Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH KESULTANAN DELI DAN KESEJAHTERAAN RAKYATNYA

Memasuki paruh kedua abad ke-19, sebuah perkembangan sekaligus perubahan besar terjadi dalam
tubuh Kesultanan Deli. Lonjakan ekonomi terjadi dalam waktu yang cukup singkat. Kesultanan Deli
yang sebelumnya merupakan daerah penghasil komoditas lada sebagai komoditas utamanya,
digantikan oleh keberadaan perkebunan tembakau, dimana produk Tembakau Deli begitu diminati di
pasaran internasional. Lada yang sudah cukup memberikan keuntungan ekonomi bagi Kesultanan
Deli, kini bertambah dengan produksi perkebunan tembakau yang meningkat akibat peningkatan
permintaan pula komoditas tembakau, terutama di Eropa yang dipengaruh tren penggunaan cerutu
pada gaya hidup orang-orang Eropa masa itu.

Kesultanan Deli meraup keuntungan besar dari perkembangan perkebunan tembakau. Simbol
kebesaran dan kejayaan atas kemakmuran ekonomi tersebut ditunjukkan salah satunya pada
bangunan istana yang hingga kini menjadi salah satu tujuan wisata di Kota Medan. Istana Maimun
dinilai merupakan simbol kebesaran Kesultanan Deli, yang tentunya merupakan hasil keuntungan
yang didapat dari konsesi perusahaan perkebunan tembakau.

Namun konsekuensi yang terjadi adalah pergeseran identitas bagi Kesultanan Deli sendiri. Capaian
yang diraih lewat perkebunan tembakau juga tidak lepas dari pengaruh kolonialisme. Setelah Traktat
London 1824 yang membagi wilayah penguasaan Belanda dan Inggris, Belanda kemudian merasa
berhak atas penguasaan kawasan di Sumatera, yaitu daerah-daerah diluar Pulau Jawa. Perjanjian
tersebut juga menghentikan aktivitas perdagangan yang berjalan di Selat Melaka, memisahkan
“Dunia Melayu” antara Sumatera dan Semenanjung. Akibatnya kedaulatan otoritas kekuasaan lokal
terganggu bukan hanya secara politik dan ekonomi, tetapi juga identitas budaya masyarakatnya.

Belanda masuk memengaruhi kerajaan-kerajaan di kawasan Pesisir Timur Sumatera. Mengganggu


pula aktivitas perdagangan dan memperluas potensi konflik. Hal ini bahkan berpengaruh hingga ke
Aceh yang berdaulat atas negeri-negeri taklukannya. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
melancarkan penguasaan terhadap daerah-daerah di Sumatera untuk membuka potensi lahan bisnis
baru bagi kepentingan ekonomi kolonial yang bersifat monopolistik dan kapitalistik.

Komoditas tembakau sebelumnya telah menjadi salah satu komoditas dagang Kesultanan Deli. Dalam
angka yang tak melebihi jumlah produksi dan ekspor lada karena Konsumsinya yang masih terbatas
pada penggunaan tradisional. Memasuki akhir abad ke-19 tembakau menggantikan lada. Disaat tren
penggunaan cerutu meningkat, kebutuhan akan tembakau pun menyertai, serta kualitas tembakau
Deli diminati di pasaran internasional. Maka mulailah upaya penanaman perkebunan tembakau
meluas menggantikan lahan-lahan kawasan hasil hutan Sumatera Timur.

Kantor De Deli Maatschappij. Sumber KITLV

Tahun 1863, Jacob Nienhuys yang kelak menjadi pemilik usaha perkebunan tembakau terbesar
membuka lahan perkebunan pertamanya. Melalui penanaman pertama tersebut, dilakukan
pengiriman ke Rotterdam sebanyak 50 pikul dan disana terjual seharga 48 sen gulden per setengah
kilogram. Sejak saat itulah dibuka lahan-lahan lain untuk perkebunan tembakau yang lahannya
tersebar hingga kawasan Langkat dan Serdang.

Keberhasilan perkebunan tembakau Deli semakin didukung dengan dibentuknya perusahaan


perkebunan terbesar De Deli Maatschappij. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1869 oleh Nienhuys
atas modal G. C. Clemen dan P. W. Janssen. Dalam artikel Istana Maimun: Sebuah Monumen
Kejayaan Industri Perkebunan di Tanah Deli (2020) diuraikan besaran penguasaan lahan perusahaan
perkebunan tersebut sejak didirikan hingga awal abad ke-20.

Awalnya lahan De Deli Maatschappij seluas 700 ha. Pengelolaannya diatur melalui aturan konsesi
dengan Kesultanan Deli. Sekitar enam puluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1929 konsesi lahan
atas pengelolaan perusahaan tersebut mencapai angka 184 ribu ha. Pembukaan lahan yang awalnya
berada di sekitar istana kesultanan di Labuhan, kemudian meluas menyentuh lahan-lahan di kawasan
pedalaman. Kantor administrasi perusahaan kemudian didirikan didekat pertemuan Sungai Deli dan
Babura, di kawasan yang menjadi pusat Kota Medan saat ini. Hal ini akhirnya mempengaruhi
perpindahan pusat aktivitas dari Labuhan ke kawasan tersebut, sehingga pusat pemerintahan istana
Kesultanan Deli pun pindah dengan pendirian Istana Maimun.

Kesuksesan produksi perkebunan tembakau memberikan dampak signifikan pada kemakmuran


Kesultanan Deli. Sejumlah keuntungan besar didapat Kesultanan Deli melalui uang konsesi lahan dari
perusahaan perkebunan. Namun sejak masa itu pula Kesultanan Deli kehilangan kedaulatannya atas
ekonomi dan politik. Kesultanan Deli tidak lagi hidup dari hasil komoditas sendiri dan dari aktivitas
pelayaran dan perdagangan maritim. Kesultanan Deli secara perlahan tidak lagi tumbuh dengan
tradisi dan budaya maritim sebagaimana kota-kota Islam di kawasan pesisir tumbuh. Seperti disebut
dalam Tembakau Deli Pohon Berdaun Emas dari Sumatera (2011) bahwa para raja dan kawula
Melayu kehilangan sejumlah keahlian alamiah mereka karena laut dan sungai tidak lagi menjadi
sandaran hidup mereka.

Istana Maimun

Istana Maimun Kesultanan Deli, Medan. Dokumentasi Sultanate Institute

Perkebunan tembakau yang berlangsung memberi pengaruh sejak masa Sultan Mahmud Al-Rasyid
Perkasa Alamsyah (1858-1873). Pada masanya ini Masjid Al-Osmani dibangun kembali. Upaya
penguasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memaksa kalangan penguasa lokal memberikan
kewenangan atas wilayahnya. Keadaan ini berlangsung hingga pergantian kekuasaan, yang berganti
kepada Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924).
Mendekati penghujung abad ke-19, Sultan Makmun memindahkan pusat kerajaan. Aktivitas
perusahaan perkebunan De Deli Maatschappij serta tempat kantor residen Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda yang berpusat di kawasan Kota Medan sekarang mempengaruhi perpindahan ini.
Perpindahan pun sekaligus ditandai dengan pembangunan istana baru sebagai tempat tinggal Sultan
maupun kalangan keluarga dan bangsawan lainnya.

Istana Maimun mulai dibangun tahun 1888 dan diresmikan tiga tahun kemudian pada tahun 1891.
Berlokasi di Jalan Brigjend Katamso, Kota Medan. Istana Maimun termasuk kedalam kawasan pusat
Kota Medan. Di sisi timurnya merupakan Masjid Al-Mashun yang dibangun tahun 1907 dan
diremiskan dua tahun setelahnya. Ke arah utara terdapat kawasan Kesawan dengan jalan utamanya
yang menampilkan deretan bangunan-bangunan tua tinggalan kolonial Belanda. Jalan ini juga
menghubungkan Istana Maimun ke Lapangan Merdeka yang merupakan titik nol Kota Medan. Terus
ke arah utara menuju Jalan Yos Sudarso akan menyambungkan kita dengan kawasan Belawan
maupun Labuhan, kawasan pesisir yang dulu menjadi letak Istana Kesultanan Deli.

Dari kejauhan Istana Maimun telah menampilkan kemegahannya. Bangunan bertingkat dua tersebut
menampakkan bentuk khas arsitektur Melayu dan Eropa-Islam. Bentuk arsitektur ini disebut
merupakan hasil rancangan seorang arsitek berdarah Eropa Th. Van Erp. Beberapa literatur
menyebutnya berasal dari Italia, sebagian lain menyebutnya seorang keturunan Belanda. Dalam
Jurnal Arkeologi Sangkhakala Identifikasi Gaya Pilar dan Pelengkung Istana Maimun (2019) disebut
bahwa ia adalah sosok yang tidak asing di dunia arkeologi. Ia merupakan orang yang memimpin
restorasi pertama Candi Borobudur.

Istana Maimun Tempo Dulu. Sumber KITLV

Bangunan istana mencakup tiga bagian, yaitu bangunan utama, bagian sayap kanan, dan bagian
sayap kiri. Bangunannya memanjang dengan atap tiga kubah bersegi empat berwarna hitam. Pada
masa eksistensi Kesultanan Deli dulu, lantai 1 seluruhnya digunakan sebagai kantor administrasi dan
ruang kerja pegawai kerajaan. Sedangkan di lantai 2 bangunan utama berfungsi sebagai ruang
balairung, tempat singgsana sultan. Kemudian sayap kanan sebagai ruang istirahat dan kamar bagi
kalangan keluarga serta bangsawan kerajaan perempuan, dan sayap kiri untuk yang laki-laki.

Arsitektur Eropa cukup melekat pada bangunan Istana Maimun. Gaya arsitektur tersebut nampak
pada bangunan pilar dan pelengkung istana. Dalam artikel yang sama diatas diuraikan setidaknya
teradapat lima jenis bentuk pilar dan pelengkung Istana Maimun yang merupakan pengaruh dari
bentuk bangunan warisan Bangsa Moor di Andalusia yaitu Benteng Al Hambra dan Masjid Cordoba
serta Masjid Kutubiyyah di Maroko.

Bentuk pilar dan pelengkung cukup dominan membentuk relief bangunan. Dimana jenis pertama
dapat dilihat pada pilar dan pelengkung di sepanjang sayap lantai satu. Pilar ini dibentuk dengan cat
berwarna putih berbentuk balok persegi panjang. Bagian permukaannya dibentuk lapisan berwarna
putih sedangkan bagian dasar berwarna hitam. Pada bagian pelengkung tampak motif garis vertikal
mengikuti bentuk pelengkung dengan jarak yang beraturan. Kemudian pada bagian atas pelengkung
diberi warna hijau tua.

Pilar dan pelengkung lain dapat dilihat pada bagian tangga masuk dan sepanjang teras depan
bangunan utama lantai dua. Pilar ini berbentuk persegi delapan dengan variasi cat berwarna kuning
dan abu-abu pada tepi luar dan tepi dalam. Sedangkan jenis ketiga dapat dilihat pada bentuk pilar
dan pelengkung di sayap kanan dan kiri lantai dua. Pilar jenis ketiga ini terbuat dari bahan kayu
berbentuk silinder berwarna cokelat. Pilar tersebut berjumlah dua membentuk kolom dan
menyangga bagian atas yang terdiri dari variasi lima susun bentuk dan warna.

Ruang Utama Istana Maimun. Sumber KITLV

Pilar dan pelengkung jenis keempat tampak pada bagian dalam istana, tepatnya di ruang Balairung
lantai dua yang merupakan ruang utama istana. Pilar ini berwarna putih dan pelengkung berwarna
kuning membentuk sudut di bagian atasnya. Pilar dan pelengkung jenis kelima terdapat pada bagian
depan dan tangga masuk istana. Bentuk pilar ini memiliki kesamaan dengan pilar jenis kedua,
sedangkan pelengkungnya memiliki kesamaan dengan pelengkung jenis keempat yang membentuk
sudut pada bagian atasnya.

Warna kuning dan hijau tetap mendominasi warna pada bangunan Istana Maimun layaknya Masjid
Al-Osmani. Warna ini merupakan ciri khas karakter budaya Melayu Deli, sebab kuning juga
merupakan warna dominan pada lambang dan bendera Kesultanan Deli. Bahan dasar tembok pada
Istana Maimun dinilai merupakan pengaruh Eropa, sebab bangunan khas Melayu umumnya
berbahan dasar kayu, karena masyarakat Melayu biasa tinggal di kawasan pesisir, muara sungai, atau
tepi sungai. Kemudian motif hias yang berada pada pilar dan pelengkung di bagian dalam di ruang
balairung menampilkan motif melayu yaitu sulur pakis, bunga melati, itik sekawan, dan awan boyan.

Hampir sebagian besar bentuk arsitektur beserta pola hias dan ornamen Istana Maimun memang
mencerminkan gaya arsitektur perpaduan Melayu dan Eropa-Islam. Warna kuning dan hijau
memperlihatkan ciri khas warna Melayu Deli. Ragam hias ornamen juga mencerminkan kuatnya
identitas Melayu. Dominasi bangunan yang dibentuk dengan relief berbentuk pilar dan pelengkung
hampir di sebagian besar bangunan mencirikan pengaruh bangunan Eropa. Yaitu bangunan-
bangunan penting di kawasan Eropa pada masa Islam. Hal ini juga disebut dalam artikel Perpaduan
antara Tradisi Islam dan Kebudayaan Eropa pada Arsitektur Istana Maimun (2017).

PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI MASYARAKAT

Hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat yang beragama Islam di Asia
Tenggara, termasuk kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Syariat Islam sejak lama digunakan dalam
memutus perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat di masa kesultanan-kesultanan Islam.
Syariat Islam menjadi hukum positif yang memiliki daya laku yang luas dalam kekuasaan kesultanan
Islam.

Pengkodifikasian hukum Islam di Serdang dalam sejarahnya terdiri atas dua fase: pertama, Periode
Melayu, kedua, Periode Penjajahan Belanda. Pada periode Melayu, telah dihasilkan beberapa pokok
hukum serta terjemahannya. Seperti kodifikasi hukum yang termuat dalam dan ditulis dalam aksara
Jawi, tahun 1303 M. Risalah hukum “Qanun”.

Ada juga beberapa kaidah hukum yaitu pertama, Hukum pemilikan Malaka (the malaca Law Proper).
Kedua, Hukum Maritim. Ketiga, Hukum Keluarga Islam dan keempat, Hukum kewajiban-kewajiban
orang Islam. Empat pokok hukum di atas, disamping mereduksi hukum adat melayu serta aturan
istana juga diimbuhi hukum Islam. Bahkan pokok hukum keluarga Islam hampir sebagian besar
memuat aturan-aturan hukum dari mazhab Syafi‘i. Naskah hukum itu merupakan terjemahan dari
kitab Minhaj al-Thâlibîn karya Imam Nawâwi, Taqrîb Abû Suja‘, Fathhul Qarîb Ibn Qasim al-Ghazzi,
dan Hasiya alâ fath al-Qarîb karya Ibrâhim al-Bajûrî.

Tercatat, ada beberapa sarjana Melayu yang menulis ulasan atau terjemahan karya ulama-ulama
abad pertengahan seperti, Syekh Daud bin Idris yang menulis kitab Furu‘ al-Masail wa Ushûl al-
Masâ’il yang berasal dari fatwa Ramli. Serta sebuah risalah mengenai perkawinan yang merupakan
kompilasi dari kitab Minhaj al-Thalibîn, Fath al-Wahhab karya Zakaria al-Ansari dan kitab Tuhfah
karya Ibn Hajar. Kitab tersebut, dikemudian hari menjadi buku teks bagi sarjana dan praktisi hukum
Islam.

Anda mungkin juga menyukai