Anda di halaman 1dari 154

IKHTISAR EKSEKUTIF

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular Tahun 2023 merupakan laporan pertanggungjawaban kinerja yang
menjabarkan capaian kinerja atas implementasi sistem akuntabilitas kinerja Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular sesuai dengan Perjanjian Kinerja Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2020-2024 dan Rencana Aksi Program Ditjen P2P Tahun 2020-2024 dan Rencana Aksi
Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2020-2024 Revisi.
Capaian Indikator Kinerja Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular yang
tercantum dalam Perjanjian Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular Tahun Anggaran 2023 adalah sebagai berikut:

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV dari target 85% tercapai 76% dengan kinerja
89.41%
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART
dari target 90% tercapai 79% dengan kinerja 87.78%
3. Angka keberhasilan pengobatan TBC dari target 90% tercapai 84.8% dengan kinerja
94.24%
4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%, dari target 394 kab/kota
tercapai 323 kab/kota dengan kinerja 81.9%
5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu, dari target
90% tercapai 87.31% dengan kinerja 97.01%
6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar, dari target 70% tercapai 95.01%
dengan kinerja 135.7%
7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar, dari target 70% tercapai 91.23%
dengan kinerja 130.3%
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada
populasi berisiko dari target 100% tercapai 97.1% dengan kinerja 97.1%
9. Persentase pasien sifilis yang diobati dari target 85% tercapai 70 % dengan kinerja 82,35%
10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, dari target 24 desa tercapai
16 desa dengan kinerja 66.67%
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies, dari target 236 kab/kota tercapai 247 kab/kota
dengan kinerja 104.66%
12. Persentase kabupaten/Kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk dari
target 85% tercapai 22% dengan kinerja 25.88%
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%, dari
target 220 kab/kota tercapai 208 kab/kota dengan kinerja 94.5%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi, dari target 150 kab/kota
tercapai 108 Kab/Kota dengan kinerja 72%
15. Persentase rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK yang telah tuntas di tindaklanjuti
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, dari target 92.5% tercapai
94.64% dengan kinerja 102.31%
16. Persentase Realisasi Anggaran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
dari target 95% tercapai 97.92% dengan kinerja 103.07%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 2


Sejumlah 5 indikator kinerja kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
telah mencapai target dan 11 indikator belum memenuhi target indicator tahun 2023. Adapun
penyebabnya yaitu :
1. Belum optimalnya pencatatan dan pelaporan pada Tingkat daerah kepada Kementerian
Kesehatan
2. Komitmen daerah dalam bekerja sama mencegah dan mengendalikan penyakit menular
belum adekuat
3. Penemuan dan pengobatan kasus positif masih belum sejalan
4. Ketersediaan logistik untuk menunjang pelaksanaan program belum mampu memenuhi
kebutuhan daerah
5. Masih perlunya peningkatan kapasitas baik pada tenaga kesehatan, kasus positif, dan
masyarakat
6. Akses dan cakupan layanan kesehatan masih belum memadai

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 3


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR Error! Bookmark not defined.

IKHTISAR EKSEKUTIF 2

BAB I 5

A. LATAR BELAKANG 5

B. ISU STRATEGIS 6

C. VISI MISI 9

D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI 10

E. STRUKTUR ORGANISASI 10

F. SUMBER DAYA MANUSIA 11

G. SISTEMATIKA PENULISAN 14

BAB II 15

A. PERENCANAAN KINERJA 15

B. PERJANJIAN KINERJA 17

BAB III 19

A. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI 19

B. ANALISIS PENCAPAIAN ORGANISASI 20

BAB IV 149

A. KESIMPULAN 149

B. TINDAK LANJUT 149

LAMPIRAN 150

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 4


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sesuai Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, SDM kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai peningkatan
pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Penekanan diberikan
pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan upaya program
dan sektor yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya. Periode Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2020–2024 merupakan bagian penting dari
implementasi pembangunan jangka panjang, oleh karena itu percepatan pelaksanaan atas
perencanaan tersebut menjadi kunci keberhasilan program pembangunan nasional.
Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) untuk
mendukung pembangunan nasional dengan mengacu pada RPJMN sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005–2025. Rencana Strategis Tahun 2020–2024 Kementerian Kesehatan yang
telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 Tahun 2020,
mengalami perubahan yang ditetapkan melalui Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan atas Permenkes Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2020-2024.
Perubahan ini disebabkan karena adanya perubahan struktur organisasi dan pandemi
Covid-19, yang mendorong Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan transformasi
kesehatan. Transformasi kesehatan ini sesuai dengan mandat dari Presiden Republik Indonesia
yakni pelaksanaan vaksinasi Covid-19 secepat-cepatnya, penanganan pandemi Covid-19 dan
Transformasi Sistem Kesehatan. Transformasi kesehatan dilaksanakan dengan menegakkan
enam pilar yakni 1). Transformasi Layanan Primer, 2). Transformasi Layanan Rujukan, 3).
Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, 4). Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan,
5). Transformasi Sumber Daya Manusia Kesehatan dan 6). Transformasi Teknologi Kesehatan.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terbentuk melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022, di bawah Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Sejalan dengan perubahan Renstra
Kementerian Kesehatan, telah disusun Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular pada Tahun 2022. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
upaya mencapai tujuan strategis sebagaimana telah tertuang dalam RAK Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular, maka Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAPKIN) yang dapat pula digunakan
sebagai bahan evaluasi kinerja direktorat dalam upaya meningkatkan capaian kinerja tahun
berikutnya.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 5


B. ISU STRATEGIS
Peran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam pelaksanaan
pembangunan kesehatan adalah di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular
melalui upaya-upaya untuk mencapai status reduksi, eliminasi, dan eradikasi. Penyakit menular
yang masih menjadi masalah utama dan harus mendapat perhatian khusus yaitu tuberkulosis,
HIV/AIDS, malaria, penyakit infeksi baru yang menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat, dan penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases - NTDs).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Menular Seksual (IMS)
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas menjadi masalah sosial, ekonomi, dan
budaya. Pada tahun 2023, angka orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) di Indonesia
berdasarkan AIDS Epidemic Model (AEM) diperkirakan sebanyak 515.455 orang, jumlah ini
menurun dibandingkan dengan tahun 2022 (526.841 ODHIV). Infeksi baru HIV di Indonesia terus
mengalami penurunan, sejalan dengan penurunan infeksi baru HIV global. Tujuan pengendalian
HIV AIDS pada tahun 2030 adalah mencapai Three Zero yaitu zero new HIV infection, zero AIDS
related death dan zero discrimination melalui program STOP (Suluh, Tes, Obati dan
Pertahankan). Target STOP tahun 2030 sebesar 95-95-95 yaitu 95% orang dengan HIV
mengetahui status HIV nya, 95% orang dengan HIV AIDS mendapatkan pengobatan dan 95 %
orang yang mendapatkan pengobatan HIV tersupresi virusnya. Dengan adanya komitmen
diharapkan semua elemen baik pemerintah, swasta, masyarakat dan lain-lain dapat mendorong
pencapaian eliminasi HIV tahun 2030
Hasil estimasi IMS di Indonesia pada tahun 2020, menunjukkan bahwa prevalensi
gonore dan infeksi klamidia pada populasi kunci terjadi 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pada populasi umum. Namun secara umum terjadi penurunan prevalensi sifilis pada WPS dan
LSL yang disebabkan oleh karena peningkatan penggunaan kondom dan upaya pencegahan
IMS dan HIV lainnya. Hal ini juga sejalan dengan penurunan pada prevalensi HIV. Pengendalian
IMS pada populasi kunci dan non populasi kunci, terutama ibu hamil, harus terus diperkuat agar
target eliminasi IMS dapat tercapai.
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan WHO Global TBC Report 2023, kasus TBC di Indonesia pada tahun 2022
diperkirakan sejumlah 1.060.000 kasus dengan insidensi 385 per 100.000 penduduk yang
kemudian membawa Indonesia menjadi salah satu negara tertinggi dengan kasus terbanyak
setelah India. Pada tahun 2022 masih banyak kasus yang belum terlaporkan dan terdiagnosis
sehingga perlu peningkatan penemuan dan pengobatan di lapangan baik kegiatan aktif dan
pasif. Dengan adanya komitmen pemerintah diharapkan semua elemen baik pemerintah,
swasta, masyarakat dan lain-lain dapat mendorong pencapaian eliminasi tuberkulosis tahun
2030.
Berdasarkan World Malaria Report (WMR) tahun 2023, secara global diperkirakan
terdapat 249 juta kasus malaria pada tahun 2022, angka ini meningkat sekitar 5 juta kasus
dibanding tahun 2021. Sebagian besar peningkatan ini berasal dari negara-negara di wilayah
Afrika yang meningkat sebesar 3% dibanding tahun 2020. Angka kejadian kasus malaria
meningkat dari 57 per 1000 penduduk (2019) menjadi 58 per 1000 penduduk berisiko (2022).
Tahun 2022, negara-negara di Afrika menyumbangkan sekitar 231 juta (94%), sedangkan
negara-negara di wilayah Asia sekitar 2% dari beban kasus malaria secara global. Indonesia
melaporkan kasus malaria terbesar kedua setelah India di Benua Asia dengan estimasi kasus
oleh WHO sebesar 790.598 pada tahun 2022. Situasi nasional berdasarkan laporan rutin pada
tahun 2022 memperlihatkan adanya peningkatan kasus positif malaria hingga lebih dari 30% dari

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 6


304.607 (2021) menjadi 443.530 (2022). Kasus tertinggi dilaporkan di Provinsi Papua yang
berkontribusi menyumbang kasus positif sebanyak 393.801 (89%) dari kasus nasional.
Menurut laporan global, di tahun 2022 Indonesia masih menjadi penyumbang kasus
baru kusta nomor 3 terbesar di dunia, setelah India dan Brazil. Sebanyak 12.612 kasus baru
ditemukan sepanjang tahun 2022 dengan proporsi kasus anak 9,75%, kasus baru tanpa cacat
83,23%, dan persentase penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan tepat waktu
Release From Treatment (RFT) 87%. Tingginya temuan kasus kusta baru di wilayah Papua dan
Maluku menunjukkan masih tingginya penularan kasus kusta khususnya di wilayah timur
Indonesia. Mengatasi berbagai permasalahan tersebut, upaya inovatif dan strategi baru terus
dikembangkan. Sebagai pedoman dalam menjalankan program penanggulangan kusta telah
diterbitkan Permenkes No. 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta dan Kepmenkes
HK.01.07/Menkes/308/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana
Kusta.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
terpenting karena banyak menyebabkan kematian lebih jauh lagi menjadi penyebab kematian
terbesar pada anak di dunia maupun Indonesia. Menurut WHO (2022) pada tahun 2019
dilaporkan bahwa pneumonia menjadi 14% dari penyebab kematian anak dibawah 5 tahun dan
22% dari seluruh kematian anak usia 1-5 tahun. Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 2% dan 4%
berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan gejala. Menurut Profil Kesehatan 2022,
pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada post neonatal (29 hari-11 bulan) yaitu
sebesar 15,3% dan pada balita kelompok usia 12-59 bulan (12,5%).

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan
di dunia termasuk Indonesia. Selain menjadi sebagai salah satu penyebab kematian utama pada
balita, kejadian diare berulang pada bayi dan balita dapat menyebabkan stunting. Riskesdas
2018 menyebutkan prevalensi diare untuk semua kelompok umur sebesar 8, angka prevalensi
untuk balita (12,3%), sementara pada bayi sebesar 10,6%. Survei Sample Registration System
tahun 2018 menunjukkan bahwa diare tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada
neonatus (7%) dan pada bayi usia 28 hari (6%). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2020,
prevalensi diare adalah 9,8%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2022, diare menjadi
penyumbang kematian pada kelompok anak usia 29 hari - 11 bulan (6,6%) sedangkan pada
kelompok anak balita (12 – 59 balita), kematian akibat diare sebesar 5,8%.
Kementerian Kesehatan meluncurkan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan
Pneumonia Diare 2023-2030 di akhir tahun 2023 yang memuat 4 strategi yaitu: perubahan
perilaku pencegahan dan pengendalian di masyarakat; akselerasi akses dan implementasi
Perlindungan Pencegahan dan Penatalaksanaan (3P); integrasi dan kolaborasi multipihak; tata
kelola, kepemimpinan, manajemen program dan peningkatan mutu. Melalui implementasi
dokumen ini pada pelaksanaan program pneumonia diharapkan dapat mencapai tujuan untuk
mengakhiri kematian akibat pneumonia dan diare pada balita di akhir tahun 2030.
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Di
Indonesia, infeksi virus hepatitis B dan virus hepatitis C merupakan penyebab terbanyak hepatitis
kronik, sirosis, kanker hati, dan kematian terkait penyakit hati. Secara global, diperkirakan
sebanyak 296 juta orang terinfeksi hepatitis B kronik dengan jumah kematian 820.000 setiap
tahunnya dan 58 juta orang diperkirakan terinfeksi hepatitis C kronik dengan jumlah kematian
290.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, kematian akibat sirosis merupakan empat penyebab
kematian terbesar di Indonesia (IHME, 2019). Sirosis hati akibat hepatitis merupakan salah satu

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 7


dari 8 penyakit berbiaya tinggi dan memiliki komplikasi yang mengancam nyawa (penyakit
katastropik) yang menjadi fokus penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Berdasarkan estimasi, kematian akibat hepatitis B sebanyak 60.218 tiap tahun dan kematian
akibat hepatitis C sebanyak 6.286 tiap tahun (CDA Foundation, 2020). Berdasarkan hasil
pemeriksaan serologi Riskesdas 2013, proporsi HBsAg reaktif pada populasi umum sebanyak
7,1% atau setara 18 juta penduduk di Indonesia dan sebanyak 4,2% infeksi pada balita. Selain
itu proporsi HBsAg reaktif pada ibu hamil tahun 2022 sebesar 1,56% (Laporan rutin program
2022). Proporsi anti-HCV reaktif sebanyak 1% atau setara 2,5 juta penduduk, diketahui bahwa
proporsi anti-HCV reaktif sebagian besar pada usia 40 tahun ke atas (Riskesdas 2013).
Frambusia adalah penyakit menular langsung antar manusia yang disebabkan oleh
infeksi kronis bakteri Treponema pertenue dan pada umumnya terlihat sebagai lesi pada kulit
serta dapat menyebabkan cacat pada tulang. Penyakit frambusia merupakan salah satu dari 20
penyakit yang digolongkan WHO sebagai Neglected Tropical Diseases (NTDs) atau Penyakit
Tropis Terabaikan dan ditagetkan untuk Eradikasi di tahun 2030. Menurut WHO (2023) masih
ada 15 negara endemis frambusia di dunia bahkan Indonesia melaporkan kasus frambusia
terbanyak di Regional Asia Tenggara. Sampai tahun 2022 sebanyak 74 kabupaten/kota masih
tergolong endemis frambusia dan di tahun 2023 dilaporkan sebanyak 34 kasus frambusia dari 4
kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat Daya. Permenkes Nomor 8 Tahun 2017
tentang Eradikasi Frambusia telah memuat tahapan kegiatan eradikasi mulai dari surveilans
adekuat, Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) dan survei serologi.
Rabies adalah penyakit zoonotik akibat Lyssavirus yang ditularkan kepada manusia
melalui air liur, gigitan/cakaran atau jilatan pada kulit terbuka oleh hewan yang terinfeksi rabies
(terutama anjing, kelelawar, kucing dan kera). 95% kasus manusia didapatkan lewat gigitan
anjing yang terinfeksi. Penyakit ini menyerang pada semua umur dan jenis kelamin dengan Case
Fatality Rate pada pasien yang sudah memiliki gejala adalah 100%. Menurut WHO, rabies ini
menyebabkan puluhan ribu kematian setiap tahunnya, terutama di Asia dan Afrika, 40% di
antaranya adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Sesuai dengan target global Eliminasi
Rabies tahun 2030, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai Eliminasi Rabies pada tahun
tersebut. Rabies telah menyebar ke 26 provinsi dan hanya 12 provinsi di Indonesia yang bebas
rabies dan pada tahun 2023, 247 kabupaten/kota dinyatakan eliminasi rabies dari target 236
kabupaten/kota.
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan
ditularkan melalui nyamuk dan menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Di Indonesia, ada tiga
spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Filariasis
menular melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya dan di dalam
tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe
sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital.
WHO melalui Roadmap NTD 2021 menetapkan eliminasi filariasis global pada tahun 2030.
Secara global masih terdapat 72 negara endemis filariasis, sedangkan di Indonesia sendiri
sebanyak 236 kabupaten/kota yang tersebar di 28 provinsi merupakan daerah endemis filariasis.
Total kasus kronis filariasis yang dilaporkan hingga tahun 2023 sebanyak 8.451 kasus. Angka ini
terlihat menurun dari data tahun sebelumnya karena dilaporkan beberapa kasus meninggal
dunia dan adanya perubahan diagnosis sesudah dilakukan validasi data/konfirmasi kasus klinis
kronis yang dilaporkan tahun sebelumnya.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 8


C. VISI MISI
Visi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur sesuai dengan
RPJPN 2005-2025, Presiden terpilih sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024 telah
menetapkan Visi Presiden 2020-2024: “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri,
dan Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong”.
Sejalan dengan visi Presiden 2020 – 2024 dan Visi Kementerian Kesehatan 2020 – 2024 yaitu
“Menciptakan Manusia yang Sehat, Produktif, Mandiri dan Berkeadilan”, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan visi yaitu “Mewujudkan Masyarakat
Bebas Penyakit dan Kesehatan Lingkungan yang berkualitas”.
Sebagai upaya dukungan terhadap visi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular menetapkan visi
“Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang Berkualitas”
Misi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Visi Presiden 2020-2024 yakni “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan
Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong” akan dapat tercapai dengan didukung adanya
penetapan 9 (sembilan) misi Presiden 2020 - 2024, di antaranya:
a. Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia;
b. Penguatan Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri dan Berdaya Saing;
c. Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan;
d. Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan;
e. Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa;
f. Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat, dan Terpercaya;
g. Perlindungan bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga;
h. Pengelolaan Pemerintahan yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya;
i. Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan.
Guna mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, termasuk penguatan struktur
ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing khususnya di bidang farmasi dan alat
kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menjabarkan misi Presiden, sebagai berikut:
a. Meningkatkan Kesehatan Reproduksi, Ibu, Anak, dan Remaja;
b. Perbaikan Gizi Masyarakat;
c. Meningkatkan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
d. Pembudayaan GERMAS;
e. Memperkuat Sistem Kesehatan.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan misi tahun 2022-
2024 yang merupakan penjabaran misi Presiden dan Kementerian Kesehatan yakni:
a. Peningkatan Deteksi, Pencegahan dan Respon Penyakit;
b. Perbaikan Kualitas Lingkungan;
c. Penguatan sistem surveilans berbasis laboratorium penyakit dan faktor risiko;
d. Penguatan sistem tata kelola kesehatan.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular sebagai satuan kerja yang berada
di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, menetapkan misi 2020 –

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 9


2024 sebagai wujud dukungan visi “Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang
Berkualitas”, sebagai berikut:
a. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yang berkelanjutan
b. Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
c. Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
d. Meningkatkan Sumber Daya

D. TUGAS POKOK DAN FUNGSI


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan pada pasal 82, Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, evaluasi dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit Menular.
Selanjutnya dalam pasal 83 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular menyelenggarakan fungsi
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor
risiko, dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor risiko, dan
koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans, deteksi
dini, pengendalian faktor risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
menular;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian
faktor risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
e. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan; dan
f. Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat.

E. STRUKTUR ORGANISASI
Pada Lampiran D Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022, berikut adalah
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit :
Bagan 1.1 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit

Sumber: Permenkes Nomor 5 Tahun 2022

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 10


Berdasarkan Permenkes Nomor 5 Tahun 2022, Struktur Organisasi Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berada di bawah Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pasal 84 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5
Tahun 2022, Susunan organisasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
terdiri atas:
a. Subbagian Administrasi Umum; dan
b. Kelompok Jabatan Fungsional.
Subbagian Administrasi Umum mempunyai tugas melakukan penyiapan dan koordinasi
penyusunan rencana, program, anggaran, pelaksanaan anggaran, pembukuan dan
inventarisasi barang milik negara, urusan sumber daya manusia, pengelolaan data dan sistem
informasi, pemantauan, evaluasi, laporan, kearsipan, persuratan, dan kerumahtanggaan
Direktorat.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor:
HK.02.02/C/6/2023 tentang Pembentukan Tim Kerja Di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yaitu:
a. Tim Kerja Tuberkulosis
b. Tim Kerja HIV, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS),
c. Tim Kerja Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP)
d. Tim Kerja Neglected Disease (Penyakit Tropis Terabaikan)
e. Tim Kerja Arbovirosis
f. Tim Kerja Malaria
g. Tim Kerja Zoonosis
h. Tim Kerja Penyakit Akibat Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun; dan
i. Tim Kerja Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

F. SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber daya manusia di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
sampai dengan akhir tahun 2023 terdiri dari pegawai ASN sebanyak 130 orang (PNS 129 orang
dan PPPK 1 orang). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, susunan organisasi
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri dari Subbagian Administrasi
Umum dan Kelompok Jabatan Fungsional. Dengan dasar tersebut maka distribusi pegawai
berdasarkan jabatannya dapat digambarkan dalam grafik berikut:
Grafik 1.1 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan

Jabatan Administrator
Jabatan Pelaksana
1%
15%

Jabatan Fungsional
84%
Sumber : Data Sistem Manajemen Kepegawaian Direktorat P2PM Tahun 2023

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 11


Jabatan administrator terdiri dari Direktur dan Kepala Subbagian Administrasi Umum.
Proporsi pegawai dengan jabatan fungsional di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular sebesar 84% (108 pegawai) dan pegawai dengan jabatan pelaksana sebesar
15% (19 pegawai). Pada tahun 2023 terjadi peningkatan jumlah pegawai yang diangkat dalam
jabatan fungsional dibandingkan dengan tahun 2022 yaitu sebesar 30% (37 orang).
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menetapkan Tim Kerja di
lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular melalui Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor HK.02.02/C/6/2023 bahwa
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri dari Tim Kerja Tuberkulosis,
Tim Kerja HIV, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS), Tim Kerja Hepatitis, dan Penyakit
Infeksi Saluran Pencernaan (PISP), Tim Kerja Neglected Disease/ Penyakit Tropis Terabaikan,
Tim Kerja Arbovirosis, Tim Kerja Malaria, Tim Kerja Zoonosis, Tim Kerja Penyakit Akibat Gigitan
Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun, Tim Kerja Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Dalam menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular didukung oleh sumber daya aparatur sipil negara sejumlah 129 orang dengan distribusi
pegawai di Subbag Administrasi Umum sejumlah 24 orang dan 106 orang terdistribusi di tim
kerja sebagaimana tergambar pada gambar berikut:
Grafik 1.2 Distribusi Pegawai Berdasarkan Tim Kerja

24

18
16
14 14
12 12 12
7
Admnistrasi Umum

TimKerja Tuberkulosis

TimKerja Infeksi Saluran

Penyakit Infeksi Menular

Penyakit Infeksi Saluran

Desaes/ Penyakit Tropis

Penyakit Akibat Gigitan

TimKerja Malaria

TimKerja Arbovirosis
TimKerja Zoonosis dan
TimKerja Hepatitis dan

Hewan Berbisa dan


TimKerja Neglected

Tanaman Beracun
TimKerja HIV dan
Pernapasan Atas

Pencernaan

Terabaikan
Seksual

Sumber : Data Sistem Manajemen Kepegawaian Direktorat P2PM Tahun 2023

Berdasarkan pangkat dan golongan, sumber daya aparatur sipil negara Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular beragam mulai dari pangkat dan golongan
Pengatur Muda Tk.I – II/c hingga Pembina Utama Muda – IV/c. Jumlah terbanyak ada pada
pangkat dan golongan Pembina – IV/a yakni sejumlah 41 orang dan jumlah paling sedikit pada
pangkat Pengatur sejumlah 3 orang dan 1 orang pegawai PPPK dengan golongan IX. Berikut
distribusi pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berdasarkan
Pangkat dan Golongan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 12


Grafik 1.3 Distribusi Pegawai Berdasarkan Golongan
41

23
19

11
8 8
6
3
1

Gol/IVc Gol/IVb Gol/IVa Gol/IIId Gol/IIIc Gol/IIIb Gol/IIIa Gol/IIc Gol/IX

Sumber : Data Sistem Manajemen Kepegawaian Direktorat P2PM Tahun 2023

Jumlah pegawai dengan golongan dan pangkat pembina (IV/a) berbanding lurus
dengan banyaknya pegawai dengan tingkat Pendidikan tinggi. Golongan dan pangkat Pembina
(IV/a) mempunyai tingkat pendidikan S-2. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan dapat
mendukung berjalannya program secara optimal. Berdasarkan tingkat pendidikannya, pegawai
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular digambarkan sebagai berikut:

Grafik 1.4 Distribusi Pegawai Berdasarkan Pendidikan

57
52

5
2 2

S3 S2 S1 D3 SMA

Sumber : Data Sistem Manajemen Kepegawaian Direktorat P2PM Tahun 2023

Distribusi tingkat pendidikan pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular paling besar adalah pendidikan Sarjana (S1) yakni sejumlah 57 orang dan sejumlah 52
orang berpendidikan Magister (S2). Sementara pendidikan tertinggi yakni Doktor (S3) yaitu 2
orang pegawai. Pegawai dengan pendidikan terendah yakni SMA sebanyak 2 orang. Dengan
jumlah pegawai yang sebagian besar sudah mencapai Sarjana dan Magister diharapkan dapat
menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
dengan optimal. Tingkat pendidikan pegawai dapat terus berkembang dengan adanya
kesempatan pengembangan kompetensi melalui program Tugas Belajar dan Izin Belajar yang

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 13


diikuti oleh pegawai. Pegawai yang sedang menjalankan tugas belajar pada tahun 2023
sebanyak 2 orang di mana keduanya menjalani program magister (S2).

G. SISTEMATIKA PENULISAN

1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek
strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi
organisasi.

2. Bab II Perencanaan Kinerja


Bab ini menguraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular tahun 2023.

3. Bab III Akuntabilitas Kinerja


a. Capaian Kinerja Organisasi
Sub bab ini menyajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja
sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi.
b. Realisasi Anggaran
Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah
digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian
Kinerja.

4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa
mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 14


BAB II
PERENCANAAN KINERJA

A. PERENCANAAN KINERJA
Arahan Presiden Republik Indonesia kepada Kementerian Kesehatan yang salah
satunya merupakan arahan terhadap transformasi sektor kesehatan, yang kemudian
diterjemahkan sebagai reformasi sistem kesehatan nasional. Hal ini mendasari adanya
perubahan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan pada tahun 2022. Perubahan strategi
dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024 mencakup 6 (enam) hal prinsip atau
disebut sebagai pilar transformasi kesehatan, yakni :
1. Transformasi Layanan Primer;
2. Transformasi Layanan Rujukan;
3. Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan;
4. Transformasi Pembiayaan Kesehatan;
5. Transformasi SDM Kesehatan; dan
6. Transformasi Teknologi Kesehatan.

Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit berkontribusi pada pelayanan


kesehatan primer dan sistem ketahanan Kesehatan, dengan menetapkan target kinerja.
Selanjutnya berdasarkan target kinerja program tersebut menjadi dasar bagi unit kerja di bawah
unit utama untuk menetapkan target kinerja kegiatan.

Dalam mendukung pembangunan kesehatan, Direktorat Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit Menular sebagai penyelenggara program di bawah Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan program untuk dapat
mengoptimalkan capaian tujuan Kementerian Kesehatan. Indikator Kinerja Kegiatan yang telah
ditetapkan merupakan penjabaran dari Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

Tahun 2022, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terbentuk


karena adanya restrukturisasi organisasi Kementerian Kesehatan sesuai tercantum pada
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan. Adanya perubahan struktur organisasi dan upaya menyelaraskan
target kinerja sesuai dengan arah transformasi kesehatan, maka Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular telah menetapkan target kinerja kegiatan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Target Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2020 – 2024
SASARAN KEGIATAN/ TARGET
NO INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2020 2021 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular
Meningkatnya Penemuan dan pengobatan
1.
kasus HIV
Persentase orang dengan risiko
1.1 - - 80 85 90
terinfeksi virus yang melemahkan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 15


SASARAN KEGIATAN/ TARGET
NO INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2020 2021 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular
sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV
Persentase Orang dengan HIV
1.2 (ODHIV) baru ditemukan 77 80 85 90 90
mendapatkan pengobatan ART
Meningkatnya Penemuan dan pengobatan
2
kasus TBC
Angka keberhasilan pengobatan
2.1 80 85 90 90 90
TBC
Meningkatnya jumlah kab/ Kota dengan
3
API < 1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota yang
3.1 - - 374 394 414
mencapai positivity rate (PR) < 5%
Meningkatnya Proporsi kasus kusta baru
4
tanpa cacat
Persentase penderita kusta yang
4.1 menyelesaikan pengobatan kusta - - 90 90 90
tepat waktu
Meningkatnya Pencegahan dan
5
pengendalian penyakit menular
Persentase pengobatan kasus
5.1 - - 50 70 95
pneumonia sesuai standar
Persentase pengobatan kasus diare
5.2 - - 50 70 85
sesuai standar
Persentase kabupaten/kota yang
5.3 melaksanakan deteksi dini Hepatitis 85 90 95 100 100
B dan C pada populasi berisiko
5.4 Persentase pasien sifilis yang diobati - - 75 85 90
Jumlah desa endemis
5.5 schistosomiasis yang mencapai 11 15 19 24 28
eliminasi
Jumlah kabupaten/kota eliminasi
5.6 - - 211 236 261
rabies
Persentase kabupaten/kota dengan
5.7 Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per - - 80 85 95
100.000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota endemis
5.8 filariasis berhasil menurunkan angka 136 190 207 220 236
mikrofilaria < 1%
Jumlah kabupaten/kota endemis
5.9 - - 106 150 190
filariasis yang mencapai eliminasi
Sumber : Rencana Strategi Kemenkes RI Tahun 2020 – 2024

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 16


B. PERJANJIAN KINERJA
Berikut merupakan perjanjian kinerja kegiatan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2023 sesuai dengan dasar Rencana Strategi Kementerian
Kesehatan RI.

Tabel 2.2 Perjanjian Kinerja Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular
Tahun 2023

NO SASARAN KINERJA INDIKATOR KINERJA TARGET

1. Meningkatnya penemuan dan 1. Persentase orang dengan risiko 85


pengobatan kasus HIV terinfeksi virus yang melemahkan
sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV
2. Persentase Orang dengan HIV 90
(ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART
2. Meningkatnya penemuan dan 3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 90
pengobatan kasus TBC
3. Meningkatnya jumlah 4. Jumlah kabupaten/kota yang 394
kabupaten/kota dengan API < mencapai positivity rate (PR) < 5%
1/1000 penduduk
4. Meningkatnya proporsi kasus 5. Persentase penderita kusta yang 90
kusta baru tanpa cacat menyelesaikan pengobatan kusta
tepat waktu
5. Meningkatnya pencegahan dan 6. Persentase pengobatan kasus 70
pengendalian penyakit menular pneumonia sesuai standar.
7. Persentase pengobatan kasus diare 70
sesuai standar
8. Persentase kabupaten/kota yang 100
melaksanakan deteksi dini Hepatitis
B dan C pada populasi berisiko
9. Persentase pasien sifilis yang diobati 85

10. Jumlah desa endemis 24


schistosomiasis yang mencapai
eliminasi
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi 236
rabies
12. Persentase kabupaten/kota dengan 85
Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per
100.000 peduduk
13. Jumlah kabupaten/kota endemis 220
filariasis berhasil menurunkan angka
mikrofilaria < 1%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis 150
filariasis yang mencapai eliminasi
6. Meningkatkan dukungan 15. Persentase rekomendasi Hasil 92.5
manajemen dan pelaksanaan Pemeriksaan BPK yang telah tuntas
tugas teknis lainnya pada ditindaklanjuti Direktorat
Program Pencegahan dan Pencegahan dan Pengendalian
Pengendalian Penyakit Menular Penyakit Menular

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 17


NO SASARAN KINERJA INDIKATOR KINERJA TARGET

16. Persentase Realisasi Anggaran 95


Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 18


BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA

A. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI

Capaian kinerja menggambarkan hasil pelaksanaan Rencana Aksi Kegiatan


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2023. Pengukuran kinerja dilakukan
dengan membandingkan capaian kinerja kegiatan dengan target kinerja yang telah ditetapkan
dalam perjanjian kinerja. Berikut target dan capaian IKK Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2023 :

Tabel 3.1 Target dan capaian Indikator Kinerja Kegiatan P2PM Tahun 2023

NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus


yang melemahkan sistem kekebalan tubuh 85 76 89,41%
manusia yang mendapatkan skrining HIV

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru


90 79 87,78%
ditemukan mendapatkan pengobatan ART

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC


90 84,81 94,24%

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity


394 323 81.97%
rate (PR) < 5%

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan


90 87.31 97.01%
pengobatan kusta tepat waktu

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai


70 95.01 135.7%
standar

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai


70 91.23 130.3%
standar

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan


100 97.1 97.1%
deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko

9. Persentase pasien sifilis yang diobati


85 70 82,35%

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang


24 16 66.67%
mencapai eliminasi

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies


236 247 104.66%

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate


85 22 25.88%
(IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk

13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil


220 208 94.5%
menurunkan angka mikrofilaria < 1%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 19


NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang


150 108 72%
mencapai eliminasi

15. Persentase rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK


92.5 94.64 102.31%
yang telah tuntas ditindaklanjuti Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

16. Persentase Realisasi Anggaran Direktorat


95 97.92 103.07%
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

RATA-RATA KINERJA 91.56%

Sumber : Data Monitoring Evaluasi Direktorat P2PM Tahun 2023 cut off 31 Januari 2024

B. ANALISIS PENCAPAIAN ORGANISASI

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV
a. Definisi Operasional
Jumlah orang dengan risiko (Ibu hamil, pasien IMS, pasien TBC, WPS, LSL, Penasun,
WBP dan waria) , terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV. Angka ini menggambarkan orang yang berisiko
mengetahui status terinfeksi HIV secara dini.
b. Rumus/Cara Perhitungan
Jumlah orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV dibagi target skrining orang yang berisiko yang
ditetapkan oleh Kabupaten/kota dan atau kementerian kesehatan pada waktu tertentu
di kali 100 %.
Jumlah orang yang risiko terinfeksi virus
Persentase orang dengan risiko terinfeksi di tes HIV dalam kurun waktu tertentu
virus yang melemahkan sistem kekebalan =
tubuh manusia yang mendapatkan skrining
X 100%
=
HIV Jumlah target skrining berisiko HIV dalam
kurun waktu yang sama

c. Capaian Indikator
Indikator Kinerja Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang Melemahkan Sistem
Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV merupakan indikator baru
pada tahun 2022. Monitoring dan evaluasi indikator ini mulai dilakukan pada tahun 2022.
Berikut hasil capaian indikator pada tahun 2023 berdasarkan data SIHA per Desember
2023.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 20


Grafik 3.1 Capaian Orang dengan Risiko Terinfeksi Virus yang melemahkan
Sistem Kekebalan Tubuh Manusia yang mendapatkan Skrining HIV Tahun 2023

Sumber : SIHA Desember 2023 per 17 Januari 2024

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa capaian indikator orang dengan risiko
terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV adalah 76%. Hasil capaian tersebut jika dibandingkan dengan target
berdasarkan Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020 - 2024, dimana target indikator orang dengan
risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV adalah 85% maka capaian tersebut masih dibawah target
dengan capaian kinerja sebesar 89,41%. Untuk hasil capaian indikator per provinsi
dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 3.2 Capaian Orang dengan Risiko Terinfeksi Virus yang melemahkan
Sistem Kekebalan Tubuh Manusia yang mendapatkan Skrining HIV Per Provinsi
Tahun 2023

Sumber : SIHA Desember 2023 per 25 Januari 2024

Dari grafik di atas diketahui bahwa belum semua provinsi mencapai target untuk
indikator orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV. Provinsi yang sudah mencapai target adalah

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 21


Provinsi DKI Jakarta (134%), Kalimantan Utara (105%), Kepulauan Riau (102%),
Kalimantan Timur (98%), D.I. Yogyakarta (97%), Kepulauan Bangka Belitung (95%),
Jawa Timur (95%), Banten (90%) dan Jawa Tengah (90%).
Indikator orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV adalah langkah percepatan penemuan kasus
dini HIV terhadap orang-orang yang berisiko. Untuk percepatan indikator ini ditetapkan
dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang harus dipenuhi oleh kabupaten/kota.
Kepala Daerah di tingkat kabupaten/kota diharapkan dapat menetapkan target untuk
pencapaian SPM tersebut.
Grafik 3.3 Capaian dan Target Indikator 2022 - 2024

Sumber : SIHA Desember 2023 per 25 Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan capaian indikator orang
dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV dari 3.573.088 orang (60%) di tahun 2022 menjadi sebanyak
5.614.941 orang (76%) pada tahun 2023. Walaupun indikator ini belum mencapai target
selama 2 tahun berturut-turut, namun ada kenaikan capaian sehingga dapat
diproyeksikan pada tahun 2024 dapat mencapai target yang sudah ditetapkan sebesar
90%.
Skrining HIV terhadap orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia dilakukan dengan tujuan agar dapat diketahui status
seseorang menderita HIV atau tidak, sehingga dapat segera mendapatkan pengobatan
ARV.
Berdasarkan data dari UNAIDS 2023, diketahui bahwa belum semua orang yang
mengetahui status HIVnya akan langsung memulai pengobatan ARV, beberapa akan
menunda. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia namun juga negara-negara lain
didunia.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 22


Berikut grafik ODHIV yang tidak pengobatan ARV di beberapa negara di dunia :

Grafik 3.4 ODHIV yang tidak pengobatan ARV di dunia

Sumber: UNAIDS 2023 HIV Estimates and Global AIDS Monitoring 2023

Grafik diatas memperlihatkan kondisi di beberapa negara di Asia dan Oseania. Kondisi
di Malaysia, sebesar 68% ODHIV mengetahui status HIVnya dan dalam pengobatan
ARV, di India sebesar 86%, capaian terbaik terjadi Kamboja yaitu 99,9% sedangkan
capaian terendah terjadi di Afganistan (35%).
d. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
Beberapa upaya yang dilakukan dalam pencapaian indikator tersebut adalah:
1) Kerjasama dengan mitra dalam penemuan dan penjangkauan pada populasi
Ini dilakukan untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi
tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV, sehingga diharapkan adanya kesadaran
untuk melaksanakan tes dan pengobatan sehingga capaian tes dan pengobatan
meningkat. Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan pertemuan Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS), kerjasama klinik komunitas dengan layanan

Gambar 3.1 Kegiatan kerjasama dengan mitra dalam penemuan dan


penjangkauan pada populasi

Pertemuan KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) Klinik HIV Berbasis Komunitas


Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

2) Melakukan supervisi dan pembinaan Notifikasi Pasangan dan Anak (NPA)


Supervisi dan pembinaan notifikasi pasangan ini dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan petugas tentang cara melakukan notifikasi terhadap ODHIV. Notifikasi

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 23


ini dianggap cukup efektif dalam upaya menemukan kasus baru. Pada tahun 2023
kegiatan supervisi dan pembinaan notifikasi pasangan dilaksanakan di 4 provinsi/
kabupaten/kota.

Gambar 3.2 Kegiatan Supervisi dan Pembinaan Notifikasi Pasangan dan Anak
(NPA)

NPA Kota Bengkulu NPA Kota Pekan Baru


Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

3) Sosialisasi dan Advokasi Kebijakan Program HIV AIDS dan PIMS


Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan sosialisasi dan advokasi
kebijakan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan PIMS dalam rangka
percepatan pencapaian indikator 95-95-95 menuju akhir AIDS pada tahun 2030.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang 34 provinsi, dimana peserta terdiri dari :
Kepala Bidang , Pemegang Program HIV AIDS dan PIMS, Kepala UTD RS dan UDD
PMI.

Gambar 3.3 Kegiatan Sosialisasi dan Advokasi Kebijakan Program HIV AIDS
dan PIMS

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

4) Penyusunan Juknis /NSPK


Penyusunan buku petunjuk teknis ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
pedoman dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS
dan PIMS. Juknis yang disusun antara lain adalah : Petunjuk Teknis Pencegahan
Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD), Petunjuk Teknis Notifikasi
Pasangan dan Petunjuk Teknis Kolaborasi TB HIV.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 24


Gambar 3.4 Kegiatan Penyusunan Juknis /NSPK Program Pencegahan dan
Pengendalian HIV

Penyusunan Juknis Notifikasi Pasangan Penyusunan Juknis IMLTD

Penyusunan Juknis Kolaborasi TB HIV


Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

5) Sosialisasi Program HIV AIDS dan PIMS di Masyarakat


Sosialisasi dilakukan melalui kegiatan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)
bersama pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian
masyarakat serta pemangku kepentingan terhadap Pencegahan dan
Penanggulangan HIV AIDS dan PIMS. Kegiatan ini dilaksanakan di 8 lokus (4
provinsi).
Gambar 3.5 Kegiatan Sosialisasi Program HIV AIDS dan PIMS di Masyarakat

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

6) Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)


Integrasi layanan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan skrining HIV pada
ibu hamil, pasien TB dan calon pengantin. Integrasi layanan ini agar bisa berjalan
dengan baik maka dilakukan koordinasi kegiatan dengan direktorat atau tim kerja
terkait diantaranya dengan melakukan pertemuan koordinasi dan menyusun juknis.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 25


Gambar 3.6 Kegiatan Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro
catin)

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

7) Monitoring dan Evaluasi Program


Kegiatan monitoring dan evaluasi program ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemajuan program, capaian indikator, lesson learned/praktik baik dan
hambatan atau hal- hal yang tidak diduga yang secara potensial dapat menghambat
jalannya program untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Jika ditemukan
hambatan dan tantangan, bisa didiskusikan solusinya.

Gambar 3.7 Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Program HIV PIMS

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kegagalan pencapaian target krining
di daerah:
1. Pelaksanaan skrining yang terintegrasi di layanan
Skrining HIV oleh layanan dapat dilakukan melalui mobile clinic atau juga dengan
melakukan integrasi layanan untuk skrining terhadap ibu hamil dan pasien TB. Saat
ini masih ada ibu hamil khususnya di pelayanan swasta yang belum melakukan
skrining HIV, hal ini dapat mempengaruhi terhadap capaian indikator skrining HIV.
2. Koordinasi dan Jejaring dengan komunitas dalam skrining atau penemuan kasus HIV
Koordinasi dan jejaring yang dilakukan oleh layanan dengan komunitas yang
dilakukan secara optimal dan baik sangat mempengaruhi terhadap capaian skrining
HIV dan penemuan kasus HIV, hal ini mengingat adanya populasi yang sulit
dijangkau oleh layanan.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 26


3. Masih terdapat orang yang berisiko dilakukan skrining HIV namun tidak dilaporkan
pada Sistem Informasi yang tersedia.
Selain meningkatkan skrining HIV di layanan, pencatatan dan pelaporan yang baik
juga sangat mempengaruhi terhadap capaian indikator karena skrining yang tidak
tercatat dan tidak dilaporkan ke dalam SIHA maka akan mempengaruhi capaian
program.
4. Belum terhubung antara sistem yang dimiliki oleh fasilitas pelayanan Kesehatan dan
komunitas.
Saat ini skrining HIV telah dilakukan oleh komunitas namun hasil pelaksanaan
skrining yang dilakukan komunitas di daerah belum semua hasilnya terlaporkan. Hal
ini disebabkan karena sistem pelaporan komunitas yang belum terhubung secara
langsung di layanan. Oleh karena itu diharapkan adanya mekanisme pelaporan yang
baik dan terintegrasi antara layanan dan komunitas sehingga dapat meningkatkan
capaian indikator.
5. Pelaksanaan kegiatan notifikasi pasangan di layanan
Notifikasi Pasangan dan Anak (NPA) adalah bagian dari upaya untuk menemukan
pasien HIV melalui pasangan seksualnya. Diharapkan melalui notifikasi pasangan,
pasien yang positif HIV mau menyampaikan/membuka statusnya kepada pasangan
seksualnya dan mengajak pasangannya untuk melakukan tes agar bisa diketahui
statusnya secara dini. Apabila semua layanan melaksanakan kegiatan NPA ini maka
dapat meningkatkan capaian testing dan penemuan kasus HIV.

f. Kendala/masalah yang dihadapi


1. Masih ada stigma dan diskriminasi terhadap populasi rentan, populasi kunci.
Adanya stigma dan diskriminasi HIV di masyarakat membuat populasi rentan dan
populasi kunci menutup diri, takut statusnya diketahui sehingga sulit untuk dilakukan
skrining
2. Jadwal layanan turun ke lapangan untuk skrining bersamaan dengan jam kerja.
Beberapa layanan melakukan skrining HIV ke lapangan pada saat jam kerja, hal ini
sangat mempengaruhi terhadap sasaran skrining dan jumlah orang yang diskrining.
Diharapkan skrining HIV dilakukan juga di luar jam kerja, sehingga untuk sasaran
skrining populasi berisiko, bisa diperoleh hasil yang maksimal.
3. Tautan ke layanan tes setelah mendapatkan hasil skrining reaktif yang belum
optimal.
Skrining HIV yang khususnya yang dilakukan oleh komunitas dan secara mandiri,
hasil skriningnya belum tercatat dan terlaporkan dengan baik, sehingga terkadang
hasil skrining HIV yang positif tidak langsung segera mendapatkan pengobatan dari
layanan.
4. Pelaksanaan skrining yang berkaitan dengan lintas program yang belum optimal.
Pelaksanaan skrining yang berkaitan dengan lintas program seperti skrining HIV
pada ibu hamil belum optimal dilakukan khususnya pada pelayanan swasta. Integrasi
pemeriksaan skrining HIV di layanan diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik
sehingga akan meningkatkan capaian.
5. Masih ada kasus yang ditemukan tetapi belum terlaporkan
Masih adanya layanan yang belum melaporkan hasil skrining HIV yang dilaksanakan
ke dalam SIHA sehingga capaian menjadi berkurang.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 27


6. Keterbatasan dalam menjangkau populasi kunci yang tersembunyi
Adanya jumlah tenaga di layanan yang terbatas dan tidak semua layanan didampingi
oleh komunitas atau penjangkau sehingga skrining penemuan kasus HIV pada
populasi kunci dan berisiko tidak dapat dilaksanakan secara optimal.

g. Pemecahan masalah
1. Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)
Untuk meningkatkan capaian skrining dan penemuan kasus HIV pada populasi
khusus dimana populasi ini rentan untuk tertular HIV/menularkan maka perlu
dilakukan skrining pada ibu hamil, pasien TBC dan calon pengantin maka perlu
dilakukan integrasi layanan sehingga skrining HIV bisa dilakukan di pelayanan KIA
dan TBC.
2. Skrining HIV Mandiri (SHM)
Dengan edukasi dan sosialisasi tentang HIV yang optimal diharapkan adanya
kesadaran khususnya pada populasi rentan dan berisiko untuk melakukan tes HIV
secara mandiri mengingat mereka adalah populasi yang sulit untuk dijangkau oleh
petugas layanan.
3. Penguatan Sistem Informasi terintegrasi
Dengan adanya sistem informasi terintegrasi yang mudah untuk diaplikasikan oleh
semua petugas kesehatan di layanan, maka diharapkan semua hasil skrining dapat
dilaporkan dengan baik sehingga capaian menjadi meningkat
4. Pengembangan ke layanan swasta
Skrining HIV tidak hanya dilakukan di layanan pemerintah tetapi juga di layanan
kesehatan swasta dan dilaporkan ke dalam SIHA untuk meningkatkan penemuan
dan capaian indikator.
5. Perluasan skrining di lapas/rutan
Skrining merupakan hal penting untuk menjaga Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP). Skrining HIV/AIDS bagi WBP berisiko dilaksanakan dalam rangka
mendeteksi akan potensi seseorang terinfeksi HIV/AIDS didalam tubuhnya, dengan
melakukan perluasan skrining di lapas/rutan di Indonesia. Kegiatan ini diharapkan
akan meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini sehingga bisa segera diobati
dan tidak menularkan ke warga binaan lainnya.
6. Penguatan Notifikasi Pasangan dan Anak (NPA)
Notifikasi Pasangan dan Anak adalah upaya untuk menemukan pasien HIV melalui
pasangan seksualnya. Diharapkan melalui notifikasi pasangan, pasien yang positif
HIV mau menyampaikan atau membuka statusnya kepada pasangan seksualnya
dan mengajak pasangannya untuk melakukan tes agar bisa diketahui statusnya
secara dini.
7. Peningkatan edukasi kepada masyarakat melalui promosi media sosial dan media
lainnya.
Edukasi kepada masyarakat melalui promosi dengan media sosial atau lainnya
tentang HIV dirasakan masih perlu dilakukan mengingat belum semua masyarakat
memahami tentang penyakit HIV dengan baik. Media KIE yang menarik dan mudah
dipahami diharapkan masyarakat menjadi paham tentang HIV.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 28


8. Advokasi kepada pemangku kepentingan
Advokasi ini dilakukan mengingat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV AIDS ini tidak hanya bisa dilakukan oleh sektor kesehatan saja melainkan perlu
dilakukan oleh semua multisektor baik lembaga, mitra, komunitas dan lainnya.
Dengan melakukan advokasi kepada pemangku kepentingan baik yang ada di pusat
maupun di daerah maka diharapkan adanya komitmen dan dukungan dari semua
komponen yang berkaitan untuk terlibat dalam penanggulangan AIDS di Indonesia.

h. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Anggaran pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS tahun 2023
bersumber APBN dan hibah yang digunakan untuk pencapaian target program indikator
orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV adalah sebesar Rp. 401.898.561.000,- dengan
realisasi anggaran adalah Rp. 387.005.458.270,- (96%) dan capaian keluaran 89,41 %.

Berdasarkan PMK 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan RKA, efisiensi dilakukan dengan membandingkan
penjumlahan dari selisih antara perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian
keluaran dan realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari perkalian pagu
anggaran keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

PAKi = Rp.401.898.561.000,-
RAKi = Rp.387.005.458.270,-
CKi = 89,41% = 0,89

((401.898.561.000 x 0,89) – 387.005.458.270)


E= ------------------------------------------------------------------- X 100%
(401.898.561.000 x 0,89)

E = -0,08 %

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,08%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 31%
20

Dengan anggaran Rp.401.898.561.000,- dengan realisasi Rp. 387.005.458.270,-


(96%), memiliki nilai efisiensi sebesar 31 %.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 29


2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan
ART
a. Definisi Operasional
Jumlah Orang dengan HIV yang baru ditemukan masuk dalam layanan tes dan
pengobatan yang memulai terapi antiretroviral (ART). Angka ini menggambarkan
temuan kasus HIV di suatu wilayah pada waktu tertentu.
Indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV
merupakan indikator yang menggambarkan temuan kasus HIV di suatu wilayah. Untuk
memutuskan mata rantai penularan HIV AIDS dan mengakhiri AIDS pada tahun 2030,
maka diharapkan setiap ODHIV yang ditemukan diobati, sehingga virus dapat tersupresi
(jumlah virus didalam tubuh sangat rendah) dan tidak lagi berpotensi menularkan
kepada orang lain.
b. Rumus/cara perhitungan
Jumlah ODHIV yang baru ditemukan masuk dalam layanan tes dan pengobatan yang
memulai terapi antiretroviral (ART) di bagi jumlah ODHIV yang baru ditemukan masuk
dalam layanan tes dan pengobatan pada waktu tertentu dikali 100%.
Jumlah ODHIV baru ditemukan layanan
mendapat pengobatan ARV dalam kurun
waktu tertentu.
Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru =
ditemukan mendapatkan pengobatan ART X 100%
=
Jumlah ODHIV baru ditemukan dalam
kurun waktu yang sama

c. Capaian Indikator
Indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV
merupakan indikator yang menggambarkan temuan kasus HIV di suatu wilayah. Untuk
memutuskan mata rantai penularan HIV AIDS, maka diharapkan setiap ODHIV yang
ditemukan diobati, sehingga virus dapat tersupresi (jumlah virus didalam tubuh sangat
rendah) dan tidak lagi berpotensi menularkan kepada orang lain. Berikut grafik capaian
indikator berdasarkan data SIHA per Desember 2023 :

Grafik 3.5 Capaian Indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang


mendapatkan pengobatan ARV Tahun 2023

Sumber : SIHA Desember 2023 per 17 Januari 2024

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 30


Berdasarkan data di atas diketahui bahwa capaian indikator persentase ODHIV baru
ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV adalah 79 %. Hasil capaian tersebut
jika dibandingkan dengan target berdasarkan Permenkes Nomor 13 Tahun 2022
tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020 - 2024, dimana target
indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV
adalah 90 % maka capaian tersebut masih dibawah target dengan capaian kinerja
sebesar 87,78 %. Untuk hasil capaian indikator per provinsi dapat dilihat pada grafik di
bawah :

Grafik 3.6 Capaian Indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang


mendapatkan pengobatan ARV Per Provinsi Tahun 2023

Sumber : SIHA Desember 2023 per 25 Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa belum semua Provinsi mencapai target.
Provinsi yang sudah mencapai target adalah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Sulawesi
Tenggara.

Grafik 3.7 Capaian dan Target Indikator Tahun 2020 - 2024

Sumber : SIHA Desember 2023 per 25 Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa capaian indikator tahun 2020 adalah 78%
dan terus naik sampai tahun 2021 menjadi 82%, kemudian turun menjadi 80% pada
tahun 2022 dan turun kembali pada tahun 2023 capaiannya adalah 79%. Menurunnya
capaian persentase capaian ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan
ARV ini dikarenakan ODHIV baru yang ditemukan menunda untuk pengobatan atau

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 31


mencari alternatif pengobatan lainnya, ODHIV menolak statusnya karena merasa sehat,
masih adanya stigma dan diskriminasi HIV di masyarakat sehingga ODHIV tidak mau
membuka statusnya dan masih terbatasnya layanan kesehatan yang mampu untuk
melakukan tes dan pengobatan HIV.
Untuk capaian tahun 2024 jika dilihat berdasarkan grafik di atas, capaian indikator
persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV tahun 2020
sampai dengan tahun 2021 telah mencapai target, kemudian turun pada tahun 2022
dan 2023 sehingga diproyeksikan pada tahun 2024 akan mencapai target jika didukung
dengan sistem informasi pelaporan program yang terintegrasi, kerja keras, komitmen
dan dukungan dari semua pihak.
Indikator Persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV
adalah indikator yang mendukung untuk pencapaian target 95 - 95 -95. Berikut grafik
capaian tahun 2023 dalam menuju indikator 95 - 95 - 95 :

Grafik 3.8 Capaian Program HIV AIDS untuk indikator 95 – 95 – 95 Tahun 2023

Sumber : SIHA per 25 Januari 2024

Berdasarkan data SIHA Januari 2024, gambaran capaian indikator 95 - 95 - 95 pada


tahun 2023 diketahui dari ODHIV hidup dan mengetahui statusnya sampai dengan
Desember 2023 adalah 393.921 (76%), ODHIV mengetahui status dan sedang
mendapat pengobatan ARV adalah 177.277 (45%), ODHIV sedang dalam pengobatan
ARV yang di tes VL sebanyak 88.777 ODHIV dan ODHIV sedang dalam pengobatan
ARV yang virusnya tersupresi sebanyak 82.046 (46%).

Berikut gambaran pencapaian indikator 95 - 95 - 95 secara global berdasarkan wilayah


tahun 2022.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 32


Grafik 3.9 Pencapaian Indikator 95 - 95 - 95 Global Berdasarkan Regional WHO
Tahun 2022

Sumber : data WHO 2022

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa gap pencapaian indikator 95 - 95 - 95 tidak


hanya dialami di Indonesia, tapi juga ditemukan pada beberapa regional WHO seperti
di regional Amerika atau Pan American Health Organization (PAHO) diketahui orang
yang hidup dengan HIV yang mengetahui statusnya adalah 86%, presentase ODHIV
On ART (82 %) dan 92% ODHIV on ART virusnya tersupresi.

d. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


Berbagai upaya yang dilakukan sebagai terobosan untuk mencapai indikator yang telah
ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. Penemuan kasus dini melalui skrining yang dilakukan oleh komunitas
Upaya untuk penemuan kasus dini dilakukan dengan memperluas skrining kasus HIV
yang dilakukan oleh komunitas dengan menggunakan oral fluid. Skrining ini terutama
dilakukan pada populasi kunci yang sangat tersembunyi dan tidak pernah akses
fasyankes. Skrining terhadap semua orang berisiko lainnya telah dilakukan secara
pasif di fasyankes sejalan dengan Standar Pelayanan Minimum bidang Kesehatan
indikator ke-12. Skrining aktif juga dilakukan oleh fasyankes dan komunitas melalui
kegiatan mobile clinic.
Gambar 3.8 Kegiatan Penemuan kasus dini melalui skrining yang dilakukan
oleh Komunitas

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 33


2. Memperluas layanan tes and treat dengan melakukan pelatihan petugas layanan
Saat ini belum semua layanan yang ada di Indonesia mampu melakukan tes dan
pengobatan HIV. Dalam upaya untuk meningkatkan capaian penemuan dan
pengobatan HIV maka dilakukan perluasan layanan dengan melakukan pelatihan
atau OJT bagi petugas layanan yang akan dijadikan layanan tes dan pengobatan
HIV tersebar di 34 provinsi.

Gambar 3.9 Kegiatan Pelatihan Petugas Layanan

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

3. Penguatan Sistem Informasi Terintegrasi


Untuk mendapatkan data yang valid maka diperlukan sistem informasi pencatatan
dan pelaporan yang terintegrasi dan petugas yang memiliki kemampuan yang baik
terhadap sistem informasi pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS dan PIMS,
untuk maka dilakukan pelatihan terhadap petugas layanan kesehatan tentang SIHA
dimana ada perubahan SIHA dari versi 1.7 menjadi 2.1.

Gambar 3.10 Kegiatan Penguatan Sistem Informasi Terintegrasi

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

4. Memperkuat koordinasi dan jejaring dengan komunitas


Dalam upaya menjangkau penemuan dan pendampingan terhadap ODHIV maka
perlu dilakukan koordinasi dan jejaring antara layanan dan komunitas, hal tersebut
dilakukan mengingat sebagian ODHIV lebih bisa terbuka dan menerima orang yang
sama statusnya dengan dirinya sehingga memudahkan petugas layanan dalam
memberikan pengobatan ARV.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 34


Gambar 3.11 Kegiatan Koordinasi dan Jejaring dengan Komunitas

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

5. Monitoring dan Evaluasi Program HIV AIDS dan PIMS


Kegiatan monitoring dan evaluasi program ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemajuan program dan hambatan atau hal- hal yang tidak diduga yang
secara potensial dapat menghambat jalannya program secara dini, selain itu juga
memberikan bimbingan dan pemahaman tentang kepada petugas sehingga
diharapkan kedepannya petugas bisa melaksanakan program pencegahan dan
pengendalian HIV dengan baik sehingga capaian program bisa meningkat sesuai
target yang ditentukan.

Gambar 3.12 Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Program HIV AIDS dan PIMS

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

6. Lokakarya Viral Load HIV


Lokakarya penguatan kapasitas VL HIV ini bertujuan untuk meningkatkan upaya
pemeriksaan VL HIV di tahun 2023 bersama dengan dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, laboratorium pemeriksa, layanan PDP dan komunitas
HIV. Termasuk dalam rencana tindak lanjut ini adalah perluasan laboratorium
pemeriksa VL HIV, perjanjian kerjasama dengan kurir transportasi spesimen,
Sosialisasi Standar Prosedur Operasional transportasi spesimen dan penyusunan
kampanye pemeriksaan VL HIV.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 35


Gambar 3.13 Kegiatan Lokakarya Viral Load HIV

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

7. Pelatihan/OJT Petugas Layanan untuk melatih kader HIV


Pelatihan ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada
petugas layanan kesehatan sehingga diharapkan mereka dapat memberikan
pelatihan kepada kader dan membentuk kader HIV mengingat pentingnya kader HIV
dalam membantu petugas layanan untuk melakukan pendampingan dan
penjangkauan terhadap ODHIV. Pelatihan ini diikuti oleh 34 provinsi di Indonesia.
Gambar 3.14 Kegiatan Pelatihan atau OJT Petugas Layanan untuk Melatih
Kader HIV

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

8. Pembinaan Wilayah di Provinsi Papua


Tujuan kegiatan koordinasi Pembinaan Wilayah (Binwil) di Provinsi Papua adalah
untuk membahas prioritas, hambatan dan program unggulan P2PM terkait
Transformasi Kesehatan di Provinsi Papua dan melakukan koordinasi kajian
pembinaan wilayah Papua oleh tim akademisi (Tim Universitas Cenderawasih dan
Politeknik Kesehatan (Poltekes) Kemenkes Jayapura). Diharapkan dengan
dilakukannya pembinaan ini dapat meningkatkan capaian program P2PM secara
umum, HIV AIDS dan PIMS secara khusus.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 36


Gambar 3.15 Kegiatan Pembinaan Wilayah di Provinsi Papua

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat
termasuk memastikan semua masyarakat mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan,
untuk upaya promosi Kesehatan, pencegahan, pengobatan, maupun rehabilitasi yang
dibutuhkan. Untuk memperkuat pencegahan dan pengendalian HIV, AIDS dan PIMS di
Indonesia, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Pedoman yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 2022 tentang Penanggulangan HIV, AIDS
dan IMS.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pencapaian
adalah:
1. Masih adanya stigma dan diskriminasi HIV di masyarakat
Stigma dan diskriminasi akan mempengaruhi seseorang untuk datang ke fasyankes
untuk mendapatkan layanan Kesehatan yang berhubungan dengan HIV dan PIMS.
ODHIV Memilih memulai pengobatan di layanan yang jauh dari tempat tinggal
(namun akhirnya terjadi LFU karena terkendala masalah jarak/transport/waktu)
2. Pendampingan dan Konseling yang belum optimal
Pada awal pengobatan ARV, dibutuhkan dukungan pendampingan dan konseling
yang dapat membantu ODHIV memahami pentingnya kepatuhan minum ARV,
mendapatkan upaya-upaya pencegahan dan bagaimana melakukan pemantauan
pengobatan ARV sehingga dapat hidup secara sehat dan tetap produktif tanpa
menularkan kepada orang lain terutama pasanga
3. Sistem Informasi (Pencatatan dan Pelaporan) HIV AIDS dan PIMS
Belum semua layanan melaporkan hasil penemuan kasusnya (terkendala sarana
dan prasarana seperti laptop, pergantian petugas, rangkap tugas memegang
beberapa program) sehingga terjadi under reporting yang dapat mempengaruhi
capaian program.
4. Keterbatasan waktu layanan HIV dan IMS hanya pada jam kerja
Angka Orang yang terdiagnosa HIV berada pada usia produktif yaitu 20 – 49 tahun,
dimana ODHIV yang bekerja kesulitan untuk akses fasyankes pada jam kerja
tersebut.
5. Ketersediaan logistik untuk menunjang pelaksanaan program
Penguatan penyediaan logistik (reagen dan obat) yang tepat waktu untuk
mendukung pelaksanaan program sangat diperlukan, sehingga setiap orang yang
datang ke fasyankes dapat terlayani dengan baik.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 37


6. Belum semua fasyankes mampu melakukan tes dan pengobatan.
Setiap orang yang berisiko terinfeksi HIV diharapkan dapat mengakses fasilitas
layanan Kesehatan untuk mengetahui statusnya apakah terinfeksi HIV atau tidak.
Bila terdiagnosa, diharapkan segera mendapatkan pengobatan ARV. Layanan yang
hanya mampu melakukan diagnostik, harus membangun jejaring dan mekanisme
untuk merujuk dan memastikan orang yang terinfeksi mendapatkan pengobatan.
7. Pengetahuan ODHIV, keluarga dan masyarakat terkait HIV dan PIMS yang belum
optimal
Orang dengan HIV, keluarga dan masyarakat pada umumnya diharapkan memiliki
pengetahuan yang baik terkait HIV dan PIMS. Pengetahuan ini akan mendorong
setiap orang melakukan upaya pencegahan penularan dan menularkan kepada
orang lain sekaligus mendukung pengendalian HIV. Pengetahuan yang baik juga
diharapkan dapat menekan stigma dan diskriminasi yang berhubungan dengan HIV
dan PIMS.
8. Belum semua fasyankes mampu melakukan tes dan pengobatan.
Setiap orang yang berisiko terinfeksi HIV diharapkan dapat mengakses fasilitas
layanan Kesehatan untuk mengetahui statusnya apakah terinfeksi HIV atau tidak.
Bila terdiagnosa, diharapkan segera mendapatkan pengobatan ARV. Layanan yang
hanya mampu melakukan diagnostik, harus membangun jejaring dan mekanisme
untuk merujuk dan memastikan orang yang terinfeksi mendapatkan pengobatan.

f. Kendala/masalah yang dihadapi


1. Terbatasnya SDM dalam pelaksanaan layanan PDP
Adanya SDM yang terbatas dilayanan, dimana petugas memiliki tugas rangkap
sehingga layanan perawatan dan pengobatan HIV AIDS tidak dapat berjalan dengan
optimal.
2. Layanan PDP yang belum terjangkau (belum tersedia di seluruh kabupaten/kota)
Belum semua layanan yang ada di kabupaten/kota adalah layanan yang dapat
melakukan tes dan pengobatan HIV, sehingga ini menyebabkan pasien HIV yang
ditemukan tidak bisa segera diobati karena harus dirujuk kelayanan lain, tetapi
beberapa pasien tidak datang kelayanan rujukan karena merasa sehat.
3. Masih adanya stigma dan diskriminasi HIV di masyarakat
Masih adanya stigma dan diskriminasi HIV di masyarakat membuat ODHIV takut
untuk membuka statusnya sehingga tidak bisa segera mendapatkan pengobatan
ARV. Beberapa ODHIV Memilih memulai pengobatan di layanan yang jauh dari
tempat tinggal (namun akhirnya terjadi LFU karena terkendala masalah
jarak/transport/waktu).
4. Pasien HIV menyangkal/denial/denial akan statusnya
ODHIV yang ditemukan dilayanan menolak untuk pengobatan ARV karena merasa
dirinya sehat dan tidak menderita HIV. hal ini menyebabkan ODHIV tidak bisa segera
mendapatkan pengobatan ARV.

5. ODHIV belum siap untuk memulai pengobatan, meskipun sudah di konseling


Ada sebagian ODHIV yang ditemukan dilayanan menolak untuk pengobatan ARV
karena masih ingin mencari alternatif pengobatan lain, beberapa dari ODHIV
kemudian datang kembali dengan kondisi HIV stadium lanjut.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 38


6. Masih ada Under reporting
Belum semua layanan yang mampu pengobatan HIV rutin mencatat dan melapor
hasil layanan perawatan dan pengobatan HIV yang telah dilakukan pada Sistem
Informasi HIV AIDS dan IMS (SIHA).
7. Minimnya dukungan dana APBD di beberapa kabupaten/kota untuk melakukan
supervisi atau bimbingan teknis ke layanan
Dukungan pendanaan untuk program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS
didaerah menyebabkan kurangnya pembinaan dan monitoring ke layanan sehingga
permasalahan atau hambatan yang ada di layanan tidak dapat segera diketahui dan
diatasi dengan baik.
8. Adanya IO (Infeksi Oportunis)
Adanya IO pada ODHIV yang ditemukan sehingga diperlukan pengobatan IO terlebih
dengan demikian maka pengobatan ARV tidak bisa segera diberikan, sehingga akan
mempengaruhi capaian pengobatan ARV.
g. Pemecahan masalah
1. Perluasan layanan mampu tes dan pengobatan untuk HIV dan PIMS
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV maka dilakukan perluasan layanan
yang mampu untuk melakukan tes dan pengobatan HIV dengan memberikan
orientasi PDP atau pelatihan atau dengan cara pendampingan bersama tim mentor
Kabupaten/Kota/Provinsi.
2. Peningkatan edukasi atau konseling tentang pengobatan ARV secara lengkap dan
terus menerus kepada ODHA.
Edukasi dan konseling tentang pengobatan ARV secara lengkap harus terus
dilakukan mengingat obat ARV harus diminum seumur hidup, sehingga diharapkan
ODHIV tidak merasa jenuh minum obat dan putus minum obat ARV atau LFU.
3. Penyediaan Media KIE
Media KIE yang dikemas sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini yang
kemudian disebarluaskan dan bisa diakses dengan mudah tentang pengobatan ARV
maupun penyakit HIV serta mendorong penggunaan layanan kesehatan terkait HIV,
AIDS dan IMS kepada individu dan kelompok agar lebih aman dari risiko penularan
HIV dan IMS.
4. Dukungan dan pemberdayaan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)
Pemberdayaan KDS sebagai mitra kerja merupakan cara yang efektif dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV di masyarakat sehingga
diharapkan ODHIV tidak merasa sendiri dan mau untuk terus melakukan
pengobatan ARV.
5. Pemberdayaan kader, komunitas, dan LSM untuk menjangkau masyarakat,
mendampingi ODHA, dan mengembalikan ODHA yang loss to follow up agar bisa
mengakses kembali ARV.
6. Penerapan kebijakan ARV multi bulan hingga tiga bulan,
Multi Month Dispensing (MMD) bagi ODHA yang stabil dan kerjasama dengan
komunitas/pendukung ODHA untuk memastikan kondisi dan keberlangsungan ARV
pada ODHA.
7. Melakukan integrasi layanan pada layanan rutin dan membentuk jejaring layanan.
Integrasi dan Jejaring layanan ini sangat penting mengingat belum semua layanan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 39


HIV dapat melakukan tes dan pengobatan, sehingga layanan dapat memantau
apabila akan melakukan rujukan terhadap ODHIV untuk memastikan ODHIV
tersebut datang kelayanan yang dirujuk dan bisa segera mendapatkan pengobatan
AR
8. Melakukan penyederhanaan sistem pencatatan pelaporan yang terintegrasi
berbasis NIK untuk data individu.
Dengan sistem informasi pencatatan dan pelaporan yang baik dan terintegrasi
diharapkan ODHIV yang ditemukan dan berobat di layanan manapun bisa tercatat
dalam SIHA karena sudah berbasis NIK, sehingga memudahkan petugas layanan
untuk melacak dan mengetahui status ODHIV tersebut sudah mendapatkan
pengobatan ARV atau menunda pengobatan.
9. Refreshing mentor HIV
Ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan penyegaran kembali
kepada petugas pemegang program HIV dan petugas layanan terkait informasi
terbaru dalam pencegahan dan penangulangan serta tatalaksana HIV AIDS.

h. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Anggaran pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS tahun 2023
bersumber APBN dan Hibah yang digunakan untuk pencapaian target program indikator
persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV adalah
sebesar Rp. 176.789.555.000,- dengan realisasi anggaran adalah Rp.175.158.810.380
(99 %) dan capaian keluaran 87,78 %

Berdasarkan PMK 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan RKA, efisiensi dilakukan dengan membandingkan
penjumlahan dari selisih antara perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian
keluaran dan realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari perkalian pagu
anggaran keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

PAKi = Rp.176.789.555.000,-
RAKi = Rp.175.158.810.380,-
CKi = 87,78% = 0,88

((176.789.555.000 x 0,88) – 175.158.810.380)


E= ------------------------------------------------------------------- X 100%
(176.789.555.000 x 0,88)

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 40


E = -0,13 %

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,13%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 18%
20

Dengan anggaran Rp.176.789.555.000 dan realisasi Rp. 175.158.810.380,- (99%),


memiliki nilai efisiensinya sebesar 18 %.

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC


a. Penjelasan Indikator
Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC/ Success Rate merupakan indikator
yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TBC yaitu seberapa besar
keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang sudah mendapat pengobatan dan
dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TBC yang berhasil dalam
pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun kategori pengobatan lengkap.

b. Definisi Operasional
Jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua
kasus TBC yang diobati dan dilaporkan dalam satu tahun.

c. Rumus/cara perhitungan

Persentase angka Jumlah semua kasus TBC yang sembuh


keberhasilan dan pengobatan lengkap
x 100%
pengobatan TBC = Jumlah semua kasus TBC yang diobati
dan dilaporkan

d. Capaian Indikator
Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate) merupakan
indikator baru dalam RAK pada tahun 2022 - 2024, sebelumnya indikator tersebut
merupakan indikator pada RAP P2P tahun 2020-2021. Tahun 2023, indikator TBC
Success Rate belum mencapai target dengan capaian 84,81% dari target 90% dengan
persentase kinerja sebesar 94.24%. Data ini masih bersifat sementara karena masih
data per tanggal 2 Januari 2024 secara lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 41


Grafik 3.10 Capaian dan Target Indikator Angka keberhasilan pengobatan TBC
Tahun 2020 - 2024
92
90 90 90 90 90
90
88
86
86 84.64 84.81
84 83.1

82
80
78
2020 2021 2022 2023 2024

Target Capaian

Sumber Data: Laporan Tim Kerja TBC, 2024

Berdasarkan grafik di atas dapat kita lihat bahwa terjadi kenaikan capaian indikator
angka keberhasilan pengobatan TBC dari tahun 2020 sebesar 83,1% menjadi 86%
pada tahun 2021. Dari tahun 2021 menurun pada tahun 2022 menjadi 84,64%. Hal ini
dapat dikaitkan dengan jumlah penemuan dan pengobatan kasus TBC yang pada tahun
2019 sebanyak 560.000 kasus sembuh pada tahun 2020 sebanyak 465.000 (83,1%),
jumlah penemuan dan pengobatan kasus pada tahun 2020 sebanyak 384.000 dan
sembuh pada tahun 2021 sebanyak 330.240 (86%) dan penemuan kasus terus
meningkat pada tahun 2021 menjadi 397.463 kasus dan sembuh pada tahun 2022
sebanyak 336.408 kasus (84,64%). Jika dilihat secara persentase capaian tahun 2022
lebih rendah dibandingkan pada tahun 2021, namun jika dilihat secara absolut sudah
meningkat. Demikian juga pada tahun 2023, secara persentase hanya meningkat sedikit
dibandingkan pada tahun 2022, yaitu menjadi 84,81%, namun secara absolut dari
sebanyak 636.919 kasus TBC yang ditemukan selama tahun 2022, yang berhasil dalam
pengobatan sebanyak 540.164 kasus.

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa walaupun indikator ini selama 4 tahun
berturut-turut belum mencapai target, namun dapat diproyeksikan pada tahun 2024
dapat mencapai target yang sudah ditetapkan sebesar 90%.

Data WHO (Global TB Report 2022), memperlihatkan indikator yang dipakai dalam
mencapai tujuan “End the Global TB epidemic” adalah jumlah kematian akibat TB per
tahun, angka kejadian (incidence rate) per tahun serta persentase rumah tangga yang
menanggung biaya pengobatan TB. Menurut TB Global Report tahun 2023 untuk
Indonesia, angka kejadian (insidensi) TB tahun 2022 adalah 385 per 100.000 (sekitar
1.060.000 pasien TB), dan 2,26% (24.000 kasus) di antaranya dengan TB/HIV. Angka
kematian TB adalah 48,6 per 100.000 penduduk (jumlah kematian 134.000) tidak
termasuk angka kematian akibat TB/HIV. WHO memperkirakan ada 31.000 kasus
Multidrug Resistance (MDR) di Indonesia.

Data Global TB Report tahun 2023 menunjukkan bahwa angka keberhasilan


pengobatan TBC secara global sebesar 88%, seperti terlihat pada tabel berikut ini:

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 42


Gambar 3.16 Angka Keberhasilan Pengobatan di Dunia Tahun 2020 – 2022

Sumber Data: Global TB Report, 2023

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa capaian angka keberhasilan pengobatan
TBC di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 87%. Capaian ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan capaian di Regional Asia Tenggara maupun di global yaitu
sebesar 88%. Selain itu dapat diketahui capaian secara regional di tahun 2022, angka
keberhasilan terendah adalah regional Eropa (69%) sedangkan yang tertinggi di
Regional Timur Tengah (92%). Bila dibandingkan pada 8 negara dengan beban
tertinggi, maka angka keberhasilan pengobatan TBC paling rendah di Afrika Selatan
(79%) dan Filipina (80%). Bila dilihat dari negara-negara yang mengalami penurunan
penemuan kasusnya, maka yang paling rendah adalah Federasi Rusia (60%).
Berdasarkan data di atas, walaupun pada 3 tahun berturut–turut belum mencapai target,
tapi dengan meningkatnya capaian setiap tahunnya, maka dapat diproyeksikan bahwa
capaian keberhasilan pengobatan pada tahun 2024 masih on track dan bahkan dapat
mencapai target yang sudah ditentukan, yaitu sebesar 90%.
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN dan indikator strategis Renstra
Kementerian Kesehatan yakni menurunnya insidensi TBC per 100.000 penduduk, maka
angka keberhasilan pengobatan akan mempengaruhi insidensi TBC. Data Global
Report TB 2023 menunjukkan insidensi TBC di Indonesia sebesar 385 per 100.000
penduduk pada tahun 2022, meningkat bila dibandingkan dengan insidensi TBC tahun
2020 yakni 301 per 100.000 penduduk dan 354 per 100.000 penduduk pada tahun 2021,
yang sebelumnya sudah menurun dari 2018 yakni 316 per 100.000 penduduk menjadi
312 per 100.000 penduduk pada tahun 2019.
Angka insidensi menggambarkan jumlah kasus TBC di populasi, tidak hanya kasus TBC
yang datang ke pelayanan kesehatan dan dilaporkan ke program. Angka ini dipengaruhi
oleh kondisi masyarakat termasuk kemiskinan, ketimpangan pendapatan, akses
terhadap layanan kesehatan, gaya hidup, dan buruknya sanitasi lingkungan yang
berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TBC. Insidensi TBC dengan angka
keberhasilan pengobatan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka
keberhasilan pengobatan semakin tinggi, maka insidensi TBC akan menurun dan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 43


sebaliknya angka keberhasilan pengobatan semakin tinggi berarti penderita TBC yang
sembuh semakin banyak dan kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika
penularan berkurang maka jumlah penderita TBC di populasi juga berkurang, dengan
demikian insidensi juga menurun.
Meningkatnya insidensi pada tahun 2022 dimungkinkan dengan rendahnya angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2020 dan 2021 sehingga potensi penularan
meningkat yang pada akhirnya insidensi juga meningkat. Pemantauan insiden TBC
diperlukan untuk mengetahui penyebaran kasus baru TBC dan kambuh TBC di
masyarakat. Insidensi TBC tidak hanya dipengaruhi oleh angka keberhasilan
pengobatan saja tetapi juga cakupan penemuan kasus (TBC treatment coverage).
e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian
Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TBC tahun 2023 belum
mencapai target. Data ini masih merupakan data sementara dan bisa berubah setelah
semua dinas kesehatan provinsi menyampaikan laporan. Belum tercapainya target
disebabkan masih dipengaruhi adanya pandemi Covid-19. Walaupun pada tahun 2023
status pandemi Covid-19 sudah dicabut, tapi kasus TBC yang sembuh pada tahun 2023
merupakan kohort dari kasus TBC pada tahun 2022 dimana masyarakat masih enggan
untuk datang ke fasilitas Kesehatan untuk mendapatkan pengobatan secara rutin.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1. Memberikan umpan balik hasil capaian tiap triwulan pada provinsi dan
kabupaten/kota yang belum melapor dan capaiannya masih rendah
Dalam rangka evaluasi capaian indikator program TBC tahun 2022 dan percepatan
peningkatan capaian indikator program TBC tahun 2023, maka dilaksanakan
pertemuan monitoring dan evaluasi program TBC melibatkan pelaksana kegiatan
TBC di pusat dan daerah serta lintas program dan lintas sektor agar target eliminasi
TBC tetap dapat tercapai.
Gambar 3.16 Pertemuan Nasional Program HIV, PIMS, TB dan Malaria

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja TBC

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 44


Gambar 3.17 Koordinasi Lintas Program dalam Pembinaan Wilayah
(Binwil) Bimbingan Teknis dalam Penemuan Kasus (Surveilans Aktif)

Sumber data: Dokumentasi Tim Kerja TBC

2. Peningkatan kapasitas melalui bimbingan teknis terkait pencatatan dan pelaporan


untuk Provinsi, Kabupaten/Kota (khususnya Rumah Sakit Pemerintah, Swasta, dan
DPM/Klinik

Gambar 3.18 Bimbingan pencatatan dan pelaporan ke daerah

Sumber data: Dokumentasi Tim Kerja TBC

3. Berkolaborasi dengan mitra/ partner untuk menyusun kegiatan intervensi pelayanan


TBC pada masa Covid yang bersumber pembiayaan dari hibah

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 45


Kick Off Skrining TBC pada Jaringan Rumah Sakit Swasta (Big Chain Hospital)
Tujuan pelaksanaan kegiatan yaitu peluncuran pelaksanaan kegiatan skrining
sesuai alur yang disepakati di jaringan Rumah Sakit Hermina, Pertamina Bina
Medika IHC, Siloam, dan Primaya. Serta pelaksanaan Diseminasi bentuk
dukungan USAID dalam kerangka Big Chain Hospital

Gambar 3.19 Peluncuran Program Unggulan kesehatan ”Bebas TB”

Program ini akan mendukung Pemerintah Indonesia dalam mengatasi


epidemi Tuberkulosis (TBC) dan mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030
melalui peningkatan kualitas pendeteksian kasus TBC, diagnosis,
perawatan, dan pencegahan TBC untuk semua individu yang terkena
dampak TB.

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja TBC

4. Melakukan supervisi ke Prov. Kab/Kota dan faskes terpilih untuk monitoring dan
evaluasi pelaksanaan kegiatan di lapangan dalam rangka meningkatkan capaian
indikator.

Sehubungan telah diluncurkannya Strategi Nasional Penanggulangan TBC


tahun 2020-2024 oleh Presiden RI, salah satu indikator yang perlu dipantau
dalam rangka Peningkatan Akses Layanan Tuberkulosis Bermutu Berpihak
pada Pasien adalah jumlah Kabupaten/Kota dengan fasyankes pelaksana
layanan TBC Resistan Obat (TBC RO). Pada akhir tahun 2024 diharapkan
semua kabupaten/kota memiliki minimal 1 (satu) fasyankes pelaksana layanan
TBC RO.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 46


Gambar 3.20 Dokumentasi Mentoring Klinis pada RSUP Ratatotok
Buyat, Sulawesi Utara

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja TBC

5. Advokasi dan Monitoring Tindak Lanjut Perpres No. 67 tahun 2021

Komitmen Pemerintah dalam Eliminasi TBC ditegaskan oleh Bapak Presiden


Republik Indonesia pada kegiatan “Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC
tahun 2030” dan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Penerbitan Perpres Nomor 67 Tahun 2021
adalah penegasan kembali tentang komitmen presiden dan sebagai acuan bagi
kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,
pemerintah desa, serta pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan
penanggulangan TBC. Pada Semester I tahun 2023 sudah dilaksanakan
Advokasi dan Monitoring Tindak Lanjut Perpres No. 67 tahun 2021 pada
Provinsi dengan beban kasus TBC yang tinggi seperti: DKI Jakarta, Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Kegiatan advokasi diikuti oleh Perwakilan Kemenko PMK, Kantor Staf Presiden,
Kemendes, Setkab, Kemendagri, Kemenkes dan mitra.

Gambar 3.21 Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat
dengan Sekda dan perwakilan daerah di Provinsi Beban Kasus Tinggi

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja TBC

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 47


6. Akselerasi penemuan kasus yang belum ditemukan (undetected cases) melalui
kegiatan Investigasi Kontak pada kontak serumah.

Salah satu program percepatan eliminasi TBC di Indonesia saat ini adalah
penemuan kasus secara aktif melalui investigasi kontak (IK). IK merupakan
kegiatan pelacakan yang ditujukan pada orang-orang yang kontak dengan
pasien TBC (indeks kasus) untuk menemukan terduga TBC, merujuk ke layanan
kesehatan untuk pemeriksaan lanjutan, serta memberikan pengobatan yang
tepat dan sedini mungkin. Panduan Nasional pelaksanaan Investigasi Kontak
telah dikembangkan dan mulai digunakan bersama oleh pemerintah dan
komunitas pada tahun 2019.

Namun capaian pelaksanaan IK tahun 2022 belum menunjukkan hasil yang


maksimal yaitu persentase Indeks Kasus yang dilakukan IK secara nasional
masih sebesar 35% dari target 90%. Sedangkan capaian indikator pemberian
terapi pencegahan TBC (TPT) hanya 1,1% dari target 48% untuk semua kontak
serumah. Capaian ini masih rendah dan memerlukan upaya komprehensif untuk
mencapai target eliminasi TBC pada 2030. Pada semester I tahun 2023 telah
dilakukan upaya akselerasi penemuan kasus yang belum ditemukan
(undetected cases) melalui kegiatan investigasi kontak pada kontak serumah di
8 provinsi prioritas yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, NTT, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

Gambar 3.22 Investigasi Kasus Kontak TBC

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja TBC

g. Kendala/masalah yang dihadapi


Jika kita melihat capaian angka keberhasilan pengobatan dengan target pada tahun
2022 sebesar 90% hanya tercapai 84.8%, maka dapat dikatakan bahwa indikator ini
belum mencapai target.

Adapun belum tercapainya target tersebut dapat dijelaskan karena walaupun pandemi
covid 19 sudah berlalu namun kasus TBC yang berhasil sembuh pada tahun 2022
merupakan kohort kasus TBC yang ditemukan dan diobati pada tahun 2021. Pandemi
Covid-19 masih mempengaruhi pelaksanaan program TBC terutama dalam hal
pencapaian keberhasilan pengobatan sebagai berikut:
1) Terganggunya keberlangsungan pengobatan karena pasien tidak datang mengambil
obat

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 48


2) Terganggunya monitoring pengobatan pasien karena pasien tidak mengumpulkan
dahak dan ada kendala pengiriman spesimen untuk evaluasi
3) Pengawasan minum obat terganggu
4) Enabler tidak bisa diberikan secara rutin

h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TBC melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6
strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TBC di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TBC” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TBC melalui PPM (Public Private Mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TBC-HIV, TBC-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
- Inovasi diagnosis TBC sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan kelangsungan pengobatan pasien atau case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (Universal Health Coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TBC.
- Memaksimalkan penemuan TBC secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TBC
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TBC
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TBC.
- Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TBC di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistik secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Strategis, surveilans proaktif termasuk kewajiban
melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

i. Efisiensi sumber daya


Pagu Anggaran Keluaran i (PAKi) = Rp 1.583.929.325.000
Realisasi Anggaran Keluaran i (RAKi) = Rp. 1.562.306.334.558
Capaian Keluaran i (CKi) = 94,23% (1)

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 49


Sehingga Efisiensi:

((1.583.929.325.000 X 0,9424) – 1.562.306.334.558)


E= ---------------------------------------------------------------------- X 100%
(1.583.929.325.000 X 0,9424)

1.492.694.995.880 - 1.562.306.334.558
E= ---------------------------------------------------------------------- X 100 %
1.492.694.995.880

E = - 4,67 %

Efisiensi Sumber Daya dari indikator Angka keberhasilan pengobatan TBC sebesar -
4,67%. Artinya biaya untuk kegiatan output tersebut termasuk efisien dari pagu anggaran
yang disediakan.

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai Positivity Rate (PR) < 5%


a. Penjelasan Indikator
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 22 Tahun 2022 tentang
Penanggulangan Malaria serta dokumen Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) bahwa target
nasional pencapaian Positivity rate adalah kurang dari 5% yang merupakan presentase
jumlah kasus malaria yang terkonfirmasi dibandingkan dengan jumlah total pemeriksaan
baik positif dan negatif. Capaian indikator Positivity Rate (PR) malaria merupakan salah
satu indikator utama persyaratan eliminasi malaria, selain tidak ada kasus indigenous
selama 3 tahun berturut-turut dan Annual Parasite Incidence (API) < 1 per 1000
penduduk.

b. Definisi operasional
merupakan jumlah Kabupaten/Kota dengan % jumlah kasus malaria positif yang
terkonfirmasi dibandingkan dengan jumlah total pemeriksaan (positive dan negative).
Indikator Positivity Rate (PR) meruapakan salah satu kriteria eliminasi malaria sesuai
dengan Permenkes Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Malaria. Selain
indikator Positivity Rate (PR) malaria < 5%, daerah tersebut harus memenuhi tiga 2
kriteria utama lainnya yaitu: API kurang dari 1 Per 1000 penduduk dan tidak ada
penularan setempat malaria selama tiga tahun berturut-turut serta memenuhi beberapa
persyaratan lainnya. Status PR malaria < 5% diperoleh dari jumlah kasus positif
dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pada waktu yang sama. Kasus positif
malaria harus terkonfirmasi laboratorium yang diagnosis pemeriksaan ditegakan
dengan diagnosis melalui RDT dan atau mikroskop.

c. Rumus/cara perhitungan
Positivity Rate (PR) Malaria < 5% =
Jumlah Kasus Positif yang terkonfirmasi laboratorium x 100%
Jumlah Pemeriksaan (Positif dan negative)

Jumlah Kabupaten/Kota mencapai PR malaria < 5% merupakan akumulasi jumlah


Kab/Kota yang mencapai Positivity Rate (PR) Malaria < 5% dalam kurun waktu satu
tahun.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 50


Berdasarkan World Malaria Report (WMR) tahun 2023, secara global diperkirakan
terdapat 249 juta kasus malaria pada tahun 2022, meningkat sekitar 5 juta kasus
dibanding tahun 2021. Sebagian besar peningkatan ini berasal dari negara-negara di
wilayah Afrika yang meningkat sebesar 3% dibanding tahun 2020. Angka kejadian
kasus malaria meningkat dari 57 pada tahun 2019 menjadi angka kejadian malaria 58
per 1000 penduduk berisiko pada tahun 2022. Negara Afrika menyumbangkan sekitar
231 juta (94%) kasus global pada tahun 2022. Wilayah Asia menyumbang sekitar 2%
dari beban kasus malaria secara global. Indonesia menyumbangkan kasus malaria
terbesar kedua setelah India di Kawasan Asia dengan estimasi kasus oleh WHO
sebesar 1.156.000 pada tahun 2022.

Berdasarkan laporan rutin malaria pada tahun 2022 terdapat peningkatan kasus malaria
sekitar lebih dari 30% di Indonesia dari 304.607 tahun 2021 menjadi 443.530 seluruh
kasus positif di Indonesia pada tahun 2022. Kasus terbesar terlaporkan di Provinsi
Papua yang berkontribusi menyumbang kasus positif sebanyak 393.801 (89%) dari
kasus Nasional.

d. Capaian indikator

Gambar 3.23 Peta Endemisitas Indonesia Tahun 2023* per 15 Januari 2023

Sumber: Data Tim Kerja Malaria

Berikut tabel rincian capaian penduduk per wilayah endemisitas di Indonesia

Tabel 3.2 Capaian Penduduk Berdasarkan Endemisitas Tahun 2023

Penduduk 2023 Kabupaten/Kota


no Endemisitas
Jumlah % Jumlah %

1 Eliminasi (Bebas Malaria) 249,909,932 90% 389 76%


2 Endemis Rendah (API <1‰) 18,321,842 7% 69 14%
3 Endemis Sedang (API 1 - 5 ‰) 5,512,749 2% 30 5%
4 Endemis Tinggi (API > 5 ‰) 3,687,837 1% 26 5%
TOTAL 277,432,360 100% 514 100%
Sumber: Data Tim Kerja Malaria

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 51


Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 90% penduduk Indonesia telah hidup di
daerah bebas malaria dan sekitar 10% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah
endemis malaria.
Tabel 3.3 Capaian Jumlah Kab/Kota dengan Positivity Rate (PR) Malaria < 5%
per Provinsi Tahun 2023
Jumlah Jumlah % Capaian
Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota
Jumlah
No Provinsi Positivity Rate Positivity yang
Kab/Kota
(PR) Malaria Rate (PR) mencapai
<5% Malaria >5% PR < 5%

1 Aceh 23 21 2 91%

2 Sumatera Utara 33 13 20 39%

3 Sumatera Barat 19 18 1 95%

4 Riau 12 7 5 58%

5 Jambi 11 11 0 100%

6 Sumatera Selatan 17 17 0 100%

7 Bengkulu 10 10 0 100%

8 Lampung 15 12 3 80%

9 Kepulauan Bangka Belitung 7 7 0 100%

10 Kepulauan Riau 7 7 0 100%

11 DKI Jakarta 6 5 1 83%

12 Jawa Barat 27 6 21 22%

13 Jawa Tengah 35 7 28 20%

14 DI Yogyakarta 5 3 2 60%

15 Jawa Timur 38 8 30 21%

16 Banten 8 2 6 25%

17 Bali 9 7 2 78%

18 Nusa Tenggara Barat 10 10 0 100%

19 Nusa Tenggara Timur 22 22 0 100%

20 Kalimantan Barat 14 14 0 100%

21 Kalimantan Tengah 14 13 1 93%

22 Kalimantan Selatan 13 11 2 85%

23 Kalimantan Timur 10 3 7 30%

24 Kalimantan Utara 5 4 1 80%

25 Sulawesi Utara 15 10 5 67%

26 Sulawesi Tengah 13 7 6 54%

27 Sulawesi Selatan 24 11 13 46%

28 Sulawesi Tenggara 17 11 6 65%

29 Gorontalo 6 6 0 100%

30 Sulawesi Barat 6 6 0 100%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 52


Jumlah Jumlah % Capaian
Kab/Kota Kab/Kota Kab/Kota
Jumlah
No Provinsi Positivity Rate Positivity yang
Kab/Kota
(PR) Malaria Rate (PR) mencapai
<5% Malaria >5% PR < 5%

31 Maluku 11 9 2 82%

32 Maluku Utara 10 10 0 100%

33 Papua Barat 13 10 3 77%

34 Papua 29 4 25 14%

TOTAL 514 323 191 63%


Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 15 Januari 2024*

Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 63% kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai


Positivity Rate (PR) < 5%, dimana pada tahun 2023 terdapat 11 provinsi yang seluruh
Kabupaten/kota telah mencapai Positivity Rate (PR) malaria < 5%.
Target dan capaian Positivity Rate (PR) malaria < 5% dapat digambarkan pada grafik
di bawah ini dalam kurun waktu tahun 2020-2024.

Grafik 3.11 Capaian Jumlah Kabupaten/Kota mencapai Positivity Rate (PR)


Malaria < 5% 2020-2024
450 414 100%
394
400 374 90%
354 348
350 323 80%
70%
300
60%
250
50% Target
200
40% Capaian
150
30%
100 20%
50 10%
0 0%
Baseline 2021 2022 2023 2024

Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 15 Januari 2024*

Secara Nasional, target kumulatif tahun 2023 adalah 394 kabupaten/kota mencapai PR
malaria < 5%, sedangkan pencapaiannya sebesar 323 (82%) Kab/Kota mencapai PR <
5%. Tahun 2022-2023 capaian jumlah kabupaten/kota mencapai PR < 5% belum
mencapai target Nasional. Target tahun 2024 untuk jumlah kabupaten/kota yang
mencapai Positivity Rate (PR) Malaria < 5% adalah sebesar 414 jika diproyeksikan akan
sulit tercapai karena berdasarkan target dan capaian selama 2 tahun terakhir tidak
tercapai. Sehingga, diperlukan adanya dukungan serta komitmen bagi daerah yang
sudah bebas malaria maupun yang masih endemis dalam peningkatan penemuan
kasus yang diperiksa dan dilaporkan pada Sistem Pencatatan Pelaporan Informasi dan
Surveilans Malaria (SISMAL).
Untuk mencapai target tersebut, perlu didukung oleh beberapa indikator komposit, yaitu
persentase konfirmasi pemeriksaan sediaan darah dan persentase pengobatan standar

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 53


yang juga merupakan indikator Pemantauan Program Prioritas Janji Presiden tahun
2020 oleh Kantor Staf Presiden (KSP) yang dipantau setiap tiga bulan. Persentase
pemeriksaan sediaan darah adalah persentase suspek malaria yang dilakukan
konfirmasi laboratorium, baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test
(RDT) dari semua suspek yang ditemukan. Target dan capaian indikator persentase
konfirmasi pemeriksaan sediaan darah adalah sebagai berikut:

Grafik 3.12 Capaian Persentase Konfirmasi Pemeriksaan Sediaan Darah


Tahun 2023*
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%

% Konfirmasi Laboratorium Target

Sumber data: Laporan Tim Kerja Malaria, per 15 Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa 26 provinsi (76%) telah mencapai target
Nasional dalam konfirmasi laboratorium terhadap suspek malaria. Target nasional
adalah 95% dengan capaian tahun 2023 sebesar 96% dengan jumlah suspek sebanyak
3,205,038 dan jumlah pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium sebanyak
3,062,995 orang .

Pemberian terapi pengobatan pada pasien malaria saat ini telah diatur sesuai
Kepmenkes Nomor 556 Tahun 2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Malaria, dimana pasien positif malaria (berdasarkan pemeriksaan
laboratorium) diobati dengan menggunakan ACT dengan dosis yang disesuaikan
dengan berat badan pasien. ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) merupakan
obat yang saat ini dianggap paling efektif untuk membunuh parasit Malaria. Persentase
pasien malaria positif yang diobati sesuai standar adalah proporsi pasien malaria yang
diobati sesuai standar tata laksana malaria dengan menggunakan ACT. Target dan
capaian indikator persentase pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT
adalah sebagai berikut.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 54


Grafik 3.13 Persentase Pengobatan Standar Tahun 2023*
120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%

% Pengobatan Standar Target

Sumber data: Laporan Tim Kerja Malaria, 2023* per 15 Januari 2024

Dari grafik di atas tercatat baru 8 provinsi (24%) telah mencapai target Nasional untuk
pengobatan malaria sesuai standar. Target capaian pengobatan standar ACT yaitu
sebesar 95% sementara capaian pada tahun 2023 yaitu sebesar 89% dengan jumlah
positif malaria sebanyak 390,242 orang dan jumlah yang diobati dengan pengobatan
standar sebanyak 348,660. Berdasarkan hal tersebut, capaian indikator persentase
pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT tahun 2023 belum mencapi
target.

e. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target indikator


Beberapa upaya telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:
1) Diagnostik Malaria
Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi malaria
adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui pemeriksaan
laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic Test (RDT).
Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan data yang tepat dan
akurat.
Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu diagnosis terus dilakukan.
Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisme uji silang di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Kualitas pelayanan laboratorium malaria sangat
diperlukan dalam menegakan diagnosis dan sangat tergantung pada kompetensi dan
kinerja petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan kesehatan.
Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan melalui
pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium pemeriksa malaria mulai
dari tingkat pelayanan seperti laboratorium Puskesmas, Rumah Sakit serta
laboratorium kesehatan swasta sampai ke laboratorium rujukan uji silang di tingkat
kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
1. Pertemuan Kelompok Kerja Diagnosis dan Pengobatan Malaria Kementerian
Kesehatan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 55


2. Refreshing Tenaga Laboratorium Malaria
3. Pelatihan Penyegaran Mikroskopis Malaria Bagi Tenaga ATLM
4. Supervisi dalam Rangka Narasumber Pelatihan Mikroskopis Malaria Pulau Nias
5. Pendampingan diagnosis dan tatalaksana malaria
6. Assessment Petugas dan Pemantauan Mutu Laboratorium Malaria
7. Pelatihan Jarak Jauh Mikroskopis Malaria bagi tenaga ATLM

2) Tatalaksana Kasus Malaria


Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan pengobatan malaria
menggunakan obat pilihan yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti
malaria lainnya yang biasa disebut dengan Artemisinin-based Combination Therapy
(ACT). ACT merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit sedangkan
obat lainnya seperti klorokuin telah resisten. Pada tahun 2019 telah ditetapkan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Malaria dalam bentuk
Keputusan Menkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/556/2019. Berdasarkan
Kepmenkes tersebut juga diterbitkan buku pedoman tata laksana kasus malaria
sesuai dengan perkembangan terkini dan hasil riset mutakhir. Adapun penggunaan
ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, sebagai salah satu upaya
mencegah terjadinya resistensi obat.

Selain penggunaan OAM yang rasional, salah satu pilar untuk mencapai eliminasi
malaria adalah menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan
pengobatan, sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta
(public private mix partnership).
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kualitas
tatalaksana malaria tahun 2023 yaitu:
1. Pertemuan Koordinasi Penyakit Menular pada Ibu Hamil dan Balita
2. Pertemuan Koordinasi GKIA dan P2PM 2023
3. Supervisi dalam Rangka Pendampingan Pelaksanaan FGD Minum Obat Massal
Malaria (MOMAL)
4. Supervisi dalam Rangka Sosialisasi Update Tata Laksana Malaria bagi Dokter
Puskesmas dan Dokter Rumah Sakit
5. Workshop Public Private Mix (PPM) Bali
6. Workshop Public Private Mix (PPM) Jawa Timur
7. Surveilans Pengobatan Malaria
8. Pelatihan Tatalaksana Malaria
9. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 56


Gambar 3.24 Pemberian Obat Masal Malaria (Momal) di Kab. Jayapura

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Malaria

3) Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik untuk mengidentifikasi
daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria dan melakukan perencanaan
sumber daya yang diperlukan untuk pengendalian malaria. Kegiatan surveilans
malaria dilaksanakan sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk
pada tahap eliminasi dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi
terhadap setiap kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar
biasa malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan.
Sistem informasi malaria yang disebut SISMAL V2 mulai disosialisasikan pada
Tahun 2018 dan sepenuhnya digunakan pada Tahun 2019. Sebanyak 10.609
fasyankes telah melaporkan data malaria melalui SISMAL V2 pada tahun 2022.
Untuk memudahkan interoperabilitas data dengan data yang lainnya maka sejak
tahun 2021 SISMAL V3 sudah mulai dikembangkan dan di tahun 2022 dilakukan
sosialisasi awal SISMAL V3. Pelaksnaan implementasi penggunaan Sismal V.3
mulai dilakukan pada awal tahun 2023.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:
a. Supervisi dalam Rangka Peningkatan Kapasitas Petugas P2BB dalam Aplikasi
e-SISMAL
b. Supervisi dalam Rangka On The Job Training SISMAL V3 di 20 provinsi
c. Supervisi dalam Rangka On The Job Training Pengelola Sistem Informasi
Surveilans Malaria

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 57


Gambar 3.25 OJT SISMAL Versi.3 tahun 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Malaria

4) Pengendalian Vektor Malaria


Sampai saat ini nyamuk Anopheles telah dikonfirmasi menjadi vektor malaria di
Indonesia sebanyak 25 jenis (spesies). Jenis intervensi pengendalian vektor malaria
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain memakai kelambu berinsektisida
(LLINs = Long Lasting Insecticide Nets), melakukan penyemprotan dinding rumah
dengan insektisida (IRS = Indoor Residual Spraying), melakukan larviciding,
melakukan penebaran ikan pemakan larva, dan pengelolaan lingkungan.
Penggunaan kelambu berinsektisida merupakan cara perlindungan dari gigitan
nyamuk anopheles. pembagian kelambu ke masyarakat dilakukan dengan dua
metode, yaitu pembagian secara massal (mass campaign) dan pembagian rutin.
Pembagian secara massal dilakukan pada daerah/Kabupaten/Kota endemis tinggi
dengan cakupan minimal 80%. Pembagian ini diulang setiap 3 tahun, jika belum ada
penurunan tingkat endemisitas. Pembagian kelambu secara rutin diberikan kepada
ibu hamil yang tinggal di daerah endemis tinggi. Kegiatan ini bertujuan untuk
melindungi populasi prioritas, yaitu ibu hamil dari risiko penularan malaria. Selain itu,
pembagian kelambu juga dilakukan pada daerah yang terkena bencana.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
pengendalian vektor malaria:
a Supervisi dalam Rangka Pertemuan Mikroplanning, Sosialisasi, dan Advokasi
Kelambu Massal Tahun 2023 Regional Manokwari
b Supervisi dalam Rangka Pertemuan Mikroplanning, Sosialisasi, dan Advokasi
Kelambu Massal Tahun 2023 Regional Sorong
c Survei Longitudinal Vektor
d Pemeriksaan Sampel Nyamuk Longitudinal Survei
e Survei Monitoring Resistensi Insektisida
f Surveilans Pengendalian Faktor Risiko Malaria

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 58


Gambar 3.26 Surveilans Pengendalian Risiko melalui Pemeriksaan Jentik
Tahun 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Malaria

5) Promosi, Advokasi dan Kemitraan dalam Upaya Pengendalian Malaria


Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang penting
dengan sasaran pengambil kebijakan, pelaksana teknis dan masyarakat luas.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat luas dilakukan dengan
membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) mengenai Malaria.
Beberapa kegiatan selama tahun 2023 dalam mendukung promosi, advokasi dan
kemitraan dalam upaya pengendalian malaria antara lain:
a. Pertemuan Monev Program Malaria Tingkat Pusat
b. Pertemuan Finalisasi Revisi RANPEM
c. Penilaian Program Malaria Tentang Issue Bagi Masyarakat, Hak Asasi Manusia
dan Gender di Indonesia
d. Pembahasan Rencana Implementasi Paket Layanan Malaria untuk MMPs IKN
e. Supervisi Pelaksanaan Kegiatan Intervensi Percepatan Eliminasi Malaria di
Wilayah IKN
f. Pertemuan Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Intervensi Percepatan Eliminasi
Malaria di Wilayah IKN dan Kabupaten Sekitarnya
g. Supervisi dalam Rangka Pertemuan Evaluasi Lintas Batas Malaria
h. Uji Coba Pengembangan Media KIE Tatalaksana Malaria Sebagai Sarana
Komunikasi
i. Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Program Malaria Tingkat Provinsi Papua
Barat dan Papua Barat Daya Tahun 2023
j. Rapat Teknis Pengembangan Web Malaria
k. Sidang Penilaian Eliminasi Malaria

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 59


Gambar 3.27 Advokasi Bupati Kab. Seram Bagian Barat tentang percepatan
Eliminasi Malaria

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Malaria

Gambar 3.28 Evaluasi Pelaksanaan Penilaian Eliminasi Malaria tahun 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Malaria

6) Alat dan Bahan serta Media KIE pencegahan dan pengendalian malaria
Sarana dan prasarana Malaria adalah bangunan beserta alat dan bahan yang
digunakan pada program pengendalian malaria di Indonesia. Alat dan bahan
digunakan dalam kegiatan diagnostik (deteksi), pengobatan dan pengendalian
vektor. Ketersediaan sarana dan prasarana malaria sangat penting dalam
pencapaian eliminasi malaria. Selain itu media kie juga sangat berperan sebagi
media untuk promosi dan sosialisasi terkait pencegahan dan pengendalian malaria.

Alat dan bahan pengendalian malaria yang diadakan pada tahun 2023 seperti
mikroskop trinokuler, mist blower, APD, larvasida malaria, insektisida malaria, RDT
malaria, immertion oil dan giemsa. Sedangkan media KIE pencegahan dan
pengendalian malaria, yaitu Buku Petunjuk Teknis Pengendalian Faktor Risiko
Malaria dan Buku Kurikulum dan Pelatihan Tatalaksana Malaria bagi Dokter.

f. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


1) Under Reporting pelaporan data pada sistem pencatatan dan pelaporan sismal
terutama pemeriksaan negatif.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 60


2) Evaluasi dan validasi data yang kurang berjalan dari tingkat fasilitas pelayanan
Kesehatan
3) Terbatasnya komitmen Pemerintah Daerah setempat pada daerah yang sudah
bebas malaria baik dari anggaran maupun kegiatan
4) Setiap kasus positif di daerah endemis rendah dan eliminasi (API<1 per 1000
penduduk) tidak segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE) 1-2-5 termasuk
survei kontak.
5) Kegiatan surveilans aktif terutama surveilans migrasi pada daerah yang sudah
eliminasi tidak berjalan optimal
6) Akses dan cakupan layanan baik Rumah Sakit, klinik, DPS pada remote area masih
belum memadai.
7) Rujukan layanan dan jejaring tatalaksana belum optimal.
8) Kegiatan penemuan aktif termasuk surveilans migrasi kurang berjalan
9) Di daerah endemis rendah banyak terdapat daerah fokus malaria dengan Mobile
Migrant Population (MMP) dan kondisi wilayah yang sulit (tambang liar, illegal
logging, perkebunan illegal, tambak terbengkelai) yang sulit untuk dilakuakn
pemeriksaan karena remote area atau karena mobilitas penduduk yang cukup
tinggi.
10) Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal.
11) Turn over petugas malaria di daerah.
12) Peningkatan kasus malaria malaria di beberapa kabupaten/kota kurang berjalannya
kegiatan surveilans migrasi malaria di daerah endemis rendah dan tahap
pemeliharaan.
13) Komitmen Pemerintah Daerah setempat baik terkait kebijakan dan anggaran untuk
program malaria di daerah endemis malaria dan bebas malaria yang semakin
terbatas

g. Pemecahan Masalah
Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas memerlukan pemecahan masalah
sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat dicapai. Berikut
ini beberapa pemecahan masalah yang dilakukan :
1) Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh Kab/Kota.
- Integrasi ke dalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai dengan
standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring Public-Private Mix Partnership layanan malaria.
2) Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
3) Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan
Epidemiologi baik dana dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund, Dana
Desa, dan Dana Kapitasi.
4) Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus seperti
penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan suku asli yang
hidup di hutan.
5) Pengembangan pelaporan secara real-time pada SISMAL V3
6) Pelatihan Penyelidikan Epidemiologi termasuk pelatihan pemetaan GIS.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 61


7) Upaya Public Private Mix (PPM) dalam pengendalian malaria yang dilakukan
membuat akses layanan semakin terbuka dan baik sehingga berpengaruh juga pada
penemuan, pencatatan, dan pelaporan kasus malaria.
8) Bersama dengan WHO telah dilakukan perhitungan estimasi kasus positif sehingga
upaya yang dilakukan lebih tinggi dengan adanya gambaran kasus yang lebih besar.

h. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Indikator Jumlah kabupaten/kota yg mencapai Positivity Rate (PR) < 5% :

Pagu Anggaran Keluaran i (PAKi) = Rp 136.290.099.000


Realisasi Anggaran Keluaran i (RAKi) = Rp 131.484.631.597
Capaian Keluaran i (CKi) = 82% (1)

Sehingga Efisiensi:

((136.290.099.000X 0,82) – 131.484.631.597)


E= ------------------------------------------------------ X 100%
(136.290.099.000X 0.82)

E = -14,7%

Efisiensi Sumber Daya dari indikator Jumlah Kabupaten/Kota yg mencapai Positivity


Rate (PR) Malaria < 5% penduduk sebanyak -14.7% Artinya biaya untuk kegiatan output
tersebut masih belum efisien sebesar -14.7% dari pagu anggaran yang disediakan.

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu


a. Penjelasan Indikator
Dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Kusta, penderita kusta dinyatakan
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (Release From Treatment (RFT) setelah dosis
dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Penderita kusta PB harus
menghabiskan 6 blister MDT dalam waktu 6-9 bulan, sementara penderita kusta MB
harus menghabiskan 12 blister MDT dalam waktu 12-18 bulan. Penderita kusta PB
dinyatakan putus berobat apabila tidak minum obat lebih dari 3 bulan, sedangkan bagi
penderita kusta MB apabila tidak minum obat lebih dari 6 bulan (tidak mungkin bagi
penderita tersebut untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan).

Indikator persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu


(RFT rate) sangat penting digunakan dalam menilai kualitas tatalaksana penderita dan
kepatuhan penderita dalam minum obat. Indikator tersebut merupakan indikator
tahunan dan perhitungannya dilakukan berdasarkan penderita yang memulai
pengobatan MDT pada periode kohort yang sama.

b. Definisi Operasional
Jumlah penderita baru kusta (PB/MB) dari periode kohort 1 (satu) tahun yang sama yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (PB menyelesaikan 6 dosis dalam waktu 6-9
bulan/MB menyelesaikan 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan) dinyatakan dalam
persentase

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 62


c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah penderita kusta baru yang telah menyelesaikan pengobatan (PB menyelesaikan
pengobatan 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dan MB menyelesaikan pengobatan 12 dosis
dalam waktu 12-18 bulan) dibagi seluruh penderita baru pada periode kohort tahun yang
sama di kali 100%.

Rumus :
Jumlah kasus baru PB & MB yang menyelesaikan 6 dosis dalam 6-9 bln & 12-18 bln x
100 %
Jumlah seluruh kasus baru PB & MB yang memulai MDT pada periode kohort tahun yang sama

d. Capaian Indikator

Grafik 3.14 Indikator dan Capaian Persentase Penderita Kusta yang


Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu dan Capaian Tahun 2020-2024
Target Capaian
90

90

90

90

90
89
88.7

87.31
87

2020 2021 2022 2023 2024

Sumber : Laporan Program P2 Kusta per 17 Januari 2024

Grafik di atas menunjukkan bahwa capaian indikator persentase penderita kusta yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu dari tahun ke tahun pada periode 2020-2024
bersifat fluktuatif. Tahun 2021 (89%), capaian indikator mengalami kenaikan dibanding
tahun 2020 (88,7%), namun kembali menurun di tahun 2022 (87%). Tahun 2023,
capaian indikator mengalami kenaikan, meskipun tidak secara signifikan menjadi
87,31% (persentase capaian target 97,01%). Angka capaian tersebut didapatkan
berdasarkan data per 20 Januari 2024, dan dapat mengalami perubahan karena
finalisasi data program P2 Kusta tahun 2023 yang belum selesai dilaksanakan. Apabila
melihat capaian indikator tersebut selama 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target
yang ditetapkan (90%), dapat diprediksikan bahwa tahun 2024 akan memperlihatkan
pola yang sama, yaitu tidak tercapainya target indikator persentase penderita kusta
yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 63


Tabel 3.4 Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Tepat Waktu
di Indonesia Tahun 2023
Jumlah
Penderita Jumlah Penderita MB Jumlah Penderita PB & MB
PB
Provinsi
Selesai RFT Selesai RFT Selesai RFT
Mulai Mulai Mulai
Tepat Rate Tepat Rate Tepat Rate
Pengobatan Pengobatan Pengobatan
Waktu (%) Waktu (%) Waktu (%)

Aceh 41 40 97,56 177 167 94,35 218 207 94,95

Sumatera
4 4 100,00 87 74 85,06 91 78 85,71
Utara

Sumatera
2 2 100,00 30 25 83,33 32 27 84,38
Barat

Jambi 6 6 100,00 41 30 73,17 47 36 76,60

Bengkulu 3 1 33,33 14 11 78,57 17 12 70,59

Riau 7 4 57,14 78 64 82,05 85 68 80,00

Sumatera
18 18 100,00 207 190 91,79 225 208 92,44
Selatan

Lampung 5 5 100,00 110 107 97,27 115 112 97,39

Kepulauan
Bangka 3 2 66,67 30 29 96,67 33 31 93,94
Belitung

Kepulauan
6 4 66,67 32 29 90,63 38 33 86,84
Riau

DKI Jakarta 55 55 100,00 387 353 91,21 442 408 92,31

Banten 84 79 94,05 592 513 86,66 676 592 87,57

Jawa Barat 136 123 90,44 1237 1111 89,81 1373 1234 89,88

Jawa Tengah 109 100 91,74 817 734 89,84 926 834 90,06

DI Yogyakarta 10 9 90,00 29 21 72,41 39 30 76,92

Jawa Timur 114 97 85,09 1621 1460 90,07 1735 1557 89,74

Bali 3 3 100,00 60 53 88,33 63 56 88,89

Nusa
Tenggara 28 26 92,86 159 149 93,71 187 175 93,58
Barat

Nusa
Tenggara 41 33 80,49 294 255 86,73 335 288 85,97
Timur

Kalimantan
1 1 100,00 25 23 92,00 26 24 92,31
Barat

Kalimantan
6 6 100,00 35 27 77,14 41 33 80,49
Tengah

Kalimantan
26 25 96,15 106 90 84,91 132 115 87,12
Timur

Kalimantan
5 4 80,00 68 56 82,35 73 60 82,19
Selatan

Kalimantan
0 0 #DIV/0! 29 23 79,31 29 23 79,31
Utara

Sulawesi Utara 47 46 97,87 344 311 90,41 391 357 91,30

Sulawesi
25 24 96,00 174 170 97,70 199 194 97,49
Tengah

Sulawesi
9 9 100,00 180 161 89,44 189 170 89,95
Tenggara

Sulawesi
76 69 90,79 627 560 89,31 703 629 89,47
Selatan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 64


Jumlah
Penderita Jumlah Penderita MB Jumlah Penderita PB & MB
PB
Provinsi
Selesai RFT Selesai RFT Selesai RFT
Mulai Mulai Mulai
Tepat Rate Tepat Rate Tepat Rate
Pengobatan Pengobatan Pengobatan
Waktu (%) Waktu (%) Waktu (%)

Sulawesi Barat 21 19 90,48 93 76 81,72 114 95 83,33

Gorontalo 7 7 100,00 134 124 92,54 141 131 92,91

Maluku 13 13 100,00 288 228 79,17 301 241 80,07

Maluku Utara 79 75 94,94 511 429 83,95 590 504 85,42

Papua 283 242 85,51 869 688 79,17 1152 930 80,73

Papua Barat 206 165 80,10 422 284 67,30 628 449 71,50

Indonesia 1479 1316 88,98 9907 8625 87,06 11386 9941 87,31

Sumber :Laporan Program P2 Kusta per 17 Januari 2024

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa capaian Persentase Penderita Kusta PB


yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu (88,98%), lebih tinggi dibanding
capaian Persentase Penderita Kusta MB yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat
Waktu (87,06%). Berdasarkan laporan Weekly Epidemiological Record WHO tahun
2023, angka penderita yang menyelesaikan pengobatan di tingkat global tahun 2022
mencapai 89,3% untuk MB, dan 95,85% untuk PB. Angka tersebut lebih tinggi dibanding
capaian nasional Indonesia. Apabila dibandingkan dengan tiga negara yang memiliki
kasus kusta terbanyak di dunia, angka penderita yang menyelesaikan pengobatan di
India mencapai 94% untuk MB dan 98% untuk PB, sementara itu di Brazil angka
penderita yang menyelesaikan pengobatan cukup rendah, yaitu 76,8% untuk MB dan
79,9% untuk PB.

Capaian indikator Persentase Penderita Kusta PB yang Menyelesaikan Pengobatan


Kusta Tepat Waktu di tingkat provinsi tertinggi berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah
(97,49%), dengan capaian paling rendah berasal dari Provinsi Bengkulu (70,59%).
Sebanyak 11 Provinsi telah mencapai target indikator yang ditentukan di tahun 2023,
yaitu 90%. Sebagian besar provinsi yang memiliki capaian indikator yang rendah
berasal dari provinsi beban rendah kusta atau provinsi yang telah mencapai eliminasi
kusta.

Apabila dibandingkan dengan Indikator Sasaran Strategis (ISS) Kabupaten/Kota


dengan Eliminasi Kusta, maka capaian indikator Persentase Penderita Kusta PB yang
Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu dapat mempengaruhi capaian indikator
tersebut, begitu pula sebaliknya. Monitoring pengobatan yang baik sehingga penderita
dapat menyelesaikan pengobatan tepat waktu dapat memutus rantai penularan kusta di
masyarakat. Pemutusan rantai penularan di masyarakat dapat mendorong tercapainya
status eliminasi kusta di kabupaten/kota.
e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian
Beberapa hal yang menghambat penderita menyelesaikan pengobatan tepat waktu,
sehingga target indikator persentase penderita yang menyelesaikan pengobatan
tepat waktu tidak tercapai:
1) Sistem pencatatan dan pelaporan yang manual dan berjenjang menyebabkan
terhambatnya program mendapatkan data capaian indikator. Hingga awal tahun
2024, belum semua kabupaten/kota dan provinsi yang melaporkan angka RFT rate.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 65


2) Durasi pengobatan yang lama akan membuat pasien mengalami kejenuhan
sehingga akhirnya putus berobat.
Proporsi kasus kusta MB yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu rata-rata
lebih rendah dibanding proporsi kasus PB karena jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Oleh karena itu, pasien kusta sangat membutuhkan pengawasan, baik
dari keluarga maupun dari petugas kesehatan, agar tidak lupa atau berhenti minum
obat.
3) Kurangnya pengetahuan dan kesadaran penderita terhadap pentingnya berobat
secara teratur
4) Efek samping obat MDT dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita, sehingga
penderita enggan melanjutkan pengobatan.
5) Banyaknya petugas kesehatan atau dokter di fasyankes yang belum terlatih dan
memiliki pemahaman akan tatalaksana kusta dan pentingnya konseling atau edukasi
kepada penderita, akibatnya penderita tidak mendapatkan informasi yang adekuat.
6) Kurangnya pemberian motivasi, dukungan serta pengawasan menelan obat dari
petugas, keluarga, dan masyarakat menyebabkan rendahnya kepatuhan minum
obat.
7) Masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta menyebabkan
penderita berhenti mengunjungi layanan kesehatan karena takut dikucilkan.
8) Penderita kusta terkadang memberikan alamat tidak sesuai dengan tempat tinggal,
sehingga petugas kesehatan sulit melacak penderita
9) Adanya kelangkaan stok MDT di tingkat Pusat dan daerah akibat keterlambatan
penyediaan obat dari donor. Selain itu, pengiriman obat MDT secara bertahap dan
terpisah-pisah dengan jumlah yang tidak sesuai dengan permintaan yang diminta
oleh program dan jenis obat yang tidak lengkap mengakibatkan terhambatnya
kelancaran distribusi obat MDT dari pusat ke daerah.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator:


1) Melakukan upaya peningkatan kapasitas petugas kesehatan dalam tatalaksana
penderita:
a. Peningkatan kapasitas pengelola program P2 Kusta dan Frambusia bagi 34
provinsi bersumber dana dekonsentrasi. Peserta pelatihan adalah Pengelola
Program P2 Kusta dan Frambusia puskesmas yang belum terlatih.
b. Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Kusta bagi Pengelola Program Kusta
secara tatap muka di Hotel Aston, Makasar pada tanggal 3-16 September 2023.
Dengan adanya pelatihan ini, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi
pengelola kusta dan frambusia agar dapat melakukan tatalaksana dan
manajemen program p2 kusta dan frambusia. Peserta pelatihan berjumlah 30
orang, merupakan Pengelola Program Kusta dan Frambusia kabupaten/
kota/provinsi.
c. On the Job Training P2 Kusta dan Frambusia bagi Dokter Rujukan Kusta dan
Frambusia dilaksanakan pada 19-22 September 2023 di Kota Bogor. Peserta OJT
sebanyak 38 orang dokter puskesmas, dinkes kabupaten/kota/provinsi atau
rumah sakit di seluruh Indonesia. Peserta OJT akan ditugaskan sebagai dokter
rujukan di provinsi masing-masing.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 66


Gambar 3.29 Penyampaian Materi Epidemiologi dan Surveilans oleh
Fasilitator pada kegiatan OJT Dokter Rujukan Kusta dan Frambusia

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja NTDs

d. Workshop Laboratorium Kusta Frambusia bagi Laboratorium Rujukan tanggal 12-


16 Juni 2023 di Hotel Aston, Makassar. Peserta berasal dari B/BTKLPP se
Indonesia, Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi se-Indonesia serta dinas
kesehatan provinsi.

2) Advokasi dan Sosialisasi Program P2 Kusta melalui:


a. Rangkaian Peringatan Hari NTD Sedunia yang dilaksanakan mulai akhir bulan
Januari, bertujuan untuk meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam
penanggulangan NTDs dan meningkatkan awareness masyarakat terhadap
NTDs. Rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari temu media (30 Januari 2023),
Seminar Daring tentang Tatalaksana NTDs Terkini (30 Maret 2023), penayangan
pesan di media sosial, media cetak, dan media elektronik secara serentak, acara
puncak peringatan (21 Februari 2023), serta berbagai acara peringatan Hari NTD
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Gambar 3.30 Penyerahan Sertifikat Eradikasi Frambusia oleh Menteri Kesehatan


pada Puncak Peringatan Hari NTDs

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja NTDs

b. Menyelenggarakan Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta


dan Frambusia bersama mitra pemerintah yaitu DPR RI Komisi IX yang
membawahi bidang kesehatan. Kegiatan dilaksanakan pada 8 kabupaten/kota
terpilih, yaitu Kabupaten Blora, Jawa Tengah (16-18 Juni 2023); Kabupaten

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 67


Majene, Sulawesi Barat (18-19 Mei 2023); Kabupaten Garut, Jawa Barat (7-9 Juni
2023); Kota Jakarta Utara (25 Mei 2023); Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan
(8 Juli 2023); Kabupaten Situbondo, Jawa Timur (18 Agustus 2023); Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur (November 2023); serta Kabupaten Karo, Sumatera
Utara (November 2023). Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan advokasi
kepada pimpinan setempat serta lintas program dan lintas sektor untuk
mendapatkan dukungan kebijakan dan kemitraan daerah serta melakukan
sosialisasi kusta dan frambusia kepada masyarakat di wilayah tersebut.
c. Melakukan Advokasi dan Koordinasi di wilayah Papua dan Papua Barat.
Kegiatan ini dilaksanakan pada Provinsi Papua, Papua Barat, dan provinsi
pecahannya, dengan tujuan melakukan advokasi, sosialisasi sekaligus penguatan
manajemen program P2 Kusta dan Frambusia. Dengan kegiatan ini diharapkan
provinsi pecahan Papua dan Papua Barat mampu dan siap secara mandiri
mengelola dan menjalankan Program P2 Kusta dan Frambusia di wilayahnya
terutama dalam hal pelaporan dan manajemen logistik.
3) Menyelenggarakan Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional
P2 Kusta dan Frambusia dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota di akhir Desember
2023. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan monitoring dan evaluasi program serta
melakukan validasi dan finalisasi data tahun 2023.
4) Memperluas implementasi kegiatan inovasi Pemberian Obat Pencegahan Kusta
(kemoprofilaksis), pembentukan Desa Sahabat Kusta, serta penerapan Urban
Leprosy, bekerja sama dengan mitra Kementerian Kesehatan, seperti Yayasan NLR
Indonesia.
5) Melakukan pengembangan Sistem Informasi Kusta dan Frambusia (SITASIA).
6) Mengupayakan penyediaan obat MDT dalam negeri bekerja sama dengan Direktorat
Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
7) Melaksanakan SOP tatalaksana penderita bahwa penderita perlu diberikan edukasi
dan konseling oleh nakes sebelum memulai pengobatan, pemberian obat MDT kepada
penderita kusta di fasyankes dilakukan sebulan sekali, dengan maksimal diberikan
untuk 3 bulan, agar petugas kesehatan dapat memantau keteraturan pengobatan serta
memonitor perkembangan kecacatan. Apabila ada penderita yang tidak datang
mengambil obat, agar petugas kesehatan melakukan kunjungan rumah dan mencari
tahu penyebabnya.

g. Kendala/masalah yang dihadapi:


1) Durasi pengobatan yang lama akan membuat pasien mengalami kejenuhan
sehingga akhirnya putus berobat.
2) Tingkat pengetahuan dan kesadaran penderita yang tinggi terhadap pentingnya
berobat secara teratur akan meningkatkan kepatuhan penderita dalam minum obat.
3) Timbulnya efek samping pengobatan yang menyebabkan penderita tidak mau
melanjutkan pengobatan.
4) Banyaknya petugas kesehatan atau dokter di fasyankes yang belum terlatih,
menyebabkan konseling dan edukasi pengobatan kepada penderita belum berjalan.
5) Masih adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta menyebabkan
penderita berhenti mengunjungi layanan kesehatan karena takut dikucilkan.
6) Kurangnya pemberian motivasi, dukungan serta pengawasan menelan obat dari
petugas, keluarga, dan masyarakat.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 68


7) Beberapa penderita berobat ke RS rujukan berasal dari berbagai daerah dan sulit
untuk melakukan monitoring status pengobatan dan pelacakan penderita putus
berobat.
8) Tidak semua Kabupaten/Kota melaporkan angka RFT rate. Selain itu sistem
pencatatan dan pelaporan yang manual dan berjenjang menyebabkan terhambatnya
program mendapatkan data capaian indikator hingga awal tahun 2024
9) Kelangkaan stok MDT di tingkat Pusat dan daerah akibat keterlambatan penyediaan
obat dari donor, serta pengiriman obat MDT secara bertahap dan terpisah-pisah
dengan jumlah yang tidak sesuai dengan permintaan yang diminta oleh program dan
jenis obat yang tidak lengkap

h. Pemecahan masalah:
1) Penderita yang memulai pengobatan dan keluarganya dibekali dengan edukasi dan
konseling tentang pentingnya kepatuhan berobat dan efek samping sebelum
pengobatan oleh nakes. Keluarga, kader, dan masyarakat sekitar bertugas sebagai
pengawas minum obat.
2) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE dalam rangka
menurunkan stigma kusta di masyarakat.
3) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku
kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian target
persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu.
4) Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
secara rutin.
5) Memperluas cakupan kegiatan deteksi dini dan pemeriksaan kontak hingga 20
kontak per 1 kasus indeks, diiringi dengan pemberian kemoprofilaksis kusta pada
kasus kontak guna memutus rantai penularan kasus kusta.
6) Mendorong pelaksanaan surveilans kusta yang adekuat pada daerah endemis
rendah, terutama daerah dengan persentase penderita kusta yang menyelesaikan
pengobatan tepat waktu yang rendah.
7) Melakukan pendampingan ke provinsi dan kabupaten/kota dengan capaian indikator
rft yang belum mencapai target yang diharapkan serta mengidentifikasi hambatan.
8) Melakukan validasi data secara berjenjang, mulai dari kabupaten/kota, dan provinsi
yang dilakukan dengan menggunaan dana masing-masing daerah, sehingga data
yang diperoleh adalah data yang valid.
9) Melengkapi pencatatan data penderita kusta dengan alamat sesuai KTP, alamat
domisili, serta nomor kontak penderita dan keluarga yang dapat dihubungi.
10) Mengembalikan pengobatan penderita kusta yang berobat di RS ke puskesmas agar
lebih terpantau status pengobatannya, ataupun menyusun kesepakatan manajemen
dan pencacatan pelaporan kasus di RS.
11) Mendorong percepatan pengembangan Sistem Informasi Kusta dan Frambusia
(SITASIA)
12) Memonitor proses penyediaan Obat MDT dalam negeri.

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

PAKi : Rp 8.638.147.000
RAKi : Rp 7.638.789.490
CKi : 97,01 %

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 69


(8.638.147.000X0.97) – 7.638.789.490
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(8.638.147.000X 0.97)
= 8,8%

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase


penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu dengan total
anggaran Rp 9.581.205.000,- memiliki nilai efisiensi 8,8%

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar


a. Penjelasan Indikator
Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena
penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan
dan kematian Balita. Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus
pneumonia pada balita.

Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas harus
diberikan tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit penuh
dan melihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK), baru
kemudian diklasifikasi menjadi pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan
pneumonia, serta diberikan tatalaksana sesuai klasifikasi yang telah ditentukan.
Terdapat perluasan definisi tatalaksana pneumonia standar, yang sebelumnya hanya
menekankan pada penemuan kasus melalui pendekatan MTBS menjadi penemuan
kasus dan pengobatan standar menggunakan antibiotik.

b. Definisi Operasional
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah Persentase kasus
pneumonia balita yang ditemukan dan diberikan pengobatan antibiotik.

c. Rumus/cara perhitungan
Persentase kasus pneumonia balita yang diberikan antibiotik = Jumlah kasus
pneumonia balita yang diobati dengan antibiotik dibagi dengan total kasus pneumonia
balita yang ditemukan di fasyankes dikali 100.

d. Capaian Indikator
Target Indikator program ISPA berdasarkan Renstra Kemenkes 2022-2024 yaitu
persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5 Indikator program ISPA berdasarkan Renstra Kemenkes 2022-2024

2022 2023 2024

50% 70% 95%

Berikut data capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2023.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 70


Tabel 3.6 capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada
Tahun 2023

Penemuan Pengobatan
Pelaporan Kasus Sesuai Standar Persentase

TW 1 98.356 92.767 94,32

TW 2 89.839 83.953 93,45

TW 3 100.796 96.831 96,07

TW 4 74.817 72.116 96,39

Rekap Nasional 363.808 345.667 95,01

Sumber: Laporan Rutin P2 ISPA per 18 Januari 2024

Capaian Nasional indikator persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar


pada tahun 2023 sebesar 95,01%, capaian ini sudah melebihi target yang ditetapkan
yaitu sebesar 70%.

Grafik 3.15 Target Capaian Indikator Pengobatan Kasus Pneumonia Sesuai


Standar 2022 - 2024

100%
95% 95%
80%

60% 70%

50% 53%
40%

20%
N/A
0%
2022 2023 2024
Target Capaian

Sumber: Laporan Rutin P2 ISPA per 18 Januari 2024

Grafik di atas menunjukkan capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai


standar pada tahun 2022 sebesar 53 % dan capaian tahun 2023 sebesar 95,01 %
selalu diatas target yang sudah ditentukan, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2024
capaian pengobatan kasus pneumonia sesuai standar akan mencapai target yang
ditetapkan yaitu 95 %.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 71


Grafik 3.16 Capaian indikator pngobatan kasus pneumonia sesuai standar 2022-
2024
100.00%

94.31%
99.99%
99.70%
99.58%
97.96%
97.87%
97.69%
96.35%
96.07%
95.99%
95.23%
94.96%
94.60%
94.45%
94.41%

94.01%
93.63%
93.43%
93.17%
92.98%
91.68%
91.65%
90.01%
89.88%
88.66%
88.59%
87.43%
84.59%
80.80%
79.72%
78.79%

95.01%
100.00%

72.05%
90.00%

60.74%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Banten
Riau

Jawa Tengah

Sulawesi Selatan
Kalimantan Selatan

Maluku
Kalimantan Barat
Sumatera Utara

Sulawesi Tenggara

Jambi

Kalimantan Timur

Kepulauan Riau

DI Yogyakarta
Lampung
DKI Jakarta

Sumatera Selatan
Bali
Papua

Jawa Timur

Kalimantan Tengah

Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Bengkulu

Nusa Tenggara Timur


Nusa Tenggara Barat

Jawa Barat

Gorontalo

Papua Barat

Maluku Utara
Kalimantan Utara

Sumatera Barat

Aceh

Sulawesi Utara

Nasional
Kepulauan Bangka Belitung
Cakupan Target

Sumber: Laporan Rutin P2 ISPA per 18 Januari 2024

Grafik di atas menunjukkan 33 provinsi yang sudah melaporkan capaian diatas target
persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar yang sudah ditetapkan yaitu
sebesar 70 %, Provinsi Papua mencapai target 100 % sedangkan Provinsi Lampung
belum mencapai target pengobatan pneumonia.
Diharapkan dengan penemuan kasus dan pengobatan pneumonia yang sudah sesuai
standar dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian balita akibat pneumonia.
Pneumonia masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas utama karena infeksi
pada bayi dan anak di dunia. Pneumonia dan diare bertanggung jawab atas sepertiga
(29%) dari kematian balita, yang mengakibatkan hilangnya dua juta anak per tahun
(World Health Organization (WHO) 2013). Pada tahun 2019, kasus pneumonia
menyumbang 740.180 (14%) kasus kematian anak usia di bawah 5 tahun (Balita) (WHO
2021). Kejadian kematian akibat pneumonia dan diare pada balita di 15 negara
dilaporkan sekitar 70%. Sekitar 2.200 anak meninggal setiap hari akibat pneumonia
(IVAC 2020; UNICEF 2019a). Pneumonia juga menjadi penyebab kematian balita
terbesar di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI 2020; UNICEF 2019b). Pada tahun
2018 diperkirakan sekitar 19.000 anak meninggal dunia akibat pneumonia.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pencapaian
Persentase kasus pneumonia pada balita yang diberikan antibiotik mencapai mencapai
target 95,01 % karena:
1. Sudah ada pedoman tatalaksana untuk kasus pneumonia balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama
2. Adanya kegiatan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola program
ISPA dalam tatalaksana pneumonia sesuai standar termasuk dalam pencatatan dan
peloporan pneumonia

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 72


3. Adanya kegiatan Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program
Pneumonia di Tingkat Provinsi

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


Kegiatan dalam mencapai indikator program Pneumonia antara lain:
1. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
a. Penguatan jejaring dan Kemitraan Program Pneumonia
Kegiatan koordinasi guna mendukung program kesehatan secara umum dan
secara khusus dalam peningkatan capaian program P2 ISPA

Gambar 3.31 Peringatan Hari Pneumonia Sedunia

Sumber : Dokumentasi Tim Kerja ISPA

b. Pertemuan Teknis Penanggung Jawab Program ISPA Tingkat Daerah


Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan perubahan indikator ISPA
serta penambahan pencatatan pelaporan di laporan rutin ISPA. Kegiatan
dilaksanakan secara daring dengan peserta terdiri dari penanggung jawab
program ISPA di dinas kesehatan 34 provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota
dan puskesmas

Gambar 3.32 Pertemuan Teknis Penanggung Jawab Program ISPA


Tingkat Daerah

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja ISPA

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 73


2. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pneumonia
Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA (GERMAS)
Kegiatan yang dilakukan berupa pertemuan advokasi dan sosialisasi terkait ISPA
kepada pemangku kepentingan lokal bekerjasama dengan Pejabat Lintas Sektor.
Undangan pada kegiatan ini adalah Lintas Program, Lintas Sektor terkait dan Kepala
Puskesmas dan masyarakat.
Materi yang dipresentasikan adalah Sosialisasi Tanda dan Gejala Pneumonia dan
Influenza di masyarakat. Pada akhir kegiatan ada Rencana Tindak Lanjut yang
disepakati oleh seluruh peserta dan ditindaklanjuti dalam bentuk Rencana Aksi
Daerah. Dengan adanya advokasi dan sosialisasi ini diharapkan program berjalan
dengan lebih baik dengan dukungan pemangku kepentingan dan lintas sektor di
daerah tersebut. Advokasi dan Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA (GERMAS)
terlaksana 6 kegiatan di 5 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, dan Jawa Tengah.

Gambar 3.33 Kegiatan Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA (GERMAS)

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja ISPA

3. Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program Pneumonia


Supervisi Penyakit Influenza Tingkat Provinsi
ISPA merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di fasilitas pelayanan
kesehatan mulai dari yang paling ringan seperti rhinitis hingga penyakit-penyakit
yang diantaranya dapat menyebabkan wabah atau pandemi, seperti influenza dan
yang menyebabkan kematian yaitu pneumonia. Pengendalian ISPA dititik beratkan
pada pengendalian penyakit pneumonia, karena penyakit pneumonia yang memiliki
kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan kematian balita. Kegiatannya
meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus pneumonia pada balita.
Untuk itu diperlukan upaya yang sinergis diantara petugas dilapangan baik di tingkat
pusat sampai dengan puskesmas guna mengendalikan angka morbiditas dan
mortalitas ISPA /Pneumonia pada balita tersebut, salah satu yang di laksanakan
adalah kegiatan Bimbingan Teknis Program P2 ISPA pada petugas ISPA provinsi,
kabupaten/kota, puskesmas di masing-masing provinsi. Pada kunjungan yang
dilakukan ke daerah, dinilai bagaimana berjalannya program P2 Penyakit ISPA
termasuk Surveilans Influenza dan Covid-19 melalui sentinel yang sudah ada. Pada
kesempatan itu juga dilaksanakan On The Job Training bagi petugas di lapangan.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 74


Gambar 3.34 Supervisi Penyakit Influenza Tingkat Provinsi

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja ISPA

g. Kegagalan/masalah yang dihadapi


Masalah yang dihadapi dalam capaian indikator persentase pengobatan kasus
pneumonia sesuai standar adalah:
1. Belum semua puskesmas melaporkan data kasus pneumonia yang mendapatkan
pengobatan
2. Belum adanya jejaring pencatatan dan pelaporan kasus pneumonia di rumah sakit,
klinik dan DPM
3. Tingginya tingkat rotasi PJ Program ISPA di tingkat puskesmas dan dinas kesehatan
kabupaten/kota, sehingga petugas kebingungan untuk mengisi pelaporan kasus
pneumonia karena belum mendapatkan pelatihan sebelumnya
4. Belum adanya sistem informasi pencatatan pelaporan ISPA berbasis web, sehingga
masih menggunakan sistem pencatatan pelaporan berbasis excel

h. Pemecahan masalah
Upaya yang dilakukan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi adalah
1. Sosialisasi ditingkat provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas mengenai
tatalaksana kasus pneumonia
2. Sosialisasi terkait penambahan variabel pengukuran indikator dalam pencatatan
pelaporan
3. Melakukan supervisi ke beberapa provinsi dan melakukan bimbingan teknis
mengenai tatalaksana pneumonia dan pencatatan pelaporan ISPA dibeberapa
Puskesmas terpilih.
4. Secara berkala melakukan bimbingan teknis ke daerah baik secara tatap muka
(pada saat kunjungan ke daerah) maupun daring. Bimbingan secara daring dapat
dilakukan terkait manajemen kasus maupun pencatatan pelaporan dan dapat
dilakukan dengan melibatkan lebih banyak peserta, sampai ke tingkat puskesmas
dan bisa beberapa kali dalam 1 tahun.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 75


i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

PAKi : Rp. 17.330.403.000


RAKi : Rp. 16.455.639.000
CKi : 135,72 %
(17.330.403.000X1,3572) – 16.455.639.000
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(17.330.403.000X 1.3572)
= 30 %

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase


pengobatan pneumonia sesuai standar dengan anggaran Rp 17.330.403.000,- memiliki
nilai efisiensi 30,18 %.

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar


a. Penjelasan Indikator
Pengendalian penyakit infeksi saluran pencernaan khususnya diare sangat tergantung
dengan tatalaksana yang diberikan. Tatalaksana yang sesuai standar yaitu dengan
pemberian oralit dan zinc pada balita diare. Dengan tatalaksana yang benar maka
diharapkan terjadinya penurunan angka kematian, angka kesakitan serta dapat
mencegah terjadinya diare berulang yang nantinya dapat mencegah terjadinya kasus
stunting pada balita.

Strategi Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan khususnya diare dilakukan


dengan 4 pilar, yaitu mulai upaya promosi, upaya pencegahan, surveilans dan
penanganan kasus. Penanganan kasus sangat tergantung dengan tatalaksana yang
diberikan. Tatalaksana yang sesuai standar yaitu dengan pemberian oralit dan zinc
pada balita diare. Dengan tatalaksana yang benar maka diharapkan terjadinya
penurunan angka kematian, angka kesakitan serta dapat mencegah terjadinya diare
berulang yang nantinya dapat mencegah terjadinya kasus stunting pada balita.

b. Definisi Operasional
Persentase balita diare yang mendapat tatalaksana standar dengan pemberian oralit
dan zinc

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah balita diare yang diobati sesuai standar dibagi seluruh balita diare dikali 100

d. Capaian Indikator
Capaian nasional indikator pengobatan diare sesuai standar tahun 2023 untuk
pengobatan kasus diare sebesar 91,23%. Capaian tersebut sudah melebihi target 2023
sebesar 70%.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 76


Grafik 3.17 Target dan Capaian Persentase Pengobatan Diare sesuai Standar
Tahun 2022 - 2024

Sumber data : Laporan Rutin Program Diare per 18 Januari 2023

Grafik di atas menunjukkan capaian indikator pengobatan kasus diare sesuai standar
pada tahun 2022 sebesar 92.20 % dan capaian tahun 2023 sebesar 91.23 %. Meskipun
terdapat penurunan capaian dari tahun 2022 ke tahun 2023, namun capaian selalu
melebihi target yang ditetapkan, sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2024
capaian pengobatan kasus diare sesuai standar akan mencapai target yang ditetapkan
yaitu 85%.

Grafik 3.18 Persentase Kasus Diare yang diberikan Oralit dan Zinc
Tahun 2023
97.63
97.58
97.14
96.10
95.60
94.00
93.40
93.14
92.25

91.23
90.45
90.16
90.05
89.83
89.16
88.95
88.77
88.65

100.00
88.06
87.87
87.80
87.78
87.70
87.51
87.23
84.51
83.89
83.42
82.86
82.72
81.96
81.78
81.77
79.02
90.00

77.13
80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

Cakupan 2023 Target

Sumber data : Laporan Rutin Program Diare per 18 Januari 2023

Grafik diatas menunjukkan bahwa cakupan pengoatan diare dengan oralit dan zinc
sebesar 91,23%. Secara nasional (34 provinsi) telah mencapai target minimal 70%
pengobatan kasus diare sesuai standardengan oralit dan zinc. Capaian tertinggi adalah
Provinsi Jawa Timur sebesar 97,63%, dan terendah di Provinsi Sulawesi Tenggara

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 77


sebesar 77,13%.

e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pencapaian


Persentase pengobatan kasus diare sesuai dapat mencapai mencapai target karena:
1. Adanya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola program terkait
tatalaksana diare sesuai standar dan pencatatan dan pelaporan diare.
2. Adanya kegiatan pendampingan dan pemantauan kualitas layanan Pencegahan dan
Pengendalian Diare di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan puskesmas
3. Tersedianya Pedoman Tatalaksana Diare, baik softcopy maupun hardcopy yang
dapat menjadi acuan bagi tenaga kesehatan dalam pengobatan balita diare.
4. Kerjasama lintas program yang baik dalam mendukung pelaksanaan Pencegahan
dan Pengendalian Diare. Kerjasama yang telah dilakukan antara lain dengan
Direktorat Penyehatan Lingkungan yang mengkampanyekan CTPS untuk mencegah
penyakit diare dan pelaksanaan kajian risiko Analisis Dampak Perubahan Iklim yang
di dalamnya mencakup penyakit diare.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


Pada program pencegahan dan pengendalian diare dilakukan beberapa kegiatan antara
lain:
1) Sosialisasi Pengobatan Diare, dilakukukan kepada masyarakat dan dilaksanakan
bersama mitra Kemenkes, yaitu Komisi IX DPR RI. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit diare,
sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat diare, terutama
pada balita. Pada tahun 2023, kegiatan dilaksanakan di 4 lokasi
2) Peningkatan kapasitas pengelola program dan tenaga kesehatan, yang bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman petugas diare dan penyeragaman pencatatan dan
pelaporan yang dilakukan di DI Yogyakarta pada tanggal 7-10 Maret 2023.

Gambar 3.35 Kegiatan Peningkatan kapasitas pengelola program dan tenaga


kesehatan

Sumber: Dokumentasi tim kerja HPISP

3) Bimbingan Teknis Pemantauan Minum Zinc pada Balita Diare


Pemantauan minum zinc diperlukan untuk memantau kepatuhan minum zinc pada
balita diare secara lengkap selama 10 hari. Pemberian zinc selama sepuluh hari
dapat mencegah terjadinya diare berulang dan mengurangi tingkat keparahan
penyakit. Diare yang berulang dapat menyebabkan stunting. Kegiatan bimbingan
teknis pencatatan dan pelaporan dilakukan di dinas kesehatan setempat dengan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 78


mendatangkan petugas puskesmas. Pada kegiatan ini, para petugas puskesmas
akan dilatih untuk melakukan pencatatan dan pelaporan secara online melalui Sistem
Informasi Hepatitis dan PISP (SIHEPI).
4) Kerjasama dengan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk meningkatkan layanan diare yang komprehensif
dan terstandar.
5) Melakukan kemitraan baik lokal maupun internasional seperti civitas akademika,
CDC Indonesia, WHO Indonesia, dan UNICEF Indonesia untuk mendapatkan
dukungan dan partisipasi dalam keberjalanan Program P2 Diare.

g. Kendala yang dihadapi


Masalah yang dihadapi dalam capaian indikator persentase pengobatan kasus diare
sesuai standar adalah:
1) Undetected (under-diagnosis cases)
Orang yang sakit diare namun belum mengakses layanan, data SDKI tahun 2017
menunjukkan bahwa 4% balita pernah menderita diare dalam 2 minggu sebelum
survei. Diantara balita tersebut, 80 persen dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan.
2) Under-reporting cases
Orang yang sudah mengakses layanan, namun belum terlaporkan atau tercatatkan.
Bisa terjadi di faskes pemerintah dan swasta baik primer ataupun rujukan. Pada
tahun 2023, program Pencegahan dan Pengendalian Diare belum berjejaring dengan
fasyankes swasta, sehingga data pasien diare yang mengakses layanan di
fasyankes swasta tidak terlaporkan
3) Frekuensi pergantian pengelola program Diare dan PISP yang sering sehingga
kapasitas pengelola program PISP tidak maksimal dalam melaksanakan program.
4) Masih rendahnya kepatuhan pengelola program untuk mengirimkan laporan bulanan
PISP Provinsi.
5) Tidak teralokasikan kegiatan Layanan Rehidrasi Oral Aktif (LROA) dalam anggaran
APBN Pusat dan dana dekonsentrasi serta APBD sehingga capaian indikator tidak
maksimal.
6) Kurangnya dukungan pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan masyarakat
terhadap penyakit infeksi saluran pencernaan terutama diare baik dalam
pelaksanaan tata laksana diare, surveilans KLB, pelatihan petugas kesehatan,
logistik (oralit dan zinc) dan alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan pendukung
7) Belum semua petugas di puskesmas melaporkan data secara online melalui SIHEPI
sehingga menyulitkan untuk analisis dan rekapitulasi data khususnya di level pusat.

h. Pemecahan masalah
1) Mengatasi masalah undetected (under-diagnosis cases) dengan cara melakukan
active case finding dengan kegiatan edukasi di masyarakat dan tokoh masyarakat
serta LS dan LP, pemberdayaan kader untuk penemuan kasus di masyarakat.
2) Mengatasi masalah under-reporting cases dengan melakukan kegiatan validasi
data di Puskesmas, penyisiran kasus di fasyankes swasta, mengguankan format
catpor standar dan seragam.
3) Peningkatan kapasitas pengelola program dalam tatalaksana termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
4) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana diare.
5) Optimalisasi kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,
UN serta lintas program.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 79


6) Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis.
7) Bekerja sama dengan Nutrition International Indonesia dalam melakukan refresh
tata laksana diare dan kajian kepatuhan pemberian oralit dan zinc oleh petugas
kesehatan di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan NTB.
8) Melakukan integrasi program dengan Direktorat Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak
(Direktorat Gizikia) pada kelompok anak sekolah yang melakukan upaya
pencegahan demam tifoid berupa kegiatan penyuluhan pada anak sekolah dan
penjaja makanan di sekitar sekolah.
9) Introduksi imunisasi Rotavirus serta pelaksanaan surveilans sentinel diare
10) Pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan kapasitas, bimbingan teknis,
monitoring dan evaluasi program pada masa pandemi Covid-19.
11) Optimalisasi sumber daya yang ada dalam rangka percepatan pencapaian target.
12) Terus mendorong agar petugas pencatatan dan pelaporan di level puskesmas
untuk dapat melaporkan data diare secara online melalui SIHEPI dengan cara
memberikan bimbingan dan pelatihan.

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

PAKi : Rp. 2.656.967.000


RAKi : Rp. 2.424.902.430
CKi : 130,32%

(2.656.967.000 x 130,32%) – 2.424.902.430


E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(2.656.967.000 x 130,32%)
= 30%

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase


pengobatan diare sesuai standar dengan anggaran Rp 2.656.967.000,- memiliki nilai
efisiensi 30%.

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada


populasi berisiko
a. Penjelasan Indikator
Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B dan
atau C Pada populasi berisiko merupakan indikator yang menggambarkan
penyebaran/berapa banyak kabupaten/kota yang telah melaksanakan deteksi dini
hepatitis B dan atau C pada ibu hamil atau kelompok berisiko lainnya (tenaga
kesehatan, pelajar/mahasiswa, WPS, waria/LSL/ODHA, WBP, pasangan dengan
Hepatitis B atau C, keluarga terdekat pasien klinik IMS). Hepatitis B dan C merupakan
penyakit menular yang masih menjadi masalah Kesehatan masyarakat sehingga
diperlukan deteksi dini untuk mencegah masalah Kesehatan yang mungkin timbul
seperti sirosis, kanker hati bahkan kematian dan juga untuk mencegah penularan virus
hepatitis B dan C. Pengendalian penyakit Hepatitis B dan C akan sangat efektif bila
dilakukan pemutusan dan pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok
berisiko tinggi.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 80


Deteksi dini hepatitis B dilakukan dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT)
HBsAg atau dengan ELISA pada ibu hamil dan kelompok berisiko lainnya dan deteksi
Dini Hepatitis C dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) Anti HCV.
b. Definisi Operasional
Jumlah kabupaten/kota yang salah satu fasyankesnya melaksanakan deteksi dini
Hepatitis B dan atau Hepatitis C pada populasi berisiko

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau Hepatitis
C pada salah satu populasi berisiko, yaitu ibu hamil, tenaga kesehatan, WBP, Penasun,
ODHA, Pasien HD,dll) dibagi jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia dikali 100%

Jumlah Kabupaten/Kota yang


Persentase kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini Hepatitis B
yang melaksanakan deteksi = dan atau C pada ibu hamil dan X 100%
dini hepatitis B dan atau C kelompok berisiko lainnya
pada populasi berisiko
Jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia

d. Capaian Indikator
Indikator ini menggambarkan sebaran dan seberapa banyak kabupaten/kota berperan
dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit menular dengan melakukan deteksi
dini hepatitis B dan C pada populasi berisiko.

Tahun 2023, target kinerja belum tercapai, dari 100% kabupaten/kota yang ditargetkan
melaksanakan deteksi dini penyakit menular pada kelompok berisiko, hanya sebesar
97.1% atau sebanyak 499 kabupaten/kota yang melaksanakan skrining seperti
tergambar pada grafik di bawah ini:

Grafik 3.19 Target dan Capaian Persentase Kabupaten/Kota Melaksanakan


Deteksi Dini Hepatitis B dan C pada Populasi Berisiko Tahun 2020 - 2024

Sumber: Laporan Tim Kerja HPISP per 21 Januari 2023

Grafik di atas menunjukkan capaian indikator persentase kabupaten/kota yang


melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi berisiko tidak mencapai target
pada tahun 2023. Gap target dan capaian sangat kecil sehingga dengan target yang
sama pada tahun 2024 diperkirakan target ini akan tercapai dan berjalan on track bila
dilakukan upaya dan kerja keras serta penggalangan kemitraan Lintas Sektor dan Lintas
Program yang optimal. Terdapat 4 provinsi yang belum mencapai target indikator

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 81


persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada
populasi berisiko seperti tergambar pada grafik berikut ini:

Graffik 3.20 Persentase Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Deteksi Dini


Hepatitis B dan C pada Populasi Berisiko Berdasarkan Provinsi Tahun 2023

Sumber: Tim Kerja HPISP per 21 Januari 2023

Dari 38 provinsi yang ada, terdapat 34 provinsi (89.5%) sudah mencapai target 100%
kabupaten/kotanya melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi
berisiko. Tapi masih terdapat 4 provinsi (10.5%) yang kabupaten/kotanya masih belum
mencapai target 100% yaitu dengan capaian terendah yaitu Provinsi Papua tengah 25%,
Papua Pegunungan 37.5%, Papua Barat Daya 66.7% dan Papua Barat 71.4.

Deteksi dini hepatitis B dan C bertujuan untuk mencegah masalah Kesehatan yang
mungkin timbul seperti sirosis, kanker hati bahkan kematian dan juga untuk mencegah
penularan virus hepatitis B dan C. Di Indonesia penularan Hepatitis B secara umum
terjadi secara vertikal yaitu dari ibu hepatitis B kepada bayi yang dilahirkannya, dan bila
terinfeksi Virus Hepatitis B saat bayi, 95% akan menjadi kronis. Sehingga sangat penting
untuk melakukan skrining hepatitis B pada ibu hamil sehingga bisa dilakukan tindakan
pencegahan misalnya dengan pemberian Imunoprofilaksis Hepatitis B (HBIg) pada bayi
dari ibu yang terdeteksi hepatitis B dan pengobatan secepatnya kepada ibu yang
terdeteksi Hepatitis B.
Skrining hepatitis B pada ibu hamil dilakukan dengan pemeriksaan HBsAg (Hepatitis B
surface Antigen) baik menggunakan RDT (Rapid Diagnostic Test) maupun Elisa. RDT
HBsAg disediakan oleh Kementerian Kesehatan. Tahun 2023 ibu hamil yang di skrining
hepatitis B sebanyak 50,48% (2.477.363 ibu hamil) dari sasaran 4.907.227, dengan
sebaran berdasarkan provinsi seperti tergambar pada grafik di bawah ini :

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 82


Grafik 3.21
Persentase Ibu Hamil Deteksi Dini Hepatitis B Berdasarkan Provinsi Tahun 2023

Sumber: Tim Kerja HPISP per 21 Januari 2023

Secara Nasional persentase ibu hamil yang terlaporkan diperiksa hepatitis B baru
mencapai 50,48%, ini masih jauh dari target seperti tercantum dalam Kepmenkes
Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus,
Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak dimana setiap ibu hamil (100%) wajib diperiksa
HIV, sifilis dan hepatitis B.

Dari grafik diatas terlihat terdapat 16 provinsi dengan cakupan di atas 50%, dengan
capaian tertinggi yaitu Provinsi Banten sebanyak 73.71% kemudian Gorontalo 72.97%
dan Nusa Tenggara Barat 67.35%. Provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua
Pegunungan 5.2%, Papua Tengah 13.81 dan Papua Barat 14.17%.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Target Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis
B dan C pada Populasi Berisiko tahun 2023 sebesar 100% tidak bisa tercapai. Capaian
target hanya sebesar 97.1%. Data ini belum final karena proses pengumpulan data
masih berlangsung baik tingkat layanan maupun kabupaten/kota dan provinsi. Validasi
data dilaksanakan tanggal 23–29 Januari 2024.

Provinsi yang belum mencapai target berada di Pulau Papua. Kendala yang dihadapi:
- Belum semua kabupaten/kota di provinsi pengembangan di Pulau Papua mempunyai
pengelola program hepatitis
- Kurangnya dukungan Pemerintah Daerah terhadap program hepatitis, baik
dukungan sumber daya maupun anggaran

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 83


- Wilayah yang luas dan kondisi geografis yang cukup sulit mempengaruhi akses
masyarakat terhadap skrining penyakit menular

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1. Peningkatan Pengetahuan, Perhatian, Kepedulian dan Komitmen seluruh
komponen masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis melalui
rangkaian kegiatan Hari Hepatitis Sedunia :
a. Menyusun dan menyebarkan Panduan Hari Hepatitis Sedunia 2023 dan
menghimbau seluruh dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota
melaksanakan kegiatan dalam rangka peringatan Hari Hepatitis Sedunia, seperti
siaran radio, podcast, seminar, dan sebagainya
b. Talkshow dilaksanakan di Siaran Radio Kesehatan tanggal 20 Juli 2023 yang
bertujuan untuk memperluas cakupan penyebaran informasi pencegahan dan
pengendalian hepatitis.
c. Temu Media yang dilaksanakan tanggal 26 Juli 2023
Menggandeng awak media cetak dan elektronik bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan awak media dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis,
sehingga dapat menyebarluaskannya kepada masyarakat dengan baik dan
benar.
d. Webinar tanggal 28 Juli 2023, melalui platform Zoom meeting dan relay ke kanal
youtube. Webinar mengundang lintas program dan sektor, pengelola program
hepatitis dan yang terkait tingkat layanan sampai provinsi, komunitas, organisasi
profesi seperti IDI, POGI, PPHI, IDAI dan PAEI. Ini bertujuan membangun
masyarakat peduli hepatitis, meningkatkan pengetahuan masyarakat, serta
penguatan dan perluasan layanan tes dan pengobatan
Tema: We Are Not Waiting, Segerakan tes dan Obati, hepatitis tidak menunggu.

Gambar 3.36 Webinar dalam Rangka Hari Hepatitis Sedunia

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HPISP

3. Pemberian Penghargaan Kepada 3 (tiga) Kabupaten/Kota dengan capaian Deteksi


Dini Hepatitis terbaik, yang diberikan pada Hari Hepatitis Sedunia
4. Sosialisasi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK. 01.07/MENKES/15/2023
tentang percontohan pemberian Antivirus pada ibu hamil untuk pencegahan
transmisi virus Hepatitis B dari Ibu ke Anak tanggal 18 Januari 2023, dengan
mengundang Lintas program di Kementerian Kesehatan seperti Direktorat Gizi,
Kesehatan Ibu dan Anak, Pelayanan rujukan, dan kesehatan Primer, 17 provinsi
terpilih, organisasi profesi seperti PPHI, POGI, IDI, IBI, Patklin, WHO, CHAI

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 84


5. Perluasan layanan pemberian antivirus pada ibu hamil untuk pencegahan transmisi
virus hepatitis B dari ibu ke anak di 17 provinsi yang ditetapkan dengan keputusan
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor
HK.02.02/C/2476/2023 tentang Penetapan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut Penyelenggara Percontohan
Pemberian Antivirus pada Ibu Hamil Untuk Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis
B dari Ibu ke Anak
6. Workshop pemberian profilaksis Tenofovir Disoproksil Fumarate (TDF) pada ibu
hamil, 9-11 Mei 2023 melalui platform zoom meeting dan relay ke youtube.
Gambar 3.37 Workshop Pemberian Profilaksis Tenofovir Disoproksil
Fumarate (TDF) pada Ibu Hamil

7. Refreshing Pencatatan dan Pelaporan Hepatitis B tanggal 31 Januari 2023. Peserta


kegiatan adalahseluruh pengelola hepatitis mulai tingkat layanan (PKM) sampai
pusat yang bertujuan meningkatkan kapasitas petugas dalam pencatatan dan
pelaporan.
8. Validasi Data secara daring dengan mengundang seluruh provinsi dan kabupaten
kota tanggal 1- 6 Februari 2023
9. Mengirimkan Umpan Balik Laporan Hepatitis ke dinas kesehatan kabupaten/kota
dan provinsi
10. Membuat video singkat tentang skrining hepatitis B dan C
11. Peningkatan kemitraan dengan organisasi profesi seperti Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia (PPHI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi (POGI) Indonesia untuk meningkatkan layanan hepatitis yang
komprehensif dan terstandar
12. Menyusun Petunjuk Teknis Manajemen Hepatitis B dan C
13. Workshop Manajemen Program Hepatitis B dan C tanggal 24 -26 Mei 2023 yang
dilaksanakan secara Daring dan relay ke Youtube dengan mengundang seluruh
pengelola program hepatitis dan program lain terkait seperti KIA, dan di semua
tingkat layanan sampai Pusat, serta organisasi profesi

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 85


Gambar 3.37 Workshop Manajemen Program Hepatitis B dan C

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HPISP

14. Peningkatan kemitraan dengan komunitas kelompok berisiko untuk mendapatkan


akses terhadap kelompok berisiko yang susah dijangkau.
15. Imunisasi Hepatitis B untuk Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan
- Bekerjasama dengan Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam penyediaan
tes cepat HbsAg, Anti HBs untuk skrining pra imunisasi dan vaksin Hepatitis B.
- Menyusun Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK
01.07/Menkes/2093/2023 tentang Pemberian Imunisasi Hepatitis B untuk tenaga
Medis dan tenaga kesehatan
- Menyusun Petunjuk Teknis Pemberian Imunisasi Hepatitis B untuk tenaga medis
dan tenaga kesehatan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor
HK.02,02/C/4531/2023 tentang Petunjuk teknis Pemberian Imunisasi Hepatitis
B untuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
- Pencanangan Pemberian Imunisasi Hepatitis B di RSUD Banten tanggal 8
November yang dihadiri Menteri Kesehatan RI

Gambar 3.38 Pencanangan Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HPISP

14. Peningkatan kemitraan dengan organisasi profesi seperti Perhimpunan Peneliti


Hati Indonesia (PPHI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi (POGI) Indonesia untuk meningkatkan layanan Hepatitis yang
komprehensif dan terstandar.
15. Monitoring dan Bimbingan Teknis Hepatitis B dan C

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 86


g. Kendala/ Masalah yang Dihadapi
1. Masih kurangnya pengetahuan dan dan kepedulian masyarakat terhadap hepatitis B
dan C
2. Integrasi dan kerjasama antar program di tingkat kabupaten kota dan layanan masih
kurang terutama dengan KIA, HIV dan Promkes
3. Program Hepatitis masih belum menjadi prioritas di daerah sehingga mengakibatkan
kurangnya kepedulian dinas kesehatan provinsi dan kabupaten kota akan program
hepatitis termasuk dalam hal pencatatan dan pelaporan hasil kegiatan Program
Hepatitis
4. Kurangnya jumlah SDM (tugas rangkap), perpindahan yang begitu cepat, beban
kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan di semua tingkatan,
baik layanan, kabupaten kota maupun provinsi.

h. Pemecahan Masalah
1. Bimbingan teknis ke provinsi yang belum mencapai target tahun 2023 baik secara
daring maupun luring
2. Mengoptimalkan teknologi komunikasi dalam meningkatkan komunikasi (koordinasi
dan kerjasama) dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas
misalnya melalui aplikasi zoom, youtube dan Whatsapp
3. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan Tim Kerja HIV PIMS
dan Tim Kerja Maternal Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu
ke Anak (PPIA) HIV, Sifilis dan Hepatitis B (Triple Eliminasi)
4. Peningkatan kapasitas pengelola program dalam deteksi dini termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
5. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
Hepatitis Virus melalui peringatan Hari Hepatitis Sedunia (HHS)
i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya
Anggaran Tahun 2023 sebesar 108.788.755.000 dengan realisasi sebesar
107.150.356.523 (95,5%). Capaian indikator kinerja sebesar 97.1%
Formula Efisiensi:

(108.788.755.000 𝑥 97,1%) − 107.150.356.523


𝐸= 𝑥100%
(108.788.755.000 𝑥 97,1%)
E = -0,01%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,01%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 46%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator persentase
kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi berisiko
dengan anggaran Rp 108.788.755.000 dan capaian kinerja 97.1% memiliki nilai efisiensi
sebesar 46%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 87


9. Persentase pasien sifilis yang diobati

a. Definisi Operasional
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar. Angka ini
menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok yang
berisiko terinfeksi sifilis.

b. Rumus/cara perhitungan
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan
Persentase pasien sifilis = pengobatan sesuai dengan standar X
yang diobati Jumlah pasien sifilis yang ditemukan pada 100%
periode waktu tertentu

c. Capaian Indikator
Angka ini menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok
yang berisiko terinfeksi sifilis. Monitoring Indikator presentase pasien sifilis yang diobati
mulai dilakukan pada tahun 2022. Berikut grafik capaian indikator presentase pasien
sifilis yang diobati tahun 2023 berdasarkan data SIHA per Januari 2024:

Grafik 3.22 Grafik Presentase Pasien Sifilis yang diobati Tahun 2023

Sumber : SIHA per 17 Januari 2024

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa capaian indikator presentase pasien sifilis
yang diobati pada tahun 2023 adalah sebesar 70%, jika dibandingkan dengan targetnya
yaitu 85 % maka capaiannya masih dibawah target dengan capaian kinerja sebesar
82,35%.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 88


Untuk capaian indikator per provinsi dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Grafik 3.23 Grafik Capaian Presentase Pasien Sifilis yang Diobati per Provinsi
Tahun 2023

Sumber : SIHA per 17 Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas diketahui belum semua provinsi mencapai target, provinsi
yang sudah mencapai target adalah : Papua Pegunungan (134%), Jawa Tengah
(102%), DKI Jakarta (91%), Sulawesi Selatan (90%), Kalimantan Utara (87%) dan
Maluku (88%).
Sifilis merupakan salah satu penyakit Infeksi Menular Seksual yang dapat
menyebabkan keguguran dan kematian pada bayi yang baru lahir yang menyebabkan
kecacatan pada bayi sehingga perlu adanya tindakan pencegahan dan pengobatan
sedini mungkin.
Berikut capaian dan target sifilis untuk tahun 2022 sampai dengan 2024

Grafik 3.24 Grafik Capaian dan Target Presentase Pasien Sifilis yang Diobati
Tahun 2022 - 2024

Sumber : SIHA Januari 2024

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa capaian indikator presentase pasien sifilis
yang diobati mengalami kenaikan dari 68% (2022) menjadi 70% (2023), meskipun
belum mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2024 di proyeksikan akan ada
kenaikan capaian indikator pada tahun 2024 dan memenuhi target dengan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 89


pengoptimalan sistem informasi pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi, kerja
keras, kerjasama, komitmen serta dukungan dari semua pihak..
Pada tahun 2020, WHO memperkirakan 7,1 juta orang dewasa berusia 15-49 tahun
tertular sifilis secara global. Beberapa negara yang secara sistematis memantau sifilis
menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus sifilis di kalangan laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, termasuk sifilis bawaan. Di seluruh Amerika,
terdapat 30.000 kasus penularan sifilis dari ibu ke anak pada tahun 2021 (BBC).
d. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
1. OJT (On the job training) atau orientasi petugas kesehatan untuk layanan IMS
Tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan pengetahuan petugas di layanan
dalam tatalaksana IMS sehingga diharapkan semua pasien IMS yang datang
kelayanan dapat diobati sesuai tatalaksana. Peserta kegiatan adalah petugas
layanan di 34 provinsi.
Gambar 3.38 Kegiatan OJT (On the job training) atau Orientasi Petugas
Kesehatan untuk Layanan IMS

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

2. Penyusunan Juknis / NSPK


Kegiatan ini bertujuan untuk membuat pedoman atau standar bagi petugas
kesehatan yang akan digunakan dalam melakukan upaya pencegahan dan
pengendalian IMS di wilayah kerjanya.
Gambar 3.39 Penyusunan Juknis/NSPK

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

3. Asesmen Duo Sifilis Muhammadiyah


Kegiatan bertujuan untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan skrining dan
pengobatan sifilis pada ibu hamil di 4 kabupaten/kota di Indonesia, hal dilakukan
mengingat pentingnya skrining IMS pada ibu hamil sehingga tidak menularkan
penyakit IMS kepada bayinya.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 90


Gambar 3.40 Kegiatan Asesmen Duo Sifilis Muhammadiyah

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

4. Orientasi Petugas Layanan PrEP


Orientasi ini bertujuan untuk memberikan penyegaran kepada petugas layanan dan
mensosialisasikan revisi petunjuk teknis pemberian PrEP sesuai rekomendasi
WHO kepada 60 layanan yang telah melaksanakan pemberian PrEP sehingga
diharapkan petugas layanan dapat melaksanakan layanan PrEP sesuai pedoman.
Gambar 3.41 Kegiatan Orientasi Petugas Layanan PrEP

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

.5. Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)


Integrasi layanan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan skrining HIV
pada ibu hamil, pasien TB dan calon pengantin. integrasi layanan ini agar bisa
berjalan dengan baik maka dilakukan koordinasi kegiatan dengan direktorat atau
tim kerja terkait diantaranya dengan melakukan pertemuan koordinasi dan
menyusun juknis.

Gambar 3.42 Kegiatan Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 91


6. Asesmen Layanan PrEP
Dalam upaya mencegah penularan HIV dan IMS pada kelompok populasi kunci dan
berisiko maka dilakukan perluasan layanan PrEP. Asesmen ini dilakukan dengan
tujuan untuk melihat sejauh mana kesiapan layanan yang akan dijadikan layanan
PrEP
Gambar 3.43 Kegiatan Asesmen Layanan PrEP

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

7. Koordinasi Program IMS


Kegiatan koordinasi program IMS ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
pelaksanaan program IMS dilaksanakan atau diimplementasikan di daerah, sehingga
jika ditemukan masalah atau hambatan dalam pelaksanaan program dapat segera
diselesaikan dan ditindaklanjuti dengan cepat.
Gambar 3.44 Kegiatan Koordinasi Program IMS

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

8. Penguatan sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi


Untuk mendapatkan data yang valid maka diperlukan sistem informasi pencatatan dan
pelaporan yang terintegrasi dan petugas yang memiliki kemampuan yang baik
terhadap sistem informasi pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS dan PIMS,
untuk maka dilakukan pelatihan terhadap petugas layanan kesehatan tentang SIHA
dimana ada perubahan SIHA dari versi 1.7 menjadi 2.1.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 92


Gambar 3.45 Kegiatan Penguatan Sistem Pencatatan dan Pelaporan yang
Terintegrasi

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

9. Memperkuat koordinasi dan jejaring dengan komunitas dalam tes IMS


Untuk meningkatkan capain tes IMS dipopulasi kunci dan berisiko maka perlu
dilakukan koordinasi dan jejaring antara layanan dan komunitas sehingga populasi
tersebut mau melakukan tes IMS dan segera mendapatkan pengobatan.

Gambar 3.46 Kegiatan Penguatan sistem pencatatan dan pelaporan yang


terintegrasi

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

10. Surveilans Enhanced Gonococcal Antimicrobial Surveillance Programme (EGASP)


Surveilans ini dilakukan dengan tujuan antara lain adalah untuk memantau pola
kepekaan antimikroba terhadap N. gonorrhoeae menggunakan protokol terstandar
, memberikan gambaran karakteristik epidemiologis laki-laki dengan gonore di
lokasi sentinel terpilih, terutama yang mengalami resistensi terhadap antibiotik
untuk N. gonorrhoeae
Selain itu, implementasi EGASP akan memperkuat : kapasitas surveilans infeksi
menular seksual dan resistensi antimikroba, pemahaman klinis, epidemiologis dan
laboratorium dari petugas klinik yang berpartisipasi, kapasitas epidemiologi dan tes
laboratorium petugas laboratorium yang berpartisipasi.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 93


Gambar 3.47 Kegiatan Pertemuan Surveilans EGASP

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja HIV PIMS

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Capaian indikator persentase pasien sifilis sudah mengalami peningkatandari 68% pada
tahun 2022 menjadi 70% pada tahun 2023 namun belum mencapai target yang
ditetapkan. Penyebab kegagalan belum semua provinsi mencapai target indikator
program antara lain adalah :
1. Masih ada layanan yang belum melakukan integrasi untuk pemeriksaan IMS pada
ibu hamil dan calon pengantin
Integrasi layanan diperlukan dalam upaya meningkatkan temuan penyakit IMS dan
memberikan pengobatan sesuai standar.
2. Beberapa layanan merasa adanya keterbatasan logistik obat Benzatin Penicillin.
Layanan yang stok obat Benzatin Penicilin habis atau tidak tersedia, jika ditemukan
pasien IMS yang datang ke layanan maka layanan tersebut merujuk ke layanan lain
yang tersedia obat IMS sehingga diharapkan pasien IMS (sifilis) tersebut bisa
segera diobati.
3. Koordinasi dan jejaring antara layanan dan komunitas
Kurangnya koordinasi dan tidak adanya jaringan antara layanan dan komunitas
dalam melakukan penemuan kasus IMS di populasi kunci dan berisiko maka
menyebabkan sulitnya melakukan penemuan dan pengobatan IMS pada populasi
tersebut.
4. Sistem informasi pencatatan dan pelaporan
Belum optimalnya atau terintegrasi sistem informasi pencatatan dan pelaporan IMS
antara layanan dan komunitas menyebabkan ada beberapa kasus IMS yang tidak
terlaporkan dalam sistem pelaporan sehingga mempengaruhi terhadap capaian.

f. Kendala / masalah yang dihadapi :


Kendala atau masalah yang ditemukan dalam penemuan kasus dan pengobatan pasien
IMS sehingga capaian indikator tidak tercapai adalah :
1) Masih ada puskesmas tidak memiliki sasaran WPS
Masih ada layanan atau puskesmas yang belum memiliki sasaran untuk penemuan
atau penjangkauan kasus IMS pada WPS atau populasi kunci, padahal populasi ini
sangat berisiko untuk terjadinya penyakit IMS sehingga apabila tidak segera diobati
dapat menularkan ke populasi umum.
2) Masih ada layanan yang belum memiliki kartu pemantau pengobatan IMS.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 94


Kartu berguna untuk memantau pengobatan IMS sehingga petugas dapat melihat
sejauh mana keberhasilan pengobatan yang telah dilakukan
3) Media edukasi pasien masih terbatas
Masih kurangnya media edukasi atau KIE pasien yang lengkap dilayanan
menyebabkan petugas layanan merasa kesulitan dalam memberikan konseling dan
edukasi kepada pasien.
4) Layanan IMS belum berjalan secara optimal, hal tersebut dikarenakan layanan
hanya fokus pada pemeriksaan melalui rapid sifilis dan belum berbasis laboratorium
sehingga petugas layanan tidak dapat mengobati kasus sifilis lanjut.
5) Masih ada ibu hamil yang belum diperiksa atau dites IMS khususnya di layanan
swasta, karenanya integrasi layanan menjadi sangat penting dilakukan.
6) Masih ada petugas layanan yang belum memahami cara pencatatan penyakit sifilis
lanjut sehingga kasus tidak terlaporkan dengan baik.
7) Tidak adanya komunitas yang membantu dalam penemuan dan pengobatan kasus
IMS, sehingga petugas mengalami kesulitan dalam penemuan kasus IMS
khususnya pada populasi kunci.

g. Pemecahan masalah
Untuk meningkatkan capaian indikator program agar dapat mencapai target yang telah
ditentukan, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan khususnya untuk provinsi
yang belum mencapai target, antara lain :
1) Melakukan aktivasi layanan IMS dengan laboratorium sederhana
Aktivasi tersebut dilakukan tujuan agar layanan IMS dapat berjalan dengan optimal
sehingga layanan diharapkan mampu melakukan pengobatan untuk kasus sifilis
lanjut
2) Refreshing petugas layanan IMS dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan
terkait tatalaksana, penemuan kasus dan pencatatan pelaporan.
3) Meningkatkan Koordinasi dengan lintas program/lintas sektor sehingga program
pencegahan dan pengendalian IMS dapat berjalan dengan baik terutama untuk
Penguatan komitmen triple eliminasi (HIV, sifilis dan hepatitis).
4) Monitoring dan evaluasi secara bertingkat dan berkala perlu dilakukan untuk
memantau sejauh mana pelaksanaan proram pencegahan dan pengendalian IMS
dilaksanakan.
5) Penemuan kasus HIV secara aktif dengan melakukan kerjasama dengan
komunitas sehingga diharapkan penemuan kasus meningkat dan pasien bisa
segera diobati.
6) Penguatan sistem informasi HIV AIDS dan IMS termasuk PPIA sehingga semua
kasus IMS dan pasien IMS yang diobati tercatat dalam sistem informasi pencatatan
dan pelaporan dengan baik.

h. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Anggaran pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS tahun 2023
bersumber APBN dan Hibah yang digunakan untuk pencapaian target program indikator
persentase pasien sifilis yang diobati adalah sebesar Rp. 17.780.192.000,- dengan
realisasi anggaran adalah Rp.17.687.809.984 (99%) dan capaian keluaran 82,35%

Berdasarkan PMK 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan RKA, efisiensi dilakukan dengan membandingkan
penjumlahan dari selisih antara perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 95


keluaran dan realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari perkalian pagu
anggaran keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

PAKi = Rp.17.780.192.000,-
RAKi = Rp.17.687.809.984,-
CKi = 82,35% = 0,8235 = 0,824

((17.780.192.000 x 0,824) – 17.687.809.984)


E= ------------------------------------------------------------------- X 100%
(17.780.192.000 x 0,824)

E = -0,21 %

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,21%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = −2%
20

Dengan anggaran Rp.17.780.192.000,- dan realisasi Rp. 17.687.809.984,- (99%),


memiliki nilai efisiensinya sebesar -2 %.

Nilai Efisiensi penggunaan sumber daya untuk indikator presentase pasien sifilis yang
diobati adalah -2 %, antara lain disebabkan :
1. Masih ada layanan yang tidak melaporkan pasien IMS (sifilis) yang datang dan
diobati ke dalam SIHA sehingga mempengaruhi capaian indikator
2. Layanan IMS belum berjalan secara optimal.
3. Masih ada petugas layanan yang belum memahami tentang pencatatan dan
pelaporan IMS (sifilis) .
4. Terbatasnya dukungan dana untuk program pencegahan dan pengendalian
penyakit IMS (sifilis).

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi


a. Penjelasan Indikator
Schistosomiasis pada manusia adalah penyakit parasit kronis yang disebabkan oleh
infeksi cacing trematoda dari genus Schistosoma. Schistosomiasis di Indonesia
disebabkan oleh S. japonicum yang ditularkan oleh keong penular Oncomelania
hupensis lindoensis yang hanya ditemukan di Dataran Tinggi Napu dan Bada
Kabupaten Poso dan Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.
Cacing schistosoma dapat menginfeksi hewan mamalia yang akan menjadi reservoir
bagi infeksi pada manusia sehingga penanganannya membutuhkan peran lintas sektor

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 96


dan masyarakat terutama dalam pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat
keong perantara. Sebanyak dua puluh delapan desa telah dilaporkan sebagai daerah
endemis schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Napu, dan Bada.
Berdasarkan kegiatan surveilans rutin, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
melaporkan bahwa prevalensi schistosomiasis telah diturunkan dan dipertahankan
hingga kurang dari 1% pada manusia sejak tahun 2017. Survei terakhir pada tahun 2023
sudah tidak ditemukan kasus schistosomiasis (0%) pada manusia di Dataran Tinggi
Bada, tetapi masih ditemukan 150 kasus schistosomiasis (prevalensi = 1,28%) di
Dataran Tinggi Napu dan 8 kasus schistosomiasis (prevalensi = 0,28%) di Lindu. Dinas
Peternakan dan Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah melaporkan tingginya
prevalensi schistosomiasis pada tahun 2020 pada populasi hewan, khususnya babi dan
tikus dengan total prevalensi masing-masing sebesar 3,6% dan 8,7%. Selain itu, Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Balai Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Donggala melaporkan 224 titik yang telah teridentifikasi sebagai habitat
alami Oncomelania hupensis lindoensis. Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun
prevalensi schistosomiasis pada manusia telah ditekan ke tingkat minimal, masih
terdapat risiko infeksi yang tinggi.
Pada Permenkes Nomor 19 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Eradikasi Demam
Keong tahun 2018-2025 yang dimaksud Eliminasi Schistosomiasis adalah angka
kejadian penyakit pada manusia turun menjadi 0%. Pemerintah berkomitmen untuk
menargetkan Eliminasi Schistosomiasis di Indonesia pada tahun 2025. Upaya yang
telah dilakukan antara lain kegiatan POPM Schistosomiasis menggunakan obat
praziquantel, pengendalian fokus keong dan survei prevalensi pada manusia yang
merupakan kegiatan pokok dalam penanggulangan Schistosomiasis. Kegiatan survei
prevalensi pada manusia meliputi pengumpulan sampel tinja penduduk yang berumur
5 tahun keatas, pembuatan sediaan/ preparat sesuai metode Katokatz, dan
pemeriksaan secara mikroskopis di laboratorium.

b. Definisi Operasional
Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai Eliminasi adalah Jumlah desa
dengan hasil survei prevalensi schistosomiasis 0% pada manusia.

c. Rumus/Cara perhitungan
Akumulasi jumlah desa endemis yang berdasarkan hasil survei prevalensi pada
manusia, menunjukkan angka 0% pada tahun tersebut. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:

Jumlah penduduk dengan tinja positif


Prevalensi pada desa endemis
= x 100%
Schistosomiasis
Jumlah penduduk diperiksa
pada desa endemis

d. Capaian indikator
Capaian indikator Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2023 adalah sebanyak kumulatif 16 desa dari target 24 desa atau dengan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 97


pencapaian sebesar 66,66%. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
target dan capaian tahun 2020-2024 dapat dilihat dari grafik dibawah ini:

Grafik 3.25 Target dan Capaian Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis


Yang Mencapai Eliminasi Tahun 2020 – 2024

Sumber: Data Tim Kerja NTDs

Dari data diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2020-2021 jumlah desa endemis
schistosomiasis yang mencapai eliminasi berhasil memenuhi target yang telah
ditetapkan, pada tahun 2022 dari 19 desa yang di targetkan hanya 16 desa yang
mencapai target. Pada tahun 2023 dari target 24 desa dengan hasil survei prevalensi
schistosomiasis 0% pada manusia secara kumulatif hanya tercapai 16 desa yang
prevalensi schistosomiasisnya 0% pada manusia. Berdasarkan grafik di atas dapat
diproyeksikan pada tahun 2024 jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai
eliminasi belum dapat mencapai target yang sudah ditetapkan.

Capaian desa endemis yang sudah berhasil menurunkan prevalensi schistosomiasis


0% pada manusia di kabupaten endemis bisa dilihat pada grafik berikut:

Grafik 3.26 Target dan Capaian Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis


yang Mencapai Eliminasi per Kabupaten Endemis Tahun 2023

Sumber: Data Tim Kerja NTDs per 17 Januari 2024

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 98


Terdapat 3 (tiga) fase dalam menuju eliminasi schistosomiasis, yaitu fase akselerasi
(2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), serta fase verifikasi dan
deklarasi eliminasi (2025). Upaya eliminasi schistosomiasis meliputi strategi untuk
penanganan manusia, hewan dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung
ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem
pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang penting untuk mencapai target yang
telah ditetapkan. Namun demikian masih banyak upaya yang masih belum selaras
dengan Roadmap Eliminasi Schistosomiasis tahun 2018-2025, seperti tidak
terlaksananya POPM Schistosomiasis pada hewan reservoir.
Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menurunkan angka prevalensi
schistosomiasis pada manusia dalam rangka mencapai indikator jumlah desa endemis
schistosomiasis berhasil mencapai eliminasi. Prevalensi schistosomiasis pada manusia
dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Grafik 3.27 Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017 – 2023

Sumber: Data Tim Kerja NTDs per 17 Januari 2024

Berdasarkan grafik diatas prevalensi schistosomiasis pada manusia sejak tahun 2016
mengalami penurunan dan berada dibawah 1% dan terus mengalami penurunan
sampai tahun 2021. Prevalensi tersebut berangsur menurun setelah dilaksanakan
pengobatan massal dengan praziquantel pada tahun 2017-2019. Tahun 2020 dan 2021
prevalensi schistosomiasis mengalami sedikit peningkatan, namun pada tahun 2022
prevalensi schistosomiasis mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi sebesar
1,45%. Dari hasil diatas, maka POPM schistosomiasis sangat diperlukan untuk
menurunkan prevalensi schistosomiasis pada manusia.

Secara global terdapat 78 negara endemis schistosomiasis dan 51 diantaranya memiliki


tingkat penularan sedang hingga tinggi. Penyakit ini masih ditemukan di tiga negara
yaitu Republik Rakyat Tiongkok, Filipina, dan Indonesia. Berdasarkan Global Neglected
Tropical Disease (NTDs) Roadmap 2021-2030 ditargetkan tahun 2030 tercapai
eliminasi schistosomiasis sebagai masalah Kesehatan di seluruh negara.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 99


e. Analisa penyebab kegagalan
Target Indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2023 tidak tercapai. Hal ini disebabkan masih tingginya schistosomiasis pada
keong perantara dan hewan reservoir seperti babi, tikus, kerbau dan anjing. Banyaknya
fokus-fokus keong yang menjadi sumber penularan di desa endemis schistosomiasis
yang tidak bisa dilaksanakan pengendalian fokus keong secara mekanik dan kimia.
Program pengendalian yang dilakukan hingga saat ini belum dapat menekan angka
kejadian schistosomiasis, karena adanya reinfeksi dari berbagai reservoar diantaranya
tikus, ternak masyarakat, termasuk hewan liar, bahkan masyarakat sendiri sebagai
pembawa.
Penyebab tidak tercapainya target antara lain:
- Pengendalian keong dan daerah fokus tidak dilakukan secara komprehensif dan
teratur di daerah endemis, serta masih banyak fokus keong merupakan daerah yang
sangat luas dan harus menggunakan alat berat.
- Pengendalian schistosomiasis pada hewan masih sangat terbatas,
- Pengetahuan dan kesadaran petani masih sangat terbatas dan mereka kurang
memahami bagaimana mencegah terjadinya infeksi schistosomiasis, serta,
- Diagnosis hanya menggunakan Kato-Katz, yang kurang sensitif pada daerah
endemis rendah.
Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan fokus keong sangat
dibutuhkan karena sebagian fokus-fokus keong berada pada wilayah perkebunan
masyarakat.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Melakukan advokasi, koordinasi, dan peran aktif lintas sektor dan lintas program
dalam upaya eliminasi schistosomiasis di tingkat Kementerian Lembaga terkait dan
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Poso dan Sigi.
Kegiatan ini dibutuhkan untuk meningkatkan dukungan dan kontribusi lintas sektor
terkait guna menghilangkan fokus/habitat keong penular serta menurunkan
prevalensi schistosomiasis pada hewan perantara.
2. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Schistosomiasis
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk mendukung program
penanggulangan schistosomiasis serta mengevaluasi hambatan dan tantangan
dalam pengendalian schistosomiasis. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain:
a. Assessment Eliminasi Schistosomiasis
b. Pendampingan Teknis Implementasi Kegiatan Penanggulangan
Schiostosomiasis
3. Surveilans Schistosomiasis
Untuk mendapatkan angka prevalensi schistosomiasis dilakukan survei prevalensi
schistosomiasis pada manusia dan memantau perkembangan dan status penyakit
ini di lapangan melalui survei schistosomiasis pada keong perantara dan hewan
penular. Kegiatan ini sangat penting untuk menilai sejauh mana kemajuan
pelaksanaan dan pencapaian tujuan program eliminasi schistosomiasis.
4. Tatalaksana kasus positif schistosomiasis dan POPM. Tatalaksana kasus positif
diberikan pada penderita yang memiliki gejala dan pemeriksaan laboratorium hasil
positif schistosomiasis, serta penduduk dengan hasil positif schistosomiasis yang
terjaring pada survei prevalensi. POPM dilaksanakan di 12 desa endemis yang hasil
survei prevalensinya banyak ditemukan positif schistosomiasis.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 100


5. Pelatihan ELISA untuk diagnosis schitosomiasis, untuk mengatasi kelemahan
diagnosa schistosomiasis, maka dilakukan pelatihan diagnostik alternatif seperti tes
serologis untuk mendeteksi infeksi schistosomiasis intensitas rendah. Metode ini
dapat meningkatkan sensitivitas dan akurasi dalam mendeteksi keberadaan parasit,
terutama dalam situasi di mana Kato-Katz mungkin tidak seefektif itu telah
dilaksanakan pelatihan metode ELISA untuk diagnosis schitosomiasis.
6. Pemberantasan fokus keong melalui kimiawi
Penyemprotan moluskisida (racun keong) merupakan salah satu metode
pengendalian keong perantara schistosomiasis. Upaya ini dilakukan untuk
memberantas keong khususnya pada fokus dengan ukuran kecil dan/atau posisi
geografis yang terpencil sehingga sulit dijangkau dengan metode pengendalian
lainnya.

Gambar 3.48 Kegiatan Pelatihan ELISA untuk Diagnosis Schistosomiasis

Sumber: Data Tim Kerja NTDs

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Masih tingginya angka prevalensi schistosomiasis pada keong perantara dan hewan
pembawa schistosomiasis.
2. Musim hujan yang cukup tinggi menyebabkan keong dari fokus menyebar mendekati
pemukiman dan memperluas fokus keong.
3. Kurangnya komitmen lintas sektor dalam upaya pemutusan mata rantai penularan
melalui hewan dan keong perantara karena Program Schistosomiasis bukan
merupakan program prioritas bagi lintas sektor.
4. Pengandangan hewan ternak masih belum banyak dilakukan oleh penduduk,
sehingga hewan ternak masih bebas berkeliaran di area fokus keong yang
berdekatan dengan pemukiman.
5. Kegiatan pengendalian schistosomiasis hanya bersumber dari APBN dan hibah dari
WHO, sehingga upaya pengendalian oleh pemerintah daerah sangat terbatas.

h. Pemecahan Masalah
1. Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan mengoptimalkan peran dan tugas masing-
masing lintas sektor sesuai roadmap eliminasi schistosomiasis.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 101


2. Meningkatkan penyemprotan fokus keong untuk mengendalikan keong penular
schistosomiasis di desa endemis.
3. Melaksanakan POPM Schistosomiasis di desa dengan prevalensi schistosomiasis
tertinggi
4. Joint Review Programme Schistosomiasis oleh external expert (WHO)
5. Pelatihan Diagnosa Schistosomiasis menggunakan metode ELISA
6. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian fokus keong
schistosomiasis secara mandiri (GADAR BASIS).
7. Pembuatan kolam ikan dengan menggunakan dana desa dan bantuan benih ikan
dari Kementerian Kelautan.
8. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga donor seperti Rotary International

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Pada tahun 2023 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator
Jumlah desa endemis Schistosomiasis yang mencapai eliminasi adalah sebesar Rp.
1.494.316.000,- Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 1.411.818.500 atau
sebesar 94,5 %. Sedangkan Capaian keluaran atau realisasi output anggaran adalah
sebesar 100%.

Berdasarkan PMK No. 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,
efisiensi dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari selisih antara perkalian
pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran dan realisasi anggaran keluaran
dengan penjumlahan dari perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

((1.494.316.000 X 100%) – 1.411.818.500)


E= -------------------------------------------------------------------- X 100%
(1.494.316.000X 100%)

E = 5,5 %

Dalam rangka melaksanakan eliminasi Schistosomiasis, maka pemerintah telah


berhasil melaksanakan efisiensi anggaran APBN sebesar 5,5%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk kegiatan Koordinasi dan Review Implementasi Kegiatan dalam
Rangka Eliminasi Schistosomiasis Lintas Kementerian dan Lembaga secara daring,
Assessment Eliminasi Schistosomiasis, Pendampingan Teknis Implementasi Kegiatan
Penanggulangan Schiostosomiasis, Survei Prevalensi pada Manusia, serta
Pelaksanaan Kegiatan Pengendalian Fokus Keong Schistosomiasis.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 102


11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies
a. Penjelasan Indikator
Tahun 2021 indikator yang digunakan yaitu Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki ≥
20% Puskesmas rujukan Rabies Center. Sesuai dengan PMK no 13 tahun 2022 tentang
Sasaran Strategis Tahun 2022 – 2024 menggunakan IKK Jumlah Kabupaten/Kota
Eliminasi Rabies.

b. Definisi Operasional
Kabupaten/Kota yang tidak ada kematian rabies pada manusia dan spesimen positif
pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir. Capaian kinerja Pemerintah Daerah adalah
Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies dimana indikatornya adalah tidak adanya
kasus kematian karena rabies pada manusia dan tidak adanya spesimen positif pada
hewan dalam dua tahun terakhir.

c. Rumus/cara perhitungan
Tahun 2021 kami menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki ≥ 20%
Puskesmas rujukan Rabies Center. Sesuai dengan PMK no 13 tahun 2022 tentang
Sasaran Strategis Tahun 2022 – 2024 menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota
Eliminasi Rabies. (Angka absolut) dari jumlah kabupaten/kota yang tidak ada kematian
rabies pada manusia dan spesimen positif pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir

d. Capaian Indikator
Target dan Realisasi Tahun 2022
Untuk tahun 2022 - 2023 indikator yang digunakan : Jumlah kabupaten/kota eliminasi
Rabies. Tidak semua kabupaten kota di Indonesia merupakan sasaran dari indikator ini
karena tidak semua merupakan daerah endemis rabies. Adapun kabupaten/kota di
Indonesia yang menjadi sasaran sebanyak 313 kabupaten/kota yang merupakan
daerah endemis rabies.
Target indikator ini di tahun 2022 adalah 211 kabupaten/kota dengan capaian di akhir
tahun adalah 263 kabupaten/kota, sedangkan pada tahun 2023 target yang telah
ditetapkan adalah 236 kabupaten/kota dan capaian di akhir tahun adalah 247
kabupaten/kota. Distribusi kabupaten/kota eliminasi rabies seperti grafik dibawah ini

Grafik 3.27 Grafik Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies per Provinsi


Tahun 2022 - 2023

Sumber: Data Tim Kerja Zoonosis per 17 Januari 2024

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 103


Dari grafik tersebut terlihat distribusi jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies di 26
provinsi endemis rabies. Jumlah kabupaten/kota endemis rabies (warna ungu), capaian
eliminasi rabies tahun 2022 (warna hijau) dan capaian eliminasi rabies tahun 2023
(warna merah muda) di tiap provinsi tersebut berbeda-beda. Setidaknya ada 9 provinsi
yang telah 100 % kabupaten/kota endemis rabiesnya telah mencapai eliminasi rabies
pada tahun 2022 dan 2023. Namun masih ada 1 provinsi yang kabupaten kota endemis
rabiesnya belum mencapai eliminasi rabies pada tahun 2022 yaitu Provinsi Nusa
Tenggara Barat.

Dilihat dari perbandingan jumlah kabupaten/kota eliminasi tahun 2022 dan 2023 terjadi
penurunan jumlah kabupaten/kota eliminasi. Penurunan jumlah kabupaten/kota
eliminasi rabies tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya KLB yang terjadi
di beberapa daerah yang semula bebas rabies, peningkatan populasi hewan penular
rabies di beberapa daerah, serta kurangnya cakupan vaksinasi pada hewan penular
rabies. Diperkirakan pada tahun 2024 capaian kabupaten eliminasi rabies dapat turun
menjadi 228 kabupaten/kota dari target sebesar 261 kabupaten/kota sehingga
persentase cakupannya diperkirakan akan turun dari 103,8% (2023) menjadi 87,4%
(2024).

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


1) Analisis Penyebab Keberhasilan atau Peningkatan Kinerja
● Meningkatnya jumlah Puskesmas Rabies Center, sehingga pelayanan
tatalaksanan kasus semakin baik
● Promosi kesehatan melalui media sosial semakin masif, sehingga masyarakat
segera melapor ke fasyankes bila terjadi kasus.
● Namun capaian ini menurun di tahun 2023 karena tahun 2022 aktivitas
masyarakat diuar rumah sudah berangsur-angsur bertambah. Hal ini berpotensi
untuk lebih banyaknya kontak masyarakat dengan hewan penular rabies diluar
rumah, akan tetapi capaian kabupaten kota eliminasi rabies masih diatas target
yang ditetapkan. Untuk mencegah ini kami berupaya untuk meningkatkan
peningkatan peran serta masyarakat dalam hal pelaporan kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR) kepada petugas kesehatan terdekat untuk mendapat
tatalaksana kasus GHPR sebagai perlindungan dari potensi kematian karena
rabies.

2) Alternatif Solusi yang telah dilakukan


● Peningkatan aktifitas promosi kesehatan kepada masyarakat terutama di daerah
yang tinggi kasus kematiannya.
● Peningkatan kemampuan SDM (tenaga kesehatan) dalam tatalaksana kasus
GHPR.
● Peningkatan kerjasama lintas sektor dan lintas program khususnya dengan
Kemenko PMK, Kementan, Kemen LHK, Kemendagri, BNPB dan organisasi non
profit lainnya.
● Distribusi VAR dan SAR bagi daerah-daerah yang membutuhkan
● Distribusi media KIE yang menarik untuk mendapat perhatian masyarakat untuk
melakukan pencegahan terhadap penyakit-penyakit zoonosa
● Pembentukan Rabies Center terutama di daerah endemis yang berfungsi sebagai
pusat informasi pengendalian rabies dan pemberian tatalaksana kasus GHPR

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 104


● Mengadvokasi pembelian vaksin rabies untuk HPR menggunakan dana APBD/
desa dan pembentukan peraturan daerah/desa untuk penanggulangan rabies.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1. Advokasi dan sosialisasi pengendalian rabies kepada Pemerintah Daerah (Provinsi
Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Sumatera Barat)
2. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana kasus GHPR/rabies.
3. Melakukan joint risk assessment dan penyelidikan epidemiologi terpadu lintas sektor.
4. Pemenuhan sarana dan prasarana untuk pembentukan rujukan Rabies Center
minimal 20% terutama di Kabupaten/ Kota endemis
5. Penyediaan NSPK berupa pedoman penanggulangan rabies, buku saku tatalaksana
gigitan hewan penular rabies, serta buku saku rabies center sebagai acuan dalam
melakukan penanggulangan rabies
6. Pengembangan sistem surveilans, sistem pencatatan dan pelaporan kasus GHPR
dan Rabies yang terkoneksi dengan sistem informasi sektor lain melalui SIZE.
7. Penyediaan Media KIE dalam mendukung pelaksanaan promosi pencegahan dan
pengendalian rabies
8. Peningkatan pengadaan VAR dan SAR untuk pencegahan dan pengendalian rabies
9. Melakukan assessment Rabies Center di provinsi endemis rabies.
10.Monitoring dan evaluasi pencegahan dan pengendalian rabies secara terintegrasi.

g. Kendala / masalah yang dihadapi


1. Ketepatan pengiriman laporan rabies khususnya dan zoonosis pada umumnya dari
provinsi masih dibawah 60 %.
2. Pemerintah Daerah khususnya dinas kesehatan kabupaten/kota tidak fokus
membina puskesmas untuk menjadi rujukan rabies center.
3. Sebagian besar anggaran di daerah dan di pusat, dialihkan ke penanggulangan
Covid-19, anggaran untuk penangulangan penyakit lain relatif rendah
4. Komunikasi, koordinasi dan kolaborasi menjadi kurang maksimal dengan adanya
pandemi Covid-19 yang hanya dilakukan secara daring sehingga tidak semaksimal
dalam pertemuan tatap muka.

h. Pemecahan masalah
1. Pembinaan teknis melalui media komunikasi baik internet maupun aplikasi online
tetap dilakukan.
2. Surveilans kasus zoonosis yang bertujuan untuk memantau kemungkinan terjadinya
outbreak atau KLB dengan tetap mempertimbangkan protokol kesehatan.
3. Peningkatan penganggaran dana untuk zoonosis baik di pusat maupun di daerah.
4. Memperbanyak media KIE kepada petugas dan masyarakat sehingga informasi
dapat tersampaikan secara lebih luas
5. Advokasi dan sosialisasi pengendalian rabies kepada Kemendagri, Kemendes, dan
Pemerintah Daerah
6. Melakukan sosialisasi secara bertahap e-zoonosis yang merupakan pencatatan dan
pelaporan kasus GHPR/rabies yang real time dan berbasis web

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Pada tahun 2023 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator
Jumlah kabupaten kota eliminasi rabies adalah sebesar Rp. 8.359.807.000,- Anggaran
tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 7.781.169.372,- atau sebesar 93,08%.
Sedangkan Capaian keluaran atau realisasi output anggaran adalah sebesar 100%.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 105


Berdasarkan PMK No. 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja
Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,
efisiensi dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari selisih antara perkalian
pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran dan realisasi anggaran keluaran
dengan penjumlahan dari perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

((8.359.807.000 X 100%) – 7.781.169.372)


E= ------------------------------------------------------------------- X 100%
(8.359.807.000 X 100 %)

(578.637.625)
E= ----------------------------------- X 100%
(8.359.807.000 X 100 %)

E = 6,921. %

Dalam rangka mewujudkan kabupaten/kota eliminasi rabies, maka pemerintah telah


berhasil melaksanakan efisiensi anggaran APBN sebesar 6,921%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk kegiatan Assessment Rabies Center, Penyelidikan
Epidemiologi KLB, Koordinasi Lintas Sektor dan Lintas Program dengan Pendekatan
One Health, serta Penyusunan NSPK dan Media KIE

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
penduduk
a. Penjelasan Indikator
Tujuan program Arbovirosis di Indonesia adalah untuk mencapai 95 % kabupaten/kota
yang memiliki angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD ≤ 10/100.000 penduduk pada
tahun 2024. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024

b. Definisi operasional
Capaian Kinerja pemerintah daerah kab/kota dalam menurunkan angka Insidens Rate
≤ 10/100.000 penduduk dalam kurun waktu satu tahun

c. Rumus/cara perhitungan
Kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk dibagi jumlah
kabupaten/ kota yang ada dikali 100

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 106


Rumus:
Jumlah kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk x 100%
Jumlah kabupaten/kota

d. Capaian indikator
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah bagian dari infeksi dengue. Dengue adalah
infeksi virus yang ditularkan melalui nyamuk yang umumnya terjadi di iklim tropis yang
hangat. Infeksi disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang terkait erat
(disebut serotipe) dan dapat menyebabkan spektrum gejala yang luas, termasuk
beberapa yang sangat ringan (tidak terlihat) hingga yang mungkin memerlukan
intervensi medis dan rawat inap. Tidak ada pengobatan untuk infeksi itu sendiri, tetapi
gejala yang dialami pasien dapat ditangani namun dalam kasus yang parah, dapat
terjadi kematian.

Infeksi dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di


wilayah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara endemis
infeksi dengue. Sejak pertama kali kasus DBD dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968
di Jakarta dan Surabaya angka kesakitan DBD menunjukkan tren peningkatan dari
tahun ke tahun dan wilayah penyebarannya pun semakin luas hampir diseluruh
kabupaten/kota di Indonesia. Namun dalam kurun waktu 50 tahun (1968 – 2020) angka
kematian/Case Fatality Rate (CFR) DBD telah berhasil diturunkan menjadi di bawah
1%. Target penanggulangan dengue adalah menurunkan CFR 0% pada tahun 2030. Ini
tertulis di Roadmap NTDs 2021-2030 dimana dengue termasuk dalam 20 penyakit
NTDs dan merupakan penyakit yang akan dicegah dan dikendalikan (WHO, 2020).

Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk


per provinsi di Indonesia:

Tabel 3.7 Jumlah Kabupaten Kota yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk


per provinsi di Indonesia tahun 2023 *per 8 Januari 2024
Jumlah Kab/Kota
dengan IR ≤
Jumlah Kabupaten Kota
10/100.000 penduduk
Tahun 2023*
No Provinsi Jumlah
IR Provinsi / kab/kota
Jumlah
100.000 dengan IR ≤ %
kab/kota
penduduk 10/100.000
penduduk

1 Aceh 32,25 23 5 22%

2 Sumatera Utara 25,86 33 6 18%

3 Sumatera Barat 28,47 19 3 16%

4 Riau 21,07 12 1 8%

5 Kepulauan Riau 23,56 7 1 14%

6 Jambi 28,41 11 3 27%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 107


7 Sumatera Selatan 22,04 17 4 24%

Kepulauan Bangka
8 51,69 7 0 0%
Belitung

9 Bengkulu 35,45 10 1 10%

10 Lampung 23,63 15 2 13%

11 Banten 23,12 8 0 0%

12 DKI Jakarta 35,02 6 0 0%

13 Jawa Barat 34,17 27 2 7%

14 Jawa Tengah 18,78 35 10 29%

15 D.I. Yogyakarta 13,67 5 0 0%

16 Jawa Timur 17,68 38 6 16%

17 Kalimantan Barat 166,53 14 0 0%

18 Kalimantan Tengah 113,86 14 0 0%

19 Kalimantan Selatan 61,49 13 1 8%

20 Kalimantan Timur 134,94 10 0 0%

21 Kalimantan Utara 121,26 5 0 0%

22 Sulawesi Utara 78,87 15 1 7%

23 Gorontalo 46,60 6 1 17%

24 Sulawesi Tengah 48,21 13 0 0%

25 Sulawesi Barat 59,17 6 1 17%

26 Sulawesi Selatan 25,05 24 5 21%

27 Sulawesi Tenggara 38,37 17 4 24%

28 Bali 145,32 9 0 0%

29 Nusa Tenggara Barat 61,20 10 0 0%

30 Nusa Tenggara Timur 36,94 22 8 36%

31 Maluku 3,37 11 11 100%

32 Maluku Utara 32,42 10 1 10%

33 Papua Barat 172,12 7 3 43%

34 Papua 8,99 9 6 67%

35 Papua Barat Daya 0,00 6 6 100%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 108


36 Papua Selatan 0,00 4 4 100%

37 Papua Pegunungan 0,00 8 8 100%

38 Papua Tengah 66,53 8 7 88%

Total 35,36 514 111 22%

Sumber: Data Tim Kerja Arbovirosis per 17 Januari 2024

Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 111 (22%) kabupaten/kota yang sudah mencapai
target indikator Insidens Rate (IR) ≤ 10/100.000 penduduk dari target 437
kabupaten/kota (85%). Capaian tahun 2023 meningkat jika dibandingkan dengan
capaian tahun 2022 yang hanya 82 (16%) kabupaten/kota yang memiliki Insidens Rate
(IR) ≤ 10/100.000 penduduk.

Grafik 3.28 Persentase Kabupaten/Kota dengan IR ≤ 10/100.000 penduduk


Di Indonesia Tahun 2023
INDONESIA 22
100
PAPUA SELATAN 100
100
MALUKU 100
88
PAPUA 67
43
N.T.T. 36
29
JAMBI 27
24
SUMSEL 24
22
SULSEL 21
18
SULBAR 17
17
JATIM 16 Target Renstra
16
KEP. RIAU 14
13 85%
MALUKU UTR 10
10
RIAU 8
8
JABAR 7
7
N.T.B 0
0
SULTENG 0
0
KALTIM 0
0
KALBAR 0
0
DKI JKT 0
0
BABEL 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Sumber data: Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2023 *per 8 Januari 2024

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa tahun 2023 terdapat 5 provinsi yang mencapai
target 85% kabupaten/kota yang memiliki IR ≤10/100.000 penduduk. Meskipun target
program DBD tercapai di 5 provinsi dapat merupakan gambaran kondisi yang
sesungguhnya di wilayah tersebut, namun terdapat pula kemungkinan merupakan
cerminan dari hambatan dalam mendeteksi kasus oleh karena fasilitas diagnosis yang
kurang memadai dan system surveilans yang lemah sehingga terkendala dalam
melaporkan kasus dengue/DBD yang sebenarnya terjadi (underreporting).

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 109


Grafik 3.29 Target dan Capaian Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Program
Arbovirosis Tahun 2020-2024

Sumber data: Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2023 *per 8 Januari 2023

Tren capaian persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR ≤ 49/100.000 penduduk


terlihat pada grafik di atas, capaian persentase kabupaten/kota yang mempunyai IR ≤
49/100.000 penduduk pada tahun 2020 dan 2021 capaian indikator melebihi dari target
yang ditentukan. Tahun 2022 target indikator berubah dari sebelumnya persentase
kabupaten/kota IR ≤ 49/100.000 penduduk menjadi IR ≤ 10/100.000 penduduk. Capaian
persentase kabupaten/kota IR ≤ 10/100.000 penduduk Tahun 2022 hanya mencapai
16% sedangkan di tahun 2023 sebesar 22%. Berdasarkan capaian persentase kinerja
tahun 2023 mengalami peningkatan dari 20% tahun 2022 menjadi 26% tahun 2023.
Meskipun tahun 2023 terjadi peningkatan capaian namun dapat diprediksikan bahwa
pada akhir tahun 2024 indikator presentase kabupaten/kota IR ≤ 10/100.000 penduduk
tidak dapat tercapai (tidak on the track).

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022
tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2020 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, indikator program DBD
berubah menjadi persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD
≤10/100.000 penduduk. Pada tahun 2023 indikator jumlah kabupaten/kota dengan
Insiden Rate (IR) DBD ≤10/100.000 penduduk tidak memenuhi target. Target IR
≤10/100.000 sulit tercapai karena selama ini dasar perhitungan epidemiologis hanya
berdasarkan jumlah kasus DBD yang bergejala dan pasien-pasien dengue yang datang
ke pelayanan rawat inap. Selain itu kasus infeksi dengue merupakan fenomena gunung
es (iceberg phenomena) dimana perkiraan kasus dengue di Indonesia sebanyak 19,5
juta kasus, 7,8 juta kasus dengue merupakan kasus simptomatik sisanya sebanyak 60%

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 110


merupakan kasus asimtomatik (tidak bergejala) yang masih dapat menularkan infeksi
dengue. Beberapa kemungkinan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas DBD
dan tidak tercapainya target antara lain

1. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang tanda, gejala dan penularan dengue


sehingga menyebabkan keterlambatan penanganan kasus dengue di fasyankes
yang menumbulkan kematian.
2. PSN 3M Plus belum menjadi kegiatan prioritas di daerah sehingga belum optimal
dalam pencegahan penanggulangan dengue di Indonesia
3. Belom optimalnya sistem kewaspadaan dini, antara lain disebabkan karena
perbedaan pemahaman definisi kasus dan kurang koordinasi antara petugas
surveilans dan penanggung jawab program DBD di daerah sehingga tidak optimal
memantau tren perkembangan kasus dan terlambat pelaksanaan Penyelidikan
Epidemiolog (PE) untuk menekan peningkatan kasus dan KLB.
4. Program pencegahan dan pengendalian dengue masih belum menjadi prioritas
sehingga proporsi anggaran masih belum memadai di tingkat kelurahan/desa,
kabupaten/kota dan provinsi.
5. Belum optimalnya penerapan inovasi baru strategi teknologi pengendalian dengue
melalui implementasi nyamuk ber Wolbachia

f. Upaya yang Dilaksanakan untuk Mencapai Target Indikator


Ada beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara
lain:
1. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
Kegiatan ini berupa pertemuan koordinasi lintas program dan lintas sektor
penanggulangan arbovirosis. Kegiatan koordinasi dengan sektor-sektor terkait ini
merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kerjasama dalam
Penanggulangan Arbovirosis mengingat ini harus dilaksanakan bersama sektor-
sektor yang bertanggungjawab terhadap faktor risiko kejadian arbovirosis.
a. Koordinasi LS/LP DBD
Kegiatan yang dilakukan salah satunya adalah undangan Focus Group
Discussion Lintas Sektor dan Lintas Program dari B2P2VRP Salatiga yang
dilaksanakan tanggal 14 November 2023, tujuan kegiatan ini adalah
Sinkronisasi dan koordinasi program dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
Balai Besar Laboratorium Kesehatan Lingkungan.

Dari hasil diskusi B2P2VRP Salatiga mendukung program-program


pencegahan dan pengendalian DBD dan arbovirosis lainnya melalui:
pelaksanaan pengendalian DBD dengan Aedes aegypti ber-Wolbachia dan
penguatan surveilans japanese encephalitis dan surveilans Dengue.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 111


Gambar 3.49 Pertemuan Koordinasi LS/LP DBD FGD
Kota Salatiga 14-15 November 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

Kegiatan koordinasi LS/LP DBD lainnya yaitu: Launching Koalisi Bersama


(Kobar) Lawan Dengue, tanggal 8 September 2023. Guna memastikan
pencapaian tujuan nol kematian akibat dengue pada tahun 2030, serta
dibutuhkannya percepatan penanggulangan dengue sebagai ancaman
kesehatan masyarakat di Indonesia, maka Kaukus Kesehatan DPR RI
bersama dengan Kementerian Kesehatan akan melaksanakan acara
Peluncuran Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR Lawan Dengue) dengan
tema ”Jejaring Menuju Nol Kematian Dengue di Indonesia Pada 2030”.
Dengan tujuan:
- Membangun komitmen bersama untuk penanggulangan dengue guna
mencapai nol kematian akibat dengue pada tahun 2030.
- Meningkatkan kesadaran bersama akan beban penyakit dengue di
Indonesia.
- Mengukuhkan suatu deklarasi komitmen dalam gerakan Dengue Zero
Coalition. Koalisi dikuti oleh: unsur pemerintah, unsur
masyarakat/akademisi, unsur asosiasi profesi kesehatan, unsur inovator
Output kegiatan antara lain:
- Terbentunya forum kordinasi antar stakeholder untuk bertukar
pengetahuan dan pengalaman terkait penanggulangan dengue yang
inovatif
- Meningkatkan kesadaran dan mementik kesadaran diskursus publikterkait
dengue
- memprakarsai gerakan kesehatan masyarakat untuk bergabung dan
beraksi melawan dengue
Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR Lawan Dengue) sebagai salah satu
wadah koordinasi dan kolaborasi dalam memperkuat implementasi Stranas
Dengue Penanggulangan Dengue 2021-2025. Program nasional
penanggulangan dengue Kementerian Kesehatan dapat memanfaatkan
Koalisi tersebut untuk melakukan akselerasi pencapaian indikator penurunan
insidens dengue dan penurunan menuju nol kematian dengue di Indonesia.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 112


Kegiatan Koordinasi LS/LP DBD selanjutnya adalah launching pelepasan telur
nyamuk ber-Wolbachia di Kota Semarang, Bontang dan Kupang. Inovasi
nyamuk ber-Wolbachia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian
vektor dengue. Sesuai dengan Kepmenkes No. 1341 Tahun 2022 tentang
penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue dengan Metode
Wolbachia dilaksanakan di 5 Kota yaitu: Kota Semarang, Kota Bontang, Kota
Kupang, Kota Bandung dan Kota Jakarta Barat. Di tahun 2023 baru 3 kota
yang sudah melaksanakan launching implementasi wolbachia dengan
mengundang lintas sektor/lintas program, perguruan tinggi dan mitra.

Gambar 3.50 Launching wolbacia Kota Semarang 30 Mei 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

Gambar 3.51 Launching Wolbachia di Kota Bontang 5 September 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 113


Gambar 3.52 Launching Wolbachia Kota Kupang 24 Oktober 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

2. Sosialisasi dan Diseminasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD dan


Arbovirosis lain
a. Peringatan ASEAN Dengue Day
Peringatan ASEAN Dengue Day dilaksanakan setiap tanggal 15 Juni setiap
tahunnya dan di tahun 2023 dilaksanakan dalam beberapa rangkaian
kegiatan:
1. Launching SIARVI
2. Lomba menggambar tema DBD
3. Lomba Kader Jumantik
4. Lomba Desa/Kelurahan bebas Jentik
5. Temu media
6. Seminar ADD
7. Temu Blogger ADD
8. Talkshow Radio Kesehatan
9. Live Instagram
10. Kampanye Cegah DBD

Gambar 3.53 Seminar Nasional dan Internasional Peringatan ASEAN


Dengue Day Tahun 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 114


b. GERMAS mengenai Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD dan
Arbovirosis lainnya
Dalam rangka sosialisasi program pencegahan dan pengendalian arovirosis
akan dilaksanakan pertemuan Gerakan Masyarakat Pencegahan dan
Pengendalian Arbovirosis, yang akan dilaksanakan di 7 kabupaten/kota.
Penentuan daerah dan tanggal pelakssanaan dilakukan dengan koordinasi
bersama mitra kerja Komisi IX DPR RI dan kesiapan lapangan oleh dinas
kesehatan. Untuk germas di Kabupaten Nganjuk dilaksanakan pada tanggal
13-15 Oktober 2023 bersama anggota DPR Yahya Zaini, sedangkan untuk
germas di Kabupaten Banyuwangi dilaksanakan pada tanggal 9-11 Desember
2023 dengan Anggota DPR RI Sy. Anas Thahir.

Gambar 3.54 Kegiatan GERMAS mengenai pencegahan dan


pengendalian penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

Kegiatan ini mengundang masyarakat, Lintas Sektor, Pemerintah daerah,


tokoh masyarakat dan tokoh agama. Sosialisasi ini memperkenalkan Dengue
dan penyakit Arbovirosis kepada masyarakat terkait upaya pencegahan dan
pengendaliannya serta bagaimana peran serta masyarakat serta dukungan
mitra di komisi IX DPR RI dalam pengendalian Arbovirosis. Setiap kali
pelaksanaan dihadiri tidak kurang dari 500 – 600orang. Materi yang
disampaikan adalah materi ringkas bagaimana hidup sehat terhindar dari
penularan Dengue, Chikungunya, Japanese Encephalitis dan Zika.

3. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis


Tersusunnya NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit arbovirosis melalui
kegiatan penyusunan Strategi Nasional Penanggulangan Japanese Encephalitis
tahun 2023 – 2027. Kementerian Kesehatan merupakan sektor pemimpin dalam
pelaksanaan dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) bidang
Kesehatan dengan visi “Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan
Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia.” Sebagai sektor pemimpin,
Kementerian Kesehatan membutuhkan dukungan dan partisipasi berbagai pihak,
baik sektor pemerintah, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
perguruan tinggi, dan masyarakat. Dukungan dan partisipasi tersebut merupakan
bagian dari kontribusi dan dedikasi semua pihak yang dijiwai nilai-nilai serta
semangat gotong royong. Sejalan dengan pilar transformasi kesehatan yang juga
merupakan bentuk penerjemahan reformasi sistem kesehatan nasional, buku

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 115


Strategi Nasional Penanggulangan JE ini diharapkan dapat menjadi arah dalam
upaya penanggulangan JE di tingkat nasional maupun daerah.

4. Investigasi Peningkatan kasus dan KLB DBD dan Arbovirosis lainnya


Pendampingan investigasi KLB Penyakit Arbovirosis dilakukan sebagai upaya
pemecahan masalah dan advokasi kepada pengambil kebijakan. Penyakit
Arbovirosis adalah termasuk penyakit yang berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB). Tujuan kegiatan ini agar terlaksananya kewapadaan dini dan
penanggulangan KLB penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya memalui bimbingan
teknis kepada petugas kesehatan di Dinas Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan
untuk kewaspadaan dini, serta melakukan penyelidikan epidemiologi dalam rangka
penanggulangan KLB penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya.
a. Investigasi peningkatan kasus dan KLB DBD
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui tren kasus, distribusi epidemiologis
kasus DBD dan faktor risiko terjadinya KLB dan peningkatan kasus. Salah satu
kegiatan yang dilakukan di tahun 2023 adalah investigasi peningkatan kasus
DBD di Kota Dumai Provinsi Riau.

Gambar 3.55 Diskusi di Puskesmas Purnama,


Dinkes Kota Dumai dan Dinkes Provinsi Riau

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 116


b. Penyelidikan Epidemiologi kasus DBD
Gambar 3.56 Penyelidikan Epidemiologi kasus DBD di Kab. Probolinggo

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

c. Assesment pencapaian IR DBD


Tujuan Assesment pencapaian IR DBD adalah mengetahui situasi dengue dan
capaian IR DBD di kabupaten/kota. Assesment pencapaian IR dilaksanakan di
Kota Metro Provinsi Lampung.

Gambar 3.57 Kunjungan ke Dinas Kesehatan Kota Metro Provinsi


Lampung

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

d. Assesment Data Kasus Dengue di Wilayah Implementasi Wolbachia


Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui situasi dengue sebelum
implementasi wolbachia di wilayah implementasi. Kegiatan ini dilakukan di Kota
Bontang tanggal 3-6 September 2023.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 117


Gambar 3.58 Kegiatan Assesment Data Dengue di Kota Bontang
6 September 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

e. Survei penerimaan masyarakat tentang implementasi nyamuk ber Wolbachia


Survei penerimaan masyarakat tentang implementasi nyamuk ber Wolbachia
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan masyarakat tentang
wolbachia dan penerimaan masyarakat terhadap pengendalian dengue melalui
nyamuk ber Wolbachia. Jika hasil survei tersebut baik maka di wilayah tersebut
dapat dilakukan proses rilis (pelepasan nyamuk ber wolbachia). Kegiatan ini
dilaksanakan di kecamatan Tembalang Kota Semarang.
f. Pemetaan Data dan Mapping wilayah Implementasi Pilot Project Wolbachia
Kegiatan ini adalah kegiatan pemetaan dan mapping wilayah kecamatan yang
akan dijadikan tempat pelepasan nyamuk ber Wolbachia. Kegiatan ini
dilaksanakan di 5 kota implementasi wolbachia (Bandung, Kupang, Bontang,
Jakarta Barat dan Semarang).
g. Sampling Wild colony awal pada wilayah implementasi Wolbachia
h. Survei penitipan ember dan telur ber Wolbachia
i. Dukungan jasa implementasi Wolbachia
j. Investigasi KLB Chikungunya, JE dan Zika
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui gambaran epidemiologi KLB
Chikungunya, Japanese Encephalitis, Zika dan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya KLB. Salah-satu kegiatan yang dilaksanakan adalah
investigasi KLB Chikungunya di Desa Kamarang Blok Kliwon Kecamatan
Greged Kabupaten Cirebon.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 118


Gambar 3.59 Investigasi KLB Chikungunya di Kab. Cirebon 16 Oktober 2023

Sumber: Dokumentasi Tim Kerja Arbovirosis

k. Penyelidikan epidemiologi Chikungunya, JE dan Zika

5. Media KIE DBD dan Penyakit Arbovirosis


a. Media promosi arbovirosis berupa tas berisi tumbler, leaflet dan lavitrap selain
untuk buffer stok juga diberikan saat ada kegiatan/acara pertemuan
arbovirosis.
b. KIT Promosi Pendukung Pilot Project Wolbachia
c. Pengadaan Rompi dan Jaket Tim kader Pilot Project Wolbachia
6. Alat dan Bahan Kesehatan pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD dan
Arbovirosis lainnya
a. Pakan telur Wolbachia
b. Ember Wolbachia
c. RDT DBD Combo
d. Larvasida DBD
e. Jumantik Kit
f. Jasa Konsultan Implementasi Plot Project Wolbachia
g. RDT Chikungunya
h. Jasa Pengiriman barang arbovirosis
7. Pemeliharaan Sistem Informasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
(SIARVI)
8. Peningkatan kapasitas petugas dan pengelola program DBD dan Arbovirosis lainnya
a. Peningkatan kapasitas petugas surveilans DBD
b. Peningkatan kapasitas teknis bagi pengelola program DBD dan Arbovirosis
lainnya
9. Monitoring Evaluasi dan Surveilans DBD dan Penyakit Arbovirosis lainnya
a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan surveilans Arbovirosis
b. Supervisi pelaksanaan Surveilans DBD

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 119


Assesment pelaksanaan G1R1J, Validasi Data dan Monev Logistik DBD dan
Arbovirosis lainnya

g. Kendala/Masalah yang dihadapi

1) Lemahnya sistem kewaspadaan dini, antara lain disebabkan karena perbedaan


pemahaman definisi kasus dan kurang koordinasi antara petugas surveilans dan
penanggung jawab program DBD di daerah sehingga tidak optimal memantau tren
perkembangan kasus dan terlambat pelaksanaan Penyelidikan Epidemiolog (PE)
untuk menekan peningkatan kasus dan KLB
2) Belum optimalnya Pokjanal dalam pencegahan dan penanggulangan DBD.
3) Belum semua kabupaten/kota melaporkan data kasus secara real time ke aplikasi
Sistem Informasi Arbovirosis (SIARVI)
4) Pendanaan Pemerintah Daerah masing sangat kurang dan menunggu pendanaan
APBN Pusat dari logistik atau kegiatan oparisonal.
5) PSN 3M Plus dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) belum menjadi kegiatan
prioritas di daerah sehingga belum optimal dalam pencegahan penanggulangan
dengue di Indonesia.
6) Belum optimalnya kapasitas tenaga Kesehatan dalam tatalaksana kasus DBD
7) Implementasi inovasi baru dalam pengendalian vektor penyakit DBD melalui nyamuk
ber Wolbachia tidak berjalan dengan optimal dengan adanya berita hoax dan isu-isu
penolakan terhadap implementasi wolbachia yang mengakibatkan tertundanya
implementasi wolbachia di 2 kota yaitu Kota Bandung dan Kota Jakarta Barat.

h. Pemecahan Masalah
1) Melakukan penguatan sistem surveilans dengue/DBD yang komprehensif serta
manajemen kejadian luar biasa (KLB) yang responsif. Melakukan deteksi dini
infeksi dengue di puskesmas dengan melakukan Rapid Diagnostic Test (RDT)
Antigen Dengue NS1 atau RDT Combo pada hari 1 -5 demam sebagai upaya
menekan kematian akibat dengue.
2) Melakukan sosialisasi pengunaan aplikasi Sistem Informasi Arbovirosis (SIARVI) di
daerah untuk mendukung pencatatan dan pelaporan kasus DBD.
3) Memperkuat Stranas Penanggulangan Dengue 2021-2025 dalam payung hukum
(Kepmenkes) sebagai dasar pemerintah daerah dalam menentukan anggaran
untuk penanggulangan dengue.
4) Melaksanakan assessment implmentasi G1R1J di wilayah endemis dan
pembentukan juknis penilaian implementasi daerah yang telah melakukan G1R1J.
5) Merevitalisasi Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Dengue/DBD di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan dan bekerjasama dengan
lintas sektor dan lintas program terkait.
6) Memperbaharui Petunjuk Teknis Logistik, Pencegahan Pengendalian Dengue,
G1R1J di Sekolah dan Masyarakat
7) Melaksanakan webinar dan workshop peningkatan kapasitas bagi tenaga
kesehatan
8) Melakukan Sosialisasi Upaya Pencegahan dan Pengendalian Dengue dengan
teknologi Wolbachia di 5 kota (Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan
Bontang) dan melakukan counter terkait isu-isu penolakan wolbachia baik melalui
media sosial maupun dengan mengadakan webinar.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 120


i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya
PAKi : Rp 52.605.130.000,-
RAKi : Rp 48.428.101.891,-
CKi : 92,5 %

(52.605.130.000 X 0.20) – 48.428.101.891


E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(52.605.130.000X 0.20)

= -3,60%

𝐸
𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20

−3,60
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20

𝑁𝐸 = 41 %

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase


kabupaten/kota yang memiliki IR ≤10/100.000 penduduk dengan anggaran Rp .
52.605.130.000,- memiliki nilai efisiensi -3,60% yang artinya tidak efisien karena
realisasi anggaran lebih besar daripada capaian kinerja.

13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1%
a. Penjelasan Indikator
Filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia karena berjangkit di sebagian besar wilayah Indonesia dan
dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup. Berdasarkan hasil pemetaan
endemisitas filariasis di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis. Sesuai Permenkes
Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, yang dimaksud dengan
daerah endemis filariasis adalah daerah yang berdasarkan survei data dasar
prevalensi mikrofilaria menunjukkan prevalensi >1%. Dalam pengendalian filariasis,
sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat transmisi filariasisnya, kabupaten/kota
tersebut harus telah selesai melaksanakan POPM Filariasis pada seluruh penduduk
sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5 tahun dengan cakupan
pengobatan minimal 65% dari total

jumlah penduduk. Kemudian setelah 6 – 10 bulan dari pelaksanaan POPM Filariasis


tahun ke-5, maka dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika dalam
survei evaluasi prevalensi mikrofilaria menunjukkan hasil prevalensi mikrofilaria <1%
maka kabupaten/kota tersebut dinilai dapat menurunkan transmisi aktif filariasis ke
tingkatan aman dan memasuki tahap surveilans selanjutnya sebelum ditetapkan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 121


menjadi daerah eliminasi filariasis. Tetapi jika hasil survei menunjukkan hasil >1%
maka kabupaten/kota tersebut harus meneruskan POPM Filariasis kembali selama
2 tahun dengan minimal cakupan diatas 65%

b. Definisi operasional
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
adalah Jumlah kabupaten/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis
selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%.
.
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
diperoleh dari Jumlah kumulatif kabupaten/kota endemis yang telah melaksanakan
POPM filariasis selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria
<1%. Jumlah ini diperoleh dari data jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
telah selesai melaksanakan POPM Filariasis selama 5 tahun dengan target minimal
cakupan diatas 65% kemudian 6 – 10 bulan setelahnya dilaksanakan survei evaluasi
prevalensi mikrofilaria dengan metode pemeriksaan darah jari untuk menilai apakah
angka mikrofilaria (mf rate) sudah dapat diturunkan menjadi < 1%.

d. Capaian indikator
Pada tahun 2019 – 2022 target jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% dicapai sebesar 152%, 94%, 100%
dan 97%. Pada tahun 2023 capaian jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebanyak 208 kabupaten/kota
dari target 220 kabupaten/kota, atau dengan capaian sebesar 94,5%. Data capaian
jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1% tahun 2019 – 2023 terlihat dalam grafik dibawah ini.

Grafik 3.30
Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Berhasil Menurunkan
Mf Rate <1% Tahun 2019-2024

Sumber: Data Tim Kerja NTDs per 17 Januari 2024

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 122


Sampai dengan tahun 2023, sebanyak 208 kabupaten/kota dari 236 kabupaten/kota
endemis filariasis telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria Rate <1%.
Sepanjang tahun 2019-2023 terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota endemis
filariasis yang telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1% meskipun
belum mencapai target yang telah ditetapkan. Berdasarkan grafik di atas dapat
diproyeksikan pada tahun 2024 indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis
berhasil mencapai eliminasi belum dapat mencapai target yang sudah ditetapkan.

Program pengendalian filariasis melalui POPM filariasis selama minimal 5 tahun


dengan cakupan minimal 65% total penduduk membutuhkan komitmen yang besar
dari Pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan legal aspek, logistik dan
anggaran. Dampak dari pemberian obat adalah penurunan transmisi aktif filariasis
ke tingkatan aman, yaitu <1% angka mikrofilaria pada penduduk yang tinggal di
kabupaten/kota endemis filariasis. Data kabupaten/kota endemis filariasis telah
berhasil menurunkan angka mikrofilaria Rate <1% per provinsi dapat dilihat dalam
tabel berikut
Grafik 3.31
Kabupaten/kota Endemis Filariasis Berhasil
Menurunkan Angka Mikrofilaria Rate <1% Per-Provinsi
Tahun 2023

Sumber: Data Tim Kerja NTDs

Filariasis endemis di 236 kabupaten kota dari 32 provinsi di Indonesia. Terdapat 6


provinsi non endemis filariasis yaitu Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Dari data diatas terdapat 23
provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai telah berhasil menurunkan
angka mikrofilaria < 1% , Namun masih terdapat provinsi yang kabupaten/kotanya
belum dapat menurunkan angka mikrofilaria <1% yaitu Provinsi Aceh, Kalimantan
Tengah, Kepulauan Riau, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat,
Papua Barat Daya, Dan Papua Pegunungan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 123


e. Analisa penyebab kegagalan
Pada tahun 2023 indikator jumlah kabupaten/kota berhasil menurunkan angka
mikrofilaria <1% tidak memenuhi target. Hal ini diakibatkan oleh masih adanya
kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria (Pre
Transmission Assessment Survey/PreTAS) dengan hasil angka mikrofilaria >1%.
Hasil tersebut menunjukkan kabupaten/kota tersebut belum berhasil menurunkan
transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1%. Dengan demikian
kabupaten/kota tersebut harus melaksanakan POPM filariasis kembali selama dua
tahun. Pada tahun 2023 terdapat 2 kabupaten kota dengan hasil gagal survei
PreTAS.

Faktor kegagalan lainnya adalah kondisi keamanan yang tidak kondusif sehingga
menyebabkan survei PreTAS tidak dapat dilaksanakan di dua kabupaten yaitu
kabupaten Puncak dan Puncak Jaya. Selain itu, kegagalan pencapaian target
indikator disebabkan oleh daerah yang tidak lulus pada PreTAS tahun sebelumnya
sehingga mereka harus mengulang lagi POPM Filariasis dan masih belum memenuhi
kriteria untuk menjalankan Pre TAS pada tahun 2023.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Penguatan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
Dalam rangka penguatan program akselerasi eliminasi filariasis maka
dilaksanakan penyusunan rancangan pedoman POPM dengan regimen
Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA) dan DEC, Albendazole (DA).

2. Pelaksanaan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)


Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan POPM
filariasis sehingga dapat memutus rantai penularan adalah dengan menjadikan
bulan Oktober sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)”. Belkaga telah
dicanangkan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 1 Oktober 2015 di
Kabupaten Bogo, selanjutnya dilaksanakan setiap tahun pada kabupaten/kota
yang belum menyelesaikan POPM Filariasis selama 5 tahun. Dengan adanya
program Belkaga diharapkan seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga
daerah tergerak dengan serempak mendukung POPM Filariasis di wilayahnya,
seiring dengan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap
pentingnya program pengendalian filariasis di Indonesia.

3. Akselerasi Eliminasi Filariasis melalui pelaksanaan POPM Filariasis dengan


menggunakan Regimen 3 obat Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA)
Pada tahun 2018 WHO telah merekomendaskan penggunaan Regimen IDA
dalam POPM Filariasis sebagai pengembangan obat makrofilariacidal yang lebih
efektif, aman, dan dapat digunakan di lapangan. Dengan cakupan POPM yang
efektif (>65%) maka regimen IDA dapat mempersingkat waktu pelaksanaan
POPM menjadi kurang dari 5 tahun. Dalam rangka akselerasi eliminasi filariasis
maka pada tahun 2022 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/MENKES/1231/2022 tentang Pelaksanaan POPM Filariasis regimen
Ivermectin, Diethyl Carbamazine Citrate, dan Albendazole (IDA) di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Bintan, Pangkajene Kepulauan, Bovendigoel, Asmat,
Mimika, Sarmi, dan Belitung. Serta pada Tahun 2023, juga telah diterbitkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan terbaru untuk perluasan wilayah POPM IDA yaitu

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 124


Nomor HK.01.07/MENKES/1913/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) Filariasis Regimen Ivermectin, DEC dan
Albendazole di Kabupaten Aceh Jaya, Melawi, Teluk Wondama, Raja Ampat,
Kota Jayapura dan Kabupaten Belitung Timur.

4. Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi Pemberian Obat Pencegahan Massal


(POPM) Filariasis secara Intensif
Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif
dilaksanakan kepada Lintas Sektor dan Lintas Program terkait serta seluruh
lapisan masyarakat untuk meningkatkan cakupan dalam minum obat
pencegahan filariasis. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Belitung Timur
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Melawi
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Aceh Jaya
- Pertemuan koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis dalam rangka
peningkatan cakupan di Kabupaten Manokwari
- Pendampingan dan Pembekalan Teknis POPM di Kabupaten Sorong
- Sosialisasi dan Pembekalan Teknis POPM IDA di Kabupaten Raja Ampat

5. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pelaksanaan POPM Filariasis.


Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada
tahap persiapan, pelaksanaan POPM filariasis hingga pasca pelaksanaan
POPM Filariasis serta mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam
pengendalian filariasis. selain itu juga dilaksanakan pertemuan-pertemuan
dalam mendukung POPM Filariasis. Kegiatan ini dilaksanakan melalui :
- Pertemuan evaluasi BTKL terkait program filariasis
- Koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program penanggulangan filariasis
- Rapat koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program penanggulangan
filariasis
- Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli Pengobatan
Filariasis (KAPFI)
- Pencegahan dini/ penanggulangan kejadian ikutan minum obat POPM Filariasis
dan Kecacingan terpadu
- Surveilans kasus klinis/kronis filariasis
- Pendampingan pelaksanaan/sweeping cakupan POPM filariasis

6. Pelaksanaan Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria


POPM filariasis dilaksanakan selama 5 tahun pada kabupaten/kota endemis
filariasis. Setelah 6 Bulan POPM terakhir, kabupaten/kota tersebut dievaluasi
melalui survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika hasil survei menunjukkan
angka mikrofilaria Rate <1% maka daerah tersebut dinilai telah berhasil
menurunkan transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1% angka
mikrofilaria pada penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis.
Tetapi jika gagal maka kabupaten/tersebut harus melaksanakan POPM filariasis
kembali selama 2 tahun,

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 125


7. Distribusi obat dan logistik ke daerah
Dalam rangka mendukung kegiatan POPM filariasis di kabupaten/kota maka
obat dan logistik kit POPM Filariasis didistribusikan ke daerah sesuai
perencanaan obat dan logistik yang telah disusun sebelumnya.

8. Pengadaan bahan-bahan Survei Filariasis


Dalam rangka mendukung pelaksanaan Survei Evaluasi PreTAS, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet, kit surveyor,
dan Tabung Microtainer EDTA 0,5 ml.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Adanya efisiensi anggaran dekonsentrasi sehingga kegiatan bimbingan teknis
ataupun pemantauan dan pendampingan POPM oleh petugas provinsi ke
kabupaten/kota pelaksana POPM menjadi terbatas atau tidak maksimal
pelaksanaannya.
2. Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau. Kegiatan
POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di
kabupaten/kota endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan
daerah terpencil dan kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan
POPM Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama
di desa-desa terpencil.
3. Adanya dugaan Kejadian Ikutan Pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat
menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis
4. Masih terdapat kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi
Mikrofilaria sehingga harus mengulang POPM Filariasis selama 2 tahun.
5. Kondisi keamanan yang rawan konflik dan kurang kondusif di beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Papua menyebabkan survei evaluasi PreTAS tidak
dapat dilaksanakan
6. Kondisi keamanan menyebabkan cakupan POPM Filariasis di wilayah Papua
rendah, sehingga pelaksanaan survei evaluasi filariasis yang merupakan
tahapan selanjutnya tidak dapat dilaksanakan

h. Pemecahan Masalah
1) Mendorong provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan bimtek atau
pendampingan POPM Filariasis dengan program lainnya dan mengatur skala
prioritas lokus yang perlu didampingi khusus dengan mencari alternatif sumber
dana lain baik APBD maupun BOK Provinsi
2) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
Mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau
daerah-daerah sulit dan terpencil.
3) Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM
Filariasis

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 126


4) Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survei
PreTAS agar dapat meningkatkan cakupan minum obat dan memastikan obat
diminum di depan petugas agar berhasil memutus rantai penularan filariasis
5) Penundaan survei PreTAS terhadap kabupaten/kota yang rawan konflik sampai
situasi menjadi lebih kondusif untuk dilaksanakan survei PreTAS
6) Menjamin keamanan pelaksanaan POPM dan surveilans filariasis dengan
melibatkan seluruh Lintas Sektor terutama dengan TNI/POLRI

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Pada tahun 2023 jumlah pagu anggaran APBN untuk mencapai target indikator
jumlah kabupaten/kota berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebesar
Rp. 8.911.384.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp.
8.173.029.574,- atau sebesar 94,5%. Sedangkan Capaian keluaran adalah sebesar
100%.

Berdasarkan PMK No. 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, efisiensi dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari
selisih antara perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran dan
realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari perkalian pagu anggaran
keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah sebagai
berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

((8.911.384.000 X 100%) – 8.173.029.574)


E= -------------------------------------------------------------------- X 100%
(8.911.384.000 X 100%)

E = 8,3 %

Dalam rangka menurunkan angka mikrofilaria < 1%, pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 8,3%. Anggaran yang ada telah dioptimalkan untuk
pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas program, lintas
sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis serta
pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya
kit POPM IDA telah didistribusikan ke daerah untuk mendukung pelaksanaan POPM
filariasis.

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi


a. Penjelasan Indikator
Filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia karena berjangkit di sebagian besar wilayah Indonesia

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 127


dan dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup. Sebagai bagian dari
masyarakat dunia, Indonesia turut berkomitmen dalam melaksanakan eliminasi
filariasis sesuai ketetapan WHO tentang Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis
Tahun 2030 dengan target utama yaitu untuk mengeliminasi filariasis sebagai
masalah kesehatan masyarakat tahun 2030. Ketentuan terbaru eliminasi
filariasis ini tertuang dalam roadmap Global NTDs 2021-2030.

Salah satu upaya penanggulangan untuk mencapai eliminasi filariasis yaitu


dengan POPM Filariasis bagi penduduk yang tinggal di wilayah endemis. Tujuan
POPM ini yaitu menurunkan serendah-rendahnya angka positif pada manusia
serta mencegah terjadi penularan melalui gigitan nyamuk sehingga diharapkan
dapat memutus rantai penularan filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan
endemisitas filariasis di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis. Kabupaten/kota
endemis wajib melaksanakan upaya eliminasi filariasis dengan berpedoman
pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis.

Dalam tahapan eliminasi filariasis, suatu kabupaten/kota hanya dapat dinilai


tingkat transmisi filariasisnya bila kabupaten/kota tersebut telah selesai
melaksanakan POPM Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di
kabupaten/kota tersebut selama minimal 5 tahun dengan cakupan pengobatan
diatas 65% dari total jumlah penduduk. Selanjutnya, dalam Jangka waktu
minimal 6-10 bulan setelah pelaksanaan POPM Filariasis tahun terakhir, wajib
dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria untuk mengetahui angka
prevalensi mikrofilaria sudah mencapai <1% atau tidak.

Semua kabupaten/kota endemis filariasis harus menyelesaikan POPM selama


lima tahun dengan minimal cakupan 65% dan dilanjutkan dengan survei evaluasi
prevalensi mikrofilaria dengan hasil mikrofilaria rate kurang dari 1%, maka baru
selanjutnya dapat dilaksanakan survei evaluasi penularan (Transmission
Assessment Survey/TAS) filariasis dalam rangka penilaian eliminasi. Jika hasil
TAS dinyatakan gagal maka kabupaten/kota tersebut harus mengulang kembali
POPM filariasis selama 2 tahun. Sebaliknya, jika kabupaten/kota tersebut
berhasil lulus dalam survei evaluasi penilaian filariasis dua tahap, maka
kabupaten/kota tersebut dinilai berhasil mencapai eliminasi filariasis.

b. Definisi operasional
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi
adalah Jumlah kabupaten/kota endemis yang telah lulus survei evaluasi
penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) tahap kedua

c. Rumus/cara perhitungan
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi
dihitung dari Jumlah kumulatif kabupaten/kota endemis yang telah lulus survei
evaluasi penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) tahap kedua.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 128


d. Capaian indikator
Berdasarkan hasil pemetaan endemisitas filariasis di Indonesia, sebanyak 236
kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota ditetapkan sebagai daerah
endemis filariasis. Kabupaten/kota endemis wajib melaksanakan upaya
eliminasi Filariasis dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Capaian Indikator

Grafik 3.32 Capaian Indikator Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis


berhasil Mencapai Eliminasi Filariasis
Tahun 2019-2024

Sumber: Data Tim Kerja NTDs per 17 Januari 2024

Dalam kurun waktu 5 tahun pada rentang Tahun 2019-2023 terlihat bahwa
capaian indikator eliminasi filariasis cukup fluktuatif. Tahun 2019 dapat
mencapai hasil tertinggi sebesar 160%. Tetapi, pada tahun berikutnya terjadi
penurunan capaian yaitu menjadi 80% dan 77% pada tahun 2020-2021. Hal ini
terjadi akibat dampak pandemi covid-19, dimana tidak memungkinkan
dilaksanakannya survei evaluasi penilaian penularan di kabupaten/kota
endemis. Pada tahun 2022 situasi pandemi covid-19 sudah mulai terkendali
sehingga capaian indikator kembali meningkat hingga 97% dari target. Namun,
hingga akhir tahun 2023 masih belum dapat mencapai hasil yang maksimal
seiring meningkatnya target yang ditetapkan. Sampai dengan tahun 2023,
sebanyak 108 kabupaten/kota dari target 150 kabupaten/kota endemis telah
berhasil mencapai eliminasi filariasis atau dengan pencapaian sebesar 72%.
Berdasarkan grafik tersebut maka dapat diproyeksikan pada tahun 2024, target
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil mencapai eliminasi belum dapat
tercapai.

Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi filariasis


menunjukkan bahwa upaya penanggulangan filariasis telah dilaksanakan
dengan baik sesuai tahapannya baik di tingkat pusat hingga daerah mulai
melalui POPM Filariasis selama minimal 5 tahun dengan cakupan minimal 65%
total penduduk hingga pelaksanaan kegiatan surveilans. Data kabupaten/kota
endemis filariasis yang telah berhasil mencapai eliminasi filariasis per provinsi
dapat dilihat dalam grafik berikut ini :

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 129


Grafik 3.33 Capaian Indikator Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Yang
Mencapai Eliminasi Per Provinsi Tahun 2023

Sumber: Data Tim Kerja NTDs per 17 Januari 2024

Dari data diatas terdapat provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai
telah mencapai eliminasi filariasis yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau,
Bengkulu, Lampung, dan Banten. Sedangkan provinsi yang capaian
eliminasinya masih 0% dikarenakan kabupaten/kota endemis masih
melaksanakan POPM atau masuk dalam tahap surveilans pasca POPM adalah
Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Maluku, dan wilayah Papua Tengah,
Papua Pegunungan, Papua Barat dan Papua Barat Daya.

Secara global, terdapat 72 negara endemis filariasis di dunia. Berdasarkan


laporan WHO hingga tahun 2023, terdapat 17 negara endemis filariasis yang
berhasil mencapai eliminasi, 11 negara memasuki tahap surveilans pasca
POPM Filariasis, 35 negara tahap POPM Filariasis dengan cakupan geografis
100%, 7 negara tahap POPM Filariasis dengan cakupan geografis <100%, dan
2 negara belum melaksanakan POPM Filariasis. Indonesia adalah salah satu
negara endemis filariasis yang saat ini masih memasuki tahap POPM Filariasis
dengan cakupan geografis sebesar 100% yang artinya seluruh kabupaten/kota
endemis filariasis telah memulai tahapan POPM Filariasis. Pada tahun 2023,
sebanyak 21 kabupaten/kota masih melaksanakan POPM Filariasis, dimana
sebagian besar masih belum mencapai target cakupan terutama di wilayah
Indonesia Timur termasuk tambahan 2 putaran bagi kabupaten/kota yang gagal
evaluasi.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Indonesia telah menetapkan sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota adalah daerah endemis filariasis. Seluruh kabupaten/kota

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 130


endemis filariasis masing-masing memiliki data penanggulangan filariasis
termasuk tahapan dan proses eliminasi Filariasis mulai dari POPM filariasis
seluas kabupaten/kota, riwayat cakupan POPM, serta hasil tahapan survei
evaluasi filariasis (3 tahap). Berdasarkan data-data tersebut maka dapat
ditentukan jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang telah berhasil
mencapai eliminasi filariasis pertahunnya. Tertundanya salah satu tahapan
survei evaluasi kabupaten/kota akan berdampak pada tertundanya tahapan
eliminasi filariasis tahun-tahun berikutnya.

Pelaksanaan survei Evaluasi Penilaian Penularan (Transmission Assessment


Survey/TAS) tahap 2 pada seluruh kabupaten/kota endemis filariasis dengan
spesies Brugia Sp mengalami penundaan berdasarkan rekomendasi dari
Regional Programme Review Group (RPRG) pada Juni 2021. Indonesia harus
menunda sementara semua survei TAS sampai hasil evaluasi independen
Brugia Rapid Test tersedia. Kemudian pada Pertemuan RPRG tahun 2022 di
India, dikeluarkan rekomendasi agar survei evaluasi penularan (Transmission
Assessment Survey/TAS) pada daerah Brugia Sp dapat menggunakan Survei
TAS alternatif yang disebut Brugia Impact Survey (BIS). Survei BIS
membutuhkan sumber daya dan anggaran yang lebih besar. Selain itu,
diperlukan waktu untuk penyesuaian dan kesiapan dalam mengimplementasikan
metode survei survei alternatif yang baru tersebut seperti pelatihan petugas dan
supervisor baik tingkat pusat maupun daerah serta perlu meninjau fisibilitas
implementasinya dengan kondisi geografis di Indonesia yang sangat bervariasi
sehingga jumlah lokus yang dapat penilaian eliminasi menjadi terbatas dan
berdampak pada rendahnya capaian eliminasi.

Hal lainnya yang juga dapat berdampak pada rendahnya capaian eliminasi
filariasis yaitu adanya kabupaten/kota yang gagal saat evaluasi penilaian
penularan. Kegagalan ini menyebabkan mundurnya tahapan eliminasi pada
suatu kabupaten/kota, dimana hasil ini menunjukkan bahwa meskipun
kabupaten/kota tersebut sudah selesai POPM dengan laporan cakupan diatas
target, ternyata masih ditemukan adanya penularan filariasis aktif di masyarakat.
Kemungkinan besar karena data yang dilaporkan adalah cakupan pemberian
obat bukan cakupan pasti minum obat. Oleh karena itu, kualitas pelaksanaan
POPM harus lebih ditingkatkan yaitu dengan lebih memastikan masyarakat
minum obat di depan petugas sehingga dapat menurunkan potensi penularan
filariasis pada masyarakat yang tinggal di kabupaten/kota endemis.
Ketersediaan dan kualitas sumber daya yang memadai menjadi yang utama
sangat diperlukan untuk meningkatkan pelaksanaan penanggulangan filariasis
di daerah.

f. Upaya yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Target Indikator


1. Penguatan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
- Pembaharuan dan penyempurnaan SOP Survei TAS Alternatif dengan
metode Brugia Impact Survey (BIS)
2. Pelaksanaan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)
Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan POPM
Filariasis sehingga dapat memutus rantai penularan adalah dengan menjadikan
bulan Oktober sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 131


3. Akselerasi Eliminasi Filariasis melalui Pelaksanaan POPM Filariasis dengan
menggunakan Regimen 3 obat Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA)
Pada tahun 2018 WHO telah merekomendasikan penggunaan Regimen IDA
dalam POPM Filariasis sebagai pengembangan obat macrofilaricidal yang lebih
efektif, aman, dan dapat digunakan di lapangan. Dengan cakupan POPM yang
efektif (>65%) maka regimen IDA dapat mempersingkat waktu pelaksanaan
POPM menjadi kurang dari 5 tahun. Dalam rangka akselerasi eliminasi filariasis
maka pada tahun 2022 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/MENKES/1231/2022 tentang Pelaksanaan POPM filariasis regimen
Ivermectin, Diethylcarbamazine Citrate, dan Albendazole (IDA) di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Bintan, Pangkajene Kepulauan, Boven Digoel, Asmat,
Mimika, Sarmi, dan Belitung, sedangkan pada Tahun 2023, adanya Surat
Keputusan Menteri Kesehatan terbaru untuk perluasan wilayah POPM IDA yaitu
Nomor HK.01.07/MENKES/1913/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) Filariasis Regimen Ivermectin, DEC dan
Albendazole di Kabupaten Aceh Jaya, Melawi, Teluk Wondama, Raja Ampat,
Kota Jayapura dan Kabupaten Belitung Timur. Diharapkan dengan adanya
strategi baru ini semakin mempercepat pemutusan rantai penularan filariasis
terutama pada daerah dengan prevalensi yang cukup tinggi.
4. Advokasi, Sosialisasi, pembekalan teknis serta pendampingan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara Intensif
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Belitung Timur
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Melawi
- Pertemuan sosialisasi, koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis
regimen IDA di Kabupaten Aceh Jaya
- Pertemuan koordinasi dan pembekalan teknis POPM Filariasis dalam rangka
peningkatan cakupan di Kabupaten Manokwari
- Pendampingan dan Pembekalan teknis POPM di Kabupaten Sorong
- Sosialisasi dan Pembekalan teknis POPM IDA di Kabupaten Raja Ampat
5. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pelaksanaan POPM Filariasis.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada
tahap persiapan dan pemberian obat pencegahan massal filariasis serta
mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam pengendalian filariasis. selain itu
juga dilaksanakan pertemuan-pertemuan dalam mendukung POPM Filariasis.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui :
- Pertemuan Evaluasi dan Perencanaan Program Filariasis bersama B/BTKL
- Pertemuan Evaluasi Program Filariasis Regional Papua Barat dan Papua
Barat Daya
- Rapat koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program penanggulangan
filariasis
- Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli Pengobatan
Filariasis (KAPFI)
- Pencegahan dini/ penanggulangan kejadian ikutan minum obat POPM
Filariasis dan Kecacingan terpadu
- Surveilans kasus klinis/kronis filariasis
- Pendampingan pelaksanaan/sweeping cakupan POPM filariasis

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 132


6. Surveilans Pasca POPM Filariasis
Surveilans merupakan tahap yang paling penting dalam melaksanakan eliminasi
filariasis. Setelah POPM Filariasis dilaksanakan selama 5 tahun pada
kabupaten/kota endemis filariasis, selanjutnya kabupaten/kota tersebut
dievaluasi melalui survei evaluasi prevalensi mikrofilaria untuk melihat apakah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate
<1%. Jika lulus maka dilaksanakan survei evaluasi penularan filariasis untuk
melihat apakah masih terjadi penularan pada daerah tersebut atau masih harus
melanjutkan kegiatan POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah
eliminasi filariasis. Kegiatan dilaksanakan antara lain di Kabupaten Aceh
Tamiang, Aceh Selatan, Pati, Wonosobo, dan Semarang sertaBaubau
7. Surveilans Pasca Eliminasi Filariasis
Kegiatan ini bertujuan untuk memonitoring kabupaten/kota yang sudah
mendapatkan sertifikat eliminasi filariasis apakah terdapat risiko penularan
filariasis kembali. Kegiatan dilaksanakan dengan survei darah jari serta
melakukan pengobatan pada kasus positif mikrofilaria.
8. Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan pada pelaksanaan surveilans
melalui Pelatihan Survei Penilaian penularan (TAS) serta pelatihan petugas
untuk pemeriksaan mikroskopis filariasis.
9. Distribusi obat dan logistik ke daerah
Dalam rangka mendukung kegiatan POPM filariasis di kabupaten/kota maka
obat dan logistik kit POPM IDA didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan
obat dan logistik yang telah disusun sebelumnya
10. Pengadaan bahan-bahan Survei Filariasis
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Survei Evaluasi, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet, FTS, kit
surveyor, Kit Tatalaksana kasus, Kit POPM IDA, Bahan kontak surveilans
Filariasis, serta register POPM IDA.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1) Adanya efisiensi anggaran dekonsentrasi sehingga kegiatan bimbingan teknis
ataupun pemantauan dan pendampingan POPM oleh petugas provinsi ke
kabupaten/kota pelaksana POPM menjadi terbatas atau tidak maksimal
pelaksanaannya.
2) Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau. Kegiatan
POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di
kabupaten/kota endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan
daerah terpencil dan kepulauan yang aksesnya sulit, sehingga pelaksanaan
POPM Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama
di desa-desa terpencil.
3) Kondisi keamanan menyebabkan cakupan POPM Filariasis di wilayah Papua
rendah, sehingga pelaksanaan survei evaluasi Filariasis yang merupakan
tahapan selanjutnya tidak dapat dilaksanakan
4) Adanya dugaan Kejadian Ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat
menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis
5) Masih terdapat kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi
mikrofilaria sehingga menyebabkan tahapan kabupaten/kota untuk eliminasi
filariasis tertunda

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 133


6) Rekomendasi agar survei evaluasi penularan (Transmission Assessment
Survey/TAS) pada daerah Brugia Sp menggunakan Survei TAS alternatif yang
disebut Brugia Impact Survey (BIS) yang membutuhkan anggaran dan sumber
daya yang lebih besar serta perlu waktu untuk kesiapan dan penyesuaian dalam
implementasi metode survei yang baru.

h. Pemecahan Masalah
1) Mendorong provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan bimtek atau
pendampingan POPM Filariasis dengan program lainnya dan mengatur skala
prioritas lokus yang perlu didampingi khusus dengan mencari alternatif sumber
dana lain baik APBD maupun BOK Provinsi.
2) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
Mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau
daerah-daerah sulit dan terpencil.
3) Menjamin keamanan pelaksanaan POPM dan surveilans filariasis dengan
melibatkan seluruh Lintas Sektor terutama dengan TNI/POLRI
4) Konsolidasi dan penguatan jejaring Komite Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM
Filariasis
5) Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survei
evaluasi prevalensi mikrofilaria agar dapat meningkatkan cakupan minum obat
dan memastikan obat diminum di depan petugas agar berhasil memutus rantai
penularan filariasis
6) Optimalisasi anggaran dan sumber daya yang ada untuk pelaksanaan Survei
BIS termasuk pelaksanaan peningkatan kapasitas bagi petugas untuk
pelaksanaan survei metode alternatif yang baru.

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya


Pada tahun 2023 jumlah pagu anggaran DIPA APBN pusat untuk mencapai target
indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil mencapai eliminasi
adalah sebesar Rp.12.526.691.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar
Rp. 11.711.963.514,- atau sebesar 93,49%. Sedangkan Capaian keluaran adalah
sebesar 100%.

Berdasarkan PMK No. 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja


Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, efisiensi dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari
selisih antara perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran dan
realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari perkalian pagu anggaran
keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah sebagai
berikut:

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 134


RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

((12.526.691.000 X 100%) – 11.711.963.514)


E= -------------------------------------------------------------------- X 100%
(12.526.691.000 X 100%)

E = 6,5 %

Dalam rangka pelaksanaan program eliminasi filariasis, maka pemerintah telah


berhasil melaksanakan efisiensi dan optimalisasi sebesar 6,5%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada
lintas program, lintas sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
POPM filariasis serta pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria juga
penyediaan sarana prasarana bahan pengendalian filariasis.

15. Persentase Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK Yang Telah Tuntas


Ditindaklanjuti Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular

a. Penjelasan Indikator
Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara merupakan salah satu
unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai
manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai
masyarakat yang adil, makmur dan Sejahtera. Badan yang ditunjuk untuk
melaksanakan salah satu fungsi memeriksa pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Seluruh pemeriksaan dan hasil pemeriksaan yang dihasilkan oleh BPK
telah didasari dengan aturan hukum yaitu Undang-undang. Laporan hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPK diserahkan kepada para stakeholder sesuai
dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan ini kemudian ditindaklanjuti oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh BPK.

Tindak lanjut hasil pemeriksaan adalah kegiatan dan/atau keputusan yang


dilakukan oleh pimpinan entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang
kompeten untuk melaksanakan rekomendasi hasil pemeriksaan. Tindak lanjut
hasil pemeriksaan BPK wajib dilakukan oleh pimpinan entitas yang diperiksa.
Berkaitan dengan pentingnya pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK,
Kementerian Kesehatan melalui Sekretaris Jenderal menetapkan bahwa tindak
lanjut penyelesaian LHP menjadi salah satu komponen dalam Indikator Kinerja
Kegiatan seluruh unit kerja dan unit utama di lingkungan Kementerian
Kesehatan.

b. Definisi Operasional
Rekomendasi hasil pemeriksaan BPK yang telah tuntas ditindaklanjuti adalah
rekomendasi hasil pemeriksaan BPK yang telah tercatat dalam Hasil
Pemeriksaan Semester BPK (HAPSEM BPK), dan/atau rekomendasi
pemeriksaan BPK berdasarkan hasil verifikasi Inspektorat Jenderal yang telah
dinyatakan lengkap.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 135


c. Rumus/Cara Perhitungan
Jumlah kumulatif Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK yang telah tuntas
ditindaklanjuti dibagi dengan Jumlah Kumulatif Rekomendasi Hasil Pemeriksaan
dikali 100 %

d. Capaian Indikator
Hasil capaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI di Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular sampai dengan 31 Desember 2024 dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.7 Hasil capaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI di


Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Saldo Awal berdasarkan seluruh saldo
Progres Tindak Lanjut
Unit BPK RI
Kerja LH Temua Sara Nilai Awal Temua Sara Setoran
LHP
P n n (Rp) n n Diterima (Rp)
Direktorat 2.520.580.80
26 59 112 23 53 106 900.570.800
P2PM 0

Berdasarkan tabel tersebut maka saldo akhir atas tindak lanjut hasil
pemeriksaan BPK RI sebagai berikut:

Tabel 3.8 Saldo akhir atas tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI
Saldo Akhir
Tindak Lanjut LHP BPK RI
Progres
Unit Kerja Temua Usulan TPTD Nilai Akhir
LHP Saran (%)
n (Rp) (Rp)
Direktorat P2PM 3 6 6 1.620.010.000 - 94.64

Tahun 2023, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular telah


menindaklanjuti beberapa temuan atas Laporan Hasil Pemeriksaan BPK di
antaranya :
1. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun
2018 pada Direktorat P2PTVZ dan Direktorat P2PML pada temuan nomor 2
yaitu “Kementerian Kesehatan Belum Optimal Dalam Melaksanakan
Program Teknis Untuk Menjamin Ketersediaan SPA yang Aman dan
Bermutu”.
BPK RI merekomendasikan Menteri Kesehatan agar memerintahkan: 1.
Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Direktur Jenderal
Kesehatan Masyarakat serta Inspektur Jenderal untuk menetapkan
pedoman yang komprehensif dari perencanaan hingga monitoring terhadap
alokasi alat yang akan diserahkan ke pemerintah daerah dan menetapkan
mekanisme pemantauan hasil feedback atau action plan yang dibuat oleh
kabupaten/daerah yang menerima distribusi alat kesehatan untuk
mengatasi feedback dari laporan monitoring dan evaluasi tersebut. Atas
rekomendasi tersebut, Direktorat P2PM telah menyusun SOP terkait

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 136


pemantauan feedback atau action plan yang dibuat oleh kabupaten/daerah
yang menerima distribusi alat Kesehatan.

2. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2021 pada temuan nomor 1 yaitu “Upaya Pemerintah dalam Menyelaraskan
Peraturan dan Kebijakan Sistem Kesehatan serta Manajemen Risiko
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Sesuai dengan Pengalaman dan
Pembelajaran Sebelumnya”.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan selaku Ketua Pengurus Harian
Kelompok Kerja Ketahanan Kesehatan Nasional untuk berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga/instansi/ pemerintah daerah sebagaimana
tercantum dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2019 dan Kepmenkes Nomor
HK.01.07/MENKES/6634/2021 Tahun 2021 untuk menyelaraskan kebijakan
SKN dan manajemen risiko kedaruratan kesehatan masyarakat secara
harmonis, sederhana, dan lengkap dengan: 5. Menyusun peraturan
pelaksanaan Permenkes Nomor 82 Tahun 2014.
Sebagai upaya tindak lanjut, Direktorat P2PM telah menyerahkan beberapa
peraturan sebagai turunan atas Permenkes Nomor 82 Tahun 2014 dan telah
menyelesaikan proses penyusunan RPMK Zoonosis sesuai dengan saran
atas kekurangan dokumen pada temuan tersebut.

3. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2022 pada temuan nomor 25 yaitu “Pengelolaan Persediaan pada 22 Satker
Belum Memadai, di mana BPK merekomendasikan Menteri Kesehatan
melalui Eselon I terkait agar menginstruksikan Kepala Puskriskes, Direktur
Utama RSUPNCM, Direktur Utama RSHAM, Direktur RSHS, Direktur
Utama RSUP Sanglah, Direktur Utama RSUP Sardjito, Direktur P2PTVZ,
Direktur Surkarkes, Direktur P2PML, Kepala BBTKLPP Jakarta, Kepala
BTKLPP Yogyakarta, Kepala BTKLPP Kelas I Medan, Kepala BTKLPP
Kelas I Makassar, Kepala KKP Kelas I Makassar, Kepala KKP Kelas I
Denpasar, Kepala KKP Kelas III Bitung, Direktur Pengelolaan dan
Pelayanan Kefarmasian, Sekretaris Badan PPSDM, Direktur Poltekkes
Kemenkes Jakarta I, Direktur Poltekkes Kemenkes Bandung, Direktur
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Direktur Poltekkes Kemenkes Banten
untuk: b. Memerintahkan pegawai yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan persediaan di satuan kerjanya supaya lebih cermat
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengelolaan
persediaan di satuan kerjanya.
Direktorat P2PM melalui Direktur P2PM telah memerintahkan kepada
pengelola persediaan untuk lebih cermat sesuai dengan rekomendasi BPK
dan telah menyerahkan dokumen Laporan Keuangan Tahun 2023 Ditjen
P2P sebagai perbaikan atas pengelolaan persediaan pada tahun
sebelumnya.

4. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2022 pada temuan nomor 26 yaitu: “Persediaan untuk Diserahkan kepada
Masyarakat Pada Tiga Unit Eselon I Sebesar Rp7.838.832.266.962,00
Tidak Dikuasai dan Belum Selesai Proses Hibahnya”.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 137


BPK merekomendasikan Menteri Kesehatan melalui Eselon I terkait agar
menginstrusikan Direktur Kesehatan Lingkungan, Direktur Kesehatan Kerja
dan Olahraga, Direktur Gizi Masyarakat, Direktur Kesehatan Keluarga,
Direktur Fasyankes, Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan,
Direktur Pelayanan Kesehatan Primer, Direktur Pelayanan Kesehatan
Rujukan, Direktur P2PTVZ, Direktur Surkarkes dan Direktur P2PML selaku
KPB untuk lebih optimal dalam melakukan pengawasan dan pengendalian
atas proses penyelesaian Hibah Persediaan yang diserahkan kepada
masyarakat di satuan kerjanya.
Direktorat P2PML dan Direktur P2PTVZ tahun anggaran 2021 telah
menerima perintah agar lebih optimal dalam pengawasan dan pengendalian
penyelesaian hibah persediaan. Pada akhir tahun 2023, Direktorat P2PM
telah melaporkan progress penyelesaian hibah persediaan.

5. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2023 pada temuan nomor 2 terkait temuan “Pengendalian atas Belanja
Barang pada Lima Satker Belum Memadai”. BPK merekomendasikan agar
Menteri Kesehatan memerintahkan: d. Dirjen Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit supaya menginstruksikan Sesditjen P2P Selaku KPA
untuk: Memedomani ketentuan yang berlaku dalam menyusun dan
merealisasikan anggaran Belanja Barang.
Atas rekomendasi tersebut telah disampaikan Surat Sekretaris Ditjen P2P
selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk memedomani ketentuan yang
berlaku dalam menyusun dan merealisasikan anggaran Belanja Barang.
Dalam temuan tersebut terdapat beberapa barang-barang yang merupakan
pengadaan Direktorat P2PM, sehingga KPA memerintahkan kepada PPK
Pengadaan Barang/Jasa untuk Direktorat P2PM untuk lebih cermat serta
mempedomani akun belanja barang sesuai dengan peruntukannya.
Progres tindak lanjut yang telah dilaksanakan P2PM sampai dengan
Desember 2023 yaitu Direktur telah menginstruksikan kepada seluruh tim
kerja terutama kepada tim kerja terkait temuan (Tim Kerja HIV PIMS, Tim
Kerja Hepatitis PISP, Tim Kerja NTD dan Tim Kerja Tuberkulosis) untuk
mempedomani bagan akun standar belanja barang sesuai dengan
peruntukan/pemanfaatannya.
Berdasarkan Nota Dinas Ketua Tim Kerja Hepatitis PISP Nomor
KN.01.05/C.III.4/11442/2023 tanggal 16 November 2023 menyampaikan
bahwa telah terjadi kelalaian dalam penggunaan akun anggaran. Terhadap
kelalaian tersebut tim kerja hepatitis PISP akan memperbaiki pada
penggunaan akun anggaran Tahun 2024 sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Berdasarkan Nota Dinas Ketua Tim Kerja NTDs Nomor
PM.03.03/C.III.5/1931/2023 menyampaikann bahwa terhadap pengadaan
RDT Frambusia dan Katokatz pengadaan tahun 2024 telah menggunakan
akun belanja sesuai ketentuan yang berlaku. Tim perencana sudah
berkoordinasi dengan tim pengadaan barang/jasa serta tim BMN untuk
penentuan akun belanja barang sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan
data dukung tersebut, BPK telah menerima tindak lanjut Direktorat P2PM.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 138


6. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun
2023 pada temuan nomor 29 terhadap temuan : “Penatausahaan Aset
Tetap pada Empat Satker Belum Memadai”
BPK merekomendasikan agar Menteri Kesehatan memerintahkan: d. Dirjen
P2P supaya menginstruksikan Direktur P2PM agar segera menyelesaikan
proses hibah ATR.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, Direktur P2PM telah menginstruksikan
Ketua Tim Kerja Tuberkulosis sesuai dengan nota dinas nomor
PS.02.03/C.III/11826/2023 tanggal 24 November 2023 untuk
menindaklanjuti penyelesaian hibah ATR dengan berkoordinasi Bersama
tim BMN subbagian administrasi umum. Selanjutnya Ketua Tim Kerja
Tuberkulosis menjawab atas instruksi tersebut dengan melaporkan
progress hibah asset tetap renovasi yang telah ditindaklanjuti bersama
dengan tim BMN sebagai berikut:

Tabel 3.9 Hibah Aset Tetap Renovasi yang telah Selesai

No Merk/Type Jumlah Tidak Lanjut


RSM PKU Muhammadiyah Sudah Selesai SK Hibah
1 184.489.000
Roemani Semarang September 2023
Sudah Selesai BAST September
2 RSUP Sanglah 2.105.086.140
2023
RSM PKU Muhammadiyah Sudah Selesai SK Hibah Oktober
3 159.975.000
Gamping 2023
4 RSUD Arifin Achmad 348.930.000 Koreksi BPK 2022 SK Hibah

Jumlah 2.798.480.140

Tabel 3.10 Aset Tetap Renovasi Dalam Proses Penyelesaian Hibah

No Merk/Type Jumlah Tidak Lanjut


Usulan penghapusan sebab sebab
lain dikarenakan bangunan sudah
di robohkan pada tahun 2017,
Renovasi RSUD Depati
1 193.210.000 kemudian di bangun kembali,
Hamzah
kemudian di robohkan kembali di
tahun 2020, dan dibangun kembali
di tempat berbeda
Renovasi Lab Pend Mikro Proses penandatanganan NH dan
2 194.737.100
UI BAST
Proses penandatanganan NH dan
3 UI 2.426.636.320
BAST
Renovasi Lab TB UPTD Proses penandatanganan NH dan
4 2.343.535.200
Kesda Kalimantan Timur BAST
Usulan penghapusan sebab-sebab
Renovasi RSUD Undata lain dikarenakan gedung hancur
5 270.913.517
Palu oleh sebab gempa bumi, likuifaksi
dan tsunami Tahun 2018
Renovasi BLK Prov Dalam proses koordinasi dengan
6 2.105.086.140
JABAR pejabat pada tahun tersebut
Jumlah 7.534.118.277

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 139


Berdasarkan Updating data proses hibah asset tetap renovasi yang
disampaikan tersebut BPK menyarankan untuk segera menyelesaikan
proses hibah sampai dengan selesai dan dapat dilaporkan Kembali
progresnya pada PTL 1 tahun 2024.

7. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2023 pada temuan nomor 17 terkait temuan “Pengelolaan Kas Lainnya dan
Setara Kas pada Lima Satker Tidak Tertib”. BPK merekomendasikan agar
Menteri Kesehatan memerintahkan: b. Dirjen P2P supaya
menginstruksikan Setditjen P2P untuk: 2) Memerintahkan: a) BPP
Hibah Direktorat P2PM dan Pengelola Hibah supaya lebih cermat dalam
mengelola rekening dan pembayaran belanja hibah;
Atas rekomendasi tersebut bahwa Sekretaris Ditjen P2P telah
memerintahkan BPP Hibah Direktorat P2PM dan pengelola hibah supaya
lebih cermat dalam mengelola rekening dan pembayaran belanja hibah.
Berdasarkan surat Direktur Pengelolaan Kas Negara ke Setditjen P2P
bahwa Konfirmasi atas Persetujuan Pembukaan Rekening untuk LSM dan
Organisasi Profesi (ADINKES), point 2. rekening penerima hibah tersebut
tidak memerlukan izin pembukaan rekening yang diterbitkan oleh Kuasa
BUN di daerah karena diluar cakupan PMK 182/PMK.05/2017. Berdasarkan
dokumen pendukung tersebut, BPK menyimpulkan bahwa tindak lanjut
belum sesuai saran Dimana belum ada bukti pengendalian hibah yang
memadai yaitu dengan surat persetujuan pembukaan rekening hibah atau
perubahan system penempatan kas hibah yang saat ini dikuasai oleh pihak
swasta. BPK meminta jika membuka rekening hibah maka pemegangnya
harus ASN. Direktorat P2PM melalui BPP Hibah dan pengelola Hibah GF
menjelaskan jika pemegang rekening harus ASN maka untuk LSM tidak ada
ASN.

8. Tindak lanjut atas Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun


2023 pada temuan nomor 25 yaitu “Penatausahaan Persediaan pada
Empat Unit Utama Eselon I Belum Sepenuhnya Tertib”. BPK
merekomendasikan agar Menteri Kesehatan: b. Menginstruksikan Dirjen
P2P supaya memerintahkan Sesditjen P2P agar: 2) Meminta
Operator Modul Persediaan Direktorat P2PM lebih cermat dalam melakukan
pencatatan mutasi persediaan
Berdasarkan rekomendasi tersebut Operator Modul Direktorat P2PM telah
menerima perintah Direktur P2PM untuk lebih cermat dalam melakukan
pencatatan mutase persediaan sesuai dengan nota dinas nomor
PS.02.03/C.III.1/867/2023 tanggal 31 Juli 2023. Selanjutnya Direktorat
P2PM telah melampirkan BA Stock Opnam atas Perhitungan Barang yang
terdapat pada Gudang selama semester 1 tahun 2023.

e. Analisa Penyebab Keberhasilan


Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) merupakan unit
kerja baru sesuai dengan perubahan SOTK Tahun 2022 di mana di dalamnya terdiri
dari tim kerja yang sebelumnya terdapat pada Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dan Direktorat Pencegahan dan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 140


Pengendalian Tular Vektor dan Zoonotik. Kedua direktorat tersebut termasuk dalam
unit kerja yang kegiatan prioritasnya banyak dengan anggaran yang cukup besar.
Hal ini menjadi sorotan BPK dalam pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara termasuk di dalamnya pengadaan barang
dan jasa.
Arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan agar penyelesaian tindak lanjut
BPK menjadi kinerja utama setiap pimpinan baik unit utama maupun unit kerja dan
anggaran yang cukup besar serta melihat banyaknya temuan pada Direktorat P2PM
mendorong adanya percepatan penyelesaian tindak lanjut LHP BPK di Direktorat
P2PM dalam upaya untuk meningkatkan pengendalian atas pengelolaan anggaran.

f. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator


Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator Persentase Rekomendasi
Hasil Pemeriksaan BPK Yang Telah Tuntas Ditindaklanjuti Direktorat Pencegahan
Dan Pengendalian Penyakit Menular di antaranya:
1. Menyelesaikan terlebih dahulu saran/rekomendasi BPK RI yang bersifat
administrative
2. Melakukan penelusuran kronologis dan dokumen atas tindak lanjut LHP tahun
terdekat
3. Melakukan percepatan penyelesaian atas temuan persediaan dengan
berkoordinasi dengan unit utama maupun pihak-pihak yang terkait berdasarkan
temuannya

g. Kendala/Masalah yang dihadapi


Beberapa kendala yang dihadapi dalam tindak lanjut LHP BPK di antaranya:
1. Terdapat beberapa pegawai yang telah pensiun dan pindah instansi namun
dokumen pension ataupun dokumen pindah tidak ditemukan
2. Beberapa temuan memerlukan proses yang panjang dalam hal birokrasi seperti
penyusunan permenkes terkait turunan penanggulangan penyakit menular,
penyusunan pedoman komprehensif terkait pengadaan barang/jasa
3. Banyaknya pengadaan barang/jasa Direktorat P2PM dengan sumber daya
pengelola BMN yang terbatas sehingga progress penyelesaian LHP BPK terkait
persediaan barang menjadi lambat.
4. Penyelesaian atas temuan pengelolaan rekening hibah tidak dapat diselesaikan
hingga akhir tahun 2023 karena masih terdapat proses pengesahan hibah
hingga awal tahun dan rekomendasi atas temuan tersebut harus melalui
beberapa tahap proses penyesuaian dengan prosedur yang sebelumnya.

h. Pemecahan Masalah
1. Upaya dalam penyelesaian tindak lanjut yang bersifat administrative dimana
pegawai tersebut pindah ataupun pension yaitu berkoordinasi dengan beberapa
pihak kepegawaian dan pegawai atau keluarga pegawai yang bersangkutan.
2. Dalam proses birokrasi pemerintahan harus tetap dijalankan sesuai dengan
prosedurnya, namun sebagai Upaya percepatan penyelesaian tindak lanjut LHP
BPK RI, Direktorat P2PM meningkatkan koordinasi dengan beberapa lintas
program dan lintas sektor. Pada penyelesaian tindak lanjut LHP BPK atas
penyusunan RPMK Zoonosis, Direktorat P2PM secara aktif Bersama tim kerja
Hukormas P2P berkoordinasi baik dengan BKPK maupun Biro Hukum agar
RPMK Zoonosis segera dibahas Bersama Menteri Kesehatan RI.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 141


3. Direktorat P2PM Bersama tim kerja keuangan dan BMN P2P telah melakukan
percepatan penyelesaian pencatatan hibah droping pada aplikasi bantu BMN
pada akhir tahun 2023
4. Direktorat P2PM Bersama secretariat Ditjen P2P telah melakukan konsolidasi
dengan Direktur Pengelolaan Kas Negara dalam konfirmasi prosedur
pembukaan rekening hibah luar negeri.

C. REALISASI ANGGARAN
1. Realisasi Anggaran Direktorat P2PM
Kinerja anggaran Tahun 2023 berdasarkan data per 23 Januari 2024 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) mencapai 97.92%, dengan realisasi
Rp.2.477.096.100.731 dari pagu total sebesar Rp. 2.529.605.672.000.

Tabel 3.11 Realisasi anggaran Direktorat P2PM berdasarkan Klasifikasi Rincian


Output Tahun 2023

Persent
NO KLASIFIKASI RINCIAN OUTPUT PAGU Realisasi ase

1 Koordinasi 259,387,644,000 256,689,165,713 98.96%

2 Sosialisasi dan Diseminasi 37,479,469,000 35,176,994,436 93.86%

Norma, Standard, Prosedur dan


875,392,000 599,722,295 68.51%
3 Kriteria

4 Pelayanan Publik kepada masyarakat 39,528,250,000 39,489,414,140 99.90%

5 Pelayanan Publik Lainnya 485,244,978,000 478,261,119,557 98.56%

6 Data dan Informasi Publik 13,148,006,000 12,608,214,879 95.89%

7 Sarana Bidang Kesehatan 1,285,388,289,000 1,256,257,610,116 97.73%

8 OM Sarana Bidang Kesehatan 595,050,000 549,752,900 92.39%

9 Pelatihan Bidang Kesehatan 268,444,048,000 266,628,288,036 99.32%

Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah


139,510,284,000 130,835,818,659 93.78%
10 Daerah

Jumlah 2,529,605,672,000 2,477,096,100,731 97.92%

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa capaian realisasi anggaran total kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular sudah di atas target 95% dengan realisasi
97,92% di mana realisasi paling tinggi yaitu pada kegiatan Pelayanan Publik kepada
Masyarakat sebesar 99.90% dan terendah pada kegiatan Norma, Standard, Prosedur dan
Kriteria disebabkan oleh :

a. Kegiatan dilaksanakan secara daring sehingga realisasi anggaran hanya diperuntukkan


pembayaran narasumber dan beberapa sama sekali tidak direalisasikan anggaran
NSPK

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 142


b. Adanya efisiensi anggaran yang dibuka Kembali pada akhir bulan Juni sehingga
menyebabkan setiap tim kerja menjadwalkan ulang seluruh kegiatan yang akan
dilaksanakan daring menjadi tatap muka.
c. Keterbatasan waktu pelaksanaan akibat adanya lock pagu menyebabkan kegiatan yang
awalnya dapat dilaksanakan satu tahun menjadi lebih singkat, sehingga pelaksanaan
penyusunan NSPK dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan lainnya. Hal ini
menyebabkan tidak terserapnya anggaran NSPK.

2. Realisasi anggaran per indikator kinerja


Data realisasi anggaran kegiatan per Indikator Kinerja Kegiatan dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 3.12 Data realisasi anggaran kegiatan per Indikator Kinerja Kegiatan

NO INDIKATOR PAGU REALISASI %

Persentase orang dengan risiko terinfeksi


virus yang melemahkan sistem kekebalan
1. 96,29%
tubuh manusia yang mendapatkan skrining 401.898.561.000 387.005.458.270
HIV

Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru


2. 99,08%
ditemukan mendapatkan pengobatan ART 176.789.555.000 175.158.810.380

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 98,63%


1.583.929.325.000 1.562.306.334.558

Jumlah kabupaten/kota yang mencapai


4. 96,47%
positivity rate (PR) < 5% 136.290.099.000 131.484.631.597

Persentase penderita kusta yang


5. 88,43%
menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu 8.638.147.000 7.638.789.490

Persentase pengobatan kasus pneumonia


6. 94,95%
sesuai standar 17.330.403.000 16.455.639.222

Persentase pengobatan kasus diare sesuai


7. 91,58%
standar 2.755.997.000 2.523.902.430

Persentase kabupaten/kota yang


8. melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C 98,49%
108.788.755.000 107.150.356.523
pada populasi berisiko

9. Persentase pasien sifilis yang diobati 17.780.192.000 17.687.809.984 99,48%

Jumlah desa endemis schistosomiasis yang


10. 94,48%
mencapai eliminasi 1.494.316.000 1.411.818.500

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 93,05%


8.359.807.000 7.778.919.372

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 143


NO INDIKATOR PAGU REALISASI %

Persentase kabupaten/kota dengan Insiden


12. 92,06%
Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk 52.605.130.000 48.428.101.891

Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil


13. 91,71%
menurunkan angka mikrofilaria < 1% 8.911.384.000 8.173.029.574

Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis


14. 93,50%
yang mencapai eliminasi 12.526.691.000 11.711.963.514

RATA-RATA KINERJA 94.87%

Berdasarkan tabel di atas menunjukan realisasi anggaran tertinggi pada indikator


Persentase pasien sifilis yang diobati (99,48%) sedangkan realisasi terendah pada indikator
Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu (88,43%).
Secara rata-rata, realisasi kinerja anggaran berdasarkan indikator kinerja kegiatan sudah
baik yaitu 94,87%.

3. Perbandingan Capaian Kinerja Kegiatan dengan Realisasi Anggaran


Perbandingan capaian kinerja kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
dengan realisasi anggaran tiap indikator dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 3.13 Perbandingan capaian kinerja kegiatan Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular dengan realisasi anggaran tiap indikator
NO INDIKATOR PERSENTASE PERSENTASE
KINERJA KEGIATAN REALISASI
ANGGARAN

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus 96,29%


yang melemahkan sistem kekebalan tubuh 89,41%
manusia yang mendapatkan skrining HIV

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru 87,78% 99,08%


ditemukan mendapatkan pengobatan ART

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 94,24% 98,63%

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity 81.97% 96,47%


rate (PR) < 5%

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan 97.01% 88,43%


pengobatan kusta tepat waktu

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia 135.7% 94,95%


sesuai standar

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai 130.3% 91,58%


standar

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 144


NO INDIKATOR PERSENTASE PERSENTASE
KINERJA KEGIATAN REALISASI
ANGGARAN

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan 97.1% 98,49%


deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko

9. Persentase pasien sifilis yang diobati 82,35% 99,48%

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang 66.67% 94,48%


mencapai eliminasi

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 104.66% 93,05%

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate 25.88% 92,06%


(IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk

13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil 94.5% 91,71%


menurunkan angka mikrofilaria < 1%

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang 72% 93,50%


mencapai eliminasi

RATA-RATA 91.56% 94.87%

Apabila disandingkan antara capaian kinerja setiap indikator dengan realisasi anggarannya
maka dapat diketahui bahwa :

1) Terdapat indikator yang telah mencapai target kinerja melebihi 100% namun
penyerapan anggaran belum optimal. Indikator yang telah mencapai target di antaranya
yaitu persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar (135,7%) dengan
realisasi anggaran sebesar 94,95%, persentase pengobatan kasus diare sesuai
standar (130.3%) dengan realisasi anggaran 91,58%, jumlah kabupaten/kota eliminasi
rabies (103.81%) dengan realisasi anggaran 93.05%.

Pencapaian pengobatan pneumonia sesuai standar dilakukan dengan pemberian


antibiotik sesuai dengan pedoman tatalaksana kasus pneumonia balita. Sedangkan
pengobatan kasus diare sesuai standar dilaksanakan dengan pemberian oralit dan zinc
sesuai dengan pedoman tatalaksana diare. Adanya kepatuhan terhadap pelaksanaan
pedoman tersebut khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama berdampak pada
keberhasilan pengobatan pneumonia dan diare. Indikator kabupaten/kota eliminasi
rabies dihitung atas banyaknya kematian rabies pada manusia dan spesimen positif
pada hewan dalam 2 tahun terakhir, sehingga pelaksanaan anggaran tahun ini
merupakan upaya meningkatkan jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies pada tahun
depan. Pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan jumlah kab/kota eliminasi
rabies dilaksanakan dengan berbagai upaya salah satunya dengan meningkatkan
layanan rabies center pada puskesmas sehingga pelayanan tatalaksana kasus semakin
baik. Namun dikarenakan adanya lock pagu pada bulan april hingga juni menyebabkan
beberapa kegiatan tidak dapat dilaksanakan dengan tatap muka dan pada saat

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 145


pengembalian anggaran atas lock pagu tersebut, beberapa kegiatan sudah
dilaksanakan secara daring sehingga menyebabkan penyerapan anggaran pada
indikator ini tidak dapat terserap secara maksimal.

2) Terdapat indikator yang tidak mencapai target kinerja kegiatan dengan persentase
penyerapan anggaran cukup baik. Indikator tersebut di antara yaitu persentase
kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk (25.88%)
dengan realisasi anggaran sebesar 92,06%, jumlah desa endemis schistosomiasis yang
mencapai eliminasi (66.67%) dengan realisasi 94.48% dan jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang mencapai eliminasi (72%) dengan realisasi 93.5%.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada indikator persentase kabupaten/kota


dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk terjadi perubahan mulai
tahun 2022 dari sebelumnya indikator persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate
(IR) DBD ≤ 49 per 100.000 penduduk. Banyak daerah yang belum siap akan perubahan
standar perhitungan insiden rate DBD serta terdapat beberapa kendala dalam upaya
pelaksanaan mencapai target tersebut. Tahun 2023, Direktorat P2PM memulai upaya
penanggulangan DBD dengan teknik baru yaitu Wolbachia. Hal ini memerlukan proses
yang panjang dan telah dilaksanakan tahap sosialisasi di beberapa wilayah Indonesia.
Sebagai langkah lebih lanjut, Direktorat P2PM akan lebih memperluas dalam
menggalakan upaya penanggulangan DBD dengan teknik nyamuk ber-Wolbachia untuk
memutus rantai penularan DBD. Selain itu juga tetap dilaksanakan upaya 3M plus dan
upaya lainnya sehingga tahun depan setiap daerah akan lebih siap dalam mencapai
indikator Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
penduduk.

Pada indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, realisasi
anggaran hampir mencapai 95%. Desa endemis schistosomiasis di Indonesia hanya
terdapat pada Dataran Tinggi Napu dan Bada di Kabupaten Poso dan Dataran Tinggi
Lindu di Kabupaten Sigi. Akan tetapi lokasi penyebaran schistosomiasis yang sulit,
menjadi tantangan dalam upaya pengendalian penyakit. Upaya yang dilakukan guna
meningkatkan capaian indikator tersebut memerlukan komitmen bersama baik dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lintas program dan lintas sektor lainnya.
Hal ini disebabkan karena penularan schistosomiasis melalui keong dengan reservoir
hewan-hewan seperti babi, tikus, anjing maupun hewan ternak. Meskipun telah
dilakukan pengendalian penyakit schistosomiasis pada manusia, masih banyak
ditemukan cacing schistosoma pada hewan reservoir yang tersebar di beberapa wilayah
fokus keong. Hal ini menyebabkan masih besar potensi penularan penyakit
schistosomiasis pada manusia. Meskipun realisasi anggaran dalam pengendalian
schistosomiasis guna mencapai indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang
mencapai eliminasi sudah cukup baik, diharapkan kedepannya akan ada komitmen
bersama dalam penganggaran sebagai upaya meningkatkan pengendalian penyakit
schistosomiasis.

Filariasis disebabkan oleh cacing jenis filaria (Wuchereria bancrofti atau Brugia malayi)
dengan hewan perantara nyamuk Culex, Anopheles, Aedes maupun Mansonia. Cacing
ini dapat hidup dalam tubuh manusia selama 5 tahun, oleh karenanya upaya
pengendalian terhadap penyakit filariasis yaitu dengan POPM pada minimal 65%
penduduk daerah endemis selama 5 tahun. Kemudian tahun kelima pada bulan ke 6-10

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 146


akan dilakukan survey evaluasi prevalensi mikrofilaria <1%. Selanjutnya dilakukan
survey evaluasi penilaian penularan (Transmission Assessment Survey) untuk
menentukan daerah eliminasi atau tidak. Jika hasil TAS dinyatakan gagal maka
kabupaten/kota tersebut harus mengulang kembali POPM filariasis selama 2 tahun.
Namun, pada tahun 2021 terdapat rekomendasi bahwa survey TAS harus ditunda
sampai dengan hasil evaluasi independen Brugia Rapid Test tersedia. Dengan
tertundanya pelaksanaan survey TAS maka berpengaruh terhadap tahapan penentuan
daerah eliminasi atau bukan. Hal ini mempengaruhi hasil capaian indikator Jumlah
kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi dengan persentase
kinerjanya mencapai 72%.

Jika disandingkan dengan realisasi anggaran yang mencapai 93.5% maka sebenarnya
masih sangat dibutuhkan anggaran yang besar dengan komitmen bersama berbagai
pihak. Tahun 2022 pada Pertemuan Regional Programme Review Group (RPRG) di
India, dikeluarkan rekomendasi agar survei evaluasi penularan (Transmission
Assessment Survey/TAS) pada daerah Brugia Sp dapat menggunakan Survei TAS
alternatif yang disebut Brugia Impact Survey (BIS) yang mana survei ini membutuhkan
sumber daya dan anggaran yang lebih besar. Selain itu, diperlukan waktu untuk
penyesuaian dan kesiapan dalam mengimplementasikan metode survei survei alternatif
yang baru tersebut seperti pelatihan petugas dan supervisor baik tingkat pusat maupun
daerah. Diharapkan pada tahun depan, pelaksanaan anggaran kegiatan dalam rangka
melaksanakan survey TAS alternatif BIS guna meningkatkan Jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang mencapai eliminasi dapat lebih optimal

4. Analisis Keberhasilan Pencapaian Realisasi Anggaran


Analisis keberhasilan pencapaian realisasi anggaran Direktorat P2PM dapat dilihat dari:
1) Konsistensi pelaksanaan kegiatan terhadap perencanaan
Implementasi kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit menular dilaksanakan
dengan dasar Rencana Pelaksanaan Kegiatan dan Rencana Penarikan Dana yang
telah disusun pada masing-masing tim kerja. Kesesuaian pelaksanaan dengan jadwal
yang telah ditentukan pada awal perencanaan menjadi langkah yang baik dalam
penyerapan anggaran.
2) Efisiensi anggaran
Pada bulan April 2023 terjadi pengurangan pagu anggaran kegiatan pencegahan dan
pengendalian penyakit menular dan pada bulan Juni 2023 ada pengembalian anggaran
atas pengurangan tersebut. Dampaknya pelaksanaan kegiatan yang direncanakan
akan dilaksanakan secara tatap muka, dilaksanakan secara daring/online pada rentang
bulan April – Juli 2023. Pelaksanaan kegiatan secara daring menjadikan realisasi
anggaran yang lebih kecil daripada perkiraan perencanaan anggaran. Dengan
memperkirakan pelaksanaan kegiatan dengan sisa waktu sekitar 6 bulan, Direktorat
P2PM melakukan evaluasi dan perkiraan penyerapan anggaran sehinga efisiensi
anggaran diperlukan sesuai kebutuhan kegiatan.
3) Percepatan penyerapan anggaran
Mempertimbangkan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit
menular yang cukup singkat, Direktorat P2PM melaksanakan perubahan strategi awal
perencanaan dengan pemantauan berkala oleh pimpinan unit kerja. Setiap tim kerja
harus melaporkan strategi serta progress penyerapan anggaran.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 147


5. Masalah yang dihadapi
Beberapa masalah yang dihadapi dalam upaya penyerapan anggaran di antaranya yaitu
1) adanya pengurangan pagu sehingga terdapat perubahan metode kegiatan menjadi
daring/online, pengembalian pagu menjadikan setiap tim kerja menyusun jadwal
kembali dengan strategi baru dengan jumlah SDM yang cukup terbatas.
2) adanya perubahan kebijakan pelaksanaan kegiatan sosialisasi dengan penambahan
jumlah peserta pada setiap lokus maka diperlukan revisi anggaran dengan mengubah
rencana pelaksanaan kegiatan lainnya.
3) Sumber daya pegawai terbatas. Meskipun persentase realisasi anggaran mencapai
97.92% di atas target 95%, namun Direktorat P2PM merupakan unit kerja yang
kegiatannya banyak yang masuk dalam indikator sasaran strategis maupun dalam
indikator kinerja program sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan pegawai yang
lebih banyak serta memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya.

6. Pemecahan Masalah
1) Melakukan penyesuaian langkah strategi dalam pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
kebutuhan program dan kegiatan.
2) Melakukan revisi anggaran sesuai dengan kebijakan/peraturan yang telah ditetapkan.
3) Meningkatkan kapasitas pegawai agar lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan
fungsi direktorat sehingga berdampak pada percepatan pelaksanaan kegiatan dan
penyerapan anggaran.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 148


BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pencapaian kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular tahun
2023 menunjukkan hasil yang cukup baik dengan dengan rata-rata capaian kinerja sebesar
91.50%.
2. Dari seluruh Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular sampai tahun 2023, terdapat 5 indikator yang melebihi target yang
ditetapkan dan mencapai target 100% sedangkan 11 indikator tidak mencapai target.
3. Berdasarkan penyerapan dan pengukuran kinerja anggaran tahun 2023, Realisasi
anggaran sebesar Rp.2.477.096.100.731 dari pagu total sebesar Rp. 2.529.605.672.000
(97,92%).
4. Realisasi anggaran tertinggi pada kegiatan Pelayanan Publik kepada masyarakat sebesar
99.90% dan terendah pada kegiatan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria sebesar
68.51%.

B. TINDAK LANJUT
Hasil Laporan Kinerja Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular ini menjadi
salah satu dasar dalam menentukan kebijakan dan strategi pelaksanaan kegiatan tahun 2024
dengan beberapa tindak lanjut berikut :
1. Keberhasilan tahun 2023 dalam mencapai 5 indikator kinerja kegiatan yang melebihi target
akan diteruskan dengan kegiatan yang sama pada tahun selanjutnya seperti meningkatkan
penguatan koordinasi lintas program lintas sektor, meningkatkan sosialisasi, melakukan
penyusunan NSPK, meningkatkan kapasitas dengan pelatihan SDM yang terlibat,
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, meningkatkan penyajian data dan
informasi pada system informasi yang telah tersedia pada masing-masing kegiatan,
meningkatkan penyediaan sarana Kesehatan.
2. Melakukan penguatan advokasi terhadap provinsi maupun kabupaten/kota sehingga ada
dukungan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan dalam upaya meningkatkan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular terutama pada indikator yang belum
mencapai target.
3. Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam setiap kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular untuk mendorong capaian yang lebih
optimal.

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 149


LAMPIRAN
1. Kerangka Logis Program (Logical Frame)

VISI Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang Berkualitas

MISI A. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular


yang berkelanjutan
B. Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
C. Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
D. Meningkatkan sumber daya

TUJUAN Terwujudnya pencegahan, penemuan dan pengobatan penyakit


menular yang berkualitas

SASARAN INDIKATOR

Persentase orang dengan risiko terinfeksi


Meningkatnya penemuan dan
pengobatan HIV virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV

Persentase Orang dengan HIV (ODHIV)


baru ditemukan mendapatkan
pengobatan ART

Meningkatnya penemuan dan


Angka keberhasilan pengobatan TBC
pengobatan TBC

Meningkatkan jumlah Kab/


Jumlah kabupaten/kota yang mencapai
Kota dengan API<1/1000
positivity rate (PR) < 5%
penduduk

Meningkatnya proporsi kasus Persentase penderita kusta yang


kusta baru tanpa cacat menyelesaikan pengobatan kusta tepat
waktu

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 150


Meningkatnya pencegahan Persentase pengobatan kasus pneumonia
dan pengendalian penyakit sesuai standar
Menular penduduk
Persentase pengobatan kasus diare
sesuai standar
Persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan
C pada populasi berisiko
Persentase pasien sifilis yang diobati

Jumlah desa endemis schistosomiasis


yang mencapai eliminasi

Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies

Persentase kabupaten/kota dengan


Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
penduduk
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis
berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1%

Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis


yang mencapai eliminasi

Bagan 4.1 Logical Frame program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 151


ANALISIS CROSSCUTTING
KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR

TUJUAN P2PM

Terwujudnya Pencegahan, Penemuan dan Pengobatan Penyakit Menular yang Berkualitas

SASARAN STRATEGI P2PM

1. Meningkatnya penemuan dan pengobatan HIV


2. Meningkatnya penemuan dan pengobatan TB
3. Meningkatkan jumlah Kab/Kota dengan API<1/1000 penduduk
4. Meningkatnya proporsi kasus kusta baru tanpa cacat
5. Meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit menular

INDIKATOR KINERJA KEGIATAN P2PM

TIM KERJA HIV, PIMS TIM KERJA TUBERKULOSIS TIM KERJA MALARIA TIM KERJA PENYAKIT TROPIS TIM KERJA ARBOVIROSIS
TIM KERJA HEPATITIS DAN TIM KERJA ISPA TIM KERJA ZOONOSIS
TERABAIKAN

1. Persentase orang dengan risiko 1. Angka Cakupan Penemuan dan 1. Jumlah kabupaten/kota yang 1. Persentase penderita kusta yang 1. Jumlah kabupaten/kota eliminasi 1. Persentase kabupaten/kota
1. Persentase pengobatan kasus 1. Persentase pengobatan kasus
terinfeksi virus yang melemahkan menyelesaikan pengobatan kusta dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10
sistem kekebalan tubuh manusia tepat waktu
2. Persentase kabupaten/kota yang
2. Jumlah desa endemis schitomiasis melaksanakan deteksi dini Hepatitis
2. Persentase Orang dengan HIV
yang mencapai eliminasi B dan C pada populasi berisiko
(ODHIV) baru ditemukan

3. Jumlah kabupaten/kota endemis


3. Persentase pasien sifilis yang filariasi s berhasil menurunkan angka
diobati

4. Jumlah kabupaten/kota endemis

STRATEGI
DASAR HUKUM
HIV PIMS TB MALARIA KUSTA SCHISTOSOMIASIS
1. RENSTRA 2020 - 2024 REVISI 1. Peningkatan cakupan skrining HIV 1. Penguatan Kepemimpinan Program 1. kegiatan penemuan kasus 1. Penguatan Advokasi dan Koordinasi 1) Pengobatan selektif pada daerah dengan
2. RAP DITJEN P2P pada ibu hamil menjadi 60% TBC di Kabupaten/Kota 2. pengobatan Lintas Program dan Lintas Sektor prevelensi rendah dilakuka n pada mereka
3. RAK DIT.P2PM 2. Meningkatkan jumlah fasyankes yang 2. Peningkatan Akses Layanan “TOSS- 3. promosi kesehatan yang melibatkan 2. Penguatan Peran Serta Masyarakat dan yang terinfeksi cacing, dan Pengobatan
melapor NPA menjadi 700 Fasyankes TBC” yang Bermutu Kementerian Sosial dan Lembaga Organisasi Kemasyarakatan massal, Pengobatan obat massal dilakukan
3. Peningkatan Notifikasi Pasangan dan 3) Pengendalian Faktor Risiko Swadaya Masyarakat (LSM). 3. Penyediaan SDM melalui pemberian obat praziquantel pada
anak di 242 kab/kota sebanyak 40.000 4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum 4. Program Malaria tetap menyediakan 4. Penguatan Siste m Surveilans serta kelompok berisiko (anak usia sekolah, usia
sasaran melalui NPA Koordinasi TBC dan membagikan kelambu LLIN kepada 5. Pemantauan dan Evaluasi prasekolah) anak-anak, masyarak at di
4. Penyediaan reagen tes HIV sebanyak 5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat populasi khusus yang tinggal di wilayah daerah endemis tinggi, orang dewasa dalam
4.000.000 untuk diagnostic dalam Penanggulangan TBC yang sulit, pekerja hutan tanpa FILARIASIS pekerjaan melibatkan kontak dengan air
5. Penambahan 500 layanan mampu tes 6) Penguatan Sistem kesehatan membedakan apakah status pekerjaan 1) Pemberian Obat Pencegahan Massal yang terinfeksi)
dan pengobatan HIV dan PIMS mereka illegal atau legal dan kelompok (POPM) Filariasis menggunakan regimen 2) Peningkatan saran a water, sanitation and
6. Penyegaran tenaga kesehatan dalam pengungsi. DA (diethylcarbamazine citrate dan hygiene (WASH) bertujuan untuk
penanganan ODHIV secara daring tiap 2 Albendazole) maupun regimen IDA memutuskan penularan telur cacing ke
ARAH KEBIJAKAN pekan (Ivermectine, Diethyl carbamazine citrate keong.
7. Peningkatan cakupan pemeriksaan VL dan Albenda zole) 3) Pengendalian keong bertujuan untuk
menjadi 30% 2) Tatalaksana kasus kronis filariasis menghilangkan keong hospes perantara
8. Edukasi penggunaan kondom sebagai 3) Evaluasi penilaian penularan pada untuk memutus rantai penularan, melalui
1. Meningkatkan Penguatan penemuan
alat pencegahan pada populasi kunci kabupaten kota endemis yang sudah metode pengendalian lingkungan,
kasus di masyarakat dan FKTP selesai melaksanakan POPM minimal 5
9. Penyediaan kondom bagi ODHIV dan pengendalian biologis, pengendalian kimia
2. Meningkatkan Penguatan tata laksana pasangan tahun berturu t dengan cakupan minum dan lain lain.
kasus obat diatas 65% dari total jumlah 4) Kolaborasi antar pemangku kepentingan
3. Meningkatkan Pemberdayaan penduduk setiap tahunnya. lintas tingkat dan sektor dengan
masyarat dan lintas sektor akuntabilitas yang jelas untuk memastikan
4. Meningkatkan Penggunaan teknologi pendekatan yang efektif dan sinergis dalam
informasi memberikan intervensi.

HEPATITIS PISP ISPA RABIES DBD


1) Peningkatan kapasitas Pengelola 1) Koordinasi Pelaksanaan P2 Penyakit 1) Penguatan surveilans vektor dan kasus 1) Penguatan manajemen vektor
program dalam tatalaksana termasuk ISPA berbasis laboratorium yang efektif, aman, dan
dalam pencatatan dan pelaporan. 2) Advokasi dan Sosialisasi Program P2 2) Mengedepankan pencegahan dan berkesinambungan
2) Penguatan surveilans aktif dan Penyakit ISPA promotif 2) Peningkatan akses dan mutu
penemuan kasus aktif 3) Media Komunikasi, Informasi, edukasi 3) Penemuan kasus dini dan penguatan tata laksana Dengue
3) Peningkatan kapasitas tenaga Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tata laksana diseluruh fasyankes 3) Penguatan surveilans Dengue
kesehatan dalam tatalaksana penyakit ISPA 4) Pengendalian faktor risiko secara yang komprehensif serta
4) Pemanfaatan teknologi informasi 4) Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan terpadu manajemen KLB yang responsif
5) Optimalisasi integrasi lintas program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 5) Peningkatan sistem kewaspadaan dini 4) Peningkatan pelibatan
ISPA dan respon cepat penanggulangan KLB masyarakat yang
5) Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan 6) Peningkatan kualitas dan kuantitas berkesinambungan
dan SDM P2P Zoonosis 5) Penguatan komitmen
Pengendalian Penyakit ISPA 7) Perencanaan logistik sesuai kebutuhan pemerintah, kebijakan
8) Peningkatan komitmen, koordinasi, manajemen program, dan
kolaborasi, kontribusi dan sinergi kemitraan
multisektor 6) Pengembangan kajian, invensi,
9) Dukungan Regulasi inovasi, dan riset sebagai dasar
kebijakan dan manajemen
program berbasis bukti

KEGIATAN

Sasaran : Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus HIV Sasaran : Meningkatnya proporsi kasus kusta baru tanpa cacat Sasaran : Meningkatkan jumlah Kab/Kota dengan API<1/1000
Sasaran : Meningkatnya penemuan dan pengobatan TB penduduk
Indikator : Indikator : Persentase penderita kusta yang menyelesaikan
Indikator : Angka Cakupan Penemuan dan Pengobatan TBC Indikator : Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR)
1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan pengobatan kusta tepat waktu
sistem kekeba lan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV < 5%
Kegiatan :
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan Kegiatan :
1. Koordinasi Kegiatan :
mendapatkan pengobatan ART 1. Koordinasi
Koordinasi Program Pencegahan dan Pengendalian TBC 1. Koordinasi
2. Norma, standar, prosedur dan kriteria Koordinasi pencapaian eliminasi eradikasi penyakit Koordinasi Percepatan Eliminasi Malaria
Kegiatan:
NSPK Pencegahan dan Pengendalian TBC tropis terabaikan 2. Sosialisasi dan Diseminasi
1. Koordinasi
3. Pelayanan Publik kepada Masyarakat 2. Sosialisasi dan Diseminasi
- Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Program HIV dan PIMS Sosialisasi GERMAS menuju Eliminasi Malaria
- Koordinasi Lintas Sektor/Lintas Program HIV dan PIMS Penemuan Kasus TBC Aktif Berbasis Masyarakat Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit tropis 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria
- Sosialisasi dan Diseminasi Program HIV AIDS dan PIMS 4. Pelayanan Publik lainnya terabaikan
NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Malaria
- Sosialisasi Program HIV AIDS dan Sifilis dan IMS 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria
2. Norma, standar, prosedur dan kriteria - Distribusi Logistik dalam Pengendalian TBC 4. Pelayanan Publik lainnya 4. Pelayanan Publik kepada Masyarakat
NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS - Surveilans aktif P2 TBC - Surveilans dan deteksi dini penyakit tropis terabaikan - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
3. Pelayanan Publik kepada Masyarakat 5. Data dan Informasi Publik Malaria
Pemeriksaan viral load dandiagnosis bayi bumil dengan HIV - Assessment Eliminasi Kusta dan Eradikasi Fram busia - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
Penanganan Kasus ODHIV
- Media KIE P2 TBC 5. Data dan Informasi Publik
Malaria tingkat provinsi
4. Pelayanan Publik lainnya - Media KIE Pnemonia Media KIE P2 Kusta dan Frambusia - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
- Penemuan aktif Kasus HIV dengan Pelaksanaan Mobile Tes 6. Sarana Bidang Kesehatan 6. Sarana Bidang Kesehatan Malaria provinsi Papua dan Papua Barat
- Surveilans Faktor Risiko terkait HIV dan IMS
Saran a dan Prasarana P2 TBC Pemenuhan RDT dan RPR untuk Evaluasi endemisitas - IRS/Indoor Residual Spraying
- Penguatan Kualitas Layanan HIV dan IMS
7. Pelatihan dan surveilans aktif Frambusia
5. Data dan Informasi Publik
7. Pelatihan
- Survei Darah Massal Malaria
Penyebaran informasi terkait Penyakit HIV AIDS dan IMS Workshop Skrining dan Deteksi Dini pada Kelompok
6. Saran a Bidang Kesehatan Berisiko untuk Pengenddalian TBC dalam Pelaksanaan - Workshop P2 Kusta dan Fram busia bagi tenaga kesehatan - Survei Sentinel Malaria Knowlesi
- Pemenuhan Alat, Reagen untuk Skrining, Diagnostik dan SPM TBC 5. Data dan Informasi Publik
- Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Kusta Bagi
Pemantauan Pengobatatan HIV AIDS dan PIMS 8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah Pengelola Program Kusta Media KIE Pencegahan dan Pengendalian Malaria
- Pemeliharaan system informasi penyakit pencegahan dan Monitoring dan Supervisi Program P2 TBC 8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah 6. Sarana Bidang Kesehatan
pengendalian penyakit HIV AIDS dan PIMS
7. Pelatihan
Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan
Workshop/orientasi penambahan akses layanan tes dan P2 Kusta dan Frambusia pengendalian malaria
pengobatan HIV dan IMS - Pemeliharaan SISMAL
8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah 7. Pelatihan
Pelatihan SDM Malaria
8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah

STAKEHOLDER PENDUKUNG
Sasaran : Meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit menular 5. Data dan Informasi Publik
Indikator : - Media KIE DBD dan penyakit Arbovirosis lainnya
KERJA SAMA LINTAS 1. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar - Media KIE Penyakit Tropis Terabaikan
KERJA SAMA LINTAS 2. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar - Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian
PROGRAM SEKTOR 3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan penyakit zoonosis
C pada populasi berisiko 6. Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Hepatitis
Sekjen Sekretariat Kabinet Kemenpora 4. Persentase pasien sifilis yang diobati Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Diare dan Penyakit ISP
Direktorat Gizi KIA Kementerian Dalam Negeri Kemenaker 5. Jumlah desa endemis schitomiasis yang mencapai eliminasi 7. Sarana Bidang Kesehatan
Direktorat Pengelolaan Imunisasi 6. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan
Kementerian Komunikasi dan KemenPPPA
7. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 Arbovirosis lainnya
Direktorat Kesehatan Lingkungan Informasi Kemenkeu
peduduk - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit Filariasis
Ditjen Yankes Kementerian Pendidikan KemenPANRB 8. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria dan Kecacingan
Ditjen Farmalkes Kebudayaan dan Riset Teknologi Kementerian ESDM < 1% - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Ditjen Nakes Kementerian Sosial Bappenas 9. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi - Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS
Ditjen Kesmas Kementerian Pariwisata dan BNN - Pemenuhan alat dan bahan untuk Skrining, Diagnostik P2 Hepatitis
Direktorat Kesehatan Keluarga Ekonomi Kreatif BKKBN Kegiatan : - Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Direktorat Tata Kelola Kesmas Kementerian Sosial BRIN 1. Koordinasi Arbovirosis (SIARVI)
Direktorat Promkes Kementerian Agama BPOM - Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit - Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian penyakit
Direktorat PKDR Kementerian Desa BPJS Kesehatan DBD dan Arbovirosis Lainnya filariasis dan kecacingan (EFILCA)
Direktorat Surkarkes Kementerian Pehubungan BUMN - Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis 8. Pelatihan
Direktorat Tata Kelola Obat Publik - Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Diare dan Penyakit ISP - Pelatihan petugas dan pengelola program DBD dan Arbovirosis lainnya
Kementerian Hukum dan HAM BNPB
- Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia - Pelatihan SDM Pencegahan dan Pengendalian Filariasis, Kecacingan, dan
BBTKL PP TNI
2. Sosialisasi dan Diseminasi Schistosomiasis
BKPK, POLRI - Sosialisasi dan Diseminasi pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan - Workshop Pencegahan dan Pengendalian penyakit Zoonosis
BPPSDM Arbovirosis Lain - Workshop Pedoman IMS kepada Tenaga Kesehatan
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis - Orientasi P2 Hepatitis
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis - Orientasi P2 Diare dan Penyakit ISP
Mitra/Organisasi (Badan Usaha, Swasta, Kerja Sama - Sosialisasi Pengobatan Diare - Workshop P2 Pneumonia
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pneumonia 9. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah
Organisasi Masyarakat Internasional 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria - Monitoring Evaluasi dan Supervisi Surveilans DBD dan penyakit Arbovirosis
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Filariasis dan kecacingan lainnya
Rumah Cemara, Siklus, YKIS, ADINKES, Lentera Anak Pelangi , WHO, - Monev dan Supervisi Filariasis dan Kecacingan
- NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya
Yayasan Kusuma Buana, Yayasan KNCV Indonesia, Yayasan Kasih FAO, - Monev dan Supervisi Eliminasi Schistosomiasis
- NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Suwitno, Yayasan Pelita Ilmu,Yayasan Srikandi Sejati, Yayasan OIE, - NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS
- Monev dan Supervisi pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Karisma, STPI, POP TB Indonesia, Konsorsium Penabulu STPI, USAID, - Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program P2 Hepatitis
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Organisasi masyarakat (Aisyiyah, Yayasan PETA, REKAT, YAMALI TB, UNEP, - Monitoring dan supervisi P2 Diare dan Penyakit ISP
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Diare dan Penyakit ISP
KAREBA BAJI (CSO Makassar), PESAT, Perdhaki Medan, Yahbisa CDC, - Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program Pneumonia
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
(Surabaya), YSKI, Yayasan Mitra Husada dan YMMA (CSO Medan), AIHSP 4. Pelayanan Publik lainnya
BAZNAZ level kota, BPJS level kota, Asosiasi Profesi (IDI, PDPI, KOPI USAID TBPS - Investigasi Peningkatan Kasus dan Kejadan Luar Biasa penyakit DBD dan
TB), Industri Padat Karya, Perkebunan, Pertambangan GF ATM arbovirosis lain
Telekomunikasi, Jasa Keuangan, Jasa transportasi, Retail UNICEF - Pelaksanaan POPM Filariasis dan Kecacingan
Pariwisata: Hotel, restoran, wahana wisata ,Layanan Kesehatan - Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Swasta, Yayasan CHAI, Yayasan Peduli Hati Bangsa, PAPDI, - Distrib usi Logistik dalam Pengendalian Hepatitis
- Skrining dan Deteksi Dini P2 Hepatitis
Organisasi Profesi, Dept parasitologi FK UI
- Respon Cepat KLB Penyakit Diare dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 152


TIM PENYUSUN

Penanggungjawab : dr. Imran Pambudi, MPHM

Supervisor : 1. dr. Tiffany Tiara Pakasi


2. dr. Endang Lukitosari, MPH
3. dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
4. dr. Regina Tiolina Sidjabat, M.Epid
5. dr. Asik, MPPM
6. dr. Hellen Dewi Prameswari, MARS
7. dr. Yulita Evarini Yuzwar, MARS
8. dr. Nani Rizkiyati, M.Kes

Ketua : Utama Pranata, SE, MKM

Anggota : Anggun Lathifah Asmi, SKM; Retno Trisari, SKM; Sulistyo, SKM,
M.Kes; Kristina Sitorus, SKM, MKM; Devi Suhailin, SKM, M.Epid;
Alya Ammarie, SKM; Irma Surya Kusuma, SKM, M.Kes; Yayuk
Agustin Hapsari, SKM; Desfalina Aryani, SKM; Anzala Khoirun Nisa,
SKM; Riskha Tiara Pusadewi, SKM; drh. Maya Esrawati;
Muhammad Arsyam AR, SKM, MPH; Deny Fattah, SKM, dr. Febby
Mayangsari, Retno Trisari, Bella Agustina Noor Artiarini, SKM;
Azkiya Zulfa, SKM

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT P2PM TAHUN 2023 153

Anda mungkin juga menyukai