Anda di halaman 1dari 13

TANTANGAN KEPEMIMPINAN DALAM OPTIMALISASI

KINERJA KEPALA DESA DALAM MASA JABATAN


Nailah Hana Sausan
nailahanna@students.unnes.ac.id
Abstrak:
Kepala Desa merupakan Pejabat Administrasi Negara yang melaksanakan Otonomi
Daerah Desa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014. Masa kepemimpinan yang diemban oleh Kepala Desa bukan sekadar
representasi lamanya menjabat, melainkan mencerminkan kinerja dan efektivitas
kepemimpinan tersebut. Sebagai pelaksana Otonomi Daerah Desa, Kepala Desa
memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola administrasi dan melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Masa
kepemimpinan bukan hanya menjadi indikator lamanya menjabat, melainkan
merupakan ukuran kinerja yang tercermin dalam pencapaian pembangunan dan
kesejahteraan di tingkat desa. Kinerja Kepala Desa harus dinilai berdasarkan
efisiensi, transparansi, dan efektivitas dalam mengelola sumber daya yang ada demi
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, memahami peran Otonomi
Daerah Desa dan melihat hasil nyata yang dihasilkan dari kepemimpinan Kepala
Desa menjadi esensial dalam mengevaluasi dan mengukur keberhasilan
kepemimpinan tersebut.
Kata Kunci: Kepala Desa, Kepemimpianan, Masa Jabatan
A. PENDAHULUAN
Kepemimpinan melibatkan pengaruh atau contoh yang diberikan oleh
seorang pemimpin kepada para pengikutnya guna mencapai tujuan organisasi
(Daulay et al., 2016). Cara alami untuk mempelajari kepemimpinan adalah
melalui pengalaman praktis, seperti magang dengan seorang ahli di bidangnya,
seperti seniman atau pengrajin. Seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi
orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pekerjaan maupun aktivitas di dalam
atau di luar organisasi. Untuk mengembangkan kepemimpinan, seorang
pemimpin dapat bertukar informasi dengan para ahli di bidangnya agar memiliki
pemahaman yang lebih mendalam dalam praktik memimpin di dalam organisasi
(Tampubolon, 2022).
Seiring berjalannya waktu, kepala desa sering mengalami pergantian yang
dapat bervariasi dalam durasi masa jabatannya, tergantung pada situasi yang ada.
Mulai dari zaman kerajaan, masa kolonial, era Orde Lama dan Orde Baru, hingga
masa reformasi dan pasca reformasi, rentang waktu menjabat kepala desa tidak
pernah tetap. Hal ini menunjukkan bahwa lamanya menjabat kepala desa berubah-
ubah dan terus beradaptasi dengan situasi yang ada. Perubahan ini seakan-akan
bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan zaman dan nilai-nilai masyarakat, tetapi
juga oleh kepentingan politik dan hukum yang berbeda dari setiap rezim. Dengan
dinamika dan perubahan dalam masa jabatan kepala desa, terlihat bahwa
penetapan peraturan dan undang-undang terkait memiliki tujuan dan maksud
tertentu di baliknya.
Sejak masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mengakui
keberadaan dan posisi yang dimiliki oleh desa. Meskipun UUD 1945 memberikan
pengakuan terhadap peran desa, belum ada peraturan yang secara langsung
mengatur peranan desa dalam struktur pemerintahan nasional. Bahkan setelah
UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, desa tidak dijelaskan secara
khusus dalam pasal-pasal konstitusi. Amandemen IV UUD 1945 hanya
membahas mengenai kesatuan masyarakat hukum adat tanpa menjelaskan secara
rinci mengenai desa. Hingga pada tahun 2014 Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang tentang Desa.
UU Desa No. 6 Tahun 2014 dirancang untuk mengatasi kesenjangan
dalam pendekatan desentralisasi di Indonesia dengan mengintegrasikan prinsip-
prinsip pembangunan yang berpusat pada masyarakat ke dalam struktur
pemerintahan yang resmi. Melalui undang-undang ini, pengakuan formal
diberikan terhadap kedaulatan dan otonomi desa-di Indonesia, menggarisbawahi
hak masyarakat desa untuk mengutamakan dan mengelola proses pembangunan di
tingkat lokal sesuai dengan prinsip-prinsip dan pemerintahan yang berbasis di
daerah.
UU Desa telah memungkinkan integrasi antara masyarakat desa dengan
pasar, meningkatkan standar layanan yang diberikan oleh desa, serta membangun
hubungan saling percaya antara masyarakat dan instansi pemerintah. Hal ini
memiliki peran penting dalam meningkatkan ketahanan dan mendukung
pertumbuhan yang berkelanjutan bagi masyarakat baik di wilayah pedesaan
maupun perkotaan.
Tuntutan yang diajukan oleh Kepala Desa kepada Dewan Perwakilan
Rakyat membuat penulis penasaran terhadap tujuannya. Beberapa tuntutan
mungkin memiliki tujuan yang bermakna, terutama jika mereka berkaitan dengan
kebutuhan masyarakat di desa, seperti alokasi dana yang lebih besar untuk
pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, atau program
pengembangan ekonomi. Tuntutan semacam ini biasanya didorong oleh
kebutuhan riil masyarakat yang menjadi tanggung jawab Kepala Desa untuk
memperjuangkannya. Namun, ada kemungkinan juga bahwa beberapa tuntutan
bisa lebih bersifat narsistik atau hanya menguntungkan kepentingan pribadi
Kepala Desa. Misalnya, jika tuntutan itu lebih menitikberatkan pada kepentingan
pribadi, seperti alokasi dana yang lebih besar untuk proyek yang tidak secara
langsung menguntungkan masyarakat desa secara keseluruhan atau jika tuntutan
tersebut hanya untuk kepentingan politik atau kekuasaan pribadi tanpa
memperhatikan kebutuhan riil masyarakat.
B. PEMBAHASAN
1. PEMILIHAN KEPALA DESA
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, proses pemilihan kepala desa
mengalami transformasi seiring dengan berlakunya Undang-Undang Regering
Reglement (RR) tahun 1854. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa
pemilihan kepala desa dijalankan secara terbuka dan langsung oleh seluruh warga
dewasa yang dianggap memiliki kapasitas hukum di desa tersebut. Dalam periode
ini, ada dua bentuk pemilihan kepala desa yang berbeda. Pertama, adalah sistem
pemilihan terbuka di mana pemilih membentuk garis secara meluas, dan kandidat
kepala desa dengan barisan terpanjang akan menjadi pemenang. Kedua, adalah
penggunaan model pemilihan tertutup yang menggantikan sistem terbuka karena
adanya konflik. Dalam sistem tertutup, setiap pemilih diberikan satu tongkat yang
kemudian ditempatkan dalam sebuah wadah yang melambangkan tanaman
palawija, seperti jagung, kelapa, padi, dan simbol lain yang mewakili calon kepala
desa. Calon kepala desa yang berhasil mengumpulkan jumlah tongkat terbanyak
akan ditetapkan sebagai kepala desa. Pendekatan pemilihan seperti ini masih
sangat terikat pada tradisi karena mayoritas penduduk pada saat itu belum
memiliki keterampilan membaca yang cukup.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah, rezim reformasi menetapkan masa jabatan kepala desa
selama 8 tahun. Undang-undang tersebut menggantikan hukum yang sebelumnya
diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Tujuan dari perubahan peraturan tersebut adalah untuk
mengembalikan peran desa sebagai komunitas yang mandiri dalam pengelolaan
diri sendiri di luar kendali negara. Konsep self-governing community, seperti yang
dijelaskan oleh Gregorius Sahdan, merujuk pada komunitas lokal yang memiliki
otonomi dalam mengelola urusan internalnya sendiri dengan menggunakan aturan
lokal yang berlaku (Sahdan, 2005).
Para pakar melihat bahwa keluarnya Undang-Undang No. 22/1999
membawa semangat baru dalam pemerintahan daerah dan desa. Undang-undang
ini memberikan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk
mengembangkan potensi lokalnya, sehingga beberapa pihak menganggapnya
sangat demokratis, bahkan liberal. Jika dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun
1974, terdapat banyak perbaikan yang signifikan dalam Undang-Undang tersebut.
Terkait dengan besarnya kewenangan yang diberikan, ada media massa yang
bahkan menyebut adanya "revolusi" dalam sistem pemerintahan daerah (Lili,
2007).
Pada zaman modern ini, proses pemilihan kepala desa telah mengalami
transformasi yang cukup besar, di mana sekarang pemilihannya dilakukan dengan
cara memberikan suara pada gambar dan nama calon kepala desa yang tertera.
Walaupun metode pemilihan mengalami perubahan, standar atau kriteria untuk
menentukan siapa yang terpilih sebagai kepala desa tetap konsisten dengan yang
telah berlaku sebelumnya. Pada saat ini, kepala desa menjabat selama 6 tahun dan
berhak untuk dipilih kembali dua kali. Namun, penyesuaian ini menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Beberapa orang berpendapat bahwa
masa jabatan kepala desa seharusnya lebih singkat, yaitu satu kali masa jabatan
selama 6 tahun, berbeda dengan masa jabatan seorang presiden. Masa jabatan
yang terlalu panjang dianggap berpotensi untuk memperkaya diri sendiri dan
pihak-pihak tertentu, mengingat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala
desa. Walaupun banyak kepala desa terlibat dalam isu-isu yang berkaitan dengan
masa jabatan mereka, sejumlah kepala desa malah mengajukan usulan untuk
memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun untuk satu periode. Penentuan
pemenang dalam pemilihan kepala desa berdasarkan pada jumlah suara
terbanyak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014,
diterapkan sistem pemilihan kepala desa secara serentak. Salah satu aspek yang
menonjol adalah setiap individu diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala
desa, bahkan tanpa keharusan terdaftar sebagai warga desa tersebut. Resolusi ini
memberi hak kepada semua warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri di
segala desa di Indonesia tanpa persyaratan harus tercatat atau tinggal di desa
tersebut setidaknya selama 1 tahun sebelum mendaftar. Proses pemilihan kepala
desa dilakukan melalui pemilihan langsung oleh penduduk desa yang memenuhi
kriteria tertentu sebagai warga negara Indonesia. Lama kepemimpinan seorang
kepala desa berlangsung selama 6 tahun sejak dilantik. Seorang kepala desa
diperbolehkan menjabat hingga maksimal 3 kali masa jabatan, baik secara
berurutan maupun tidak.
2. OPTIMALISASI KINERJA KEPALA DESA
Pasal 26 ayat 1 dalam Undang-Undang Desa menjelaskan bahwa tugas
utama Kepala Desa adalah mengelola administrasi Pemerintahan Desa,
memimpin proses Pembangunan Desa, mengawasi perkembangan
kemasyarakatan Desa, serta memberdayakan masyarakat Desa secara aktif.
Menurut Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Desa, kewenangan Kepala
Desa meliputi:
a. “Memimpin pelaksanaan administrasi Pemerintahan Desa.
b. “Bertanggung jawab dalam pengangkatan dan pemberhentian
perangkat Desa.”
c. “Memegang peran dalam mengelola Keuangan dan Aset Desa.”
d. “Menetapkan Peraturan Desa serta Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa.”
e. “Membina kehidupan sosial, ketenteraman, dan ketertiban
masyarakat Desa.”
f. “Mendorong dan meningkatkan perekonomian Desa untuk mencapai
kemakmuran sebesar-besarnya.”
g. “Mengembangkan sumber pendapatan Desa serta memperjuangkan
pelimpahan kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa.”
h. “Mempertajam dan mengembangkan aspek sosial dan budaya
masyarakat Desa.”
i. “Memanfaatkan teknologi yang tepat guna.”
j. “Mengkoordinasikan Pembangunan Desa secara melibatkan
partisipasi masyarakat.”
k. “Mewakili Desa dalam pengadilan atau menunjuk kuasa hukum
sesuai dengan hukum yang berlaku.”
l. “Menjalankan kewenangan lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Tuntutan kepemimpinan seorang kepala desa selama 9 tahun terhadap
DPR dapat diambil sebagai pelajaran dari masa Orde Baru, di mana kepala desa
menjabat selama 8 tahun dalam satu periode. Seperti yang kita ketahui, pada
masa itu, rezim Orde Baru mengikat pemerintah desa melalui peran kepala desa.
Kedua peran ini dapat dilihat dari posisi ganda kepala desa, yang tidak hanya
bertindak sebagai kepala lembaga eksekutif desa (LKMD), tetapi juga sebagai
kepala lembaga legislatif desa (LMD) (Juliantara, 2000). Untuk memastikan
penuhnya pelaksanaan program pemerintah desa, masyarakat menerima petunjuk
melalui kepala desa, sebagaimana halnya peran bupati dan gubernur di tingkat
yang lebih tinggi. Pemerintah pusat menempatkan kepala desa sebagai penguasa
tunggal di tingkat desa. Dalam hal ini, pengalaman kepala desa selama 9 tahun
dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kepemimpinan yang kuat dan
konsisten dapat memainkan peran penting dalam pelaksanaan program dan
kebijakan pemerintah di tingkat lokal.
Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat
perbedaan dalam pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa jika dibandingkan
dengan masa Orde Baru. Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang tersebut,
Kepala Desa diawasi kinerjanya oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Peran BPD dalam mengawasi kinerja Kepala Desa menunjukkan pendekatan
yang lebih partisipatif dan demokratis dalam sistem pemerintahan desa. Dalam
perpanjangan paragraf, hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan terhadap
Kepala Desa dilakukan secara lebih transparan dan melibatkan perwakilan
masyarakat setempat, yang merupakan anggota BPD. Dengan adanya perubahan
ini, diharapkan bahwa kebijakan dan tindakan Kepala Desa dapat mencerminkan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa secara lebih akurat, serta memberikan
ruang partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat dalam pengelolaan urusan
pemerintahan desa.
Kinerja seorang Kepala Desa yang mendapatkan kepercayaan masyarakat
dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik dapat menjadi dasar bagi
pertimbangan untuk memperpanjang masa jabatannya hingga 3 periode atau
setidaknya paling banyak 18 tahun. Meskipun demikian, penulis berpendapat
bahwa pemberian kepercayaan tersebut mungkin sudah melebihi dari cukup
dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Memberikan kesempatan kepada
seorang Kepala Desa untuk menjabat dalam periode yang lebih lama bisa
memberikan stabilitas dan kontinuitas dalam kepemimpinan, memungkinkan
implementasi program-program yang berkelanjutan. Namun, di sisi lain,
perpanjangan masa jabatan yang terlalu lama juga memiliki risiko, seperti
kurangnya penyegaran dalam kepemimpinan dan potensi terjadinya
ketergantungan pada satu tokoh.
Dalam mengatasi situasi ini, penting untuk menemukan keseimbangan
yang tepat antara memberikan stabilitas dan memastikan adanya rotasi
kepemimpinan. Mungkin perlu dipertimbangkan sistem evaluasi kinerja yang
objektif dan partisipatif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat agar pemilihan
kepala desa dapat mencerminkan kebutuhan dan dinamika yang ada di tingkat
desa.
Norma dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 yang menetapkan masa
jabatan kepala desa selama tiga periode, setara dengan 18 tahun, menunjukkan
bahwa ada kecenderungan untuk membatasi kekuasaan di tingkat lokal.
Meskipun secara teliti, terpilihnya seseorang sebagai kepala desa untuk periode
tiga kali lipat, atau 18 tahun, tidak dapat dianggap sebagai jaminan atau kepastian
(Luthfy, 2019). Tidak ada yang bisa menjamin bahwa pemimpin lokal akan dapat
mempertahankan jabatannya selama periode yang ditentukan. Namun, upaya
untuk menghindari akumulasi kekuasaan yang terlalu besar atau bahkan absolut
oleh kepala desa perlu terus dilakukan. Hal ini karena penempatan jabatan publik
harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas, sejalan dengan tuntutan konstitusi.
Oleh karena itu, ketika menjalankan tugas dan fungsi mereka, kepala desa
diharapkan beroperasi dalam batas masa kerja yang wajar, mencerminkan
semangat demokratis dan rotasi kepemimpinan yang sehat di tingkat lokal.
Minimnya usaha untuk membatasi kekuasaan dapat membuka peluang
bagi dominasi kepala desa terhadap warga. Efektivitas pemerintahan desa sangat
tergantung pada kebijakan, keinginan, dan kehendak kepala desa. Dalam situasi
seperti ini, kepala desa berisiko melakukan tindakan di luar batas
kewenangannya. Peran dan fungsi yang seharusnya didelegasikan kepada pihak
lain akhirnya diambil alih oleh kepala desa. Rasa superioritas dalam dirinya
membuat kepala desa mengabaikan kemampuan orang lain sambil
menempatkannya sebagai aktor lokal yang paling utama.
Meskipun demikian, pada masa sekarang, prinsip dasar negara hukum
(Rechtsstaat) menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan. Pembatasan
kekuasaan negara dan organ-organ negara diimplementasikan melalui penerapan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Kekuasaan perlu selalu ditempatkan dalam batas-batas melalui
pemisahan ke dalam cabang-cabang yang memiliki prinsip "checks and
balances" dengan posisi yang setara, saling menyeimbangkan serta saling
mengimbangi (Asshiddiqie, 2005).
Pembatasan kekuasaan juga dilakukan melalui mendistribusikan
kekuasaan ke dalam beberapa lembaga yang terorganisir secara vertikal. Dengan
cara ini, kekuasaan tidak terfokus dan terakumulasi dalam satu badan atau tangan
tunggal, yang dapat menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Prinsip ini
bertujuan untuk menahan munculnya tindakan sewenang-wenang dan menjaga
keseimbangan kekuasaan dalam sistem pemerintahan.
Masa jabatan tiga periode bagi Kepala Desa memiliki kelemahan yang
sangat terasa, terutama ketika Kepala Desa petahana mencalonkan diri dalam
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) periode kedua dan ketiga. Dalam periode
jabatannya, petahana memiliki potensi untuk memanfaatkan mesin birokrasi guna
memenangkan Pilkades. Birokrasi dianggap sebagai alat yang kuat dan dapat
digunakan oleh kandidat petahana untuk meraih dukungan rakyat hingga ke
lapisan masyarakat terendah (Permadi et al., 2023). Dibandingkan dengan Visi
Misi Calon Kepala Desa yang baru, birokrasi dianggap lebih unggul dalam
kemampuannya untuk meresap ke tengah-tengah masyarakat. Selain memiliki
daya jangkau yang luas, birokrasi juga dianggap lebih superior daripada lembaga
politik lainnya dalam mengumpulkan informasi dan menyediakan dana. Oleh
karena itu, keberadaan birokrasi yang bersifat netral dan tidak dapat dipengaruhi
menjadi suatu keharusan dalam konteks demokrasi dan pertarungan politik.
Ketidaknetralan birokrasi dapat merusak nilai-nilai demokrasi dengan
cara memanipulasi pilihan warga melalui pengawasan oleh pihak berkuasa. Oleh
karena itu, menjaga netralitas birokrasi menjadi esensial dalam mendukung
pembangunan demokrasi yang sehat dan mencegah manipulasi politik melalui
penggunaan kekuasaan.
Seseorang yang menempati jabatan tanpa adanya batasan waktu, dan
tanpa kendali politik serta pengawasan hukum dari lembaga peradilan, memiliki
potensi untuk mengakuisisi kewenangan formal yang lebih besar. Hal ini
mencakup kemampuan untuk menggunakan sarana paksa dan meraih keuntungan
ekonomi, yang pada gilirannya digunakan untuk mempertahankan status quo.
Seiring berjalannya waktu, peluang untuk seseorang mempertahankan dan
memperluas kekuasaannya semakin meningkat (Surbakti, 1998). Namun,
semakin lama pula jabatan tersebut dipegang, semakin besar risiko
penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menyebabkan kerugian bagi masyarakat
dan merusak struktur negara sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
konstitusi. Oleh karena itu, kontrol politik dan pengawasan hukum dari lembaga
peradilan merupakan elemen penting untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan dan menjaga keseimbangan dalam sistem pemerintahan.
C. KESIMPULAN
Sebagai pemegang administrasi pemerintahan terendah dalam sistem
ketatanegaraan, peran Kepala Desa memegang posisi yang krusial dalam
kemajuan bangsa, terutama karena memiliki keterlibatan langsung dengan
grassroot atau masyarakat setempat. Penting untuk diakui bahwa keberhasilan
kinerja seorang Kepala Desa tidak hanya dapat diukur dari lamanya masa jabatan,
melainkan lebih terletak pada efisiensi dan manfaat yang dihasilkan dari program-
program yang diterapkan oleh kepala desa tersebut.
Kedekatan yang dimiliki Kepala Desa dengan masyarakat di tingkat lokal
membuatnya menjadi agen perubahan yang signifikan. Keoptimalan kinerja
Kepala Desa tercermin dalam efektivitas pelaksanaan program-program yang
dirancang untuk memajukan kesejahteraan dan perkembangan di desa. Oleh
karena itu, fokus evaluasi terhadap kinerja kepala desa seharusnya lebih
difokuskan pada hasil nyata yang dicapai melalui inisiatif dan program yang
dijalankan, daripada hanya mengandalkan lamanya masa jabatan sebagai
indikator tunggal. Dengan memprioritaskan efisiensi dan manfaat nyata bagi
masyarakat, kepemimpinan Kepala Desa dapat menjadi daya pendorong utama
dalam mencapai kemajuan dan pembangunan di tingkat lokal.
Kepemimpinan yang diemban oleh seorang Kepala Desa mirip dengan
kepemimpinan pemerintah daerah, hanya perbedaannya terletak pada tingkat
otonomi yang dimiliki. Meskipun tugas dan tanggung jawab Kepala Desa bersifat
lokal, dampak dari kepemimpinan ini memiliki pengaruh yang langsung terasa
bagi masyarakat setempat. Kepala Desa, sebagaimana kepemimpinan di tingkat
pemerintahan daerah, bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyelenggaraan
berbagai program dan kebijakan. Meskipun memiliki keterbatasan otonomi
dibandingkan dengan pemerintah daerah yang lebih besar, Kepala Desa tetap
memiliki peran strategis dalam mencapai kesejahteraan masyarakat desa.
Kebermanfaatan yang dimiliki oleh Kepala Desa sangat berdampak
langsung pada kehidupan sehari-hari warga desa. Keputusan-keputusan
kepemimpinan, program-program pembangunan, dan alokasi sumber daya yang
tepat dapat memberikan kontribusi positif yang nyata terhadap perkembangan
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di tingkat desa. Oleh karena
itu, walaupun keterbatasan otonomi menjadi ciri khas kepemimpinan desa,
dampak positif yang dihasilkan dapat terasa secara langsung oleh masyarakat
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Daulay, R., Khair, H. P., Putri, L. P., & Astuti, R. (2016). Manajemen. Usu Press.
Juliantara, D. (2000). Arus bawah demokrasi: Otonomi dan pemberdayaan desa.
Lili, R. (2007). Potret otonomi daerah dan wakil rakyat di tingkat lokal, Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Luthfy, R. M. (2019). Masa Jabatan Kepala Desa Dalam Perspektif Konstitusi.
Masalah-Masalah Hukum, 48(4), 319.
https://doi.org/10.14710/mmh.48.4.2019.319-330
Permadi, R. N., Prawitasari, N., & Sari, M. R. (2023). Analisis Sentimen
Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa pada Twitter Melalui Penggunaan
Metode Naive Bayes Classifier Pendahuluan Tuntutan para kepala desa untuk
mendapatkan penambahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun pada
setiap periodenya menua. 8090, 49–67.
https://doi.org/10.22219/jurnalsospol.v9i1.25900
Sahdan, G. (2005). Transformasi Ekonomi-Politik Desa. APMD Press Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat desa" APMD" Yogyakarta.
Surbakti, R. (1998). Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas Airlangga.
Tampubolon, M. (2022). Dinamika Kepemimpinan. SKYLANDSEA PROFESIONAL
Jurnal Ekonomi …, 2(1), 1–7.

Anda mungkin juga menyukai