Anda di halaman 1dari 133

SKRIPSI

Industri Pop Culture Korea Selatan di Jepang Sebagai Instrumen Diplomasi


Publik Korea Selatan Tahun 2012-2019

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar sarjana Ilmu Hubungan Internasional (S.Sos)

Disusun oleh : Nur Aisah Solehah

11161130000076

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

Industri Pop culture Korea Selatan di Jepang sebagai


Instrumen Diplomasi Publik Korea Selatan Tahun
2012-2019

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelas Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Agustus 2020

Nur Aisah Solehah

I
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Nur Aisah Solehah


NIM : 11161130000076
Program Studi : Hubungan Internasional

Telah menyelsaikan penulisan skripsi dengan judul

Industri Pop Culture Korea Selatan di Jepang Sebagai Instrumen


Diplomasi Publik Korea Selatan Tahun 2012-2019
Telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 27 Januari 2021

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Muhammad Adian Firnas, S.IP, M.Si Agus Nilmada Azmi, M.Si.

NIP.197102111999031002 NIP.197808042009121002

II
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI

SKRIPSI
Analisis Industri Pop culture Korea Selatan di Jepang sebagai Instrumen
Diplomasi Publik Korea Selatan Tahun 2012-2019
Oleh
Nur Aisah Solehah
11161130000076
Telah dipertahankan dalam siding ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8
Februari 2021. Skripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua, Sekretaris

Muhammad Adian Firnas, S.IP, M.Si Irfan Hutagalung. LLM


NIP.197102111999031002 NIP.

Penguji 1, Penguji II,

Khoirun Nisa, MA.Pol Riana Mardila, S.Sos., MIR


NIP 198503112018012001 NIP

III
ABSTRAK

Skripsi ini membahas peran industri pop culture Korea Selatan dalam diplomasi
publik Korea Selatan di Jepang pada pada periode tahun 2012-2019. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana peran pop culture Korea selain
untuk mengenalkan atau mempromosikan budaya Korea sebagai tujuan diplomasi
publik Korea di Jepang.
Fenomena pop culture Korea di kawasan Asia pada awal 2000 membuat Korea
dikenali oleh banyak negara di Asia termasuk Jepang. Setelah drama ‘Winter Sonata’
mendapat kepopuleran di jepang, masyarakat Jepang mulai tidak asing lagi terhadap
budaya Korea dan membuat arus pertukaran individu antar dua negara meningkat
hingga kedua negara sepakat untuk menyelenggarakan festival peringatan normalisasi
hubungan Korea-Jepang pertama kalinya di tahun 2005. Hal ini menunjukan pertanda
baik dalam hubungan keduanya dan juga potensi pop culture dalam kegiatan
diplomasi publik. Memasuki tahun 2012 hubungan negara Korea dan Jepang mulai
memanas yang dipicu oleh isu wilayah dan sejarah. Oleh karena itu dalam penelitian
ini akan berusaha menganalisis dan mencari celah peran pop culture Korea dalam
diplomasi publik Korea di Jepang di tengah hubungan Korea Jepang yang cenderung
kurang stabil karena isu politik dan sejarah yang masih sering muncul ke permukaan.
Penelitian ini menggunakan kerangka konsep soft power, diplomasi publik dan
diplomasi budaya untuk menganalisis peran industri pop culture Korea Selatan di
Jepang dalam diplomasi publik Korea. Berdasarkan Konsep tersebut, penulis
menemukan dua kontribusi spesifik dari budaya populer Korea di Jepang sebagai
instrumen kegiatan diplomasi publik Korea Selatan 2012-2019. Pertama adalah
sebagai soft power yang mempertahankan kecenderungna masyarakat Jepang terhadap
Korea. Kedua adalah sebagai strategi alternatif komunikasi Korea dengan Jepang
antara publik dan sektor privat.

Kata kunci: Pop Culture Korea Selatan, Diplomasi Publik, Soft Power.

IV
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah menciptakan semua yang ada dibumi ini untuk tempat
kemaslahatan umat manusia, Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada
Khalifah umat manusia Rasulullah SAW. Yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang. Penulis menyadari bahwa
dalam proses penyelesaian skripsi ini terdapat pihakpihak yang telah membantu
penulis karena telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, yang telah memberikan keajaiban dalam proses skripsi ini. Maha
benar Allah dengan Segala FirmanNya

2. Nabi Muhammad SAW, Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad Wa


ala ali Sayyidina Muhammad

3. Keluarga penulis, Bapak Ngadino, Ibu Ekowinarsi, Mba Syinta, Firman, Fadil
serta sanak saudara lainnya yang selalu memberi dukungan dan motivasi

4. Dosen pembimbing penulis, Bapak Agus Nilmada yang telah meluangkan


waktu dan membimbing penulis dengan sabar beserta memberikan saran-saran
dalam proses penyelesaian skripsi.

5. Sahabat-sahabat penulis yang telah banyak menemani suka duka peulis selama
masa perkuliahan yaitu Dewi Oktaviani, Ronaldi Billy, Annisa Zakaria, Farhatun
Fitria, Evi Faridah, Nur Fadhilah, Pevy Wijayanti, Mauby Ariefsa, Nukhbatun
Nisa dan yang lain yang luput disebutkan namun tidak mengurangi rasa
terimakasih saya.

6. Teman-teman dari paguyuban “Bukan Bela Biasa” yaitu, Zulfa, Hamemayu,


Bela, Audrey, Ferina, dan Netty yang selama ini juga banyak menghibur penulis
walaupun bukan dari bagian BBB

V
7. Keluarga HI B 2016 yang tidak dapat saya sebutkan satu-satu. Terimakasih
telah menghadirkan suasana belajar yang mengesankan selama proses
perkuliahan saya

8. Teman magang saya yang ternyata menjadi support system terbesar saya
hingga saat ini Raffa Syawalia Rimawan dan Latifatul Khasanah

9. Keluarga besar Prestigious UIN Jakarta yang sudah seperti keluarga bagi saya

10. Keluarga besar KKN Activity yang turut mewarnai masa perkuliahan saya

11. Keluarga besar fandom “Myday 97 harudeul” terutama Ainun yang banyak
memberi dorongan, semangat dan kehangatan seperti keluarga walaupun hanya
bertemu virtual.

12. Motivasi, penyemangat, dan panutan penulis yaitu super band Day6 yang
dengan lagunya selalu memberi motivasi dan menenangkan masa-masa sulit
penulis. Terima kasih telah menjadi “little escape” ternyaman untuk penulis dari
hiruk pikuk dunia nyata di tiga tahun terakhir.

Penulis berharap segala dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis
diberikan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran akan sangat
membantu penulis untuk menjadi bahan perbaikan penulisan skripsi ini.

VI
DAFTAR ISI

Contents
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................... I
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................................ II
ABSTRAK ................................................................................................................... III
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI .......................................................................... III
KATA PENGANTAR .................................................................................................. V
DAFTAR ISI.............................................................................................................. VII
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................IX
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... X
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................................XI
BAB I: Pendahuluan ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7
E. Kerangka Konseptual ..................................................................................... 11
1. Soft Power ..................................................................................................... 11
2. Diplomasi Publik ........................................................................................... 14
3. Diplomasi Budaya ......................................................................................... 17
F. Metode Peneletian ............................................................................................. 19
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 19
BAB II: Industri Pop Culture Korea Selatan ............................................................... 22
A. Industri Pop Culture Korea Selatan .................................................................. 22
1. Drama Korea Selatan .................................................................................... 28
2. Musik Pop Korea Selatan .............................................................................. 33
BAB III: Industri Pop Culture Korea Selatan sebagai Diplomasi Publik Korea
Selatan .................................................................................................................. 42
A. Diplomasi Publik Korea Selatan .......................................................................... 42
1. Kebijakan Pemerintah Korea Selatan Terhadap Industri Pop Culture .............. 47
2. Kolaborasi Pemerintah dengan Aktor Non-Pemerintah .................................... 53
B. Budaya Populer Korea Sebagai Instrumen Soft Power........................................ 56

VII
C. Hallyu Sebagai Diplomasi Publik Korea Selatan ................................................ 60
BAB IV: Analisa Industri Pop Culture Korea Selatan sebagai Diplomasi Publik Korea
Selatan di Jepang tahun 2012-2019 ............................................................................. 68
A. Dinamika Industri Budaya Populer Korea Selatan di Jepang .............................. 68
B. Kontribusi Peran Industri Pop Culture Korea Selatan dalam Diplomasi Publik
Korea di Jepang 2012-2019 ...................................................................................... 73
1. Soft Power untuk Mempertahankan Daya Tarik Masyarakat Jepang Terhadap
Korea. .................................................................................................................... 77
2. Sebagai Strategi Alternatif Komunikasi dan Kerjasama antara Publik dengan
Sektor Privat .......................................................................................................... 89
BAB V Penutupan...................................................................................................... 103
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 104

VIII
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Pesebaran Negara yang Memutar Drama Korea DaeJanggeum………31

Gambar II.2. Status pasar acara broadcasting Korea Selatan di negara-negara besar di
seluruh dunia……...………………………………………………………………….32

Gambar II.3.Top 10 Music Global Market 2014……………………………………..39

Gambar III.4 Ilustrasi Visi Misi Diplomasi Publik Korea Selatan……………….….45

Gambar III.5. Presiden Park Geun-hye mendengarkan Ketua CJ Sohn Kyung-shik


menjelaskan proyek K-Culture Valley pada upacara peletakan batu pertama di
Goyang, utara Seoul pada hari Jumat 20 Mei 2016………………………………….52

Gambar III.6. Presentasi faktor popularitas berdasarkan survey KOFICE 2018…..58

Gambar III.7. nilai ekspor konten budaya Korea dan ekspor produk konsumsi karena
Hallyu………………………………………………………………………………...62

Gambar IV.8. Hyung-gwan Shin, CJ E&M Music Contents Director, dan Yong-rak
Kim, President of KOFICE…………………………………………………………..97

Gambar IV.9. penampilan AKB48 dan mantan anggota IOI di MAMA


2017 ………………………………………………………………………………...100

IX
DAFTAR TABEL

Tabel II. A.1.1 Jumlah Ekspor program televisi Korea di beberapa negara
2001-2011……………………………………………………………………………29

Tabel II.B.1.2 Jumlah penjualan keseluruhan penjualan music……………………..37

X
DAFTAR SINGKATAN

KOCCA Korea Creative Content Agency

KOFICE Korea Foundatio for International Culture Exchange

KOCIS Korean Culture and Information Service

KTO Korea Tourism Organization

KCC Korean Culture Center

MCST Ministry of Culture , Sport and Tourism

MOFA Ministry of Foreign Affairs

IFPI International of the Phonograpic Industry

ASF Asia Song Festival

MAMA Mnet Asian Music Award

KCON Korea Convention Concert and Content

KOTRA Korea Trade-Investment Promotion Agency

CCI Cultural Contents Industry

KPOP Korean Pop Music

WTO World Trade Organization

OECD Organisation for Economic Co-operation and Development

SBS Seoul Broadcasting System

MBC Munhwa Broadcasting System

KBS Korean Broadcasting System

NHK Nippon Hoso Kyokai

JTBC Joongang Tongyang Broadcasting System

TVN Total Variety Netwo

XI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tiga dekade terakhir diplomasi publik di negara Asia Timur menjadi

sangat penting untuk menghasilkan soft power bagi negara mereka. Mereka percaya

representasi negara di internasional untuk menarik khalayak asing akan membangun

kekuatan soft power berupa nation branding untuk mendukung kebijakan luar negeri

mereka.1 Salah satu upaya untuk meningkatkan diplomasi publik oleh negara Asia

Timur adalah dengan mempromosikan industri budaya populer. Menggunakan budaya

populer sebagai salah satu cara menjalankan diplomasi publik telah banyak dilakukan

oleh negara lain sebelum Asia (seperti Perancis dan Amerika Serikat) dan dianggap

sebagai “new diplomacy public”. Jepang lebih dahulu mempraktikan diplomasi publik

ini untuk mengubah pandangan internasional dari ingatan sejarah sebelum Perang

Dunia 2 dengan budaya populer anime dan Jpop yang berhasil mendapat popularitas

pada tahun 1980an. sedangkan China dengan sejarah kunonya berhasil menarik publik

melalui film-film action yang berlatar belakang sejarah kuno China.2

Korea merupakan negara pendatang baru dalam industri budaya dengan

kepopuleran drama Korea yang pertama kali terkenal di Asia Timur. Pada awal

ekspansi industri ini, pemerintah Korea tidak langsung bertujuan untuk menjadikan

industri budaya populer Korea sebagai alat diplomasi publik Korea Selatan. Selama

periode Presiden Kim, ia memfokuskan kebijakannya untuk meningkatkan produk


1
Ian Hall & Frank Smith, “The Struggle for Soft Power in Asia:Public Diplomacy and Regional
Competition”, Asian Security, vol. 9, no. 1, pp. 1–18, 2013 hal 5
2
Joseph R. Johnson, Tesis: “The Effects of Cultural Diplomacy on Public Perception in Asia”,,
Utah State University, 2018, hal 13

1
2

budaya dan teknologi sebagai kunci utama industri Korea Selatan untuk mendorong

ekonomi Korea Selatan seperti yang disampaikan dalam pidatonya saat merayakan

Hari Kemerdekaan Nasional. Presiden Kim Dae-jung mengeluarkan Proklamasi

Presiden tentang kebijakan industri budaya salah satunya adalah dengan mendirikan

lembaga di bawah Kementerian Kebudayaan yang disebut juga KOCCA Korea

Creative Content Agency dan juga memberikan prioritas untuk industri budaya dalam

anggaran pemerintah.3

Setelah drama Korea dikenal di Asia Timur, industri budaya lokal lainnya juga

turut mengembangkan beberapa bentuk budaya populer lainnya, termasuk musik

populer (K-pop), animasi, dan games yang secara bertahap produk-produk ini telah

menembus pasar global. Produk budaya populer Korea ini disebut Hallyu berdasarkan

salah satu media China pada pertengahan 1999 yang menjuluki fenomena pesatnya

penyebaran drama Korea di kawasan Asia Timur dengan kata Hallyu, yang berarti

gelombang Korea atau Korean Wave dalam bahasa inggris.4 Minat terhadap budaya

populer Korea dan media digital telah memicu tumbuhnya beberapa bidang terkait,

seperti pariwisata, kuliner Korea, dan Bahasa Korea. Karena meningkatnya peran

Hallyu bagi ekonomi dan budaya nasional, pemerintah Korea mempertimbangkan

kembali kebijakan mereka untuk mengubah industri budaya populer tidak hanya

untuk kepentingan ekonomi tapi juga sarana soft power untuk meningkatkan citra

nasional.5

3
Yasue Kuwahara, “Hanryu: Korean Popular Culture in Japan”, 2014, hal 216
4
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan : K-Pop Avid
Fandom in Tokyo” Lund University ,hal 7
5
Dal Yong Jin, “The Korean Wave: Retrospect and Prospect”, International Journal of
Communication 11, 2241–2249, Yonsei University, 2017, hal 3
3

Korea juga berupaya menggunakan soft power dari Hallyu untuk menjalankan

praktik diplomasi publiknya terhadap negara asing guna menciptakan hubungan yang

lebih baik dengan jangka panjang. Jepang sebagai negara tetangga pastinya tidak

lepas dari negara tujuan Korea untuk melaksanakan diplomasi publik dalam

mempertahankan dan meningkatkan hubungannya dengan Jepang yang telah

dibangun sejak normalisasi keduanya pada tahun 1965.

Popularitas Hallyu di Jepang pada awal 2000an membuka kesempatan Korea

untuk meningkatkan hubungan bilateral Korea-Jepang melalui pertukaran budaya.

Pertukaran budaya antara kedua negara sebenarnya telah dilakukan sejak perjanjian

Join Declaration namun arus kontak publik dan pertukaran budaya keduanya baru

mulai intens sejak masuknya drama winter Sonata di media Jepang. Fenomena Hallyu

juga menjadi kesempatan kedua pemerintah untuk merencanakan kampanye di tahun

2005 dalam memperingati 40 tahun normalisasi hubungan diplomatik. Rencana ini

melibatkan serangkaian acara selama setahun, untuk mempromosikan tahun

persahabatan Korea-Jepang. Banyak acara untuk acara ini di Jepang mengacu pada

"Boom Korea" dan khususnya Winter Sonata. Salah satu awal acara Tahun

Persahabatan ini adalah kompetisi bahasa Korea untuk masyarakat Jepang, yang

diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Korea di Tokyo, di mana kontestan harus

menghafal dan menampilkan naskah dari Winter Sonata dalam bahasa Korea asli.6

Popularitas Hallyu di Jepang juga berdampak pada persepsi publik Jepang

terhadap Korea. Menurut survey yang dilakukan oleh Mori di tahun 2008 menyatakan

bahwa dari 2.200 warga Jepang yang disurvei, 26 persen dari mereka mengakui

bahwa citra mereka tentang Korea telah berubah karena konsumsi drama Korea.

6
Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass…”, hal 4
4

Persepsi umum terkait dengan Korea Selatan di seluruh wilayah yang sebelumnya

kurang baik seperti "feodal,"”kekerasan,""miskin," dan "tidak stabil secara politis,"

yang sebagian besar disebabkan oleh peristiwa bersejarah seperti perang Korea,

kemiskinan sebelum pembangunan, dan protes mahasiswa pada 1980 menjadi

berkurang karena konten Hallyu.7

Melihat potensi Hallyu sebagai soft power semakin kuat, upaya Korea untuk

menjadikan Hallyu sebagai salah satu alat diplomasi budaya dan diplomasi publik

Koreapun berangsur meningkat. Peningkatan diplomasi publik melalui Hallyu ini

terwujud Pada tahun 2010 saat pemerintah Korea mulai merombak struktur pada

kementerian luar negeri dengan menciptakan departemen khusus diplomasi publik

dan diplomasi budaya di dalamnya, serta diangkatnya Ma Young Sam sebagai

ambassador pertama diplomasi publik Korea Selatan. Dalam artikel yang ia buat, Ma

Young Sam menyatakan bahwa selain sebagai diplomasi publik, Hallyu juga berperan

sebagai nation branding dan diplomasi budaya Korea Selatan.8 Dalam laporan EAI

National Security Panel juga menyebutkan 10 agenda utama kebijakan luar negeri

Korea Selatan juga menyebutkan bahwa salah satu prinsip utama yang ingin

dilakukan Korea Selatan ialah melatih diplomasi publik Korea dalam

mengembangkan komunikasi dua arah melalui beragam aktor dengan memanfaatkan

sumber soft power dari pengembangan ekonomi, gelombang korea (hallyu) dan

pengetahuan.9

7
Nick Desiden, “Bubble Pop: An Analysis of Asian Pop Culture and Soft Power Potential”,
Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 18 hal52
8
Kadir Jun Ayhar, “Korea’s Public Diplomacy: Introduction”, 2018 hal 14,
https://www.researchgate.net/publication/321996965
9
EAI National Security Panel (NSP) Report, Toward 2020: Ten Agendas for South Korea’s
Foreign Policy, 2012 , hal 2
5

Kementerian Luar Negeri Korea dalam website resminya menyatakan

pentingnya diplomasi publik sebagai 3 pilar praktik diplomatik Korea Selatan

mewujudkan kepentingan nasionalnya. Strategi diplomasi publik yang dijelaskan oleh

website resmi Kementerian Luar Negeri Korea Selatan yaitu: share Korean culture,

Deepen understanding on Korea, Gain global support for Korea’s policies,

Strengthen public diplomacy capacity dan promote public-private sector. Esensi dari

kelima strategi tersebut adalah promosi citra Korea dan komunikasi dengan publik

dan sektor privat. Daya tarik Hallyu membantu Korea dikenali oleh publik asing

sehingga memudahkan Korea untuk melaksanakan strategi diplomasi publik lainnya

seperti membentuk pandangan publik terhadap Korea (nation branding), menciptakan

komunikasi dengan penduduk asing, hingga menciptakan kerja sama dengan sektor

privat.

Setelah peningkatan kebijakan diplomasi budaya dan diplomasi publik melalui

Hallyu, kegiatan diplomasi publik dengan pertukaran budaya melalui Hallyu yang

diselenggarakan pemerintah maupun non-pemerintah di Jepang terus berlanjut bahkan

Hallyu di Jepang sempat mencapai puncak popularitas sejak Kpop juga mulai

berkembang di sana. Jepang menjadi negara pertama importir konten Hallyu terbesar

sejak 2003 dengan rata-rata 70 persen dari hasil ekspor konten Hallyu merupakan

hasil dari Jepang. 10 Namun pada 2012 diplomasi publik melalui hallyu harus

mengalami hambatan dikarenakan masalah sejarah keduanya yang kembali muncul.

Pada tahun 2012 saat Presiden Lee mengunjungi Pulau Dokdo, hubungan kedua

10
Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass : Gender,Consumerism,
Transnationalism, Tourism Reflecting JapanKorea Relations in Global East Asia”, The
Asia-Pacific Journal : Japan Focus, Volume 14, Issue 7, No 7, Apr 01, 2016, hal 3
6

negara mengalami fluktuasi cukup serius yang ikut memengaruhi aktivitas sentimen

anti Korea di Jepang. Hallyu pun sempat terkena dampak dari sengketa ini dengan

diberhentikannya penayangan konten hallyu di media Jepang sejak 2012 akhir hingga

awal 2015. Masalah sejarah lainnya muncul karena tuntutan kompensasi pekerja

paksa Korea saat kolonialisasi Jepang yang kini berlarut menjadi isu ekonomi dan

militer. Pada tahun 2019 Jepang mengeluarkan Korea dari daftar mitra dagang Jepang

dan Korea juga ikut membalas persis yang dilakukan Jepang terhadap Korea serta

mengancam pemberhentian sharing info terkait intelejen militer di Asia Timur11.

Fluktuasi hubungan kedua negara ini juga diikuti oleh peningkatan respon negatif

publik Jepang terhadap konten Hallyu yang menjadi tantangan sendiri bagi Korea

Masalah sejarah kedua negara ini memang belum terselesaikan walaupun

keduanya telah melakukan berbagai kerja sama ekonomi maupun politik sejak

normalisasi berlangsung. Begitu juga dengan pertukaran budaya dengan Hallyu yang

berhasil mengubah pandangan publik namun tidak terhadap hubungan kedua negara

ini12. Meskipun begitu popularitas Hallyu tetap terhitung sebagai pembuka diplomasi

publik kedua negara pada saat itu. Kini, dengan fluktuasi hubungan yang semakin

memanas selama satu dekade ini, penelitian Hallyu sebagai instrumen diplomasi

publik Korea terhadap Jepang selama fluktuasi hubungan kedua negara ini menjadi

menarik untuk diteliti. Skripsi ini berusaha melihat bagaimana peran Hallyu sebagai

diplomasi publik Korea dalam mempertahankan hubungan dan komunikasi antara

publik dan sektor privat Korea-Jepang 2012-2019.

11
Sakaki, Alexandra, “Japan-South Korea Relations –A Downward Spiral” Stiftung Wissenchaft
und Politik (SWP Comment), No 35 Agusutus, 2019, hal 2
12
Ida Ayu Pawitra Sari, “Peran Korean Wave dalam Perkembangan Kerjasama Kebudayaan
Jepang-Korea, Universitas Brawijaya, 2014, hal 13
7

B. Rumusan Masalah

Bagaimana peran Industri pop culture Korea Selatan di Jepang sebagai

instrumen diplomasi publik Korea Selatan tahun Tahun 2012-2019?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a) Mendeskripsikan bagaimana peran Hallyu sebagai instrumen diplomasi

publik Korea Selatan di Jepang dari 2012-2019

b) Menjelaskan dinamika Korean Wave di Jepang dari 2012-2019

Sedangkan Manfaat Penelitian ini adalah:

a) Secara akademis tulisan ini diharapkan dapat menambah kontribusi

kajian pengetahuan konsep soft power tentang diplomasi publik

khususnya dalam kasus Korea Selatan di Jepang.

b) Dan secara praktis diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengambil

keputusan negara untuk strategi melakukan diplomasi publik khususnya

dengan instrumen pop culture

D. Tinjauan Pustaka

Semenjak meledaknya istilah Hallyu semakin banyak ilmuwan yang

melakukan peneletian mengenai fenomena Hallyu. Berikut ini adalah studi

yang akan menjadi referensi utama sebagai acuan dan wawasan tambahan

mengenai kasus yang akan diteliti dalam pembahasan nantinya.

Penelitian pertama adalah skripsi yang ditulis Pawitra Sari yang

berjudul “Peran Korean Wave dalam Perkembangan Kerjasama Kebudayaan


8

Jepang-Korea”. Hasil skripsi ini menunjukkan bagaimana Korea melakukan

diplomasi publik dengan menarik perhatian masyarakatnya atau dengan cara

people to people melalui kegiatan hallyu seperti penayangan drama korea dan

pertukaran budaya lainnya. Namun dalam tahap selanjutnya, dimana semestiya

masyarakat Jepang dapat memengaruhi pemerintahan Jepang hal tersebut

belum dapat terlihat13. Literatur ini memiliki kesamaan dalam menjelaskan

peran hallyu dalam diplomasi Jepang, namun memiliki perbedaan pada tujuan

yang diteliti di mana Pawitra Sari meneliti peran Hallyu dalam perkembangan

hubungan kerja sama kedua negara sedangkan penelitian ini akan menyoroti

pada peran Hallyu dalam mempertahankan komunikasi publik dan sektor

privat kedua negara melalui diplomasi publik. Perbedaan lainnya juga terdapat

pada rentang waktu penelitian di mana saat itu sengketa sejarah lainnya belum

memanas.

Literatur selanjutnya adalah skripsi yang ditulis Rahmani Luthfiyah

yang berjudul “Upaya Diplomasi Budaya Korea Selatan terhadap Jepang

melalui Hallyu untuk mengubah Citra Negara Korea Selatan”. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya mengubah citra negatif

Korea di mata Jepang Korea melakukan diplomasi budaya dengan

menggunakan Hallyu yang diupayakan oleh pihak pemerintah yang berperan

sebagai insiator dan fasilitator dan aktor non-pemerintah sebagai

penyelenggara strategi promosi Hallyu melalui kegiatan seperti penayangan

drama Korea, membuka toko, merilis kosmetik, menyelenggarakan konser

grup dan lain lain. Hasil dari upaya tersebut adalah peningkatan pengunjung,

penggemar, dan penjualan dari tahun ke tahun, serta penurunan drastis


13
Ida Ayu Pawitra Sari, “Peran Korean Wave…”, hal 12
9

aktivitas anti-Korea Zaitoku-kai pada tahun 2015 yanng dapat menjadi

indikator penurunan citra negatif Jepang terhadap Korea.14

Literatur tersebut memiliki kesamaan dalam meneliti hallyu di jepang

namun berbeda pada penempatan dalam menjadikan Hallyu sebagai subjek.

Rahmani lebih fokus pada upaya pemerintah menggunakan Hallyu sebagai

alat diplomasi budaya untuk menghilangkan citra negatif Korea di masyarakat

Jepang, sedangkan dalam penelitian ini membahas bagaimana peran kontribusi

Hallyu dalam melaksanakan diplomasi publik Korea di Jepang untuk

mempertahankan hubungan dua arah publik dan sektor privat kedua negara.

Selain itu periode yang digunakan dalam penelitian ini lebih panjang hingga

2019.

Selanjutnya adalah artikel dari Gunjoo Jang dalam Jurnal Scientific

Research. Jang mencari pengaruh Hallyu terhadap posisi Korea di ranah

internasional dan serta penopang praktik diplomasinya dengan negara lain di

internasional. Hasil penelitiannya menemukan bahwa Hallyu dapat mengubah

pandangan masyarakat asing di berbagai negara untuk menyukai produk

Korea sehingga menjadi kesempatan bagi pemerintah Korea untuk

melaksanakan diplomasi publik dan menjalin hubungan kerja sama dengan

negara lain. Literatur ini menjadi acuan bagaimana peran soft power hallyu

memberi kesempatan bagi pemerintah Korea untuk melaksanakan diplomasi

publik di Jepang. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian yang lebih

umum pada artikel Jang, sedangkan dalam penelitian ini akan fokus pada

peran Hallyu sebagai alat diplomasi publik Korea di Jepang.

14
Rahmani Luthfiyah, “Upaya Diplomasi Budaya Korea Selatan terhadap Jepang melalui Hallyu
untuk mengubah Citra Negara Korea Selatan”, Universitas Parahyangan, 2019 hal 91
10

Terakhir adalah artikel Jurnal Millie Creighton, ia memaparkan

dampak dari hallyu di Jepang dari banyak sisi selain dari sisi ekonomi,

pariwisata, dan hubungan kedua negara. Millie juga mengangkat dampak yang

jarang dibahas oleh studi lain dari sisi antropolgi dan kultur sosial seperti isu

stereotype hubungan gender, dan isu minoritas di Jepang. Ketertarikan warga

negara Jepang terhadap produk budaya korea mendorong terbukanya

hubungan tidak langsung antara dua negara yang berasal dari arus pertukaran

manusia melalui hubungan kerja sama ekonomi maupun pariwisata. Hal ini

berpengaruh positif kepada hubungan kedua negara karena hubungan ini

mengubah pandangan banyak orang Jepang tentang Korea dan warga Korea

Selatan di Jepang 15. Selain itu dalam artikel ini juga menjelaskan bahwa

adanya Hallyu membuat kultur-sosial masyarakat di Jepang ini berubah.

Seperti stigma hirarki pria diatas wanita dan pria yang lebih tua diatas pria

yang muda. isu minoritas di Jepang juga menjadi terangkat khususnya

keturunan Korea yang ada di Jepang16. Literatur ini dapat memberi kontribusi

wawasan yang lebih variatif lagi akan efek Hallyu terhadap publik Jepang.

Perbedaan dengan penelitian ini, skripsi ini tidak hanya berhenti pada efek

Hallyu terhadap publik Jepang namun juga akan membahas perannya dari sisi

diplomasi publik.

Dari literatur yang telah disebutkan, semuanya memiliki relevansi pada

pengaruh Hallyu terhadap publik di Jepang, dan beberaapa diantaranya

menjelaskan bagaimana upaya pemerintah Korea menggunakan hallyu untuk

menjalankan praktik diplomatik Korea ke Jepang. Namun belum ada yang

15
Mille Creighton, “Through the Korean Wave Looking Glass:,,” Hal 2
16
Ibid, hal 7
11

membahas fokus bagaimana peran kontribusi Hallyu dalam pelaksanaan

diplomasi publik Korea di Jepang dengan periode 2012-2019.

E. Kerangka Konseptual

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini menggunakan

konsep diplomasi publik dan diplomasi budaya.

1. Soft Power

Soft power pertama kali diusulkan oleh Nye pada tahun 1980 dalam

artikelnya yang berjudul Bound to Lead: The Changing Nature of American

Power. Kekuatan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dan

mengendalikan orang lain, agar orang lain melakukan apa yang seharusnya

tidak mereka lakukan. Sebelum perang dingin berakhir kekuatan sering

dikaitkan dengan kepemilikan populasi, wilayah, sumber daya alam, ukuran

ekonomi, kekuatan militer, dan stabilitas politik.17 Setelah melihat kebijakan

luar negeri counter terorisme yang dilakukan Amerika, Nye melihat bahwa

kekuatan tidak hanya dilihat dari kemampuan menguasai ekonomi, politik dan

militer saja, namun juga kemampuan untuk menarik dan membujuk orang lain

tanpa paksaan atau pembayaran18.

Nye menyebutkan 3 sumber soft power yang berpotensi untuk menarik

negara lain kebudayaan (culture) yang membuat negara tersebut menarik

bagi pihak lain, nilai politik (political values) yang dianut negara tersebut,

dan kebijakan luar negeri (foreign policies) yang membuat negara tersebut

17
Joseph. Nye,” Soft power” Foreign Policy, No. 80, Twentieth Anniversary (Autumn, 1990), pp.
153-171, hal 154
18
Joseph S. Nye, Bound to Lead: The Changing Nature of American Power (New York: Basic
Books, 1990), hal 33.
12

memiliki legitimasi dan otoritas moral.19 Namun tidak semua sumber soft

power dapat dikatakan menjadi kekuatan soft power untuk negaranya. Hal

tersebut karena sumber soft power yang menarik saja tidak cukup untuk

menjadi soft power, negara perlu struktur dan strategi lebih untuk

menghasilkan dan menggunakan sumber soft power ini menjadi kekuatan

bagi negara tersebut melalui kebijakan dari pemerintah.

Lee Geun mengembangkan konsep soft power milik Nye dengan sedikit

berbeda. Ia mendefinisikan ulang sumber soft power dan sumber hard power

berdasarkan proses penggunaan sumber tersebut. Hard source dapat

dikatakan soft source jika dalam proses penggunaannya untuk menghasilkan

daya tarik, begitu juga sebaliknya soft source dapat dikatakan hard source

jika dalam penggunaannya menghasilkan paksaan20. Dari definisi tersebut ia

berhasil membuat pendekatan proses penggunaan soft source menjadi soft

power lebih sistematis.

Menurut Lee pengalihan dari soft resource ke soft power melibatkan tiga

tahap: (1) penerapan soft resource; (2) proses kognitif penerima; (3) hasil

dari soft power. Soft source harus diimplementasikan dengan cara yang tanpa

mengandung unsur paksaan melainkan melalui sosialisasi dan membaur

dengan negara penerima, sehingga negara penerima merasa satu “rasa”

“pemikiran”, dan “pola” yang sama dengan negara tersebut, dan dikatakan

menjadi produk soft power yang memberi efek jangka panjang ketika negara

19
Joseph S. Nye, Jr. “Publik Diplomacy and Soft Power”. The ANNALS of the American
Academy of Political and Social Science, 2008, hal 95
20
Lee Geun, A Theory of Soft Power and Korea Soft Power Strategy”, Korean Journal of
Defense Analysis 21 (2), 2009. hal 210
13

penerima secara sukarela menerima soft source sehingga negara penerima

juga dengan sukarela mengembangkan kebijakan mereka dalam mengimpor

atau meniru kepentingan negara di mana soft power dipraktikan.21

Soft power tidak seperti hard power yang memiliki pengaruh langsung

terhadap hasil dari kebijakannya seperti kepemilikan atas suatu wilayah atau

materi, pengaruhnya tidak fokus terhadap satu tujuan namun menyasar

kerangka pendekatan dari tujuan luar negeri negara tersebut. Lee Geun Hye

mengkategorikan secara kasar tujuan yang ingin dicapai dari soft power 22:(1)

untuk meningkatkan keamanan lingkungan eksternal dengan memproyeksikan

citra damai dan menarik suatu negara; (2) untuk memobilisasi dukungan

negara lain terhadap kebijakan luar negeri suatu negara (3) untuk

mengkonstruksi cara berpikir dan preferensi negara lain (4) untuk menjaga

persatuan komunitas negara (5) untuk meningkatkan peringkat persetujuan

dari seorang pemimpin atau dukungan domestik dari suatu pemerintah. Lima

hal di atas merupakan sesuatu yang bukan berbentuk material namun dapat

memengaruhi tujuan yang ingin dicapai negara tersebut.

Lee Shin wa memaparkan 3 dimensi yang dapat dilihat untuk

mengevaluasi implementasi dari soft power ini, yaitu23: Cognitive, affective

dan normative. Cognitive merujuk pada bagaimana negara lain menilai suatu

negara melalui tingkat pendidikan, teknologi, kekayaan budaya dan sejarah,

kestabilitasan politiknya, multikultural dan keseimbangan sosialnya dan lain

21
Lee Geun, A Theory of Soft Power and Korea Soft Power Strategy”…, hal 212
22
Lee Geun, A Theory of Soft Power and Korea Soft Power Strategy”…, hal 208
23
Shin wa Lee, “ Soft Power and Korean Diplomacy: Theory and Reality”, Wisemen Roundtable
Soft Power in Northeast Asia, 2008 hal 8
14

sebagainya. Dimensi Affective terkait dengan kesukaan negara lain terhadap

suatu negara bagaimanapun ekonomi, militer maupun politik negara tersebut

lemah atau kuat. Sedangkan dimensi Normative melihat dari seberapa negara

lain membenarkan kebijakan negara tersebut dan perannya dalam internasional.

Konsep ini dapat membantu menjelaskan sejauh mana Hallyu ini berfungsi

sebagai soft power bagi Korea Selatan.

2. Diplomasi Publik

Diplomasi publik merupakan salah satu instrumen soft power atau

kekuatan lunak. Hal tersebut karena diplomasi publik merupakan upaya

diplomasi sebuah negara untuk memengaruhi negara lain dalam mencapai

tujuannya menggunakan daya tarik, dalam praktiknya diplomasi publik

biasanya menggunakan budaya, nilai dan paham melalui media, pertukaran

maupun ekspor produk untuk memengaruhi negara lain.24

Diplomasi publik banyak dipraktikan saat perang dingin melalui

propaganda oleh negara super power yang saat itu terbagi menjadi dua kubu.

Namun setelah perang dingin diplomasi publik memasuki tahap baru dan

mengalami beberapa pergeseran. Hal ini karena yang awalnya diplomasi publik

hanya dilakukan oleh negara, kini aktor internasional lain pun juga dapat

melakukan diplomasi publik, target dari diplomasi ini juga meluas tidak hanya

untuk tujuan kebijakan luar negeri dalam bidang kepemerintahan saja. Dan

terakhir adalah instrumen dalam diplomasi ini bergeser menjadi konten positif

menarik dari negara tersebut.25 Konsep diplomasi publik yang dijelaskan di

24
Joseph S. Nye, Jr. “Publik Diplomacy and Soft Power”…, hal.94
25
Felicia Istad, “ A Strategic Approach to Public Diplomacy in South Korea”. In Kadir Ayhan
(Ed.), Korea's Public Diplomacy (pp. 49-80). Seoul, Korea: Hangang Network, 2016, hal 52
15

atas disebut dengan istilah New Public Diplomacy (NPD). Konsep ini

digunakan untuk melihat kasus pop culture di Korea sebagai instrument

diplomasi publik Korea Selatan melihat produk pop culture sebagai diplomasi

publik tidak hanya dilakukan oleh aktor negara saja dan tujuan target dari

diplomasi ini bukan hanya urusan politik antara kedua negara.

NPD berbeda dengan propaganda dan diplomasi publik tradisional,

Gilboa memaparkan perbedaan dengan diplomasi publik tradisional yang

terletak pada instrumen yang digunakan. Diplomasi publik tradisional saat itu

menggunakan informasi yang dikondisikan sesuai dengan tujuan negara

tersebut melalui media untuk memengaruhi publik luar negeri karena

informasi saat itu masih sulit didapatkan.26

Millisen juga menjelaskan perbedaan metode yang digunakan antara

NPD dengan diplomasi publik tradisional. NPD menggunakan metode dua

arah komunikasi dalam tujuannya memengaruhi publik seperti melalui

pertukaran budaya atau pelajar, festival ataupun aktivitas lainnya yang

melibatkan kedua negara.27 Selain itu yang membuat NPD berbeda dengan

diplomasi publik sebelumnya adalah Fungsi NPD yang saat ini juga harus

mampu sekaligus menjadi brand nation atau image negara tersebut. NPD dan

nation branding sama-sama berupaya menciptakan image negara tersebut

terhadap publik luar negeri, namun brand nation dan diplomasi publik

merupakan dua hal berbeda. Jika nation branding berfokus pada identitas dan

26
Eytan Gilboa, “Searching for a Theory of Public Diplomacy”, The ANNALS of the American
Academy of Political and Social Science, 2008, hal 60
27
Jan Mellisen, “The new public diplomacy: Soft Power in International Relation”, Palgrave,
Macmilan,2005, hal 18
16

marketing, diplomasi publik lebih jauh tujuannya yaitu sekaligus untuk

mencari legitimasi atas kebijakan luar negerinya di ranah global sekaligus

memudahkan hubungan internasional dengan negara lain maupun dengan

aktor non-state.28 Oleh karena itu konsep ini digunakan untuk menganalisis

upaya Korea Selatan dalam menjalin hubungan dengan negara lain

menggunakan Korean Wave.

Seperti yang dikutip dari Jurnal Hwajung Kim, menurut Gregory

diplomasi publik adalah diplomasi yang menggunakan aktivitas pemerintah

dengan publik luar negeri sebagai strategi untuk meningkatkan kesadaran dan

pemahaman publik luar negeri terhadap budaya dan kebijakan negara tersebut.

Serta sebagai fasilitas untuk menciptakan keterlibatan dialog antara individu,

institusi maupun aktor politisi sehingga dapat memengaruhi perilaku dan sikap

negara lain29

Nye memberi catatan agar suatu diplomasi publik dapat digunakan

sebagai soft power, maka instrumen yang digunakan harus dapat menarik

publik negara lain. 30 Frederick menambahkan penjelasan tentang spesifik

konten yang digunakan dalam diplomasi publik yaitu berupa: kegiatan di

bidang informasi, pendidikan, dan budaya yang tujuannya untuk memengaruhi

pemerintah asing dan warganya. 31 konten yang digunakan diplomasi publik

Korea Selatan dalam penelitian ini merupakan salah satu produk budaya. Oleh

28
Jan Mellisen, “The new public diplomacy:”…, hal 20
29
Hwajung Kim, Bridging the Theoretical Gap between Public Diplomacy and Cultural
Diplomacy, The Korean Journal of International Studies Vol.15, No.2, 293-326, 2017, hal 295
30
Joseph S. Nye, Jr. “Publik Diplomacy and Soft Power”,,,, hal 95
31
Eytan Gilboa, “Searching for a Theory of Public Diplomacy,,,”, hal 62
17

karena itu selain diplomasi publik, konsep diplomasi budaya juga akan

digunakan dalam penelitian ini

3. Diplomasi Budaya

Sebelum menjabarkan konsep dari diplomasi budaya, perlu dipahami

terlebih dahulu definisi dan konsep dari budaya itu sendiri. Kamus Bahasa

Inggris Oxford mendefinisikan budaya sebagai seni dan manifestasi lain dari

pencapaian intelektual manusia yang dianggap secara kolektif, gagasan, adat

istiadat, dan perilaku sosial orang atau masyarakat tertentu. mencakup semua

variasi seni, pendidikan, bahasa, ide, makanan, agama, olahraga, dan banyak

lagi.

Budaya disebut menjadi salah satu praktik detail dari diplomasi di

bawah diplomasi publik yang langsung dinikmati oleh individu. Ben

O’Loughlin menyatakan bahwa diplomasi budaya merupakan diplomasi yang

lebih spesifik dari diplomasi biasanya. Negara yang melakukan diplomasi ini

menjadi penghubung dengan masyarakat di negara lain melalui budaya.

Meskipun sasaran audiensi program diplomasi budaya mungkin warga negara

atau kelompok, program itu sendiri didanai, dirancang, dan disampaikan oleh

pemerintah.32

Menurut diplomat Frank Ninkov, diplomasi budaya sebagai

perpanjangan diplomasi publik mampu membedakan diplomasi publik dengan

propaganda seperti yang dilakukan negara-negara sebagai diplomasi publiknya

saat perang dingin. Hal ini karena sebagaimana diplomasi publik di design

untuk membangun hubungan berdasarkan kesamaan nilai, selain

32
Tim Rivera, “Cultural Relations From Cultural Diplomacy: The British Council’s
Relationship With Her Majesty’s Government”, USCCenter Public Diplomacy at The Annenberg
School, 2015 hal 11
18

mengupayakan untuk menceritakan tentang dirinya kepada negara lain,

diplomasi ini juga berfokus untuk mendapat informasi tentang budaya lain dari

dunia luar sehingga diplomasi budaya ini efektif dalam menciptakan

komunikasi secara dua arah dan dapat menciptakan hubungan yang lebih

sustainable.33

Dalam topik ini konsep diplomasi budaya dapat menyoroti bagaimana

Korea membangun hubungan dua arah dengan salah satunya mengadakan

pertukaran pelajar, festival, simposium mengenai budaya hingga exhibition art.

Industri pop culture sebagai aktor dalam diplomasi ini dalam upayanya

membangun hubungan dua arah antara people to people, industri ini juga

merekrut warga negara Jepang sebagai anggota group band di Korea hingga

mengadakan survival contest untuk warga negara Jepang yang ingin debut

sebagai penyanyi di sana.

Richard Ardnt mengukur suatu hubungan budaya antar negara disebut

diplomasi budaya dilihat dari peran sebuah negara dalam hubungan tersebut

untuk kepentingan nasionalnya. Jika hubungan budaya antara kedua negara

terjadi secara alami tanpa campur tangan pemerintah, maka hubungan tersebut

tidak termasuk diplomasi publik. Karena yang dimaksud diplomasi budaya

adalah hubungan budaya antara negara yang sengaja dibentuk oleh pemerintah

dalam rangka mewujudkan kepentingan nasionalnya 34 . Konsep ini sejalan

dengan praktik yang dijalankan kebijakan Korea terhadap Hallyu semenjak

kepemrintahan Kim Dae Jung yang mendukung produk Hallyu untuk di

ekspor di banyak negara.

33
Lucian Jora, “New Practices and Trends in Cultural Dilomacy”, Politic. Science and
International Relation. X, 1, p. 43–52, Bucharest, 2013. hal 45
34
Tim Rivera, “Cultural Relations From Cultural Diplomacy:…, Hal 10
19

F. Metode Peneletian

Metode yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode kualitatif`

karena akan mengamati fenomena atau perilaku objek yang kemudian

menganalisis data dari fenomena tersebut menggunakan teori dan hasilnya

disampaikan secara deskriptif.35 Hasil peneletian dengan metode ini lebih

berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang di temukan di lapangan

atau dari data dari sumber sekunder, serta dalam peneletiannya lebih

menekankan pada aspek pemahaman dan analisis secara mendalam terhadap

suatu masalah yang diperoleh.36

Sumber pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah data sekunder karena didapatkan dari laporan resmi institusi dari Korea

langsung yang bertanggung jawab untuk perkembangan Korean Wave, dan

kajian kepustakaan dengan bahan pustaka seperti buku, Jurnal, skripsi, Tesis,

website terakreditas, berita online dan penerbitan-penerbitan lain. Informasi

yang diperoleh akan diurai dan diklasifikasikan untuk dipilih yang paling

relevan dengan pertanyaan pembahasan. Data yang diperoleh kemudian akan

dianalisis dan diinterpretasikan dalam narasi kemudian dari informasi dan data

tersebut dapat ditarik pola-pola umum yang menghasilkan kesimpulan.37

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

35
Taylor dan Bogan dalam Buku Suyanto Bagong dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial:
Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta, Prenandan Media Group, 2004, hal 166
36
Dr. Sandu Siyoto, SKM., M.Kes & M. Ali Sodik, M.A, “Dasar Metodologi Penelitian”,
Literasi MediaPublishing, 2015, Hal 27
37
John W. Creswell, “ Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methodes
approaches”, 4th Edition, Sage Publication, United Statet 2014, hal 46
20

Bab ini berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan

manfaat penelitian, kerangka teori, Tinjauan Pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : Industri Pop Culture Korea Selatan

Pada bab ini akan menjelaskan perkembangan industri pop culture

Korea Selatan secara umum sejak awal populer di Asia Timur hingga

mendapat banyak perhatian media di mancanegara.

BAB III : Industri Pop Culture Korea Selatan sebagai Diplomasi Publik

Korea Selatan

Bab ini akan menjelaskan bagaimana produk pop culture Korea

menjadi instrumen diplomasi budaya untuk menyebarkan national branding,

penunjang ekonomi sekaligus sebagai alternatif diplomasi lain demi

menciptakan hubungan yang lebih sustainable. .

BAB IV : Analisa Industri Pop Culture Korea Selatan sebagai Diplomasi

Publik Korea Selatan di Jepang tahun 2012-2019

Bab ini akan mendeskripsikan hasil analisis Pop Culture Korea Selatan

di Jepang sebagai Diplomasi Publik dengan memaparkan dinamika budaya

populer Korea Selatan di Jepang, dan peran Hallyu dalam mendukung

diplomasi publik Korea Selatan di tengah isu hubungan politik antara dua

negara periode 2012-2019.

BAB V : Penutup
21

Bab terakhir ini akan berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab

sebelumnya serta menyampaikan pendapat penulis secara keseluruhan

mengenai kaitan Hallyu dan diplomasi publik Korea Selatan di Jepang

2012-2019.
BAB II:

INDUSTRI POP CULTURE KOREA SELATAN

A. Industri Pop Culture Korea Selatan

John Torey terlebih dahulu mengurai dua unsur dari kalimat budaya populer

untuk memahami definisi budaya populer. Budaya merupakan kata yang artinya

sangat kompleks, merujuk definisi dari William definisi budaya sendiri dapat

digunakan hingga 3 definisi. Pertama sebagai proses menuju intelektual dan spiritual

seperti yang dihasilkan filosofis saat zaman Yunani. Kedua budaya juga dapat

diartikan cara hidup tertentu individu maupun sekelompok individu, terakhir budaya

juga dapat diartikan untuk merujuk karya atau aktivitas artistik yang memiliki

makna 38 . Sedangkan populer memiliki arti disukai banyak orang, sehingga jika

diartikan secara sederhana dua definisi tersebut dapat dikatakan budaya populer

adalah budaya yang disukai banyak orang.39

Payne dalam buku Otmazgin menambahkan definisi tentang budaya populer.

Budaya populer merupakan komoditas yang mengacu pada berbagai aktivitas,

kebiasaan, tradisi yang dibuat dan dipraktikkan oleh banyak masyarakat umum ,

menjadi gaya hidup sehari-hari dan secara sengaja diproduksi untuk komersial dan

sebagian besar ditujukkan untuk hiburan. Lebih khusus lagi, budaya populer berkaitan

dengan artefak, praktik, dan institusi yang terkait dengan musik, animasi, komik,

program televisi, film, games, serta fashion/model.40

John Storey, “Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction”, fifth edition, Pearson
38

Longman, London, 2008 hal 5


39
John Storey, “Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction”,…hal 12
40
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”, dalam Popular Culture and the State in East and Southeast Asia, Routledge, New York,
2012, hal 6

22
23

Musik, film, animasi, program televisi, olahraga, games, komik serta fashion

merupakan contoh budaya populer karena termasuk ke dalam aktivitas atau karya dari

gaya hidup masyarakat, mengandung makna artistik dan populer atau disukai banyak

orang karena mudah dikonsumsi oleh masyarakat umum. Berdasarkan sejarah

perkembangan budaya populer menurut John, komoditas budaya populer tidak hanya

sekedar hasil budaya namun juga hasil dari desakan industrialisasi yang memiliki nilai

ekonomi.41 Bahkan menurut Otmazgin budaya populer di tahun 1980 juga berperan

dalam hubungan internasional sebagai soft power sebuah negara. Hal tersebut

dikarenakan meningkatnya arus konsumsi-produksi budaya populer secara

trans-nasional hingga menembus batas negara di kawasan berbeda dan memengaruhi

gaya hidup masyarakatnya.42

Produk Industri seperti musik, film, acara televisi, animasi, olahraga, games dan

lainnya yang dapat disebut sebagai industri hiburan berbeda dengan produk industri

ekonomi lainnya seperti pertambangan, pertanian dan lain-lain. Pada dasarnya industri

budaya berbasis logika dan disiplin pasar yang sama dengan industri lain dalam

menghasilkan produk komoditas kapitalis. Keduanya berbasis ekonomi atau

keuntungan, dibangun secara industri, membutuhkan tenaga kerja, dan bereaksi

terhadap permintaan pasar.43

Perbedaan utama yang dapat terlihat adalah nilai komoditas yang dihasilkan.

Produk ekonomi pada umumnya menghasilkan produk berupa barang yang dapat

41
John Storey, “Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction”,…hal 13
42
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”,,,Hal 3-4
43
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”,,,Hal 11
24

dinilai berdasarkan kelangkaannya, kualitas ketahanan dan kegunaan barang tersebut.

Sedangkan nilai produk industri populer dinilai dari kualitas ide, kreatifitas dan

inovasi dalam produk tersebut.44 Selain itu budaya populer tidak hanya menghasilkan

nilai dalam arti ekonomi saja, tetapi juga dalam hal sentimen seperti identitas,

persepsi dan narasi kompleks yang berpotensi kuat untuk membentuk pemikiran,

identitas, bahkan pandangan masyarakat tentang ruang dan kehidupan. Oleh karena

itu komoditas budaya cenderung mengekspresikan aspirasi, opini sosial maupun

pribadi.45

Perbedaan besar selanjutnya terdapat pada proses pemasaran dan distribusi. Basis

dari industri ini adalah informasi dan teknologi, yang mana mereka berusaha untuk

menghasilkan komoditas yang dapat dikonsumsi menggunakan internet maupun

teknologi, sehingga industri budaya dalam mempromosikan komoditasnya tidak

begitu mengalami hambatan seperti industri materi lainnya yang butuh biaya lebih

banyak dan proses yang panjang untuk sampai ke konsumen.46

Korea Trade-Investment Promotion Agency (2015) dikutip oleh Sunyoung Kwak

memberikan definisi konten budaya dan industri konten sebagai berikut47:

“Content” is data or information such as symbols, letters, figures, colors, voice,


sound or motion pictures (or combination of these items). as such the cultural
contents industry can also be defined as an industry involving symbols, letters,
44
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”,,,Hal 12
45
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”,,,Hal 14
46
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State in East and Southeast
Asia”,,, hal 13
47
Sunyoung Kwak, Communication Graduate Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional
Flow of Pop Culture: the Case of the Korean Wave in Japan”,University of Colorado at Boulder,
2017, hal 24
25

figures, colors, voice, sound or motion pictures combined with artistic value,
creativity, amusement, leisure and popular appeal. Basically, CCI (Cultural
Content Industry) means asn industry that can create economic values by
planning, producing, and distributing on- and off-line media contents.
“Konten” adalah data atau informasi, seperti simbol, huruf, gambar, warna,
suara, suara atau gambar animasi (atau kombinasi dari item-item tersebut).
elemen-elemen yang disebutkan tadi dikombinasikan dengan nilai seni,
kreativitas, hiburan, dan daya tarik populer, Pada dasarnya, CCI (Cultural
Contents Industry) berarti industri yang dapat menciptakan nilai ekonomi
dengan perencanan, produksi, dan distribusikan konten media secara luring
maupun daring. (hal 5).
Berangkat dari definisi yang telah disebutkan maka musik, film, anime, tarian, fashion,

games dapat dikategorikan dalam industri budaya populer karena faktor ide kreativitas

yang dipadukan dengan teknologi dan internet dan memiliki nilai yang dapat

mengekspresikan aspirasi atau opini pribadi.

Korea Selatan merupakan pendatang baru dalam bidang industri budaya populer

dibanding negara lain di Asia Timur yang terlebih dahulu populer seperti anime dan

musik Jpop Jepang. Pasalnya, setelah kemerdekaan Korea Selatan dari penjajahan

Jepang, Korea Selatan masih menutup diri dari dunia luar salah satunya dalam bidang

budaya sebagai bentuk proteksi diri. Perkembangan industri dan pasar budaya Korea

Selatan dikekang oleh kebijakan pemerintah yang selama dua setengah dekade

dipimpin oleh militer. Beberapa musik pada pemerintahan diktator Chung Hee selama

tahun 1975 sempat dilarang diterbitkan di Korea. Musik yang dilarang ditampilkan di

Korea adalah musik yang dianggap mengandung unsur pro terhadap Jepang dan

Korea Utara karena dianggap dapat menghancurkan sistem pemerintahan yang pada

saat itu baru saja lepas dari jajahan Jepang.48

48
Ingyu Oh, “K-pop in Korea: How the Pop Music Industry Is Changing a Post-Developmental
Society”, Cross-Currents: East Asian History and Culture ReviewE-Journal No. 9 (December
2013) 2014, hal 7
26

Kim Young Sam yang merupakan presiden pertama dari masyarakat sipil

mengambil kebijakan ekonomi yang berdasarkan neoliberal dengan bergabungnya

Korea bersama negara lain di WTO (World Trade Organizzation) dan OECD

(Organisation for Economic Co-operation and Development) pada tahun 1996.

Sebagai bagian dari liberalisasi, pasar budaya Korea juga tidak luput oleh pengaruh

produk asing. Pada pertengahan 1990-an jumlah saluran televisi telah berkembang

pesat yang juga diikuti dengan peningkatan dalam impor program-program luar negeri,

selain itu musik dari luar juga mulai diizinkan diputar di radio.

Meningkatnya produk budaya populer asing di Korea karena liberalisasi ini

membuat Korea sadar akan daya saing industri budaya populer Korea sangat penting,

Pemerintah Korea pun mulai berusaha menekankan nilai ekonomi pada industri

budaya dan media melalui kebijakan. Sejak awal 1990-an pemerintah mulai

mendukung industri budaya dengan mendirikan Biro Industri Kebudayaan (Munhwa

San-Eobgug) untuk pertama kalinya di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

(Munhwa Gwan-Gwangbu) pada tahun 1994 dan dengan memberlakukan

Undang-Undang Promosi Film pada tahun 1995, yang mendorong

perusahaan-perusahaan besar (Jaebeol) untuk berinvestasi di industri film.49

Asal mula industri pop culture Korea Selatan dapat diketahui sejak tayangnya

drama “What is All Love About” di salah satu kabel televisi China di Tahun 1997

yang kemudian demam drama ini berhasil merambat ke negara tetangga di Asia dan

terus meningkat secara signifikan menyebar di negara Asia Tenggara di tahun

Jonghoe Yang, “The Korean Wave (Hallyu) in East Asia: A Comparison of Chinese, Japanese,
49

and Taiwanese Audiences Who Watch Korean TV Dramas”, Development and Society Vol 41,
No 1, Sungkyunkwan University, 2012. hal 116
27

2000an. 50 Korea meningkatkan upayanya untuk mengekspor beberapa program,

seperti “Autumn Fairy Tale” (2000) dan “Winter Sonata” (2002) serta Dae Jang

Geum (2003), yang semuanya menjadi hit besar di kalangan penonton Asia di Jepang,

Thailand, Vietnam, Singapura, dan Hong Kong antara 2002 dan 2006 hingga Musik

populer Korea juga menjadi salah satu aspek terpenting dalam industri budaya pada

beberapa tahun terakhir ini.51

Berawal dari kepopuleran inilah produk budaya populer Korea Selatan lainnya

selain film dan drama, seperti musik, tari pop, fashion dan kosmetik, video game, dan

makanan dapat dikenal dan berkembang di mancanegara.52 Produk budaya populer

Korea ini disebut Hallyu berdasarkan salah satu media China pada pertengahan 1999

yang menjuluki fenomena pesatnya penyebaran drama Korea di kawasan Asia Timur

dengan kata Hallyu, yang berarti gelombang Korea atau Korean Wave dalam bahasa

inggris. 53 Karena drama dan musik KPop merupakan awal kepopuleran industri

budaya populer Korea Selatan dan telah mampu bertahan selama lebih dari 20 tahun

di kawasan regional maupun internasional, dibawah ini akan diuraikan lebih detail

dua produk industri budaya populer Korea Selatan tersebut.54

Lee Seu Jin, “Korean Wave the Soul of Asia”, The Elon Journal of Undergraduate Research in
50

Communications, Vol. 2, No. 1, Spring 2011 , hal 86

Garima GanghariyadanDr Rubal Kanozia, “Proliferation of Hallyu Wave and Korean Popular
51

Culture across the World: A Systematic Literature Review from 2000-2019”, Journal of Content,
Community & Communication Amity School of Communication, Vol. 11 Year 6, June - 2020,
hal 4

John Walsh, “Hallyu as a Government Construct: The Korean Wave in the Context of Economic
52

and Social Development”, The Korean Wave: Korean Popular Culture in Global Context,
Palgrave Macmillan, New York, 2014 hal 13
53
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan : K-Pop Avid
Fandom in Tokyo” Lund University ,hal 7
54
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China and
Japan”, Korea’s Public Diplomacy, Hangang Network, Soeul, 2016, hal 169
28

1. Drama Korea Selatan

Awal kemunculan gelombang korea berkaitan dengan krisis keuangan asia

tahun 1997–1998. Krisis ini membawa kemerosotan ekonomi yang parah di

seluruh Asia, tidak terkecuali Korea. Hal ini memaksa bangsa Korea untuk

mereformasi struktur sosial ekonomi bersama-sama dengan masyarakat berbasis

pengetahuan. Salah satunya adalah dengan memulai kebijakan pada kemajuan

teknologi dan perkembangan digital dalam program penyiaran.

Komisi Riset Sistem Penyiaran (Bangsong Siseutem Yeonguwiwonhoe) yang

ditugaskan oleh pemerintah mengusulkan gagasan untuk meluncurkan televisi

kabel pada tahun 1995 sebagai andalan infrastruktur komunikasi digital dan

terintegrasi di era informasi mendatang, setelah pada tahun 1990 Majelis

Nasional (Daehan Min-guk Gukheo) memberlakukan Undang-undang Penyiaran

yang baru, di mana pemerintah memberikan izin kepada Seoul Broadcasting

System (SBS) untuk mulai beroperasi sejak tahun 1991 sebagai televisi publik.

Selain itu, pada Agustus 1993 Kementerian Informasi (Jeongbotongsinbu)

memilih 20 pemohon untuk menjadi penyelenggara program televisi kabel (PP)

yang akan menjalankan salurannya sendiri. Selanjutnya pada tahun 2002, saluran

satelit juga ditambahkan ke platform televisi, dan siaran multimedia digital (DMB)

mulai digunakan pada tahun 2005.

Peningkatan kebijakan pada saluran media membuat Korea memasuki era

multichanel, dimana penduduk Korea tidak hanya menggunakan televisi satelit

namun juga digital atau televisi kabel, sehingga persaingan antar saluran untuk

menarik perhatian penonton menjadi tinggi. Rating tinggi penonton di setiap

saluran menjadi hal yang sangat penting. Hal ini pertama kali didorong oleh
29

"serangan drama"yang pertama kali dimulai oleh saluran SBS yaitu dengan

melakukan peningkatan jumlah dan konten yang beragam dari drama televisi.

Peningkatan konten drama saluran SBS membuat saluran lain terlibat "perang

drama" dengan ikut melakukan segala upaya untuk meningkatkan peringkat

penonton di setiap saluran terutama dalam produksi drama.55 Karena dorongan

tersebut drama Korea mengalami perkembangan pesat hingga berhasil menembus

pasar Asia. Jepang menjadi importir besar K-drama selama 2003-2004 bersama

dengan Taiwan dan China. Di luar tiga importir besar ini, beberapa negara Asia

Tenggara juga menyusul meningkatkan impor K-drama karena popularitas

regional dan permintaan penonton lokalnya.56

Tabel II. A.1.1 Jumlah Ekspor program televisi Korea di beberapa


negara 2001-2011

Sumber: Korea Communications Commission

55
Doobo Shim, “The Growth of Korean Cultural Industries and Korean Wave”, East Asian Pop
Culture: Analysing Korean Wave”, Hongkong University Press, hal 23
56
Hyejung Ju, “The Korean Wave and Korean Dramas”, Oxford Research Encyclopedya
Communication, Jurnal Online tersedia di DOI:
10.1093/acrefore/9780190228613.013.715 ,diunduh pada 19 Oktober 2020, hal 3
30

Dari tabel di atas dapat dilihat Jepang menjadi negara terbesar pengimpor

drama Korea melebihi China sejak tahun 2005 dengan penghasilan $63.543 dan

terus meningkat hingga tahun 2011. Sedangkan Drama Korea Selatan masuk ke

negara Asia Tenggara pada tahun 2005 setelah berhasil populer di Jepang dengan

jumlah penghasilan ekspor terus meningkat tiap tahunnya di setiap negara.

Setelah berhasil populer di kawasan Asia Timur, Drama Korea mulai

melebarkan sayapnya hingga mancanegara. Jang mengutip data dari artikel yang

diterbitkan oleh Korean Culture and Information Service (KOCIS), bahwa tidak

lama setelah Drama Korea mendapat rating tinggi di beberapa negara seperti

Taiwan, China dan Hongkong, Drama Winter Sonata mulai ditayangkan juga di

negara dari berbagai kawasan seperti India, Turki, Israel, Nigeria, Romania,

Hungaria, Bosnia, Rusia, Swedia, Kolombia, Peru, Kanada,Amerika Serikat,

Australia, dan New Zealand.57

Salah satu strategi stasiun TV saluran Korea untuk meningkatkan pengaruh

serial drama mereka di luar negeri adalah dengan memasarkan bintang drama

mereka. Promosi drama Korea yang baru dirilis (atau akan segera dirilis)

dilakukan dari kota ke kota. Promosi drama termasuk tour perdana pemeran

utama, rilis cerita di balik layar, buku panduan, dan fan meeting lokal. Sebagai

contoh, kesuksesan Dae Jang Geum, pemeran drama “The Jewel in Palace”,

mendorong ekspornya ke lebih dari 80 negara di Asia, Timur Tengah, Amerika

Selatan dan Utara, dan Eropa.

57
Gunjoo Jang, Won K. Paik, Korean Wave as Tool for Korea’s New Cultural Diplomacy,
Scientific Research Vol.2, No.3, 2012, hal 197
31

Gambar II.1. Pesebaran Negara yang Memutar Drama Korea DaeJanggeum

Sumber: The Korean Wave: Who are behind the success of Korean popular
culture? Hal 17. Dikutip dari Laporan Korean Culture and Information Service,
2011, Seoul, Korea Selatan

Gambar di atas menggambarkan penayangan Drama Korea Dae jang Geum

di mancanegara selain Asia Timur sejak tahun 2005. Drama Korea telah berhasil

menembus mancanegara hingga Timur Tengah seperti Mesir, Algeria, Israel, Iran

dan Benua Eropa seperti Romania dan Hungaria pada tahun 2008 berkat Drama

Dae Jang Geum. Berbeda dengan MBC, KBS menargetkan pasar luar negeri

dengan kebijakan diplomatik untuk mengembangkan hubungan bisnis yang

kooperatif dengan televisi publik atau negara asing, seperti NHK, CCTV, dan

BBC. Alhasil, mereka bisa menggunakan jaringan siaran mereka untuk menjalin

kontrak baru dengan studio TV asing.58

Drama korea mengalami peningkatan di wilayah lain selain China dan

Jepang setelah berhasil memasuki platform streaming film Amerika seperti

58
Hyejung Ju, “The Korean Wave and Korean Dramas”…, hal 11
32

netflix, Hulu dan Viki sejak tahun 2011. Menurut White Paper Industri Penyiaran

Korea, pada tahun 2015 lisensi siaran K-drama telah dijual secara luas ke

berbagai negara non-Asia. Amerika Serikat adalah konsumen utama dengan total

4.291 judul K-drama serta merupakan kawasan pengimpor drama (melalui

saluran televisi maupun streaming online) dengan pendapatan tertinggi

mengalahkan China dan Jepang hingga mencapai $172 miliar dari ekspor melalui

saluran Televisi dan sebanyak $16,2 juta melalui streaming online.59

Gambar II.2. Status pasar acara broadcasting Korea Selatan di


negara-negara besar di seluruh dunia

Sumber: laporan Broadcasting Industry White Paper

Gambar di atas merupakan data penghasilan dari penyiaran Drama Korea

melalui stasiun TV dan streaming online. Penghasilan stasiun TV,Amerika (미국)

merupakan tujuan negara dengan penghasilan tertinggi sebanyak 172,8 miliar

dollar, kedua China (중국) menghasilkan 37,9 miliar dolar, Jerman (독일)

sebanyak 35,6 miliar dolar, Jepang (일본) 27,8 miliar dolar, Inggris (영어) 21,9

59
Broadcasting Industry White Paper, KOCCA 2016
33

miliar dolar, dan Perancis (프랑스) 11,9 miliar dolar. Sedangkan dari situs

streaming online dari yang tertinggi Amerika(미국) kemudian China (중국)

sebesar 3,995.3 miliar dolar, Inggris(영어) 2,059.6 juta dolar, Jepang (일본)

966,3 juta dolar, Perancis (프랑스) 767,6 juta dolar dan Jerman (독일) sebanyak

692 juta dolar.

2. Musik Pop Korea Selatan

Setelah kebijakan liberalisasi diambil oleh Korea pada pemerintahan Kim

Young Sam, produk musik dari luar negeri dapat mudah masuk ke pasar Korea.

Masyarakat Korea khususnya para pemuda, mulai mengkonsumsi lagu dari

Amerika dan Jepang yang saat itu sedang menjadi tren. Selera masyarakat Korea

terhadap musik trot.60 yang awalnya populer di Korea, kini tergeser menjadi

“music dance” yang terpengaruh dari musik Jpop dan genre hiphop dari

Amerika.61

Pertama kali pada tahun 1992 Boy Band Soe Taeji & Boys mengenalkan

sesuatu yang sangat baru di dunia musik Korea dengan perpaduan unik musik rap

hiphop dan techno melalui lagu perdananya yang berjudul “nan Arayo”(I know)

dengan menggabungkan gerakan tarian yang menarik dalam penampilan

60
Trot adalah musik populer Korea tertua sejak penjajahan Jepang sehingga banyak terpengaruh
oleh genre musik Jepang dan setelah kemerdekaan Korea, genre ini juga terpengaruhi oleh genre
blue jazz dari Eropa, (Jhon Lie, 2012)
61
Sarrah Brand, “Tesis: Marketing K-Pop and J-Pop in the 21st Century”, Dickinson Collage,
2017, hal 8
34

mereka62. Meski Seo Taiji merupakan boyband pertama dengan kesuksesan besar

di Korea, namun Kpop masih jauh dari industri global seperti saat ini. Lompatan

itu datang berkat Lee Soo Man, pendiri SM Entertainment, salah satu perusahaan

musik terbesar di Korea yang melakukan revolusi pertama kali di industri musik

Korea.63

SM Entertainment merupakan agensi musik pertama di Korea yang

mempersiapkan strategi mulai dari persiapan, produksi dan pemasaran.untuk

menargetkan sasaran pasar global. Dalam proses mempersiapkan artis-artisnya,

SME mengadopsi konsep yang telah dijalankan Jepang yang disebut sistem Idol.

Secara singkat, yang dimaksud idol dalam konsep ini adalah laki-laki atau wanita

berumur belasan tahun dengan standar penampilan yang telah ditentukan yang

kemudian dibekali tidak hanya dengan skill menyanyi untuk menarik perhatian

fans, tetapi juga skill yang menunjang perform mereka di panggung seperti

menari, rap, hingga menghibur fans. Karakteristik utama dari konsep idol adalah

hubungan dan kedekatan sang idol dengan fans yang jarang terjadi di industri

musik barat pada umumnya.64

Pada tahap produksi karena menargetkan pasar internasional, SM

Entertainment mencari komposer, koreografer, desainer, dan stylist terkemuka

untuk memproduksi musik65. SME mengumpulkan komposer dari mancanegara

62
John Lie, “What is the K in Kpop? South Korean Popular Music, the Culture Industry, and
National Identity”, Korea Observer, Vol. 43, No. 3, Autumn, The Institute of Korean studies,
2012, pp. 339-363, hal 349
63
Luis Antonio, Pop Power: Pop Diplomacy for a Global Society , 1st edition 2014, Peru, hal 10
64
Sarrah Brand, “Tesis: Marketing K-Pop and J-Pop in the 21st Century”…, hal 8-9
65
Brian Truong, The Korean Wave: Cultural Export and Implication”…, hal 8
35

seperti Inggris, Swedia dan Amerika. Strategi ini dimaksudkan agar dapat

beradaptasi dengan tren musik global sehingga mudah diterima oleh pendengar

dari mancanegara khususnya dari Universal Music Publishing Group Swedia.66

SME menggabungkan campuran permintaan dari selera masyarakat Korea

dan tren pasar dalam memproduksi musik. Untuk menciptakan ciri khas musik

KPOP, komposer lagu dari luar Korea Selatan harus mengikuti kriteria yang

diberikan oleh pihak SME. Agensi SM menentukan jenis musik yang sesuai

dengan karakter dan konsep artis tertentu yang mengharuskan lagu-lagu tersebut

menjadi cocok untuk gerakan tarian karena Kpop sangat menekankan pada

koreografi dan video musik. Lagu-lagu ini pun harus mengikuti tren terkini di

seluruh dunia sehingga dapat menembus permintaan pasar internasional juga.67

Hasil pertama produksi dari strategi outsourcing agensi SM (konsep idol

Jepang dan produksi musik dengan pihak luar Korea) adalah dengan

diperkenalkannya beberapa boy band seperti HOT, NRG, Sechs Kies, dan GOD

dan juga girl band, SES, Fin.KL, dan Baby Vox. Grup-grup ini sering dianggap

sebagai idola K-pop generasi pertama dan dianggap sebagai pondasi Korean

Wave dalam sektor musik.68

Kpop berhasil menembus pasar Asia menyusul drama Korea yang booming

di Jepang dan China dengan beberapa penyanyi dan idol band Korea seperti BoA,

Kara, dan HOT yang berhasil memuncaki chart pertama di tangga musik Jepang.

66
Johan William Jolin, “Tesis: The South Korean Music Industry…,” hal 24
67
Johan William Jolin, “Tesis: The South Korean Music Industry…,”27
68
Sarrah Brand, “Tesis: Marketing K-Pop and J-Pop in the 21st Century”…, hal 10
36

Grup lain seperti SNSD, TVXQ dan Orange Caramel menyusul populer di Jepang

setelah mereka merilis album dalam bahasa Jepang.69

Melalui teknologi internet Youtube, musik Kpop semakin mudah dikenali

oleh masyarakat mancanegara. Sejarah awal masuknya Kpop di chart billboard

diawali dengan video viral lagu single berjudul “Oppa Gangnam Style”. Lagu

dari penyanyi bernama Psy ini merupakan video Kpop pertama yang mendapat

viewers hingga satu juta pada tahun 2012.70 Disusul kemudian girlband Wonder

Girl yang juga berhasil memasuki chart Top 100 di Billboard. Selain berhasil

memasuki tangga musik lagu di Amerika, Kpop juga berhasil memasuki pasar

Amerika dengan mini album ke-4 Bigbang “Tonight” higga mencapai No 6 di

toko iTunes Amerika Serikat, dan musik video dari lagu utamanya ditonton satu

juta kali dalam dua hari setelah dirilis di YouTube.71

Faktor terbesar kepopuleran KPop selain dari produksi konten yang menarik

dan unik sebenarnya terletak pada teknologi dan internet. Hal ini banyak disebut

oleh beberapa peneliti dan di banyak tulisan. Bahkan industri musik Korea lebih

baik dalam strategi memanfaatkan transisi teknologi dibanding barat maupun

Jepang. Korea merupakan pasar musik pertama yang menghasilkan lebih dari

separuh pendapatan dari musik digital sejak tahun 2006. 72 Terlebih dengan

kemajuan sosial media, Kpop dapat mempromosikan produknya tanpa biaya,

Nick Desiden, “Bubble Pop: An Analysis of Asian Pop Culture and Soft Power Potential”,
69

Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 18 2013, hal 54


70
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers and diplomatic frictions: the case
of the Korean Wave, Macmillan Publishers Ltd 2017, hal 1-2
71
KOCIS dalam “The Korean Wave A New Pop Culture Phenomenon”, Contemporary Korea No
1, 2011, hal 48-49
72
Johan William Jolin, “Tesis: The South Korean Music Industry…,” hal 14
37

selain itu internet dan sosial media juga mempermudah KPop menarik fans baru

dan mendukung interaksi idol dengan fans.73

Abad 21 menjadi masa emas bagi industri hiburan di Korea setelah industri

musik Korea berhasil memasuki pasar digital dengan munculnya perusahaan

besar yang menyediakan layanan musik digital berupa platform ataupun website

khusus untuk mendukung penjualan musik dalam pasar digital. Sejak awal

direncanakannya pasar musik digital pada laporan KOCCA 2005 penjualan musik

digital mulai memperlihatkan perkembangannya. Digital musik Korea meningkat

pada tahun 2007, namun sempat menurun di tahun 2008 menjadi 36 juta dolar

yang sebelumnya 37,7 juta dolar dan kembali meningkat sebanyak 5juta dolar

menjadi 41,1 juta dolar. 74 Selain peningkatan jumlah digital musik, jumlah

penjualan musik Korea Selatan secara keseluruhan menurut catatan White Paper

KOCCA juga mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Tabel II.B.1.2 Jumlah penjualan keseluruhan penjualan musik

Tahun Jumlah penjualan keseluruhan penjualan


musik (dalam satuan juta won)

*1000 won = 1 Dolar

2005 1.789.875

2006 2.401.309

2007 2.357.705

2008 2,602,076

73
Johan William Jolin, “Tesis: The South Korean Music Industry…,”hal 20
74
Music Industry White Paper, KOCCA 2010, Hal 40
38

2009 2,740,753

2010 2,959,143

2011 3,817,460

2012 3.994.925

2013 4,277,164

2014 4,606,882

Sumber: Music Industry White Paper KOCCA 2005-2015

Dari data yang terkumpul di atas, dapat dilihat peningkatan sejak tahun

2008 setelah sebelumnya jumlah penjualan musik Korea sempat menurun di

tahun 2007 sebanyak seratus ribu won. Peningkatan dalam pendapatan musik

Korea membuat Korea menjadi berhasil bersaing dengan pasar masuk global

yang lebih luas. IFPI Global Market Overview tahun 2015 mencatat bahwa

pasar industri musik Korea Selatan berhasil pertama kalinya menjadi top ten

industri musik teratas dengan pertumbuhan keseluruhan terkuat (+ 19,2%)

bergabung dengan negara Eropa lainnya dengan perolehan subscribe

streaming tertinggi kedua setelah negara Swedia.75

75
IFPI Digital Music Report, hal 7
39

Gambar II.3. Top 10 Music Global Market 2014

Sumber: Laporan IFPI

Dari gambar grafik di atas dapat kita lihat penghasilan dari streaming

musik Korea mencapai 91% hampir menyamai Swedia dan mengalahkan

pendapatan pendapatan Amerika. Korea berhasil mempertahankan posisinya

sebagai top 10 dalam laporan musik global IFPI hingga tahun 2019 yang

didasarkan dari pendapatan penjualan album digital dan fisik, streaming dan

penghasilan performance. Pada tahun 2019 juga, pertama kalinya Korea juga

berhasil masuk sebagai Global Top 10 Album dengan album MAP of The

Soul Persona dari boyband BTS.76

Korea memanfaatkan dengan baik kemajuan media sebagai strategi

pemasaran agensi musik Korea melalui acara reality show. Reality show

idola yang ditayangkan di stasiun TV kabel di bawah arahan agensi tidak

hanya untuk memperkenalkan dan mempromosikan debut artis, tetapi juga

untuk memperkuat karakter mereka setelah debut. Reality show di Korea

sering mengangkat konsep kehidupan sehari-hari yang banyak mengekspos

76
IFPI Digital music report 2019
40

karakter dan kehidupan idol untuk menguatkan chemistry dengan fans

sehingga menimbulkan rasa kedekatan dan familiar dengan kehidupan fans.77

Tahun 2015 adalah Tahun Pertama Korea Selatan memulai ledakan

media baru yang berfokus pada konten seluler. Platform yang menargetkan

perangkat seluler, seperti 1theK, Pikicast, Dingo Music, dan V Live telah

mendapatkan popularitas, dan memicu tren ini dengan konten yang menarik

untuk idol Korea. Kemajuan sosial media dengan kemunculan platform

media baru mendukung popularitas Kpop di global. Contohnya adalah 1theK

dikenal sebagai platform media baru K-pop pertama di Korea yang dibuat

oleh LOEN (sekarang Kakao M), media ini juga mengoperasikan situs

streaming Melon. Pada tahun 2011. 1theK membuka saluran YouTube dan

mulai memposting video musik Kpop terbaru dan menjadi platform media

pertama yang melopori produksi konten Kpop ke ranah global.78

Kemunculan platform seperti Youtube dan Vlive ini memungkinkan

agensi kecil untuk mempromosikan artisnya seperti yang terjadi pada grup

boyband BTS yang kepopulerannya berawal dari konten produksi mandiri di

Vlive. Kepopuleran BTS menurut laporan Korea Foundation memicu

kenaikan penggemar Kpop di dunia meningkat hingga 22 persen dari tahun

Sujong Kim,”Universality and particularity of K-pop as a glocal culture” dalam laporan Hallyu
77

White Paper, KOFICE, 2018, hal117


78
Miyeon Kim, “New Media and Kpop”, dalam laporan Hallyu White paper KOFICE 2018, hal
144
41

2017 berjumlah 73,12 juta dan tahun 2018 menjadi 89,19 juta penggemar di

seluruh dunia belum termasuk Korea Selatan.79

79
The jakarta post, New Report Shows Boost in Number of Hallyu Fans Partly because of BTS,
diakses di
https://www.thejakartapost.com/life/2019/01/13/new-report-shows-boost-in-number-of-hallyu-fan
s-partly-because-of-bts.html pada tgl 7 Oktober 2020
BAB III

POP CULTURE KOREA SELATAN SEBAGAI INSTRUMEN DIPLOMASI


PUBLIK

A. Diplomasi Publik Korea Selatan

Diplomasi publik merupakan salah satu bagian penting dari soft power yang

memiliki sejarah panjang sejak Perang Dingin, yang mana diplomasi publik saat itu

sangat berguna untuk mengumpulkan dukungan bagi keseimbangan senjata nuklir dan

memenangkan peperangan ideologi yang hanya terbagi menjadi dua kubu.80 Pada

saat Perang dingin diplomasi publik dilakukan dengan melakukan propaganda oleh

pemerintah terhadap publik melalui radio, surat kabar dan media lainnya.81 namun

diplomasi publik kini mengalami perluasan konsep dalam praktiknya.

Diplomasi publik saat ini tidak hanya melibatkan pemerintah namun juga non

pemerintah, seperti warga sipil, perusahaan swasta, dan lembaga swadaya masyarakat

(LSM). Meskipun terdapat partisipasi aktor non-pemerintah tidak berarti mengurangi

peran pemerintah menjadi kurang penting. Lee dan Ayhan menunjukkan bahwa

diplomasi tidak dapat dilakukan secara efisien tanpa arahan pemerintah secara

keseluruhan. Artinya, meskipun aktor non-pemerintah terlibat dalam membentuk

persepsi tentang negaranya di kalangan publik asing, pemerintah perlu memberikan

arahan, mengkoordinasikan pemangku kepentingan, dan mendorong kegiatan

terkait'.82

80
Eytan Gilboa, “Searching for a Theory of Public Diplomacy”…, hal 56
81
Eytan Gilboa, “Searching for a Theory of Public Diplomacy”… hal 58
82
Istad, Felicia,” A Strategic Approach to Public Diplomacy in South Korea”, In Kadir Ayhan
(Ed.), Korea's Public Diplomacy (pp. 49-80). Seoul, Korea: Hangang Network, 2016, hal 53

42
43

Perubahan lain yang terlihat dari diplomasi publik saat ini adalah gaya

komunikasi oleh pemerintah. Pada awalnya diplomasi publik terbatas pada

komunikasi satu arah dengan menyampaikan ide, cita-cita, kepercayaan dan kebijakan

mereka kepada publik asing untuk mencapai tujuan mereka, diplomasi publik saat ini

lebih mementingkan interaksi dua arah melalui budaya, ideologi, dan nilai. Hal ini

dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi dan media yang memungkinkan

individu mendapat informasi dan mengekspresikan opininya atas suatu kebijakan.83

Tujuan dari diplomasi publik pun meluas bukan hanya untuk menyampaikan ide dan

nilai yang dianut pemerintah suatu negara terhadap negara lain saja, namun meluas

hingga ke aspek sosial seperti menjalin hubungan dengan publik melalui daya tarik.

Diplomasi publik menggunakan daya tarik budaya populer telah dibuktikan

dengan baik selama invasi hiburan budaya Inggris ke Amerika Serikat dan

negara-negara lain selama tahun 1960-an, serta dalam ekspor dan distribusi global

film-film Hollywood dan acara televisi Amerika selama era Perang Dingin. Di

kawasan Asia-Pasifik, industri perfilman Hong Kong selama tahun 1980-an

menikmati reputasinya yang luar biasa sebagai pusat budaya populer dengan film aksi

yang sangat populer. 84 Disusul oleh Jepang yang juga sempat menjadi produsen

budaya terbesar kedua setelah Amerika dengan merebut 9,5 persen pasar konten

budaya global meskipun dalam masa resesi berkepanjangan85. Jepang menempati

posisi sentral di Asia Timur dalam produksi budaya populer dengan mengekspor

produk budaya yang menarik seperti animasi, program TV, musik populer, film dan

fashion.
83
Yun Young Cho, “Public Diplomacy and South Korea’s Strategies”…, hal 280
84
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers…”, hal 2
85
Nick Desiden, “Bubble Pop: An Analysis of Asian Pop Culture…”, hal 7
44

Kemajuan industri populer budaya sebagai diplomasi publik di Asia Timur

memicu ketertarikan Korea terhadap diplomasi publik. Korea sebagai pendatang baru

dalam industri budaya, mulai merencanakan upaya penggunaan Hallyu yang

merupakan salah satu instrumen dari soft power untuk melancarkan diplomasi

publiknya di kancah internasional. Seperti yang tercantum laporan EAI NSP

mengenai 10 agenda Korea Selatan, salah satu prinsip utama yang ingin dilakukan

Korea Selatan adalah melatih diplomasi publik dalam mengembangkan komunikasi 2

arah dengan beragam aktor di abad 21 dengan memanfaatkan sumber soft power dari

pengembangan ekonomi, gelombang korea dan pengetahuan.86

Kemajuan teknologi dan globalisasi industri budaya yang terjadi di kawasan Asia

Timur dan membuat Korea mulai tertarik untuk fokus terhadap kebijakan diplomasi

publik. Kekuatan legitimasi dari sebuah diplomasi di dunia internasional pasca

peristiwa 9/11 juga menambah motivasi Korea Selatan untuk menguatkan diplomasi

publiknya. Untuk mendapat legitimasi dari masyarakat internasional, image suatu

bangsa berpengaruh terhadap penerimaan negara lain dan sangat menentukan status

bangsa di internasional. Namun, bagi negara berkembang mengatasi standar kekuatan

negara-negara kuat, seperti kekuatan militer dan ekonomi, merupakan hal sulit diraih

untuk dapat memengaruhi masyarakat internasional. Sehingga Korea memilih

mengandalkan strategi dari penggunaan soft power untuk mendapat status di

internasional87.

EAI National Security Panel (NSP) Report, Toward 2020: Ten Agendas for South Korea’s
86

Foreign Policy, 2012, hal 4


87
Yun Young Cho, “Public Diplomacy and South Korea’s Strategies”…, hal 284
45

Gambar III.4 Ilustrasi Visi Misi Diplomasi Publik Korea Selatan

Sumber: Website resmi Kementerian Luar Negeri Korea Selatan

Gambar dari website Kementerian Luar Negeri Korea menjelaskan strategi

diplomasi publik Korea dalam mengupayakan tujuan diplomasi publik terdapat 5

strategi yaitu: share Korean culture dengan berbagi tradisi dan budaya Korea yang

menarik dan melakukan pertukaran budaya. Deepen understanding on Korea yaitu

memperdalam pemahaman akan Korea Selatan masih dengan mempromosikan

sejarah, tradisi, budaya, seni, nilai, kebijakan, dan citra Korea. Gain global support

for Korea’s policies yaitu mendapatkan kepercayaan dari komunitas internasional

akan kebijakan Korea untuk meningkatkan pengaruh global negara dengan terus

mempromosikan kebijakan luar negeri Korea Selatan kepada publik asing. Strengthen
46

public diplomacy capacity, yaitu meningkatkan komunikasi dua arah dengan publik

asing dan meningkatkan partisipasi publik dalam kebijakan Korea. Terakhir adalah

promote public-private sector yaitu kerja sama sektor privat dengan publik dengan

menyediakan sistem dan media untuk keduanya melakukan kerjasama salah satunya

mengembangkan platform online untuk komunikasi dengan publik global.

Diplomasi publik di Korea mulai fokus berjalan pada tahun 2010 ketika

dinyatakan oleh pemerintah Korea sebagai salah satu dari tiga sumbu yang mengatur

hubungan diplomatik Korea selain diplomasi negara dan diplomasi ekonomi. Sejak

saat itu, Pemerintah Korea telah melakukan segala upaya untuk menjaga dana

diplomasi publik dan memperkuat hubungan antar menteri, dengan menetapkan

Undang-Undang Diplomasi Publik pada Agustus 2017.88

Dari ilustrasi strategi diplomasi publik di atas dapat terlihat upaya awal yang

ingin dilakukan Korea adalah mempromosikan budaya Korea untuk memberi

pemahaman pada aktor negara lain. Seperti yang dikatakan Bolewski bahwa

kesadaran budaya adalah titik awal untuk diplomasi yang sehat karena budaya adalah

lensa yang digunakan untuk mengamati dan menilai dunia. Setiap budaya

mengekspresikan identitasnya, yang menuntut rasa hormat dan toleransi yang sama.89

Hallyu pun menjadi salah satu yang diupayakan Korea Selatan sebagai alat diplomasi

publik Korea Selatan setelah dilantiknya President Council of Nation Branding serta

peresmian undang-undang diplomasi publik baru.

88
http://www.mofa.go.kr/eng/wpge/m_22841/contents.do
89
Wilfried Bolewski, Diplomatic Processes and Cultural Variations: The Relevance of Culture in
Diplomacy, The Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations: winter/spring, 2008,
hal 146.
47

Nye pencetus pertama konsep soft power juga telah mencatat Hallyu sebagai

salah satu potensi soft power mengesankan yang dimiliki Korea Selatan (Nye, 2009)

Penyebaran Hallyu telah menyebabkan publik asing secara sukarela membentuk sikap

dan persepsi yang lebih disukai terhadap Korea sebagai suatu bangsa dibandingkan

sebelumnya dengan melihat konten budaya populer Korea yang akhirnya menjadi
90
efektif untuk mewujudkan kepentingan nasional Korea. Oh In Gyu juga

menyatakan bahwa Hallyu merupakan alat diplomasi publik atas dua alasan: 1)

Hallyu berkontribusi dalam memenangkan hati rakyat atau publik di luar negeri untuk

Korea; 2) Pemerintah Korea terlibat dalam mempromosikan Hallyu melalui

kolaborasi dengan aktor non-negara. 91 Berikut penjelasan keterlibatan pemerintah

terhadap industri pop culture Korea sebagai alat diplomasi publik Korea.

1. Kebijakan Pemerintah Korea Selatan Terhadap Industri Pop

Culture

Setelah menjadi tuan rumah pada Olimpiade Seoul 1988, pemerintah Korea

menyadari pentingnya budaya di era globalisasi dimana masyarakat dapat

mengakses dengan mudah segala informasi dari berbagai sumber. Presiden Kim

Young-sam meluncurkan kebijakan yang disebut segyehwa (globalisasi) resmi

sebagai cara untuk secara aktif menanggapi tekanan eksternal yang dikenakan

oleh AS dan untuk bertahan di dunia baru persaingan global yang tak terbatas.

Dalam praktiknya, pemerintahannya mengusulkan rencana lima tahun untuk

pengembangan budaya. Penekanan Kim terletak pada pengembangan industri

90
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China and
Japan”, dalam buku Kadir Ayhan (Ed.), Korea's Public Diplomacy, Seoul, Korea: Hangang
Network, 2016, hal 172
91
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy…”, hal 168
48

budaya, termasuk sektor teknologi informasi. Perubahan pada bidang teknologi

dan media terwujud dengan diluncurkannya pertama kali televisi kabel dan satelit

penyiaran media di Korea. kemudian Presiden Kim semakin tertarik untuk

berinvesatasi pada industri budaya seperti film, drama dan musik setelah

mendapat laporan bahwa penghasilan Jurrasik Park setara dengan ekspor 1,5 juta

Hyundai.92

Kebijakan pemerintah dalam industri budaya menjadi pijakan bagi Korea

Selatan untuk mengembangkan budaya populer Korea sebelum terkenal sebagai

Hallyu. Pemerintah selanjutnya yaitu Presiden Kim Dae Jung selama akhir

1990-an, tepatnya ketika Hallyu pertama kali disebut di Tiongkok, Presiden Kim

Dae-Jung menetapkan Undang-Undang Dasar untuk Promosi Industri Budaya

dan mengalokasikan total anggaran sebesar US $ 148,5 juta untuk proyek tersebut.

Kemudian negara melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (MCT)

mendukung program pelatihan yang menyediakan pendidikan praktis dan industri

budaya meningkatkan investasi dalam anggaran.93

Kim Dae Jung yang menyebut dirinya sebagai “Presiden Kebudayaan”

mengupayakan dukungan melalui berbagai kebijakan untuk mempertahankan

kesuksesan Hallyu dengan menggerakkan banyak pihak dari pemerintah,

organisasi, industri entertainment, dan media, hingga kelompok sosial agar

berjalan beriringan dalam menopang kesuksesan Hallyu 94 . Dalam upaya

mempromosikan Hallyu ke internasional ia membentuk sebuah badan di bawah

92
Tae Young Kim dan Dal Yong Jin, “Cultural Policy in the Korean Wave…”, 5521
93
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 28-29
94
Won Young Jin, “Hallyu: Numerous Discourses, One Prespective”, Sogang University, Asian
Journal of Journalism and Media Studies, 2015, hal 20
49

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang dinamakan “Korean Creative

Content Agency” (KOCCA) pada tahun 2001 yang diberi anggaran tahunan

sebesar $ 90 juta.95 Tujuan utama KOCCA adalah memberikan dukungan untuk

ekspor produk budaya salah satunya dengan mendukung pendidikan pembuatan

konten, pengembangan teknologi terkait budaya, membangun arsip digital budaya

tradisional, memberikan bantuan kepada industri terkait budaya.96

Pemerintah selanjutnya yaitu Presiden Roh Moon Hyun juga menunjukkan

ketertarikannya terhadap industri budaya dalam perannya sebagai media

pertukaran budaya. Ia meminta badan yang sudah ada sebelumnya, yaitu KOCCA

untuk membuka cabang baru di negara-negara Asia lainnya untuk melakukan

studi penelitian tentang Hallyu. Selain itu ia mengatur kerjasama antara

kementerian lainnya seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sains, TIK,

dan Perencanaan Masa Depan, dengan organisasi yang berafiliasi dengan

pemerintah seperti Korea Trade-Investment Promotion Agency (KOTRA), Korea

Tourism Organization (KTO), dan Korea Communications Commission ( KCC)

untuk mendukung pemerintah dalam mempromosikan Industri Hallyu. Terakhir

Roh Moon Hyun mendirikan yayasan baru yang juga masih di bawah

kementerian budaya, pariwisata dan olahraga Korea Selatan yang dinamakan

Korea Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE).97

Jika KOCCA lebih berorientasi ekspor dan berfokus pada peningkatan

infrastruktur, teknologi, dan keuangan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

95
Lee Seu Jin, “Korean Wave the Soul of Asia”, The Elon Journal of Undergraduate Research in
Communications, Vol. 2, No. 1, Spring 2011, hal 89
96
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 30
97
Won Young Jin, “Hallyu: Numerous Discourses, One Prespective”…, hal 16
50

industri budaya, KOFICE mencoba untuk memperkuat pertumbuhan industri

budaya Korea melalui pertukaran informasi dan kerja sama.98 Lebih khusus lagi,

KOFICE berupaya memfasilitasi komunikasi antara sektor publik dan swasta, dan

untuk mendorong interaksi dengan publik asing. Kegiatannya antara lain

konferensi akademik dan festival musik.99

Pembentukan Council on Nation Branding pada tahun 2009 pada masa

jabatan Lee Myung Bak merupakan indikasi jelas tentang betapa seriusnya Korea

menanggapi kebutuhan untuk membangun soft power budaya Korea Selatan.100

Selama masa jabatan Presiden Lee dalam konteks diplomasi budaya, ia

merancang sejumlah kebijakan lain untuk memperkuat kekuatan budaya. Biro

Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan diubah

menjadi Badan Diplomasi Budaya (Bureau of Cultural Diplomacy in Korean)

yang fokus pada penggunaan instrumen diplomasi budaya dalam kebijakan luar

negeri, dengan demikian pemerintah meresmikan penggunaan istilah diplomasi

budaya dalam melaksanakan kebijakannya101.

Korea secara resmi juga meluncurkan kebijakan diplomasi publiknya pada

tahun 2010 sekaligus diangkatnya Ma Yung Sam sebagai ambassador Diplomasi

Publik Korea Selatan. Kementerian hubungan luar negeri juga membentuk

organisasi non profit yang bernama Senior Public Diplomacy Group yang tugas

98
Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Cultural Industries and the State…”, hal 17
99
Felicia Istad, “ A Strategic Approach to Public Diplomacy..”, hal 15
100
Joanna Elfving Hwang, “South Korean Cultural Diplomacy and Brokering ‘K-Culture’
outside Asia”, Korean Histories, vol 4 No 1, 2013, hal 4
101
Kwang-jin Choi, The Republic of Korea’s Public Diplomacy Strategy: History and Current
Status, USC Center on Public Diplomacy, FIGUEROA PRESS, Los Angel, 2019, hal 15
51

utamanya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat di Korea Selatan akan

kebijakan publik diplomasi yang baru sah dibentuk dan dilaksanakan oleh

pemerintah.102

Penguatan budaya sebagai soft power Korea Selatan masih terus dilanjutkan

saat pemerintahan Park Geun Hye. Seperti yang disampaikan saat pidato

pengukuhannya, presiden Park mengumumkan bahwa "pengayaan budaya" akan

menjadi salah satu dari empat prioritas administratif selama masa

kepresidenannya. Sebagai salah satu tugas kebijakan utamanya, ia berjanji untuk

meningkatkan kesejahteraan budaya Korea dengan banyak kebijakan seperti

meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk budaya, hingga 2% dari anggaran

Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata dan membuat

undang-undang kerangka kerja untuk Kementerian Kebudayaan.103

102
Felicia Istad, “ A Strategic Approach to Public Diplomacy..”, hal 16
103
Tae Young Kim dan Dal Yong Jin, “Cultural Policy in the Korean Wave…”,, hal 5526
52

Gambar III.5. Presiden Park Geun-hye mendengarkan Ketua CJ Sohn


Kyung-shik menjelaskan proyek K-Culture Valley pada upacara peletakan
batu pertama di Goyang, utara Seoul pada hari Jumat 20 Mei 2016.

Sumber: Korea Joong Ang Daily News

Salah satu proyek utama Presiden Park Geun-Hye untuk promosi konten

kreatif adalah yang disebut ‘Culture and Creativity Fusion Belt’. Proyek ini

bertujuan untuk membentuk ekosistem budaya dengan peluncuran Center for

Culture and Creation Convergence yang dijalankan oleh pemerintah dan kerja

sama dengan Grup CJ. Pusat ini nantinya akan bertanggung jawab atas

perencanaan dan pengembangan konten budaya dengan disediakannya akademi

budaya dan kreativitas untuk melatih individu berbakat dan kreatif. Dan terakhir

dari ekosistem ini juga disediakan K-Culture Valley yang di dalamnya dibangun

gedung konser, pusat perbelanjaan dan taman hiburan.104

Selain itu Majelis Nasional Korea mulai mengesahkan Undang-Undang

Diplomasi Publik, yang berlaku pada Agustus 2016. Sebagai undang-undang

104
Felicia Istad, “ A Strategic Approach to Public Diplomacy..”, hal 60
53

pertama di Korea Selatan yang menangani kegiatan PD, undang-undang tersebut

menetapkan garis besar umum dan arahan yang lebih luas untuk implementasi

strategi. Hasilnya adalah undang-undang ini memberikan kewenangan hukum

kepada Kementerian Luar Negeri untuk memperkuat koordinasi dan kerja sama

setiap badan dan kementerian terkait Hallyu.105

2. Kolaborasi Pemerintah dengan Aktor Non-Pemerintah

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa diplomasi publik saat ini

tidak hanya dijalankan oleh pemerintah saja namun juga aktor non pemerintah.

Dalam kasus Hallyu ini peran agensi dan media platform sosial media di Korea

Selatan sangat berperan dalam keberhasilan Hallyu menembus pasar internasional.

Di samping aktor non-pemerintah menjadi aktor yang terlibat langsung dalam

kesuksesan Hallyu, pemerintah Korea Selatan bertindak sebagai stimulator,

regulator dan penyedia fasilitas bagi industri budaya untuk berkembang. 106

Perusahaan agensi hiburan juga berkontribusi dalam pelaksanaan kebijakan

pemerintah dengan menyebarkan wacana berdasarkan perspektif budaya bangsa.

Agensi menyediakan sumber berita kepada media dengan terus-menerus

membuat acara di luar negeri dan mengubah grup idola menjadi bintang Hallyu,

sementara jaringan TV telah memelihara hubungan baik dengan agensi hiburan

untuk mendapatkan lebih banyak sumber berita Hallyu.107 Sehingga kedua aktor

ini saling bersinergi dalam pengembangan Hallyu.

105
Kwang-jin Choi, “The Republic of Korea’s Public Diplomacy Strategy”, hal 16
106
Ferdian dkk, “South Korean Government’s Role in Public Diplomacy: A Case Study of the
Korean Wave Boom”, Andalas Journal of International Studies, Vol 8 No 1, 2019, hal 31
107
Won Young Jin, “Hallyu: Numerous Discourses, One Prespective”…, hal 19
54

Setelah Kim Dae Jung memberikan dukungan kepada industri budaya

melalui kebijakan dan alokasi dana, berbagai festival film internasional mulai

berlangsung di Korea, seperti Festival Film Internasional Busan, di mana

pendatang asing akan disuguhi film-film Korea.108 Selain itu, pemerintah Korea

juga meluncurkan proyek pertukaran budaya untuk memfasilitasi kerja sama

antara personel media Korea dan negara-negara Asia lainnya, seperti festifal ASF

(Asia Song Festival) untuk menyatukan penyanyi pop Asia melalui konser, dan

seminar pertukaran penulis acara penyiaran se-Asia Timur.109

Diberlakukannya undang-undang terkait industri budaya dan teknologi

dengan memberi intensif dalam bentuk potongan pajak dan menarik konglomerat

untuk menanam modal di industri perfilman membuat kalangan konglomeratpun

mulai berlomba-lomba dalam berinvestasi dalam produksi. Lima terbesar

diantaranya terdapat Samsung, Daewo, Hundai, LG dan SK. Dapat dikatakan

kalangan konglomerat merupakan pondasi dari bangkitnya industri perfilman di

Korea karena mereka tidak hanya berinvestasi dalam produksi namun juga

mendukung produser muda Korea yang berpotensi dari sekolah film bergengsi

seluruh dunia yang kurang mendapat kesempatan untuk berkarya110.

Selain mendanai, perusahaan privat dari kalangan konglomerat yang disebut

juga “Chaebol” mulai melakukan aliansi dengan produser film sekitar tahun

2000an untuk memproduksi film. Contohnya pada 2006, Cinema Service, CJ

Entertainment, Showbox Inc., dan Lotte Cinema membentuk oligopoli industri

108
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy…”, hal 173
109
Ibid hal 176
110
Doobo Shim, “The Growth of Korean Cultural Industries…”, hal 18
55

sinema Korea mulai dari produksi dan investasi hingga distribusi dan

penayangan. 111 Salah satu Hasil dari aliansi produksi film Korea adalah

kesuksesan film berjudul Blockbuster di bioskop domestik maupun luar negeri.

Secara khusus, film ini menghasilkan14 juta Dolar Amerika di box office Jepang

dari 1,2 juta penonton teater dan menduduki puncak box office Hong Kong,

pencapaian luar negeri yang langka untuk film Korea pada waktu itu.

Sejak itu, banyak film Korea telah dirilis di bioskop asing dan memenangkan

berbagai penghargaan di festival film bergengsi seperti Cannes, Berlin dan

Venesia. Pada tahun 2004 total 193 film Korea diekspor ke 62 negara dengan

penghasilan sekitar US $ 58 juta kontras dengan pendapatan sebelumnya di tahun

1995 yang hanya menghasilkan US $208.679.112

Pemerintah Korea telah mengadopsi berbagai strategi dengan K-pop dan

K-drama sebagai inti dari diplomasi budaya publik dan upaya branding nasional.

Selain dengan kebijakan yang dibentuk pemerintah yang tidak langsung

mendukung pertumbuhan Hallyu, bentuk dukungan langsung pemerintah yang

paling terlihat jelas adalah kegiatan mensponsori berbagai konser K-pop,

pertunjukan bakat K-pop, dan festival makanan Korea di seluruh dunia melalui

pusat budaya Korea dan kedutaan Korea.

Di antara banyak festival budaya Korea di luar negeri adalah festival ''

Fashion and Passion '' di Brasil, festival K-pop di Meksiko, ''Korea-Iran One

Heart Festival'' di Iran, dan ''KCON Paris'' di Perancis. Penyiar publik bersponsor

di dalam negeri yang disponsori negara, Sistem Penyiaran Korea, mengadakan

111
Doobo Shim, “The Growth of Korean Cultural Industries …, hal 21
112
Doobo Shim, “The Growth of Korean Cultural Industries …, hal 21
56

''Kpop World Festival'' setiap tahun. Festival ini menampilkan kompetisi di atas

panggung di antara masyarakat non-Korea terpilih sambil menyanyi dan menari

beberapa K-pop favorit mereka dalam bahasa Korea. Dalam salah satu acara

festival penghargaan musik besar yang diselenggarakan oleh CJ&EM yaitu Mnet

Asian Music Awards (MAMA) pada tahun 2014 di Hongkong, Presiden Park

Geun Hye memberikan video pesan sebagai dukungan atas gelombang Hallyu

yang telah dimulai sejak 1997.113

Pemerintah provinsi Korea juga menawarkan dukungan mereka dengan

mengadakan beberapa acara bertema Gelombang Korea, termasuk acara tahunan

'' Hallyu Dream Festival '' di mana turis asing akan ditawarkan tur kelompok

jarak jauh ke kota tuan rumah untuk berpartisipasi dalam acara besar-besaran

seperti Konser K-pop dan pameran makanan Korea di area tersebut.114

B. Budaya Populer Korea Sebagai Instrumen Soft Power

Menurut Nye, budaya populer adalah salah satu sumber utama untuk menciptakan

daya tarik yang mengarah pada kemampuan pengaruh kekuatan kooperatif untuk

membentuk apa yang diinginkan orang lain yang merupakan paradigma utama

kerangka kerja soft power.115 Budaya populer berpotensi berfungsi sebagai alat untuk

menyampaikan nilai-nilai inti dan ideologi negara, sekaligus sebagai jendela terdepan

untuk mempromosikan budaya menariknya ke luar negeri. Dengan demikian, budaya

113
Tae Young Kim dan Dal Yong Jin, “Cultural Policy in the Korean Wave…”, hal 5514
114
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers…”, hal 4
115
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 21
57

populer merupakan alat soft power yang berpotensi dapat digunakan untuk berbagai

keperluan.116

Berdasarkan poin daya tarik dari konsep instrument soft power, Hallyu sebagai

produk industri budaya populer dapat memenuhi syarat sebagai alat soft power. Hal

tersebut dapat terlihat dari kepopuleran Hallyu yang mengglobal karena daya tarik

yang ditawarkan oleh produk Hallyu. Beberapa tulisan mengkritisi bahwa kesuksesan

Kpop didorong oleh faktor hibridasi dan kurangnya elemen budaya Korea itu sendiri

dalam konten Kpop, sehingga keaslian Kpop sebagai produk budaya Korea diragukan.

Namun pernyataan ini dibantah Oh, karena pendapat ini menghilangkan keunggulan

budaya original Korea selain itu juga kurang menjelaskan mengapa negara lain seperti

China dan Vietnam juga menerapkan hal yang sama dalam perindustrian musik

namun tidak menyamai kepopuleran Kpop.117

Lee mendukung bantahan Oh dengan pendapat bahwa walaupun Korea

melakukan hibridasi dalam produksi musiknya yaitu dengan mengemulasi produk

budaya barat dan sistem produksi Jepang, produser K-pop telah menciptakan genre

musik yang berhasil melintasi batas-batas nasional dan secara unik dikaitkan dengan

identitas budaya Korea Selatan. Dengan menciptakan produk baru dari hybridasi

tersebut, industri musik populer Korea telah mampu berkembang dan menjadi salah

116
Galia Press-Barnathan, “Does popular culture matter to International Relations scholars?”
dalam buku Otmazgin and Eyal, Popular Culture and the State in East and Southeast Asia,
Routledge, New York, 2012, hal 31
117
Johan William Jolin, “Tesis: The South Korean Music Industry…,” hal 6
58

satu gerakan musik paling berpengaruh di panggung internasional dan dapat dengan

sustainable mampu bersaing dengan produk budaya lain di pasar internasional118.

Pendiri SM Lee SooMan menggambarkan dua faktor terpenting untuk sukses,

salah satunya adalah keunikan dan kedua adalah universalitas. ” Industri hiburan

Korea menjadikan musik pop Korea menarik bagi banyak orang di seluruh dunia,

khususnya di Asia. Isinya cukup unik untuk menjadi populer di negara-negara Asia,

namun cukup universal untuk tidak mengecewakan masyarakat Asia yang lebih

konservatif119.

Gambar III.6. Presentasi faktor popularitas berdasarkan survey KOFICE


2018

Sumber: KOFICE White Paper 2018

118
Oh, Ingyu dan Hyo-Jung Lee, "Mass Media Technologies and Popular Music Genres: Kpop
and YouTube." Korea Journal, Vol 53 No 4, 2013, hal 47
119
Brian Truong, The Korean Wave: Cultural Export …”, hal 18
59

Pada survei KOFICE 2016 dan 2017, responden diminta untuk memilih dua

faktor popularitas K-pop yang paling penting. Penonton K-pop mengaitkan

popularitas K-pop dengan berbagai karakteristik: penampilan dan gaya idol yang

menarik (14,8%), bagian refrain dengan melodi dan ritme yang menarik (14,7%),

penampilan idol yang luar biasa (12,5%), tren mode dan kecantikan Korea terbaru

(11,9%), pengucapan lirik yang unik (11,6%).120

Dalam konten drama Korea, pesatnya penyebaran drama dalam ranah global

selain karena kemajuan teknologi seperti internet dan sosial media, juga didorong oleh

nilai-nilai pada drama Korea yang dapat diterima baik oleh negar-negara yang bahkan

bukan berasal dari Asia. Diantara masyarakat Asia, Drama Korea diterima dengan

baik karena memiliki kesamaan atau kedekatan budaya dan nilai sosial pada umunya

seperti hormat pada orang yang lebih tua dan kisah kehidupan sehari-hari yang

relevan dengan kehidupan penonton masyarakat Asia.121

Hyejung menjelaskan efektifitas drama Korea dalam menggambarkan budaya

orang Asia dan Asia yang mampu meningkatkan ketertarikan bagi para penontonnya

dari luar Asia. K-drama mungkin tidak secara langsung membawa rasa kedekatan

terhadap budaya Asia tetapi daya tariknya mampu memunculkan perasaan senang

dapat merasakan budaya Asia sehingga Drama Korea dan budaya pop lainnya masih

dapat diterima oleh penonton luar Asia.122

120
Sujong Kim,”Universality and particularity of K-pop as a glocal culture” dalam laporan
Hallyu White Paper, KOFICE, 2018, hal 95
121
Gunjoo Jang, Won K. Paik, Korean Wave as Tool…”,hal 198
122
Hyejung Ju, “The Korean Wave and Korean Dramas”…,hal 5
60

Dalam artikel “ Hallu Now” yang dirilis KOFICE juga menyebutkan bahwa

produk Hallyu bukan hanya sekedar produk ekspor, tetapi memang fenomena yang

diterima oleh publik dengan baik karena kualitasnya. Hal ini karena pada awal

kepopuleran program drama korea atau musik Kpop murni karena kemajuan internet

tanpa intervensi langsung dari pihak media ataupun pemerintah dalam

mempromosikan drama Korea maupun musik Korea, tetapi sudah berhasil memikat

perhatian publik hingga memunculkan fandom (komunitas penggemar) yang dengan

sukarela akan membuat subtitle inggris, membuat konten video reaction, parodi atau

cover dance dari kpop band.123

Ekspor budaya populer Korea ini awalnya tidak didorong oleh dorongan

pemerintah untuk mempromosikan citra Korea tertentu, namun berkat dukungan

pemerintah atas perkembangan industri kreatif, Hallyu berhasil menjadi produk

kompeten. Seiring dengan popularitas produk Hallyu tumbuh di Asia dan di kawasan

lain selain Asia (walaupun dengan angka yang lebih rendah seperti di Eropa dan AS),

lembaga budaya pemerintah mulai melihat adanya potensi soft power dalam Hallyu

sebagai cara pemerintah Korea untuk terlibat dengan masyarakat luar negeri

khususnya pemuda. Upaya untuk meningkatkan citra Korea pun selalu berenovasi

selaras dengan budaya kalangan muda global. Sejak tahun 2000an pemerintah Korea

juga semakin serius dalam menggunakan budaya sebagai diplomasi publik melalui

kebijakan yang terus ditingkatkan.124

C. Hallyu Sebagai Diplomasi Publik Korea Selatan

Hong Seok-kyung, “The problems of culture industry of Korea brought about by ”Hallyu”
123

commercialism”, dalam Majalah Kofice,”Hallyu now” vol 21, 2017, hal 16


124
Joanna Elfving Hwang, “South Korean Cultural Diplomacy and Brokering ‘K-Culture’
outside Asia”, Korean Histories, vol 4 No 1, 2013 hal 2
61

Diplomasi publik melukiskan gambaran bangsa yang mempromosikan identitas,

budaya, nilai dan cita-cita suatu bangsa kepada aktor negara lain di internasional.

Tujuan utamanya adalah untuk memproyeksikan citra bangsa yang menguntungkan

yang dapat diekspor ke negara-negara asing dan masyarakat mereka. Selain itu, citra

positif membantu negara memperoleh investasi asing dalam kualitas dan kuantitas

dengan memperluas jaringan bisnis globalnya, sehingga keuntungan ekonomi dari

menarik wisatawan meningkatkan pendapatan tahunan berbasis wisatawan.125

Nation branding dan diplomasi publik seringkali merupakan sesuatu yang

berbeda namun saling terkait. Menurut Lucian Jora sesuatu yang membedakan

keduanya terletak pada motivasi komersil. Nation branding memproyeksi image

negara untuk tujuan praktis yang berujung mendorong pertumbuhan ekonomi negara

dari sektor lain.126 Contohnya adalah efek dari pemasaran global Hallyu membuat

penggemarnya mulai menyukai produk Korea lainnya selain Kdrama dan Kpop

seperti make-up produk Korea, makanan Korea, hingga fashion Korea127

125
Hellena Lee,Tesis: soft power indications and public diplomacy: the example of tallinn king
sejong institute, Tallin U niversity of Technology, 2018, hal 9
126
Lucian Jora, “New Practices and Trends in Cultural Dilomacy”, Politic. Science and
International Relation. X, 1, p. 43–52, Bucharest, 2013, hal 45

Jonathan dan Sungwoo Park, “Republic of Korea: K-culture and the Next Wave of Economic
127

Growth”, International Journal of Cultural and Creative Industries, Volume 5, Issue 1, November
2017, hal 73
62

Gambar III.7. nilai ekspor konten budaya Korea (samping kiri)dan ekspor
produk konsumsi karena Hallyu (Samping Kanan)

Sumber : KOFICE, Global Hallyu Trends 2020

Dalam laporan KOFICE 2020 dampak Hallyu terhadap ekspor dapat dibedakan

menjadi dampak langsung produk konten budaya (seperti Drama, Film, Musik, Anime,

Games, Acara penyiaran, Komik) dan dampak tidak langsung barang konsumsi

(Makanan, kosmetik, fashion, aksesoris, alat elektronik, pariwisata). Nilai ekspor

konten budaya Hallyu diperoleh dengan mengalihkan pendapatan ekspor ekspor

konten budaya dengan koefisien dampak Hallyu.

Indikator dampak langsung Hallyu ini telah meningkat lebih dari dua kali lipat

dari tahun 2016 hingga 2019. Pendapatan ekspor konten budaya karena Hallyu, yang

berjumlah sekitar $ 3,1 miliar pada tahun 2016, tumbuh menjadi sekitar $ 4,7 miliar

pada tahun 2017 dan sekitar $ 5,4 miliar pada tahun 2018. Dalam Tahun 2019, dari
63

total nilai ekspor konten budaya sekitar $ 10,306 miliar, sekitar $ 6,384 miliar berasal

dari ekspor konten budaya Hallyu.128

Ekspor barang konsumsi dan pariwisata karena Hallyu menunjukkan sedikit

peningkatan dibandingkan dengan ekspor konten budaya, meskipun beberapa

perubahan dan fluktuasi dapat diamati antara tahun 2016 hingga 2019. Ekspor barang

konsumsi dan pariwisata akibat Hallyu meningkat dari sekitar $ 4,4 miliar pada tahun

2016 menjadi sekitar $ 5,1 miliar pada tahun 2017, tetapi turun menjadi $ 4,7 miliar

pada tahun 2018. Selain itu, total ekspor barang konsumsi dan pariwisata, yang

menunjukkan penurunan pada tahun 2018, meningkat tajam pada tahun 2019. Pada

tahun 2019, ekspor barang konsumsi dan pariwisata akibat Hallyu mencapai $ 5,935

miliar, naik 26,1% dari 2018.129

Tujuan nation branding dalam bidang ekonomi sejalan dengan tujuan diplomasi

publik dalam menciptakan bilateral dengan negara lain. Hubungan keduanya terdapat

pada efek ekonomi dari nation branding melalui ekspor impor budaya populer dapat

mendorong hubungan bilateral dengan sesama aktor negara maupun non-aktor negara.

Hal ini juga merupakan perluasan nyata dari apa yang digambarkan Joseph Nye

sebagai Soft Power negara. Seperti yang dinyatakan Felicia dalam pendekatan

terhadap diplomasi publik Korea melalui Hallyu, meskipun tidak ada metode ilmiah

yang tersedia untuk mengukur soft power, namun indikator ekonomi dapat

memberikan pertimbangan penting yang perlu diperhatikan130.

128
KOFICE, “Global Hallyu Trends: Diagnosing the present and future of Hallyu across the
world”,2020, hal 30-
129
KOFICE, “Global Hallyu Trends: Diagnosing the present and future of Hallyu across the
world”,2020, hal 31
130
Felicia Istad, “ A Strategic Approach to Public Diplomacy..”, hal 13
64

“...Its success is manifested in various aspects of the Korean economy, including

tourism, immigration and exports. Although there is no scientific method

available to measure soft power, it is argued that economic indicators and

perception surveys can provide valuable insights”

Mellisen juga menemukan titik temu antara nation branding dengan diplomasi

publik. Fokus nation branding dalam memproyeksikan identitas suatu bangsa ke

identitas yang diinginkan dan memasarkannya ke dunia internasional sesuai dengan

peran dan fungsi diplomasi publik untuk membentuk opini publik terhadap negara

tersebut.131 Korea yang terletak di antara kekuatan besar Cina dan Jepang, Korea

Selatan harus mempertimbangkan posisinya dalam masyarakat internasional untuk

mengkalkulasi hubungannya dengan negara tetangganya dan keuntungan yang

diperolehnya melalui hubungan ini. Nation Branding juga dapat menjadi faktor yang

sangat besar dalam menciptakan kembali citra negara yang sebelumnya negatif dan

tidak menguntungkan karena sejarah. 132 Oleh karena itu, peran nation branding

memiliki hubungan dengan peran diplomasi publik yang berfokus pada perbaikan

citra suatu negara untuk mendukung kebijakan luar negeri sebuah negara.

Diplomasi publik yang diupayakan Korea selain untuk melepas image negara

miskin pasca sejarah perang semenanjung Korea, adalah juga untuk melepaskan diri

dari bayang-bayang negara powerful yang menjepitnya. 133 Dalam laporan EAI

National Security Panel, salah satu dari 10 agenda utama kebijakan luar negeri Korea

Selatan adalah menetapkan strategi diplomatik jangka panjang dan komprehensif di

Jan Mellisen, “The new public diplomacy: Soft Power in International Relation”, Palgrave,
131

Macmilan,2005 hal 20
132
Hellena Lee,Tesis: soft power indications and public diplomacy:…”, hal 9
133
David Alexandre Hjalmarsson, “South Korea’s Public Diplomacy:…”, hal 284
65

tingkat lokal (Semenanjung Korea), regional (Asia Timur) dan global. Dalam tingkat

lokal, pemerintah Korea Selatan menunjukkan dukungannya terhadap budaya populer

Korea dengan memberikan penghargaan kepada aktor atau aktris yang terlibat dalam

industri budaya ini sebagai duta untuk berbagai kegiatan. Upaya ini dianggap sebagai

dukungan promosi pemerintah terhadap produk budaya mereka. Misalnya, Wonder

Girls dinobatkan sebagai Duta Makanan Korea, Kim Hyun Joong sebagai Duta Besar

PBB untuk Program Kesejahteraan Sosial dan Hyun Bin sebagai Duta Besar

Pertahanan Korea.134

Dalam lingkup regional dan internasional hubungannya dengan China merupakan

hal sangat penting bagi Korea untuk mencegah hubungan AS dan China memburuk

terutama karena ketidakpercayaan strategis yang mendalam yang dipicu oleh konflik

yang melibatkan "kepentingan inti" satu sama lain. Hubungan Korea Selatan-Jepang

juga tidak kalah penting mengingat kemitraan tidak langsung Korea Selatan-Jepang

berdasarkan aliansi dengan AS, Korea merasa harus mencegah terhambatnya kerja

sama bilateral dengan Jepang oleh isu sejarah dan teritorial di bidang politik.

Pemerintah Korea perlu menciptakan keadaan hubungan yang lebih berkelanjutan

lebih dari hubungan antar pemerintah.135

Menurut Pasal 2 undang-undang diplomasi publik, pemerintah Korea

mendefinisikan diplomasi publik sebagai: 'Kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh

negara secara langsung atau tidak langsung melalui kerja sama dengan pemerintah

daerah atau sektor swasta untuk meningkatkan pemahaman dan kepercayaan publik

134
Ferdian dkk, “South Korean Government’s Role in Public Diplomacy: hal 7
135
EAI National Security Panel (NSP) Report, Toward 2020: Ten Agendas for South Korea’s
Foreign Policy, 2012 , hal 2
66

asing dengan menggunakan budaya, pengetahuan dan kebijakan.136 Dalam hal ini

produk pop culture Korea Selatan berupa drama Korea, musik K-pop, dan film telah

membangkitkan minat publik di berbagai negara terhadap Korea yang tidak berhenti

pada minat terhadap konsumsi industri pop culture saja, tetapi juga memfasilitasi

pertukaran budaya dengan mengembangkan minat publik pada bahasa dan budaya

Korea dan mengembangkan basis penggemar Korea di luar negeri.137

Brian Peterson, sekretaris kedua dari Departemen Luar Negeri AS yang bertugas

di Kementerian Luar Negeri Korea Selatan pada 2011 mengatakan dalam sebuah

wawancara dengan Kantor Berita Yonhap pada 4 September 2016.

"If you can use the music, or the movie, or whatever to get their attention,
then they may develop more interest in other things about Korea. And then
they will be more likely to listen to things about Korea's policy, Korea's
goals and other things Korea does in the world,"138.
“Jika Anda dapat menggunakan musik, atau film, atau apa pun untuk
menarik perhatian mereka, mereka mungkin kemudian akan lebih tertarik
pada hal-hal lain tentang Korea. Dan kemudian mereka akan lebih
cenderung mendengarkan hal-hal tentang kebijakan Korea, tujuan Korea,
dan hal-hal lain yang dilakukan Korea di dunia”
Seperti yang dijelaskan Jung dalam penelitiannya terkait bagaimana potensi

budaya populer Korea menjadi alat diplomasi publik. Hasil penelitiannya

membuktikan bahwa semakin banyak orang terpapar berita dengan atribut positif

pada penerimaan yang baik dari produk budaya populer mereka terhadap khalayak

136
Junghyun Cho,Non-State Actor Participation in Korean Public Diplomacy: Case Study of
Karandashi Project”, dalam buku Kadir Ayhan (Ed.), Korea's Public Diplomacy, Seoul, Korea:
Hangang Network, 2016 hal 125
137
Yun Young Cho, “Public Diplomacy and South Korea’s Strategies”…, hal 292
138
Yonhap, “Korean Wave the Best Tool for Public Diplomacy with US: Diplomat”, The Korea
Herald, 4 September 2016, http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20160904000106 diakses
pada 13 Oktober 2020
67

asing, semakin besar kemungkinan mereka untuk mengubah persepsi mereka secara

positif terhadap khalayak asing139

Memang sulit menentukan efektifitas dari soft power karena tujuan dari soft

power cenderung lebih sulit diukur dari hard power yang mana tujuan yang ingin

didapatkan spesifik pada satu objek. Soft Power lebih cocok digunakan untuk

menciptakan lingkungan yang diinginkan yang kondusif untuk tujuan akhir,

daripada untuk "tujuan kepemilikan" tertentu seperti mempertahankan atau

meningkatkan aset berwujud yang tetap merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Oleh

karena itu Nye lebih melihat soft power pada kemampuan suatu negara

menyampaikan pesan dan nilai yang ingin disampaikan kepada dunia

internasional.140

139
Hyeri Jung, Agenda-setting in the realm of popular culture: The case of the Korean Wave in
East Asia, Global Media and Communication, Eastern University, 2019 , hal 12
140
Joumane Chahine, tesis: public diplomacy: a conceptual framework,McGill University, 2010,
hal 53
BAB IV:

Analisis Industri Pop Culture Korea Selatan di Jepang sebagai Instrumen


Diplomasi Publik Korea Selatan 2012-2019

A. Dinamika Industri Budaya Populer Korea Selatan di Jepang

Dinamika industri budaya populer Korea Selatan atau yang sering disebut Hallyu

di setiap negara dimana Hallyu berkembang berbeda-beda dipengaruhi oleh beberapa

faktor: pertama struktur politik negara tujuan, media domestik negara tujuan, dan

hubungan sejarah antara negara tersebut dengan Korea dan opini publik141. Dalam

kasus Hallyu di Jepang ini, dinamika Hallyu lebih dipengaruhi oleh sejarah kedua

negara sebelum Perang Dunia 2 saat Korea di bawah kolonialisasi Jepang.

Kontak sosial budaya Korea Jepang sebenarnya telah terjadi lama sebelum

perjanjian Joint Declaration New 21st Century yaitu saat dilaksanakannya Olimpiade

Seoul 1988, namun arus timbal balik budaya populer baru terjadi setelah perjanjian

tersebut. Itu pun, budaya populer Korea di Jepang tidak langsung populer seperti

negara Asia Timur lainnya seperti di China dan Vietnam. Drama Korea baru populer

di Jepang setelah kedua negara berkolaborasi menjadi tuan rumah untuk ajang Piala

Dunia FIFA 2002.142

Film Korea terlebih dahulu berhasil populer di Jepang dengan film Shiri dan

Sassy Girl di tahun 2000 namun kepopulerannya tidak setinggi Winter Sonata. Winter

Sonata pertama kali disiarkan pada pukul 10 malam setiap Kamis dari April 2003 oleh

NHK (Nippon Hoso Kyokai). Tingkat penonton rata-rata saat itu masih sekitar 1,1%.

141
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China and
Japan”, dalam “Korea’s Public Diplomacy”, Hangang Network, Seoul, 2016, hal 167

Yoshitaka Mori, “Winter Sonata and Cultural Practicesof Active Fans in Japan:Considering
142

Middle-Aged Women as Cultural Agents”, dalam “East Asian Pop Culture: Analysing Korean
Wave”, Hongkong University Press, 2008, hal129

68
69

Namun, popularitasnya meningkat menjadi 20% secara bertahap dari mulut ke mulut

dan pada akhirnya, NHK menerima banyak pertanyaan tentang penyiaran ulang.

Menyusul permintaan populer yang dikirim ke stasiun, NHK memutuskan untuk

menayangkan drama itu lagi selama minggu Tahun Baru 2004.143

Winter Sonata menjadi mega hit di Jepang hingga memunculkan fenomena di

kalangan wanita paruh baya yang disebut juga Yonsama Phenomenon, dimana kaum

wanita terutama dengan rentang umur 30-60 tahun dan kebanyakan merupakan ibu

rumah tangga mengagumi aktor utama dari drama tersebut yaitu Yonsama yang

diperankan oleh Bae Young Jun. Fenomena ini disorot media pertama kali saat

kerumunan 5000 wanita paruh baya Jepang menunggu kedatangan Bae Yong Jun di

Bandara Internasional Tokyo dan menjadi highlight di hampir semua surat kabar

ataupun media pada umumnya saat fans Bae Yong Jun mengadakan acara ulang tahun

Bae Yong Jun di restoran BBQ yang berbeda-beda.144

Fenomena Yonsama ini memberi peluang bagi konten budaya populer Korea

lainnya untuk masuk ke pasar Jepang. Seperti musik Korea yang berhasil memasuki

chart musik Oricon di Jepang pertama kali oleh penyanyi Boa. Setelah itu daya tarik

masyarakat Jepang terhadap grup Korea lainnya mulai meluas di kalangan generasi

muda145. Kara dan Orange Caramel mendapat kepopuleran semakin besar setelah

merilis album Jepang dengan berhasil menduduki urutan ke-5 chart harian di Oricon.

SNSD berhasil mengadakan konser tour pertama di Jepang dengan penonton

143
Yoshitaka Mori, “Winter Sonata and Cultural Practicesof Active Fans in Japan…”, hal 130
144
Yoshitaka Mori, “Winter Sonata and Cultural Practicesof Active Fans in Japan…”, hal 131

Nick Desiden, “Bubble Pop: An Analysis of Asian Pop Culture and Soft Power Potential”,
145

Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 18 2013, hal 54


70

sebanyak 140.000 setelah album Jepangnya laku terjual sebanyak 500.000 copies di

pasar jepang.146

Mulai tahun 2011 NHK mengundang tiga grup idola Korea - Girls 'Generation,

KARA, dan TVXQ - untuk tampil di acara tahunan besar di jepang yang biasanya

mendapat rating rata-rata lebih tinggi dari 40% yaitu Kōhaku Uta Gassen, yang

dijuluki sebagai "Festival Lagu Akhir Tahun,". Sejak itu grup Kpop lainnya seperti

Bigbang, Shinee, 2PM, Wonder Girl, Super Junior dan lain lain juga terbiasa muncul

di media televisi Jepang dalam program siaran acara musik di Jepang147. Tidak hanya

melalui televisi, penggemar Jepang juga menikmati musik Kpop dari platform media

Youtube. Menurut laporan KOCIS Jepang juga menjadi negara dengan penonton

terbanyak di Youtube yang mengkonsumsi music video Kpop.148

Kepopuleran budaya populer ini harus mengalami hambatan pada tahun 2012 saat

hubungan politik kedua negara mengalami sengketa sejarah kembali. Normalisasi

sudah berjalan lama, pertukaran bilateral di Korea dan Jepang juga telah berkembang

sejak pergantian milenium, namun masalah sejarah masih tetap menjadi sesuatu yang

sensitif yang berpotensi memengaruhi hubungan bilateral secara dramatis, begitu juga

dengan dinamika budaya populer Korea Selatan yang sebelumnya sempat

berkembang pesat di Jepang. Konflik seputar buku teks sejarah sayap kanan Jepang

146
KOCIS, “The Korean Wave A New Pop Culture Phenomenon”, Contemporary Korea No 1,
2011, hal 41
147
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”,
hal 67
148
KOCIS, “The Korean Wave A New Pop Culture Phenomenon”, Contemporary Korea No 1,
2011, hal 40
71

termasuk wanita penghibur dan sengketa teritorial adalah beberapa di antaranya.149

Selain itu, status Korea yang termasuk ke dalam negara berkembang dibanding negara

tetangganya di kawasan Asia Timur, dalam bidang ekonomi dan militer membuat

Hallyu rawan terhadap fluktuasi di kawasan Asia Timur.150

Di tengah kepopuleran drama Korea di Jepang, Hallyu mendapati tantangan

dengan adanya gerakan kelompok anti Hallyu yang mulai muncul pada tahun 2005.

Kelompok anti-Hallyu ini berhasil menerbitkan komik Manga yang berjudul

Kenkaryu berisi konten tidak hanya kebencian tentang popularitas budaya korea itu

sendiri namun juga kebencian akan masyarakat Korea yang tidak lepas dari sentimen

sejarah masa lalu.151 Masa lalu Jepang yang juga pernah memimpin Asia Timur

dalam budaya populer juga membuat sentimen di Jepang terhadap Korea semakin

membesar.152

Anti Hallyu muncul pada tahun 2005 yang dalam bahasa Jepang dinamakan

KenKaryu. Pengertian dari anti-Hallyu adalah kebencian atau ketidaksukaan yang

diarahkan pada budaya populer Korea Selatan, baik itu musik, film, aktor, atau

penyanyi. Konsep ini juga terkait erat dengan sentimen anti-Korea (혐한"hyeom han")

yang lebih luas melibatkan kebencian terhadap rakyat dan / atau negara. Sebagian

besar gerakan dari anti-Korea ini adalah serangan balik sebagai tanggapan atas

149
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”,
hal 46
150
Oh Seungyun, Tesis: Shifting Soft Power Dynamics in Anti-Hallyu of China and Japan, Seoul
National University, 2017, hal 36
151
Ugnė Mikalajūnaitė, Thesis “anti-korean wave and far-right wing nationalism in japan”,
Leiden University, 2015, hal 8
152
Jonghoe Yang, “The Korean Wave (Hallyu) in East Asia: …”, hal117
72

perselisihan politik dan sejarah antar negara. Kebangkitan sentimen anti-Hallyu di

Jepang juga tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kemunculan kembali organisasi

sayap kanan ekstrim di awal tahun 2000-an, yang mendasarkan agenda mereka tidak

hanya pada protes berbagai pemerintahan kebijakan dan perselisihan yang berkaitan

dengan negara asing, tetapi lebih khusus lagi tentang kebencian terhadap orang

Korea.153

Dalam tesis yang ditulis Ugne, gerakan anti -Hallyu di Jepang termasuk yang

terbesar pengaruhnya karena mendapat dukungan dari kelompok anti-Korea dan

golongan nasionalis sayap kanan Jepang hingga berhasil mencetak manga Kenkaryu

yang laris terjual di Jepang. Komik tersebut lebih menceritakan pada masalah sejarah

dan hubungan kedua negara seperti Piala Dunia 2002 yang dipandu oleh Korea

Selatan dan Jepang, perselisihan kepulauan Dokdo / Takeshima, wanita penghibur,

dan drama Korea populer "Winter Sonata" hanya ditulis sebanyak 13 lembar dari

jumlah total 90 lembar. Gerakan ini juga mampu menggerakan ribuan massa untuk

turun ke jalan, contohnya adalah demonstran anti hallyu di depan Fuji yang

memprotes penayangan drama korea terlalu sering, protes ini terjadi hingga dua kali

dalam Bulan Agustus tahun 2009.154 Disusul pada tahun 2011 terbit buku berjudul

“Chase of Fabricated Korean Boom” yang berisikan sisi negatif dari dunia industri

Kpop155. Ketegangan ini juga diperparah dengan sengketa wilayah Pulau Dokdo

setelah Presiden Lee mengunjungi Pulau Dokdo di tahun 2012.156

153
Ugne Mikalajunaite, Thesis: “Anti-Korean Wave and Far-Right Wing Nationalism in Jpan”,
Leiden University, 2015, hal 10
154
Ugne Mikalajunaite, Thesis: “Anti-Korean Wave and…”, hal 9
155
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 39
156
Oh Seungyun, Tesis: Shifting Soft Power Dynamics …” , hal 62
73

Awalnya gerakan ini belum memengaruhi pihak media Jepang untuk tetap

menampilkan konten budaya populer Korea, namun setelah ketegangan politik kedua

negara meningkat, pada tahun 2014 kabel televisi Jepang Asahi, NHK, dan TBS

mengumumkan akan memberhentikan penayangan drama Korea. 157 Selain drama

Korea, televisi Jepang juga berusaha mengurangi penyiaran acara Kpop. Sejak akhir

2012 hingga 2015 awal Jepang berhenti mengundang artis Kpop ke acara musik di

Jepang lagi khususnya acara music prime time di saluran Asahi yang merupakan

satu-satunya acara musik yang menampilkan lagu hit terbaru di .158 Festival musik

terbesar di Jepang FNS juga berhenti mengundang artis Kpop untuk tampil di acara

tersebut. Boikot penyanyi Korea tersebut datang dari tuntutan politisi Jepang atas isu

seputar Dokdo. Banyak perusahaan dan pejabat penyiaran sangat berhati-hati dengan

masalah sensitif ini.159

B. Kontribusi Peran Industri Pop Culture Korea Selatan dalam Diplomasi

Publik Korea di Jepang 2012-2019

Korea Selatan sebelumnya belum pernah menjadi negara hegemoni dari segi

ekonomi maupun militer. Begitu juga dalam ekspor produk budaya populer, Korea

Selatan masih belum sepesat Jepang dan China yang terlebih dahulu menguasai pasar

budaya populer. Oleh karena itu saat popularitas Hallyu berhasil mencapai

mancanegara di awal abad 21 Korea Selatan mendapat banyak perhatian internasional

157
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barrier…”, hal 6
158
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”,
hal 61
159
Japan’s 2012 FNS Song Festival exclude Kpop singer from list, diakses dari
https://kpopconcerts.com/k-pop-news/japan%e2%80%b2s-%e2%80%b22012-fns-song-festival%
e2%80%b2-excludes-k-pop-singers-from-the-lineup/ pada 11/12/2020 pukul 21.25 WIB
74

dan media.160 Keadaan ini dimanfaatkan pemerintah Korea Selatan sebagai strategi

Korea Selatan untuk menjadi salah satu instrumen diplomasi publik Korea yang

sebelumnya masih asing dipraktikan oleh Korea Selatan dan tidak terlalu

diperhatikan.161

Nilai ekonomi Hallyu juga tidak dapat disangkal, dari laporan MCST menyatakan

bahwa ekspor produk TV Korea meningkat dari 12,7 juta US Dollar pada tahun 1999

menjadi 102 juta US Dollar di tahun 2005 dengan Drama Korea menempati proporsi

terbesar penghasilan ekspor TV broadcasting162. Dari banyak negara tujuan ekspor

budaya populer Korea Selatan Jepang menjadi pengimpor industri budaya Korea

terbesar sejak 2003, tercatat dari keseluruhan presentasi ekspor budaya Korea, 70%

adalah ekspor dari Korea ke Jepang.163 Kepopuleran drama Korea di Jepang ini juga

menguntungkan pihak media Jepang yang telah meraup keuntungan lebih dari 100

juta yen dari penyiaran drama tersebut.164

Industri pop culture ini tidak hanya menguntungkan perekonomian Korea saja

namun juga sebagai kesempatan pertukaran budaya dalam meningkatkan kerja sama

dengan Jepang berdasarkan kesamaan paham nilai dan budaya yang diharapkan dapat

memperbaiki hubungan kedua negara walaupun dengan ingatan sejarah yang kurang

160
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy…”, hal 171
161
David Alexandre Hjalmarsson, “South Korea’s Public Diplomacy: A cultural approach”,
Sodertorn University, 2013, hal 28
162
Beng-Huat Chua, “Delusional desire: soft power and television drama” dalam “East Asian
Pop Culture: Analysing Korean Wave”, Hongkong University Press, 2008,hal 69
163
Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass : Gender,Consumerism,
Transnationalism, Tourism Reflecting JapanKorea Relations in Global East Asia”, The
Asia-Pacific Journal : Japan Focus, Volume 14, Issue 7, No 7, Apr 01, 2016, hal 3
164
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”,
hal 39
75

baik, hal ini sesuai dengan apa yang diharapkan Kim Dae Jung saat penerimaan maaf

Jepang dalam deklarasi 1998.165

Beberapa peneliti sebelumnya telah menunjukkan pengaruh Hallyu terhadap

hubungan Korea dengan beberapa negara asing yang diantaranya adalah mendorong

banyak penggemar nya untuk meniru style bintang K-pop, bepergian ke Korea dan

belajar bahasa Korea. Selain itu artis Hallyu juga mulai banyak diikutsertakan dalam

misi diplomatik salah satu contohnya adalah kedatangan penyanyi Korea Boa untuk

tampil di KTT APEC pada 2005. Aktor Korea Choi Ji-Woo juga bertemu dengan

Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi pada 2005 menandai "Tahun

Persahabatan Korea-Jepang".166

Fakta-fakta tersebut menumbuhkan harapan baru akan hubungan diplomasi yang

lebih baik. Seperti yang dipaparkan dalam beberapa penelitian tentang Hallyu di

Jepang, menyatakan bahwa kepopuleran Winter Sonata memainkan peran penting

dalam hubungan Korea dan Jepang. Dari wawancara yang dilakukan Mori

menyebutkan bahwa masyarakat Jepang merasa lebih dekat dengan Korea setelah

Winter Sonata populer di Jepang. Hanaki juga menunjukkan secara umum fenomena

Hallyu membuat pemirsa Jepang membuka pikiran mereka dan mengembangkan

minat empati pada orang Korea.167

Pendapat di atas didukung dengan laporan yang dipublikasikan oleh KOCIS

(Korean Culture and Information Service) bahwa masyarakat Jepang mulai

165
Seonghoo Sheen,” Japan-South Korea Relations:Slowly Lifting the Burden of History?”,
dalam Occasional Paper Asia-Pacific Center for Security Studies, 2003, hal 1.
166
Kozakhmetova Dinara, Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 11

Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”,
167

hal 59
76

memandang warga korea orang yang sopan, baik dan bijak168. Dari perubahan opini

yang membaik ini kemudian membawa efek domino terhadap jumlah turis Jepang ke

Korea dan sebaliknya hingga efek terhadap diaspora kependudukan Korea di Jepang

dengan terbukanya usaha ekonomi yang membutuhkan warga Korea begitu juga

sebaliknya.169

Berkembangnya usaha toko produk Korea yang diolah oleh penduduk Korea di

Jepang juga meningkatkan jumlahnya hingga berhasil menciptakan lingkungan

“Korean Town” di salah satu kota di Jepang tepatnya di Shin Okuba-Tokyo.

Gelombang Hallyu ini juga membuat masyarakat Jepang menjadi terbiasa dengan

kehadiran budaya Korea lainnya,toko-toko yang menjual makanan dan serba serbi

Korea juga mendapat sambutan baik bahkan di acara festival besar Jepang

sekalipun.170

Tahun 2012 saat hubungan politik Korea-Jepang memburuk karena sengketa

Pulau Dokdo yang mengakibatkan isu sejarah lainnya terangkat kembali ke

permukaan, budaya populer Korea juga tidak luput terkena dampak dari masalah

tersebut. Namun dengan kejadian tersebut penulis dapat melihat peran budaya populer

Korea sebagai soft power dalam praktik diplomasi publik Korea Selatan di Jepang di

tengah sengketa politik sejarah Korea-jepang. Mengutip pendapat Nye tentang peran

diplomasi publik dalam membantu mewujudkan kebijakan luar negeri suatu negara.171

168
Kozakhmetova, Dinara , Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan…”, hal 8

169
Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass…”, hal 4

170
Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass”…, hal 4
171
Yun Young Cho, “Public Diplomacy and South Korea’s Strategies”…,hal281
77

Nye categorizes the three dimensions of public diplomacy that, he claims, help a
nation accomplish its goals through diplomatic activities: daily communication;
strategic communication; and the sustainable relationship among individuals
through academic activities, exchanges, training, seminars and diverse media
channels.
Nye mengkategorikan 3 dimensi kegiatan diplomasi publik yang ia yakini
membantu mewujudka tujuan negara, yaitu melalui: aktivitas diplomasi antar
negara, strategi komunikasi, hubungan jangka panjang antara individu suatu
negara melalui aktivitas, pertukaran, seminar maupun dari saluran media.
Berdasarkan pernyataan Nye, penulis menemukan dua kontribusi spesifik dari

budaya populer Korea di Jepang sebagai instrumen kegiatan diplomasi publik Korea

Selatan 2012-2019. Pertama adalah sebagai soft power yang mempertahankan

kecenderungan masyarakat terhadap Korea sehingga menciptakan hubungan jangka

panjang antar- individu. Kedua adalah sebagai strategi alternatif komunikasi antara

public dengan privat Korea-Jepang. Dua peran ini akan dibahas lebih rinci pada

subbab berikut ini

1. Soft Power untuk Mempertahankan Daya Tarik Masyarakat

Jepang Terhadap Korea.

Puluhan massa anti-hallyu pada tahun 2012 dilaporkan oleh Korea Times

kembali turun ke jalan tiap akhir pekan. Para pengunjuk rasa biasa berbaris

melalui jalan-jalan yang ramai dengan restoran dan toko Korea yang menjual

barang-barang budaya pop Korea, mengibarkan bendera Jepang dan meneriakkan

pesan kebencian secara bersamaan.172 Gerakan anti-Hallyu pada saat itu selain

karena kepopuleran Hallyu yang dianggap merupakan imperialisme budaya oleh

kaum nasionalis Jepang, juga diperparah oleh sengketa diplomasi Korea-Jepang

172
Anti-hallyu voices growing in Japan, Korea Times, 21 Februari 2014 diakses melalui
http://m.koreatimes.co.kr/pages/article.asp?newsIdx=152045 pada 10/12/2020 20.50 WIB
78

terkait Pulau Dokdo dan issu sejarah selama Perang Dunia 2 yang muncul

kembali ke permukaan, termasuk isu“wanita penghibur”.

Saat diplomatik Korea-Jepang memburuk karena isu wilayah dan sejarah,

budaya populer Korea sebagai Soft power dapat menjadi alternatif lain untuk

mempertahankan hubungan diplomatiknya dengan Jepang tanpa harus

menggunakan hard power. Soft power memiliki pendekatan lain terhadap negara

tujuannya, bukan dengan menargetkan ke perangkat negaranya yang sedang

dalam sengketa namun dengan menargetkan individu publik asing untuk

mendukung kebijakan luar negeri negara tersebut. Sesuai dengan peran soft

power, penulis melihat kasus Hallyu di Jepang ini efektif dalam memengaruhi

publik Jepang terutama penggemar Hallyu untuk memisahkan sentimen masalah

diplomatik Korea-Jepang terkait sejarah dan politik dengan budaya, sehingga

diplomasi publik melalui komunikasi publik masih tetap terjaga.

Hal tersebut dapat terlihat dari aktivitas penggemar Hallyu yang tetap

berjalan walaupun TV Jepang mulai memberhentikan penayangan drama dan

artis Kpop di saluran TV. Konser musik Kpop masih terlihat aktif di Jepang

begitu juga dengan perilisan album Jepang oleh artis Kpop. Saat politik

Korea-Jepang memburuk, grup band Bigbang sedang berada dalam masa populer

di Jepang. Setelah berhasil menggelar konser BigBang “Alive” pada tahun 2012

di Osaka dengan 300.000 penonton173 Bigbang kembali lagi mengadakan konser

173
Big Bang’s “Alive Galaxy Tour 2012” at Kyocera Dome in Japan, Soompi, 26 November
2012 diakses melalui
https://www.soompi.com/article/448090wpp/big-bangs-alive-galaxy-tour-2012-at-kyocera-dome-i
n-japan-check-out-all-the-concert-photos-here-2 pada 11/12/2020 08.24 WIB
79

tur bahkan di 6 tempat di Jepang sebanyak 15 konser di tahun 2013-2014.174

Selain Bigbang, girl group SNSD juga kembali menggelar konser keduanya di

Jepang di 7 kota berbeda setelah di tahun 2011 mereka juga telah sukses

menggelar konser tur pertama di Jepang175. Tahun 2013 girl group Kara juga

sukses menyelenggarakan konser di Dome Tokyo dengan 45.000 penonton.176

Selain konser, album musik Kpop masih terhitung banyak diminati di Jepang.

Menurut data dari oricon yang dikumpulkan oleh Sunyoung sejak tahun 2009

musik Kpop mampu bertahan dalam Top 100 album populer di chart Oricon

Jepang hingga tahun 2016. Album Girl generation dan TVXQ merupakan group

yang berhasil masuk di urutan top 10 album populer di chart Oricon di tahun

2011 dan 2013.177 Chart tersebut dilihat dari survey penjualan album Jepang,

terkait volume penjualan album.

Steve McClure, mantan Kepala Biro Asia majalah Billboard dan penerbit

McClureMusic.com memberi tanggapan terhadap isu Korea-Jepang dan

pengaruhnya terhadap Hallyu di Jepang. Ia mengatakan bahwa penggemar

budaya pop Korea akan terus mendengarkan drama TV Korea dan musik pop

174
“Big Bang closes Japan Dome Tour, breaks ticket sales record”, The Korea Herald, 14 Juni
2014 diakses melalui http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20140114000833 pada
11/12/2020 08.40 WIB
175
Girls’ Generation Sets New Record with Japanese Tour, Soompi, 22 April 2013 di akses
melalui
https://www.soompi.com/article/491866wpp/girls-generation-sets-new-record-with-japanese-tour
pada 11/12/2020 09.13 wib
176
Kara Successfully Ends Tokyo Dome Concert With Tears, Soompi, 8 Januari 2013, diakses
melalui
https://www.soompi.com/article/463479wpp/kara-successfully-ends-tokyo-dome-concert-with-tea
rs pada 11/12/2020 09.00 WIB
177
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop
Culture…”,hal 64
80

terlepas dari isu kedua negara “I think most Japanese fans of Korean pop culture

will keep on lapping up Korean TV dramas and pop music regardless of

jingoistic posturing by nationalists on both sides,”

Tanggapannya didukung oleh survei yang ditampilkan dalam artikel

majalah wanita Josei Seven yang berjudul “South Koreans' century of 'anti-Japan'

enmity that has even Hanryu fans squirming”, artikel tersebut memberikan hasil

survei terhadap 100 penggemar drama Hanryu, wanita di segmen usia 20 hingga

60 tahun. Responden menanggapi pertanyaan tentang bagaimana reaksi

responden tentang sengketa pulau Takeshima/ Dokdo. 47 persen responden

menjawab bahwa mereka tidak akan mentolerir tindakan Korea. Kemudian

pertanyaan lainnya tentang pendapat responden sebagai penggemar drama dan

Kpop di tengah meningkatnya sentimen anti-Halyu di Jepang. 71 persen

mengatakan mereka setuju bahwa mereka menganggap politik harus dipisahkan

dengan budaya, dan tidak berniat berhenti menjadi penggemar, 12 persen lainnya

menjawab akan mendukung upaya dalam membangun kesamaan pemahaman

antar dua negara, dan hanya 10 persen yang mengatakan bahwa mereka sedang

dalam proses mengganti saluran.178

Budaya populer Korea muncul kembali pertama kali di saluran TV Jepang

pada akhir 2015 dengan kemunculan Boa di "FNS Music Festival", Big Bang

juga tampil di "Music Station" dan mendapatkan rating penonton hingga 20%.

Nikkei Entertainment mengaitkan munculnya kembali Kpop di media TV Jepang

178
Will the Takeshima dispute break the Korean wave?, The Japan Times, 22 september 2012
diakses melalui
https://www.japantimes.co.jp/news/2012/09/02/national/media-national/will-the-takeshima-disput
e-break-the-korean-wave/ pada 8/12/2020 09.15WIB
81

dengan politik Korea-Jepang pasca pertemuan Presiden Korea Park Geun-hye dan

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada pertemuan puncak Jepang-Korea untuk

pertama kalinya setelah peresmian Presiden Park. Pada 26 Desember, kedua

pemerintah membuat kesepakatan final dan tidak dapat diubah sehubungan

dengan masalah "wanita penghibur".179

Upaya perbaikan hubungan politik keduanya mungkin sangat berpengaruh

pada kelangsungan Hallyu di Jepang, namun popularitas Hallyu sebelum adanya

tindakan dari pemerintah tetap stabil. Publik Jepang terutama penggemar Hallyu

tetap tidak terpengaruh oleh hubungan sejarah dan politik antara kedua negara.

Hal ini menunjukkan efektifitas Hallyu sebagai instrumen soft power yang

mampu menggantikan material hard power yang tidak dimiliki Korea di ranah

internasional.

Tidak hanya di acara TV, tahun 2017 artis Kpop juga mulai diundang dalam

festival musik besar di Jepang. TWICE pada tahun 2017 menjadi artis Kpop

pertama yang akan tampil dalam acara musik bersejarah Malam Tahun Baru

Jepang Kōhaku Uta Gassen di saluran NHK.180 Situasi ini seperti menunjukkan

tanda-tanda pemulihan Hallyu di media Jepang. Selain itu penjualan album,

unduhan file musik, konser, dan fansign terus mengalami pergerakan, yang

menunjukkan prospek positif untuk masa depan Hallyu di Jepang.181 Idol grup

179
Sunyoung Kwak, Thesis “Rethinking the Expediency of the Regional Flow of Pop Culture…”
hal 101
180
Soompi, TWICE To Be First Korean Artist In 6 Years To Appear On Famous Japanese
Year-End Show, 16 November 2017 diakses melalui
https://www.soompi.com/article/1078865wpp/twice-first-korean-artist-6-years-appear-famous-jap
anese-year-end-show pada 11/12/2020 05.38 WIB

Chang Gyu-soo, “K-Pop which lost its way... toward Japan again?” dalam Global Hallyu Issue,
181

April 2017, Monthly Report KOFICE , hal 8


82

seperti EXO, Big Bang dan TWICE membuktikan popularitas tinggi mereka

dengan menduduki peringkat No. 1 tidak hanya di Oricon, tangga musik terbesar

Jepang, tetapi juga di iTunes Jepang.182

Fakta daya tarik Hallyu di tengah masyarakat Jepang ini dapat dijelaskan

mengingat ledakan gelombang Hallyu ketiga baru saja dimulai saat Kpop mulai

mendapat popularitas di mancanegara. Dalam laporan KOFICE 2018

menyebutkan bahwa dari 2016 hingga 2017, terdapat peningkatan yang cukup

besar dari 14 juta penggemar hallyu di seluruh dunia. Pasar musik Korea juga

menunjukkan pertumbuhan di wilayah lain selain Asia. Ekspor di Amerika Utara

meningkat dua kali lipat karena peningkatan 94%, sebesar 25,5% di Eropa dan

37,8% di Asia Tenggara.183 Begitu juga di Jepang yang tidak luput dari ledakan

Hallyu ketiga ini. Hwang Seon-hye, direktur Pusat Bisnis KOCCA di Jepang

berpendapat dalam sebuah forum di Seoul menjelang acara musik Mnet award

pertama kali di Jepang tentang ledakan gelombang tiga yang diluar imajinasi.

We see the third generation hallyu in Japan began in 2017. Many people in the

industry say the current Korean wave phenomenon is really beyond

imagination,".184

Bersamaan dengan ledakan Hallyu ketiga dan pulihnya Hallyu di media

Jepang, perselisihan diplomatik antara kedua negara tetangga masih berlangsung

karena masalah sejarah yang berujung pada konflik perdagangan. Pada tanggal 2

182
Hando Chizuko, “Changes of paradigm in Hallyu consumption in Japan”, dalam Global
Hallyu Issue, April 2017, Monthly Report KOFICE , hal 13.
183
Hallyu White paper, KOFICE, 2018, hal 8
184
Hallyu fervor rekindled in Japan amid diplomatic row, Korea Times, 15 Desember 2018
diakses melalui https://www.koreatimes.co.kr/www/art/2020/11/732_260421.html pada 3
November 2020 08.55 WIB
83

Agustus 2019 kabinet Jepang memutuskan untuk menghapus Korea Selatan dari

daftar mitra dagang tepercaya. Korea Selatan menanggapi dengan langkah yang

setara, yaitu dengan mengancam Jepang untuk membatalkan pembagian intelijen

militer dengan Jepang. 185 Perselisihan antara Jepang dan Korea Selatan

didominasi oleh dua masalah yang telah terjadi sejak 2 tahun terakhir yaitu

masalah kompensasi untuk mantan pekerja paksa Korea di bawah pemerintahan

kolonial Jepang yang menurut Jepang hal itu telah terselesaikan saat perjanjian

tahun 1965, dan insiden militer di dalam zona ekonomi eksklusif Jepang pada

Desember 2018.186

Sengketa yang berlarut ini menimbulkan tensi sentimen di Jepang memanas

kembali, dan berpotensi meningkatkan sentimen anti-Hallyu yang sebelumnya

ada. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada grup idol BTS tahun 2018.

Pada 8 November saluran TV Asahi mengumumkan pembatalan perform live

BTS sehari sebelum acara. Pembatalan ini dilaporkan karena foto-foto lama

member Jimin mengenakan kemeja dengan foto-foto bom atom Nagasaki

menutupi fragmen berulang "PATRIOTISM OUR HISTORY LIBERATION

KOREA" ramai di media sosial. Di usut di antara sosial media penggemar BTS

hal ini dimulai karena Makoto Sakurai, pendiri kelompok pembenci ekstrimis

sayap kanan dan ultra-nasionalis Zaitokukai, menulis blog tentang kaos yang

dianggap melanggar pada tanggal 5 November, ia menyebut BTS sebagai grup

185
Washington Post, Japan-South Korea Dispute Escalates as Both Sides Downgrade Trade Ties,
02 Agustus 2019, diakses melalui
https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/japan-downgrades-south-korea-as-trade-part
ner-as-bitter-dispute-escalates/2019/08/01/6a1d83ec-b4cc-11e9-8e94-71a35969e4d8_story.html
pada 15/12/2020 14.30 WIB
186
Sakaki, Alexandra, “Japan-South Korea Relations –A Downward Spiral” Stiftung Wissenchaft
und Politik (SWP Comment), No 35 Agusutus, 2019, hal 2
84

"anti-Jepang". Dalam postingan tersebut, ia juga mendorong para pembacanya

untuk menekan TV Asahi dan sponsornya agar menghentikan boy-band Korea

tersebut, dan masalah tersebut dengan cepat diangkat oleh Twitter Jepang sayap

kanan.187

Pada saat isu ini terangkat di publik Jepang, minat Jepang terhadap konten

Hallyu masih tinggi dan belum terpengaruh oleh fluktuasi sengketa sejarah antara

keduanya. KOFICE 2019 mencatat kenaikan ekspor musik dan konten siaran

Korea di Jepang sejak mulai pulih pada tahun 2015 terus mengalami peningkatan

hingga 2018. pada tahun 2015 ekspor musik Korea ke Jepang mencapai 242,370

dolar amerika pada 2017 menjadi 320.599 dolar amerika.188 Sedangkan konten

siaran TV Korea mengalami kenaikan jumlah yang awalnya 58,63 dolar amerika

menjadi 81,95 dolar amerika.189

Saat puncak sengketa kedua negara pada pertengahan 2019 hallyu di Jepang

mengalami hambatan kembali. Laporan KOFICE 2020 mencatat respon negatif

terhadap Hallyu semakin meningkat karena efek politik, dari 23,6 persen di tahun

2017 menjadi 31,4 persen di tahun 2019, walaupun begitu popularitas Hallyu di

Jepang merupakan termasuk yang mengalami indeks perkembangan sejak 3 tahun

terakhir pada 2017 hingga 2019 di antara negara mayor penerima Hallyu lainnya.

Perubahan pandangan publik menjadi negatif terhadap Korea melalui Hallyu juga

mengalami penurunan dari 30,4 persen menjadi 16,2 persen di tahun 2019.

187
Rosemarie Ho, The Outline, Why BTS is in Trouble over a T-shirt, 15 November 2018 diakses
melalui https://theoutline.com/post/6588/bts-japan-shirt-nazi-hat-cancelled-concert pada
14/12/2020 14.46 WIB
188
KOFICE, Hallyu White Paper 2019, hal 85
189
KOFICE, Hallyu Whitte Paper 2019, hal 16
85

Penulis lagu Jepang Matsumo berpendapat di wawancaranya dengan media

online Japan Times mengenai keberadaan Hallyu di tengah sengketa dua negara

ini. Ia berpendapat bahwa mayoritas penggemar K-pop adalah remaja yang

menyukai budaya pop Korea Selatan tetapi tidak peduli dengan politik atau

ekonomi Korea Selatan, Ia menambahkan, bahwa meski banyak penggemar muda

yang mungkin memahami dan peduli tentang hubungan antara kedua negara,

fandom Kpop ini memiliki kekuatan untuk menahan ketegangan geopolitik.190

Pendapatnya dapat dibenarkan melihat grup yang sedang mendapatkan

popularitas di Jepang tetap berhasil menyelenggarakan konser dari artis Kpop

yang sedang populer. Seperti Twice dan Blackpink yang berhasil

menyelenggarakan konser tur pertamanya di Tokyo Dome. Selain itu perilisan

album Jepang oleh artis Kpop tetap laku terjual di Jepang dan menurut laporan

Oricon, album Twice “TWICE2” berhasil menduduki peringkat 4 chart Oricon

dan BTS menduduki puncak tangga lagu ke 3 di Oricon Jepang untuk best selling

album.191 Pada awal 2020 BTS menjadi artis asing pertama yang menduduki

semua chart di Oricon selama enam hari berturut-turut dengan album Jepang

keempatnya "Map of the Soul: 7 - The Journey" setelah menjual 564.000

eksemplar.192

190
The Japan Times, Trade spat sees K-pop caught in the middle, 14 Agustus 2019, diakses
melalui
https://www.japantimes.co.jp/culture/2019/08/14/music/trade-spat-sees-k-pop-caught-middle/
pada 15/12/2020 14.57 WIB
191
Soompi, “BTS,Twice, IZOne, Seventeen and more Earn Spots on Oricon’s Charts for First
Half of 2019”, 20 Juni 2019, diakses melalui
https://www.soompi.com/article/1333499wpp/bts-twice-izone-seventeen-and-more-earn-spots-on-
oricons-charts-for-first-half-of-2019 pada 15/12/2020 22.00 WIB
192
The Jakarta Post, “BTS tops Oricon’s Album Sales for First Half of 2020”, 19 Juni 2020,
diakses melalui
86

Selain musik Kpop, drama Korea menjadi tiga video teratas dalam daftar 10

teratas dengan Netflix Jepang "Crash Landing on You" menduduki puncak daftar

pertama, sementara "Its Okay not To be Okay" dan "Itaewon Class"

masing-masing berada di urutan kedua dan ketiga. Penyanyi Jepang Yukika juga

mengemukakan pendapat nya tentang gelombang ketiga yang terjadi di Jepang

saat wawancara dengan Korea Times pada Agustus 2020, ia berkata bahwa

ledakan hallyu ketiga di Jepang itu nyata dan bukan karena semata hype oleh

media. Menurutnya Semakin banyak orang Jepang terutama generasi mudanya

yang menonton drama dan film Korea di berbagai media online seperti YouTube

dan mereka tidak lagi menonton siaran TV atau membaca koran. Mereka hanya

memilih apa yang ingin mereka konsumsi. Hamahira seorang DJ radio Kobe juga

mengemukakan pendapatnya

"Korean culture is no longer a boom or a subculture in Japan. It is


mainstream… Of course, there is a group of people who are not
open-minded to Korea. They don't watch and see Korean culture. But, the
third wave was so powerful this time that these radical people find it difficult
to spread hatred about Korea. If Korean entertainment agencies continue to
create such quality content, I think no one can stop hallyu,"
“Kebudayaan Korea bukan lagi booming atau subkultur di Jepang. Tentu saja,
ada sekelompok orang yang tidak berpikiran terbuka terhadap Korea. Mereka
tidak menonton dan melihat budaya Korea. Tapi, gelombang ketiga kali ini
begitu kuat sehingga orang-orang radikal ini sulit menyebarkan kebencian
tentang Korea. Jika agensi hiburan Korea terus membuat konten berkualitas
seperti itu, saya kira tidak ada yang bisa menghentikan hallyu"kata
Hamahira.193
Minat masyarakat yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintah juga

mendorong hubungan sosial budaya antara masyarakat ini tetap terjaga walaupun

https://www.thejakartapost.com/life/2020/06/19/bts-tops-oricons-album-sales-for-first-half-of-202
0-.html#:~:text=Korean%20pop%20giant%20BTS%20has,the%20Soul%3A%207%20ranked%2
0No. pada 15/12/2020 22.07 WIB

The Korea Times, “Hallyu resurges in Japan amid diplomatic rift”, 23 Juli 2020, diakses
193

melalui http://m.koreatimes.co.kr/pages/article.asp?newsIdx=293277 pada 03/12/2020 09.17 WIB


87

hubungan politik tidak stabil. Seorang reporter Mainichi mengunjungi distrik

Shin-Okubo di Tokyo, jantung perdagangan pop Korea di Jepang, dan

menemukan bahwa tidak ada penurunan antusiasme terhadap segala hal tentang

Korea di kalangan anak muda Jepang, yang cenderung membeda-bedakan antara

kebijakan pemerintah dan daya tarik budaya.194

Fenomena pulihnya hallyu di media Jepang dan ketertarikan penggemar

hallyu yang bertahan di tengah fluktuasi hubungan dua negara karena sengketa

sejarah ini menunjukkan hasil dari proses kognitif pengalihan sumber soft power

menjadi soft power yang disebutkan Lee Geun Hye, dimana sumber soft power

dapat disampaikan negara penghasil soft power dan membaur dengan publik

negara asing sehingga negara penerima menerima hallyu tanpa paksaan dan

secara sukarela merubah pandangan atau perilakunya sesuai dengan keinginan

yang memudahkan negara penghasil soft power mewujudkan kepentingannya.

Salah satu dari yang ingin dicapai oleh soft power menurut kategori yang

disebutkan Lee adalah untuk membentuk cara berfikir dan preferensi negara lain.

Hal tersebut dapat dilihat dari efek penerimaan hallyu di publik Jepang yang

dapat dilihat dari hasil survey majalah wanita Josey pada tahun 2012 saat isu

pulau Dokdo muncul tercatat 71 persen dari 100 penggemar hallyu mendukung

untuk memisahkan masalah politik dan budaya, dan 12 persen dari responden

mendukung perdamaian kembali kedua negara.

194
The Japan Times, Japan-South Korea trade spat gains little traction among youth on social
media, 10 Agustus 2019,
https://www.japantimes.co.jp/news/2019/08/10/national/media-national/japan-south-korea-trade-s
pat-gains-little-traction-among-youth-social-media/ pada 12/12/2020 07.49 WIB
88

Untuk mengukur efek dari soft power menurut konsep yang disebutkan Lee

Shin Wa terkait 3 dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur soft power

yaitu cognitive, affective dan normative. Berdasarkan fenomena yang tercatat

dalam laporan KOFICE bahwa meskipun popularitas Hallyu tetap bertahan,

Hallyu masih dipengaruhi juga oleh hubungan keduanya yang memburuk dengan

meningkatnya kembali respon negatif terhadap Hallyu oleh kelompok anti-korea

dan anti-hallyu. Hallyu di Jepang baru mencapai tingkat kedua fungsinya sebagai

soft power yaitu affective setelah membentuk pandangan baru terhadap budaya

Korea lainnya melalui Hallyu pada dimensi cognitive, penggemar Hallyu tetap

menyukai hallyu bagaimanapun hubungan politik dan ekonomi yang sedang

dialami oleh kedua negara. Hallyu belum dapat mencapai dimensi normative di

mana perangkat atau pemimpin negara lain ikut mendukung tujuan yang sedang

ingin dicapai Korea.

Lee Geun berharap dengan adanya kontak individu antar masyarakat

melalui Hallyu diharapkan dapat menjaga keberlangsungan diplomasi kedua

negara. Pertukaran budaya dapat secara efektif membantu ketika hubungan baik,

dan dapat membantu mencegah hubungan bilateral memburuk, seperti ketika

orang tetap menjadi penggemar hallyu. Meskipun ada penghalang, penggemar

terus mengonsumsi konten budaya Korea melalui berbagai proyek. Lee,

bagaimanapun, mengatakan bahwa menantang apa yang disebut "kekuatan lunak"

untuk mengatasi "kekuatan keras," seperti halnya saat sengketa keamanan dengan

pemerintah China.195

195
The Korea Times, Hallyu can boost indirect public diplomacy, 20 Oktober 2017 diakses
melalui
89

2. Strategi Alternatif Mendorong Komunikasi dan Kerjasama antara

Publik dengan Sektor Privat

Korea Selatan telah menyadari pentingnya hallyu sebagai alat diplomasi

publik sejak pertama kali hallyu mendapat kepopuleran pesat di Asia Timur.

Dalam website MOFA juga disebutkan bahwa Hallyu berfungsi sebagai elemen

penting dari diplomasi publik Korea. Dengan Hallyu sebagai media, Hallyu

berperan untuk meningkatkan komunikasi di antara orang-orang dengan latar

belakang budaya yang berbeda dengan program pertukaran budaya. 196 Korea

dengan budaya populer sebagai salah satu instrumen diplomasi publik Korea

mengupayakan terjaganya hubungan dua negara melalui budaya.

Untuk meningkatkan praktik diplomasi publik Korea, pada 2013

Kementerian Luar Negeri menggelar acara pembukaan Center for Public

Diplomacy yang akan mendukung berbagai proyek diplomasi publik dengan

memberdayakan sektor swasta dan masyarakat sipil dalam strategi yang disebut,

“Public Diplomacy in Partnership with the People” atau “Diplomasi Publik

dalam Kemitraan dengan Rakyat”. 197 Kemudian pada tahun 2016 dirancang

undang-undang baru untuk menjamin kelancaran praktik diplomasi publik dan

diplomasi budaya Korea, melalui undang-undang diplomasi publik yang disahkan

pada tahun 2016, isinya menjabarkan diplomasi publik sebagai berikut.198

https://www.google.com/amp/m.koreatimes.co.kr/pages/article.amp.asp%3fnewsIdx=238002
pada 06/10/2020 09.22 WIB
196
Website resmi Kementerian Luar Negeri Korea
http://www.mofa.go.kr/eng/wpge/m_5664/contents.do
197
David Alexandre Hjalmarsson, Tesis: South Korea’s Public Diplomacy…”, hal 29
198
Korean Public Diplomacy Act, diakses dari website resmi Kemeterian Luar Negeri Korea
Selatan, http://www.mofa.go.kr/eng/wpge/m_22845/contents.do
90

“Public diplomacy in this Act is defined as diplomacy activities through


which the State enhances foreign nationals’ understanding of and
confidence in the Republic of Korea directly or in cooperation with
local governments or the private sector through culture, knowledge,
policies, etc.”
“kegiatan diplomatik di mana Negara mempromosikan pemahaman
warga negara asing dan meningkatkan kepercayaan terhadap Republik
Korea secara langsung atau bekerja sama dengan pemerintah daerah.
atau sektor swasta berdasarkan budaya, pengetahuan, kebijakan, dll.
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa kerja sama aktor sektor

privat dan publik asing, salah satunya melalui budaya untuk mendukung

hubungan bilateral yang lebih sustainable merupakan faktor penting dan salah

satu strategi yang ingin dituju dari diplomasi publik Korea. Di sini penulis

melihat Hallyu dapat menjadi instrumen yang dapat menciptakan kerjasama aktor

privat sekaligus alternatif bagi Korea untuk mendorong interaksi dengan publik

Jepang. Hal tersebut dapat terlihat dari media Jepang yang memiliki kepentingan

dari kepopuleran Hallyu.

Saat drama Korea mendapat popularitas di Jepang dan menjadi negara

importir terbesar konten Hallyu sejak 2003, dengan keseluruhan presentasi ekspor

budaya Korea, 70% adalah ekspor dari Korea ke Jepang, media Jepang juga

mengambil kesempatan tersebut untuk mengambil keuntungan dengan

berinvestasi pada produksi drama Korea. Dengan berinvestasi pada konten hallyu,

pasar Jepang dapat mengamankan hak siar dengan biaya yang relatif lebih rendah,

dan pada saat yang sama, dapat membuat drama dengan konten yang sesuai

dengan preferensi penonton Jepang yang saat itu permintaan terhadap konten

Hallyu sangat tinggi.199 Hubungan yang saling menguntungkan antara sektor

199
Sunyoung Kwak, Communication Graduate Thesis “Rethinking the Expediency…”, hal 172
91

privat dalam ekonomi dan pertukaran budaya ini dapat menjadi langkah yang

tepat saat hubungan politik Korea Jepang dalam keadaan kurang baik.

Contohnya saat sengketa Pulau Dokdo yang sempat berdampak pada Hallyu.

Meningkatnya aktivitas anti-hallyu yang mengakibatkan pemberhentian konten

Hallyu di Jepang, namun hal tersebut tidak mengganggu aktifitas hallyu lainnya

seperti konser dan fanmeeting idol Kpop serta perilisan album Jepang karena

pembelian album Jepang dari grup Kpop ini juga akan menyumbang pada pasar

musik Jepang.

Meningkatnya anti Hallyu juga tidak memengaruhi kebijakan budaya Korea

dari mendukung industri media budaya sebagai industri strategis bangsa untuk

mempromosikan Korea. Baik Pemerintah dan sektor privat terus berupaya untuk

menjalankan diplomasi publik Korea melalui Hallyu. Jika mengekspor dan

mendistribusikan drama TV, film, dan produk musik pop Korea untuk membujuk

dan mengubah sikap orang terhadap Korea dan budayanya merupakan upaya

diplomasi publik jangka pendek. Industri hiburan budaya Korea perlu merancang

strategi diplomasi publik baru untuk mengurangi apa yang disebut ''permusuhan

budaya'' terhadap Hallyu dan untuk mempromosikan Korea di berbagai peluang

pertukaran manusia dan budaya antara Korea dan Jepang.200

Anti-hallyu di Jepang menyerang tidak hanya budaya populer Korea tapi juga

sejarah Korea di Jepang. Mengutip dari Hwang dalam artikel yang ditulis

Seungyun, berdasarkan analisisnya komik kenkaryu lebih banyak berisi sejarah

Korea-Jepang dan konflik pulau Dokdo. Menurutnya, komik Kenkaryu tersebut

200
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers…”, hal 9
92

memiliki tujuan untuk memberi informasi orang-orang Jepang yang tidak terlalu

tertarik dengan Korea dengan menggunakan informasi palsu tentang sejarah

Korea di kalangan Jepang. Warisan sejarah yang menciptakan Citra negatif Korea

ini dipadukan dengan resesi ekonomi Jepang sehingga terlampiaskan dengan

kecemasan berupa kebencian terhadap Korea yang dilandasi oleh sentimen

nasionalisme.201 Sentimen publik Jepang inilah yang berusaha dikurangi oleh

Korea untuk meningkatkan diplomasi publik Korea melalui instrumen budaya

populer Korea.

Baik pemerintah Korea dan praktisi industri hiburan budaya swasta harus

mencari pendekatan baru untuk soft power diplomasi publik agar lebih mudah

diterima. Salah satu upayanya adalah dengan banyak melibatkan kegiatan budaya

populer yang melibatkan dua pihak. Pertama adalah melalui kolaborasi produksi

budaya populer. Distribusi dua arah dilakukan dengan mendanai atau

memproduksi bersama drama TV, film, dan produk musik K-pop Korea dengan

aktor lokal masing-masing negara tuan rumah, pemain dan kru produksi atau

dengan memproduksi banyak drama dan film Korea menggunakan cerita asli

Jepang dari novel dan buku komik202.

Contohnya adalah film Sayonara Itsuka yang diproduksi oleh CJE&M,

meskipun sejak tahap perencanaan hingga proses pembuatan dari investasi Korea,

film ini didasarkan pada novel Jepang yang menampilkan karakter Jepang yang

diperankan oleh selebriti Jepang, dan tidak ada tanda-tanda budaya Korea yang

dapat dilihat di mana pun dalam film tersebut. Korea juga banyak memproduksi
201
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China and
Japan”…, hal183
202
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers…”, hal 8
93

drama yang berdasarkan alur cerita Jepang seperti White Tower (2007), Boys over

Flowers (2009), Master of Study (2010), dan film 200 Pounds Beauty (2006), Fly

Daddy Fly (2006), Journey under the Midnight Sun (2009) dan Playfull Kiss

(2010)203.

Strategi ini sebenarnya juga dilakukan pada negara lain di negara Asia Timur

khususnya yang anti-hallyunya merupakan terbanyak dari pada negara lain.

Namun akulturasi dalam produk budaya populer Korea hanya dilakukan di

Jepang. Seperti album berbahasa Jepang, konser tour di banyak kota di Jepang

dan mengisi ost untuk anime Jepang. Selain itu agensi Korea juga mulai

melebarkan rekrutmen anggota idol dari masyarakat Jepang dengan membuka

audisi untuk Jepang.

Kedua adalah dengan kerja sama festival budaya oleh kolaborasi dua pihak

negara. Salah satunya adalah peringatan ke-50 normalisasi hubungan Korea

Jepang pada tahun 2015. Peringatan 50 tahun normalisasi hubungan

Korea-Jepang pada tahun 2015 masih tetap diselenggarakan meski dengan

hubungan yang sedang dalam sengketa. Tahun 2015 Pemerintah dan sektor

swasta kedua negara telah menyelenggarakan lebih dari 410 acara pada tahun

2015 dengan tema “Mari Membuka Masa Depan Baru Bersama” di berbagai

sektor, termasuk budaya, seni, akademisi, dan olahraga. Salah satunya adalah

Festival Korea-Jepang yang diselenggarakan oleh Kementreria Luar Negeri pada

19-20 September di Seoul dan 26-27 September, Tokyo.204

203
Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China and
Japan”…,hal 187
204
Korea.net,Korea-Japan festival brings neighbors closer, 15 September 2014
http://www.korea.net/NewsFocus/Culture/view?articleId=121708 pada 01/12/2020 14.26 WIB
94

Selain MOFA, organisasi di bawah pemerintah yaitu KOFICE bersama

Sapporo Tourist Association, dan NPO Japan Korea Cultural Exchanges Society

untuk pertama kalinya menyelenggarakan festival bersama oleh Korea dan

Jepang dalam rangka memperingati 50 tahun normalisasi hubungan diplomatik

antara kedua negara. Seperti pada festival sebelumnya, pertukaran budaya

menjadi rangkaian acara dalam festival ini salah satunya dengan festival

K-Drama dan J-Drama di hari pertama festival tersebut. Juga akan ada

penampilan bersama orkestra Baladin Jepang dan grup rookie wanita Melody

Day yang telah tampil di banyak album OST drama.205

Ketiga, adalah dengan menjadikan Jepang tuan rumah acara besar Korea.

Pertama adalah festival konser KCON, KCON merupakan acara festival konser

tahunan yang diselenggarakan agensi media terbesar di Korea Selatan CJE&M

dalam mengupayakan pengenalan Hallyu dengan menyelenggarakan konser dan

festival K-pop bersama sektor privat atau pubik di negara asing sebagai strategi

diplomasi publik jangka panjang menggunakan pertukaran budaya dan

manusia. 206 CJ Group sejak tahun 2012 telah menyelenggarakan konvensi

festival budaya tahunan KCON prtama kali di Los Angel, Amerika. Kata “CON”

di KCON berarti tiga hal - konvensi, konser, dan konten budaya - tiga hal yang

dapat didapatkan penonton di acara tersebut. Tidak hanya konser Kpop tetapi

juga beragam aspek budaya Korea secara keseluruhan, termasuk makanan Korea,

205
Website resmi KOFICE di halaman KOFICE News,30 Januari 2013 diakses melalui
http://eng.kofice.or.kr/e00_aboutUs/e30_kofice_news_view.asp?seq=10890&tblID=gongji&clsID
= pada 19/11/2020 11.15 WIB
206
Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers…”, hal 9
95

kecantikan, dan life style dalam perpaduan konvensi dan konser bertema "All

Things Hallyu".

CJE&M, pada tahun 2015 memutuskan Jepang menjadi negara baru tujuan

KCON pertama kali di kawasan Asia. Pertimbangan tersebut didasarkan karena

Jepang merupakan negara pertama dimana Kpop booming sebelum popularitas

Kpop terkenal hingga tingkat mancanegara, namun karena masalah politik dan

anti-Hallyu yang meningkat menyebabkan larangan artis Korea tampil di acara

platform Jepang yang biasanya menjadi tempat pengenalan artis Kpop di Jepang.

Dilansir dari media berita Korea Joong Ang Daily hal tersebut membuat industri

hiburan Korea khawatir akan meredupkan kepopuleran Hallyu yang pernah ada.

Dengan pertimbangan tersebut CJE&M memperluas KCON pertama kali di

Jepang pada tahun 2015.207

KCON 2015 Japan dijadwalkan akan diadakan di Saitama Super Arena of

Japan pada tanggal 22 April dengan vokalis keturunan Korea-Jepang M.I.B,

Kangnam sebagai duta besarnya sebagai lambang hubungan baik

Korea-Jepang.208 Rangkaian KCON 2015 Jepang terdiri dari kompetisi KPOP

Cover Dance, zona make-up, life style, kuliah serta program studi bahasa Korea,

peragaan busana Hanbok, serta stan pameran dari perusahaan kecil Korea,

menengah hingga yang besar. Festival ini bertujuan agar pengunjung dapat

merasakan budaya hidup Korea Selatan sehari-hari. Festival ini ditutup di hari
207
Korea Joong Ang Daily, Korean culture conference makes Japan debut, 19 April 2015 diakses
melalui
https://koreajoongangdaily.joins.com/2015/04/19/etc/Korean-culture-conference-makes-Japan-de
but/3003286.html pada 10/12/2020 22.15 WIB
208
Business Korea, “CJ E&M to Hold KCON in Japan in April”, 17 Februari 2015, diakses
melalui http://www.businesskorea.co.kr/news/articleView.html?idxno=9105 pada 09/12/2020
21.46 WIB
96

ketiga dengan konser artis K-Pop dan yang menariknya lagi KCON juga memberi

kesempatan kepada penggemar untuk bertemu dengan artis dari konser melalui

meet and greet.209

Karena minat penggemar hallyu yang tetap bertahan, KCON tetap

berlangsung tiap tahun di Jepang bahkan skalanya semakin besar. Hingga 2018

jumlah kehadiran terus bertambah setiap tahun. 15.000 pengunjung pada 2015,

33.000 pada 2016 dan menjadi 48.500 pada 2017, hingga 68.000 pada 2018210.

Ini merupakan pertanda baik bagi hubungan publik di Jepang untuk diplomasi

publik Korea Selatan karena menunjukkan peningkatan ketertarikan publik

Jepang terhadap Korea semakin bertambah. Pemerintah pun mengambil inisiatif

untuk menjadikan ajang tersebut sebagai upaya strategi diplomasi publik. Pada 8

Maret CJ E&M mengumumkan bahwa mereka menandatangani MOU untuk

upaya meningkatkan reputasi Korea dengan projek 'Nice Hallyu' bersama dengan

KOFICE.

209
Website resmi CJ Group di halaman news: “KCON 2016 touches down in Japan” 08 Juli 2016
diakses melalui http://english.cj.net/cj_now/view.asp?bs_seq=13498&schBsTp=1 pada
08/12/2020 22.55 WIB
210
Website resmi Mwave diakses melalui https://www.mwave.me/en/kcon/jp, pada 08/12/2020,
22.35 WIB
97

Gambar IV.8. Hyung-gwan Shin, CJ E&M Music Contents Director,


dan Yong-rak Kim, President of KOFICE

Sumber: website CJE&M

Peresmian MoU ini diadakan di CJ E&M Center di Sangam-dong, Seoul,

dengan hadirnya Hyung-gwan Shin, CJ E&M Music Contents Director, dan

Yong-rak Kim, President of KOFICE. MOU ini bertujuan untuk memanfaatkan

kemampuan bisnis budaya CJE &M dan pengetahuan KOFICE tentang kerja

sama internasional untuk menghidupkan pertukaran budaya timbal balik dengan

negara lain dan mempromosikan 'Nice Hallyu’ di negara asing melalui Hallyu.

Kedua perusahaan sepakat untuk mengembangkan dan menghidupkan program

kontribusi sosial luar negeri dan kegiatan pertukaran budaya internasional

sehubungan dengan festival budaya global CJE&M dan melaksanakan proyek

bersama211.

KCONnected adalah acara yang termasuk dalam MoU. K-CONnected

merupakan istilah yang menggabungkan "KCON" dan "Connected" yang artinya

bertujuan untuk saling memahami dan bertukar melalui kegiatan kontribusi sosial

211
Website resmi CJ Group di halaman news: “KCON 2016 touches down in Japan” 08 Juli 2016
diakses melalui http://english.cj.net/cj_now/view.asp?bs_seq=13865
98

berdasarkan masalah sosial masing-masing daerah. KOFICE akan mengundang

UKM dan wirausaha sosial yang dijalankan oleh masyarakat kurang mampu

setempat seperti penyandang disabilitas di acara festival KCON 2018 JAPAN

yang akan diadakan di Jepang pada bulan April dan mendukung pengoperasian

booth konvensi.

Proyek pertama K-CONnected mengundang dua wirausaha sosial Jepang —

Majerca dan Community Bakery Kaze no Sumika. Majerca adalah perusahaan

sosial yang bertujuan untuk mewadahi orang-orang dengan kebutuhan khusus

dengan menjual kerajinan tangan dan berbagai barang yang dibuat oleh

penyandang disabilitas sendiri. Sedangkan Kaze no Sumika adalah toko roti yang

menyediakan tempat tinggal bagi kaum muda yang menolak bersekolah karena

keterbatasan, dan para remaja membuat roti dan menjual produk mereka sendiri

di sana.212

Selain KCON, acara penghargaan musik Asia MAMA juga diselenggarakan

di Jepang pertama kali tahun 2017. MAMA adalah acara penghargaan musik

Korea yang diadakan pada tahun 1999 di Korea Selatan. Pada tahun 1999

MAMA masih dinamakan Mnet Music Video Festival kemudian berubah menjadi

Mnet KM Music Video Festival pada tahun 2004, dan Mnet KM Music Festival

pada tahun 2006. Terakhir pada tahun 2009 menjadi Mnet Asian Music Awards

menandai awal baru sebagai acara musik dalam cakupan Asia karena

kepopulerannya berhasil sampai negara asia lainnya dan pertama kali diadakan di

212
Website resmi KOFICE di halaman KOFICE News, “KOFICE Heralds Dissemination of
“Good Hallyu” by Supporting Booth Operation”, 17 April 2018, diakses melalui
http://eng.kofice.or.kr/e00_aboutUs/e30_kofice_news_view.asp?seq=16436&page=4&tblID=gon
gji&bunho=130 pada 19/11/2020 10.40 WIB
99

luar Korea pada tahun 2010 di Makau, di Singapura pada tahun 2011, dan di

Hong Kong dari tahun 2012 hingga 2016. MAMA untuk pertama kalinya di tahun

2017 memutuskan untuk memperluas acara tersebut di tiga negara berbeda yaitu

Vietnam, Hongkong dan salah satunya Jepang.

MAMA di Jepang melibatkan media TV terkemuka di Jepang dengan

disiarkannya MAMA di acara televisi 'Mezamashi TV' sebuah program populer

di Fuji TV. Acara ini juga mengadakan konferensi yang didatangi wartawan dari

media terkemuka datang ke lokasi untuk meliput upacara tersebut, termasuk Fuji

TV, Sky Perfect, Jiji Press, Weekly Asahi, Kodansha dan Haru Hana. Mnet juga

mengupayakan acara tersebut menjadi upacara penghargaan yang merangkul artis

se-Asia dimana artis papan atas dan berbagai musisi dari setiap daerah berkumpul

bersama di satu tempat, dan memberikan pertunjukan luar biasa yang hanya bisa

dilihat di 'MAMA'. Sebanyak 96 tim artis dan selebriti berpartisipasi dalam

upacara yang diadakan di 3 wilayah di tahun 2017 diantaranya 38 artis dari Asia

(selain Korea) dan 58 tim domestik213.

213
Website resmi CJ Group di halaman news: “KCON 2016 touches down in Japan” 08 Juli 2016
diakses melalui http://english.cj.net/m/cj_now/view.asp?bs_seq=13809
100

Gambar IV.9. penampilan AKB48 dan mantan anggota IOI di Acara


Penghargaan MAMA 2017

Sumber: Youtube Mnet K-POP

Ajang MAMA ini menjadi kesempatan bagi Mnet untuk mendukung

interaksi antara artis Korea dan Jepang sebagai negara penyelenggara. MAMA

menampilkan kolaborasi spesial antara I.O.I dan girl grup Jepang AKB48 untuk

pertunjukannya di Jepang dan membawakan lagu “pick me up” di atas satu

panggung. Acara penghargaan ini terus berlangsung hingga di tahun 2019 dengan

penonton yang tidka kalah banyak dari KCON mencapai 40.000 pengunjung

mengunjungi acara tersebut pada tahun 2018214.

Keempat adalah kerja sama baru sektor privat media Korea-Jepang dalam

satu acara televisi bernama Produce 48. Kolaborasi spesial dua girlband

Korea-Jepang pada acara MAMA 2016 juga sekaligus untuk mengumumkan

proyek kolaborasi yang akan datang antara AKB48 dan PRODUCE 101 yang

214
, Korea.net, “Top Asian music festival MAMA marks 10th anniversary” diakses melalui
http://www.korea.net/NewsFocus/Culture/view?articleId=166403&pageIndex=35 pada 16/02/21
12.00 WIB
101

disebut “PRODUCE48”. Kolaborasi acara ini berencana untuk membuat girl grup

global dalam kolaborasi antara Mnet dan Akimoto, produser AKB48 Yasushi

Akimoto yang juga hadir di acara penghargaan tersebut.215

Proyek kolaborasi antara dua agensi besar Korea-Jepang dalam satu acara

adalah pertama kalinya dalam industri hiburan Korea. Produce 48 adalah proyek

bersama antara Korea dan Jepang yang menggabungkan sistem dari Produce 101

dan AKB48 Jepang, dimana Sebanyak 96 kontestan akan berpartisipasi dalam

program survival ini, termasuk trainee dari Korea dan Jepang. Dalam acara ini

peserta akan diseleksi dengan pilihan fans Korea hingga12 besar untuk debut

sebagai girlband.

Ahn Joon Young selaku produser Mnet menyampaikan harapannya dalam

konferensi yang diadakan Mnet pada 11 Juni 2018, agar acara ini tidak dilihat

sebagai persaingan dua negara tetapi lebih untuk mencerminkan mimpi bersama

yang ingin dicapai kedua negara dalam dunia musik. “We have a slogan saying to

become one through music. Rather than just Korea and Japan, we wanted

something that could reflect a common dream across the globe. We hope that

this show isn’t seen as a competition between Korea and Japan.”

Acara program tersebut berhasil mendebutkan girl group bernama IZOne

dengan 9 anggota dari Korea dan 3 anggota dari Jepang. Debut kolaborasi dua

negara ini telah mencetak rekor penjualan yang laku di Korea dan minat yang

kuat di Jepang. Pada 29 Oktober saat Izone merilis lagu debutnya di Korea

Selatan, video lagu "La Vie en Rose" mencetak rekor dengan video terbanyak
215
Arama Japan, “AKB48 X Produce 101 (Produce 48) Collaboration Project, diakses emlalui
https://aramajapan.com/news/akb48xproduce101%E3%80%8Cproduce48%E3%80%8Dcollabora
tion-project/83051/ pada 10/12/2020 13.45 WIB
102

dicari saat itu dengan lebih dari 34 juta penayangan. Pada akhir Desember IZOne

tampil di acara musik terkenal Jepang FNS di Fuji dan lagunya juga menduduki

puncak tangga lagu Oricon pada minggu album tersebut dirilis meskipun bukan

debut album Jepang216.

Berdasarkan kegiatan pop culture yang disebutkan di atas, hal ini

menunjukkan bahwa pop culture selain membantu negara dalam meningkatkan

citra dan ekonomi negara, Budaya populer juga dapat membantu menciptakan

jembatan antara kedua negara dan mendorong dialog antar budaya melalui publik

secara efektif. Budaya populer juga dapat sekaligus menciptakan kerja sama

antara publik dengan sektor privat yang sedang dalam sengketa ini tetap berjalan.

Strategi diplomasi publik melalui Hallyu ini sebenarnya juga memunculkan

kekhawatiran terkait pandangan negatif publik akan keuntungan yang didapatkan

oleh pihak swasta dan reaksi negatif dari beberapa publik asing seperti

anti-Hallyu disebabkan masalah politik kedua negara. Namun di lain sisi Hallyu

dapat mendorong kegiatan publik yang melibatkan publik asing maupun dengan

sesama aktor privat di negara asing. Seperti apa yang dikatakan Ha Jae-Keun

seorang kritikus budaya populer dalam berita media online Korean Herald

tentang tanggapannya mengenai kontroversi ajang award MAMA di Jepang.

Menurutnya perlu untuk melanjutkan pertukaran di tingkat private level saat tidak

ada jalan lain untuk Korea-Jepang menjaga hubungan diplomasinya karena

sengketa politik ekonomi memanas. "I think it's necessary to continue

216
The Japan Times, Bridges built by the power of K-pop and J-pop, 6 Desember 2018 diakses
melalui https://www.japantimes.co.jp/culture/2018/12/06/music/bridges-built-power-k-pop-j-pop/
pada 09/12/2020 10.28 WIB
103

private-level exchanges because there is no way South Korea will sever its

relations with Japan," pop critic Ha Jae-keun said.217

Melanjutkan hasil skripsi yang ditulis Sari bahwa Hallyu sebagai instrumen

diplomasi publik memang belum bisa sampai kepada perkembangan hubungan

baik politik dua negara. Namun efektif dalam mendorong diplomasi people to

people dan government to people, dalam penelitian ini Hallyu dapat menciptakan

alternatif kerja sama antar sektor privat yang mewadahi interaksi dan pertukaran

publik asing meskipun keduanya dalam sengketa politik ekonomi dan sempat

menghambat kegiatan hallyu, namun hallyu mampu menunjukkan pemulihan

yang cepat karena daya tarik masyarakat yang tidak dapat dipengaruhi oleh

pemerintah.

217
Korean Herald,MAMA stirs controversy with decision to hold this year's event in Japan 30
September 2019 diakses melalui http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20190930000934
pada 15/12/2020 22.00 WIB
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pop culture sebagai instrumen soft power Korea Selatan telah memberi banyak

keuntungan bagi Korea terutama dalam bidang ekonomi, budaya dan pariwisata. Daya

tarik pop culture Korea mampu membuat penggemarnya dari seluruh bagian dunia

tertarik untuk mengenali budaya dan gaya hidup Korea lainnya hingga mengkonsumsi

produk Korea lainnya juga. Popularitas pop culture Korea yang telah berkembang

sejak akhir 1990 mulai dimanfaatkan Korea dalam menjalankan serta mewujudkan

visi misi diplomasi publiknya. Seperti yang tercantum laporan EAI NSP mengenai 10

agenda Korea Selatan, salah satu prinsip utama yang ingin dilakukan Korea Selatan

adalah melatih diplomasi publik dalam mengembangkan komunikasi 2 arah dengan

beragam aktor di abad 21 dengan memanfaatkan sumber soft power dari

pengembangan ekonomi, gelombang korea dan pengetahuan..

Jepang sebagai negara tetangga Korea sudah pasti menjadi negara yang dituju

Korea untuk menjalankan diplomasi publiknya demi mempertahankan hubungan baik

dengan Jepang yang mulai dibangun sejak normalisasi tahun 1965. Setelah membuka

hubungan politik dan ekonomi dengan Jepang, pemerintah Korea baru memutuskan

untuk membuka arus pertukaran budaya dengan Jepang pada tahun 1997 melalui

perjanjian Joint Declaration New 21st Century dengan harapan dapat menjalin

hubungan atas kesamaan paham nilai dan rasa percaya. Perjanjian ini membantu pop

culture Korea untuk dinikmati oleh masyarakat di Jepang dan berhasil mendapat

popularitas di sana pada awal 2003 melalui drama Winter Sonata.

104
105

Dilihat dari konsep soft power, pop culture Korea berhasil menarik minat

masyarakat Jepang hingga dapat mengubah citra Korea sebelumnya dari warisan

sejarah yang sebelumnya kurang baik menjadi lebih terbuka terhadap Korea.

Popularitas pop culture juga digunakan Korea sebagai kesempatan untuk pertukaran

budaya antar dua negara dan berhasil menyelenggarakan peringatan normalisasi

hubungan Korea Jepang pertama kali di tahun 2005. popularitas pop culture di Jepang

tidak selalu mendapat kemudahan, budaya pop ini masih rawan terhadap isu politik

dan sejarah kedua negara. Contohnya adalah saat isu wilayah pilau dokdo tahun 2012

dan isu sejarah pekerja paksa tahun 2017. Akibat isu pulau Dokdo pop culture Korea

sempat mendapat dampak dari isu tersebut mulai dari pemberhentian penayangan

drama hingga pemberhentian konten artis Kpop di saluran TV Jepang.

Penelitian ini berusaha menganalisis dan mencari celah peran pop culture Korea

dalam diplomasi publik Korea di Jepang di tengah hubungan Korea Jepang yang

cenderung kurang stabil karena isu politik dan sejarah yang masih sering muncul ke

permukaan dalam mempertahankan komunikasi publik dan sektor privat

Korea-Jepang. Sebelumnya, penulis mengambil apa yang diyakini Nye sebagai 3

dimensi kegiatan diplomasi publik yang mewujudkan tujuan negara, yaitu melalui:

aktivitas diplomasi antar negara, strategi komunikasi, hubungan jangka panjang

antara individu suatu negara melalui aktivitas, pertukaran, seminar maupun dari

saluran media. Kemudian penulis juga melihat strategi diplomasi publik yang

dijalankan Korea sebelum mengambil kesimpulan bahwa tujuan yang ditekankan dalam

diplomasi publik yang direncanakan korea dan diplomasi publik menurut Nye adalah untuk

menciptakan komunikasi dua arah dengan negara asing melalui publik ataupun sektor privat.daalam

upaya menjalin hubungan bilateral.


106

Hasil dari analisis fenomena Hallyu yang terjadi di Jepang adalah penulis

menemukan dua kontribusi spesifik dari budaya populer Korea di Jepang sebagai

instrumen kegiatan diplomasi publik Korea Selatan 2012-2019. Pertama adalah

sebagai soft power yang mempertahankan kecenderungan masyarakat Jepang

terhadap Korea sehingga menciptakan hubungan jangka panjang antar- individu.

Kedua adalah sebagai strategi komunikasi dan Kerjasama antara Publik dengan Sektor

Privat Korea dengan Jepang.

Berdasarkan konsep soft power yang digunakan, daya tarik pop culture Korea

mampu mempertahankan minat masyarakat Jepang terhadap Korea. Hal ini dilihat

dari aktivitas penggemar Hallyu yang tetap berjalan walaupun TV Jepang mulai

memberhentikan penayangan drama dan artis Kpop di saluran TV. Konser musik

Kpop masih terlihat aktif di Jepang begitu juga dengan perilisan album Jepang oleh

artis Kpop yang masih berhasil menempati posisi top 100 album di Oricon Jepang..

Minat penggemar terhadap Korea ini kemudian dapat mendorong kegiatan

diplomasi publik Korea di Jepang dalam melakukan pendekatan dan komunikasi

dengan publik yang juga dibantu dengan kemajuan internet dan sosial media yang

semakin memudahkan diplomasi publik Korea. Soft power memiliki pendekatan lain

terhadap negara tujuannya, bukan dengan menargetkan ke perangkat negaranya yang

sedang dalam sengketa namun dengan menargetkan individu publik asing untuk

mendukung kebijakan luar negeri negara tersebut. Sesuai dengan peran soft power,

penulis melihat kasus Hallyu di Jepang ini efektif dalam memengaruhi publik Jepang

terutama penggemar Hallyu untuk memisahkan sentimen masalah diplomatik

Korea-Jepang terkait sejarah dan politik dengan budaya, sehingga diplomasi publik

melalui komunikasi publik masih tetap terjaga.


107

Dari konsep new public diplomacy yang menggambarkan bahwa diplomasi

publik tidak hanya dilakukan oleh perangkat negara, dapat menjelaskan bagaimana

aktivitas melalui acara pop culture Korea juga mendukung diplomasi publik Korea

dengan promosi budaya Korea dan keterlibatan publik asing. Contohnya adalah

perluasan penyelenggaraan festival konser KCON pertama kali di Asia adalah di

Jepang pada tahun 2015. Untuk mendorong ketertarikan dan keterlibatan publik asing

terhadap budaya Korea, rangkaian KCON biasanya terdiri dari kompetisi KPOP

Cover Dance, zona make-up, life style, kuliah serta program studi bahasa Korea,

peragaan busana Hanbok, serta stan pameran dari perusahaan kecil Korea, menengah

hingga yang besar dan ditutup di hari ketiga dengan konser artis K-Pop.

Festival Konser Korea yang diselenggarakan oleh CJ Group ini menunjukkan

hasil positif dalam pendekatan terhadap publik di Jepang melalui konten yang

disajikan dalam festival ini dengan bertambahnya pengunjung yang datang di tiap

tahun, sehingga pemerintah Korea mulai mengambil inisiatif untuk menjadikan ajang

tersebut sebagai upaya strategi diplomasi publik. Pada 8 Maret CJ E&M

mengumumkan bahwa mereka menandatangani MOU untuk upaya meningkatkan

reputasi Korea dengan projek 'Nice Hallyu' bersama dengan KOFICE.

Selain komunikasi dengan publik, industri pop culture Korea ini juga dapat

membuka alternatif lain untuk kerjasama dengan aktor privat. Kolaborasi antara

agensi besar Korea-Jepang yaitu Mnet dan produser AKB48, Yasushi Akimoto dalam

satu acara yang disebut Produce 48, merupakan pertama kalinya dalam industri

hiburan Korea.. Program kolaborasi ini diumumkan di acara penghargaan MAMA

yang pertama kali Jepang ditunjuk sebagai tuan rumah pada tahun 2017 setelah

berhasil membawa dua idol girlband dari dua negara, yaitu IOI dan AKB 48
108

berkolaborasi di atas satu panggung. Acara penghargaan yang berusaha

mengumpulkan artis dari berbagai negara di Asia berhasil dapat diselenggarakan di

Jepang walaupun di tengah ketidak stabilan hubungan politik kedua negara pada

tahun 2019 terkait penghapusan masing-masing negara dari daftar partner dagang.

Strategi diplomasi publik melalui Hallyu ini sebenarnya juga memunculkan

kekhawatiran terkait keuntungan yang didapatkan oleh pihak swasta dan reaksi

negatif dari beberapa publik asing seperti anti-Hallyu. Ha Jae-Keun seorang kritikus

budaya populer memberi tanggapannya mengenai kontroversi ajang award MAMA di

Jepang. Menurutnya, perlu untuk melanjutkan pertukaran di tingkat private level saat

tidak ada jalan lain untuk Korea-Jepang menjaga hubungan diplomasinya karena

sengketa politik ekonomi memanas.

Setelah pemaparan analisis diatas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa hallyu

dapat menjadi instrumen diplomasi publik yang lebih efektif untuk Korea di Jepang,

jika sengketa sejarah dan politik dapat diselesaikan dengan forum atau submit resmi

dimana kedua belah pihak duduk berhadapan mencari kesamaan pemahaman dan titik

temu untuk sengketa sejarah kedua negara. Bagaimanapun Hallyu hanya salah satu

material soft power yang jika tidak dibarengi oleh dukungan material hard power akan

memengaruhi kelangsungan diplomasi publik Korea.

Sejauh ini Hallyu dengan daya tariknya berhasil mempertahakan pengaruhnya di

Jepang dan mendorong generasi muda untuk memisahkan urusan politik dengan

budaya. Daya tarik publik terhadap Hallyu juga membuat pandangan publik lebih

terbuka terhadap Korea. Penggemar Hallyu biasanya akan mempelajari budaya Korea

secara mandiri dan sukarela sehingga tidak terpengaruh oleh pengertian sejarah
109

Korea-Jepang yang memunculkan permusuhan atau sentimen publik dan

memperburuk hubungan politik dan ekonomi yang memanas.

Berdasarkan kegiatan pop culture yang disebutkan di atas, hal ini menunjukkan

bahwa pop culture selain membantu negara dalam meningkatkan citra dan ekonomi

negara, Budaya populer juga dapat membantu menciptakan jembatan antara kedua

negara dan mendorong dialog dan interaksi antar publik secara efektif dengan

kegiatan Hallyu yang diselenggarakan oleh sektor privat atau pemerintah. Budaya

populer juga dapat sekaligus menciptakan salah satu kerja sama antara publik dengan

sektor privat yang sedang dalam sengketa ini tetap berjalan meskipun di tengah

sengketa yang sempat menghambat kegiatan hallyu, namun hallyu mampu

menunjukkan pemulihan yang cepat karena daya tarik masyarakat yang tidak dapat

dipengaruhi oleh pemerintah.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nizzim Otmazgin and Eyal Ben-Ari, “Popular Culture and the State in East and

Southeast Asia”, Routledge, New York, 2012.

Yasue Kuwahara, “The Korean Wave: Korean Popular Culture in Global Context,

Palgrave Macmillan”, New York, 2014

Kadir Ayhan, “Korea’s Public Diplomacy”, Hangang Network, Seoul, 2016,

Chua Beng Huat dan Koichi Iwabuchi, “East Asian Pop Culture: Analysing Korean

Wave”, Hongkong University Press, 2008.

Jan Mellisen, “The new public diplomacy: Soft Power in International Relation”,

Palgrave, Macmilan,2005.

Dr. Sandu Siyoto, SKM., M.Kes & M. Ali Sodik, M.A, “Dasar Metodologi

Penelitian”, Literasi MediaPublishing, 2015, Hal 27

John W. Creswell, “ Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methodes approaches”, 4th Edition, Sage Publication, United Statet 2014

Suyanto Bagong dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif

Pendekatan, Jakarta, Prenandan Media Group, 2004

Jurnal

Lee Seu Jin, “Korean Wave the Soul of Asia”, The Elon Journal of Undergraduate

Research in Communications, Vol. 2, No. 1, Spring 2011.


Gunjoo Jang, Won K. P, “Korean Wave as Tools for Korean New Public Diplomacy”,

Scientic Research, 2012. Vol.2, No.3, 196-202, Published Online September 2012

in SciRes (http://www.SciRP.org/journal/aasoci)

Jonghoe Yang, “The Korean Wave (Hallyu) in East Asia: A Comparison of Chinese,

Japanese, and Taiwanese Audiences Who Watch Korean TV Dramas”,

Development and Society Vol 41, No 1, Sungkyunkwan University, 2012.

Brian Truong, The Korean Wave: Cultural Export and Implication, 2014, dapat

diakses di

http://resources.css.edu/academics/his/middleground/articles/taugertruongglobalizati

onteachingfall2015themiddlegroundjournal.org.pdf

Hyejung Ju, “The Korean Wave and Korean Dramas”, Oxford Research

Encyclopedya Communication, 2018.

Wilfried Bolewski, Diplomatic Processes and Cultural Variations: The Relevance of

Culture in Diplomacy, The Whitehead Journal of Diplomacy and International

Relations: winter/spring, 2008.

Gunjoo Jang, Won K. Paik, Korean Wave as Tool for Korea’s New Cultural

Diplomacy, Scientific Research Vol.2, No.3, 2012.

Nick Desiden, “Bubble Pop: An Analysis of Asian Pop Culture and Soft Power

Potential”, Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 18 2013.

Hunshik Kim, “When public diplomacy faces trade barriers and diplomatic frictions:

the case of the Korean Wave”, Macmillan Publishers Ltd 2017


Luis Antonio, “Pop Power: Pop Diplomacy for a Global Society” , 1st edition 2014,

Peru.

Joseph S. Nye, Jr. “Publik Diplomacy and Soft Power”. The ANNALS of the

American Academy of Political and Social Science, 2008

Galia Press-Barnathan, “Does popular culture matter to International Relations

scholars?” dalam buku Otmazgin and Eyal, Popular Culture and the State in

East and Southeast Asia, Routledge, New York, 2012

Oh, Ingyu dan Hyo-Jung Lee, "Mass Media Technologies and Popular Music Genres:

Kpop and YouTube." , Korea Journal, Vol 53 No 4, 2013

Tae Young Kim dan Dal Yong Jin, “Cultural Policy in the Korean Wave: An Analysis

of Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches“, International

Journal of Communication 10(2016)

Joanna Elfving Hwang, “South Korean Cultural Diplomacy and Brokering

‘K-Culture’ outside Asia”, Korean Histories, vol 4 No 1, 2013

Eytan Gilboa, “Searching for a Theory of Public Diplomacy”, The ANNALS of the

American Academy of Political and Social Science, 2008.

Joseph S. Nye, Jr. “Publik Diplomacy and Soft Power”. The ANNALS of the

American Academy of Political and Social Science, 2008.

Yun Young Cho, “Public Diplomacy and South Korea’s Strategies”, The Korean

Journal of International Studies, Vol. 10, No. 2 (December 2012)

Won Young Jin, “Hallyu: Numerous Discourses, One Prespective”, Sogang University,

Asian Journal of Journalism and Media Studies, 2015, hal 20


Lee Seu Jin, “Korean Wave the Soul of Asia”, The Elon Journal of Undergraduate

Research in Communications, Vol. 2, No. 1, Spring 2011

Millie Creighton, “Through the korean wave looking glass : Gender,Consumerism,

Transnationalism, Tourism Reflecting JapanKorea Relations in Global East

Asia”, The Asia-Pacific Journal : Japan Focus, Volume 14, Issue 7, No 7, Apr 01,

2016.

Ferdian dkk, “South Korean Government’s Role in Public Diplomacy: A Case Study

of the Korean Wave Boom”, Andalas Journal of International Studies, Vol 8 No 1,

2019

Lucian Jora, “New Practices and Trends in Cultural Dilomacy”, Politic. Science and

International Relation. X, 1, p. 43–52, Bucharest, 2013

Jonathan dan Sungwoo Park, “Republic of Korea: K-culture and the Next Wave of

Economic Growth”, International Journal of Cultural and Creative Industries,

Volume 5, Issue 1, November 2017.

Hyeri Jung, “Agenda-setting in the realm of popular culture: The case of the Korean

Wave in East Asia”, Global Media and Communication, Eastern University, Vol

15 issue 3, 2019

Seung K. Ko, “South Korea-Japan Relation Since Normalization 1965”, dalam Jurnal

Modern Asian Studies ,Volume 6, Issue 01 March 1972, pp 49 - 61.

John Lie, “What is the K in Kpop? South Korean Popular Music, the Culture

Industry, and National Identity”, Korea Observer, Vol. 43, No. 3, Autumn, The

Institute of Korean studies, 2012, pp. 339-363,


Beng-Huat Chua, “Delusional desire: soft power and television drama” dalam “East

Asian Pop Culture: Analysing Korean Wave”, Hongkong University Press, 2008

Yoshitaka Mori, “Winter Sonata and Cultural Practicesof Active Fans in

Japan:Considering Middle-Aged Women as Cultural Agents”, dalam “East Asian

Pop Culture: Analysing Korean Wave”, Hongkong University Press, 2008

Seungyun Oh, “Hallyu (Korean Wave) as Korea’s Cultural Public Diplomacy in China

and Japan”, dalam “Korea’s Public Diplomacy”, Hangang Network, Seoul, 2016

Seung K. Ko, “South Korea-Japan Relation Since Normalization 1965”, dalam Jurnal

Modern Asian Studies ,Volume 6, Issue 01 March 1972, pp 49 - 61

Hwajung Kim, “Bridging the Theoretical Gap between Public Diplomacy and

Cultural Diplomacy”, The Korean Journal of International Studies Vol.15, No.2,

293-326, 2017.

Ashven Gonesh dan Jan Mellisan, “Public Diplomacy: Improving Practice”, The

Hague, Netherlands Institute of International Relation, Clingendael Paper, 2005

Joseph S. Nye, “Bound to Lead: The Changing Nature of American Power”, New

York: Basic Books, 1990.

Shin wa Lee, “Soft Power and Korean Diplomacy: Theory and Reality”, Wisemen

Roundtable Soft Power in Northeast Asia, 2008.

Lee Geun, “A Theory of Soft Power and Korea Soft Power Strategy”, Korean

Journal of Defense Analysis 21 (2), 2009

Dal Yong Jin, “The Korean Wave: Retrospect and Prospect”, International Journal of

Communication 11, 2241–2249, Yonsei University, 2017


Ian Hall & Frank Smith, “The Struggle for Soft Power in Asia:Public Diplomacy and

Regional Competition”, Asian Security, vol. 9, no. 1, pp. 1–18, 2013.

Tesis

Sunyoung Kwak, Communication Graduate Thesis “Rethinking the Expediency of the

Regional Flow of Pop Culture: the Case of the Korean Wave in Japan”,University

of Colorado at Boulder, 2017

Kozakhmetova Dinara, Thesis “Soft power of Korean Popular Culture in Japan:

K-Pop Avid Fandom in Tokyo” Lund University, 2016.

Sarrah Brand, Tesis: “Marketing K-Pop and J-Pop in the 21st Century”, Dickinson

Collage, 2017

Johan William Jolin, Tesis: “The South Korean Music Industry: The Rise and Success

of ‘K-Pop”, Stockholm University, 2017

Hellena Lee,Tesis: Soft Power Indications and Public Diplomacy: The Example of

Tallinn King Sejong Institute, Tallin U niversity of Technology, 2018

Joumane Chahine, Tesis: “Public Diplomacy: a Conceptual Framework”, McGill

University, 2010.

Oh Seungyun, Tesis: “Shifting Soft Power Dynamics in Anti-Hallyu of China and

Japan”, Seoul National University, 2017, hal 36

Ugnė Mikalajūnaitė, Thesis “anti-korean wave and far-right wing nationalism in

japan”, Leiden University, 2015


Ugnė Mikalajūnaitė, Thesis “anti-korean wave and far-right wing nationalism in

japan”, Leiden University, 2015

Joseph R. Johnson, Tesis: “The Effects of Cultural Diplomacy on Public Perception in

Asia”, Utah State University, 2018

Artikel

KOCIS, “The Korean Wave A New Pop Culture Phenomenon”, Contemporary Korea

No 1, 2011

Sujong Kim,”Universality and particularity of K-pop as a glocal culture” dalam

laporan Hallyu White Paper, KOFICE, 2018

Miyeon Kim, “New Media and Kpop”, dalam laporan Hallyu White paper KOFICE

2018

Hong Seok-kyung, “The problems of culture industry of Korea brought about

by ”Hallyu” commercialism”, dalam Majalah Kofice,”Hallyu now” vol 21, 2017.

EAI National Security Panel (NSP) Report, Toward 2020: Ten Agendas for South

Korea’s Foreign Policy, 2012.

Kwang-jin Choi, “The Republic of Korea’s Public Diplomacy Strategy: History and

Current Status”, USC Center on Public Diplomacy, FIGUEROA PRESS, Los

Angel, 2019

Chang Gyu-soo, “K-Pop which lost its way... toward Japan again?” dalam Global

Hallyu Issue, April 2017, Monthly Report KOFICE ,


Hando Chizuko, “Changes of paradigm in Hallyu consumption in Japan”, dalam

Global Hallyu Issue, April 2017, Monthly Report KOFICE.

Seonghoo Sheen, “Japan-South Korea Relations: Slowly Lifting the Burden of

History?”, dalam Occasional Paper Asia-Pacific Center for Security Studies,2003

KOFICE, “Global Hallyu Trends: Diagnosing the present and future of Hallyu across

the world”, 2020

Sakaki, Alexandra, “Japan-South Korea Relations –A Downward Spiral” Stiftung

Wissenchaft und Politik (SWP Comment), No 35 Agusutus, 2019

Seonghoo Sheen,” Japan-South Korea Relations:Slowly Lifting the Burden of History?”,

dalam Occasional Paper Asia-Pacific Center for Security Studies, 2003

Website

Yonhap, “Korean Wave the Best Tool for Public Diplomacy with US: Diplomat”, The

Korea Herald, 4 September 2016,diakses di

http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20160904000106

The jakarta post, New Report Shows Boost in Number of Hallyu Fans Partly because of

BTS, diakses di

https://www.thejakartapost.com/life/2019/01/13/new-report-shows-boost-in-number-of-

hallyu-fans-partly-because-of-bts.html

Website resmi KOFICE di halaman KOFICE News, “KOFICE Heralds Dissemination

of “Good Hallyu” by Supporting Booth Operation”, 17 April 2018, diakses melalui


http://eng.kofice.or.kr/e00_aboutUs/e30_kofice_news_view.asp?seq=16436&page=4&t

blID=gongji&bunho=130

Korea Bizwire, “CJ E&M to Begin 2018 KCON in Japan”, 22 JanuarI 2018 diakses

melalui http://koreabizwire.com/cj-em-to-begin-2018-kcon-in-japan/108311

Website resmi CJ Group di halaman news: “KCON 2016 touches down in Japan” 08

Juli 2016 diakses melalui http://english.cj.net/m/cj_now/view.asp?bs_seq=13809

Arama Japan, “AKB48 X Produce 101 (Produce 48) Collaboration Project”, diakses

melalui

https://aramajapan.com/news/akb48xproduce101%E3%80%8Cproduce48%E3%80%8

Dcollaboration-project/83051/

The Japan Times, “Bridges built by the power of K-pop and J-pop”, 6 Desember 2018

diakses melalui

https://www.japantimes.co.jp/culture/2018/12/06/music/bridges-built-power-k-pop-j-po

p/

Korean Herald, “MAMA stirs controversy with decision to hold this year's event in

Japan”, 30 September 2019 diakses melalui

http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20190930000934

Website resmi Kemeterian Luar Negeri Korea Selatan,

http://www.mofa.go.kr/eng/wpge/m_22845/contents.do

Business Korea, “CJ E&M to Hold KCON in Japan in April”, 17 Februari 2015,

diakses melalui http://www.businesskorea.co.kr/news/articleView.html?idxno=9105


Korea Joong Ang Daily, “Korean culture conference makes Japan debut”, 19 April

2015 diakses melalui

https://koreajoongangdaily.joins.com/2015/04/19/etc/Korean-culture-conference-makes-

Japan-debut/3003286.html

Korea.net, “Korea-Japan festival brings neighbors closer”, 15 September 2014

http://www.korea.net/NewsFocus/Culture/view?articleId=121708

Website resmi KOFICE di halaman KOFICE News,30 Januari 2013 diakses melalui

http://eng.kofice.or.kr/e00_aboutUs/e30_kofice_news_view.asp?seq=10890&tblID=gon

gji&clsID=

Rosemarie Ho, The Outline, Why BTS is in Trouble over a T-shirt, 15 November 2018

diakses melalui

https://theoutline.com/post/6588/bts-japan-shirt-nazi-hat-cancelled-concert

The Japan Times, Trade spat sees K-pop caught in the middle, 14 Agustus 2019, diakses

melalui

https://www.japantimes.co.jp/culture/2019/08/14/music/trade-spat-sees-k-pop-caught-m

iddle/

Soompi, “BTS,Twice, IZOne, Seventeen and more Earn Spots on Oricon’s Charts for

First Half of 2019”, 20 Juni 2019, diakses melalui

https://www.soompi.com/article/1333499wpp/bts-twice-izone-seventeen-and-more-earn

-spots-on-oricons-charts-for-first-half-of-2019

The Jakarta Post, “BTS tops Oricon’s Album Sales for First Half of 2020”, 19 Juni 2020,

diakses melalui

https://www.thejakartapost.com/life/2020/06/19/bts-tops-oricons-album-sales-for-first-h
alf-of-2020-.html#:~:text=Korean%20pop%20giant%20BTS%20has,the%20Soul%3A

%207%20ranked%20No.

The Korea Times, “Hallyu resurges in Japan amid diplomatic rift”, 23 Juli 2020,

diakses melalui http://m.koreatimes.co.kr/pages/article.asp?newsIdx=293277

The Japan Times, Japan-South Korea trade spat gains little traction among youth on

social media, 10 Agustus 2019,

https://www.japantimes.co.jp/news/2019/08/10/national/media-national/japan-south-kor

ea-trade-spat-gains-little-traction-among-youth-social-media/

The Korea Times, Hallyu can boost indirect public diplomacy, 20 Oktober 2017 diakses

melalui

https://www.google.com/amp/m.koreatimes.co.kr/pages/article.amp.asp%3fnewsIdx=23

8002

Hallyu fervor rekindled in Japan amid diplomatic row, Korea Times, 15 Desember 2018

diakses melalui https://www.koreatimes.co.kr/www/art/2020/11/732_260421.html

Washington Post, Japan-South Korea Dispute Escalates as Both Sides Downgrade

Trade Ties, 02 Agustus 2019, diakses melalui

https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/japan-downgrades-south-korea-as-

trade-partner-as-bitter-dispute-escalates/2019/08/01/6a1d83ec-b4cc-11e9-8e94-71a3596

9e4d8_story.html

Big Bang’s “Alive Galaxy Tour 2012” at Kyocera Dome in Japan, Soompi, 26

November 2012 diakses melalui

https://www.soompi.com/article/448090wpp/big-bangs-alive-galaxy-tour-2012-at-kyoce

ra-dome-in-japan-check-out-all-the-concert-photos-here-2
Korea Herald, “Big Bang closes Japan Dome Tour, breaks ticket sales record”, The

Korea Herald, 14 Juni 2014 diakses melalui

http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20140114000833

Soompi, “Girls’ Generation Sets New Record with Japanese Tour”, Soompi, 22 April

2013 di akses melalui

https://www.soompi.com/article/491866wpp/girls-generation-sets-new-record-with-japa

nese-tour

Kara Successfully Ends Tokyo Dome Concert With Tears, Soompi, 8 Januari 2013,

diakses melalui

https://www.soompi.com/article/463479wpp/kara-successfully-ends-tokyo-dome-concer

t-with-tears

Will the Takeshima dispute break the Korean wave?, The Japan Times, 22 september

2012 diakses melalui

https://www.japantimes.co.jp/news/2012/09/02/national/media-national/will-the-takeshi

ma-dispute-break-the-korean-wave/

Soompi, TWICE To Be First Korean Artist In 6 Years To Appear On Famous Japanese

Year-End Show, 16 November 2017 diakses melalui

https://www.soompi.com/article/1078865wpp/twice-first-korean-artist-6-years-appear-f

amous-japanese-year-end-show

Anti-hallyu voices growing in Japan, Korea Times, 21 Februari 2014 diakses melalui

http://m.koreatimes.co.kr/pages/article.asp?newsIdx=152045

Anda mungkin juga menyukai