Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

Disusun Oleh :

PUTRI DIAN LASTARI (101901088)

KIKI APRILIA (101901150)

WA CIA (101801218)

AHMAD PAIRIN ASYARI BASRI (101901178)

JURUSANAKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
kelompok kami tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada
Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA”


dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak. Kami berharap makalah
tentang perencanaan pembangunan desa ini dapat menjadi referensi bagi
pihak yang tertarik. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan
sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

kami menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan,


terutama pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran
pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

1.LATAR BELAKANG………………………………………………………..

1.2 RUMUSAN MASALAH………………………………………………….

1.4 TUJUAN ………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN PADA MASA ORDE LAMA
……………………………………………………………………….

2.1 PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN PADA MASA ORDE BARU
………………………………………………………..

2.1.2 PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN PADA MASA


REFORMASI………………………………………………..

PENUTUP………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan pedesaan atau desa dapat dikatakan menempati bagian
paling dominan mengisi wacana pembangunan daerah. Hal tersebut bukan
sajadidasarkan atas alasan fisik geografis, sumberdaya alam atau
sumberdayamanusia. Tetapi didalamnya menyimpan potensi-potensi ekonomi
yang harusdikenali dan diperbaiki (Dahuri & Nugroho, 2012). Reformasi yang
mengakhiriera pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto
telah melahirkan perubahan yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan
kenegaraan. Berbagai isu yang menjadi debat publik terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahandesa yang hingga kini dipahami dalam berbagai
perspektif yang sangat didominasioleh perspektif hukum dan politik.
Adanya perubahan format otonomi daerah sebagai sesuatu hal yang
tidakterhindarkan, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
PemerintahanDaerah. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya era
pemerintahan daerah yangsentralistik di bawah UU No. 5 Tahun 1974 tentang
pemerintahan desa. Sehinggamembuka kembali sebuah wacana dan harapan
baru untuk mengembalikan satu perspektif tentang desa terutama yang terkait
dengan posisi desa yangterberdayakan. Bersamaan dengan terbukanya ruang
publik dengan aturan barutersebut, memunculkan pula kesadaran baru yang
menginginkan sebuah pemerintahan demokratis, terdesentralisasi dan
pemberdayaan masyarakat lokalyang, selain menuntut perlunya pengalokasian
dan pendistribusian kekuasaanserta kewenangan, juga menginginkan adanya
diskresi dalam penetapankebijakan publik pada berbagai strata pelaksanaan
pemerintahan.
Menurut data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik dalam
kurunwaktu 2003 hingga 2011 jumlah perkembangan desa di Indonesia
terusmengalami kenaikan yang signifikan hal itu disebabkan berbagai alasan.
Salahsatu alasan pemicu penambahan jumlah desa adalah konsep
desentralisasi yangmemungkinkan daerah indonesia dapat memiliki hak
otonomi guna mengaturrumah tangganya sendiri. Berikut adalah jumlah Desa
menurut Provinsi dan letakgeografi, 2003-2011.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin daerah pedesaan ini yang tentu
berimplikasi pada meningkatnya jumlah desa tertinggal,
partisipasiketenagakerjaan atau bias Gender Dalam kurun waktu 1991 hingga
1996, proporsi pekerja wanita di sektor pertanian meningkat signifikan.
Dengan mengasumsikanmereka lebih lemah akses terhadap modal, teknologi
dan pasar, maka perolehan benefitnya selain kecil juga menurun. Demikianlah,
sebagaian dari berjalannyafeminisasi kemiskinan. Selain itu akses dan
kesempatan terhadap faktor produksidan informasi yang berkaitan dengan
pasar (Dahuri & Nugroho 2012).
Desa tertinggal adalah desa yang dikategorikan memiliki indeks
kemajuan pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia dibawah rata-rata
nasional,akibat kesenjangan kemampuan ekonomi dan kurangnya
ketersediaaninfrastruktur (RPJMN 2010-2014). Berdasarkan Indeks
Pembangunan Desa (IPD)2014, terdapat 20.168 desa tertinggal di Indonesia.
Angka ini merupakan 27,22 persen dari jumlah total desa yang ada di
Indonesia, yang mencapai 74.093 desa.Adapun sebaran desa tertinggal
terbanyak di Pulau Papua, dengan jumlahmencapai 6.139 desa.
Sementara itu desa berkembang dan desa mandiri paling banyak ada
diPulau Jawa-Bali. Di Pulau Jawa-Bali jumlah desa berkembang mencapai
20.827desa, dan desa mandiri mencapai 2.253 desa. IPD 2014 yang dirilis
Badan PusatStatistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas),
dimaksudkan menjadi acuan bagi pemerintah untuk program
pengembangan desa.Kepala BPS Suryamin dalam peluncuran buku IPD 2014
menyampaikan, agendaRPJMN 2015-2019 yakni pembangunan desa bisa
memanfaatkan data IPD 2014ini. Suryamin memaparkan, ada 43 indikator
dalam mengukur IPD 2014. Limadimensi yang dilihat dari perkembangan
sebuah desa yakni dimensi pelayanandasar, dimensi infrastruktur dasar,
dimensi transportasi, dimensi pelayanan publik,serta dimensi penyelenggaraan
pemerintah. Dari hasil pengukuran tersebut, desadi Indonesia diklasifikasikan
menjadi tiga desa, yakni desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal.
Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan
diIndonesia pada masa Orde Baru dan awal Orde Reformasi adalah mengenai
pendekatan yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri. Secara
sederhanaterdapat tiga kutub pemikiran tentang pembangunan pedesaan di
Indonesia.Kelompok pertama melihat wilayah pedesaan dan masyarakatnya
sebagai sesuatuyang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan
di wilayah pedesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit
mungkin campurtangan pemerintah. Pada sisi lain, para pemikir yang
melingkari kekuasaan padasaat itu, sebagai kelompok kedua, cenderung
melihat desa sebagai sesuatu yanghomogen dan perlu digerakkan dengan
campur tangan pemerintah yang maksimal.Pemikiran inilah yang melandasi
disusunnya berbagai cetak biru pembangunan pedesaan dan ditetapkannya
berbagai peraturan perundangan yang menjadikandesa sebagai suatu wilayah
yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,serta menjadi ‘alat
pemerintah’ dalam pembangunan. Kelompok ketiga
mencobamenyeimbangkan kekuatan masyarakat pedesaan dan negara dalam
menentukanarah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
pedesaan (Jamal,2009).
Pada dasarnya perjalanan konsep pembangunan pedesaan pada masa
OrdeLama, Orde Baru dan Reformasi sangat menarik untuk dikaji kembali.
Jikaditelaah kembali histori pengaturan dan pembangunan desa pada masa
Orde Lamatertuang pada UU 19 Tahun 1965, Desa Praja Sebagai bentuk
peralihan untukmempercepat tewujudnya Daerah Tingkat III di seluruh
Wilayah RepublikIndonesia. Pada masa orde baru tertuang dalam UU No 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa, di masa inilah penyeragaman desa
dilakukan. Sedangkan padamasa peralihan antara periode Orde Lama dan
pasca reformasi, pengaturan dan peraturan desa tertuang dalam UU No 22
Tahun 1999. Pada masa reformasi desadiatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan
UU No 6 Tahun 2014. Namun, penulistidak menemukan secara detail dan
eksplisit di dalam Undang-undang konteks pembangunan dan rumusan
kebijakan pembangunan desa pada periode tersebut.Maka dari itu dari
permasalahan diatas dapat kita simpulkan bahwa strategi dankebijakan
pembangunan desa dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasisangat
layak untuk dikaji.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalah dan uraian di atas, maka rumusan masalah yangakan
dibahas adalah
Bagaimana pembangunan desa dan kawasan pedesaan diera Orde Lama, Orde
Baru dan Reformasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui pembangunan
desa dan kawasan pedesaan di era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

 PADA MASA ORDE LAMA

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, hadir sebagai jawaban


atas tuntutan dari masyarakat khususnya yanga da di desa. Karena selama ini
pengaturan pemerintahan desa ‘hanya’ disisipkan pada undang-undang
Pemerintahan Daerah yang menimbulkan pemerintahan desa sebab
pemerintahan tidak fokus dalam mengakomodir kepentingan desa. Oleh
karena itu, penelitian ini membahas permasalahan: pertama, bagaimana politik
hukum pemerintahan desa di masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi? Dan
kedua, apakah konsep pemerintahan desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 telah
memenuhi kebutuhan masyarakat desa? Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif, dengan fokus kajian dengan menganalisis peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan desa yang berlaku
pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Penelitian
menggunakan pendekatan historis (hystorical approach) dan pendekatan
yuridis normatif (ststue approach).
Pada Masa Orde Lama Pemerintahan desa di masa Orde Lama, menjadi
salah satu perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini tampak
dari berbagainya ketentuan tentang pemerintahan desa yang diatur di
Indonesia. Seperti yang terlihat saat pemerintahan Soekarno, desa diatur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa
Perdikan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1946 tentang Perubahan Tata
Cara Pemilihan Kepala Desa. Desa yang awalnya masuk dalam penjelasan
ketentuan UUD 1945, justru ‘tergerus’ dengan lahirnya kedua undang-undang
tersebut. Bahkan Pratikno menyatakan ‘telah berlangsung negaraisai desa yang
dilakukan dengan dua instumen perundang-undangan tersebut’.
Bila dicermati secara mendalam, UU No. 13 Tahun 1946
mengekspresikan kepentingan pemerintah pusat untuk mengintegrasikan desa
perdikan di dalam satu kewenangan yang berakhir di pemerintah pusat.
Apabila pada masa sebelumnya desa perdikan ini diberi hak istimewa untuk
terbebas dari pajak, namun dengan hadirnya UU No. 13 Tahun 1946 hak
istimewa desa perdikan tersebut dicabut bersama desa desa lainnya.
Sedangkan UU No. 14 Tahun 1946, menjadi pilihan politik hukum negara yang
digunakan untuk mempertegas posisi negara terhadap desa, dimana negara
hanya sebagai pemberi legitimasi politis.

Sama halnya dengan periode kolonial, pada awal kemerdekaan


masyarakat desa masih mempunyai kewenangan yang luas untuk mengangkat
dan memberhentikan perangkat desa tanpa campur tangan negara. Dengan
demikian peran negara hanya terbatas dalam legalisasi pemerintahan desa dan
tidak mempunyai kewenangan intervensi yang terlalu jauh. Konsekuensi logis
dari kedua instrumen di atas adalah keberagaman bentuk pemerintahan desa
pada waktu itu. Ada pemerintah desa yang dijalankan oleh penguasa tunggal
seperti di Jawa, Maluku, dan Nusa tenggara, serta ada pula pemerintah desa
yang dilakukan secara kolektif seperti di Minahasa, Gorontalo, dan Pidie

Keberlanjutan ‘nasib’ desa kemudian diakomodir dalam UndangUndang


Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Sendiri Di
Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri. Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1948 menyatakan “Daerah Negara
Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Provinsi, Kabupaten
(Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Ayat (2) Daerah-daerah
yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-
Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai
Daerah Istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten atau Desa, yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendirI

Berdasarkan ketentuan tersebut desa digolongkan sebagai pemerintah


daerah tingkat III yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tanggaya sendiri. Penempatan desa sebagai daerah otonom tingkat III dalam
sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, dijelaskan dalam penjelasan
angka 18 yaitu: “ Menurut Undang-Undang pokok ini, maka daerah otonom
yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti
bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak
ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya
pemerintahan penajajah mengerti bahwa desa sebagai sendi negara, mengerti
bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-galanya, diperkuat
dan didinamiser supaya dengan begitu negara bias mengalami kemajuan.
Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka sesa dibiarkan saja tetap statis
(tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-
ordonantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa
berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh
ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetlnya didesa tu sudah tidak
hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau
sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan
penduduk Desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.
Desa tetap tinggal terbelakang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan
tujuan politik penjajah”. Kehendak UU No. 22 Tahun 1948 mengadakan
restrukturisasi wilayah desa membentuk desa-desa baru dengan teritorial yang
lebih luas merupakan pemikiran yang sangat maju. Namun, walaupun UU No.
22 Tahun 1948 mengandung gagasan dasar yang dikehendaki Pasal 18 UUD
1945 (seperti diutarakan oleh Yamin, Soepomo, Ratulangi, dan Amir), dalam
kenyataannya tidak mencapai hal-hal yang diharapkan. Ada beberapa sebab
yang menghambat pelaksanaan gagasan-gagasan tersebut. Pertama, Desa
sebagai bagian penting susunan pemerintahan daerah tidak diperbaharui
sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1948. Akibatnya, desa yang
diharapkan sebagai tumpuan penyelenggaraan kemakmuran tidak dapat
berperan sebagaimana mestinya. Kedua, UU No. 22 Tahun 1948 tidak diikuti
pembaharuan perangkat peraturan perundangundangan pendukung. Untuk
pemerintahan desa tetap berlaku ketentuan Hindia Belanda-Inlandse
Gemeente Ordonnantie (IGO) untuk JawaMadura dan Inlandse Gemeente
Ordonnantie Voor Buiten Gewesten (IGOB) untuk luar Jawa-Madura. IGO dan
IGOB tidak dapat dijadikan dasar pengembangan desa karena pengaturan ini
pada dasarnya hendak membiarkan desa dalam “keasliannya”.

 Pada Masa Orde Baru


Pada Masa Orde Baru Pasca lengsernya rejim orde lama di bawah
kepemimpinan Presiden Soekarno, estafet kepemimpinan di Indonesia
kemudian diambil alih oleh Presiden Soeharto yang saat itu dikenal dengan
pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru mencoba menata ulang
struktur pemerintahan yang ada, salah satu bagian yang hendak ditata ulang
adalah pemerintahan daerah. Ketentuan tentang pemerintahan daerah
selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
PokokPokok Pemerintahan Di Daerah (UU No 5 Tahun 1974). Politik
desentralisasi dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang diterbitkan di masa
pemerintahan Orde Baru, terlihat meletakkan ketentuan pelaksanaan otonomi
nyata dan bertanggungjawab dan meletakkan titik berat otonomi daerah pada
daerah tingkat II, jalannya masih tersendat-sendat, lamban dan bahkan
beberapa hal mengalami kemunduran. Kekeliruan sangat mendasar dalam
merealisasikan Pasal 18 UUD 1945 yang dianut dalam UU No. 5 Tahun 1974
ialah menjadikan “daerah otonom” sekaligus menjadi “daerah administrasi”
(fused model) yang seharusnya terpisah (split model). Konsekuensi dari
membaurkan “daerah otonom” dengan “daerah administrasi” adalah pimpinan
pemerintahan daerah dijabat oleh seorang kepala daerah yang karena
jabatannya sekaligus sebagai kepala wilayah. Kedudukan kepala wilayah ini
merupakan “alat pusat” dan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat,
mewakili pusat, dan peranannya lebih dominan dibanding kedudukannya
sebagai Kepala Daerah.126 Konstruksi ini mendorong sistem pemerintahan
yang bercorak sentralistik, karena kedudukan dwi-fungsi kepala daerah, justru
peranan kepala wilayahnya yang lebih menonjol.127 Selain itu, disebutkan
dalam konsideran ‘bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka kedudukan Pemerintah Daerah sejauh mungkin
diseragamkan’. Pola pemberian otonomi yang dianut UU No. 5 Tahun 1974
bersifat “proposional bertingkat”, artinya semua tingkat pemerintahannya
berbeda, mulai dari pusat, daerah tingkat I dan daerah tingkat II pada dasarnya
mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas, fungsi, dan urusan yang
sama, tetapi dalam proporsi berbeda. Pada umumnya sharing ratio
kewenangan cenderung membesar ke atas, dalam arti pusat akan memperoleh
proporsi yang jauh lebih besar, diikuti oleh Daerah Tingkat I, dan baru Daerah
Tingkat II memperoleh sisanya yang paling kecil.

Soeharto melanjutkan dengan proses territorial reform secara besar-


besaran. Territorial reform dilaksanakan seabagai bagian integral dari proses
pembangunan berporos pertumbuhan ekonomi melalui proses yang
terbimbing oleh negara. Teritori Indonesia ditata ulang untuk itu sehingga
kondusif untuk mewujudkan “visi Indonesia: versi pak harto”, dengan
penyeragaman desa salah satu bentuknya. Hal ini dilatarbelakangi oleh
keinginan Soeharto untuk meneruskan semangat nation building dalam rangka
membakukan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat
seperti gagasan Soekarno. Kritik dalam territorial reform pada masa Orde Baru
adalah terlampau mengedepankan kesatuan dan menafikan keagamaan. Misi
utama saat itu adalah memastikan setiap jengkal teritori negari ini berada
dalam kontrol pemerintah pusat.

Perwujudan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II, jika pola
pemerintahan otonomi seperti ini terus dianut, maka sulit untuk bisa tercapai,
karena eksistensi Daerah Tingkat I sebagai daerah otonom, tetap akan
mendapat proporsi kewenangan yang jauh lebih besar dibanding dengan
Daerah Tingkat II. Sehingga bagaimanapun juga distribusi kewenangan
terhadap daerah otonom tetap akan merupakan “piramid terbalik” dengan
segala ekses timbulnya duplikasi dan kerancuan yang mengakibatkan posisi
Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom yang paling dekat dengan rakyat,
menjadi tidak berdaya.Kebijaksanaan desentralisasi yang dianut dimasa Orde
Baru lebih berorientasi kepada penggunaan model penyelenggaraan
desentralisasi yang bisa disebut sebagai the structural efficiency model yang
lebih mementingkan pemberian pelayanan secara efisien kepada local
communities, akibatnya lebih mendorong intervensi pusat yang lebih besar
untuk mengontrol pemerintahan daerah guna menjamin efisiensi dan
kemajuan ekonomi, penekanan yang lebih besar kepada uniformity dan
conformity, mengabaikan nilai-nilai lokal dan keanekaragaman daerah, yang
pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai demokrasi.

 Pemilihan model structural efficiency menimbulkan beberapa


kecenderungan sebagai berikut:(1) kecenderungan untuk
memangkas jumlah susunan daerah otonom; (2) kecenderungan
untuk mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran
dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
lembaga penentu kebijakan dan lembaga kontrol; (3)
kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang
dan discretion yang lebih besar kepada daerah otonom; (4)
kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada
desentralisasi; (5) terjadi semacam paradox: di satu sisi efisien
memerlukan wilayah dari daerah otonom yang luas untuk
memungkinkan tersedianya sumber daya yang lebih mendukung
bagi penyelenggara pemerintahan daerah, namun disisi lain
daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi
menjadi gerakan sparatisme yang mengarah kepada disintegrasi.
Dengan demikian mudah dipahami “prinsip otonomi nyata dan
bertanggung jawab” dengan “titik berat pelaksanaannya
diletakkan pada Daerah Tingkat II” yang dianut dalam UU No. 5
Tahun 1974 lebih banyak dipergunakan sebagai alat retorika
daripada untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang
sungguh-sungguh secara operasional di lapangan bias dijalankan

Selain itu, UU No.5 Tahun 1974 juga ‘memerintahkan’ untuk membuat


ketentuan terkait desa dalam undang-undang sebagaimana dimandatkan
dalam Pasal 88 yang menyebutkan, “Pengaturan tentang pemerintahan desa
ditetapkan dalam undang-undang’. Karena dalam UU No. 5 Tahun 1974 tidak
mengatur tentang desa secara luas, hanya dengan satu pasal tersebut saja.
Dengan kata lain UU No. 5 Tahun 1974 tidak mengakomodir pemerintahan
desa di dalamnya. Sehingga desa harus menunggu lima tahun lamanya untuk
memiliki undang-undang tersendiri tentang desa, karena rancangan undang-
undang tentang pemerintahan desa diajukan oleh pemerintah kepada DPR RI
baru pada 11 Mei 1979. Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Desa disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dengan amanat Presiden No.
R.03/PU/5/1979 tertanggal 11 Mei 1979 dan telah dibacakan dalam Sidang
Paripurna Dewan yang ke-30 pada tanggal 14 Mei. Persidangan untuk
membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (RUU
Desa) kemudian diadakan pada persidangan IV di rapat Paripurna ke-34, 6 Juni
1979. Rapat tersebut mengagendakan pembahasan Tingkat I dengan
keterangan Pemerintah atas rancangan undang-undang tentang pemerintahan
desa tersebut, yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.

 Era Reformasi

Otonomi daerah sebagai produk orde reformasi telah membuka ruang


lebih luas bagi keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pengambilan
kebijakan-kebijakan dalam mengembangkan daerah masing-masing.
Dewasa ini masyarakat mulai memahami hak-haknya sebagai warga negara
yang memiliki mandat dan kedaulatan tertinggi. Hal ini merupakan
optimisme akan lahirnya civilization dalam pranata sosial politik dan
budaya.
Di era reformasi ini, masyarakat desa belum memahami secara empirik
tanda-tanda bagi perbaikan pranata sosial, politik, ekonomi, dan budaya
dalam masyarakat desa. Dalam beberapa tahun terakhir, setelah lahirnya
Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang desa ini, semakin merujuk
pada peningkatan kualitas pada tataran pemerintahan desa dan segi
pembangunan yang diusung oleh pemerintahan desa.

Pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 bertujuan:

a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah


ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuaan Republik Indonesia;

b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa


dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat


Desa;

d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa


untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;

e) membentuk pemerintahan Desa yang profesional, efisien, efektif,


terbuka, dan bertanggungjawab;

f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna


mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

g) meningkatkan ketahan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan


masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian
dari ketahan nasional;

h) mewujudkan prekonomian masyarakat Desa serta mengatasi


kesenjangan pembangunan nasional . dan;

i) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.


Dari sembilan tujuan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang
desa pada Pasal 4 ini belum terlaksana secara maksimal dan bahkan ada
beberapa tujuan tersebut yang sama sekali belum dilaksanakan oleh
pemerintahan Desa yang terdapat di NTB. Pemerintah Desa sebagai unit
lembaga pemerintahan yang paling berdekatan dengan masyarakat harus
memulai dari tahap yang paling urgen dalam melakukan sistem kebijakan-
kebijakan yang berujung pada kemajuan Desanya.

Terlebih lagi pada tujuan yang tertera di atas sangatlah kompleks jika
semua dijalankan dengan maksimal demi mengembalikan aset Desa ya ng
sudah hilang. Berbasis Partisipasi Masyarakat Dalam realita yang terjadi di
NTB Pemerintahan Desa yang masih membangun Desa tanpa sentuhan
budaya partisipatif antara pemerintah desa dengan masyarakatnya,
sehingga keinginan, dan kemauan masyarakat teraba ikan.

Dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa


(RPJMD) ini merupakan suatu pedoman dalam membangun desa secara
bersama. Pada tahap ini kepala desa memiliki kewenangan penuh dalam
melakukan perencanaan tersebut demi kemajuan yang diinginkan desa.

Secara teknis operasional, proses penyusunan rencana pembangunan


desa tersebut lazimnya dikenal dengan MUSRENBANG ( Musyawarah
Perencanaan Pembangunan) Desa, yang meliputi seluruh stakeholders desa.
Marwan Jafar selaku Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi mengatakan, “dana desa akan dicairkan pada april 2016”.
Ini merupakan langkah awal dalam menggapai kemajuan dalam bentuk
operasional dana keuangan untuk tiap tiap desa yang ada di Indonesia,
tahap penyaluran Dana Desa dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke
Rekening Kas Desa (RKD) akan dilakukan jika pemerintah desa menyerahkan
dokumen-dokumen sebagai berikut:

1) peraturan Desa tentang APB Desa tahun 2016; dan

2) laporan realisasi penggunaan dana Desa tahun 2015.

Saya melihat pada poin kedua, di mana pada tahap ini pemerintahan
desa harus melakukan realisasi dalam bentuk penggunaan dana Desa yang
diusung pada MUSRENBANG. Mengingat dalam musrenbang ini
menghadirkan berbagai tokoh yang ada pada setiap pemrintahan desa baik
dari kepala desa, sekdes, BPD, LPM, Karang Taruna, serta kelompok-
kelompok kecil yang ada di setiap desa, baik dari kalangan masyarakat
bawah sampai kalangan menengah.

Jadi, keinginan masyarakat desa akan tercapai sesuai dengan apa


yang akan dilaksanakan dalam program desa yang akan disepakati dalam
Musrenbang desa tersebut. Jadi secara langsung partisipasi
seluruh stakeholders desa ikut berperan aktif dalam menyusun anggaran
pembangunan desa.

Kedepankan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Joseph Stiglitz


dalam beberapa literaturnya telah menyatakan pentingnya informasi dalam
suatu proses pembuatan kebijakan. Kerugian masyarakat kita pada ekonomi
disebabkan oleh informasi yang asimetris. Jadi, pemerintahan desa dalam
melakukan transparansi dalam bentuk apapun harus memberikan informasi
secara substansial dan faktual. Dengan demikian, informasi memiliki fungsi
lebih bagi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan.

Pemerintahan yang transparan dan berakuntabilitas publik berarti


lembaga tersebut berminat untuk menerima kontrol masyarakat yang
senantiasa mau mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang
diamanatkan oleh rakyat, (Syamsuddin, 2007). Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat secara intens dalam proses
pembangunan desa.

Pada prinsip Transparansi ini, pemerintahan desa harus terbuka


dengan masyarakat agar semua keputusan dan kebijakan diputuskan
bersama. Dalam mengawal Anggaran Dana Desa (ADD), masyarakat juga
harus dilibatkan agar semua pihak desa ikut serta dalam pengawalan, tidak
seperti demikian posisi masyarakat hanya dapat mengamini apa yang
pemerintahan desa putuskan sehingga semua bentuk kebijakan dan
keputusan pemerintahan desa kurang terarah dan mudah untuk terjadinya
Tindak Pidana Korupsi dari pihak pemerintahan desa.

Pada tahap selanjutnya, saya kira proses pengambilan keputusan


memang harus dilakukan melalui dialog antaran pemerintahan desa dengan
masyarakat, sehingga berujung pada keputusan bersama.

Namun yang terjadi saat ini proses dialog tersebut lebih didominasi
oleh elit desa dan perangkat desa tanpa melibatkan masyarakat bawah dan
menengah. Alhasil, keputusan yang diambil kurang mencerminkan
kebutuhan masyarakat desa sesuai dengan tujuan Undang-Undang Nomor 6
tahun 2014 yang terdapat pada pasal 4 tersebut.

Selain itu, dapat kita lihat dari beberapa desa yang terdapat di NTB
saat ini dari alokasi dana ADD yang lebih banyak dipergunakan untuk biaya
operasional daripada kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat desa itu
sendiri. Sehingga Rencana Pembangunan Desa melalui Anggaran Dana Desa
kurang mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat, tetapi lebih berpihak
untuk kepentingan pemerintah desa dan elit desa.

Pemerintah desa seharusnya bertanggungjawab atas kinerjanya


kepada publik atau warga masyarakat. “Akuntabilitas adalah kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan kinerja seseorang yang bekerja dalam
suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban” (baca Prianto, 2006:123).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada dasarnya pemerintahan desa merupakan pemerintahan terkecil
padatatanan kenegaraan Republik Indonesia. Karena suksesnya pembangunan
desaakan berpengaruh pada pembangunan Negara Indonesia keseluruhan.
Dibutuhkan aspirasi dan pasrtisipasi masyarakat dalam menyusun perencanaan
danimplementasi pembangunan, diharapkan masyarakat sebagai objek
pembangunan mampu ikut berpartispasi. Disisi lain pemerintah harus dapat
menjalankankebijakan pembangunan desa yang secara langsung berpengaruh
terhadapaktivitas ekonomi pedesaan disertai kenaikan produktivitas dan
pendapatan. demikian harus mencakup empat hal, Pertama, Akses terhadap
sumber daya, Kedua, Akses terhadap teknologi, Ketiga, Akses terhadap pasar,
Keempat, Akses terhadap sumber-sumber pembiayaan.Sementara itu kerangka
mikro yang menjadi pilihan daerah berhubungan dengan potensi masing-
masing yang dimiliki. Namun demikian berdasarkan potensi dan permasalahan
dominan yang telah di identifikasi sebelumnya, kebijakan langsung secara
nasional bagi peningkatan perekonomian pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.qureta.com/post/membangun-desa-di-era-reformasi
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/9280/ZAYANTI%20MAN
DASARI%20-
%20Program%20Pascasarjana%20Fakultas%20Hukum%20FIX.compressed.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
https://www.researchgate.net/publication/336639401_PENGATURAN_DESA_
DI_MASA_ORDE_BARU_Disusun_oleh#read
http://zriefmaronie.blogspot.com/2011/12/politik-hukum-masa-
reformasi.html

Anda mungkin juga menyukai