Nailah Hana Sausan nailahanna@students.unnes.ac.id Abstrak: Kepala Desa merupakan Pejabat Administrasi Negara yang melaksanakan Otonomi Daerah Desa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Masa kepemimpinan yang diemban oleh Kepala Desa bukan sekadar representasi lamanya menjabat, melainkan mencerminkan kinerja dan efektivitas kepemimpinan tersebut. Sebagai pelaksana Otonomi Daerah Desa, Kepala Desa memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola administrasi dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Masa kepemimpinan bukan hanya menjadi indikator lamanya menjabat, melainkan merupakan ukuran kinerja yang tercermin dalam pencapaian pembangunan dan kesejahteraan di tingkat desa. Kinerja Kepala Desa harus dinilai berdasarkan efisiensi, transparansi, dan efektivitas dalam mengelola sumber daya yang ada demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, memahami peran Otonomi Daerah Desa dan melihat hasil nyata yang dihasilkan dari kepemimpinan Kepala Desa menjadi esensial dalam mengevaluasi dan mengukur keberhasilan kepemimpinan tersebut. Kata Kunci: Kepala Desa, Kepemimpianan, Masa Jabatan A. PENDAHULUAN Kepemimpinan melibatkan pengaruh atau contoh yang diberikan oleh seorang pemimpin kepada para pengikutnya guna mencapai tujuan organisasi (Daulay et al., 2016). Cara alami untuk mempelajari kepemimpinan adalah melalui pengalaman praktis, seperti magang dengan seorang ahli di bidangnya, seperti seniman atau pengrajin. Seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pekerjaan maupun aktivitas di dalam atau di luar organisasi. Untuk mengembangkan kepemimpinan, seorang pemimpin dapat bertukar informasi dengan para ahli di bidangnya agar memiliki pemahaman yang lebih mendalam dalam praktik memimpin di dalam organisasi (Tampubolon, 2022). Seiring berjalannya waktu, kepala desa sering mengalami pergantian yang dapat bervariasi dalam durasi masa jabatannya, tergantung pada situasi yang ada. Mulai dari zaman kerajaan, masa kolonial, era Orde Lama dan Orde Baru, hingga masa reformasi dan pasca reformasi, rentang waktu menjabat kepala desa tidak pernah tetap. Hal ini menunjukkan bahwa lamanya menjabat kepala desa berubah- ubah dan terus beradaptasi dengan situasi yang ada. Perubahan ini seakan-akan bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan zaman dan nilai-nilai masyarakat, tetapi juga oleh kepentingan politik dan hukum yang berbeda dari setiap rezim. Dengan dinamika dan perubahan dalam masa jabatan kepala desa, terlihat bahwa penetapan peraturan dan undang-undang terkait memiliki tujuan dan maksud tertentu di baliknya. Sejak masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mengakui keberadaan dan posisi yang dimiliki oleh desa. Meskipun UUD 1945 memberikan pengakuan terhadap peran desa, belum ada peraturan yang secara langsung mengatur peranan desa dalam struktur pemerintahan nasional. Bahkan setelah UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, desa tidak dijelaskan secara khusus dalam pasal-pasal konstitusi. Amandemen IV UUD 1945 hanya membahas mengenai kesatuan masyarakat hukum adat tanpa menjelaskan secara rinci mengenai desa. Hingga pada tahun 2014 Pemerintah mengeluarkan Undang- Undang tentang Desa. UU Desa No. 6 Tahun 2014 dirancang untuk mengatasi kesenjangan dalam pendekatan desentralisasi di Indonesia dengan mengintegrasikan prinsip- prinsip pembangunan yang berpusat pada masyarakat ke dalam struktur pemerintahan yang resmi. Melalui undang-undang ini, pengakuan formal diberikan terhadap kedaulatan dan otonomi desa-di Indonesia, menggarisbawahi hak masyarakat desa untuk mengutamakan dan mengelola proses pembangunan di tingkat lokal sesuai dengan prinsip-prinsip dan pemerintahan yang berbasis di daerah. UU Desa telah memungkinkan integrasi antara masyarakat desa dengan pasar, meningkatkan standar layanan yang diberikan oleh desa, serta membangun hubungan saling percaya antara masyarakat dan instansi pemerintah. Hal ini memiliki peran penting dalam meningkatkan ketahanan dan mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan bagi masyarakat baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Tuntutan yang diajukan oleh Kepala Desa kepada Dewan Perwakilan Rakyat membuat penulis penasaran terhadap tujuannya. Beberapa tuntutan mungkin memiliki tujuan yang bermakna, terutama jika mereka berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di desa, seperti alokasi dana yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, atau program pengembangan ekonomi. Tuntutan semacam ini biasanya didorong oleh kebutuhan riil masyarakat yang menjadi tanggung jawab Kepala Desa untuk memperjuangkannya. Namun, ada kemungkinan juga bahwa beberapa tuntutan bisa lebih bersifat narsistik atau hanya menguntungkan kepentingan pribadi Kepala Desa. Misalnya, jika tuntutan itu lebih menitikberatkan pada kepentingan pribadi, seperti alokasi dana yang lebih besar untuk proyek yang tidak secara langsung menguntungkan masyarakat desa secara keseluruhan atau jika tuntutan tersebut hanya untuk kepentingan politik atau kekuasaan pribadi tanpa memperhatikan kebutuhan riil masyarakat. B. PEMBAHASAN 1. PEMILIHAN KEPALA DESA Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, proses pemilihan kepala desa mengalami transformasi seiring dengan berlakunya Undang-Undang Regering Reglement (RR) tahun 1854. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa pemilihan kepala desa dijalankan secara terbuka dan langsung oleh seluruh warga dewasa yang dianggap memiliki kapasitas hukum di desa tersebut. Dalam periode ini, ada dua bentuk pemilihan kepala desa yang berbeda. Pertama, adalah sistem pemilihan terbuka di mana pemilih membentuk garis secara meluas, dan kandidat kepala desa dengan barisan terpanjang akan menjadi pemenang. Kedua, adalah penggunaan model pemilihan tertutup yang menggantikan sistem terbuka karena adanya konflik. Dalam sistem tertutup, setiap pemilih diberikan satu tongkat yang kemudian ditempatkan dalam sebuah wadah yang melambangkan tanaman palawija, seperti jagung, kelapa, padi, dan simbol lain yang mewakili calon kepala desa. Calon kepala desa yang berhasil mengumpulkan jumlah tongkat terbanyak akan ditetapkan sebagai kepala desa. Pendekatan pemilihan seperti ini masih sangat terikat pada tradisi karena mayoritas penduduk pada saat itu belum memiliki keterampilan membaca yang cukup. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, rezim reformasi menetapkan masa jabatan kepala desa selama 8 tahun. Undang-undang tersebut menggantikan hukum yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Tujuan dari perubahan peraturan tersebut adalah untuk mengembalikan peran desa sebagai komunitas yang mandiri dalam pengelolaan diri sendiri di luar kendali negara. Konsep self-governing community, seperti yang dijelaskan oleh Gregorius Sahdan, merujuk pada komunitas lokal yang memiliki otonomi dalam mengelola urusan internalnya sendiri dengan menggunakan aturan lokal yang berlaku (Sahdan, 2005). Para pakar melihat bahwa keluarnya Undang-Undang No. 22/1999 membawa semangat baru dalam pemerintahan daerah dan desa. Undang-undang ini memberikan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengembangkan potensi lokalnya, sehingga beberapa pihak menganggapnya sangat demokratis, bahkan liberal. Jika dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1974, terdapat banyak perbaikan yang signifikan dalam Undang-Undang tersebut. Terkait dengan besarnya kewenangan yang diberikan, ada media massa yang bahkan menyebut adanya "revolusi" dalam sistem pemerintahan daerah (Lili, 2007). Pada zaman modern ini, proses pemilihan kepala desa telah mengalami transformasi yang cukup besar, di mana sekarang pemilihannya dilakukan dengan cara memberikan suara pada gambar dan nama calon kepala desa yang tertera. Walaupun metode pemilihan mengalami perubahan, standar atau kriteria untuk menentukan siapa yang terpilih sebagai kepala desa tetap konsisten dengan yang telah berlaku sebelumnya. Pada saat ini, kepala desa menjabat selama 6 tahun dan berhak untuk dipilih kembali dua kali. Namun, penyesuaian ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Beberapa orang berpendapat bahwa masa jabatan kepala desa seharusnya lebih singkat, yaitu satu kali masa jabatan selama 6 tahun, berbeda dengan masa jabatan seorang presiden. Masa jabatan yang terlalu panjang dianggap berpotensi untuk memperkaya diri sendiri dan pihak-pihak tertentu, mengingat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala desa. Walaupun banyak kepala desa terlibat dalam isu-isu yang berkaitan dengan masa jabatan mereka, sejumlah kepala desa malah mengajukan usulan untuk memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun untuk satu periode. Penentuan pemenang dalam pemilihan kepala desa berdasarkan pada jumlah suara terbanyak. Dengan berlakunya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, diterapkan sistem pemilihan kepala desa secara serentak. Salah satu aspek yang menonjol adalah setiap individu diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala desa, bahkan tanpa keharusan terdaftar sebagai warga desa tersebut. Resolusi ini memberi hak kepada semua warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri di segala desa di Indonesia tanpa persyaratan harus tercatat atau tinggal di desa tersebut setidaknya selama 1 tahun sebelum mendaftar. Proses pemilihan kepala desa dilakukan melalui pemilihan langsung oleh penduduk desa yang memenuhi kriteria tertentu sebagai warga negara Indonesia. Lama kepemimpinan seorang kepala desa berlangsung selama 6 tahun sejak dilantik. Seorang kepala desa diperbolehkan menjabat hingga maksimal 3 kali masa jabatan, baik secara berurutan maupun tidak. 2. OPTIMALISASI KINERJA KEPALA DESA Pasal 26 ayat 1 dalam Undang-Undang Desa menjelaskan bahwa tugas utama Kepala Desa adalah mengelola administrasi Pemerintahan Desa, memimpin proses Pembangunan Desa, mengawasi perkembangan kemasyarakatan Desa, serta memberdayakan masyarakat Desa secara aktif. Menurut Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Desa, kewenangan Kepala Desa meliputi: a. “Memimpin pelaksanaan administrasi Pemerintahan Desa. b. “Bertanggung jawab dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa.” c. “Memegang peran dalam mengelola Keuangan dan Aset Desa.” d. “Menetapkan Peraturan Desa serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.” e. “Membina kehidupan sosial, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat Desa.” f. “Mendorong dan meningkatkan perekonomian Desa untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya.” g. “Mengembangkan sumber pendapatan Desa serta memperjuangkan pelimpahan kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.” h. “Mempertajam dan mengembangkan aspek sosial dan budaya masyarakat Desa.” i. “Memanfaatkan teknologi yang tepat guna.” j. “Mengkoordinasikan Pembangunan Desa secara melibatkan partisipasi masyarakat.” k. “Mewakili Desa dalam pengadilan atau menunjuk kuasa hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.” l. “Menjalankan kewenangan lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Tuntutan kepemimpinan seorang kepala desa selama 9 tahun terhadap DPR dapat diambil sebagai pelajaran dari masa Orde Baru, di mana kepala desa menjabat selama 8 tahun dalam satu periode. Seperti yang kita ketahui, pada masa itu, rezim Orde Baru mengikat pemerintah desa melalui peran kepala desa. Kedua peran ini dapat dilihat dari posisi ganda kepala desa, yang tidak hanya bertindak sebagai kepala lembaga eksekutif desa (LKMD), tetapi juga sebagai kepala lembaga legislatif desa (LMD) (Juliantara, 2000). Untuk memastikan penuhnya pelaksanaan program pemerintah desa, masyarakat menerima petunjuk melalui kepala desa, sebagaimana halnya peran bupati dan gubernur di tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah pusat menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal di tingkat desa. Dalam hal ini, pengalaman kepala desa selama 9 tahun dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat dan konsisten dapat memainkan peran penting dalam pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah di tingkat lokal. Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat perbedaan dalam pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang tersebut, Kepala Desa diawasi kinerjanya oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Peran BPD dalam mengawasi kinerja Kepala Desa menunjukkan pendekatan yang lebih partisipatif dan demokratis dalam sistem pemerintahan desa. Dalam perpanjangan paragraf, hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan terhadap Kepala Desa dilakukan secara lebih transparan dan melibatkan perwakilan masyarakat setempat, yang merupakan anggota BPD. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan bahwa kebijakan dan tindakan Kepala Desa dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa secara lebih akurat, serta memberikan ruang partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat dalam pengelolaan urusan pemerintahan desa. Kinerja seorang Kepala Desa yang mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik dapat menjadi dasar bagi pertimbangan untuk memperpanjang masa jabatannya hingga 3 periode atau setidaknya paling banyak 18 tahun. Meskipun demikian, penulis berpendapat bahwa pemberian kepercayaan tersebut mungkin sudah melebihi dari cukup dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Memberikan kesempatan kepada seorang Kepala Desa untuk menjabat dalam periode yang lebih lama bisa memberikan stabilitas dan kontinuitas dalam kepemimpinan, memungkinkan implementasi program-program yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain, perpanjangan masa jabatan yang terlalu lama juga memiliki risiko, seperti kurangnya penyegaran dalam kepemimpinan dan potensi terjadinya ketergantungan pada satu tokoh. Dalam mengatasi situasi ini, penting untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara memberikan stabilitas dan memastikan adanya rotasi kepemimpinan. Mungkin perlu dipertimbangkan sistem evaluasi kinerja yang objektif dan partisipatif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat agar pemilihan kepala desa dapat mencerminkan kebutuhan dan dinamika yang ada di tingkat desa. Norma dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 yang menetapkan masa jabatan kepala desa selama tiga periode, setara dengan 18 tahun, menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk membatasi kekuasaan di tingkat lokal. Meskipun secara teliti, terpilihnya seseorang sebagai kepala desa untuk periode tiga kali lipat, atau 18 tahun, tidak dapat dianggap sebagai jaminan atau kepastian (Luthfy, 2019). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa pemimpin lokal akan dapat mempertahankan jabatannya selama periode yang ditentukan. Namun, upaya untuk menghindari akumulasi kekuasaan yang terlalu besar atau bahkan absolut oleh kepala desa perlu terus dilakukan. Hal ini karena penempatan jabatan publik harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas, sejalan dengan tuntutan konstitusi. Oleh karena itu, ketika menjalankan tugas dan fungsi mereka, kepala desa diharapkan beroperasi dalam batas masa kerja yang wajar, mencerminkan semangat demokratis dan rotasi kepemimpinan yang sehat di tingkat lokal. Minimnya usaha untuk membatasi kekuasaan dapat membuka peluang bagi dominasi kepala desa terhadap warga. Efektivitas pemerintahan desa sangat tergantung pada kebijakan, keinginan, dan kehendak kepala desa. Dalam situasi seperti ini, kepala desa berisiko melakukan tindakan di luar batas kewenangannya. Peran dan fungsi yang seharusnya didelegasikan kepada pihak lain akhirnya diambil alih oleh kepala desa. Rasa superioritas dalam dirinya membuat kepala desa mengabaikan kemampuan orang lain sambil menempatkannya sebagai aktor lokal yang paling utama. Meskipun demikian, pada masa sekarang, prinsip dasar negara hukum (Rechtsstaat) menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara diimplementasikan melalui penerapan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Kekuasaan perlu selalu ditempatkan dalam batas-batas melalui pemisahan ke dalam cabang-cabang yang memiliki prinsip "checks and balances" dengan posisi yang setara, saling menyeimbangkan serta saling mengimbangi (Asshiddiqie, 2005). Pembatasan kekuasaan juga dilakukan melalui mendistribusikan kekuasaan ke dalam beberapa lembaga yang terorganisir secara vertikal. Dengan cara ini, kekuasaan tidak terfokus dan terakumulasi dalam satu badan atau tangan tunggal, yang dapat menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Prinsip ini bertujuan untuk menahan munculnya tindakan sewenang-wenang dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Masa jabatan tiga periode bagi Kepala Desa memiliki kelemahan yang sangat terasa, terutama ketika Kepala Desa petahana mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) periode kedua dan ketiga. Dalam periode jabatannya, petahana memiliki potensi untuk memanfaatkan mesin birokrasi guna memenangkan Pilkades. Birokrasi dianggap sebagai alat yang kuat dan dapat digunakan oleh kandidat petahana untuk meraih dukungan rakyat hingga ke lapisan masyarakat terendah (Permadi et al., 2023). Dibandingkan dengan Visi Misi Calon Kepala Desa yang baru, birokrasi dianggap lebih unggul dalam kemampuannya untuk meresap ke tengah-tengah masyarakat. Selain memiliki daya jangkau yang luas, birokrasi juga dianggap lebih superior daripada lembaga politik lainnya dalam mengumpulkan informasi dan menyediakan dana. Oleh karena itu, keberadaan birokrasi yang bersifat netral dan tidak dapat dipengaruhi menjadi suatu keharusan dalam konteks demokrasi dan pertarungan politik. Ketidaknetralan birokrasi dapat merusak nilai-nilai demokrasi dengan cara memanipulasi pilihan warga melalui pengawasan oleh pihak berkuasa. Oleh karena itu, menjaga netralitas birokrasi menjadi esensial dalam mendukung pembangunan demokrasi yang sehat dan mencegah manipulasi politik melalui penggunaan kekuasaan. Seseorang yang menempati jabatan tanpa adanya batasan waktu, dan tanpa kendali politik serta pengawasan hukum dari lembaga peradilan, memiliki potensi untuk mengakuisisi kewenangan formal yang lebih besar. Hal ini mencakup kemampuan untuk menggunakan sarana paksa dan meraih keuntungan ekonomi, yang pada gilirannya digunakan untuk mempertahankan status quo. Seiring berjalannya waktu, peluang untuk seseorang mempertahankan dan memperluas kekuasaannya semakin meningkat (Surbakti, 1998). Namun, semakin lama pula jabatan tersebut dipegang, semakin besar risiko penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menyebabkan kerugian bagi masyarakat dan merusak struktur negara sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, kontrol politik dan pengawasan hukum dari lembaga peradilan merupakan elemen penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keseimbangan dalam sistem pemerintahan. C. KESIMPULAN Sebagai pemegang administrasi pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan, peran Kepala Desa memegang posisi yang krusial dalam kemajuan bangsa, terutama karena memiliki keterlibatan langsung dengan grassroot atau masyarakat setempat. Penting untuk diakui bahwa keberhasilan kinerja seorang Kepala Desa tidak hanya dapat diukur dari lamanya masa jabatan, melainkan lebih terletak pada efisiensi dan manfaat yang dihasilkan dari program- program yang diterapkan oleh kepala desa tersebut. Kedekatan yang dimiliki Kepala Desa dengan masyarakat di tingkat lokal membuatnya menjadi agen perubahan yang signifikan. Keoptimalan kinerja Kepala Desa tercermin dalam efektivitas pelaksanaan program-program yang dirancang untuk memajukan kesejahteraan dan perkembangan di desa. Oleh karena itu, fokus evaluasi terhadap kinerja kepala desa seharusnya lebih difokuskan pada hasil nyata yang dicapai melalui inisiatif dan program yang dijalankan, daripada hanya mengandalkan lamanya masa jabatan sebagai indikator tunggal. Dengan memprioritaskan efisiensi dan manfaat nyata bagi masyarakat, kepemimpinan Kepala Desa dapat menjadi daya pendorong utama dalam mencapai kemajuan dan pembangunan di tingkat lokal. Kepemimpinan yang diemban oleh seorang Kepala Desa mirip dengan kepemimpinan pemerintah daerah, hanya perbedaannya terletak pada tingkat otonomi yang dimiliki. Meskipun tugas dan tanggung jawab Kepala Desa bersifat lokal, dampak dari kepemimpinan ini memiliki pengaruh yang langsung terasa bagi masyarakat setempat. Kepala Desa, sebagaimana kepemimpinan di tingkat pemerintahan daerah, bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyelenggaraan berbagai program dan kebijakan. Meskipun memiliki keterbatasan otonomi dibandingkan dengan pemerintah daerah yang lebih besar, Kepala Desa tetap memiliki peran strategis dalam mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Kebermanfaatan yang dimiliki oleh Kepala Desa sangat berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga desa. Keputusan-keputusan kepemimpinan, program-program pembangunan, dan alokasi sumber daya yang tepat dapat memberikan kontribusi positif yang nyata terhadap perkembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di tingkat desa. Oleh karena itu, walaupun keterbatasan otonomi menjadi ciri khas kepemimpinan desa, dampak positif yang dihasilkan dapat terasa secara langsung oleh masyarakat setempat. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Daulay, R., Khair, H. P., Putri, L. P., & Astuti, R. (2016). Manajemen. Usu Press. Juliantara, D. (2000). Arus bawah demokrasi: Otonomi dan pemberdayaan desa. Lili, R. (2007). Potret otonomi daerah dan wakil rakyat di tingkat lokal, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Luthfy, R. M. (2019). Masa Jabatan Kepala Desa Dalam Perspektif Konstitusi. Masalah-Masalah Hukum, 48(4), 319. https://doi.org/10.14710/mmh.48.4.2019.319-330 Permadi, R. N., Prawitasari, N., & Sari, M. R. (2023). Analisis Sentimen Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa pada Twitter Melalui Penggunaan Metode Naive Bayes Classifier Pendahuluan Tuntutan para kepala desa untuk mendapatkan penambahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun pada setiap periodenya menua. 8090, 49–67. https://doi.org/10.22219/jurnalsospol.v9i1.25900 Sahdan, G. (2005). Transformasi Ekonomi-Politik Desa. APMD Press Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat desa" APMD" Yogyakarta. Surbakti, R. (1998). Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Airlangga. Tampubolon, M. (2022). Dinamika Kepemimpinan. SKYLANDSEA PROFESIONAL Jurnal Ekonomi …, 2(1), 1–7.