Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

FIBROMA DI RUANG MAWAR A RUMAH SAKIT UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH MALANG

Oleh:
SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
TAHUN 2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

Malang, Februari 2024

Disusun Oleh :
SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
A. Definisi
Fibroma adalah suatu pertumbuhan jaringan yang tidak normal berupa
reaksi hiperplasia dari jaringan ikat fibrosa bisa berupa iritasi atau trauma
lokal pada rongga mulut. Secara klinis tumor ini mirip dengan lesi jaringan
ikat yang lainnya (Dermawan, 2020).
Fibroma adalah tumor jinak yang terdiri dari jaringan ikat atau fibrosa.
Terdapat dua jenis fibroma yang paling sering ditemukan pada kulit
yakni soft fibroma (akrokordon) dan hard fibroma (dermatofibroma).
Akrokordon atau dikenal dengan nama lain skin tag adalah tumor yang
berukuran 2–3 mm, berwarna menyerupai warna kulit atau coklat muda,
berbentuk kubah atau bertangkai dan paling sering muncul pada leher dan
ketiak. Sedangkan dermatofibroma adalah tumor dengan ukuran 3-10 mm,
berwarna cokelat keunguan, terkadang disertai nyeri tekan dan paling sering
muncul pada bagian ekstremitas pada orang dewasa (Schwart, 2021).
Penyebab dari soft fibroma (akrokordon) dan hard fibroma
(dermatofibroma) sangat berbeda. Akrokordon pada umumnya disebabkan oleh
faktor usia (penuaan), obesitas, ketidakseimbangan hormon (peningkatan hormon
estrogen, progesteron dan growth hormone pada kasus akromegali), infeksi virus
(virus Human Papilloma), diabetes melitus (resistensi insulin), dan sindroma Birt-
Hogg-Dube (BHD). Sedangkan pada dermatofibroma, penyebabnya masih belum
diketahui, namun pada beberapa studi, dermatofibroma erat kaitannya dengan
proses trauma pada kulit seperti akibat gigitan serangga, tato, pemeriksaan
tuberkulin, atau infeksi kulit seperti folikulitis (Schwart, 2021).
Diagnosis pasti fibroma, baik pada soft fibroma (akrokordon)
maupun hard fibroma (dermatofibroma), tetap mengandalkan hasil dari
pemeriksaan histopatologi jaringan selain dari pemeriksaan fisik atau dengan
bantuan dermaskopi. Dalam hal penanganan penyakit, pada sebagian besar kasus
baik pada akrokordon maupun dermatofibroma tidak membutuhkan terapi karena
tidak menimbulkan gejala. Namun, apabila mengganggu secara kosmetik atau
menimbulkan gejala, maka tata laksana yang dapat diberikan yakni dengan teknik
pembedahan yakni eksisi tumor, cryotherapy, atau laser ablasi (Pierson, 2020).
B. Etiologi
Fibroma dibagi menjadi dua jenis yaitu akrokordon dan dermatofibroma.
Akrokordon adalah soft fibroma, sedangkan dermatofibroma adalah hard
fibroma. Akrokordon lebih sering dikenal sebagai skin tag.
1. Akrokordon
Akrokordon telah diasosiasikan dengan kelainan lipid, diabetes
mellitus tipe 2, penyakit kardiovaskular dan obesitas. Akrokorodon juga
dapat ditemui pada pasien dengan kelainan genetik seperti sindroma Birt-
Hogg-Dubé. Proses penuaan juga dipikirkan berhubungan dengan
akrokordon karena meski dapat dialami pada usia remaja, penyakit ini
paling sering ditemui pada usia lansia.
Ketidakseimbangan hormon juga dapat berpotensi menyebabkan
akrokordon, yakni peningkatan hormon estrogen dan progesteron selama
masa kehamilan, serta peningkatan hormon pertumbuhan pada
kondisi akromegali (Gedem, 2013).
2. Dermatofibroma
Penyebab dari dermatofibroma hingga saat ini masih tidak diketahui
secara pasti. Namun terdapat beberapa faktor yang dipercaya menjadi
penyebab terjadinya dermatofibroma yakni akibat trauma minor, gigitan
serangga, tato, tes tuberkulin kulit (Mantoux), infeksi virus, kista yang
ruptur, atau folikulitis.
Beberapa penyakit juga ditemukan berasosiasi dengan
dermatofibroma, seperti infeksi HIV dan lupus yang terkait sistem imun.
Penyakit keganasan seperti leukemia, cutaneous T-cell lymphoma,
dan multiple myeloma juga diasosiasikan dengan dermatofibroma.
Adapun penyakit lain yang juga diasosiasikan dengan dermatofibroma
yaitu dermatomyositis, Grave’s disease, tiroiditis Hashimoto, myasthenia
gravis, sindrom mielodisplastik, dermatitis atopik, Crohn’s disease,
dan ulcerative colitis. Obat-obatan tertentu juga dilaporkan memiliki
hubungan dengan dermatofibroma, seperti tenofovir, lamivudine, efavirenz,
efalizumab, infliximab, dan imatinib (Pierson, 2020).
C. Patofisiologi
Patofisiologi dermatofibroma meliputi proses trauma pada kulit,
sedangkan akrokordon disebabkan oleh beberapa faktor seperti gangguan
hormonal.
1. Akrokordon
Terdapat berbagai macam teori yang diduga menjelaskan patofisiologi
dari akrokordon, dua di antaranya ada kaitannya dengan resistensi insulin
pada penderita diabetes mellitus dan tekanan atau gesekan berulang pada
permukaan kulit.
Tekanan atau gesekan berulang menyebabkan gangguan pada jaringan
elastik kulit terutama pada bagian leher dan lipatan-lipatan lainnya pada
bagian tubuh (John, 2015).
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah sebuah kondisi di mana terjadinya target
organ ataupun sel tidak responsif terhadap paparan atau konsentrasi
insulin. Sebagai bentuk kompensasi, pankreas akan terus mensekresi
insulin sehingga tubuh akan mengalami hiperinsulinemia.
Hiperinsulinemia akan mengaktivasi reseptor insulin growth
factor–1 (IGF-1) yang terdapat pada fibroblas serta keratinosit baik
secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya hiperinsulinemia
bersamaan dengan peningkatan kadar IGF-1 akan menginduksi epitel
untuk melakukan pertumbuhan atau proliferasi fibroblas, yang
kemudian akan menyebabkan hiperplasia pada epidermal (Lobato,
2014).
2. Dermatofibroma
Mekanisme terjadinya dermatofibroma masih belum terlalu jelas.
Namun beberapa studi menyatakan bahwa pada hasil pemeriksaan
imunohistokimia, ditemukan clonal markers pada sel-sel yang ada pada
dermatofibroma. Clonal marker berkaitan dengan proses neoplasma pada
umumnya dan perubahan jaringan kulit yang reaktif, terutama akibat
proses inflamasi seperti trauma pada kulit dan lainnya (Susanto, 2020).
D. Pathway
E. Faktor Resiko
Faktor risiko fibroma bergantung pada jenisnya yaitu akrokordon dan
dermatofibroma. Pada akrokordon, faktor risiko meliputi banyak faktor
sementara pada dermatofibroma, faktor risiko meliputi beberapa penyakit dan
penggunaan obat-obat tertentu.
1. Faktor Risiko Akrokordon
Faktor risiko terjadinya akrokordon adalah:
a. Obesitas
b. Proses penuaan
c. Diabetes mellitus atau resistensi insulin
d. Ketidakseimbangan hormon pada saat hamil atau pada kondisi
akromegali
e. Infeksi human papillomavirus (HPV)
f. Sindroma Birt-Hogg-Dubé (BHD) (Shimizu, 2017)
2. Faktor Risiko Dermatofibroma
Faktor risiko terjadinya dermatofibroma didasarkan pada penyakit
atau penggunaan obat-obatan yang telah dilaporkan berhubungan dengan
dermatofibroma. Berikut adalah penyakit-penyakit yang diasosiasikan
dengan dermatofibroma:
a. Penyakit yang berhubungan dengan sistem imun: infeksi HIV, lupus
b. Keganasan: leukemia, cutaneous T-cell lymphoma, multiple myeloma
c. Penyakit lainnya: dermatomyositis, Grave’s disease, tiroiditis
Hashimoto, myasthenia gravis, sindrom mielodisplastik, dermatitis
atopik, Crohn’s disease, dan ulcerative colitis
Beberapa penggunaan obat-obatan terutama golongan antiretroviral
dan agen kemoterapi diasosiasikan dengan risiko terjadinya
dermatofibroma, seperti:
a. Obat antiretroviral seperti tenofovir, lamivudine, atau efavirenz
b. Efalizumab
c. Antitumor necrosis factor-alpha seperti infliximab
d. Imatinib (Pierson, 2020).
F. Manifestasi Klinis
Diagnosis fibroma dimulai dengan anamnesis yang meliputi
karakteristik lesi dari tumor berupa morfologi, lokasi, bentuk, ukuran, gejala
tambahan, onset, dan faktor-faktor pencetus. Sedangkan pada pemeriksaan
fisik, dapat dilakukan dengan inspeksi karakteristik morfologi dari tumor
dimulai dari jenis lesi, warna, ukuran dan lokasi muncul tumor. Pemeriksaan
fisik dapat dibantu dengan menggunakan alat dermaskopi. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi yang
berguna untuk menegakkan diagnosis pasti dari fibroma.
Anamnesis pada tumor fibroma pada prinsipnya sama dengan
anamnesis pada penyakit tumor jinak kulit lainnya, yaitu anamnesis mengenai
karakteristik lesi tumor dan faktor penyebab.
a. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan,
pada penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal.
b. Nyeri terkadang dirasakan
c. Ada bagian yang menonjol ke permukaan
d. Ada penekanan pada jaringan sekitar
e. Ada batas yang tegas
f. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa (Giant
Fibroadenoma)
g. Memiliki kapsul dan soliter
h. Benjolan dapat digerakkan
i. Pertumbuhannya lambat
j. Mudah diangkat dengan lokal surgery
k. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian (Susanto, 2020)

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan definitif pada fibroma adalah pembedahan. Walau
demikian, pembedahan tidak wajib untuk dilakukan selama tidak timbul
gejala seperti perubahan ukuran atau warna, lesi mengalami iritasi, atau
berdarah. Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan yakni berupa eksisi
tumor, cryosurgery, dan ablasi laser. Eksisi tumor jinak kulit merupakan
tindakan medis invasif yang bertujuan untuk mengangkat tumor jinak di
jaringan kulit superfisialis, seperti kista epidermoid, fibroma, akrokordon,
atau keratoakantoma. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi lokal dan
jarang menyebabkan perdarahan banyak, Cryosurgery merupakan teknik
operasi yang dilakukan dengan menggunakan cairan khusus bersuhu rendah.
Cairan ini dapat membekukan dan mematikan sel yang tidak normal,
termasuk sel kanker. Tidak hanya digunakan untuk mengobati
kanker, cryosurgery juga digunakan untuk mengatasi beberapa masalah pada
kulit, seperti menghilangkan tato dan kutil, sedangkan Ablasi laser adalah
operasi yang kurang invasif dibandingkan kebanyakan operasi otak. Ini
berarti lebih sedikit waktu di ruang operasi, sayatan lebih kecil, dan lebih
sedikit komplikasi setelah operasi. Tindakan pembedahan yang dilakukan
sekaligus mengambil jaringan untuk dilakukan biopsi.
Prinsip penatalaksanaan fibroma merupakan tumor jinak sehingga
umumnya tidak membutuhkan penatalaksanaan. Walau demikian, terdapat
beberapa pertimbangan untuk melakukan pembedahan pada fibroma.
Penatalaksanaan berdasarkan keluhan pasien yaitu nyeri, dimana untuk
menangani nyeri secara keperawatan terdapat beberapa jenis tindakan non
farmakologis antara lain: teknik relaksasi, distraksi masase, terapi es dan
panas, dan stimulasi saraf elektris transkutan.
Edukasi dan promosi kesehatan fibroma terutama dilakukan untuk
meyakinkan pasien bahwa tumor ini merupakan tumor jinak yang umumnya
tidak memerlukan tata laksana. Dokter harus menjelaskan pertimbangan
untuk melakukan pembedahan dan tanda bahaya yang harus diwaspadai,
misalnya perubahan warna dan munculnya gejala iritasi atau perdarahan pada
tumor (Susanto, 2020).
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Biopsi
Biopsi bedah dilakukan dibawah anastesi lokal. Biopsi mencakup
eksisi lesi dan mengirimkannya ke laboraturium untuk dilakukan
pemeriksaan patologis. Bila ukuran tumor tidak terlalu besar, maka
semua benjolan diangkat dengan cara operasi yang dilakukan dalam
pembiusan total, disebut biopsi eksisi. Bila tumor ukurannya besar,
biasanya diambil sampel dari benjolan yang ada, disebut biopsi insisi.
Setelah dilakukan biopsi, jaringan tumor dikirim untuk pemeriksaan
patologi anatomi (PA) untuk penentuan tumor jinak atau ganas (kanker).
Bila hasil PA jinak maka dengan pengangkatan tumor berarti pengobatan
sudah selesai. Namun bila hasilnya adalah kanker , harus dilanjutkan oleh
operasi kedua yaitu dengan tindakan bedah kuratif (Susanto, 2020).
b. USG Muskuloskeletal
USG muskuloskeletal adalah alat ultrasonografi seperti pada
umumnya, tetapi memiliki komponen khusus yang digunakan untuk
pemeriksaan otot, tulang, sendi, tulang rawan sendi, tendon dan jaringan
lunak sekitar sendi. Beberapa keunggulan pemeriksaan USG untuk otot,
tulang dan sendi. Pemeriksaan USG dilakukan secara real time, dapat
mengetahui kondisi penyakit saat itu juga sambil menggerakkan sendi,
atau bagian yang cedera sehingga diagnosis dapat lebih akurat. Tidak
menimbulkan radiasi, pemeriksaan ultrasonografi aman bagi penderita
maupun pemeriksa karena pemeriksaan USG tidak menimbulkan radiasi,
sehingga aman dilakukan pada semua orang termasuk anak-anak dan
bayi sekalipun dan dapat dilakukan berulang kali. Sebagai panduan
dalam melakukan tindakan intervensi, dokter yang melakukan USG
bisa sekaligus memberikan terapi injeksi (USG guided injection),
sehingga tindakan intervensi tersebut akan sangat akurat dan penderita
pun dapat mengikuti dan melihat proses tindakan intervensi tersebut
(Ferius, 2022).
c. MRI
Magnetic Resonance Imaging atau MRI adalah pemeriksaan medis
menggunakan teknologi magnet serta gelombang radio untuk
mengidentifikasi kondisi tubuh. Bisa dikatakan, MRI adalah semacam
scanner yang mampu melihat hingga ke bagian organ dalam. Tujuan
utama sekaligus fungsi MRI adalah sebagai penunjang atau alat bantu
dokter dalam memberikan diagnosis secara akurat kepada pasien
mengenai masalah kesehatan yang dialami.
Pemeriksaan ini akan menghasilkan gambar berupa organ, jaringan,
dan sistem rangka dengan resolusi tinggi. Gambar tersebut dibutuhkan
dokter untuk menentukan letak gangguan dan menentukan cara
pengobatan paling tepat terhadap pasien sekaligus mengevaluasi
efektivitas terapi.
Selain itu, pemeriksaan MRI sering kali bertujuan untuk mendeteksi
penyakit atau gangguan pada tulang dan sendi, seperti kanker tulang,
infeksi tulang, hingga cedera pada sendi. Hasil yang diperoleh dari MRI
dapat digunakan sebagai pertimbangan langkah operasi pada tulang dan
sendi (Ade, 2023)
d. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap umumnya akan melibatkan tes hitung
darah untuk mengetahui jenis dan jumlah berbagai sel darah, serta apakah
semuanya berada dalam rentang yang normal. Ada beberapa komponen
yang diuji dalam tes hitung darah lengkap, yaitu:
 jumlah sel darah merah (RBC)
 jumlah sel darah putih (WBC)
 hematokrit (persentase darah dalam sel darah merah)
 total hemoglobin (protein pada sel darah merah yang berfungsi
mengikat oksigen)
 trombosit
 ukuran rata-rata sel darah merah (MCV)
 jumlah hemoglobin dalam setiap sel darah merah (MCH)
 jumlah hemoglobin relatif terhadap ukuran sel dalam setiap sel darah
merah (MCHC).
Sebelum operasi, juga perlu menjalani pemeriksaan darah lengkap
yang berkaitan dengan kadar komponen tertentu pada darah. Komponen-
komponen tersebut adalah berikut:
 nitrogen urea darah (BUN) untuk menilai fungsi ginjal
 karbondioksida dalam darah
 kreatinin darah (Cr) untuk mendeteksi gangguan pada ginjal dan
perubahan tekanan darah
 glukosa darah untuk mengetahui kadar gula darah
 serum klorida (Cl) untuk mengetahui status hidrasi (apakah Anda
mengalami dehidrasi atau overhidrasi)
 serum kalium (K) untuk mengetahui kondisi jantung, dan
 serum natrium (Na) untuk mengetahui fungsi ginjal, status hidrasi, dan
efek lain terkait apa yang Anda konsumsi.
Bila terdapat kondisi medis maupun gangguan kesehatan tertentu,
pasien memerlukan pemeriksaan komponen lain dalam darah untuk
mengetahui fungsi organ tubuh. Karenanya, pemeriksaan darah lengkap
sebelum operasi juga bisa melibatkan sejumlah tes lainnya, seperti:
 uji koagulasi (penggumpalan) darah
 uji enzim hati
 analisa gas darah pada pasien yang menggunakan ventilator
 uji enzim otot jantung
 pemeriksaan prokalsitonin untuk menentukan apakah tubuh
mengalami sepsis (Damara, 2021).
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit fibroma bukan
disebabkan oleh penyakit itu sendiri, melainkan biasanya disebabkan oleh
prosedur tindakan bedah yang dilakukan. Komplikasi dapat berupa
perdarahan, infeksi, dan muncul bekas luka akibat eksisi tumor (Susanto,
2020).
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Kelemahan dan / keletihan
Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur,
misalnya : nyeri, ansietas.
Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsiogen
lingkungan.
b. Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja
Kebiasaan : Perubahan pada TD
c. Integritas Ego
Gejala : Factor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan
cara mengatasi stress (misalnya merokok,minum alcohol,
mununda mencari pengobatan, keyakinan religius /
spiritual)
Masalah tentang perubahan dalam penampilan, misalnya
pembedahan.
Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa,
tidak mampu, tidak bernakna, rasa bersalah, kehilangan
control,depresi.
Kebiasaan : Menyangkal, menarik diri, marah
d. Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, misalnya nyeri pada
defekasi
Perubahan eliminasi urinarius, misalnya sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
e. Makanan / cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk, misalnya rendah serat tinggi lemak
bahan pengawet. Anoreksi, mual / muntah
Perubahan pada berat badan ; penurun berat badan
Tanda : Perubahan pada kelembaban / turgo kulit ; edema
f. Neurosensori
Gejala : Pusing ; sinkope
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Derajat nyeri bervariasi, misalnya ketidak nyamanan
ringan sampai nyeri berat.
h. Pernapasan
Gejala : Merokok, hidup dengan seseorang yang merokok.
Pemajanan asbes
i. Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen
Pemanjana matahari lama / berlebihan.
Tanda : Demam
Ruam kulit, ulserasi
j. Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, misalnya dampak pada hubungan,
perubahan pada tingkat kepuasan.
k. Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan / kelemahan system pendukung.
Masalah tentang fungsi / tanggung jawab peran
l. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Riwayat kaker pada keluarga, misalnya ibu / Bibi dengan
kanker payudara, kanker ovarium, kanker kolo
Riwayat pengobatan : Pengobatan sebelumnya untuk
tempat kanker dan pengobatan yang diberikan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. NYERI AKUT
Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab:
 Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
 Agen pencedra kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
 Agen pencidra fisik (mis. Abses, trauma, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat,prosedur operasi,trauma, latihan fisik
berlebihan
Outcome: Tingkat Nyeri Menurun
INTERVENSI KEPERAWATAN
a) Manajemen Nyeri
Observasi
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b) Pemberian Analgetik
Observasi
 Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas,
lokasi, intensitas, frekuensi, durasi)
 Identifikasi riwayat alergi obat
 Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis. Narkotika, non-
narkotika, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian
analgesik
 Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
 Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam serum
 Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respon
pasien
 Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic dan efek yang
tidak diinginkan
Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
b. ANXIETAS
Definisi: Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi
ancaman.
Penyebab
 Krisis situasional
 Kebutuhan tidak terpenuhi
 Krisis maturasional
 Ancaman terhadap konsep diri
 Ancaman terhadap kematian
 Kekhawatiran mengalami kegagalan
 Disfungsi sistem keluarga
 Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan
 Faktor keturunan (temperamen mudah teragitasi sejak lahir)
 Penyalahgunaan zat
 Terpapar bahaya lingkungan (mis. toksin, polutan, dan lain-lain)
 Kurang terpapar informasi
Outcome: Tingkat Ansietas menurun
INTERVENSI KEPERAWATAN
a) Reduksi Anxietas
Observasi
 Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu,
stressor)
 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
Terapeutik
 Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika memungkinkan
 Pahami situasi yang membuat anxietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
 Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu
b) Terapi Relaksasi
Observasi
 Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang menganggu kemampuan
kognitif
 Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
 Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
sebelumnya
 Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
 Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
 Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan pakaian longgar
 Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik
atau tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis, relaksasi yang tersedia
(mis. music, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
 Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
 Anjurkan mengambil psosisi nyaman
 Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
 Anjurkan sering mengulang atau melatih teknik yang dipilih’
 Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam,
pereganganm atau imajinasi terbimbing )
3. Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara yang berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga
dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat kemampuan
pasien dalam mencapai tujuan tindakan yang disesuaikan pada kriteria
hasil dalam tahap perencanaan (Setiadi, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan. 2020. Management Of Oral Fibroma. Universitas Denpasar. e-


journal.unmas.ac.id was first indexed by Google in November 2018

John M, Chirayath S, Paulson S. Multiple soft fibromas of the lid. Indian J


Ophthalmol. 2015;63(3):262-4.

Lobato-Berezo A, Churruca-Grijelmo M, Martínez-Pérez M, Imbernón-Moya A,


Vargas-Laguna ME, Fernández-Cogolludo E, et al. Dermatofibroma
Arising within a Black Tattoo. Case Rep Dermatol Med. 2015; 745304.
PPNI. (2016). Strandar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Strandar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Strandar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Pierson JC. Dermatofibroma. Medscape. 2020.
https://emedicine.medscape.com/article/1056742-treatment

Rajput DA, Gedam JK, Bhalerao M. Unusual presentation of acrochordon. Indian


J Dermatol. 2013; 24(5): 436-38.

Schwartz RA. Acrochordon. Medscape. 2021.


https://emedicine.medscape.com/article/1060373-overview#a4
Setiadi. (2018). Evaluasi Pemberian Asuhan Keperawatan.
http://eprints.umm.ac.id/40038/3/Evaluasi keperawatanf

Shimizu H. Shimizu’s Textbook of Dermatology. 2nd ed. New Jersey: Wiley


Blackwell. 2017.

Susanto. 2020. Laporan Fibroma Ruang Bougenfil Rsud Banyumas.


https://id.scribd.com/document/547202191/Lp-Fibroma-Fik

Anda mungkin juga menyukai