Anda di halaman 1dari 86

KISAH ARANG

Dua belah bertubrukan 1 Domu Fidelis

Yang terpisah dipertemukan 8 Fabian Constantine Budiono

Saat takhta menjadi taruhan 13 Naufal Riza Chiaraza'im

Tiap belokan adalah kejutan 21 Emmanuel Bernhardt

Biarlah ada pertarungan 32 Alleandro Al Rido

Agar bangun dari reruntuhan 43 Felix Christian Tedjawidjaja


I. DUA BELAH BERTUBRUKAN

“Mamah bilang kalo aku sekolah dengan rajin gak bakal


kaya kamu!” ujar seorang anak kecil kepada anak lain.
Kulitnya seputih susu murni, rambut pirangnya berkilau
menyerupai emas, dan kearoganannya adalah khas Eropa.
Terbaring berkaca-kaca di tanah ialah anak yang satu lagi dengan
mainan pedang kartonnya yang terbelah dua. Ia harus kuat, ini
bukan pertama kalinya ia direndahkan seperti ini.
“Aku juga sebenarnya ingin sekali sekolah, Bernard,”
balasnya sambil menahan tangisan, suaranya mulai serak dari adu
mulut sepanjang hari, “Tetapi kakekku sendiri belum bisa
menyekolahkanku, apalagi d-” lanjutnya sebelum dipotong
Bernard.
“Cukup!” selanya, “Aku sudah malas mendengar omong
kosong panjangmu, Arang.”
Lutut Arang terluka, lumpur menyelimuti setiap
permukaan kulit Arang dari pinggul ke bawah.
Bernard mengolok-olok Arang lagi, “Arang hitam makin
hitam saja, hahahaha!” Arang mau membalas omongan Bernard.
Namun, karena emosinya yang sedang campur aduk, ia gagal
menemukan kata-kata.
Bernard hanya tertawa saja, “Hahah, kebiasaan.”

1
Daun telinga Kakek Arang menangkap adegan
perselisihan anak-anak ini dan mendatangi mereka untuk
mengintervensi. Ia bergegas menuju cucunya lalu
mengangkatnya dari tanah dan kerikil sambil membersihkan
celananya yang kotor.
“Kamu tidak apa-apa, Arang?” tanyanya sambil
membantu Arang kembali berdiri tegak dari rumput.
Arang hanya mengangguk sebelum bersembunyi di balik
kaki kakeknya, matanya menatap Bernard melalui sela-sela paha
kakeknya.
“Jangan menghiraukan orang yang hanya ingin
menjatuhkanmu,” saran Kakek Arang.
Kakek Bernard yang sedang beristirahat tidak jauh dari
mereka menyadari perkumpulan tiga orang ini. Heran dengan
keributan yang sedang terjadi, ia datang menunggangi kudanya
sambil menggiring kuda yang lebih kecil.
Sepatu mewahnya asli buatan Italia, kilap logam jam
tangannya dapat membutakan seseorang, dan logo perusahaan
terkenal Von Hoffen di dadanya ia kenakan dengan penuh
bangga. Semua orang di kerajaan tahu bahwa kemanapun ia
pergi, selalu ada aura tidak enak mengikutinya.
Ia turun dari kendaraannya dengan ekspresi siap
menghakimi.
“Sedang apa dua bocah ini?” tanyanya.
2
“Cucumu menghina Arang kecilku, Von Hoffen, tolong
buat dia minta maaf,” pinta Kakek Arang kepada Kakek Bernard.
“Oh,” tanggap Kakek Bernard, “Ternyata genetik lemah
Arang datang dari kakeknya,” lanjutnya, “Mereka hanya anak-
anak, biarin mereka bermain-main sendiri lah. Kalo kau bantu
terus kapan cucumu ini bisa kuat sendiri?”
Kakek Arang diam saja tidak menanggapi, tetapi ia tahu
memang Arang kadang-kadang tidak bisa melindungi diri sendiri.
Kakek Bernard menggelengkan kepala sebelum
mengangkat cucunya ke atas pelana kudanya.
“Kalau kudamu di mana Arang? Lagi dimandiin? Atau
mungkin lagi di salon? Hahaha…” tanya Bernard kepada Arang
selagi membelai rambut kudanya yang cantik.
“Bernard!” tegur Kakek Bernard kepada cucunya, “Badan
tegak dan naikan dagumu saat berbicara dengan mereka, jangan
tempatkan dirimu di strata yang sama dengan mereka!”
Bernard membenarkan posturnya dan merapikan bajunya.
Kakeknya adalah idolanya, semua perintahnya ia lakukan tanpa
tanya atau ragu.
“Selamat jalan kaki pulang, Arang. Gapapa ya sekalian
olahraga, sehat kok,” sindir Bernard untuk kedua kalinya sebelum
bergerak pulang di atas tunggangannya.
Ketawa lantang Bernard menggema di setiap sudut
kerajaan. Darah Arang mendidih bergelembung mendengarnya.
3
Ia mengepalkan tangan dengan penuh amarah, ingin sekali
membalas kekejaman Bernard. Kakek Arang memegang bahu
cucunya, mengingatkan dia untuk tetap tenang dan jangan
terpengaruh omongan siapa pun.
“Membalas tidak ada gunanya, Arang.”
Kakek Arang membesarkan Arang sejak kedatangannya
di dunia. Mereka adalah keluarga sederhana yang tidak punya
banyak. Arang dan kakeknya sudah melewati seribu macam
cobaan, tetapi nasib masih memenjarakan mereka dalam kondisi
memprihatinkan ini. Meski begitu, satu pesan yang Kakek Arang
selalu mencoba tanamkan di Arang adalah untuk selalu menjadi
orang baik. Tak peduli berapa kali ia terjatuh, ia harus bangkit
kembali dengan cara yang adil dan terhormat.
Matahari mulai menyembunyikan diri, angin sore
berhembus kencang meniup ke arah rumah Arang di pinggir
pantai.
“Sebaiknya kita segera pulang, Arang,” ajak Kakek
Arang, “Di rumah kamu bisa beristirahat lalu besok kita bisa buat
pedang baru.”
Sepanjang perjalanan pulang, Arang tidak memiliki
ekspresi selain murung. Caci maki dari para Von Hoffen jelas
sudah menusuk dalam jiwa Arang. Kakek Arang melihat dari
tampang Arang bahwa sesuatu pasti mengganjal di pikirannya.

4
“Sudahlah Arang, tidak ada yang benar dari omongan
mereka, palingan hanya omongan Bernard tentang sehatnya jalan
kaki,” ucap Kakek Arang, mencoba menghibur Arang dengan
sebuah candaan ringan.
“Apa maksud kakeknya Bernard saat ia bilang genetik
lemahku adalah turunan dari Kakek?” tanya Arang, tidak
mengekspektasikan jawaban yang memuaskan.
Kakek Arang mengingatkan saja untuk tidak
mendengarkan saat orang lain mencoba menjatuhkan kita.
“Itu hanya hinaan saja, Arang,” jawab Kakek Arang,
“Sifat seperti itu tidak bisa turun dari gen, melainkan dari Kakek
yang sudah membesarkan Arang untuk menjadi lemah lembut.
Percaya pada Kakek, Kakek membekalkan Arang dengan sifat-
sifat positif akan membangun karakter yang kuat untuk Arang. Itu
lebih berharga dibanding kekuasaan dan kekayaan keluarga Von
Hoffen.”
Kakek Arang ini memang penuh kebijaksanaan bagai kue
keberuntungan dengan sebuah kertas berisi motivasi di dalamnya.
Arang pun, meski terkadang bosan dengan yang diucapkan
kakeknya, memahami bahwa ini adalah pesan-pesan yang bisa
membantunya di kemudian hari.
Arang dan kakeknya duduk di sebuah batu di pinggir
pantai untuk berhenti sejenak, sekalian membasuh kaki Arang
yang terkena lumpur.
5
Masih sedikit iri dengan kehidupan yang dimiliki
Bernard, Arang bertanya, “Kita uangnya memang tidak cukup
untuk beli kuda ya? Yang pendek juga tidak apa-apa kok, Kek.”
Kakek Arang ketawa saja, “Haha, Arang kecilku lucu
sekali,” menganggap cucunya hanya bergurau.
Ia melanjutkan mencuci kaki Arang sambil menambah,
“Memang hidup Von Hoffen terlihat tentram dinafkahi
perusahaan yang sukses, tetapi kesuksesan mereka itu datang dari
keserakahan.”
Kakek Arang menceritakan pengalamannya saat masih
muda, “Dulu, saat Kakek masih muda dan penuh semangat,
Kakek menyaksikan sendiri semua upaya Kakek Bernard untuk
membesarkan perusahaan Von Hoffen: ia membakar hutan,
menghancurkan lahan pertanian, meracuni danau, dan
membangkrutkan usaha-usaha kecil. Ingat sekali kakek, dulu
semua orang di desa memberi dia julukan Lintah Eropa.”
Kakek Arang terus menceritakan panjang lebar mengenai
bahayanya mengincar kekuasaan dan kekuatan.
“Saat orang mendapat kekuatan, mereka rawan
melupakan moral, Arang. Kita sudah bukan manusia lagi di mata
Von Hoffen. Kakek tidak mau kamu seperti itu.”
Omongan-omongan Kakek Arang lumayan berbobot dan
belum bisa sepenuhnya masuk ke otak muda Arang yang masih

6
polos, tetapi Arang mengangguk setuju saja, memahami bahwa
inti dari ceritanya adalah keegoisan keluarga Von Hoffen.
Kakek Arang menjelaskan lebih lanjut kekecewaannya
dengan keluarga Von Hoffen, “Sebenarnya, Kakek kasihan
dengan Bernard, ia tidak punya sosok baik yang bisa ditiru,
keluarga Von Hoffen bukanlah orang-orang yang paling patut
diteladani.”
Sebelum kembali berjalan, Kakek Arang menambah,
“Mungkin Bernard belajar mengolok-ngolok dari kakeknya,
haha…”
Arang tahu kakeknya sedang mencoba menghapus
kedengkian di hatinya, tetapi ia masih kurang puas dengan
jawaban kakeknya.
“Setidaknya Bernard punya banyak sosok dalam
hidupnya, aku hanya punya kakek, tanpa ayah atau ibu,” kata
Arang sambil menyilangkan tangannya, “Nanti saat Kakek sudah
tidak ada aku akan hidup sebatang kara, siapa lagi yang bisa
membantuku saat aku dijatuhkan?”
Kakek mengerti kecemasan Arang, ia pasti merasa akan
sering dimanfaatkan, dimainkan, dan dikorbankan orang tanpa
perlindungan kakeknya.
“Menjadi orang baik bukan berarti menjadi orang yang
lemah. Kamu nanti harus menjadi warga kerajaan yang kuat,”
jawab Kakek Arang, “Tidak bisa kamu selalu mengandalkan
7
orang. Beberapa akan menggunakan kamu untuk keperluan
sendiri, beberapa akan mengkhianatimu, dan beberapa akan
meninggalkan kamu suatu hari saat situasi menyulitkan. Kakek
tidak mau Arang menjadi korban orang-orang seperti ini.”
Arang merenungi jawaban dari kakeknya, tetapi masih
terlihat ada bercak-bercak keheranan di matanya.
“Kamu masih ada pertanyaan, Arang? Kamu bisa tanya
apa saja kepada Kakek,” kata Kakek Arang, ingin menenangkan
cucunya.
Arang terlihat bimbang mengajukan pertanyaannya, tetapi
penasarannya mengalahkan rasa ragunya, “Dulu Kakek cerita
Ayah orang yang sangat baik, lalu mengapa ia meninggalkan kita
di situasi sulit?”
Kakek Arang sedikit terkejut dengan pertanyaan Arang.
Saking lamanya, ia sudah lupa kapan terakhir kali Arang
mengungkit-ungkit tentang ayahnya. Kakek Arang merasa
cucunya tidak perlu tahu terlalu banyak tentang ayahnya, tetapi
secara bersamaan ia juga merasa Arang memiliki hak untuk tahu
semua yang ia ingin ketahui tentang ayahnya.
Kakek Arang mengambil nafas dalam sebelum menjawab
cucunya.
“Dulu, ayahmu adalah orang paling luar biasa yang Kakek
kenal,” ucapnya, memandang langit sore selagi mengenang anak
tunggalnya itu.
8
“Sejak kecil ia adalah anak yang sangat rajin, sangat
cerdas, sangat kuat, dan sangat berani,” lanjutnya.
“Ia juga selalu mendahulukan keluarganya. Itulah
karakter yang membuat ibumu pertama kali jatuh hati kepada
ayahmu,” tambah Kakek Arang.
Arang juga tidak terlalu kenal dengan ibunya yang tidak
sempat membesarkan dirinya.
“Saat mamah gugur melahirkanku, apakah Ayah sedang
menemani dia?” tanya Arang, penasaran dengan hubungan antara
ayah dan almarhumah ibunya yang meninggal sebelum bisa
menggendong bayinya sendiri.
“Ayahmu menyertai ibumu sampai akhir, Arang, ia sangat
mencintai ibumu,” jawab Kakek Arang.
“Pesan terakhir ibumu kepadanya adalah untuk
mengurusmu sampai besar dan sukses,” lanjutnya dengan
tampang yang sangat kecewa, mengingat-ingat lagi hari terakhir
ia bertemu dengan anaknya.
“Makanya Kakek sangat sangat sangat kaget saat dia
kabur dari keluarganya, meninggalkan Kakek untuk mengurusmu
seorang diri, apakah dia bosan jadi petani? Meninggalkan kita
untuk menjadi seorang pengusaha besar?” ucapnya dengan kesal.
Kakek Arang terlihat sedikit marah perlu membicarakan
anaknya yang melarikan diri dari tanggung jawab sebagai ayah,

9
tetapi ia cepat menenangkan kembali diri sendiri. Kakek Arang
mengambil nafas dalam lagi, memenuhi kapasitas paru-parunya.
“Tetapi seandainya suatu hari nanti Kakek bisa bertemu
lagi dengan ayahmu, Kakek hanya ingin tahu setan apa yang
merasuki anakku yang sangat baik dan sangat berani ini hingga ia
meninggalkan keluarganya di situasi sulit. Itu… itu sangat tidak
seperti dia,” katanya.
Melihat ekspresi kakeknya yang sangat terbebani dengan
masa lalu ini, Arang merasa bersalah sudah bertanya tentang
ayahnya, ia berjinjit memeluk kakeknya di bagian perut.
“Sudahlah Arang, kamu tidak perlu memikirkannya lagi,
ingat saja untuk selalu setia kepada orang-orang baik di hidupmu,
terutama keluarga,” tutup Kakek Arang sambil mengelus
cucunya.

Setiba di rumah, Arang berada dalam kondisi yang sudah


sangat lelah. Kelopak matanya sedang berusaha sekuat tenaga
melawan gravitasi. Kakeknya menggotong Arang masuk dan
memerintahkannya untuk segera tidur.
“Malam ini kamu tidak perlu ikut Kakek memancing ya,
biar Kakek sendiri dulu hari ini.”

10
Arang, meski sudah capek, memohon Kakek untuk ikut
menemani memancing. Memancing bersama adalah kegiatan
favorit Arang bersama kakeknya. Mereka sering bercanda, tebak-
tebakan, dan sebagainya hingga tengah malam.
“Nanti kamu sakit Arang, lalu harus Kakek yang
mengurusmu… Kamu di rumah saja ya, jangan buka pintu kalau
ada orang yang kamu tidak kenal,” kata Kakek Arang, menolak
permintaan cucunya dengan halus.
Kakek Arang menyelimuti Arang yang sudah hanya
separuh sadar sambil memberikannya janji, “Nanti Kakek
bawakan ikan yang beeesar dan eeenak khusus untuk Arang ya.”
Arang, dalam kondisi hanya beberapa detik sebelum
ketiduran, membalasnya dengan senyuman manis kecil.
“Nanti kamu saat sudah besar jadi orang yang baik dan
berguna ya, Arang. Jadilah dampak positif bagi orang-orang di
sekitarmu, nak. Terus berusaha sampai sukses agar ibumu
bangga,” ucap Kakek Arang sambil mengelus kepala cucu
tersayangnya sebelum ia jatuh terlelap ke dalam dunia mimpi.
Kakek Arang mengecup dahi cucunya sebelum
meninggalkan rumahnya menuju perahu nelayan kecilnya.
Semua tenaga yang tersisa di dalamnya akan ia gunakan untuk
mendapatkan ikan besar untuk sarapan cucunya besok. Ia
menyadari ini merupakan hari yang lumayan berat untuk Arang.

11
Selagi mempersiapkan pancingan dan alat-alat lainnya, di
dalam hati, Kakek Arang berharap setulus-tulusnya agar semua
pesan yang disampaikannya kepada Arang di perjalanan pulang
tadi bisa melekat dan mendarah-daging sampai besar nanti.
Semoga cucunya bisa selalu berpedoman kepada prinsip-prinsip
yang ditanamkan Kakek Arang; kapan pun, di mana pun, sebagai
apa pun.

12
II. YANG TERPISAH
DIPERTEMUKAN

Dua belas tahun telah berlalu, Arang yang dulu hanya


seorang remaja yang penuh semangat, kini telah berkembang
menjadi dewasa yang tangguh. Nasib membawanya ke sebuah
istana megah, di mana ia bekerja sebagai tukang kebun dengan
merawat bunga dan tanaman di kebun istana raja yang sangat luas
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Saat itu, kerajaan
tersebut sudah mencapai masa puncak kejayaanya.
Sayangnya, masa kesejahteraan tersebut tidak
berlangsung selamanya. Kerajaan yang tadinya makmur dan
damai mulai bermunculan gerakan-gerakan radikal dan separatis
di antara warga kerajaan. Seperti sebuah petir yang menyambar,
perpecahan menyebar cepat, membelah kerajaan menjadi dua
kubu.
Sebuah badai perang saudara pun meletus, memecah
kedamaian selama empat puluh hari dan empat puluh malam
tanpa berhenti. Warga dari segala kelas sosial, dari kerusuhan
antara pelayan restoran hingga peperangan bersenjata antara
batalyon prajurit yang gagah perkasa. Dalam kehancuran itu,
Arang menemukan panggilan hatinya untuk kembali ke desa
untuk menengok kakeknya dan tinggal di sana sampai perang
13
mereda. Ia merindukan rumah masa kecilnya, merindukan kakek
yang selalu memberi nasihat di samping api unggun.
“Heh, bengeut sia siga kerupuk,” ujar anak desa sambil
menunjuk jarinya terhadap muka Arang.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, Arang menyadari
bahwa ia telah pulang. Pulang ke tempat yang penuh kenangan
masa kecilnya, meski suasana berubah, jiwa toksik desanya masih
tetap ada. Dalam pelukan desa, Arang menemukan kedamaian
yang telah hilang selama empat puluh hari dan empat puluh
malam dalam kerajaan.
Dengan penuh sukarela, Arang segera menjumpai rumah
kakeknya, ia juga tidak lupa untuk membawa oleh-oleh yang ia
beli dari kerajaan.
Tidak lama kemudian, ia sampai di depan pintu rumah
kakeknya. Dengan penuh semangat, ia mengetuk pintu tersebut
berkali-kali sambil memanggil nama kakeknya, tetapi setelah
sekian lama, ia mulai merasa khawatir karena ia tidak mendengar
tanggapan atau sapaan apapun.
Secara tiba-tiba, seorang wanita menjumpainya dengan
wajah cemas dan menyatakan bahwa Kakek Arang baru saja
pingsan tertabrak kuda dan sekarang berada di rumah sakit. Arang
segera meninggalkan tas oleh-olehnya dan lari menuju rumah
sakit untuk melihat kondisi kakeknya.

14
Sesampainya di rumah sakit, pandangan yang
dihadapinya mengguncangkan hatinya. Kakeknya, yang begitu
kuat dan bijaksana, kini berada di ambang kematian. Arang
segera menghampiri tempat tidur kakeknya dan memeluk
kakeknya dengan erat. Namun, pada momen yang penuh emosi
tersebut, seorang dokter mendekatinya dan menepuk bahunya, ia
berbalik badan dan melihat dokter tersebut yang tampak
khawatir.
“Pak, kakek Anda harus segera dioperasi, tetapi kakek
Anda tidak mampu untuk membayarnya," ujar dokter dengan
serius.
Arang yang tegar tanpa ragu menjawab, “Jangan khawatir
kek, aku bisa membayarnya. Kakek telah mengajari aku banyak
hal dan selalu menemani aku.”
“Tidak perlu nak,” ujar kakek dengan suara serak, “Kakek
sudah tua dan miskin. Ingat nak, kamu punya masa depan yang
sangat cerah, tetapi kamu perlu bekerja keras untuk mencapai
impianmu.”
Arang mencoba untuk menahan air matanya, berjanji
kepada kakeknya, “Saya tahu, Kek. Saya akan bekerja lebih keras
dan membuat Kakek bangga.” Beberapa menit kemudian, Kakek
Arang menghembuskan nafas terakhirnya. Kamar tersebut
15
menjadi hening dan rasa kehilangan menenggelamkan hati
Arang. Beberapa hari kemudian, kakek Arang pun dikremasi.

Setelah konflik mereda dan perang saudara berakhir,


Arang mulai bekerja lagi di istana Raja, tetapi kali ini ia telah
berjanji untuk bekerja lebih keras kepada kakek. Dengan itu, ia
mulai bekerja dari pagi hingga malam, ia bahkan menolak teman-
temannya saat diajak berpesta. Meskipun kehilangan yang sangat
mendalam, Arang tetap melangkah maju dengan motivasi dan
tekad yang membara di dalamnya.
Delapan tahun telah berlalu sejak Arang kehilangan kakek
tercinta, dalam waktu itu ia terus memanjat tangga kesuksesan di
istana raja. Akhirnya, hasil dari semua kerja kerasnya terbayar
dan ia pun menjadi seorang kepala pelayan raja.
Karena kerajaan masih dalam kondisi yang kurang baik
setelah perang saudara tersebut, Raja ingin memulai kerja sama
dengan perusahaan-perusahaan swasta yang masih hidup di
kerajaanya untuk menstabilkan ekonomi kerajaan. Setelah
serangkaian pengajuan, pertemuan, dan pertimbangan, Raja
memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan suatu perusahaan
keju.

16
Oleh karena itu, Arang, sebagai kepala pelayan raja,
diperintahkan untuk bertemu dengan pemilik perusahaan keju
tersebut. Pertemuan diharapkan dapat membahas rencana kerja
sama yang akan membawa manfaat bagi kedua pihak.
Arang mempersiapkan diri dan mengenakan setelan jas
formal yang mencerminkan keberhasilan jabatannya. Ia
menunggu perwakilan perusahaan keju yang sangat besar itu
sampai ke ruang pertemuan. Saat perwakilan tersebut sampai
ruang pertemuan, Arang segera menatap pria yang berwibawa itu,
maju mendekati meja bundar.
Namun, tanpa diduga, pertemuan itu membawa Arang
pada kenangan masa kecil yang kurang menyenangkan. Arang
mulai menyadari bahwa pemilik perusahaan keju tersebut adalah
sosok yang pernah menjadi bully di masa kecil Arang, yaitu
Bernard Von Hoffen.
Bernard, belum menyadari juga dengan siapa ia sedang
berbicara, tanpa membuang waktu langsung membahas rencana
Raja memberi perusahaan keju tersebut dana sumbangan jika ia
dapat meminjamkan lima budak-budak terunggul mereka.
“Apa? Apakah Raja benar-benar menyetujui penawaran
tersebut?” seru Arang.
Setelah mengenali dengan siapa ia sedang berbicara,
senyuman licik mulai melintasi wajah Bernard.

17
“Kau belum berubah Arang, kau masih tikus tanah
cemong yang aku kenal dahulu!” ejek Bernard dengan nada
sombong, “Sepertinya menjadi kepala pembantu di istana ini
dapat menguntungkan perusahaanku. Saya akan menggantikan
pekerjaan kau, Arang.”
“Sudah Bernard, kita lebih baik berdiskusi tentang
logistik dan kelang–” kata Arang sebelum ucapan tersebut
dipotong Bernard.
“Diam kau pecundang, lima belas tahun ini kamu hanya
jadi semakin hitam aja! Hampir sehitam budak-budakku di sana!”
hina Bernard.
“Cukup sudah!” terdengar suara tegas Raja yang tiba-tiba
memasuki ruangan setelah mendengarkan percakapan tersebut.
“A-ada apa yang mulia?” jawab Arang dengan hormat.
Raja meneguk, dan dengan ekspresi tajam ia berkata,
“Saya memiliki pengumuman penting yang akan mengubah
kerajaan ini selamanya. Seperti yang kalian ketahui saya sendiri
tidak memiliki anak. Maka dari itu, sebagai dua orang yang saya
paling percayai, salah satu dari kalian akan kuangkat menjadi
penerus saya – menjadi raja seluruh tanah air ini.”
Arang merasa detak jantungnya semakin cepat setiap
detiknya, sedangkan Bernard masih menyimpan senyum
kesombongan di wajahnya.
“Namun dengan SATU syarat!” ujar Raja lagi.
18
Pikiran Bernard langsung dipenuhi oleh kebingungan dan
ia bertanya, “Apakah raja mengacu pada rencana kami untuk
bertukar dana kerajaan untuk budak-budak dari perusahaan
saya?”
Raja tersenyum, menciptakan suasana misteri di antara
mereka.
“Bukan nak, saya hanya ingin kalian untuk
menghancurkan sebuah pabrik,” ujarnya.
“Yang mulia, saya dapat menggunakan pasukan istana
untuk misi tersebut, Anda tidak perlu mengorbankan kedudukan
Anda untuk hal tersebut," ucap Arang sebagai kepala pembantu
yang prihatin.
“Jadi katakan padaku lagi, delapan tahun setelah perang
saudara itu, berapa prajurit yang masih berada di kerajaan
sekarang?” tanya Raja.
“Dua belas yang mulia,” dengan nada kecewa Arang
melanjutkan, “Tetapi mereka semua sudah tua dan renta.”
“Ya nak, saya juga sudah tua dan renta, di atas itu
sekarang saya sudah sering sakit, oleh karena itu, salah satu dari
kalian yang dapat menghancurkan pabrik Don Cabe minggu ini
akan segera mengenakan mahkota ini!” ucapnya sambil
mengangkat mahkota emasnya yang dihiasi berbagai macam
berlian langka.

19
“Wkwkwkwk… saya adalah orang yang hartanya
berlimpah. Akan saya panggil seratus pekerja saya dengan
peralatan berat. Beri saya satu malam, dan saya akan memastikan
pabrik cabe tersebut runtuh ke tanah!” Bernard menjawab dengan
percaya diri.

20
III. SAAT TAKHTA MENJADI
TARUHAN

Keringat menetes dari dahi Arang, jantungnya berdetak


kencang sembari ia berlari. Kesempatan untuk kehidupan yang
lebih baik, harapan untuk hidup yang pantas, semua itu sekarang
ada dalam jangkauan tangan. Tetapi sebuah nada menjengkelkan
yang terlalu akrab membangunkan Arang dari lamunannya.
“Arang oh Arang, kenapa sangat tergesa-gesa? Jangan-
jangan kamu ini ingin ikut memperebutkan takhta.”
Bernard berjalan mendekati Arang, senyumnya
menyembunyikan lidah yang amat berbisa.
“Iya Bernard, akan aku ikut perebutkan takhta Raja!”
Arang membalas, nadanya tegas dan pasti.
Bernard terdiam sementara sebelum senyumnya berubah
menjadi tawa, “Lucu sekali kau Arang, memang kamu tidak
pernah berubah.”
Bernard pun mulai mengitari Arang, lirikan arogannya
mengkontras kuat dengan jalan anggunnya.
“Kalaupun kamu nekat ingin memperebutkan takhta, apa
yang kamu bisa lakukan? Pabrik Don Cabe harus kamu
hancurkan seorang diri, meninjau kekayaanmu yang amat sangat

21
luar biasa, hanya satu prajurit saja pun akan langsung angkat kaki
dengan pandangan sekilas dari dompetmu,” ujar Bernard.
Arang pun sempat mau membalas sebelum disela.
“Dan itu pun kalau kamu berhasil sampai ke Pulau Don
Cabe, harga satu ban karet pun bisa mencukupi kebutuhan
makanmu untuk satu bulan!” sela Bernard.
Arang hanya bisa terdiam.
Bernard pun tersenyum alangkah pemangsa yang sudah
puas melahap mangsanya. Bernard pun berbalik badan sebelum
pergi menjauhi Arang, bibirnya menyeringai. Tetapi satu langkah
sebelum melewati mulut ruangan, Bernard berhenti sebelum
melirik ke belakang.
“Jangan kau berani menghalangi jalanku,” kata Bernard
dengan nada busuk sebelum meninggalkan Arang untuk menjilat
lukanya.
“Dasar si Benard itu! Kalau saja mulutnya terjahit
ketat!” terpikirkan oleh Arang, rasa kesal luar biasa membara
dalam hatinya.
Tetapi sesusah apapun Arang mencoba menolak, Arang
tidak bisa menyangkal bahwa Bernard memang benar, apa yang
ia bisa lakukan? Uang merupakan konsep yang hampir asing buat
Arang, dan bahkan walaupun Arang bisa membayar beberapa
prajurit ataupun menyewa sebuah kapal, kekuatan yang Arang

22
bisa kumpulkan tidak akan ada apa-apanya dibanding kekuatan
yang bisa dimiliki oleh Bernard.
Rasa kesal pun sudah tak tertahankan oleh Arang dan ia
pun menendang dinding di sebelahnya. Dinding tersebut pun
langsung roboh, dan untuk sesaat Arang merasa takut karena
sudah merusak properti kerajaan, sebelum rasa takut itu berubah
menjadi kaget. Di belakang dinding usang tersebut tersembunyi
lorong gelap gulita, cahaya sang raja siang hanya bisa menerangi
mulut lorong yang tertutupi jaring-jaring halus laba-laba.
Rasa takut dan kaget pun berubah menjadi rasa penasaran
yang amat kuat, Arang pun dengan segan memasuki lorong
tersebut. Kayu usang dan barang-barang antik berserakan di tiap
sudut, tak satupun inci dari lorong tersebut selamat dari
cengkraman waktu.
Arang pun terus berjalan menyusuri lika-liku lorong
tersebut, sebelum sesuatu menangkap perhatianya. Di ujung
lorong terdiri vas yang amatlah indah, corak-corak hitam yang
menggambarkan kehidupan kuno menyelimuti emas murni vas
tersebut. Kalau dijual, vas itu pasti bisa menghidupi seseorang
sampai cucu buyutnya, tetapi Arang mengetahui bahwa mencuri
itu merupakan tindakan dosa.
Walaupun begitu, rasa aneh tumbuh didalam hati Arang.
Walaupun ia tidak ingin mencuri, ada rasa tak tertahankan untuk
membelai vas tersebut, dan seperti ngengat ke api, Arang pun
23
mendekati vas tersebut. Dalam detik yang sama jarinya
bersentuhan dengan emas vas, keluar dari bibir vas ledakan asap
merah yang menyelimuti seluruh ruangan.
“BENI SERBEST BIRAKAN, BIR JIN'IN GÜCÜNE
SAHIP OLACAK.”
Suara menggelegar meledak didalam lorong tersebut.
Arang yang terperosok jatuh dari ledakan itu hanya bisa melihat
dengan rasa takut dan tercengang. Walaupun begitu, secara
perlahan rasa takut Arang berubah menjadi rasa ingin tahu, dan
mengumpulkan keberaniannya Arang yang masih terbaring di
tanah akhirnya mengeluarkan suara mungil dari mulutnya
“...A-apa?” tanya Arang dengan gugup.
“Hmm…huh.”
Suara mengintimidasi tersebut berubah menjadi suara
yang cukup resah sebelum semua asap tersebut dengan cepat
menipis, memperlihatkan bentuk manusia bergigi tajam menatap
langsung ke Arang.
“Dari Konstantinopel ke gudang usang ini…
menyedihkan…” ujar Jin dengan nada tidak terkesan.
Arang yang kaget dengan sosok rupa jin hanya bisa
membalas dengan gugup.
“Uh… halo,” ucap Arang sedikit merinding.

24
“Jadi kaulah majikanku ini, maafkan saya tapi saya tidak
melihat Anda tadi. Ruangan usang gelap ini menutupi rupa Anda
yang menawan,” ujar Jin.
Arang yang merasa sedikit tersindir menjawab kembali
dengan nada sedikit kesal, “Baiklah… apakah sebenarnya kau
ini?”
Mata Jin pun membelongo sebelum menepuk wajahnya
dengan kecewa.
“Aduh majikan kok bodo-bodo amat sih?” dilamun Jin.
“Apa?” tanya Arang kembali, alisnya mengkerut.
“Ahh, mohon berbicara, tuan majikan. Saya adalah JIN!
Dan untuk Tuan, kurelakan kekuatan luar biasa milikku!” seru
Jin, asap merah dan biru mulai berputar kuat diatasnya.
“Kekuatan luar biasa?” Arang bertanya, pupil matanya
membesar melihat asap bergelimang mengelilingi ruangan.
“Apapun yang Tuan inginkan… Ya, tidak semua…”
Arang pun bingung dengan jawaban tersebut, tetapi
sebelum ia bisa bertanya, Jin pun langsung terbang menuju
vasnya sebelum membaca salah satu dari ratusan inskripsi yang
tertera di dinding emas vas.
“Hmmm… Oh ini dia! Jin™ bukan merupakan
JinPengabulPermintaan™ dan dengan demikian kekuatan yang
bisa diharapkan hanya terbatas pada pertempuran, pengetahuan

25
tidak mahatahu, dan pemeliharaan rumah,” ucap Jin dengan
cepat.
Arang hanya bisa mengelongo sebelum Jin kembali
berucap.
“Jadi apakah yang diinginkan Tuan untuk sekarang? Bala
tentara untuk kudeta, pengetahuan peradaban yang sudah lampau,
atau kasur dengan selimut terlipat rapi?” tanya Jin dengan
senyuman lebar.
“...S..sebentar dulu… Aduh apa-apaan ini… Jangan-
jangan Bernard meracuni minuman saya tadi…” ucap Arang
dengan nada sedikit khawatir.
“Diracuni… Di mana Bernard ini Tuan?” Jin bertanya,
matanya menyipit dan rasa tak enak terasa di seluruh ruangan.
“S..seharusnya dia sudah sampai ke pelabuh-”
Dengan cepat Jin mengangkat Arang dan terbang menuju
pelabuhan, asap keunguan mewarnai jejak terbangnya.

Ledakan asap bisa terlihat di alun-alun dermaga, lintasan


ungu berubah menjadi merah dengan semburat warna oranye.
“Baiklah Tuan, di mana manusia bengis bernama Bernard
itu?” tanya Jin.

26
Arang yang terbaring di sebelah Jin hanya bisa menatap
bingung sebelum akhirnya mendesah dan membalas kepada Jin.
“I-itu, kapal besar hijau,” ucap Arang sambil menunjuk ke
arah sebuah kapal besar.
Kapal itu mengapung megah di pelabuhan, kayu dicat
hijau tua dihiasi dengan ornamen emas asli menarik tiap mata
semua orang yang datang ke pelabuhan. Dek kapal Bernard juga
terpenuhi dengan prajurit-prajurit yang wara-wiri alangkah semut
dan bagaikan penjelajah Eropa masa lampau, berdirilah Bernard
di bagian kemudi, wajah arogan dan rambut pirang terang
menciptakan sosok anggun tetapi menjengkelkan.
“Mungkinkah saya seharusnya bekerja untuknya? Apa
mungkin vas saya tertukar?” lamun Jin setelah melihat sosok
Bernard dan pasukannya.
Arang langsung memelototi Jin, keningnya ia kerutkan.
“M-maksudku Tuan, akan kuhancurkan kapalnya sampai satu
debu kayu pun tak tersisa!” seru Jin, giginya nampak menajam
dan tangannya membesar sampai bayangannya menutupi Arang.
“Eh! Apa yang akan kamu lakukan Jin?” Arang bertanya,
keringat langsung menetes dari dahinya.
“Ya menghancurkan kapal musuh Anda, Tuan. Bukannya
Anda menginginkan ini?” Jin bertanya.

27
Tangan raksasa yang bisa menembus dinding kastil
dikepal oleh Jin, siap menghancurkan apapun yang tuannya
inginkan.
“T-tidak! Jangan lakukan itu!” perintah Arang, keringat
membasuh mukanya.
“Huh… baiklah Tuan,” desah Jin, tangannya kembali ke
ukuran semula dan giginya menumpul.
Untuk sementara suasana menjadi hening sebelum
akhirnya Jin memecahkan keheningan.
“Mohon bicara Tuan… Tetapi apakah sebenarnya
keinginan Tuan?” Jin bertanya, kepalanya ia turunkan tepat di
depan muka Arang.
Arang pun terdiam sementara sebelum akhirnya
menjawab, “Yang aku inginkan… adalah untuk berhasil
memperebutkan takhta Raja!”
Mukanya menunjukan keinginan dan semangat yang
membara.
“Apakah Tuan ingin saya merebut takhta untuk Tuan?”
ditanya Jin, matanya memerah dan suasana menjadi menekan.
“T-tidak! Jangan kamu sekali-sekali lakukan itu!” teriak
Arang.
Jin pun menunjukan ekspresi jengkel sebelum kembali
terbang mengitari Arang, sindiran-sindiran kecil bisa terdengar
dilamunkan oleh Jin.
28
“Aduh bagaimana ini, Bernard pasti sudah siap untuk
berlayar dan aku di sini, terpaksa terperangkap dengan mahluk
psikopat yang tak kenal ampun!” pikir Arang sebelum memukul
tanah dan pada akhirnya, Arang hanya bisa berbaring di tanah,
mukanya berubah menjadi lesu.
Arang sempat ingin menyerah sebelum ia tiba-tiba
teringat sesuatu.
“Kamu punya masa depan yang sangat cerah tetapi kamu
perlu bekerja keras untuk mencapai impianmu.”
Arang terbangun, kulitnya menggigil dan bulu kuduk
berdiri. Terasa oleh Arang sosok kakeknya, dan nasihatnya
berbunyi berulang-ulang di kepalanya.
“Iya… IYA! Tak akan aku kecewakan kakek! Tak akan
aku kecewakan diriku sendiri!”
Arang pun berdiri, mukanya terisi ulang penuh dengan
semangat.
“Hmm untuk mengejar Bernard aku perlu kapa… ah!
HEY JIN!” teriak Arang dengan percaya diri.
“Iya Tuan?” dibalas Jin, wajahnya kembali menatap
Arang.
“Bawakan aku sebuah kapal!” seru Arang, mukanya
tampak percaya diri.

29
Jin pun menoleh ke belakang, ke arah sebuah kapal besar.
Ekspresinya berubah menjadi senyuman kejam, taringnya
kembali menajam.
“Tanpa mencuri, menghancurkan, atau meneror
siapapun!” perintah Arang dengan sigap.
Jin pun sedikit mendesah sebelum akhirnya menyelam ke
dalam laut, Arang pun hanya bisa menatap kebingungan sebelum
dari permukaan air meledaklah asap merah kebiruan. Arang
terdorong ke belakang dari ledakan asap, kakinya hampir terlepas
dari lantai kayu pelabuhan.
“Apa-apaan ini?” tanya Arang dengan kaget.
Pupil matanya mengecil dan keringat membanjuri
keningnya, tetapi rasa takut keherenanan berubah menjadi
kekaguman.
Keluar dari awan asap sebuah kapal besar, kayunya sudah
lapuk kehitaman dan tiangnya terpotong satu, tetapi, bagi Arang,
ini sudah lebih dari mencukupi.
“Kutarik untukmu Tuan kapal karam dari kedalaman
lautan. Walau memang bukan yang… termegah… tetapi sebisa
mungkin keinginan Tuan akan kukabulkan,” seru Jin.
Asap merah kebiruan menutupi lubang-lubang kapal
sementara Jin terbang ke belakang kapal, tangannya membesar
siap mendorong kapal ke arah Pulau Don Cabe.
“Baiklah Tuan, kapal sudah siap untuk berlayar!”
30
Untuk sejenak, terasa oleh Arang bahwa dunia telah
terhenti, hempasan ombak dan siulan lembut angin digantikan
dengan kesunyian pikiran Arang sebelum rasa yang tak
terbayangkan melonjak dari hati Arang, apakah perasaan ini?
Sudah sangat lama Arang merasa terpuruk oleh beban
dunia. Bagaikan berjalan melewati terowongan tak berujung,
Arang sudah terbiasa melangkah buta melewati lika-liku
kehidupan. Setiap keputusan, setiap pekerjaan, di belakang setiap
bagian dari hidup Arang tertera jejak panjang yang dibercaki
keringat dan darah, tetapi untuk pertama kalinya, gagasan itu
ditantang. Penawaran takhta, mahluk gaib, Arang bisa saja
bersumpah kalau langit sedang tersenyum kepadanya.
Tetapi di balik semua perasaan baru ini, walaupun
dirasakan oleh Arang keinginan untuk hanya melompat-lompat
girang bagaikan anak yang berulang tahun, terasa olehnya rasa
tak percaya.
Semua ini memang mudah… terlalu mudah, Arang pun
menghentikan langkahnya tepat sebelum menginjak tangga
kapal.
“Apakah ada masalah, Tuan?” Jin bertanya,
membangunkan Arang dari rangkaian pemikiranya.
Arang hanya bisa terdiam, kepalanya ditundukan ke
bawah ke arah kayu lapuk tangga kapal. Terasa oleh Arang untuk
memukul dirinya sendiri, kenapa baru sekarang? Kenapa
31
dirasakan olehnya rasa takut ini? Bahkan ketika bintang-bintang
telah sejajar, bahkan setelah semua kemudahan yang telah
diberikan, keinginan untuk menolak terasa oleh Arang.
Tetapi bagaikan penyakit yang kambuh kembali, sebuah
siulan merdu terdengar oleh Arang, menghentikan semua
pikirannya secara tiba-tiba. Dengan cepat diperintahkan Jin oleh
Arang untuk bersembunyi. Arang pun hanya bisa bersiap dan
menggertakkan giginya, sudah lama ia mengenal senandung
merdu yang menipu tersebut.
“Apakah aku mulai menjadi pikun atau apakah ini
kenyataan? Itukah kamu Arang?” diucap Bernard, tangan ditepuk
lambat dan muka tersenyum manis.
“Sungguh-sungguh tak terbayangkan. Kau tahu kan hidup
dengan satu ginjal amat menyulitkan, tidak?” sindir Bernard,
matanya menelusuri tiap bagian kapal Arang.
“Hmm… bukannya sok tau, tetapi mungkin kapal ini
tidak layak berlayar. Ya…apa boleh buat, kemungkinan besar ini
pertama kalinya kamu melihat sebuah kapal selain sekoci
menyedihkan kakekmu.” ucap Bernard, bahunya diangkat.
Pembuluh darah Arang terasa ingin meletup, tangan
dikepal keras sembari menahan keinginannya untuk melumatkan
wajah arogan yang sedang menatap nya.
“Kalau mau, saya kenal beberapa pengusaha tua yang
sangat membutuhkan donor ginjal. Lagipula hidup sebagai orang
32
lumpuh tak akan jauh berbeda dengan hidupmu sekarang”
disindir lagi Arang oleh Bernard, nadanya manis dengan
membawa pesan busuk.
Arang pun sudah tidak bisa menahan kemarahannya.
Ia pun berteriak, “Ku harap kapalmu tenggelam Bernard!”
Tiba-tiba sebuah ledakan bisa terdengar dari kapal
Bernard, menghentikan olok-olok dua musuh bebuyutan tersebut.
“Apa-apaan ini?!” teriak Bernard sebelum berlari ke arah
kapalnya.
“Jin! Apa yang kamu lakukan?!” Arang bertanya marah.
“Aku bocorkan kapal mereka, Tuan. Lagi pula, Tuan
meminta ditenggelamkan kapal mereka tidak?” diucap Jin,
wajahnya tersenyum lebar alangkah sudah puas.
“B-bukan itu yang kumaksud Jin!”
Arang hanya bisa mendesah, menepuk tangan ke wajah
dan mengerutkan kening alangkah kecewa dengan Jin, walaupun
dalam hatinya, Arang merasa kecewa kepada dirinya sendiri.
“Jangan khawatir Tuan, kuyakinkan tidak ada siapapun
yang terluka.” diucap Jin dengan nada meyakinkan.
Arang pun hanya bisa menatap Jin dengan kesal sebelum
akhirnya berbalik dan kembali menghadap ke arah kapalnya.
“Jadi Tuan siap berlayar?” Jin bertanya.
Arang pun terdiam untuk sementara, masih belum terlalu
yakin. Tetapi sebelum Arang bisa kembali dimakan oleh
33
pikirannya sendiri, terlihat olehnya sekoci nelayan kecil
mengingatkan Arang kepada seseorang.
“Kamu perlu bekerja keras untuk mencapai impianmu.”
Teringat oleh petuah kakeknya, Arang menarik nafas
yang panjang dan mencari kembali keberanian dalam hatinya.
“Ya Jin, waktunya kita berlayar!” ucap Arang dengan
bertekad.
“Baiklah Tuan,” ucap Jin.
Dengan semangat yang kembali membara, Arang pun
menapakan kakinya di tangga kapal.

34
IV. TIAP BELOKAN ADALAH
KEJUTAN

Senja mulai menyingsing, langit telah memancarkan kilau


jingga, sebentar lagi matahari akan terbenam. Arang termenung
menatap kaki langit sambil menikmati ayunan ombak. Perlahan-
lahan, kapal Arang semakin dekat dengan Pulau Don Cabe, udara
menjadi semakin keruh dengan asap pabrik dan bau cabe semakin
menyengat di hidung.
Jin berkata, “Kita sudah dekat, Tuan Arang, sudah saatnya
kau bersembunyi seperti maumu, apakah yakin kau akan menyia-
nyiakan kekuatanku yang tak terhingga ini?”
“Ya Jin, jangan kau seenaknya,” jawab Arang.
“Baiklah,” kata Jin dengan nada mengeluh.
Jin pun segera mengecilkan diri dan menyelipkan diri di
sela-sela kayu. Arang pun bergegas menyembunyikan diri di
sebuah tong. Tak lama kemudian terasa bahwa kapal mereka telah
menabrak dermaga. Dua orang prajurit segera mendatangi untuk
memeriksa keributan yang mereka dengar.
“Apa ini? Mengapa ada kapal kosong di sini?” ujar salah
satu prajurit.
“Aneh sekali, tidak ada siapa-siapa.”

35
Mereka berdua pun menaiki kapal tersebut untuk
memeriksanya. Diam-diam, Jin keluar dari persembunyiannya. Ia
segera membekukan kedua prajurit tersebut dan melempar
mereka keluar.
“Hahaha! Mudah sekali, jadi ini prajurit si Don Cabe?”
kata Jin.
Melihat hal tersebut kembali merisaukan hati Arang.
“Jin! Apa yang kau lakukan? Haruskah kau
menenggelamkan mereka?”
Arang merasa kesal, sudah berkali-kali ia memperingati si
Jin. Mengapa ia sangat kejam?
“Sudahlah. Ayo kita pergi sebelum ada yang datang
mencari mereka.”
Mereka berdua pun turun dari kapal. Dermaga Don Cabe
sangatlah ramai dengan barang-barang, ditambah dengan asap
tebal yang menyelimuti serta suara berisik dari alat berat, Arang
dan Jin dapat dengan mudah melewati para pekerja dan prajurit.
Dengan mengendap-endap, mereka berdua sampai di
tujuan pertama mereka, sebuah gudang. Gudang tersebut
merupakan tempat di mana hasil produksi pabrik disimpan
sebelum dipindahkan ke kapal-kapal di dermaga.
“Ini dia Jin, di dalam gudang ini seharusnya ada kereta
barang yang dapat kita bonceng untuk mencapai pabrik.”

36
Pabrik Don Cabe dijaga dengan sangat ketat. Terdapat
penjaga di setiap sisi, setiap dari mereka diperlengkapi senjata
yang lengkap. Namun, dengan membonceng kereta barang
mereka dapat masuk ke dalam pabrik tanpa harus berhadapan
dengan siapapun.
Gudang tersebut merupakan bangunan yang sangat besar,
cukup besar untuk menampung sebuah kereta. Arang mengintip
melalui sebuah jendela. Alangkah beruntungnya mereka, kereta
barang sedang membongkar muatannya di dalam.
“Ini bagus Jin! Kita tidak perlu menunggu terlalu lama,
ayo kita menunggu di rel kereta dekat pintu keluar. Kita bisa
melompat masuk saat kereta baru mulai berjalan.”
Tak lama kemudian, kereta tersebut telah sepenuhnya
dikosongkan. Para pekerja segera menyalakan mesin kereta.
Gemuruh suara mesin memenuhi tempat tersebut, asap mengepul
keluar dari cerobong asap lokomotif. Perlahan-lahan kereta mulai
bergerak. Arang dan Jin sudah siap menunggu dekat pintu keluar
kereta.
Dengan cekatan, Arang menggapai salah satu gerbong
barang dan melompat naik sebelum kereta berjalan terlalu cepat.
Jin mengikut di belakang, ia bisa terbang sehingga melompat naik
bukan masalah. Gerbong tersebut merupakan gerbong terbuka
yang hanya merupakan sebuah platform datar. Gerbong tersebut

37
benar-benar kosong, barang telah diturunkan semua dan tidak ada
penjaga yang mengawasi.
Langit malam sudah gelap, kabut asap yang tebal
membatasi penglihatan. Walaupun gerbong mereka terbuka, tidak
ada yang menyadari mereka naik ke sana. Kereta melesat maju
melewati kebun cabe yang luas bagaikan seekor ular.
Arang kembali termenung, “Don Cabe semakin dekat,
sebentar lagi saya harus menghadapinya. Apakah saya sanggup?
Saya hanya orang biasa. Jin dapat membantuku tapi ia tidak bisa
sepenuhnya dipercaya. Dan kalau memang Jin benar-benar
membantuku, Haruskah Don Cabe dibunuh? Memang ia musuh
kerajaan. Namun, mengapa?”
Arang terhanyut dalam pikirannya sendiri, ia sangat
kebingungan. Banyak hal yang tak ia mengerti. Namun, di tengah
kebingungannya, ia ingat perkataan kakeknya.
“Ingatlah ini Arang! Kau adalah cucuku, kau sudah
kudidik menjadi orang yang baik hati dan lembut namun kuat dan
pantang menyerah. Selama kau percaya diri dan tetap berada di
jalan kebaikan, jalan keluar terbaik akan memunculkan dirinya
dihadapanmu.”
Mengingat wejangan tersebut, percaya diri Arang
kembali. Ia menjadi semangat kembali dan siap untuk
menghadapi Don Cabe.

38
Dari balik kabut yang tebal, bayangan pabrik Don Cabe
mulai terlihat. Tembok-tembok berwarna gelap disinari oleh sinar
kemerahan dari dalam jendela-jendela kecil.
“Ini dia Jin! Kita sudah dekat, ayo kita sembunyi!”
Mendengar itu, Jin menjawab, “Semudah ini? Huff, tidak
asik, tidak ada pertarungan.”
“Cukup Jin! Kekerasan bukanlah solusi!” jawab Arang
dengan nada tegas.
Jin merasa semakin jengkel dengan tuannya. Tuan Arang
ini lembek sekali pikirnya.
Mereka berdua pun bersembunyi di kolong gerbong.
Kecepatan kereta perlahan menurun. Jauh di depan terdengar
deritan pintu gerbang yang sedang terbuka. Tak lama kemudian
kereta berhenti sepenuhnya.
Suasana di dalam pabrik sangatlah menyesakan. Udara
dipenuhi dengan campuran bau cabe, asap, serta keringat yang
sangat menyengat. Di samping kereta terdapat tumpukan barang
yang sudah siap dipindahkan ke kereta. Arang melompat turun
dan segera menyelinap ke sebuah ceruk tersembunyi.
“Bagus! Kita sudah di dalam, sekarang kita harus mencari
Don Cabe. Jin, Berikan saya peta tempat ini!” kata Arang.
“Baik Tuan” jawab Jin.

39
Dari tangan Jin keluar beberapa untai benang yang
menjalar dan segera menenun dirinya menjadi sehelai kain. Pada
kain tersebut terdapat peta lengkap pabrik.
“Di sini!” kata Arang sambil menunjuk pada peta.
Ia menunjuk ke arah puncak menara tertinggi di tengah
pabrik tersebut.
“Sekarang bagaimana cara kita ke sana tanpa memancing
keributan?”
Arang kembali menelusuri peta. Tanpa disangka, benang-
benang pada peta mulai terurai dan kembali menjadi kain.
Sekarang peta tersebut menunjukan susunan gorong-gorong
bawah tanah.
“Bagus sekali! Terowongan ini terhubung langsung ke
dasar menara.”
Diam-diam Arang menyelinap ke sebuah lorong.
“Jalan masuk ke gorong-gorong seharusnya di sini.”
Arang menemukan sebuah pintu di lantai. Pintu tersebut
terlihat sangat berkarat seperti sudah tidak pernah dibuka untuk
waktu yang lama. Arang berusaha membukanya namun gagal.
Pintunya tersangkut, tetapi itu bukan masalah untuk Jin. Dengan
mudah, pintu tersebut dilelehkan dan Arang pun masuk ke dalam.
Suasana di sana sangatlah berbeda. Bau cabe segera
berubah menjadi bau busuk. Lantai terasa becek dan terdapat

40
banyak tikus berkeliaran. Mengikuti peta, Arang menelusuri
terowongan tersebut.
Melihat perilaku tuannya, Jin bertanya, “Kau benar-benar
memilih untuk menelusuri gorong-gorong bau yang menjijikan
ini daripada menonton ku menunggang balikan pabrik ini dan
membunuh semua orang dalam… dua puluh? Tidak, SEPULUH
detik! Semudah itu Tuan, akan kulakukan bila kau memintaku.”
Arang menjawab, “Tidak Jin pasti ada cara yang lebih
baik.”
Arang sudah cukup terbiasa dengan usulan-usulan keji
sang Jin dan ia sudah cukup percaya bahwa Jin akan menurutinya,
sementara Jin kembali menghela nafasnya dengan kesal. Sebagai
Jin yang terperangkap oleh vas ajaib, ia tidak dapat menentang
perintah tuannya.
Setelah lama berjalan, Arang sampai di bawah pintu yang
tepat berada di bawah menara tertinggi.
“Baik, kita sudah sampai.”
Jin dengan mudah membuka pintu di atas dan Arang pun
memanjat ke atas. Tanpa disangka-sangka, mereka telah ditunggu
oleh sekelompok prajurit.
“Berhenti! Jatuhkan senjata! Tangan di belakang kepala!”
Mereka menodongkan senjata mereka ke kepala Arang.
Pimpinan para pengawal berkata, “Tuanku Don Cabe
sudah menunggu untuk bertemu engkau.”
41
Jin mengecilkan diri dan melompat ke samping telinga
Arang.
“Tuan, sudah saatnya kita bertarung! Pengawal-pengawal
ini bukan apa-apa dibandingkan kekuatanku.”
Arang menjawab, “Tunggu dulu Jin! Mereka akan
membawaku langsung ke Don Cabe, mungkin saya bisa
mengakhiri ini dengan damai.”
“Damai? Damai?!”
Jin merasa sangat kesal, ia sudah gatal ingin berkelahi.
“Baiklah Tuan, apapun katamu.”
Arang pun dibelenggu dan dibawa oleh para pengawal ke
puncak menara. Mereka berjalan menaiki tangga putar yang
tinggi. Di puncak, mereka memasuki sebuah ruangan luas yang
dikelilingi oleh jendela yang memandang ke seluruh pabrik.
Langit-langit ruangan tersebut berbentuk kubah yang tinggi,
dihiasi lukisan-lukisan dan tergantung dari puncak kubah tersebut
terdapat sebuah kandil raksasa yang menerangi seluruh ruangan
tersebut.
Di tengah ruangan terdapat sebuah meja, dan di balik meja
terduduk seorang pria paruh baya yang kekar di kursinya. Orang
tersebut berjanggut tebal dan di kepalanya memakai sebuah
turban. Orang tersebut menyambut Arang dengan suara
menggelegar.

42
“Bocah! Kau pikir kau dapat semudah itu menyusup
masuk ke dalam pabrikku? Benar! Aku adalah El Paprika Don
Cabe! Kaisar Cabe dari Barat! Berilah alasan baik bagiku untuk
membiarkanmu hidup!”
Arang menjawabnya dengan penuh percaya diri, “Aku
adalah Apu Christian Arang T., Raja mengirimku untuk
menghancurkan tempat ini dan itu bisa kulakukan kapanpun
dengan mudah. Tapi sebelum kulakukan itu, berilah alasan baik
bagiku untuk tidak menuruti perintah raja.”
Walaupun tangannya terbelenggu, ia berdiri di sana
dengan tegap, matanya tertancap pada Don Cabe tanpa segelintir
pun rasa takut.
Mendengar jawaban itu Don Cabe terkagum, “Berani
sekali kau bocah, menggertakku seperti itu. Jadi kau dikirim oleh
si tua kikir itu? Rupanya usia sudah memampatkan pikirannya.
Mengirim seorang bocah sendiri untuk menghancurkanku? Lucu
sekali!”
Don Cabe tertawa terbahak-bahak. Namun tawa itu tiba-
tiba terhenti seakan menyadari suatu hal.
“Jin! Jadi vas ajaib raja bukanlah dongeng?” teriak Don
Cabe.
Sebuah sosok besar berkuku tajam muncul di belakang
Arang, mengejutkan para prajurit.
“Tunggu dulu Jin! Belum waktunya,” kata Arang.
43
“Jin bodoh itu! Tamat sudah rencana damaiku,” pikirnya
dalam hati.
Namun tiba-tiba Don Cabe kembali tertawa.
“Hahahahaha! Kau pikir Jin kecilmu bisa
menghancurkanku? Tidak semudah itu!” kata Don Cabe.
Melihat suasana yang semakin tegang Arang berusaha
sekerasnya untuk menenangkan.
“Tuan Don Cabe, Jin tidak akan bergerak tanpa
perintahku. Rupanya kau tahu kemampuan sang Jin. Mengetahui
hal tersebut, alangkah baiknya apabila kita bisa berdiskusi dengan
damai.”
Mendengar perkataan rupanya berhasil menenangkan hati
Don Cabe. Nada bicara Arang mengingatkannya akan suatu hal.
Sesuatu yang manis namun pahit secara bersamaan.
Don Cabe pun menjawab, “Baiklah bocah, apa yang ingin
kau diskusikan?”
Mendengar bahwa Don Cabe mau berdiskusi
mengembalikan harapan Arang.
Ia pun bertanya, “Raja mengirimku untuk
menghancurkanmu karena kau adalah musuh negara. Apa yang
kau lakukan hingga mendapat gelar tersebut?”
Don Cabe menjawab, “Musuh negara? Munafik tua!
Beraninya ia mengatakan itu. Ketahuilah bocah, Raja yang
mengutusmu itulah musuh sebenarnya!”
44
Tanpa disangka Arang, pertanyaan itu justru memancing
amarah Don Cabe yang sangat tidak stabil.
“Sudah cukup! Aku tidak ingin lagi mendengar lagi dari
utusan si tua busuk! Prajurit, hancurkan mereka!" perintah Don
Cabe.
Terkejut, Arang secara refleks memanggil Jin, yang sudah
sangat gatal ingin mengeluarkan serangan-serangannya yang
mematikan. Jin pun memanfaatkan panggilan itu sebagai izin
baginya untuk menyerang. Dalam satu sapuan tangannya, para
prajurit terlempar jatuh dari menara. Setelah itu, pandangan Jin
langsung tertuju kepada Don Cabe. Ia pun segera melesat maju
dengan tangan berkuku tajam siap untuk mencabik. Arang hanya
bisa melihat dengan tidak berdaya, negosiasinya telah gagal dan
Jin akan segera menghabisi Don Cabe sebelum ia bisa
mengetahui kebenaran.
Melihat Jin yang akan segera menerjangnya, Don Cabe
hanya tersenyum. Dengan tenang ia menarik sebuah pedang ajaib
yang terletak di mejanya dan menangkis serangan Jin. Kekuatan
Jin yang begitu besar menghempaskan Don Cabe ke belakang.
Namun, ia mendarat dengan tegap, pedang berada di tangannya,
dan dengan seringai di mukanya.
“Tidak mungkin! Saya adalah Jin yang terkuat.
Bagaimana kau manusia rendahan bisa menahan seranganku?”
kata Jin.
45
Memang pedang yang dipegang Don Cabe adalah sebuah
pedang sakti yang sangat tua. Pedang tersebut sangatlah kuat dan
mampu memberi kekuatan pada penggunanya.
“Berisik kau setan!” teriak Don Cabe, “Aku tidak akan
takluk begitu saja, bahkan sebuah Jin tidak akan semudah itu
mengalahkanku!”
“Baiklah,” kata Jin, “Mari kita bertarung.”
Jin pun bersiap untuk serangan berikutnya. Kukunya yang
tajam dikeluarkan dan api ajaib menyala membakar seluruh
lengannya. Don Cabe mengambil ancang-ancang, pedang
digenggam dengan kedua tangannya.
Ia pun berkata, “Kemarilah! Rasakan serangan dasacabe!”
Don Cabe berlari menuju Jin dan kemudian melompat
sambil melakukan putaran. Tubuhnya seakan dikelilingi badai
cabe yang berputar. Dalam sekejap, sepuluh serangan mematikan
mendarat di depan Jin. Sembilan tebasan pertama berhasil
ditangkisnya. Namun, serangan terakhir memotong melalui
pertahanan Jin dan melukai dadanya. Jin sangatlah terkejut, ia
belum pernah terluka selama ratusan ribu tahun. Sebelumnya,
hanya makhluk ilahi yang lama terlupakan, ia yang menaruhnya
di dalam vas lah yang terakhir kali melukainya.
Hal ini membuatnya sangat murka. Ia mengeluarkan
serangan-serangan terkuatnya untuk menyerang Don Cabe.
Namun, Don Cabe mampu menghindari dan menangkis
46
semuanya. Dengan gerakan yang lincah, Don Cabe mampu
mengelak dari gempuran serangan Jin dan melancarkan serangan
balasannya. Sekali lagi, Don Cabe mengeluarkan jurus
pamungkasnya yaitu serangan dasacabe. Kali ini, Jin yang sedang
terlalu fokus untuk menyerang tertangkap lengah sehingga ia
menerima kekuatan penuh serangan dasacabe tepat di mukanya.
Tidak cukup sampai di situ, Don Cabe kemudian segera
menikam Jin dan menjatuhkannya. Pedangnya yang menikam
dada Jin terus ditekan oleh Don Cabe hingga tembus dan
menancap di lantai. Jin tersangkut dan tidak dapat bergerak. Oleh
karena itu, kemarahannya semakin meledak dan ia pun
melepaskan sebuah gempa bumi yang kuat. Gempa tersebut
mengguncang seluruh pulau. Dari luar menara terdengar suara
retakan dinding-dinding pabrik yang kuat. Teriakan panik para
pekerja terdengar nyaring di telinga.
Tiba-tiba di tengah kebisingan terdengar seruan Arang,
“Cukup Jin! Hentikan Sekarang! Kau bisa saja membunuh orang-
orang tak bersalah. Don Cabe, maukah kau mengorbankan nyawa
pekerjamu? Bukankah mereka memiliki keluarga?”
Mendengar perkataan Arang mengembalikan sebuah
ingatan yang telah lama berusaha dilupakan oleh Don Cabe.
Suaranya, parasnya yang lembut namun tegas, bahkan wajahnya
semua mengingatkannya akan seseorang.

47
“Arang! Ceritakan kepadaku tentang ibumu!” tanya Don
Cabe dengan nada tegas.
“Ibuku? Mengapa?” balas Arang.
“Jelaskan saja, bocah!” perintah Don Cabe.
“B…b…baiklah,” jawab Arang, “Ibuku meninggal dunia
saat melahirkanku, Kakek bilang ia adalah orang yang sangat baik
hati, lembut, dan sabar.”
Mendengar hal tersebut Don Cabe terdiam. Tangannya
menjadi lemas, pedangnya terjatuh ke lantai.
“Kau dibesarkan oleh kakekmu di daerah miskin di
selatan kerajaan. Kakekmu, walau miskin, merupakan seorang
dermawan yang dicintai warga desa, betul?” kata Don Cabe.
“B…b…bagaimana kau bisa tahu? Siapa kau?” balas
Arang, sangat kebingungan.
“Bagaimana Don Cabe dapat mengetahui tentang aku
dan Kakek?”
Don Cabe terdiam untuk beberapa saat. Raut wajahnya
yang sangat tegas berubah menjadi lemas.
Kemudian, dengan nada yang sedih Don Cabe berkata,
“Arang, akulah ayahmu.”
Arang terkejut, tubuhnya diam seakan terbeku.
“Ayahku adalah Don Cabe? Tidak mungkin! Kakek tidak
pernah cerita. Tapi, Kakek tidak mengatakan apapun soal

48
ayahku. Tetap tidak mungkin! Tapi, bagaimana ia bisa
mengetahui tentang semua itu?”
Arang terdiam di sana, ia sama-sekali lupa dengan
keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba, menara berguncang dengan hebat. Ternyata
kerusakan dari gempa Jin telah sangat melemahkan dasar menara
tersebut. Perlahan menara tersebut menjadi miring dan semua
isinya jatuh ke samping, termasuk Arang. Ia pun tergelincir dan
jatuh.
“Jin! Tolong aku!” teriaknya dengan dengan putus asa.
Jin tidak dapat menolongnya karena ia tersangkut oleh
pedang ajaib. Melihat anaknya terjatuh, hati Don Cabe tergerak.
Ia segera melompat dan menangkap Arang. Ia kemudian
menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungi Arang. Karena
tidak sedang memegang pedang ajaibnya, kekuatan tubuh Don
Cabe berkurang sehingga dampak dari jatuhnya cukup fatal.
Namun, pengorbanannya tidak sia-sia sebab Arang tidak terluka.
Hal tersebut sangat mengejutkan Arang. Ia sudah
menyangka bahwa hidupnya akan berakhir saat itu juga.
Ditambah lagi, ia diselamatkan oleh orang yang ingin ia jatuhkan.
Arang sangat kebingungan serta tercengang sementara wajah
Don Cabe yang sekarat hanya menunjukan senyuman yang
lembut.
“M…me…mengapa?” tanya Arang dengan terbata-bata.
49
“Karena kau anakku Arang. Maafkan aku yang
meninggalkanmu selama ini.” Jawab Don Cabe, “Saat
mengandungmu ibumu jatuh sakit. Dahulu kami sangat miskin.
Saya pun mencari bantuan pada kerajaan.”
“Namun, Raja sama sekali tidak peduli dengan kami
kaum miskin. Kemudian saya mendapat kabar bahwa ibumu telah
meninggal. Berita itu menghancurkan hatiku. Saya kehilangan
pikiranku dan lari meninggalkan kakekmu. Saya tidak tahu
bahwa kau telah lahir dengan sehat,” tambahnya.
“Sejak itu saya tinggal bersama dengan para separatis
yang sama sepertiku kecewa dengan Raja. Pada masa itu saya
menjadi terkenal oleh karena dosa-dosaku yang besar. Pada
akhirnya kami kalah dan saya melarikan diri ke pulau ini dan
mendirikan pabrik ini. Tak pernah kusangka ternyata anakku
hidup dan telah tumbuh besar menjadi pria yang baik hati seperti
kakek dan ibunya.”
Diam-diam Jin yang sudah berhasil membebaskan diri
berjalan mendekat membawa pedang ajaib.
Melihatnya, Arang segera memberikan perintah untuk
menyelamatkan Don Cabe, “Jin! Tolong sela…”
Namun, sebelum ia selesai berkata, Jin menikam Don
Cabe menggunakan pedangnya sendiri.

50
“JIN! Apa yang telah kau lakukan? KAU INI! Tidak
bisakah kau menunggu?! Kau!” teriak Arang dengan sangat
marah.
“Kau memintaku untuk melindungimu bukan? Itu yang
saya lakukan,” jawab Jin.
Ia memanfaatkan celah dalam ketentuan kutukannya
untuk berbuat semaunya.
Arang membalas dengan sangat marah, “Aku tidak lagi
dalam bahaya! Tidak bisakah kau lihat? Sudah! Cukup! Pergi!
Pergi sekarang juga! Aku tidak mau lagi melihatmu.”
Arang pun mengusir Jin dari pandangannya. Ia telah muak
dengannya dan sifatnya.
“Baik Tuan,” jawab Jin. Dengan itu, tubuh Jin seakan
tertarik oleh sebuah rantai kasat mata. Inilah kutukan vas sang Jin,
jika ia tidak memiliki tuan, maka Jin akan kembali ke vasnya. Jin
berusaha meronta namun sia-sia. Tak lama kemudian ia telah
lenyap dari hadapan Arang.
Perhatian Arang kembali tertuju pada Don Cabe. Dengan
segenap sisa kekuatannya Don Cabe mencabut pedang dari
tubuhnya.
“Arang, anakku,” kata Don Cabe, “Ambillah pedang tua
ini, gunakanlah untuk kebaikan! Ini satu-satunya hal yang bisa
Ayah berikan bagimu. Maafkanlah saya ini yang telah gagal
menjadi ayahmu.”
51
Itulah kata-kata terakhir Don Cabe. Ia meninggal dunia
dalam pelukan tangan Arang. Arang menangis tersedu-sedu. Di
sekitarnya api telah membakar pabrik oleh karena gempa. Arang
pun segera meninggalkan pabrik itu sementara tubuh Don Cabe
terbakar bersama dengan pabriknya.
Arang mengambil seekor kuda dan menungganginya
untuk kembali ke pelabuhan. Di pelabuhan tidak ada siapa-siapa
sebab semua prajurit dan pekerja telah ditarik untuk
menyelamatkan pabrik yang terbakar. Arang pun kembali ke
kapalnya dan berlayar kembali menuju kerajaan.

V. BIARLAH ADA PERTARUNGAN

Setelah sekian lama berlayar, Arang akhirnya sampai


kembali di kerajaan. Ia segera turun dari kapal dan bergegas untuk
kembali ke istana raja. Tapi, sesampainya di istana, Arang
menyadari bahwa ada yang tidak beres, gerbang dalam keadaan
setengah terbuka dan tidak ada satupun pengawal terlihat.
Melihat keadaan tersebut, Arang menyelinap masuk. Ia
menelusuri lorong-lorong yang sudah menjadi tempat kerjanya
selama bertahun-tahun. Anehnya, Arang tidak menemukan
siapapun di dalam istana. Semua pengawal, prajurit, bahkan para
pegawai di sana, semua hilang. Arang sudah sangat yakin bahwa

52
sesuatu buruk telah terjadi, ia pun bergegas menuju ruang takhta
raja.
Sesampainya di depan pintu, ia mendengar suara dari
dalam. Arang pun mengintip melalui celah kunci. Betapa
terkejutnya ia saat ia melihat ke dalam. Tubuh Raja yang sudah
tak bernyawa tergeletak di lantai, Bernard Von Hoffen telah
menduduki takhta, dan berdiri di sebelahnya adalah Jin. Dari
dalam, terdengar perkataan Bernard.
“Hahahaha mudah sekali! Beruntung sekali diriku ini
bisa bertemu dengan kamu Jin. Dengan bantuanmu, takhta ini
menjadi milikku dalam sekejap. Hahahaha!”
Tawa Bernard sangatlah keji. Memang ia adalah
seseorang yang tidak akan segan untuk menggunakan kekuatan
Jin yang kejam untuk kepentingannya sendiri.
Arang berpikir sejenak, “Bernard itu! Kupikir ia hanya
seseorang yang egois dan menyebalkan. Tak kusangka ia bisa
melakukan sesuatu sejahat ini. Dan Jin itu! Kukira tak akan
kulihat lagi mukanya yang memuakkan, dan sekarang kekejian
keduanya digabung. Kerajaan ini akan pasti akan luluh-lantak
bila aku diam saja.”
Arang tahu ia harus menghentikan kejahatan Bernard dan
Jin, tetapi ia juga tahu bahwa ia berada dalam situasi tidak
menguntungkan.

53
“Aku harus menyegel Jin dalam vasnya terlebih dahulu
jika ingin mendapat kesempatan untuk menang,” ucap Arang.
Arang bergegas ke ruangan penyimpanan Raja di mana
dia menemukan vas yang sama di mana dia melepaskan Jin.
“Dengan vas ini dan pedang dari Don Cabe saya punya
harapan untuk menang.”
Di saat seketika pedang Don Cabe mulai bercahaya dan
bergetar, cahaya tersebut sangat terang, Arang tidak bisa melihat
hal lain. Dari cahaya tersebut keluarlah sosok bayangan yang
sangat akrab dengannya, sosok tersebut berkata di mana suaranya
membuat Arang ketar ketir dan berkeringat.
“Wahai cucuku yang manis,” ucap sosok tersebut dengan
lembut.
“Ka- ka- kakek?” Arang berucap dengan menangis dan
terpesona.
Kakek Arang pun berkata, “Iya cucuku, ini Kakek. Kakek
datang untuk memberikan motivasi kepadamu, bahwa semua
yang terjadi dalam hidupmu telah membawamu ke momen ini.”
“Aku tidak bisa Kakek, Bernard mempunyai Jin dan
tentaranya, bagaimana bisa aku mengalahkan mereka semua
hanya dengan pedang ini?” Arang berkata.
Kakek Arang mendengar itu memberitahu Arang bahwa
pedang itu adalah warisan keluarga yang sudah diturunkan dari
generasi ke generasi. Dibuat dari elemen sangat keras dan tajam,
54
di tangan yang benar bisa menjatuhkan sepuluh ribu prajurit
dalam sekali tebas. Nama elemen langka tersebut adalah
wanshitongnium, yang hanya bisa dibuat dengan memasukkan
sepuluh ribu budak ke dalam gunung berapi dan melemparkan
sebongkah besi ke dalam kawah lava, di saat yang sama
gunungnya erupsi. Darah dan besi yang dipanaskan dan tertekan
oleh erupsi gunung menciptakan wanshitongnium.
“Dari sepuluh ribu budak yang selamat hanyalah leluhur
kita, sehingga dialah yang memegang wanshitongnium dan ditepa
menjadi pedang ini. Pedang ini adalah hadiah terakhir yang
Kakek berikan kepada ayahmu, Arang, tepat sebelum dia
kehilangan ibumu dan kabur dari rumah, maka gunakan lah
pedang ini dengan bijak,” cerita Kakek Arang.
Arang terbingungkan dengan kata-kata kakeknya karena
dia tidak menemukan cerita tersebut membantu dalam keadaan
seperti ini.
“Tapi aku tidak bisa menggunakan pedang ini,” kata
Arang.
Kakek Arang pun menjawab, “Wahai cucuku, selama ini
kamu bisa karena kamu mempunyai darah leluhur kita.”
Arang seketika merasakan darahnya mendidih dan gigih
untuk melawan Bernard. Melihat ini, Kakek Arang merasa bahwa
tugasnya sudah selesai.

55
“Kakek sudah menjalankan tugas Kakek, sekarang giliran
kamu, wahai cucuku.”
Kakek Arang pun mulai menghilang dan pedangnya
semakin redup.
“Terima kasih Kakek, aku tidak akan mengecewakanmu,”
ucap Arang.
Sementara itu, Bernard dari takhta kerajaan melihat
cahaya terang dari menara penyimpan yang memberikan posisi
Arang, dia menyuruh Jin untuk menyerang menara itu dan
membawa pasukan, dengan perintah untuk membunuh Arang.
Dengan momen ini, duel ini sudah mulai. Perselisihan masa kecil
telah menjadi taruhan kerajaan untuk menentukan raja mereka
selanjutnya.
Di malam yang gelap, hujan lebat dengan gemuruh yang
berisik, terdapat Arang sendirian di menara penyimpan dengan
dinginnya suasana. Pasukan Jin sudah menuju kepada dia; entah
jumlah mereka berapa.
Arang menunggu dan menunggu untuk momen
menyerang yang tepat, dia menunggu pasukan Jin untuk naik
tangga spiral menuju dia. Tiba-tiba terdengar suara kencang dari
bawah, suara pintu ditendang, pasukan jin telah tiba. Dengan
bergegas Arang menggulingkan tong-tong mesiu ke arah pasukan
Jin yang sedang menuju, pasukan Jin terhambat oleh tong-tong

56
Arang namun mereka masih bisa melewati. Mereka meloncati
tong tersebut dengan mudah, namun ada beberapa yang terjatuh.
Pasukan Jin semakin mendekat, Arang melempar lilin
kepada tumbukan bubuk mesiu dari tong yang dia lempar, yang
mengakibatkan ledakan besar yang menghancurkan dasar
menara. Arang bergegas mengambil vas dan melompat dari
puncak menara ke tembok istana dan menggunakan pedang Don
Cabe untuk bergantung kepada tembok istana.
Arang memanjat tembok istana dan sampai pada sebuah
teras. Dia disambut oleh pasukan Jin, pasukan Jin langsung
menyerang Arang, Arang tidak punya pilihan lagi selain
melawan, sehingga dia mulai menebas mereka satu per satu.
Dengan pedang Don Cabe, Arang bisa mengiris banyak
pasukan Jin, semakin lama semakin sulit di mana ada pasukan Jin
yang menggunakan anak panah berapi, Arang menggunakan
mayat pasukan Jin untuk dijadikan perisai terhadap panah panah
api, dia mengambil pedang-pedang pasukan yang sudah tumbang
dan dilempar kepada pasukan Jin yang menggunakan anak panah,
satu per satu pasukan Jin mulai berkurang. Arang yang berdarah-
darah mengingat kata-kata Kakek Arang yang mengatakan untuk
tidak menyerah dan lewati semua yang menghalangimu mencapai
tujuan.

57
Arang sudah menebas banyak sekali pasukan Jin. Ia
menggunakan baju zirah pasukan jin yang tewas untuk menutupi
luka-lukanya.
Dengan menancapkan mata pedangnya untuk terakhir
kali, Arang berhasil menaklukan pasukan Jin terakhir. Kekuatan
dari pedang sudah membutakan Arang dan memperbesar
kebencian di hatinya. Arang masuk semakin dalam ke istana.
Suasana semakin gelap, tetapi dia tidak takut. Dia kenal setiap
sudut istana karena dia dulu yang menyapu lorong-lorong
tersebut.
Di lorong gelap tersebut, Arang memikirkan kembali
kenangan-kenangan masa kecil dari nasihat Kakek Arang sampai
kenangan dia ditindas oleh Bernard.
Arang seketika berucap, “Aku tidak akan
mengecewakanmu kakek, Bernard lihat saja nanti.”
Di lorong yang gelap ada Jin yang sedang menunggu
kehadiran Arang, dia sangat murka karena pasukannya telah
dibantai. Arang mendekati sang Jin dalam keadaan sudah
berdarah darah dan letih. Jin melihat Arang dengan penuh
amarah, dia sudah haus akan darah Arang.
“Terima kasih Arang, kamu sudah membebaskan aku,
tetapi betapa bodohnya engkau untuk mengusirku. Selama di vas
aku belajar mengenai pedangmu itu, ketahuilah bahwa sekarang
aku tahu cara menaklukan pedangmu.”
58
Arang kaget mendengar hal itu, tapi selama dia
memegang vas dia masih punya kesempatan menang.
“Jika aku harus jujur, ‘Tuan’, dari ribuan orang yang saya
telah layani, tekadmu paling lemah,” ucap Jin.
Arang pun sempat mau menjawab sebelum disela.
“Tidak ada keberanian, kekuatan untuk meraih keinginan,
bayangkan apa yang kita bisa lakukan kalau kamu berhenti
bermain malaikat,” Jin berkata, nadanya menyimpan kebencian.
“Tetapi pada akhirnya, aku menemukan seseorang yang
pantas memiliki kekuatan, yang pantas untuk aku layani,” Jin
berkata dengan nada licik.
Arang pun mengangkat pedangnya, “Makhluk keji kamu
itu, Jin.”
Jin pun hanya tersenyum sebelum tiba-tiba menyerang
Arang, dia mengeluarkan pedangnya sendiri yang datang
langsung dari neraka dan mereka berduel. Arang dengan cepat
menggunakan, pedang Don Cabe, menahan Jin yang
menggunakan pedang Jin yang sepanas matahari.
Setiap kali pedang Jin bertemu dengan pedang Arang,
pedangnya Arang makin terkikis karena suhunya yang amat
panas. Arang yang tidak menyadari hal itu terus menyerang Jin.
Mereka melakukan duel apik di mana tidak ada yang terkena
pedang satu sama lain karena amat sengit nya pertarungan.
Mereka berdua tahu satu potong dari pedang lawan akan
59
mengakibatkan luka yang amat pedih. Jin meskipun tidak bisa
mati dia akan tetap merasakan sakit dan terluka, karena
pedangnya Arang terbuat dari wanshitongnium.
Arang dan Jin terus bertarung dengan panas. Arang yang
berlari antarruangan dan Jin yang menerobos tembok demi
tembok pedang mereka saling bentrok, Arang meloncat-loncat
dari tembok ke tembok, diikuti dengan Jin menghancurkan
tembok tersebut.
“Kau tidak bisa mengalahkanku Arang, engkau bagaikan
semut bagiku,” Jin berkata ke Arang di tengah duel.
Arang tidak menghiraukannya, dia mengarahkan
pedangnya ke perut Jin. Namun, pedangnya segera ditepas oleh
Jin sebelum memukul Arang. Arang yang terpukul lalu
mengayunkan pedang ke arah jin sebagai reaksi. Jin terkejut oleh
serangan Arang tersebut dan langsung menghindar untuk
menyelamatkan diri.
Melihat Arang yang semakin agresif, Jin mulai menjauh
dari Arang dan mulai menyerang menggunakan serangan jarak
jauh berupa semburan api dari mulutnya. Arang melihat itu
menyadari bawah semburan api itu bisa menghancurkan vasnya,
sehingga Arang beralih fokus kepada melindungi vas tersebut
karena hanya vas itu yang bisa menyegel Jin.
Jin menyembur api kepada Arang sehingga suasana
menjadi panas dan istana mulai terbakar, situasi mulai ginting
60
untuk Arang karena istana mulai terbakar dan runtuh. Namun,
Arang tidak peduli, untuk melawan Bernard dia harus melewati
Jin tersebut.
Arang menghindar dari api dengan memanjat ke balkon,
Jin menyadari keberadaan Arang di balkon dan menyembur api
ke arahnya, Arang menghindar dari serangan api tersebut dan
loncat ke arah Jin sambil menerjang api. Jin yang tidak
menyangka segera menahan pedang Arang dan mereka segera
jatuh ke lantai kembali dan melanjutkan duel mereka.
Jin yang merasa dia diuntungkan karena istana sedang
terbakar mendorong Arang ke arah lantai yang sedang terbakar.
Namun, Arang berhasil untuk menghindari Jin saat dipojokkan
api.
Jin yang mulai kesal melihat Arang tidak mati
mengeluarkan mantra untuk menggandakan diri sehingga ada
sepuluh Jin mengelilingi Arang dengan hanya ada satu yang asli.
Arang melihat itu kebingungan di mana Jin yang asli. Jin mana
pun yang ia tebas hanya menjadi asap, sungguh tidak pernah dia
melihat ilusi senyata ini.
“HAHAHAHAHA! Kamu tidak bisa mengalahkanku
Arang, aku akui engkau kuat, tapi tidak dibandingkan dengan
kekuatan seorang Jin, kakekmu juga mati sia-sia hidup dia tidak
ada gunanya sama seperti engkau,” kata Jin sambil tertawa.

61
Arang yang mendengar ini semakin resah, “DASAR
MAKHLUK KEJI! AKU AKAN MENGALAHKANMU,
KURANG AJAR KAU BAWA-BAWA NAMA KAKEK.”
Arang berteriak kepada Jin sambil membabi buta,
menebas jin-jin duplikat. Namun, dia tidak pernah mengenai yang
asli. Jin hanya tertawa melihat situasi Arang seperti ini, membabi
buta tanpa arahan dan tanpa berpikir. Bernard dari ruang takhta
melihat istananya mulai terbakar dari pertarungan Arang dan Jin.
“Huft, Jin bodoh… betapa cerobohnya dia,” Bernard
berkata. Bernard menyuruh pasukannya untuk menyiapkan
sepuluh meriam untuk menembak ke arah Jin dan Arang.
“Kalau seperti ini terus akan kuhancurkan mereka
berdua,” ucap Bernard.
Kembali ke pertarungan Jin dan Arang yang sudah
diselimuti api dan sudah mulai runtuh. Arang masih kesusahan
untuk mengenai Jin sampai Arang menyadari sesuatu: bahwa
suara Jin hanya datang dari Jin yang asli.
“WAHAI JIN AKAN KUKALAHKAN ENGKAU,”
Arang berteriak untuk menarik perhatian Jin.
“Bodohnya kamu, Arang, mungkin ini alasan keluarga
kamu meninggalkanmu, mereka tidak mau anak SEPERTIMU.
HAHAHAHAHA,” kata Jin dengan arogan, tidak mengetahui dia
baru saja memberitahu lokasinya.

62
Arang, melihat kesempatan ini, langsung berlari ke arah
jin palsu dan menebasnya. Lalu, dengan instan, dia melempar
pedangnya ke arah Jin asli.
Jin asli terkejut melihat ini dan dengan mengembalikan
semua duplikatnya. Ia menangkap pedangnya lalu dengan semua
tenaganya melelehkan pedang tersebut. Namun, sudah telat,
pedangnya sudah menusuk badan Jin.
Arang mengambil vasnya dan membacakan mantra yang
tercantum. Vas tersebut mulai terbang dan berputar dan Jin mulai
tertarik ke dalamnya, lalu pot tersebut meledak saking dahsyatnya
sampai muka Arang terbakar setengah dan baju zirahnya hancur.
Di saat yang sama, Bernard menembakkan meriam
tersebut ke arah Arang. Istananya pun rubuh, hanya takhtanya
Bernard yang tersisa.
Bernard melihat kehancuran istananya yang dia timbulkan
sendiri demi membunuh Arang. Ia merasa tidak ada gunanya
menjadi raja tanpa ada kerajaan, hampir semua pengikut dia
sudah mati dan istananya roboh, yang dia punya hanyalah takhta
emasnya dengan bantalan merah.
Bernard jalan menuju ke arah takhta dia dan duduk
dengan menyilangkan kakinya dan menaruhnya di sandaran
takhta.
Dia berpikir, “Buat apa aku melakukan ini, jika ujungnya
aku tidak mendapatkan apa-apa, apakah usahaku sia-sia?”
63
Bernard merenung apakah yang dia dapat sepadan dengan
usaha dia. Dalam momen ini Bernard merasakan penyesalan.
Namun, momen ini tidak membuahkan sebuah ketenangan dalam
pikiran Bernard, ia merasa dirinya sudah ditipu.
Dari kecil, Bernard seringkali diajarkan kakenya
mengenai dualitas manusia, bahwa ada yang diciptakan dan
ditakdirkan untuk memimpin, berjalan gagah di atas massa, dan
ada yang diciptakan untuk hidup terpuruk, hanya bisa mengambil
tanpa memberikan, hanya bisa merangkak di tanah mengikuti
para pemimpin sembari menggerogoti sisa-sisa para manusia
terpilih, bagaikan pemulung. Tidak, mereka tidak bisa disebut
sebagai manusia… mereka bagaikan parasit... Parasit…
Parasit…
Sudah lama Bernard mengasosiasikan kata itu dengan
Arang, sudah lama ia percaya bahwa sesungguhnya Arang hanya
diciptakan sebagai pengikut, diciptakan hanya sebagai makhluk
ternak yang bisa digunakan oleh para manusia sesungguhnya.
Tapi untuk pertama kalinya, kepercayaan Bernard ditantang.
Sebuah parasit tidak seharusnya bisa menantang manusia selayak
dirinya.
Rasa benci mulai muncul pada hatinya, ia pun berteriak
lantang memaki-maki kakeknya sendiri, bahkan penjaganya
sendiri pun kebingungan melihatnya.

64
“Kalau semua ini hancur, apa takdirku Kakek? APA? Aku
tidak terima ini! Aku tidak terima hancur hanya karena sebuah
kebohongan!” teriak Bernard.
Di saat teriakan Bernard terdengar sampai desa, terdengar
suara lagi yang tidak Asing di telinga Bernard, suara yang dia kira
tidak akan pernah terdengar lagi. Suaranya itu hanya mengatakan
satu kata.
“Bernard…”
“Tidak mungkin, tidak mungkin, mustahil bagi dia,
terutama dia untuk selamat. Makhluk rendahan kenapa kau tidak
di alam baka, kenapa dari semua dia yang selamat.”
Untuk sesaat, terasa perasaan yang amatlah asing di hati
Bernard, untuk pertama kalinya dalam hidup Bernard, ia hanya
ingin untuk mengalah, untuk berlutut dan menjatuhkan
pedangnya. Tekadnya untuk terus bertarung, untuk
mempertahankan kepercayaannya sudah mulai menipis, lagi pula,
hidupnya sudah terbukti didasarkan atas kebohongan, mungkin
sudah waktunya untuk dia menerima kebenaran. Tetapi, teringat
oleh Bernard sebuah senandung serak.
“Ingat kata ini baik-baik Bernard, kau ini terlahir dengan
darah kuat, darah Von Hoffen! Ingat selalu bahwa kita termasuk
manusia-manusia yang kuat! Dan kamu telah ditakdirkan untuk
berdiri bersama manusia selayak kita! Ingat itu selalu!”

65
Nasehat kakeknya menggelegar di kepala Bernard, dan
saat itulah Bernard kembali menjadi buta.
“Maafkan aku kakek, sudah hampir aku lupakan takdirku
ini! Aku ini manusia kuat, tak akan aku biarkan diriku kalah dari
hewan tak tahu diri ini! Akan aku tunjukan tempatnya yang
seharusnya! Atau tidak… tidak… Makhluk itu sudah kelewatan
batas! Tak akan kubiarkan takdirku dihancurkan seekor monyet!
Akan aku basmi kera itu dari muka bumi ini! AKAN AKU
BERSIHKAN BUMI INI DARI KOTORAN BAGAIKAN DIA!”
pikir Bernard, pupil matanya mengecil sambil tersenyum lebar.
“Kukira kau sudah bertemu kakekmu, wahai Arang.”
Di kaki anak tangga menuju takhta hadirlah Arang yang
Bernard kira sudah lewat jiwanya. Arang datang untuk
menghadap Bernard dengan keadaan darah melumuri bajunya,
tangan penuh luka, dan mukanya setengah terbakar, membawa
salah satu pedang dari pasukan jin.
Dengan Arang yang masih hidup, sudah waktunya untuk
dua orang ini saling menghadapi sesama lagi, yang awalnya dari
persaingan masa kecil, menjadi pertarungan hidup dan mati di
mana mereka berdua sekarang percaya bahwa takdir mereka
adalah menghancurkan satu sama lain.
Dua orang menghadapi satu sama lain. Arang, Bernard,
ditakdirkan untuk saling menghadapi yang lain. Bernard duduk di
takhtanya dengan muka arogan dengan menaruh tangannya di
66
pipinya, Arang yang berada di sebrang runtuhan siap mengakhiri
kekacauan ini.
Bernard menatap Arang dengan serius dan berkata,
“Kenapa setengah mukamu terlihat seperti pizza gosong, Arang?”
“Tutup mulut kotormu Bernard,” Arang membalas.
“Hah! Lihatlah dirimu, kotor dan kumuh, kau sama saja
seperti dulu, tidak berubah, bagaimana kau bisa mengalahkanku
dasar kumuh,” ucap Bernard.
Namun, sebenarnya dalam hati Bernard, dia mengatakan
hal lain, “Kalau aku sampai kalah gawat ini, meskipun dia
berhasil mengalahkan Jin. Namun, dia tidak membawa pedang
saktinya dia seharusnya kita imbang.”
Untuk pertama kalinya Bernard merasakan rasa takut
akan Arang, orang yang dulu saat masa kecil mereka dia tidak
pernah kalah dalam berkelahi. Arang, meskipun sudah melewati
Bernard dalam bertarung, tidak punya tenaga lagi, dia telah lelah
melawan pasukan Jin, dan menyegel jin yang mengakibatkan
banyak luka, setiap kali dia bergerak terasa seluruh badannya mau
hancur.
“Aku sudah tidak punya tenaga, Jin benar-benar
menghabiskan tenaga ku, belum lagi aku hanya bisa melihat
menggunakan satu mata, lukaku menyakitkan setiap kali aku
gerak, aku harus bermain pintar dan menghemat tenaga.”

67
Bernard menghentak kepada Arang, “AKULAH AWAL
DAN AKHIR CERITAMU ARANG, SIAPALAH ENGKAU
KALAU BUKAN KARENA AKU?”
Arang melihat sekitar dan bernafas lalu keluarlah kata-
kata yang akan membuat Bernard murka.
“Mari kita cari tahu.”
Mereka berdua saling menghadapi dengan Arang yang
menyampaikan serangan pertama dengan pedangnya mengarah
kepada dada Bernard, ia mampu menghalangi pedangnya lalu dia
berputar untuk menebas Arang di belakang, Arang dengan cepat
membalikan pedangnya untuk menjaga punggung dari pedang
Bernard. Tebasan demi tebasan, tiap serangan Bernard
dibelakangi dengan niat membunuh, dari leher, tendon hingga
pembuluh darah, tiap serangan memiliki tenaga luar biasa dengan
presisi mematikan, hasil dari latihan pedang bertahun-tahun
sebagai seorang bangsawan.
Walau begitu, Arang yang sudah terlatih dari praktek
nyata dan puluhan tahun bekerja keras berhasil menahan tiap
serangan, Arang pun juga tidak hanya bermain defensif, tiap
serangan balik membara dengan semangat, tapi tidak menyimpan
sepeser kebencian.
Pedang Bernard pun berhasil menggores pipi Arang,
Arang pun sempat tersentak sebelum mendapatkan kembali kuda-
kudanya.
68
“Hah… bagaimana, sudah merasa lebih tampan tidak?”
Bernard berkata dengan nada hampir gila.
“Harus aku selesaikan pertarungan ini dengan segera,
aku sudah mulai mencapai batasku!” pikir Arang, darah mulai
berjatuhan dari pipinya.
Tanpa pikir panjang lagi, Arang pun menghentakkan
kakinya ke tanah sekeras mungkin, debu dan tanah terangkat
sembari tanah tempat kakinya bertapak meretak. Sebelum
Bernard telah menyadari musuh bubuyutannya sudah berada di
depan mukanya. Bernard pun dengan sigap bergerak untuk
menebas bagian kiri leher Arang sebelum suara benturan besi bisa
terdengar jauh dari ruangan takhta yang hancur.
“A-apa! Seharusnya bagian kirinya tidak terjaga! Dia
kan tidak kidal!” pikir Bernard keheranan.
Tepat sebelum Arang berlari ke arah Bernard, pedangnya
ia pindahkan ke tangan kirinya. Kenapa? Bernard mulai
memikirkan ratusan alasan. Mungkinkah ini sebuah kesalahan,
trik, atau bahkan sebuah sindiran terhadap kekuatanya? Semua
pikiran ini melintas di pikiran Bernard. Tetapi semua pikiran itu
terhenti setelah melihat pedang Arang telah jatuh dari tangannya
“Bodoh sekali kau Arang, jelas-jelas tangan kirimu tak
sekuat tangan dominanmu… Sekarang, akan kupertemukan kamu
kembali dengan kakekm-”

69
Dan dengan seketika, Bernard pun tumbang. Arang
memindahkan pedangnya ke tangan kiri untuk bisa leluasa
mengeluarkan pukulan kait kanan, dan dengan satu pukulan,
Bernard Von Hoffen jatuh terpuruk di tanah.
Dari kecil, Bernard sudah diajarkan cara untuk
memberikan rasa sakit, dari cara berbahasa sampai bertarung.
Bernard memang ahlinya dalam menyakiti, tetapi tidak pernah
terpikirkan dalam hidupnya, bahwa akan datang hari di mana ia
yang akan tersakiti. Pada akhirnya, Bernard hanya bisa pingsan,
mukanya tergeletak di atas tanah.
Arang hanya menatap tubuh lesu Bernard, mukanya
hanya bertampak netral, tidak ada ekspresi benci maupun marah.
“Jangan menghiraukan orang yang hanya ingin
menjatuhkanmu”
Ucapan kakeknya disimpan Arang dengan baik di hatinya.
Tidak ada gunanya untuk membalaskan dendam ataupun
menyombongkan diri, seseorang yang hanya bisa menyakiti
hanya bisa berubah jika diri mereka sendiri ingin berubah. Jujur
saja Arang merasa sedikit kasihan, mungkin suatu hari nanti
Bernard akan menemukan jalan keluarnya dari dinding-dinding
yang dipaksakan ke dirinya sendiri. Tetapi untuk sekarang Arang
hanya bisa duduk di dekat Bernard, nafasnya berjeda sembari
menatap ke arah cakrawala kemerahan.

70
VI. AGAR BANGUN DARI
RERUNTUHAN

Rakyat berkumpul di sekitar istana yang sekarang


hanyalah reruntuhan. Semua orang terkejut melihat bangunan
megah yang disangka kebal dari segala musibah ini sekarang
tinggal berbentuk bongkahan.
Pengaruh buruk dari kekuatan sihir pedang Don Cabe
sudah mereda. Arang kembali ke dirinya yang semula tenang,
dingin seperti mentimun segar. Ia menyesali agresinya yang
keluar dalam pertarungan, pasti bukan itu yang Kakek inginkan.
“Bernard, lihatlah aku,” kata Arang kepada rivalnya sejak
kecil.
Bernard yang baru saja mulai sadar kembali terlihat malas
mendengar apa yang Arang akan katakan, seakan dia sudah tahu
lengkap petuah yang Arang akan sampaikan.
“Kita tidak bisa selamanya hidup dalam konflik. Kamu
bukanlah orang jahat. Kakekmu mengajarkanmu untuk seperti
ini, tetapi kamu bisa memilih perbuatanmu sendiri sekarang.
Kamu tidak perlu mendengarkan kakekmu,” ucap Arang sambil
bangun dan menjulurkan telapak tangan terbukanya kepada
Bernard sebagai bentuk damai.

71
Kepala Bernard akhirnya berpaling untuk melihat Arang.
Tangannya ikut menjulur perlahan-lahan ke arah tangan Arang.
Arang sudah siap berdamai dengan Bernard. Namun, Bernard
ternyata menjulurkan tangannya hanya untuk menyingkirkan
tangan Arang dengan sebuah tepukan.
“Mungkin kamu yang seharusnya tidak perlu
mendengarkan kakekmu, Arang,” ujar Bernard, memutarbalikkan
ucapan Arang, “Lihat efek kakekmu kepadamu. Aku sudah jatuh
tak berdaya di bawah belas kasihanmu dan setelah semua
kekejamanku kamu masih belum berani membunuhku. Kakek
benar, kalian memang lemah.”
Arang sedikit terkejut dengan respons Bernard. Ia sempat
menyangka Bernard memang siap berubah. Arang hanya
menanggapi Bernard dengan salah satu pepatah kakeknya.
“Membalas tidak ada gunanya, Bernard.”
Bernard tampak seakan dia mending mati daripada perlu
mendengar Arang berbicara lagi. Tangannya meraba-raba
mencari reruntuhan yang bisa dipakai untuk bangkit berdiri. Baru
kali ini Arang yang berdiri tegak sementara Bernard yang
mencoba mengangkat diri dari tanah.
“Terus sekarang apa? Kamu mengangkat diri jadi raja
baru? Terus arahan pertamamu kepada prajurit-prajuritmu adalah
menahanku?” tanya Bernard.

72
“Tidak. Tidak ada lagi raja. Tidak ada lagi orang di atas
orang lain,” balas Arang.
Arang mengambil mahkota raja dari atas takhta dan
memberi gemerlapnya sebuah pandangan sejenak sebelum
melemparnya masuk ke dalam retakan tanah, tidak untuk
dikenakan siapapun lagi.
Bernard sangat heran dengan cara pikir Arang. Ia sangat
tidak paham bagaimana orang tidak menerima kekuasaan dan
kekuatan dengan mudah.
“Sudahlah, sudah tidak paham lagi aku, terserah kamu
mau apakan aku juga; penjara, hukum mati, terserah! Tapi aku
gak mau jadi bagian dari… semua… ini. Aku gak mau lagi
terlibat dengan tikus tanah sepertimu.”
Arang memilih untuk tidak mendengar hinaan Bernard. Ia
menjulurkan tangan untuk kedua kalinya.
“Ayo Bernard, aku mendengar amarahmu tadi kepada
ajaran-ajaran kakekmu. Kamu sempat menyadari kesalahan dari
pahammu selama ini. Tidak ada namanya telat untuk
memperbaiki diri.”
Bernard menatap tangan Arang untuk sejenak. Jarinya
terlihat bergetar sebelum akhirnya mengepal.
Tanpa disangka, Bernard menolak ajakan Arang untuk
kedua kalinya. Ia berbalik badan dan berlari dengan kaki
pincangnya ke arah pesisir dengan membawa raganya saja. Arang
73
sempat meletakan satu langkah ke depan seperti ingin mengejar.
Namun, ia memilih untuk membiarkan Bernard pergi.
Dari kejauhan, Arang memperhatikan Bernard kesulitan
menaiki sebuah perahu kecil karena kakinya. Bernard bergegas
menyalakan mesin dan memutar perahu menuju arah matahari
yang sedang terbit. Tanpa menoleh ke belakang, pergi berlayarlah
kapalnya menuju cakrawala.
Tidak jelas ke mana Bernard akan pergi, sampai kapan,
dan dengan rencana apa, tetapi kata-kata terakhir Bernard
menunjukan sudah seberapa dalam ajaran Kakek Bernard
tertancap di dalam otak cucunya. Ia lebih memilih kabur
dibandingkan mengakui seluruh hidupnya didasari prinsip-
prinsip salah.

Beberapa bulan telah berlalu sejak runtuhnya monarki


sang Raja. Seperti luka-luka Arang, masyarakat sudah memulih
dengan baik. Memang butuh waktu agar masyarakat terbiasa
dengan sistem barunya, tetapi mereka menerima dengan baik
kehidupan yang lebih merata.
Dengan kehilangannya Bernard, perusahaan ternama Von
Hoffen tidak terurus dan perlahan-lahan mulai runtuh sebelum
akhirnya gulung tikar. Tidak ada yang tahu nasib Bernard di laut
74
terbuka. Mungkin ia memulai kehidupan di negeri baru, mungkin
ia terdampar di suatu pulau dan hidup hanya dari air kelapa, atau
mungkin ia diculik bajak laut setelah mencoba membuat aliansi.
Hanya ada satu hal yang tentu: tidak ada tanda-tanda ia akan
kembali dalam waktu dekat.
Arang duduk bersila di pantai depan rumah masa kecilnya
di hadapan matahari terbenam. Ia membawa bunga-bunga indah
dan selembar daun.
“Maaf ya Ayah, baru hari ini Arang menyempatkan
waktu,” kata Arang selagi memandang langit merah muda,
berbincang seperti ayahnya sedang mendengarkan.
Ia menata barang-barangnya dengan rapi di atas sebuah
tikar.
“Beberapa bulan terakhir Arang sibuk membantu warga-
warga beradaptasi… Pasti Ayah akan senang melihat kondisi kita
sekarang.”
Ia mengambil daun dan mulai melipat, menciptakan
sebuah bentuk yang menyerupai perahu nelayan. Bunganya ia
buat menjadi rangkaian yang sangat menawan. Semua kerajinan
ini ia buat seperti yang diajarkan Kakek Arang saat Arang masih
kecil. Arang meletakan rangkaian bunganya pada perahu
daunnya.

75
“Ini sama dengan upacara yang Arang lakukan saat
peninggalan Kakek, Ayah. Hanya saja, kali ini sayangnya aku
tidak memiliki abu Ayah untuk ditebar.”
Laut sedang tenang dan baik hati sore itu. Gerakan ombak
sangat halus dan lemah lembut. Arang meletakan perahu daunnya
di permukaan air.
“Tenang di sana ya Ayah, terima kasih untuk
pengorbanan terakhirmu. Aku tidak akan berada di sini hidup
menyalurkan kebaikanmu tanpa pertolonganmu.”
Ombak membawa perahu daun yang Arang buat untuk
penghormatan ayahnya perlahan-lahan menjauh dari pasir. Dari
kelihatannya, lautan seperti membawa perahu daunnya ke arah
Pulau Don Cabe.
Arang melihat perahunya dan jadi teringat lagi dengan
perjalanan-perjalanan memancingnya bersama kakeknya saat
mereka masih kecil.
“Ayah sudah bertemu dengan Kakek? Sudah membahas
apa saja kalian? Terakhir kali katanya dia ada hal yang ingin
ditanyakan kepadamu, hahah…”
Arang mendapat ketenangan sempat bertemu dengan
ayahnya semasa hidupnya. Banyak pertanyaan yang ia pendam
akhirnya terjawab dan ia lega ayahnya bukan orang jahat. Ia
berharap kakeknya bisa melihat itu, berharap pertanyaan

76
kakeknya yang disampaikan saat masa muda Arang sudah
terjawab.
“Kakek, maafkan Ayah yang meninggalkan kita ya, dia
sebenarnya sangat sangat sangat sayang dengan keluarganya,
demi siapa lagi ia akan berani memberontak?” jelas Arang ke arah
langit, “Dia sempat dicoba dan moralnya sempat terguncang.
Semoga Kakek mengerti ya, kita semua pasti pernah mengalami
ini, Arang juga sempat…”
Arang lanjut berbicara dengan awan-awan,
menyampaikan segala hal di kepalanya. Sayang sekali pedang
ajaibnya yang membolehkan Kakek Arang memberi pesan
kepada Arang sudah tidak ada, ia hanya bisa berharap semua yang
ia katakan panjang lebar selama penghormatan ini didengar oleh
keluarganya.
“Oh iya, aku hampir lupa bertanya,” tambah Arang,
“Bagaimana ibu? Ayah juga sudah bertemu ibu?”
Arang membayangkan ekspresi ayahnya yang pasti sangat
bahagia bertemu kekasihnya setelah sekian lama.
“Ibu… Ayah mungkin tidak secara langsung menjalankan
pesan ibu untuk membesarkanku sampai besar dan sukses, tetapi
ia berperan besar dalam membentuk diriku hari ini.”
Arang terus berbicara hingga perahu daunnya sudah di
luar jangkauan matanya. Malam telah tiba, Arang mulai
mengemas sisa-sisa barang yang ia bawa tadi.
77
Arang menggunakan waktu luangnya di malam hari untuk
berkeliling di pusat kota, melihat-lihat lagi situasi sekitar. Arang
merasa puas dengan pemandangan jauh lebih segar sekarang.
“Doamu terkabul Kek, aku menjadi dampak positif bagi
komunitasku.”
Kisah perjuangan hidup Arang menjadi buah bibir
masyarakat. Pesan yang Kakek Arang selalu alirkan ke Arang
telah Arang teruskan ke tetangga-tetangganya ini, menjadikan
ajaran kakeknya sebagai sifat-sifat positif yang pantas diterapkan
oleh komunitasnya; kapan pun, di mana pun, sebagai apa pun.

78
TAMAT

RANCANGAN NOVEL

Genre Fantasi

Tema Perjuangan Hidup dan Moral

Sumber Banyak sastrawan, penulis, dan pembuat film


Inspirasi seperti:
● Agatha Christie
● George Lucas
● J.R.R. Tolkien
● Gege Akutami
● Makoto Yukimura
● Kohei Horikoshi

Tokoh Apu Christian Arang T. Lemah lembut,


Penting dan berprinsip, dan
Penokohan berusaha keras
meski sering
direndahkan

Bernard Von Hoffen Egois, arogan,


dan pandai
merendahkan
orang lain

Kakek Arang Bijaksana,


penyayang,
sederhana, dan
penuh perhatian
terhadap Arang

Kakek Bernard Angkuh,


sombong, dan
pengaruh buruk
bagi Bernard

Raja Tegas dan


kurang peka

El Paprika Don Cabe Pintar, gagah,


sayang
keluarga, tetapi
tidak stabil

Jin Suka
perselisihan dan
kekerasan,
keras kepala,
licik
Latar Cerita Waktu Sekitar Abad
ke-18

Tempat Desa Arang,


Istana Raja,
Pulau Don
Cabe

Suasana Budaya Kerajaan Era


Industrial

Suasana Alamiah Tegang

Alur Arah gerak cerita Maju

Jumlah alur 1

Sudut Orang Ketiga


Pandang

Gaya Bahasa Hiperbola, Metafora, Simile, Sinisme,


Personifikasi

Amanat Selalu berpegang teguh pada moralmu dalam


Moral kondisi apa pun, baik dalam kesulitan maupun
kejayaan.

Jumlah Bab 6
Bab Adegan Tokoh Tempat Waktu

I Pertengkaran antara Arang dan Arang, Desa Masa


Bernard membuat Arang Bernard, Arang kecil
terluka dan direndahkan Kakek Arang
Bernard. Kakek Arang dan Arang, dan
Kakek Bernard menanggapi Kakek Bernard
pertengkaran ini dengan sangat Bernard
berbeda. Meski sudah dihina
keluarga Von Hoffen, selama
perjalanan pulang, Kakek
Arang menyoroti pentingnya
selalu berbuat baik dalam
menghadapi kesulitan hidup.

II Kerja keras Arang tidak Arang, Desa 15-20


berhasil membuatnya menjadi Bernard, Arang, tahun
kepala pelayan raja. Saat Raja Kakek Rumah setelahn
ingin mewariskan takhtanya, Arang, Raja sakit, ya
Arang, sebagai pelayan teratas Istana
dan paling setianya, menjadi Raja
opsi. Namun, penyerahan
takhta tidak semudah itu
dengan keberadaannya
Bernard yang juga ingin
Bab Adegan Tokoh Tempat Waktu

memperebutkan takhta, kini


sebagai pengusaha sukses.
Sebagai penentu penerus
takhta, Raja memberi kedua
orang ini suatu tantangan:
menghancurkan Don Cabe dan
perusahaannya.

III Tantangan berat dan Bernard Arang, Istana Di hari


yang menjengkelkan membuat Bernard, Jin Raja, Raja
Arang kesal dengan situasinya Pelabuhan menyata
sehingga ia menendang sebuah kerajaan kan
dinding istana roboh. Di balik tantanga
dinding tersebut ternyata n
adalah sebuah ruangan
penyimpanan berisi barang-
barang mewah. Arang yang
membelai suatu vas
menemukan sebuah Jin di
dalamnya. Dengan bantuan
dari Jin, Arang sekarang punya
kesempatan untuk bersaing
melawan Bernard.
Bab Adegan Tokoh Tempat Waktu

IV Dengan tenggelamnya kapal Arang, Jin, Pulau Senja


Bernard, Arang berhasil Don Cabe Don Cabe hari
mendahuluinya ke Pulau Don yang
Cabe. Arang dan Jin sama
merencanakan sebuah
infiltrasi pabrik untuk bertemu
langsung dengan Don Cabe,
mencoba menyelidiki akar dari
permusuhannya dengan Raja
dan menyelesaikannya dengan
damai.

V Arang didahului oleh Bernard Arang, Istana Malam


yang sekarang merupakan Bernard, Raja hari
majikan Jin menuju istana. Kakek yang
Kejahatan sudah merasuki Arang, Jin sama
Bernard sampai ia membunuh
Raja untuk mengambil paksa
takhta. Ini menciptakan
pertarungan antara Arang
melawan Jin dan Bernard.

VI Arang menggunakan Arang, Runtuhan Subuh


runtuhnya istana sebagai Bernard Istana hari
Bab Adegan Tokoh Tempat Waktu

kesempatan membangun Raja, berikutn


kembali sistem. Arang Pantai ya dan
mengajak Bernard untuk Rumah beberap
berdamai. Namun, Bernard Arang a bulan
malah melarikan diri. Arang setelahn
akhirnya mereformasi sistem ya
kerajaannya untuk
menghormati pengorbanan
ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai