dengan Vsampel−Vblanko
x N HCl x Ar N x 100%
metode Kjedahl dan analisis kadar HCN mg sampel
dengan metode titrasi argentometri. Praktikum
ini juga bertujuan mengetahui kadar protein % Protein = % N x faktor konversi
dan HCN dalam sampel untuk dibandingkan
dengan literatur atau kemasan. Penentuan Kadar HCN
Sebanyak 25-50 gram sampel
METODOLOGI ditimbang dan dihaluskan dengan grinder.
Masukkan sampel yang telah halus dalam labu
didih, lalu tambahkan akuades hingga seluruh
Alat dan Bahan
sampel terendam. Masukkan sebanyak 50 ml
Alat yang digunakan dalam praktikum
AgNO3 dan 1 ml HNO 3 dalam erlenmeyer 250
ini adalah alat pemanas, alat titrasi, batang
ml sebagai penampung destilat. Rangkai alat
pengaduk, beaker glass, corong, kertas saring,
destilasi dan lakukan destilasi hingga destilat
klem, labu kjeldahl, labu ukur 250 ml, neraca
pada erlenmeyer mencapai volume 150 ml.
analitik, pipet tetes, pipet ukur 2 ml, pipet ukur
Kemudian pindahkan destilat dalam labu ukur H2O, sedangkan nitrogennya (N) akan berubah
250 ml lalu tepatkan dengan akuades hingga menjadi (NH4)2SO4. Penambahan K2SO4 dan
batas tera. Saring destilat dan ambil 50 ml HgO berfungsi untuk mempercepat proses
filtratnya dalam erlenmeyer untuk di titrasi. destruksi. Penambahan katalisator tersebut
Tambahkan indikator FAS sebanyak 1 ml membuat titik didih asam sulfat akan lebih
kemudian lakukan titrasi dengan NH 4CNS tinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat
hingga berwarna merah bata. Volume (Sudarmadji et al., 1996). Reaksi yang terjadi
NH4CNS yang digunakan untuk mencapai titik menurut Widiarto (2009) yaitu sebagai
akhir titrasi digunakan untuk menghitung berikut.
kadar HCN. Semua langkah dilakukan secara CaHbNc + H2SO4 → a CO2↑ + ½ b H2O + c
duplo. Perhitungan kadar HCN yaitu sebagai NH4HSO4
berikut. Tahap selanjutnya yaitu destilasi.
mg HCN = Tahap ini berfungsi untuk memecah
ammonium sulfat menjadi ammonia (NH3)
( ( Vblanko−Vsampel ) x 50 x N AgNO 3
mL titrasi blanko ) x dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan
dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan
( 0,540,02mg ) selanjutnya ditangkap oleh larutan asam
standar yaitu asam borat dalam jumlah yang
berlebihan (jenuh). Hal ini sesuai dengan
W HCN (g) pernyataan oleh Zhang (2007), yaitu asam
Kadar HCN = x 106 borat berfungsi sebagai penangkap NH3
Wawal sampel
sebagai destilat berupa gas yang bersifat basa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perlu diperhatikan bahwa NH3 berbentuk gas,
sehingga alat yang digunakan harus kedap
Analisis Kadar Protein agar gas NH3 tidak keluar dari rangkaian alat
Sampel yang digunakan untuk analisis dan mengganggu hasil pengamatan. Reaksi
kadar protein yaitu susu bubuk dan tepung yang terjadi pada tahap destilasi menurut
hanjeli. Metode yang digunakan untuk analisis Zhang (2007), yaitu sebagai berikut.
yaitu dengan metode Kjedahl yang terdiri dari (NH4)2SO4 + NaOH → Na2SO4 + NH3
tahap destruksi, destilasi, dan titrasi. Tahap NH3 + H3BO3 → NH4+ + H2BO3-
destruksi berfungsi untuk mendestruksi protein Hasil destilat kemudian dititrasi
menjadi unsur-unsurnya dengan dipanaskan dengan menggunakan HCl. Kelebihan asam
dalam asam sulfat pekat. Elemen karbon dan borat yang tidak bereaksi dengan NH 3 tersebut
hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan yang akan direaksikan dengan HCl
(Sudarmadji et al., 1996).

Tabel 1. Hasil Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl


Kel Sampel W Sampel (g) V HCl (ml) Kadar N (%) Kadar Protein (%)
11 0,1019 8,1 1,9784 12,6223
Susu Bubuk
16 0,1012 6,5 1,5494 9,8851
12 0,1003 7 1,7 10,65
Hanjeli
17 0,1004 12 3,096 19,35

Hasil pengamatan rata-rata kadar susu bubuk berlemak berdasarkan SNI 01-
protein pada tabel 1 dari sampel susu bubuk 2970-2006 (BSN, 2006) yaitu minimal 23%.
yaitu 11,2537%, dan hasil pengamatan rata- Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
rata kadar protein dari sampel tepung hanjeli Chandan (1997) mendapatkan hasil bahwa
yaitu 15%. Berdasarkan hasil pengamatan kadar protein pada susu bubuk yaitu 26,4%.
(Tabel 1) kadar protein dari sampel susu Kadar protein yang tercantum dalam kemasan
bubuk lebih rendah daripada kadar protein yaitu sebesar 22%. Hal ini berarti bahwa hasil
pada sampel tepung hanjeli. analisis kadar protein pada sampel susu bubuk
Kadar protein dari susu bubuk (Tabel 1) lebih kecil jika dibandingkan dengan
berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) yaitu SNI, kemasan, dan literatur. Perbedaan ini
sebesar 12,62% dan 9,89%. Kadar protein dari dapat terjadi karena beberapa faktor seperti
kondisi awal sampel susu bubuk yang sudah
terlalu lama disimpan dalam keadaan terbuka Analisis Kadar HCN
sehingga kadar air dalam produk menjadi Sampel yang digunakan dalam analisis
meningkat dan mempengaruhi kadar protein kadar HCN yaitu kulit petai, petai, daun
yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan singkong, dan ubi jalar. Metode yang
pernyataan Adawyah (2007), yaitu bahwa digunakan dalam analisis kadar HCN dalam
kadar air yang mengalami penurunan akan praktikum ini yaitu dengan metode titrasi
mengakibatkan kandungan protein didalam argentometri. Prinsip penetapannya adalah
bahan mengalami peningkatan. Selain itu, sampel yang sudah direndam kemudian
proses pengolahan susu segar menjadi susu didestilasi, larutan uji dalam suasana asam
bubuk yang berbeda juga mempengaruhi kadar direaksikan dengan larutan baku perak nitrat
protein yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai berlebih, kelebihan larutan baku dititrasi
dengan pernyataan oleh Walstra et al. (1999) kembali dengan larutan kalium tiosianat
bahwa pada pengeringan drum, susu menggunakan indikator ferri amonium sulfat
dikontakkan langsung dengan permukaan (Sudarmadji et al., 1996). Peredaman sampel
srum yang panas hingga menjadi kering. dalam akuades sangat penting dilakukan
Proses ini akan menghasilkan mutu yang karena sifat HCN yang sangat mudah larut
kurang baik karena akan menyebabkan dalam air, sehingga perendaman sangat
denaturasi protein pada susu bubuk yang diperlukan untuk mengurangi racun HCN dan
dihasilkan. agar semua HCN dalam sampel dapat
Kadar protein dari sampel tepung teruapkan karena sifat HCN yang volatil. Hal
hanjeli pada tabel 1 yaitu sebesar 10,65% dan ini sesuai dengan pernyataan oleh Yuniastuti
19,35% sehingga rata-ratanya yaitu 15%. (2008), hidrogen sianida bersifat volatil dan
Berdasarkan pernyataan Kuncoro dan Saribi mudah terbakar. Sifat HCN yang volatil ini
(2000), kadar protein tepung biji hanjeli juga menjadi alasan digunakan destilasi uap
sekitar 11% atau sekitar 150 kali lipat daripada pada metode analisisnya. HCN yang sudah
kadar protein jagung dan beras. Hal ini berarti teruapkan kemudian ditangkap oleh larutan
bahwa hasil rata-rata kadar protein dari sampel AgNO3 jenuh. Selain itu, dilakukan juga
tepung hanjeli yang didapatkan lebih besar penambahan HNO3. Penambahan larutan
daripada yang seharusnya. Perbedaan ini HNO3 6N dilakukan agar menimbulkan
diduga diakibatkan oleh perbedaan jenis suasana asam untuk mencegah hidrolisis
sampel biji hanjeli yang digunakan sebagai indikator (ion Fe3+), karena jika FAS
bahan baku dari pembuatan tepung hanjeli terhidrolisis, maka akan mempengaruhi titik
tersebut. Kelebihan kadar protein sampel dari akhir titrasi (Sukarti, 2012). Reaksi kimia
literatur juga diduga akibat kekurangan dari antara HCN dengan AgNO3 menurut Meloan
analisis protein dengan metode kjedahl yaitu (1987) yaitu sebagai berikut.
menganalisis protein berdasarkan jumlah CN- + AgNO3 berlebihan → AgCN↓ (Putih
unsur N dalam bahan pangan tersebut. Hal ini keruh) + NO3-
sesuai dengan pernyataan oleh Legowo, et al. Larutan yang sudah didestilasi
(2005), bahwa kadar protein yang ditentukan kemudian dititrasi dengan NH4CNS dan FAS
berdasarkan cara Kjeldahl  disebut sebagai sebagai indikatornya. Reaksi yang terjadi yaitu
kadar protein kasar (crude protein) karena antara NH4CNS dan AgNO3 yang tidak habis
terikut senyawaan N bukan protein, misalnya bereaksi dengan HCN. Rekasi yang terjadi
urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, berdasarkan Day dan Underwood (2001)
asam amino, amida, purin, dan pirimidin. yaitu sebagai berikut.
Analisis kadar protein kali ini Kelebihan AgNO3- + NH4CNS → AgCNS ↓
dilakukan secara duplo. Namun, data yang (putih) + NH4NO3
didapatkan memiliki perbedaan yang cukup Jika reaksi telah sempurna, kelebihan
jauh dengan data yang lainnya. Hal ini diduga CNS– akan bereaksi dengan Fe 3+ membentuk
karena saat merangkai alat destilasi tidak endapan FeCNS2+ yang berwarna merah yang
seluruhnya kedap sehingga NH 3 yang digunakan sebagai titik akhir titrasi. Reaksi
berbentuk gas keluar dari alat destilasi dan yang terjadi adalah berdasarkan Day dan
tidak ikut terhitung sebagai kadar protein dan Underwood (2001) yaitu sebagai berikut:
mempengaruhi hasil pengamatan. Fe3+(aq) + CNS–(aq) ⇔ FeCNS2+(s)
Tabel 2. Hasil Pengamatan Analisis Kadar HCN
Sampel W Sampel (g) V NH4CNS (ml) W HCN (mg) Kadar HCN (ppm)
20,0001 1,4 1,8 89,99955
Kulit pete
20,0031 1,4 1,8 89,9681
20,0066 1,2 5,4 269,91
Daun singkong
20,0085 1,3 3,6 179,92
25,0009 0,1 25,2 1007,686
Pete
25,0081 0,3 21,6 863,72
50,00 1,1 7,6 144
Ubi Jalar
50,03 1,5 0 0

Hasil pengamatan (Tabel 1) yaitu rata- sehingga tidak semua HCN yang terkandung
rata kadar HCN pada sampel kulit pete, daun dalam sampel ikut dianalisis.
singkong, pete, dan ubi jalar berturut-turut Kadar sianida pada daging buah ubi
yaitu 89,98%; 224,915%; 935,703%; dan jalar yaitu sebesar 46,38-58,08 mg/kg,
144%. Berdasarkan hasil ini, kadar HCN sedangkan kadar sianida pada bagian kulit ubi
dalam sampel dari yang terbesar hingga jalar yaitu bervariasi antara 63,41-108,96
terkecil yaitu petai, daun singkong, ubi jalar, mg/kg untuk semua varietas (Ubwa, et al.,
dan kulit petai. 2015). Kadar sianida yang didapatkan dari
Kandungan HCN dalam masing- hasil pengamatan ubi jalar (Tabel 2) jika
masing bagian tanaman singkong berlainan, dikonversi menjadi 152 mg/kg. Hal ini berarti
dan bagian kulit umbi mengandung HCN lebih kadar sianida hasil analisis lebih besar
tinggi dibandingkan dengan bagian daunnya. daripada yang seharusnya. Hal ini
Biasanya kandungan sianida pada daun muda diperkirakan terjadi karena pengambilan
lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua sampel yang dilakukan yaitu pada bagian kulit
(Heyne, 1987). Kandungan sianida pada daun buah dan daging buah sehingga kadar
singkong muda berkisar antara 560-620 ppm, sianidanya akan bertambah. Hal ini diperkuat
dan daun tua antara 400-530 ppm (Sutrisno dengan penelitian yang dilakukan oleh
dan Keman, 1981). Hal ini berarti bahwa Bokanga (2001) yaitu kulit umbi mengandung
kandungan sianida dalam sampel yang sianida 5-10 kali lebih tinggi dari yang
dianalisis jauh lebih kecil daripada yang terdapat pada umbi.
seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor seperti sampel yang digunakan KESIMPULAN
telah disimpan terlalu lama sehingga sianida
yang bersifat volatil sudah hilang dari sampel Hasil pengamatan rata-rata kadar
dan tidak ikut terhitung dalam analisis kadar. protein dari sampel susu bubuk dan tepung
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang hanjeli yaitu 11,2537% dan 15%. Kadar
dilakukan oleh Ravindran et al. (1987), yang protein dari sampel susu bubuk lebih rendah
menunjukkan bahwa kadar sianida dalam daun daripada kadar protein pada sampel tepung
singkong segar berkurang 90% setelah hanjeli. Rata-rata kadar HCN pada sampel
disimpan selama 3 hari. kulit pete, daun singkong, pete, dan ubi jalar
Kadar sianida pada petai yaitu sebesar berturut-turut yaitu 89,98%; 224,915%;
17,3 mg dalam 100 g (Gernah, et al., 2007). 935,703%; dan 144%.
Kadar sianida yang didapatkan dari hasil
pengamatan (Tabel 2) lebih kecil jika DAFTAR PUSTAKA
dibandingkan dengan yang seharusnya. Hal ini
diduga terjadi akibat rangkaian alat destilasi Adawyah. R. 2007. Pengolahan Dan
yang digunakan tidak kedap sehingga HCN Pengawetan Ikan. PT Bumi Aksara,
yang berwujud gas keluar dari rangkaian alat Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01- Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1996.
2970-2006. Susu Bubuk. Badan Analisa Bahan Makanan dan
Standardisasi Nasional, Jakarta. Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Bokanga, M. 2001. Cassava: Post-Harvest Sukarti, T. 2012. Kimia Analitik, Pengantar


Biodeterioration. International Lengkap Analisa Kimia Bahan. Widya
Institute of Tropical Agriculture Padjadjaran, Jatinangor.
(IITA), Ibadan, Nigeria.
Sutrisno, D. dan S. Keman. 1981. Nilai
Chandan, R. 1997. Dairy-Based Ingredients. Makanan Hijauan Segar Ketela Pohon
Eagen Press, St. Paul. Untuk Ternak Sapid an Kerbau.
Seminar Penelitian Peternakan, Pusat
Day, JR. R.A dan L.A. Underwood. 2001. Penelitian dan Pengembangan
Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Peternakan, Bogor.
Keenam. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wahyuningsih, S. B., dan Haslina. 2011.
Bradbury, J.H. dan W.D. Holloway. 1988. Kajian Degradasi Asam Sianida Pada
Chemistry of Tropical Root Crops: Berbagai Metode Proses Pembuatan
Significance for Nutrition and Tepung Mokaf. Jurnal Agroindustri
Agriculture in the Pacific. Australian Vol 29 (1):7-16.
Centre for International Agricultural
Research, Canberra. Walstra, P., T.J. Geurts, A. Noomen, A.
Jellema, dan M.A.J.S. van Bookel.
Gernah, D.I., M.O. Atolagbe, C.C. Echegwo. 1999. Dairy Technology. Marcell
2007. Nutritional composition of the Dekker, Inc., New York.
African locust bean (Parkia biglobosa)
fruit pulp. Nig. Food J. 25(1): 190- Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.
196. Penerbit Gramedia, Jakarta.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Betguna di Yuniastuti A. 2008. Gizi dan Kesehatan.


Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Litbang Kehutanan, Jakarta.
Zhang, C. 2007. Fundamental of
Isaac, S. dan W. B. Michael. 1995. Handbook Environmental Sampling and
in Reasearch and Evaluation: For Analysis. A John Wiley & Sons, Inc.,
Education and the Behavioral USA.
Sciences. Third edition. CA: Edits,
San Diego.

Khopkar, S.M. 2000. Konsep Dasar Kimia


Analitik. Universitas Indonesia (UI-
Press): Jakarta.

Kuncoro, D.M. dan Saribi, M. 1990. Makanan


Non Beras. Pustaka Dian, Jakarta.

Legowo, A.M., Nurwantoro dan Sutaryo.


2005. Analisis Pangan. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.

Ravindran, V., E. T. Komegay, dan A. S. B.


Rajaguru. 1987. Influence of
Processing Methods and Storage Time
On The Cyanide Potential of Cassava
Leaf Meal. Jurnal Animal Feed
Science Technology Vol 17 (4).

Anda mungkin juga menyukai