Anda di halaman 1dari 7

Seputar Teater Indonesia

Upaya Dokumentasi Teater Indonesia 1950-1980-an

Tentang Daftar Tulisan Daftar kelompok Teater Daftar Pementasan Teater Sosok

Naskah Ulasan Naskah Festival Kontak Sumber Media

(Horison, 1976) Drama


“Lingkaran Kapur Putih”,
Bengkel Teater
Seputar Teater Indonesia / Oktober 14, 2015

Drama “Lingkaran Kapur Putih”


Oleh: Bambang Bujono

Tersebut di sebuah propinsi di wilayah negara Kaukasia. Propinsi itu diperintah oleh Raja muda
Georgi Abashvilli (Gegek Hang Andika). Karena kelalimannya timbullah pemberontakan yang
dipimpin oleh pangeran Igo Kashbeki (Iwan Burnani Toni). Dalam pemberontakan itu Abashvilli
terbunuh, dan istrinya Natella Abashvilli, yang lebih mementingkan keselamatan harta bendanya,
meninggalkan Mikael, bayinya yang baru berusia beberapa bulan.

Untunglah ada Grushka (Sitoresmi Rendra), gadis pelayan istana yang sempat menyelamatkan
bayi itu.

Grushka membawa bayi itu ke gunung, ke rumah kakaknya. Malang, karena tabiat istrinya yang
pelit itu dengan alasan bayi Grushka tak jelas siapa ayahnya, akhirnya Gruskha dikawinkan
dengan seorang yang kata kakaknya menjelang ajal. Ternyata pengantin lelaki masih segar bugar.
Karena perkawinan ini memang hanya dimaksudkan oleh Grushka untuk menyelamatkan Mikael
dan ia sendiri sudah bersumpah setia kepada Simon Shashava (Bram Makakekum), kesulitan pun
tak bisa dihindarkan. Namun akhirnya Grushka berhasil lepas dari lelaki itu, dan sempat
mengasuh Mikael hingga tumbuh menjadi seorang bocah
sampai pemberontakan mereda. Ketika itulah seorang
utusan Natella yang mencari Mikael menemukan
persembunyian Grushka.

Seorang juru tulis desa (Rendra) bernama Azdak, yang


karena kalutnya suasana telah duduk sebagai hakim di
suatu kantor kehakiman, Adzak inilah yang diserahi
kewajiban memutuskansiapakah yang berhak atas Mikael:
karena Natella dan Grushka masing-masing mengaku
sebagai ibu kandung anak itu. Tentu saja hakim gadungan
ini ak bisa memutuskan perkara dengan wajar: tapi dalam
hal ini justru, mungkin, adil.

Disuruhnya polisi desa (Untung Basuki) yang jadi


pembantunya membuat lingkaran dengan kapur putih di
lantai. Kemudian Mikael disuruhnya berdiri dalam
lingkaran tersebut. Nah, siapa diantara kedua orang yang
mengaku sebagai ibu anak itu bisa menarik mikael keluar
dari lingkaran, dialah yang berhak atas Mikael. Maka
Grushka pun memegang tangan kanan Mikael, dan
Natella tangan kiri. Namun sesaat sebelum terjadi tarik
menarik antara kedua mereka, Grushka melepaskan
tangan anak itu. Kenapa? Karena ia tidaktega untuk
Mei 1978)WS Rendra (sumber, menyakitinya. Lebih baik ia mengalah, biarlah Mikael ikut
Tempo, 13 Natella, tapi tak usah mengalami siksaan yang tolol ini. Di
sinilah Azdak bijaksana. Mikael diserahkannya kepada
Grushka, karena ia lebih dari Natella, menyayangi anak
itu.

i Istora Senayan malam itu, 31 Januari lalu. Lebih dari ¾ tempat duduk terisi. Rendra bersama
Bbengkel Teater ternyata masih mengundang penonton: kelihatannya, sebagian besar dari
penonton itu adalah anak-anak muda, yang bersorak, bertepuk tangan apabila dari panggung
terdengar protes sosial: “Apakah kalau kamu tentara bisa diajak bicara”, “Pembangunan jalan
hanyalah bagi kereta-kereta, kendaraan rakyat makin tersisih”, dan sebagainya lagi.

Seperti biasanya pertunjukan ini berjalan dengan setting karya Rudjito, dan musik yang dipimpin
oleh Sunarti Rendra . Panggung kali ini memberikan imaji sebuah pasar: dengan kerangka besi
dan kain-kain yang disampirkan melambai yang membentuk semacam warung-warung. Sebuah
lampu yang menyorot putih di lantai sebelah kanan panggung, ternyata memang fungsional: pada
suatu adegan sorot lampu itu memang menjelma menjadi sebuah sungai. Hanya kostum kali ini
Bengkel Teater benar-benar kedodoran. Tak ada kesatuan imaji. Seperti mereka, para pemain
itu, masing-masing berpakaian menurut kesenangan masing-masing.

Ruang istora senayan yang begitu luas itu memang telah menelan dialog, sementara gerakan-
gerakan pemain terasa dibikin-bikin dan kurang darah. Maka waktu terasa berjalan bak siput.
Yang masih memaku penonton di tempat duduk masing-masing barangkali karena mereka tahu,
bahwa Rendra akan turun main. Benar, kira-kira lewat waktu pertengahan pertunjukan, Azdak si
juru tulis itu keluar dengan ayam curiannya. Tepuk tangan bagaikan sudah direncana. Tiba-tiba
suasana-pun berubah: lebih meriah, lebih bersemangat. Dan di panggung, seorang bintang telah
menyedot daya tarik dari pemain-pemain lainnya, yang memang lemah, kepadanya sendiri:
Rendra, si Azdak itu. Maka waktu bukan lagi siput yang berjalan, tapi mungkin gerobak yang
penuh muatanyang ditarik seekor kuda tua. Sementara pengendara gerobak itu dengan
semangatnya mencoba merangsang lari kuda, apa boleh buat, kalau tenaga tiada dan beban itu
sungguh berat. Taruhlah pengendara itu Rendra, dan kuda plus gerobak itu drama ini, maka
ketika pertunjukan usai dan seorang penonton menengok melihat arlojinya yang menunjuk jam
00.45, tak urung makian terlontar dari mulutnya.

Mengapa Lingkaran Kapur Putih yang disadur rendra dari karya Bertold Brecht menjadi begitu
membosankan? Protes sosial yang disisipkan ke dalamnya, yang itu-itu juga, justru bak lumpur
yang menghambat waktu berjalan. Jawaban itu barangkali bisa ditemukan dalam adegan ketika si
Azdak menjadi hakim. Untuk mengesankan bagaimana kurang ajarnya hakim ini, disuguhkan
adegan sejumlah perkara yang harus diputuskannya: dan itu lama sekali. Naskah Brecht ini
kemudian jadi melebar dipaksa-paksa, seolah-olah sebuah pertunjukan besar harus makan waktu
panjang. Atau mungkin untuk memuaskan sponsor, Sanggar Keswari, bahwa ia tak sia-sia
membayar banyak karena drama ini memang panjang. Dan ini bisa dijadikan dasar pertnyataan
bahwa rendra memang komunikatift Tapi toh tak bisa dijadikan dasar kriteria apakah pementasan
ini baik atau buruk. Dan setelah “Perjuangan Suku Naga” yang membosankan, setelah “Egmond”
menyuruh penonton meninggalkan tempat duduk sebelum drama itu usai, kini “Lingkaran kapur
Putih” memang tak jauh membosankan dari kedua drama yang mendahuluinya itu: kalau tak lebih
lagi (BB).

Sumber: Majalah Horison, Nomor 2 tahun XI, Pebruari 1976

Oktober 14, 2015 in Resensi. Tag:1970-an, 1976, Bambang Bujono, Bengkel Teater, Bram Makakekum,
Gegek Hang Andika, Iwan Burnani Toni, Rudjito, Sitoresmi Rendra, Sunarti Rendra, Untung Basuki, WS
Rendra

Pos-pos Terkait

(Tempo, 1976) Daftar Pementasan Teater Daftar Tulisan


Astaga Kurang Tahun 1976 Tentang Teater
Ajar! indonesia Tahun
1976

← (Aneka, 1954) Soekarno M. Noor (Horison, 1976) Tentang Buka-buka Baju Itu →

Tinggalkan komentar
Mencari arsip?

Cari …

Top Posts & Halaman

(Kompas, 1972) Di Sekitar Teater “23761” di Bandung

(KOmpas, 1986) Jakarta Players, Ingin Menghibur dan Dihibur

(Horison, 1976) Drama "Lingkaran Kapur Putih", Bengkel Teater

Daftar Tulisan

(Suara Pembaruan, 1988) Rendra, Mini Kata dalam “Selamatan”

Daftar kelompok Teater

(Tempo, 1980) Jesus yang Meriah, Disutradarai Remy Silado

(Aneka, 1957) Sandiwara API Diselenggarakan Para Pelajar APPI di Gedung Kesenian Jakarta

(Tempo, 1975) Sori Siregar: Mega-Mega di Malaysia (Teater Keliling)

Sumber Media

Tag

1950-an 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960
1940-an

1960-an 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1969 1970 1970-
an 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1980-an
1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990-an Adjim Arijadi Ali Sadikin Amak
Baldjun Amrin Thaib Andjar Asmara Arifin C. Noer ASDRAFI Asrul Sani ATNI Azwar
AN Bambang Bujono Bengkel Muda Surabaya Bengkel Teater BPTNI BZ Kadaryono chaerul
Umam D. Djajakusuma Daftar pementasan Daftar Tulisan Danarto Darmanto JT Dewan
Kesenian Jakarta DKJ Emha Ainun Nadjib Emmanuel Subangun Endang Achmadi Fadjar Suharno
Festival Teater Galib Husein HSBI Ikranegara Indra Tranggono Ismed M. Noor Jemek Supardi
Jim Lim Jujuk Prabowo Kasim Achmad Khouw Hok Goan Kusno Sudjarwadi Landung Simatupang
Lisendra Buana M. Nizar Mansjur Sjah Mansur Samin Marlia Hardi Meinar Moortri Poernomo
Motinggo Boesje M Ryana Veta Nasjah Djamin Noorca Marendra Odi Shalahuddin
Pementasan di TIM Pramana Pmd Puntung CM Pujadi Putu Wijaya Rahman
Arge Ratu Asia Rd. Lingga Wisjnu MS Riantiarno Rudolf Puspa Sanggar Bambu Sjamsuddin Sjafei
Slamet Rahardjo Soekarno M. Noor Sosok Steve Liem Studiklub Teater Bandung
Studi Teater Bogor Sujatna Anirun Syubah Asa Tan Tjeng Bok Tatiek Malijati Teater
Alam Teater Bogor Teater di Bandung Teater di Bogor Teater di
Jogjakarta Teater di Medan Teater Dinasti Teater di Semarang Teater di Solo Teater di
Surabaya Teater di Tegal Teater Ibukota Teater Indonesia Teater Kecil Teater keliling Teater Lembaga
Teater Mandiri Teater Muslim Jogjakarta Teater Populer Teater Remaja Jakarta Teater Saja
Teater Shima Teguh Karya TIM Tjok Hendro Umar Machdam Usmar Ismail Utuy
Tatang Sontani Wahab Abdi Wahyu Sihombing Wim Umboh WS Rendra

Arsip

November 2021 (1)

Oktober 2021 (4)

September 2021 (2)

Desember 2019 (31)

Oktober 2019 (4)

September 2019 (33)

Agustus 2019 (50)

Juli 2019 (15)

Mei 2019 (4)

Februari 2019 (18)

Januari 2019 (2)

Desember 2018 (3)

November 2018 (7)

Oktober 2018 (34)

September 2018 (48)

Agustus 2018 (11)

Juli 2018 (3)

Maret 2018 (16)

Februari 2018 (37)

Januari 2018 (26)

Desember 2017 (27)

November 2017 (29)

Oktober 2017 (23)

September 2017 (2)

Agustus 2017 (28)

Juli 2017 (8)

Mei 2017 (17)


April 2017 (10)

Maret 2017 (21)

Februari 2017 (25)

Januari 2017 (13)

Desember 2016 (37)

November 2016 (10)

Oktober 2016 (42)

September 2016 (28)

Agustus 2016 (68)

Juli 2016 (36)

Juni 2016 (69)

Mei 2016 (32)

April 2016 (74)

Maret 2016 (23)

Februari 2016 (19)

Januari 2016 (86)

Desember 2015 (42)

November 2015 (36)

Oktober 2015 (45)

September 2015 (76)

Agustus 2015 (61)

Juli 2015 (45)

Juni 2015 (2)

Ikuti Blog melalui Email

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan
tentang pos baru melalui surat elektronik.

Alamat Surat Elektronik

Ikuti

Bergabung dengan 2.148 pelanggan lain


Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. Tema: Expound oleh Konstantin Kovshenin.

Anda mungkin juga menyukai