1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV dari target 85% tercapai 76% dengan kinerja
89.41%
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART
dari target 90% tercapai 79% dengan kinerja 87.78%
3. Angka keberhasilan pengobatan TBC dari target 90% tercapai 84.8% dengan kinerja
94.24%
4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%, dari target 394 kab/kota
tercapai 323 kab/kota dengan kinerja 81.9%
5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu, dari target
90% tercapai 87.31% dengan kinerja 97.01%
6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar, dari target 70% tercapai 95.01%
dengan kinerja 135.7%
7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar, dari target 70% tercapai 91.23%
dengan kinerja 130.3%
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada
populasi berisiko dari target 100% tercapai 97.1% dengan kinerja 97.1%
9. Persentase pasien sifilis yang diobati dari target 85% tercapai 70 % dengan kinerja 82,35%
10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, dari target 24 desa tercapai
16 desa dengan kinerja 66.67%
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies, dari target 236 kab/kota tercapai 247 kab/kota
dengan kinerja 104.66%
12. Persentase kabupaten/Kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk dari
target 85% tercapai 22% dengan kinerja 25.88%
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%, dari
target 220 kab/kota tercapai 208 kab/kota dengan kinerja 94.5%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi, dari target 150 kab/kota
tercapai 108 Kab/Kota dengan kinerja 72%
15. Persentase rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK yang telah tuntas di tindaklanjuti
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, dari target 92.5% tercapai
94.64% dengan kinerja 102.31%
16. Persentase Realisasi Anggaran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
dari target 95% tercapai 97.92% dengan kinerja 103.07%
IKHTISAR EKSEKUTIF 2
BAB I 5
A. LATAR BELAKANG 5
B. ISU STRATEGIS 6
C. VISI MISI 9
E. STRUKTUR ORGANISASI 10
G. SISTEMATIKA PENULISAN 14
BAB II 15
A. PERENCANAAN KINERJA 15
B. PERJANJIAN KINERJA 17
BAB III 19
BAB IV 149
A. KESIMPULAN 149
LAMPIRAN 150
A. LATAR BELAKANG
Sesuai Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, SDM kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai peningkatan
pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Penekanan diberikan
pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan upaya program
dan sektor yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya. Periode Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2020–2024 merupakan bagian penting dari
implementasi pembangunan jangka panjang, oleh karena itu percepatan pelaksanaan atas
perencanaan tersebut menjadi kunci keberhasilan program pembangunan nasional.
Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) untuk
mendukung pembangunan nasional dengan mengacu pada RPJMN sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005–2025. Rencana Strategis Tahun 2020–2024 Kementerian Kesehatan yang
telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 Tahun 2020,
mengalami perubahan yang ditetapkan melalui Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan atas Permenkes Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2020-2024.
Perubahan ini disebabkan karena adanya perubahan struktur organisasi dan pandemi
Covid-19, yang mendorong Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan transformasi
kesehatan. Transformasi kesehatan ini sesuai dengan mandat dari Presiden Republik Indonesia
yakni pelaksanaan vaksinasi Covid-19 secepat-cepatnya, penanganan pandemi Covid-19 dan
Transformasi Sistem Kesehatan. Transformasi kesehatan dilaksanakan dengan menegakkan
enam pilar yakni 1). Transformasi Layanan Primer, 2). Transformasi Layanan Rujukan, 3).
Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, 4). Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan,
5). Transformasi Sumber Daya Manusia Kesehatan dan 6). Transformasi Teknologi Kesehatan.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terbentuk melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022, di bawah Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Sejalan dengan perubahan Renstra
Kementerian Kesehatan, telah disusun Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular pada Tahun 2022. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
upaya mencapai tujuan strategis sebagaimana telah tertuang dalam RAK Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular, maka Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAPKIN) yang dapat pula digunakan
sebagai bahan evaluasi kinerja direktorat dalam upaya meningkatkan capaian kinerja tahun
berikutnya.
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan
di dunia termasuk Indonesia. Selain menjadi sebagai salah satu penyebab kematian utama pada
balita, kejadian diare berulang pada bayi dan balita dapat menyebabkan stunting. Riskesdas
2018 menyebutkan prevalensi diare untuk semua kelompok umur sebesar 8, angka prevalensi
untuk balita (12,3%), sementara pada bayi sebesar 10,6%. Survei Sample Registration System
tahun 2018 menunjukkan bahwa diare tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada
neonatus (7%) dan pada bayi usia 28 hari (6%). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2020,
prevalensi diare adalah 9,8%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2022, diare menjadi
penyumbang kematian pada kelompok anak usia 29 hari - 11 bulan (6,6%) sedangkan pada
kelompok anak balita (12 – 59 balita), kematian akibat diare sebesar 5,8%.
Kementerian Kesehatan meluncurkan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan
Pneumonia Diare 2023-2030 di akhir tahun 2023 yang memuat 4 strategi yaitu: perubahan
perilaku pencegahan dan pengendalian di masyarakat; akselerasi akses dan implementasi
Perlindungan Pencegahan dan Penatalaksanaan (3P); integrasi dan kolaborasi multipihak; tata
kelola, kepemimpinan, manajemen program dan peningkatan mutu. Melalui implementasi
dokumen ini pada pelaksanaan program pneumonia diharapkan dapat mencapai tujuan untuk
mengakhiri kematian akibat pneumonia dan diare pada balita di akhir tahun 2030.
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Di
Indonesia, infeksi virus hepatitis B dan virus hepatitis C merupakan penyebab terbanyak hepatitis
kronik, sirosis, kanker hati, dan kematian terkait penyakit hati. Secara global, diperkirakan
sebanyak 296 juta orang terinfeksi hepatitis B kronik dengan jumah kematian 820.000 setiap
tahunnya dan 58 juta orang diperkirakan terinfeksi hepatitis C kronik dengan jumlah kematian
290.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, kematian akibat sirosis merupakan empat penyebab
kematian terbesar di Indonesia (IHME, 2019). Sirosis hati akibat hepatitis merupakan salah satu
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan misi tahun 2022-
2024 yang merupakan penjabaran misi Presiden dan Kementerian Kesehatan yakni:
a. Peningkatan Deteksi, Pencegahan dan Respon Penyakit;
b. Perbaikan Kualitas Lingkungan;
c. Penguatan sistem surveilans berbasis laboratorium penyakit dan faktor risiko;
d. Penguatan sistem tata kelola kesehatan.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular sebagai satuan kerja yang berada
di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, menetapkan misi 2020 –
E. STRUKTUR ORGANISASI
Pada Lampiran D Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022, berikut adalah
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit :
Bagan 1.1 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit
Jabatan Administrator
Jabatan Pelaksana
1%
15%
Jabatan Fungsional
84%
Sumber : Data Sistem Manajemen Kepegawaian Direktorat P2PM Tahun 2023
24
18
16
14 14
12 12 12
7
Admnistrasi Umum
TimKerja Tuberkulosis
TimKerja Malaria
TimKerja Arbovirosis
TimKerja Zoonosis dan
TimKerja Hepatitis dan
Tanaman Beracun
TimKerja HIV dan
Pernapasan Atas
Pencernaan
Terabaikan
Seksual
Berdasarkan pangkat dan golongan, sumber daya aparatur sipil negara Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular beragam mulai dari pangkat dan golongan
Pengatur Muda Tk.I – II/c hingga Pembina Utama Muda – IV/c. Jumlah terbanyak ada pada
pangkat dan golongan Pembina – IV/a yakni sejumlah 41 orang dan jumlah paling sedikit pada
pangkat Pengatur sejumlah 3 orang dan 1 orang pegawai PPPK dengan golongan IX. Berikut
distribusi pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berdasarkan
Pangkat dan Golongan
23
19
11
8 8
6
3
1
Jumlah pegawai dengan golongan dan pangkat pembina (IV/a) berbanding lurus
dengan banyaknya pegawai dengan tingkat Pendidikan tinggi. Golongan dan pangkat Pembina
(IV/a) mempunyai tingkat pendidikan S-2. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan dapat
mendukung berjalannya program secara optimal. Berdasarkan tingkat pendidikannya, pegawai
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular digambarkan sebagai berikut:
57
52
5
2 2
S3 S2 S1 D3 SMA
G. SISTEMATIKA PENULISAN
1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek
strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi
organisasi.
4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa
mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
A. PERENCANAAN KINERJA
Arahan Presiden Republik Indonesia kepada Kementerian Kesehatan yang salah
satunya merupakan arahan terhadap transformasi sektor kesehatan, yang kemudian
diterjemahkan sebagai reformasi sistem kesehatan nasional. Hal ini mendasari adanya
perubahan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan pada tahun 2022. Perubahan strategi
dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024 mencakup 6 (enam) hal prinsip atau
disebut sebagai pilar transformasi kesehatan, yakni :
1. Transformasi Layanan Primer;
2. Transformasi Layanan Rujukan;
3. Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan;
4. Transformasi Pembiayaan Kesehatan;
5. Transformasi SDM Kesehatan; dan
6. Transformasi Teknologi Kesehatan.
Tabel 2.1 Target Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2020 – 2024
SASARAN KEGIATAN/ TARGET
NO INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2020 2021 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular
Meningkatnya Penemuan dan pengobatan
1.
kasus HIV
Persentase orang dengan risiko
1.1 - - 80 85 90
terinfeksi virus yang melemahkan
Tabel 3.1 Target dan capaian Indikator Kinerja Kegiatan P2PM Tahun 2023
Sumber : Data Monitoring Evaluasi Direktorat P2PM Tahun 2023 cut off 31 Januari 2024
1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV
a. Definisi Operasional
Jumlah orang dengan risiko (Ibu hamil, pasien IMS, pasien TBC, WPS, LSL, Penasun,
WBP dan waria) , terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV. Angka ini menggambarkan orang yang berisiko
mengetahui status terinfeksi HIV secara dini.
b. Rumus/Cara Perhitungan
Jumlah orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV dibagi target skrining orang yang berisiko yang
ditetapkan oleh Kabupaten/kota dan atau kementerian kesehatan pada waktu tertentu
di kali 100 %.
Jumlah orang yang risiko terinfeksi virus
Persentase orang dengan risiko terinfeksi di tes HIV dalam kurun waktu tertentu
virus yang melemahkan sistem kekebalan =
tubuh manusia yang mendapatkan skrining
X 100%
=
HIV Jumlah target skrining berisiko HIV dalam
kurun waktu yang sama
c. Capaian Indikator
Indikator Kinerja Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang Melemahkan Sistem
Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV merupakan indikator baru
pada tahun 2022. Monitoring dan evaluasi indikator ini mulai dilakukan pada tahun 2022.
Berikut hasil capaian indikator pada tahun 2023 berdasarkan data SIHA per Desember
2023.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa capaian indikator orang dengan risiko
terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV adalah 76%. Hasil capaian tersebut jika dibandingkan dengan target
berdasarkan Permenkes Nomor 13 Tahun 2022 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020 - 2024, dimana target indikator orang dengan
risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV adalah 85% maka capaian tersebut masih dibawah target
dengan capaian kinerja sebesar 89,41%. Untuk hasil capaian indikator per provinsi
dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 3.2 Capaian Orang dengan Risiko Terinfeksi Virus yang melemahkan
Sistem Kekebalan Tubuh Manusia yang mendapatkan Skrining HIV Per Provinsi
Tahun 2023
Dari grafik di atas diketahui bahwa belum semua provinsi mencapai target untuk
indikator orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV. Provinsi yang sudah mencapai target adalah
Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan capaian indikator orang
dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV dari 3.573.088 orang (60%) di tahun 2022 menjadi sebanyak
5.614.941 orang (76%) pada tahun 2023. Walaupun indikator ini belum mencapai target
selama 2 tahun berturut-turut, namun ada kenaikan capaian sehingga dapat
diproyeksikan pada tahun 2024 dapat mencapai target yang sudah ditetapkan sebesar
90%.
Skrining HIV terhadap orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia dilakukan dengan tujuan agar dapat diketahui status
seseorang menderita HIV atau tidak, sehingga dapat segera mendapatkan pengobatan
ARV.
Berdasarkan data dari UNAIDS 2023, diketahui bahwa belum semua orang yang
mengetahui status HIVnya akan langsung memulai pengobatan ARV, beberapa akan
menunda. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia namun juga negara-negara lain
didunia.
Sumber: UNAIDS 2023 HIV Estimates and Global AIDS Monitoring 2023
Grafik diatas memperlihatkan kondisi di beberapa negara di Asia dan Oseania. Kondisi
di Malaysia, sebesar 68% ODHIV mengetahui status HIVnya dan dalam pengobatan
ARV, di India sebesar 86%, capaian terbaik terjadi Kamboja yaitu 99,9% sedangkan
capaian terendah terjadi di Afganistan (35%).
d. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
Beberapa upaya yang dilakukan dalam pencapaian indikator tersebut adalah:
1) Kerjasama dengan mitra dalam penemuan dan penjangkauan pada populasi
Ini dilakukan untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi
tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV, sehingga diharapkan adanya kesadaran
untuk melaksanakan tes dan pengobatan sehingga capaian tes dan pengobatan
meningkat. Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan pertemuan Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS), kerjasama klinik komunitas dengan layanan
Gambar 3.2 Kegiatan Supervisi dan Pembinaan Notifikasi Pasangan dan Anak
(NPA)
Gambar 3.3 Kegiatan Sosialisasi dan Advokasi Kebijakan Program HIV AIDS
dan PIMS
g. Pemecahan masalah
1. Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)
Untuk meningkatkan capaian skrining dan penemuan kasus HIV pada populasi
khusus dimana populasi ini rentan untuk tertular HIV/menularkan maka perlu
dilakukan skrining pada ibu hamil, pasien TBC dan calon pengantin maka perlu
dilakukan integrasi layanan sehingga skrining HIV bisa dilakukan di pelayanan KIA
dan TBC.
2. Skrining HIV Mandiri (SHM)
Dengan edukasi dan sosialisasi tentang HIV yang optimal diharapkan adanya
kesadaran khususnya pada populasi rentan dan berisiko untuk melakukan tes HIV
secara mandiri mengingat mereka adalah populasi yang sulit untuk dijangkau oleh
petugas layanan.
3. Penguatan Sistem Informasi terintegrasi
Dengan adanya sistem informasi terintegrasi yang mudah untuk diaplikasikan oleh
semua petugas kesehatan di layanan, maka diharapkan semua hasil skrining dapat
dilaporkan dengan baik sehingga capaian menjadi meningkat
4. Pengembangan ke layanan swasta
Skrining HIV tidak hanya dilakukan di layanan pemerintah tetapi juga di layanan
kesehatan swasta dan dilaporkan ke dalam SIHA untuk meningkatkan penemuan
dan capaian indikator.
5. Perluasan skrining di lapas/rutan
Skrining merupakan hal penting untuk menjaga Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP). Skrining HIV/AIDS bagi WBP berisiko dilaksanakan dalam rangka
mendeteksi akan potensi seseorang terinfeksi HIV/AIDS didalam tubuhnya, dengan
melakukan perluasan skrining di lapas/rutan di Indonesia. Kegiatan ini diharapkan
akan meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini sehingga bisa segera diobati
dan tidak menularkan ke warga binaan lainnya.
6. Penguatan Notifikasi Pasangan dan Anak (NPA)
Notifikasi Pasangan dan Anak adalah upaya untuk menemukan pasien HIV melalui
pasangan seksualnya. Diharapkan melalui notifikasi pasangan, pasien yang positif
HIV mau menyampaikan atau membuka statusnya kepada pasangan seksualnya
dan mengajak pasangannya untuk melakukan tes agar bisa diketahui statusnya
secara dini.
7. Peningkatan edukasi kepada masyarakat melalui promosi media sosial dan media
lainnya.
Edukasi kepada masyarakat melalui promosi dengan media sosial atau lainnya
tentang HIV dirasakan masih perlu dilakukan mengingat belum semua masyarakat
memahami tentang penyakit HIV dengan baik. Media KIE yang menarik dan mudah
dipahami diharapkan masyarakat menjadi paham tentang HIV.
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
PAKi = Rp.401.898.561.000,-
RAKi = Rp.387.005.458.270,-
CKi = 89,41% = 0,89
E = -0,08 %
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,08%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 31%
20
c. Capaian Indikator
Indikator persentase ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan ARV
merupakan indikator yang menggambarkan temuan kasus HIV di suatu wilayah. Untuk
memutuskan mata rantai penularan HIV AIDS, maka diharapkan setiap ODHIV yang
ditemukan diobati, sehingga virus dapat tersupresi (jumlah virus didalam tubuh sangat
rendah) dan tidak lagi berpotensi menularkan kepada orang lain. Berikut grafik capaian
indikator berdasarkan data SIHA per Desember 2023 :
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa belum semua Provinsi mencapai target.
Provinsi yang sudah mencapai target adalah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Sulawesi
Tenggara.
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa capaian indikator tahun 2020 adalah 78%
dan terus naik sampai tahun 2021 menjadi 82%, kemudian turun menjadi 80% pada
tahun 2022 dan turun kembali pada tahun 2023 capaiannya adalah 79%. Menurunnya
capaian persentase capaian ODHIV baru ditemukan yang mendapatkan pengobatan
ARV ini dikarenakan ODHIV baru yang ditemukan menunda untuk pengobatan atau
Grafik 3.8 Capaian Program HIV AIDS untuk indikator 95 – 95 – 95 Tahun 2023
Gambar 3.12 Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Program HIV AIDS dan PIMS
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
PAKi = Rp.176.789.555.000,-
RAKi = Rp.175.158.810.380,-
CKi = 87,78% = 0,88
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,13%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 18%
20
b. Definisi Operasional
Jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua
kasus TBC yang diobati dan dilaporkan dalam satu tahun.
c. Rumus/cara perhitungan
d. Capaian Indikator
Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate) merupakan
indikator baru dalam RAK pada tahun 2022 - 2024, sebelumnya indikator tersebut
merupakan indikator pada RAP P2P tahun 2020-2021. Tahun 2023, indikator TBC
Success Rate belum mencapai target dengan capaian 84,81% dari target 90% dengan
persentase kinerja sebesar 94.24%. Data ini masih bersifat sementara karena masih
data per tanggal 2 Januari 2024 secara lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:
82
80
78
2020 2021 2022 2023 2024
Target Capaian
Berdasarkan grafik di atas dapat kita lihat bahwa terjadi kenaikan capaian indikator
angka keberhasilan pengobatan TBC dari tahun 2020 sebesar 83,1% menjadi 86%
pada tahun 2021. Dari tahun 2021 menurun pada tahun 2022 menjadi 84,64%. Hal ini
dapat dikaitkan dengan jumlah penemuan dan pengobatan kasus TBC yang pada tahun
2019 sebanyak 560.000 kasus sembuh pada tahun 2020 sebanyak 465.000 (83,1%),
jumlah penemuan dan pengobatan kasus pada tahun 2020 sebanyak 384.000 dan
sembuh pada tahun 2021 sebanyak 330.240 (86%) dan penemuan kasus terus
meningkat pada tahun 2021 menjadi 397.463 kasus dan sembuh pada tahun 2022
sebanyak 336.408 kasus (84,64%). Jika dilihat secara persentase capaian tahun 2022
lebih rendah dibandingkan pada tahun 2021, namun jika dilihat secara absolut sudah
meningkat. Demikian juga pada tahun 2023, secara persentase hanya meningkat sedikit
dibandingkan pada tahun 2022, yaitu menjadi 84,81%, namun secara absolut dari
sebanyak 636.919 kasus TBC yang ditemukan selama tahun 2022, yang berhasil dalam
pengobatan sebanyak 540.164 kasus.
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa walaupun indikator ini selama 4 tahun
berturut-turut belum mencapai target, namun dapat diproyeksikan pada tahun 2024
dapat mencapai target yang sudah ditetapkan sebesar 90%.
Data WHO (Global TB Report 2022), memperlihatkan indikator yang dipakai dalam
mencapai tujuan “End the Global TB epidemic” adalah jumlah kematian akibat TB per
tahun, angka kejadian (incidence rate) per tahun serta persentase rumah tangga yang
menanggung biaya pengobatan TB. Menurut TB Global Report tahun 2023 untuk
Indonesia, angka kejadian (insidensi) TB tahun 2022 adalah 385 per 100.000 (sekitar
1.060.000 pasien TB), dan 2,26% (24.000 kasus) di antaranya dengan TB/HIV. Angka
kematian TB adalah 48,6 per 100.000 penduduk (jumlah kematian 134.000) tidak
termasuk angka kematian akibat TB/HIV. WHO memperkirakan ada 31.000 kasus
Multidrug Resistance (MDR) di Indonesia.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa capaian angka keberhasilan pengobatan
TBC di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 87%. Capaian ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan capaian di Regional Asia Tenggara maupun di global yaitu
sebesar 88%. Selain itu dapat diketahui capaian secara regional di tahun 2022, angka
keberhasilan terendah adalah regional Eropa (69%) sedangkan yang tertinggi di
Regional Timur Tengah (92%). Bila dibandingkan pada 8 negara dengan beban
tertinggi, maka angka keberhasilan pengobatan TBC paling rendah di Afrika Selatan
(79%) dan Filipina (80%). Bila dilihat dari negara-negara yang mengalami penurunan
penemuan kasusnya, maka yang paling rendah adalah Federasi Rusia (60%).
Berdasarkan data di atas, walaupun pada 3 tahun berturut–turut belum mencapai target,
tapi dengan meningkatnya capaian setiap tahunnya, maka dapat diproyeksikan bahwa
capaian keberhasilan pengobatan pada tahun 2024 masih on track dan bahkan dapat
mencapai target yang sudah ditentukan, yaitu sebesar 90%.
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN dan indikator strategis Renstra
Kementerian Kesehatan yakni menurunnya insidensi TBC per 100.000 penduduk, maka
angka keberhasilan pengobatan akan mempengaruhi insidensi TBC. Data Global
Report TB 2023 menunjukkan insidensi TBC di Indonesia sebesar 385 per 100.000
penduduk pada tahun 2022, meningkat bila dibandingkan dengan insidensi TBC tahun
2020 yakni 301 per 100.000 penduduk dan 354 per 100.000 penduduk pada tahun 2021,
yang sebelumnya sudah menurun dari 2018 yakni 316 per 100.000 penduduk menjadi
312 per 100.000 penduduk pada tahun 2019.
Angka insidensi menggambarkan jumlah kasus TBC di populasi, tidak hanya kasus TBC
yang datang ke pelayanan kesehatan dan dilaporkan ke program. Angka ini dipengaruhi
oleh kondisi masyarakat termasuk kemiskinan, ketimpangan pendapatan, akses
terhadap layanan kesehatan, gaya hidup, dan buruknya sanitasi lingkungan yang
berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TBC. Insidensi TBC dengan angka
keberhasilan pengobatan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka
keberhasilan pengobatan semakin tinggi, maka insidensi TBC akan menurun dan
4. Melakukan supervisi ke Prov. Kab/Kota dan faskes terpilih untuk monitoring dan
evaluasi pelaksanaan kegiatan di lapangan dalam rangka meningkatkan capaian
indikator.
Gambar 3.21 Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat
dengan Sekda dan perwakilan daerah di Provinsi Beban Kasus Tinggi
Salah satu program percepatan eliminasi TBC di Indonesia saat ini adalah
penemuan kasus secara aktif melalui investigasi kontak (IK). IK merupakan
kegiatan pelacakan yang ditujukan pada orang-orang yang kontak dengan
pasien TBC (indeks kasus) untuk menemukan terduga TBC, merujuk ke layanan
kesehatan untuk pemeriksaan lanjutan, serta memberikan pengobatan yang
tepat dan sedini mungkin. Panduan Nasional pelaksanaan Investigasi Kontak
telah dikembangkan dan mulai digunakan bersama oleh pemerintah dan
komunitas pada tahun 2019.
Adapun belum tercapainya target tersebut dapat dijelaskan karena walaupun pandemi
covid 19 sudah berlalu namun kasus TBC yang berhasil sembuh pada tahun 2022
merupakan kohort kasus TBC yang ditemukan dan diobati pada tahun 2021. Pandemi
Covid-19 masih mempengaruhi pelaksanaan program TBC terutama dalam hal
pencapaian keberhasilan pengobatan sebagai berikut:
1) Terganggunya keberlangsungan pengobatan karena pasien tidak datang mengambil
obat
h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TBC melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6
strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TBC di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TBC” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TBC melalui PPM (Public Private Mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TBC-HIV, TBC-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
- Inovasi diagnosis TBC sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan kelangsungan pengobatan pasien atau case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (Universal Health Coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TBC.
- Memaksimalkan penemuan TBC secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TBC
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TBC
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TBC.
- Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TBC di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistik secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Strategis, surveilans proaktif termasuk kewajiban
melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.
1.492.694.995.880 - 1.562.306.334.558
E= ---------------------------------------------------------------------- X 100 %
1.492.694.995.880
E = - 4,67 %
Efisiensi Sumber Daya dari indikator Angka keberhasilan pengobatan TBC sebesar -
4,67%. Artinya biaya untuk kegiatan output tersebut termasuk efisien dari pagu anggaran
yang disediakan.
b. Definisi operasional
merupakan jumlah Kabupaten/Kota dengan % jumlah kasus malaria positif yang
terkonfirmasi dibandingkan dengan jumlah total pemeriksaan (positive dan negative).
Indikator Positivity Rate (PR) meruapakan salah satu kriteria eliminasi malaria sesuai
dengan Permenkes Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Malaria. Selain
indikator Positivity Rate (PR) malaria < 5%, daerah tersebut harus memenuhi tiga 2
kriteria utama lainnya yaitu: API kurang dari 1 Per 1000 penduduk dan tidak ada
penularan setempat malaria selama tiga tahun berturut-turut serta memenuhi beberapa
persyaratan lainnya. Status PR malaria < 5% diperoleh dari jumlah kasus positif
dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pada waktu yang sama. Kasus positif
malaria harus terkonfirmasi laboratorium yang diagnosis pemeriksaan ditegakan
dengan diagnosis melalui RDT dan atau mikroskop.
c. Rumus/cara perhitungan
Positivity Rate (PR) Malaria < 5% =
Jumlah Kasus Positif yang terkonfirmasi laboratorium x 100%
Jumlah Pemeriksaan (Positif dan negative)
Berdasarkan laporan rutin malaria pada tahun 2022 terdapat peningkatan kasus malaria
sekitar lebih dari 30% di Indonesia dari 304.607 tahun 2021 menjadi 443.530 seluruh
kasus positif di Indonesia pada tahun 2022. Kasus terbesar terlaporkan di Provinsi
Papua yang berkontribusi menyumbang kasus positif sebanyak 393.801 (89%) dari
kasus Nasional.
d. Capaian indikator
Gambar 3.23 Peta Endemisitas Indonesia Tahun 2023* per 15 Januari 2023
1 Aceh 23 21 2 91%
4 Riau 12 7 5 58%
5 Jambi 11 11 0 100%
7 Bengkulu 10 10 0 100%
8 Lampung 15 12 3 80%
14 DI Yogyakarta 5 3 2 60%
16 Banten 8 2 6 25%
17 Bali 9 7 2 78%
29 Gorontalo 6 6 0 100%
31 Maluku 11 9 2 82%
34 Papua 29 4 25 14%
Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 15 Januari 2024*
Secara Nasional, target kumulatif tahun 2023 adalah 394 kabupaten/kota mencapai PR
malaria < 5%, sedangkan pencapaiannya sebesar 323 (82%) Kab/Kota mencapai PR <
5%. Tahun 2022-2023 capaian jumlah kabupaten/kota mencapai PR < 5% belum
mencapai target Nasional. Target tahun 2024 untuk jumlah kabupaten/kota yang
mencapai Positivity Rate (PR) Malaria < 5% adalah sebesar 414 jika diproyeksikan akan
sulit tercapai karena berdasarkan target dan capaian selama 2 tahun terakhir tidak
tercapai. Sehingga, diperlukan adanya dukungan serta komitmen bagi daerah yang
sudah bebas malaria maupun yang masih endemis dalam peningkatan penemuan
kasus yang diperiksa dan dilaporkan pada Sistem Pencatatan Pelaporan Informasi dan
Surveilans Malaria (SISMAL).
Untuk mencapai target tersebut, perlu didukung oleh beberapa indikator komposit, yaitu
persentase konfirmasi pemeriksaan sediaan darah dan persentase pengobatan standar
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa 26 provinsi (76%) telah mencapai target
Nasional dalam konfirmasi laboratorium terhadap suspek malaria. Target nasional
adalah 95% dengan capaian tahun 2023 sebesar 96% dengan jumlah suspek sebanyak
3,205,038 dan jumlah pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium sebanyak
3,062,995 orang .
Pemberian terapi pengobatan pada pasien malaria saat ini telah diatur sesuai
Kepmenkes Nomor 556 Tahun 2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Malaria, dimana pasien positif malaria (berdasarkan pemeriksaan
laboratorium) diobati dengan menggunakan ACT dengan dosis yang disesuaikan
dengan berat badan pasien. ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) merupakan
obat yang saat ini dianggap paling efektif untuk membunuh parasit Malaria. Persentase
pasien malaria positif yang diobati sesuai standar adalah proporsi pasien malaria yang
diobati sesuai standar tata laksana malaria dengan menggunakan ACT. Target dan
capaian indikator persentase pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT
adalah sebagai berikut.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Sumber data: Laporan Tim Kerja Malaria, 2023* per 15 Januari 2024
Dari grafik di atas tercatat baru 8 provinsi (24%) telah mencapai target Nasional untuk
pengobatan malaria sesuai standar. Target capaian pengobatan standar ACT yaitu
sebesar 95% sementara capaian pada tahun 2023 yaitu sebesar 89% dengan jumlah
positif malaria sebanyak 390,242 orang dan jumlah yang diobati dengan pengobatan
standar sebanyak 348,660. Berdasarkan hal tersebut, capaian indikator persentase
pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT tahun 2023 belum mencapi
target.
Selain penggunaan OAM yang rasional, salah satu pilar untuk mencapai eliminasi
malaria adalah menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan
pengobatan, sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta
(public private mix partnership).
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kualitas
tatalaksana malaria tahun 2023 yaitu:
1. Pertemuan Koordinasi Penyakit Menular pada Ibu Hamil dan Balita
2. Pertemuan Koordinasi GKIA dan P2PM 2023
3. Supervisi dalam Rangka Pendampingan Pelaksanaan FGD Minum Obat Massal
Malaria (MOMAL)
4. Supervisi dalam Rangka Sosialisasi Update Tata Laksana Malaria bagi Dokter
Puskesmas dan Dokter Rumah Sakit
5. Workshop Public Private Mix (PPM) Bali
6. Workshop Public Private Mix (PPM) Jawa Timur
7. Surveilans Pengobatan Malaria
8. Pelatihan Tatalaksana Malaria
9. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria
3) Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik untuk mengidentifikasi
daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria dan melakukan perencanaan
sumber daya yang diperlukan untuk pengendalian malaria. Kegiatan surveilans
malaria dilaksanakan sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk
pada tahap eliminasi dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi
terhadap setiap kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar
biasa malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan.
Sistem informasi malaria yang disebut SISMAL V2 mulai disosialisasikan pada
Tahun 2018 dan sepenuhnya digunakan pada Tahun 2019. Sebanyak 10.609
fasyankes telah melaporkan data malaria melalui SISMAL V2 pada tahun 2022.
Untuk memudahkan interoperabilitas data dengan data yang lainnya maka sejak
tahun 2021 SISMAL V3 sudah mulai dikembangkan dan di tahun 2022 dilakukan
sosialisasi awal SISMAL V3. Pelaksnaan implementasi penggunaan Sismal V.3
mulai dilakukan pada awal tahun 2023.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:
a. Supervisi dalam Rangka Peningkatan Kapasitas Petugas P2BB dalam Aplikasi
e-SISMAL
b. Supervisi dalam Rangka On The Job Training SISMAL V3 di 20 provinsi
c. Supervisi dalam Rangka On The Job Training Pengelola Sistem Informasi
Surveilans Malaria
6) Alat dan Bahan serta Media KIE pencegahan dan pengendalian malaria
Sarana dan prasarana Malaria adalah bangunan beserta alat dan bahan yang
digunakan pada program pengendalian malaria di Indonesia. Alat dan bahan
digunakan dalam kegiatan diagnostik (deteksi), pengobatan dan pengendalian
vektor. Ketersediaan sarana dan prasarana malaria sangat penting dalam
pencapaian eliminasi malaria. Selain itu media kie juga sangat berperan sebagi
media untuk promosi dan sosialisasi terkait pencegahan dan pengendalian malaria.
Alat dan bahan pengendalian malaria yang diadakan pada tahun 2023 seperti
mikroskop trinokuler, mist blower, APD, larvasida malaria, insektisida malaria, RDT
malaria, immertion oil dan giemsa. Sedangkan media KIE pencegahan dan
pengendalian malaria, yaitu Buku Petunjuk Teknis Pengendalian Faktor Risiko
Malaria dan Buku Kurikulum dan Pelatihan Tatalaksana Malaria bagi Dokter.
g. Pemecahan Masalah
Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas memerlukan pemecahan masalah
sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat dicapai. Berikut
ini beberapa pemecahan masalah yang dilakukan :
1) Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh Kab/Kota.
- Integrasi ke dalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai dengan
standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring Public-Private Mix Partnership layanan malaria.
2) Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
3) Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan
Epidemiologi baik dana dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund, Dana
Desa, dan Dana Kapitasi.
4) Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus seperti
penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan suku asli yang
hidup di hutan.
5) Pengembangan pelaporan secara real-time pada SISMAL V3
6) Pelatihan Penyelidikan Epidemiologi termasuk pelatihan pemetaan GIS.
Sehingga Efisiensi:
E = -14,7%
b. Definisi Operasional
Jumlah penderita baru kusta (PB/MB) dari periode kohort 1 (satu) tahun yang sama yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (PB menyelesaikan 6 dosis dalam waktu 6-9
bulan/MB menyelesaikan 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan) dinyatakan dalam
persentase
Rumus :
Jumlah kasus baru PB & MB yang menyelesaikan 6 dosis dalam 6-9 bln & 12-18 bln x
100 %
Jumlah seluruh kasus baru PB & MB yang memulai MDT pada periode kohort tahun yang sama
d. Capaian Indikator
90
90
90
90
89
88.7
87.31
87
Grafik di atas menunjukkan bahwa capaian indikator persentase penderita kusta yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu dari tahun ke tahun pada periode 2020-2024
bersifat fluktuatif. Tahun 2021 (89%), capaian indikator mengalami kenaikan dibanding
tahun 2020 (88,7%), namun kembali menurun di tahun 2022 (87%). Tahun 2023,
capaian indikator mengalami kenaikan, meskipun tidak secara signifikan menjadi
87,31% (persentase capaian target 97,01%). Angka capaian tersebut didapatkan
berdasarkan data per 20 Januari 2024, dan dapat mengalami perubahan karena
finalisasi data program P2 Kusta tahun 2023 yang belum selesai dilaksanakan. Apabila
melihat capaian indikator tersebut selama 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target
yang ditetapkan (90%), dapat diprediksikan bahwa tahun 2024 akan memperlihatkan
pola yang sama, yaitu tidak tercapainya target indikator persentase penderita kusta
yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu.
Sumatera
4 4 100,00 87 74 85,06 91 78 85,71
Utara
Sumatera
2 2 100,00 30 25 83,33 32 27 84,38
Barat
Sumatera
18 18 100,00 207 190 91,79 225 208 92,44
Selatan
Kepulauan
Bangka 3 2 66,67 30 29 96,67 33 31 93,94
Belitung
Kepulauan
6 4 66,67 32 29 90,63 38 33 86,84
Riau
Jawa Barat 136 123 90,44 1237 1111 89,81 1373 1234 89,88
Jawa Tengah 109 100 91,74 817 734 89,84 926 834 90,06
Jawa Timur 114 97 85,09 1621 1460 90,07 1735 1557 89,74
Nusa
Tenggara 28 26 92,86 159 149 93,71 187 175 93,58
Barat
Nusa
Tenggara 41 33 80,49 294 255 86,73 335 288 85,97
Timur
Kalimantan
1 1 100,00 25 23 92,00 26 24 92,31
Barat
Kalimantan
6 6 100,00 35 27 77,14 41 33 80,49
Tengah
Kalimantan
26 25 96,15 106 90 84,91 132 115 87,12
Timur
Kalimantan
5 4 80,00 68 56 82,35 73 60 82,19
Selatan
Kalimantan
0 0 #DIV/0! 29 23 79,31 29 23 79,31
Utara
Sulawesi
25 24 96,00 174 170 97,70 199 194 97,49
Tengah
Sulawesi
9 9 100,00 180 161 89,44 189 170 89,95
Tenggara
Sulawesi
76 69 90,79 627 560 89,31 703 629 89,47
Selatan
Papua 283 242 85,51 869 688 79,17 1152 930 80,73
Papua Barat 206 165 80,10 422 284 67,30 628 449 71,50
Indonesia 1479 1316 88,98 9907 8625 87,06 11386 9941 87,31
h. Pemecahan masalah:
1) Penderita yang memulai pengobatan dan keluarganya dibekali dengan edukasi dan
konseling tentang pentingnya kepatuhan berobat dan efek samping sebelum
pengobatan oleh nakes. Keluarga, kader, dan masyarakat sekitar bertugas sebagai
pengawas minum obat.
2) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE dalam rangka
menurunkan stigma kusta di masyarakat.
3) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku
kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian target
persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu.
4) Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
secara rutin.
5) Memperluas cakupan kegiatan deteksi dini dan pemeriksaan kontak hingga 20
kontak per 1 kasus indeks, diiringi dengan pemberian kemoprofilaksis kusta pada
kasus kontak guna memutus rantai penularan kasus kusta.
6) Mendorong pelaksanaan surveilans kusta yang adekuat pada daerah endemis
rendah, terutama daerah dengan persentase penderita kusta yang menyelesaikan
pengobatan tepat waktu yang rendah.
7) Melakukan pendampingan ke provinsi dan kabupaten/kota dengan capaian indikator
rft yang belum mencapai target yang diharapkan serta mengidentifikasi hambatan.
8) Melakukan validasi data secara berjenjang, mulai dari kabupaten/kota, dan provinsi
yang dilakukan dengan menggunaan dana masing-masing daerah, sehingga data
yang diperoleh adalah data yang valid.
9) Melengkapi pencatatan data penderita kusta dengan alamat sesuai KTP, alamat
domisili, serta nomor kontak penderita dan keluarga yang dapat dihubungi.
10) Mengembalikan pengobatan penderita kusta yang berobat di RS ke puskesmas agar
lebih terpantau status pengobatannya, ataupun menyusun kesepakatan manajemen
dan pencacatan pelaporan kasus di RS.
11) Mendorong percepatan pengembangan Sistem Informasi Kusta dan Frambusia
(SITASIA)
12) Memonitor proses penyediaan Obat MDT dalam negeri.
PAKi : Rp 8.638.147.000
RAKi : Rp 7.638.789.490
CKi : 97,01 %
Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas harus
diberikan tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit penuh
dan melihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK), baru
kemudian diklasifikasi menjadi pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan
pneumonia, serta diberikan tatalaksana sesuai klasifikasi yang telah ditentukan.
Terdapat perluasan definisi tatalaksana pneumonia standar, yang sebelumnya hanya
menekankan pada penemuan kasus melalui pendekatan MTBS menjadi penemuan
kasus dan pengobatan standar menggunakan antibiotik.
b. Definisi Operasional
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah Persentase kasus
pneumonia balita yang ditemukan dan diberikan pengobatan antibiotik.
c. Rumus/cara perhitungan
Persentase kasus pneumonia balita yang diberikan antibiotik = Jumlah kasus
pneumonia balita yang diobati dengan antibiotik dibagi dengan total kasus pneumonia
balita yang ditemukan di fasyankes dikali 100.
d. Capaian Indikator
Target Indikator program ISPA berdasarkan Renstra Kemenkes 2022-2024 yaitu
persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah sebagai berikut:
Berikut data capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2023.
Penemuan Pengobatan
Pelaporan Kasus Sesuai Standar Persentase
100%
95% 95%
80%
60% 70%
50% 53%
40%
20%
N/A
0%
2022 2023 2024
Target Capaian
94.31%
99.99%
99.70%
99.58%
97.96%
97.87%
97.69%
96.35%
96.07%
95.99%
95.23%
94.96%
94.60%
94.45%
94.41%
94.01%
93.63%
93.43%
93.17%
92.98%
91.68%
91.65%
90.01%
89.88%
88.66%
88.59%
87.43%
84.59%
80.80%
79.72%
78.79%
95.01%
100.00%
72.05%
90.00%
60.74%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Banten
Riau
Jawa Tengah
Sulawesi Selatan
Kalimantan Selatan
Maluku
Kalimantan Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Tenggara
Jambi
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
DI Yogyakarta
Lampung
DKI Jakarta
Sumatera Selatan
Bali
Papua
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Bengkulu
Jawa Barat
Gorontalo
Papua Barat
Maluku Utara
Kalimantan Utara
Sumatera Barat
Aceh
Sulawesi Utara
Nasional
Kepulauan Bangka Belitung
Cakupan Target
Grafik di atas menunjukkan 33 provinsi yang sudah melaporkan capaian diatas target
persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar yang sudah ditetapkan yaitu
sebesar 70 %, Provinsi Papua mencapai target 100 % sedangkan Provinsi Lampung
belum mencapai target pengobatan pneumonia.
Diharapkan dengan penemuan kasus dan pengobatan pneumonia yang sudah sesuai
standar dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian balita akibat pneumonia.
Pneumonia masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas utama karena infeksi
pada bayi dan anak di dunia. Pneumonia dan diare bertanggung jawab atas sepertiga
(29%) dari kematian balita, yang mengakibatkan hilangnya dua juta anak per tahun
(World Health Organization (WHO) 2013). Pada tahun 2019, kasus pneumonia
menyumbang 740.180 (14%) kasus kematian anak usia di bawah 5 tahun (Balita) (WHO
2021). Kejadian kematian akibat pneumonia dan diare pada balita di 15 negara
dilaporkan sekitar 70%. Sekitar 2.200 anak meninggal setiap hari akibat pneumonia
(IVAC 2020; UNICEF 2019a). Pneumonia juga menjadi penyebab kematian balita
terbesar di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI 2020; UNICEF 2019b). Pada tahun
2018 diperkirakan sekitar 19.000 anak meninggal dunia akibat pneumonia.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pencapaian
Persentase kasus pneumonia pada balita yang diberikan antibiotik mencapai mencapai
target 95,01 % karena:
1. Sudah ada pedoman tatalaksana untuk kasus pneumonia balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama
2. Adanya kegiatan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola program
ISPA dalam tatalaksana pneumonia sesuai standar termasuk dalam pencatatan dan
peloporan pneumonia
h. Pemecahan masalah
Upaya yang dilakukan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi adalah
1. Sosialisasi ditingkat provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas mengenai
tatalaksana kasus pneumonia
2. Sosialisasi terkait penambahan variabel pengukuran indikator dalam pencatatan
pelaporan
3. Melakukan supervisi ke beberapa provinsi dan melakukan bimbingan teknis
mengenai tatalaksana pneumonia dan pencatatan pelaporan ISPA dibeberapa
Puskesmas terpilih.
4. Secara berkala melakukan bimbingan teknis ke daerah baik secara tatap muka
(pada saat kunjungan ke daerah) maupun daring. Bimbingan secara daring dapat
dilakukan terkait manajemen kasus maupun pencatatan pelaporan dan dapat
dilakukan dengan melibatkan lebih banyak peserta, sampai ke tingkat puskesmas
dan bisa beberapa kali dalam 1 tahun.
b. Definisi Operasional
Persentase balita diare yang mendapat tatalaksana standar dengan pemberian oralit
dan zinc
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah balita diare yang diobati sesuai standar dibagi seluruh balita diare dikali 100
d. Capaian Indikator
Capaian nasional indikator pengobatan diare sesuai standar tahun 2023 untuk
pengobatan kasus diare sebesar 91,23%. Capaian tersebut sudah melebihi target 2023
sebesar 70%.
Grafik di atas menunjukkan capaian indikator pengobatan kasus diare sesuai standar
pada tahun 2022 sebesar 92.20 % dan capaian tahun 2023 sebesar 91.23 %. Meskipun
terdapat penurunan capaian dari tahun 2022 ke tahun 2023, namun capaian selalu
melebihi target yang ditetapkan, sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2024
capaian pengobatan kasus diare sesuai standar akan mencapai target yang ditetapkan
yaitu 85%.
Grafik 3.18 Persentase Kasus Diare yang diberikan Oralit dan Zinc
Tahun 2023
97.63
97.58
97.14
96.10
95.60
94.00
93.40
93.14
92.25
91.23
90.45
90.16
90.05
89.83
89.16
88.95
88.77
88.65
100.00
88.06
87.87
87.80
87.78
87.70
87.51
87.23
84.51
83.89
83.42
82.86
82.72
81.96
81.78
81.77
79.02
90.00
77.13
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Grafik diatas menunjukkan bahwa cakupan pengoatan diare dengan oralit dan zinc
sebesar 91,23%. Secara nasional (34 provinsi) telah mencapai target minimal 70%
pengobatan kasus diare sesuai standardengan oralit dan zinc. Capaian tertinggi adalah
Provinsi Jawa Timur sebesar 97,63%, dan terendah di Provinsi Sulawesi Tenggara
h. Pemecahan masalah
1) Mengatasi masalah undetected (under-diagnosis cases) dengan cara melakukan
active case finding dengan kegiatan edukasi di masyarakat dan tokoh masyarakat
serta LS dan LP, pemberdayaan kader untuk penemuan kasus di masyarakat.
2) Mengatasi masalah under-reporting cases dengan melakukan kegiatan validasi
data di Puskesmas, penyisiran kasus di fasyankes swasta, mengguankan format
catpor standar dan seragam.
3) Peningkatan kapasitas pengelola program dalam tatalaksana termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
4) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana diare.
5) Optimalisasi kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,
UN serta lintas program.
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau Hepatitis
C pada salah satu populasi berisiko, yaitu ibu hamil, tenaga kesehatan, WBP, Penasun,
ODHA, Pasien HD,dll) dibagi jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia dikali 100%
d. Capaian Indikator
Indikator ini menggambarkan sebaran dan seberapa banyak kabupaten/kota berperan
dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit menular dengan melakukan deteksi
dini hepatitis B dan C pada populasi berisiko.
Tahun 2023, target kinerja belum tercapai, dari 100% kabupaten/kota yang ditargetkan
melaksanakan deteksi dini penyakit menular pada kelompok berisiko, hanya sebesar
97.1% atau sebanyak 499 kabupaten/kota yang melaksanakan skrining seperti
tergambar pada grafik di bawah ini:
Dari 38 provinsi yang ada, terdapat 34 provinsi (89.5%) sudah mencapai target 100%
kabupaten/kotanya melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi
berisiko. Tapi masih terdapat 4 provinsi (10.5%) yang kabupaten/kotanya masih belum
mencapai target 100% yaitu dengan capaian terendah yaitu Provinsi Papua tengah 25%,
Papua Pegunungan 37.5%, Papua Barat Daya 66.7% dan Papua Barat 71.4.
Deteksi dini hepatitis B dan C bertujuan untuk mencegah masalah Kesehatan yang
mungkin timbul seperti sirosis, kanker hati bahkan kematian dan juga untuk mencegah
penularan virus hepatitis B dan C. Di Indonesia penularan Hepatitis B secara umum
terjadi secara vertikal yaitu dari ibu hepatitis B kepada bayi yang dilahirkannya, dan bila
terinfeksi Virus Hepatitis B saat bayi, 95% akan menjadi kronis. Sehingga sangat penting
untuk melakukan skrining hepatitis B pada ibu hamil sehingga bisa dilakukan tindakan
pencegahan misalnya dengan pemberian Imunoprofilaksis Hepatitis B (HBIg) pada bayi
dari ibu yang terdeteksi hepatitis B dan pengobatan secepatnya kepada ibu yang
terdeteksi Hepatitis B.
Skrining hepatitis B pada ibu hamil dilakukan dengan pemeriksaan HBsAg (Hepatitis B
surface Antigen) baik menggunakan RDT (Rapid Diagnostic Test) maupun Elisa. RDT
HBsAg disediakan oleh Kementerian Kesehatan. Tahun 2023 ibu hamil yang di skrining
hepatitis B sebanyak 50,48% (2.477.363 ibu hamil) dari sasaran 4.907.227, dengan
sebaran berdasarkan provinsi seperti tergambar pada grafik di bawah ini :
Secara Nasional persentase ibu hamil yang terlaporkan diperiksa hepatitis B baru
mencapai 50,48%, ini masih jauh dari target seperti tercantum dalam Kepmenkes
Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus,
Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak dimana setiap ibu hamil (100%) wajib diperiksa
HIV, sifilis dan hepatitis B.
Dari grafik diatas terlihat terdapat 16 provinsi dengan cakupan di atas 50%, dengan
capaian tertinggi yaitu Provinsi Banten sebanyak 73.71% kemudian Gorontalo 72.97%
dan Nusa Tenggara Barat 67.35%. Provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua
Pegunungan 5.2%, Papua Tengah 13.81 dan Papua Barat 14.17%.
Provinsi yang belum mencapai target berada di Pulau Papua. Kendala yang dihadapi:
- Belum semua kabupaten/kota di provinsi pengembangan di Pulau Papua mempunyai
pengelola program hepatitis
- Kurangnya dukungan Pemerintah Daerah terhadap program hepatitis, baik
dukungan sumber daya maupun anggaran
h. Pemecahan Masalah
1. Bimbingan teknis ke provinsi yang belum mencapai target tahun 2023 baik secara
daring maupun luring
2. Mengoptimalkan teknologi komunikasi dalam meningkatkan komunikasi (koordinasi
dan kerjasama) dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas
misalnya melalui aplikasi zoom, youtube dan Whatsapp
3. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan Tim Kerja HIV PIMS
dan Tim Kerja Maternal Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu
ke Anak (PPIA) HIV, Sifilis dan Hepatitis B (Triple Eliminasi)
4. Peningkatan kapasitas pengelola program dalam deteksi dini termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
5. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
Hepatitis Virus melalui peringatan Hari Hepatitis Sedunia (HHS)
i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya
Anggaran Tahun 2023 sebesar 108.788.755.000 dengan realisasi sebesar
107.150.356.523 (95,5%). Capaian indikator kinerja sebesar 97.1%
Formula Efisiensi:
a. Definisi Operasional
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar. Angka ini
menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok yang
berisiko terinfeksi sifilis.
b. Rumus/cara perhitungan
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan
Persentase pasien sifilis = pengobatan sesuai dengan standar X
yang diobati Jumlah pasien sifilis yang ditemukan pada 100%
periode waktu tertentu
c. Capaian Indikator
Angka ini menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok
yang berisiko terinfeksi sifilis. Monitoring Indikator presentase pasien sifilis yang diobati
mulai dilakukan pada tahun 2022. Berikut grafik capaian indikator presentase pasien
sifilis yang diobati tahun 2023 berdasarkan data SIHA per Januari 2024:
Grafik 3.22 Grafik Presentase Pasien Sifilis yang diobati Tahun 2023
Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa capaian indikator presentase pasien sifilis
yang diobati pada tahun 2023 adalah sebesar 70%, jika dibandingkan dengan targetnya
yaitu 85 % maka capaiannya masih dibawah target dengan capaian kinerja sebesar
82,35%.
Berdasarkan grafik di atas diketahui belum semua provinsi mencapai target, provinsi
yang sudah mencapai target adalah : Papua Pegunungan (134%), Jawa Tengah
(102%), DKI Jakarta (91%), Sulawesi Selatan (90%), Kalimantan Utara (87%) dan
Maluku (88%).
Sifilis merupakan salah satu penyakit Infeksi Menular Seksual yang dapat
menyebabkan keguguran dan kematian pada bayi yang baru lahir yang menyebabkan
kecacatan pada bayi sehingga perlu adanya tindakan pencegahan dan pengobatan
sedini mungkin.
Berikut capaian dan target sifilis untuk tahun 2022 sampai dengan 2024
Grafik 3.24 Grafik Capaian dan Target Presentase Pasien Sifilis yang Diobati
Tahun 2022 - 2024
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa capaian indikator presentase pasien sifilis
yang diobati mengalami kenaikan dari 68% (2022) menjadi 70% (2023), meskipun
belum mencapai target yang ditetapkan. Pada tahun 2024 di proyeksikan akan ada
kenaikan capaian indikator pada tahun 2024 dan memenuhi target dengan
Gambar 3.42 Kegiatan Integrasi layanan (IMS, TB-HIV, ANC, layanan kespro catin)
g. Pemecahan masalah
Untuk meningkatkan capaian indikator program agar dapat mencapai target yang telah
ditentukan, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan khususnya untuk provinsi
yang belum mencapai target, antara lain :
1) Melakukan aktivasi layanan IMS dengan laboratorium sederhana
Aktivasi tersebut dilakukan tujuan agar layanan IMS dapat berjalan dengan optimal
sehingga layanan diharapkan mampu melakukan pengobatan untuk kasus sifilis
lanjut
2) Refreshing petugas layanan IMS dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan
terkait tatalaksana, penemuan kasus dan pencatatan pelaporan.
3) Meningkatkan Koordinasi dengan lintas program/lintas sektor sehingga program
pencegahan dan pengendalian IMS dapat berjalan dengan baik terutama untuk
Penguatan komitmen triple eliminasi (HIV, sifilis dan hepatitis).
4) Monitoring dan evaluasi secara bertingkat dan berkala perlu dilakukan untuk
memantau sejauh mana pelaksanaan proram pencegahan dan pengendalian IMS
dilaksanakan.
5) Penemuan kasus HIV secara aktif dengan melakukan kerjasama dengan
komunitas sehingga diharapkan penemuan kasus meningkat dan pasien bisa
segera diobati.
6) Penguatan sistem informasi HIV AIDS dan IMS termasuk PPIA sehingga semua
kasus IMS dan pasien IMS yang diobati tercatat dalam sistem informasi pencatatan
dan pelaporan dengan baik.
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
PAKi = Rp.17.780.192.000,-
RAKi = Rp.17.687.809.984,-
CKi = 82,35% = 0,8235 = 0,824
E = -0,21 %
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0,21%
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = −2%
20
Nilai Efisiensi penggunaan sumber daya untuk indikator presentase pasien sifilis yang
diobati adalah -2 %, antara lain disebabkan :
1. Masih ada layanan yang tidak melaporkan pasien IMS (sifilis) yang datang dan
diobati ke dalam SIHA sehingga mempengaruhi capaian indikator
2. Layanan IMS belum berjalan secara optimal.
3. Masih ada petugas layanan yang belum memahami tentang pencatatan dan
pelaporan IMS (sifilis) .
4. Terbatasnya dukungan dana untuk program pencegahan dan pengendalian
penyakit IMS (sifilis).
b. Definisi Operasional
Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai Eliminasi adalah Jumlah desa
dengan hasil survei prevalensi schistosomiasis 0% pada manusia.
c. Rumus/Cara perhitungan
Akumulasi jumlah desa endemis yang berdasarkan hasil survei prevalensi pada
manusia, menunjukkan angka 0% pada tahun tersebut. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:
d. Capaian indikator
Capaian indikator Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2023 adalah sebanyak kumulatif 16 desa dari target 24 desa atau dengan
Dari data diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2020-2021 jumlah desa endemis
schistosomiasis yang mencapai eliminasi berhasil memenuhi target yang telah
ditetapkan, pada tahun 2022 dari 19 desa yang di targetkan hanya 16 desa yang
mencapai target. Pada tahun 2023 dari target 24 desa dengan hasil survei prevalensi
schistosomiasis 0% pada manusia secara kumulatif hanya tercapai 16 desa yang
prevalensi schistosomiasisnya 0% pada manusia. Berdasarkan grafik di atas dapat
diproyeksikan pada tahun 2024 jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai
eliminasi belum dapat mencapai target yang sudah ditetapkan.
Berdasarkan grafik diatas prevalensi schistosomiasis pada manusia sejak tahun 2016
mengalami penurunan dan berada dibawah 1% dan terus mengalami penurunan
sampai tahun 2021. Prevalensi tersebut berangsur menurun setelah dilaksanakan
pengobatan massal dengan praziquantel pada tahun 2017-2019. Tahun 2020 dan 2021
prevalensi schistosomiasis mengalami sedikit peningkatan, namun pada tahun 2022
prevalensi schistosomiasis mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi sebesar
1,45%. Dari hasil diatas, maka POPM schistosomiasis sangat diperlukan untuk
menurunkan prevalensi schistosomiasis pada manusia.
h. Pemecahan Masalah
1. Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan mengoptimalkan peran dan tugas masing-
masing lintas sektor sesuai roadmap eliminasi schistosomiasis.
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
E = 5,5 %
b. Definisi Operasional
Kabupaten/Kota yang tidak ada kematian rabies pada manusia dan spesimen positif
pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir. Capaian kinerja Pemerintah Daerah adalah
Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies dimana indikatornya adalah tidak adanya
kasus kematian karena rabies pada manusia dan tidak adanya spesimen positif pada
hewan dalam dua tahun terakhir.
c. Rumus/cara perhitungan
Tahun 2021 kami menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki ≥ 20%
Puskesmas rujukan Rabies Center. Sesuai dengan PMK no 13 tahun 2022 tentang
Sasaran Strategis Tahun 2022 – 2024 menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota
Eliminasi Rabies. (Angka absolut) dari jumlah kabupaten/kota yang tidak ada kematian
rabies pada manusia dan spesimen positif pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir
d. Capaian Indikator
Target dan Realisasi Tahun 2022
Untuk tahun 2022 - 2023 indikator yang digunakan : Jumlah kabupaten/kota eliminasi
Rabies. Tidak semua kabupaten kota di Indonesia merupakan sasaran dari indikator ini
karena tidak semua merupakan daerah endemis rabies. Adapun kabupaten/kota di
Indonesia yang menjadi sasaran sebanyak 313 kabupaten/kota yang merupakan
daerah endemis rabies.
Target indikator ini di tahun 2022 adalah 211 kabupaten/kota dengan capaian di akhir
tahun adalah 263 kabupaten/kota, sedangkan pada tahun 2023 target yang telah
ditetapkan adalah 236 kabupaten/kota dan capaian di akhir tahun adalah 247
kabupaten/kota. Distribusi kabupaten/kota eliminasi rabies seperti grafik dibawah ini
Dilihat dari perbandingan jumlah kabupaten/kota eliminasi tahun 2022 dan 2023 terjadi
penurunan jumlah kabupaten/kota eliminasi. Penurunan jumlah kabupaten/kota
eliminasi rabies tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya KLB yang terjadi
di beberapa daerah yang semula bebas rabies, peningkatan populasi hewan penular
rabies di beberapa daerah, serta kurangnya cakupan vaksinasi pada hewan penular
rabies. Diperkirakan pada tahun 2024 capaian kabupaten eliminasi rabies dapat turun
menjadi 228 kabupaten/kota dari target sebesar 261 kabupaten/kota sehingga
persentase cakupannya diperkirakan akan turun dari 103,8% (2023) menjadi 87,4%
(2024).
h. Pemecahan masalah
1. Pembinaan teknis melalui media komunikasi baik internet maupun aplikasi online
tetap dilakukan.
2. Surveilans kasus zoonosis yang bertujuan untuk memantau kemungkinan terjadinya
outbreak atau KLB dengan tetap mempertimbangkan protokol kesehatan.
3. Peningkatan penganggaran dana untuk zoonosis baik di pusat maupun di daerah.
4. Memperbanyak media KIE kepada petugas dan masyarakat sehingga informasi
dapat tersampaikan secara lebih luas
5. Advokasi dan sosialisasi pengendalian rabies kepada Kemendagri, Kemendes, dan
Pemerintah Daerah
6. Melakukan sosialisasi secara bertahap e-zoonosis yang merupakan pencatatan dan
pelaporan kasus GHPR/rabies yang real time dan berbasis web
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
(578.637.625)
E= ----------------------------------- X 100%
(8.359.807.000 X 100 %)
E = 6,921. %
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
penduduk
a. Penjelasan Indikator
Tujuan program Arbovirosis di Indonesia adalah untuk mencapai 95 % kabupaten/kota
yang memiliki angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD ≤ 10/100.000 penduduk pada
tahun 2024. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024
b. Definisi operasional
Capaian Kinerja pemerintah daerah kab/kota dalam menurunkan angka Insidens Rate
≤ 10/100.000 penduduk dalam kurun waktu satu tahun
c. Rumus/cara perhitungan
Kabupaten/kota yang mempunyai IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk dibagi jumlah
kabupaten/ kota yang ada dikali 100
d. Capaian indikator
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah bagian dari infeksi dengue. Dengue adalah
infeksi virus yang ditularkan melalui nyamuk yang umumnya terjadi di iklim tropis yang
hangat. Infeksi disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang terkait erat
(disebut serotipe) dan dapat menyebabkan spektrum gejala yang luas, termasuk
beberapa yang sangat ringan (tidak terlihat) hingga yang mungkin memerlukan
intervensi medis dan rawat inap. Tidak ada pengobatan untuk infeksi itu sendiri, tetapi
gejala yang dialami pasien dapat ditangani namun dalam kasus yang parah, dapat
terjadi kematian.
4 Riau 21,07 12 1 8%
Kepulauan Bangka
8 51,69 7 0 0%
Belitung
11 Banten 23,12 8 0 0%
28 Bali 145,32 9 0 0%
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 111 (22%) kabupaten/kota yang sudah mencapai
target indikator Insidens Rate (IR) ≤ 10/100.000 penduduk dari target 437
kabupaten/kota (85%). Capaian tahun 2023 meningkat jika dibandingkan dengan
capaian tahun 2022 yang hanya 82 (16%) kabupaten/kota yang memiliki Insidens Rate
(IR) ≤ 10/100.000 penduduk.
Sumber data: Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2023 *per 8 Januari 2024
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa tahun 2023 terdapat 5 provinsi yang mencapai
target 85% kabupaten/kota yang memiliki IR ≤10/100.000 penduduk. Meskipun target
program DBD tercapai di 5 provinsi dapat merupakan gambaran kondisi yang
sesungguhnya di wilayah tersebut, namun terdapat pula kemungkinan merupakan
cerminan dari hambatan dalam mendeteksi kasus oleh karena fasilitas diagnosis yang
kurang memadai dan system surveilans yang lemah sehingga terkendala dalam
melaporkan kasus dengue/DBD yang sebenarnya terjadi (underreporting).
Sumber data: Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2023 *per 8 Januari 2023
h. Pemecahan Masalah
1) Melakukan penguatan sistem surveilans dengue/DBD yang komprehensif serta
manajemen kejadian luar biasa (KLB) yang responsif. Melakukan deteksi dini
infeksi dengue di puskesmas dengan melakukan Rapid Diagnostic Test (RDT)
Antigen Dengue NS1 atau RDT Combo pada hari 1 -5 demam sebagai upaya
menekan kematian akibat dengue.
2) Melakukan sosialisasi pengunaan aplikasi Sistem Informasi Arbovirosis (SIARVI) di
daerah untuk mendukung pencatatan dan pelaporan kasus DBD.
3) Memperkuat Stranas Penanggulangan Dengue 2021-2025 dalam payung hukum
(Kepmenkes) sebagai dasar pemerintah daerah dalam menentukan anggaran
untuk penanggulangan dengue.
4) Melaksanakan assessment implmentasi G1R1J di wilayah endemis dan
pembentukan juknis penilaian implementasi daerah yang telah melakukan G1R1J.
5) Merevitalisasi Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Dengue/DBD di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan dan bekerjasama dengan
lintas sektor dan lintas program terkait.
6) Memperbaharui Petunjuk Teknis Logistik, Pencegahan Pengendalian Dengue,
G1R1J di Sekolah dan Masyarakat
7) Melaksanakan webinar dan workshop peningkatan kapasitas bagi tenaga
kesehatan
8) Melakukan Sosialisasi Upaya Pencegahan dan Pengendalian Dengue dengan
teknologi Wolbachia di 5 kota (Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan
Bontang) dan melakukan counter terkait isu-isu penolakan wolbachia baik melalui
media sosial maupun dengan mengadakan webinar.
= -3,60%
𝐸
𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20
−3,60
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20
𝑁𝐸 = 41 %
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1%
a. Penjelasan Indikator
Filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia karena berjangkit di sebagian besar wilayah Indonesia dan
dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup. Berdasarkan hasil pemetaan
endemisitas filariasis di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis. Sesuai Permenkes
Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, yang dimaksud dengan
daerah endemis filariasis adalah daerah yang berdasarkan survei data dasar
prevalensi mikrofilaria menunjukkan prevalensi >1%. Dalam pengendalian filariasis,
sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat transmisi filariasisnya, kabupaten/kota
tersebut harus telah selesai melaksanakan POPM Filariasis pada seluruh penduduk
sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5 tahun dengan cakupan
pengobatan minimal 65% dari total
b. Definisi operasional
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
adalah Jumlah kabupaten/kota endemis yang telah melaksanakan POPM filariasis
selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%.
.
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
diperoleh dari Jumlah kumulatif kabupaten/kota endemis yang telah melaksanakan
POPM filariasis selama minimal 5 tahun dan berhasil menurunkan angka mikrofilaria
<1%. Jumlah ini diperoleh dari data jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
telah selesai melaksanakan POPM Filariasis selama 5 tahun dengan target minimal
cakupan diatas 65% kemudian 6 – 10 bulan setelahnya dilaksanakan survei evaluasi
prevalensi mikrofilaria dengan metode pemeriksaan darah jari untuk menilai apakah
angka mikrofilaria (mf rate) sudah dapat diturunkan menjadi < 1%.
d. Capaian indikator
Pada tahun 2019 – 2022 target jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% dicapai sebesar 152%, 94%, 100%
dan 97%. Pada tahun 2023 capaian jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebanyak 208 kabupaten/kota
dari target 220 kabupaten/kota, atau dengan capaian sebesar 94,5%. Data capaian
jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1% tahun 2019 – 2023 terlihat dalam grafik dibawah ini.
Grafik 3.30
Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Berhasil Menurunkan
Mf Rate <1% Tahun 2019-2024
Faktor kegagalan lainnya adalah kondisi keamanan yang tidak kondusif sehingga
menyebabkan survei PreTAS tidak dapat dilaksanakan di dua kabupaten yaitu
kabupaten Puncak dan Puncak Jaya. Selain itu, kegagalan pencapaian target
indikator disebabkan oleh daerah yang tidak lulus pada PreTAS tahun sebelumnya
sehingga mereka harus mengulang lagi POPM Filariasis dan masih belum memenuhi
kriteria untuk menjalankan Pre TAS pada tahun 2023.
h. Pemecahan Masalah
1) Mendorong provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan bimtek atau
pendampingan POPM Filariasis dengan program lainnya dan mengatur skala
prioritas lokus yang perlu didampingi khusus dengan mencari alternatif sumber
dana lain baik APBD maupun BOK Provinsi
2) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
Mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau
daerah-daerah sulit dan terpencil.
3) Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM
Filariasis
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
E = 8,3 %
Dalam rangka menurunkan angka mikrofilaria < 1%, pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 8,3%. Anggaran yang ada telah dioptimalkan untuk
pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas program, lintas
sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis serta
pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya
kit POPM IDA telah didistribusikan ke daerah untuk mendukung pelaksanaan POPM
filariasis.
b. Definisi operasional
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi
adalah Jumlah kabupaten/kota endemis yang telah lulus survei evaluasi
penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) tahap kedua
c. Rumus/cara perhitungan
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi
dihitung dari Jumlah kumulatif kabupaten/kota endemis yang telah lulus survei
evaluasi penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) tahap kedua.
Dalam kurun waktu 5 tahun pada rentang Tahun 2019-2023 terlihat bahwa
capaian indikator eliminasi filariasis cukup fluktuatif. Tahun 2019 dapat
mencapai hasil tertinggi sebesar 160%. Tetapi, pada tahun berikutnya terjadi
penurunan capaian yaitu menjadi 80% dan 77% pada tahun 2020-2021. Hal ini
terjadi akibat dampak pandemi covid-19, dimana tidak memungkinkan
dilaksanakannya survei evaluasi penilaian penularan di kabupaten/kota
endemis. Pada tahun 2022 situasi pandemi covid-19 sudah mulai terkendali
sehingga capaian indikator kembali meningkat hingga 97% dari target. Namun,
hingga akhir tahun 2023 masih belum dapat mencapai hasil yang maksimal
seiring meningkatnya target yang ditetapkan. Sampai dengan tahun 2023,
sebanyak 108 kabupaten/kota dari target 150 kabupaten/kota endemis telah
berhasil mencapai eliminasi filariasis atau dengan pencapaian sebesar 72%.
Berdasarkan grafik tersebut maka dapat diproyeksikan pada tahun 2024, target
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil mencapai eliminasi belum dapat
tercapai.
Dari data diatas terdapat provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai
telah mencapai eliminasi filariasis yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau,
Bengkulu, Lampung, dan Banten. Sedangkan provinsi yang capaian
eliminasinya masih 0% dikarenakan kabupaten/kota endemis masih
melaksanakan POPM atau masuk dalam tahap surveilans pasca POPM adalah
Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Maluku, dan wilayah Papua Tengah,
Papua Pegunungan, Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Hal lainnya yang juga dapat berdampak pada rendahnya capaian eliminasi
filariasis yaitu adanya kabupaten/kota yang gagal saat evaluasi penilaian
penularan. Kegagalan ini menyebabkan mundurnya tahapan eliminasi pada
suatu kabupaten/kota, dimana hasil ini menunjukkan bahwa meskipun
kabupaten/kota tersebut sudah selesai POPM dengan laporan cakupan diatas
target, ternyata masih ditemukan adanya penularan filariasis aktif di masyarakat.
Kemungkinan besar karena data yang dilaporkan adalah cakupan pemberian
obat bukan cakupan pasti minum obat. Oleh karena itu, kualitas pelaksanaan
POPM harus lebih ditingkatkan yaitu dengan lebih memastikan masyarakat
minum obat di depan petugas sehingga dapat menurunkan potensi penularan
filariasis pada masyarakat yang tinggal di kabupaten/kota endemis.
Ketersediaan dan kualitas sumber daya yang memadai menjadi yang utama
sangat diperlukan untuk meningkatkan pelaksanaan penanggulangan filariasis
di daerah.
h. Pemecahan Masalah
1) Mendorong provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan bimtek atau
pendampingan POPM Filariasis dengan program lainnya dan mengatur skala
prioritas lokus yang perlu didampingi khusus dengan mencari alternatif sumber
dana lain baik APBD maupun BOK Provinsi.
2) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
Mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau
daerah-daerah sulit dan terpencil.
3) Menjamin keamanan pelaksanaan POPM dan surveilans filariasis dengan
melibatkan seluruh Lintas Sektor terutama dengan TNI/POLRI
4) Konsolidasi dan penguatan jejaring Komite Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM
Filariasis
5) Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survei
evaluasi prevalensi mikrofilaria agar dapat meningkatkan cakupan minum obat
dan memastikan obat diminum di depan petugas agar berhasil memutus rantai
penularan filariasis
6) Optimalisasi anggaran dan sumber daya yang ada untuk pelaksanaan Survei
BIS termasuk pelaksanaan peningkatan kapasitas bagi petugas untuk
pelaksanaan survei metode alternatif yang baru.
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
E = 6,5 %
a. Penjelasan Indikator
Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara merupakan salah satu
unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai
manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai
masyarakat yang adil, makmur dan Sejahtera. Badan yang ditunjuk untuk
melaksanakan salah satu fungsi memeriksa pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Seluruh pemeriksaan dan hasil pemeriksaan yang dihasilkan oleh BPK
telah didasari dengan aturan hukum yaitu Undang-undang. Laporan hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPK diserahkan kepada para stakeholder sesuai
dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan ini kemudian ditindaklanjuti oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh BPK.
b. Definisi Operasional
Rekomendasi hasil pemeriksaan BPK yang telah tuntas ditindaklanjuti adalah
rekomendasi hasil pemeriksaan BPK yang telah tercatat dalam Hasil
Pemeriksaan Semester BPK (HAPSEM BPK), dan/atau rekomendasi
pemeriksaan BPK berdasarkan hasil verifikasi Inspektorat Jenderal yang telah
dinyatakan lengkap.
d. Capaian Indikator
Hasil capaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI di Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular sampai dengan 31 Desember 2024 dapat
dilihat pada tabel berikut :
Berdasarkan tabel tersebut maka saldo akhir atas tindak lanjut hasil
pemeriksaan BPK RI sebagai berikut:
Tabel 3.8 Saldo akhir atas tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI
Saldo Akhir
Tindak Lanjut LHP BPK RI
Progres
Unit Kerja Temua Usulan TPTD Nilai Akhir
LHP Saran (%)
n (Rp) (Rp)
Direktorat P2PM 3 6 6 1.620.010.000 - 94.64
Jumlah 2.798.480.140
h. Pemecahan Masalah
1. Upaya dalam penyelesaian tindak lanjut yang bersifat administrative dimana
pegawai tersebut pindah ataupun pension yaitu berkoordinasi dengan beberapa
pihak kepegawaian dan pegawai atau keluarga pegawai yang bersangkutan.
2. Dalam proses birokrasi pemerintahan harus tetap dijalankan sesuai dengan
prosedurnya, namun sebagai Upaya percepatan penyelesaian tindak lanjut LHP
BPK RI, Direktorat P2PM meningkatkan koordinasi dengan beberapa lintas
program dan lintas sektor. Pada penyelesaian tindak lanjut LHP BPK atas
penyusunan RPMK Zoonosis, Direktorat P2PM secara aktif Bersama tim kerja
Hukormas P2P berkoordinasi baik dengan BKPK maupun Biro Hukum agar
RPMK Zoonosis segera dibahas Bersama Menteri Kesehatan RI.
C. REALISASI ANGGARAN
1. Realisasi Anggaran Direktorat P2PM
Kinerja anggaran Tahun 2023 berdasarkan data per 23 Januari 2024 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) mencapai 97.92%, dengan realisasi
Rp.2.477.096.100.731 dari pagu total sebesar Rp. 2.529.605.672.000.
Persent
NO KLASIFIKASI RINCIAN OUTPUT PAGU Realisasi ase
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa capaian realisasi anggaran total kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular sudah di atas target 95% dengan realisasi
97,92% di mana realisasi paling tinggi yaitu pada kegiatan Pelayanan Publik kepada
Masyarakat sebesar 99.90% dan terendah pada kegiatan Norma, Standard, Prosedur dan
Kriteria disebabkan oleh :
Tabel 3.12 Data realisasi anggaran kegiatan per Indikator Kinerja Kegiatan
Apabila disandingkan antara capaian kinerja setiap indikator dengan realisasi anggarannya
maka dapat diketahui bahwa :
1) Terdapat indikator yang telah mencapai target kinerja melebihi 100% namun
penyerapan anggaran belum optimal. Indikator yang telah mencapai target di antaranya
yaitu persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar (135,7%) dengan
realisasi anggaran sebesar 94,95%, persentase pengobatan kasus diare sesuai
standar (130.3%) dengan realisasi anggaran 91,58%, jumlah kabupaten/kota eliminasi
rabies (103.81%) dengan realisasi anggaran 93.05%.
2) Terdapat indikator yang tidak mencapai target kinerja kegiatan dengan persentase
penyerapan anggaran cukup baik. Indikator tersebut di antara yaitu persentase
kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk (25.88%)
dengan realisasi anggaran sebesar 92,06%, jumlah desa endemis schistosomiasis yang
mencapai eliminasi (66.67%) dengan realisasi 94.48% dan jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang mencapai eliminasi (72%) dengan realisasi 93.5%.
Pada indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, realisasi
anggaran hampir mencapai 95%. Desa endemis schistosomiasis di Indonesia hanya
terdapat pada Dataran Tinggi Napu dan Bada di Kabupaten Poso dan Dataran Tinggi
Lindu di Kabupaten Sigi. Akan tetapi lokasi penyebaran schistosomiasis yang sulit,
menjadi tantangan dalam upaya pengendalian penyakit. Upaya yang dilakukan guna
meningkatkan capaian indikator tersebut memerlukan komitmen bersama baik dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lintas program dan lintas sektor lainnya.
Hal ini disebabkan karena penularan schistosomiasis melalui keong dengan reservoir
hewan-hewan seperti babi, tikus, anjing maupun hewan ternak. Meskipun telah
dilakukan pengendalian penyakit schistosomiasis pada manusia, masih banyak
ditemukan cacing schistosoma pada hewan reservoir yang tersebar di beberapa wilayah
fokus keong. Hal ini menyebabkan masih besar potensi penularan penyakit
schistosomiasis pada manusia. Meskipun realisasi anggaran dalam pengendalian
schistosomiasis guna mencapai indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang
mencapai eliminasi sudah cukup baik, diharapkan kedepannya akan ada komitmen
bersama dalam penganggaran sebagai upaya meningkatkan pengendalian penyakit
schistosomiasis.
Filariasis disebabkan oleh cacing jenis filaria (Wuchereria bancrofti atau Brugia malayi)
dengan hewan perantara nyamuk Culex, Anopheles, Aedes maupun Mansonia. Cacing
ini dapat hidup dalam tubuh manusia selama 5 tahun, oleh karenanya upaya
pengendalian terhadap penyakit filariasis yaitu dengan POPM pada minimal 65%
penduduk daerah endemis selama 5 tahun. Kemudian tahun kelima pada bulan ke 6-10
Jika disandingkan dengan realisasi anggaran yang mencapai 93.5% maka sebenarnya
masih sangat dibutuhkan anggaran yang besar dengan komitmen bersama berbagai
pihak. Tahun 2022 pada Pertemuan Regional Programme Review Group (RPRG) di
India, dikeluarkan rekomendasi agar survei evaluasi penularan (Transmission
Assessment Survey/TAS) pada daerah Brugia Sp dapat menggunakan Survei TAS
alternatif yang disebut Brugia Impact Survey (BIS) yang mana survei ini membutuhkan
sumber daya dan anggaran yang lebih besar. Selain itu, diperlukan waktu untuk
penyesuaian dan kesiapan dalam mengimplementasikan metode survei survei alternatif
yang baru tersebut seperti pelatihan petugas dan supervisor baik tingkat pusat maupun
daerah. Diharapkan pada tahun depan, pelaksanaan anggaran kegiatan dalam rangka
melaksanakan survey TAS alternatif BIS guna meningkatkan Jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang mencapai eliminasi dapat lebih optimal
6. Pemecahan Masalah
1) Melakukan penyesuaian langkah strategi dalam pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
kebutuhan program dan kegiatan.
2) Melakukan revisi anggaran sesuai dengan kebijakan/peraturan yang telah ditetapkan.
3) Meningkatkan kapasitas pegawai agar lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan
fungsi direktorat sehingga berdampak pada percepatan pelaksanaan kegiatan dan
penyerapan anggaran.
A. KESIMPULAN
1. Pencapaian kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular tahun
2023 menunjukkan hasil yang cukup baik dengan dengan rata-rata capaian kinerja sebesar
91.50%.
2. Dari seluruh Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular sampai tahun 2023, terdapat 5 indikator yang melebihi target yang
ditetapkan dan mencapai target 100% sedangkan 11 indikator tidak mencapai target.
3. Berdasarkan penyerapan dan pengukuran kinerja anggaran tahun 2023, Realisasi
anggaran sebesar Rp.2.477.096.100.731 dari pagu total sebesar Rp. 2.529.605.672.000
(97,92%).
4. Realisasi anggaran tertinggi pada kegiatan Pelayanan Publik kepada masyarakat sebesar
99.90% dan terendah pada kegiatan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria sebesar
68.51%.
B. TINDAK LANJUT
Hasil Laporan Kinerja Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular ini menjadi
salah satu dasar dalam menentukan kebijakan dan strategi pelaksanaan kegiatan tahun 2024
dengan beberapa tindak lanjut berikut :
1. Keberhasilan tahun 2023 dalam mencapai 5 indikator kinerja kegiatan yang melebihi target
akan diteruskan dengan kegiatan yang sama pada tahun selanjutnya seperti meningkatkan
penguatan koordinasi lintas program lintas sektor, meningkatkan sosialisasi, melakukan
penyusunan NSPK, meningkatkan kapasitas dengan pelatihan SDM yang terlibat,
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, meningkatkan penyajian data dan
informasi pada system informasi yang telah tersedia pada masing-masing kegiatan,
meningkatkan penyediaan sarana Kesehatan.
2. Melakukan penguatan advokasi terhadap provinsi maupun kabupaten/kota sehingga ada
dukungan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan dalam upaya meningkatkan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular terutama pada indikator yang belum
mencapai target.
3. Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam setiap kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular untuk mendorong capaian yang lebih
optimal.
SASARAN INDIKATOR
Bagan 4.1 Logical Frame program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
TUJUAN P2PM
TIM KERJA HIV, PIMS TIM KERJA TUBERKULOSIS TIM KERJA MALARIA TIM KERJA PENYAKIT TROPIS TIM KERJA ARBOVIROSIS
TIM KERJA HEPATITIS DAN TIM KERJA ISPA TIM KERJA ZOONOSIS
TERABAIKAN
1. Persentase orang dengan risiko 1. Angka Cakupan Penemuan dan 1. Jumlah kabupaten/kota yang 1. Persentase penderita kusta yang 1. Jumlah kabupaten/kota eliminasi 1. Persentase kabupaten/kota
1. Persentase pengobatan kasus 1. Persentase pengobatan kasus
terinfeksi virus yang melemahkan menyelesaikan pengobatan kusta dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10
sistem kekebalan tubuh manusia tepat waktu
2. Persentase kabupaten/kota yang
2. Jumlah desa endemis schitomiasis melaksanakan deteksi dini Hepatitis
2. Persentase Orang dengan HIV
yang mencapai eliminasi B dan C pada populasi berisiko
(ODHIV) baru ditemukan
STRATEGI
DASAR HUKUM
HIV PIMS TB MALARIA KUSTA SCHISTOSOMIASIS
1. RENSTRA 2020 - 2024 REVISI 1. Peningkatan cakupan skrining HIV 1. Penguatan Kepemimpinan Program 1. kegiatan penemuan kasus 1. Penguatan Advokasi dan Koordinasi 1) Pengobatan selektif pada daerah dengan
2. RAP DITJEN P2P pada ibu hamil menjadi 60% TBC di Kabupaten/Kota 2. pengobatan Lintas Program dan Lintas Sektor prevelensi rendah dilakuka n pada mereka
3. RAK DIT.P2PM 2. Meningkatkan jumlah fasyankes yang 2. Peningkatan Akses Layanan “TOSS- 3. promosi kesehatan yang melibatkan 2. Penguatan Peran Serta Masyarakat dan yang terinfeksi cacing, dan Pengobatan
melapor NPA menjadi 700 Fasyankes TBC” yang Bermutu Kementerian Sosial dan Lembaga Organisasi Kemasyarakatan massal, Pengobatan obat massal dilakukan
3. Peningkatan Notifikasi Pasangan dan 3) Pengendalian Faktor Risiko Swadaya Masyarakat (LSM). 3. Penyediaan SDM melalui pemberian obat praziquantel pada
anak di 242 kab/kota sebanyak 40.000 4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum 4. Program Malaria tetap menyediakan 4. Penguatan Siste m Surveilans serta kelompok berisiko (anak usia sekolah, usia
sasaran melalui NPA Koordinasi TBC dan membagikan kelambu LLIN kepada 5. Pemantauan dan Evaluasi prasekolah) anak-anak, masyarak at di
4. Penyediaan reagen tes HIV sebanyak 5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat populasi khusus yang tinggal di wilayah daerah endemis tinggi, orang dewasa dalam
4.000.000 untuk diagnostic dalam Penanggulangan TBC yang sulit, pekerja hutan tanpa FILARIASIS pekerjaan melibatkan kontak dengan air
5. Penambahan 500 layanan mampu tes 6) Penguatan Sistem kesehatan membedakan apakah status pekerjaan 1) Pemberian Obat Pencegahan Massal yang terinfeksi)
dan pengobatan HIV dan PIMS mereka illegal atau legal dan kelompok (POPM) Filariasis menggunakan regimen 2) Peningkatan saran a water, sanitation and
6. Penyegaran tenaga kesehatan dalam pengungsi. DA (diethylcarbamazine citrate dan hygiene (WASH) bertujuan untuk
penanganan ODHIV secara daring tiap 2 Albendazole) maupun regimen IDA memutuskan penularan telur cacing ke
ARAH KEBIJAKAN pekan (Ivermectine, Diethyl carbamazine citrate keong.
7. Peningkatan cakupan pemeriksaan VL dan Albenda zole) 3) Pengendalian keong bertujuan untuk
menjadi 30% 2) Tatalaksana kasus kronis filariasis menghilangkan keong hospes perantara
8. Edukasi penggunaan kondom sebagai 3) Evaluasi penilaian penularan pada untuk memutus rantai penularan, melalui
1. Meningkatkan Penguatan penemuan
alat pencegahan pada populasi kunci kabupaten kota endemis yang sudah metode pengendalian lingkungan,
kasus di masyarakat dan FKTP selesai melaksanakan POPM minimal 5
9. Penyediaan kondom bagi ODHIV dan pengendalian biologis, pengendalian kimia
2. Meningkatkan Penguatan tata laksana pasangan tahun berturu t dengan cakupan minum dan lain lain.
kasus obat diatas 65% dari total jumlah 4) Kolaborasi antar pemangku kepentingan
3. Meningkatkan Pemberdayaan penduduk setiap tahunnya. lintas tingkat dan sektor dengan
masyarat dan lintas sektor akuntabilitas yang jelas untuk memastikan
4. Meningkatkan Penggunaan teknologi pendekatan yang efektif dan sinergis dalam
informasi memberikan intervensi.
KEGIATAN
Sasaran : Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus HIV Sasaran : Meningkatnya proporsi kasus kusta baru tanpa cacat Sasaran : Meningkatkan jumlah Kab/Kota dengan API<1/1000
Sasaran : Meningkatnya penemuan dan pengobatan TB penduduk
Indikator : Indikator : Persentase penderita kusta yang menyelesaikan
Indikator : Angka Cakupan Penemuan dan Pengobatan TBC Indikator : Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR)
1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan pengobatan kusta tepat waktu
sistem kekeba lan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV < 5%
Kegiatan :
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan Kegiatan :
1. Koordinasi Kegiatan :
mendapatkan pengobatan ART 1. Koordinasi
Koordinasi Program Pencegahan dan Pengendalian TBC 1. Koordinasi
2. Norma, standar, prosedur dan kriteria Koordinasi pencapaian eliminasi eradikasi penyakit Koordinasi Percepatan Eliminasi Malaria
Kegiatan:
NSPK Pencegahan dan Pengendalian TBC tropis terabaikan 2. Sosialisasi dan Diseminasi
1. Koordinasi
3. Pelayanan Publik kepada Masyarakat 2. Sosialisasi dan Diseminasi
- Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Program HIV dan PIMS Sosialisasi GERMAS menuju Eliminasi Malaria
- Koordinasi Lintas Sektor/Lintas Program HIV dan PIMS Penemuan Kasus TBC Aktif Berbasis Masyarakat Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit tropis 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria
- Sosialisasi dan Diseminasi Program HIV AIDS dan PIMS 4. Pelayanan Publik lainnya terabaikan
NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Malaria
- Sosialisasi Program HIV AIDS dan Sifilis dan IMS 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria
2. Norma, standar, prosedur dan kriteria - Distribusi Logistik dalam Pengendalian TBC 4. Pelayanan Publik lainnya 4. Pelayanan Publik kepada Masyarakat
NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS - Surveilans aktif P2 TBC - Surveilans dan deteksi dini penyakit tropis terabaikan - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
3. Pelayanan Publik kepada Masyarakat 5. Data dan Informasi Publik Malaria
Pemeriksaan viral load dandiagnosis bayi bumil dengan HIV - Assessment Eliminasi Kusta dan Eradikasi Fram busia - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
Penanganan Kasus ODHIV
- Media KIE P2 TBC 5. Data dan Informasi Publik
Malaria tingkat provinsi
4. Pelayanan Publik lainnya - Media KIE Pnemonia Media KIE P2 Kusta dan Frambusia - Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi
- Penemuan aktif Kasus HIV dengan Pelaksanaan Mobile Tes 6. Sarana Bidang Kesehatan 6. Sarana Bidang Kesehatan Malaria provinsi Papua dan Papua Barat
- Surveilans Faktor Risiko terkait HIV dan IMS
Saran a dan Prasarana P2 TBC Pemenuhan RDT dan RPR untuk Evaluasi endemisitas - IRS/Indoor Residual Spraying
- Penguatan Kualitas Layanan HIV dan IMS
7. Pelatihan dan surveilans aktif Frambusia
5. Data dan Informasi Publik
7. Pelatihan
- Survei Darah Massal Malaria
Penyebaran informasi terkait Penyakit HIV AIDS dan IMS Workshop Skrining dan Deteksi Dini pada Kelompok
6. Saran a Bidang Kesehatan Berisiko untuk Pengenddalian TBC dalam Pelaksanaan - Workshop P2 Kusta dan Fram busia bagi tenaga kesehatan - Survei Sentinel Malaria Knowlesi
- Pemenuhan Alat, Reagen untuk Skrining, Diagnostik dan SPM TBC 5. Data dan Informasi Publik
- Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Kusta Bagi
Pemantauan Pengobatatan HIV AIDS dan PIMS 8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah Pengelola Program Kusta Media KIE Pencegahan dan Pengendalian Malaria
- Pemeliharaan system informasi penyakit pencegahan dan Monitoring dan Supervisi Program P2 TBC 8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah 6. Sarana Bidang Kesehatan
pengendalian penyakit HIV AIDS dan PIMS
7. Pelatihan
Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan
Workshop/orientasi penambahan akses layanan tes dan P2 Kusta dan Frambusia pengendalian malaria
pengobatan HIV dan IMS - Pemeliharaan SISMAL
8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah 7. Pelatihan
Pelatihan SDM Malaria
8. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah
STAKEHOLDER PENDUKUNG
Sasaran : Meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit menular 5. Data dan Informasi Publik
Indikator : - Media KIE DBD dan penyakit Arbovirosis lainnya
KERJA SAMA LINTAS 1. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar - Media KIE Penyakit Tropis Terabaikan
KERJA SAMA LINTAS 2. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar - Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan pengendalian
PROGRAM SEKTOR 3. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan penyakit zoonosis
C pada populasi berisiko 6. Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Hepatitis
Sekjen Sekretariat Kabinet Kemenpora 4. Persentase pasien sifilis yang diobati Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Diare dan Penyakit ISP
Direktorat Gizi KIA Kementerian Dalam Negeri Kemenaker 5. Jumlah desa endemis schitomiasis yang mencapai eliminasi 7. Sarana Bidang Kesehatan
Direktorat Pengelolaan Imunisasi 6. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan
Kementerian Komunikasi dan KemenPPPA
7. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 Arbovirosis lainnya
Direktorat Kesehatan Lingkungan Informasi Kemenkeu
peduduk - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit Filariasis
Ditjen Yankes Kementerian Pendidikan KemenPANRB 8. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria dan Kecacingan
Ditjen Farmalkes Kebudayaan dan Riset Teknologi Kementerian ESDM < 1% - Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Ditjen Nakes Kementerian Sosial Bappenas 9. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi - Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS
Ditjen Kesmas Kementerian Pariwisata dan BNN - Pemenuhan alat dan bahan untuk Skrining, Diagnostik P2 Hepatitis
Direktorat Kesehatan Keluarga Ekonomi Kreatif BKKBN Kegiatan : - Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Direktorat Tata Kelola Kesmas Kementerian Sosial BRIN 1. Koordinasi Arbovirosis (SIARVI)
Direktorat Promkes Kementerian Agama BPOM - Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit - Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian penyakit
Direktorat PKDR Kementerian Desa BPJS Kesehatan DBD dan Arbovirosis Lainnya filariasis dan kecacingan (EFILCA)
Direktorat Surkarkes Kementerian Pehubungan BUMN - Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis 8. Pelatihan
Direktorat Tata Kelola Obat Publik - Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Diare dan Penyakit ISP - Pelatihan petugas dan pengelola program DBD dan Arbovirosis lainnya
Kementerian Hukum dan HAM BNPB
- Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia - Pelatihan SDM Pencegahan dan Pengendalian Filariasis, Kecacingan, dan
BBTKL PP TNI
2. Sosialisasi dan Diseminasi Schistosomiasis
BKPK, POLRI - Sosialisasi dan Diseminasi pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan - Workshop Pencegahan dan Pengendalian penyakit Zoonosis
BPPSDM Arbovirosis Lain - Workshop Pedoman IMS kepada Tenaga Kesehatan
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis - Orientasi P2 Hepatitis
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis - Orientasi P2 Diare dan Penyakit ISP
Mitra/Organisasi (Badan Usaha, Swasta, Kerja Sama - Sosialisasi Pengobatan Diare - Workshop P2 Pneumonia
- Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pneumonia 9. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah
Organisasi Masyarakat Internasional 3. Norma, standar, prosedur dan kriteria - Monitoring Evaluasi dan Supervisi Surveilans DBD dan penyakit Arbovirosis
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Filariasis dan kecacingan lainnya
Rumah Cemara, Siklus, YKIS, ADINKES, Lentera Anak Pelangi , WHO, - Monev dan Supervisi Filariasis dan Kecacingan
- NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya
Yayasan Kusuma Buana, Yayasan KNCV Indonesia, Yayasan Kasih FAO, - Monev dan Supervisi Eliminasi Schistosomiasis
- NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Suwitno, Yayasan Pelita Ilmu,Yayasan Srikandi Sejati, Yayasan OIE, - NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS
- Monev dan Supervisi pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Karisma, STPI, POP TB Indonesia, Konsorsium Penabulu STPI, USAID, - Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program P2 Hepatitis
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
Organisasi masyarakat (Aisyiyah, Yayasan PETA, REKAT, YAMALI TB, UNEP, - Monitoring dan supervisi P2 Diare dan Penyakit ISP
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Diare dan Penyakit ISP
KAREBA BAJI (CSO Makassar), PESAT, Perdhaki Medan, Yahbisa CDC, - Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program Pneumonia
- NSPK Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
(Surabaya), YSKI, Yayasan Mitra Husada dan YMMA (CSO Medan), AIHSP 4. Pelayanan Publik lainnya
BAZNAZ level kota, BPJS level kota, Asosiasi Profesi (IDI, PDPI, KOPI USAID TBPS - Investigasi Peningkatan Kasus dan Kejadan Luar Biasa penyakit DBD dan
TB), Industri Padat Karya, Perkebunan, Pertambangan GF ATM arbovirosis lain
Telekomunikasi, Jasa Keuangan, Jasa transportasi, Retail UNICEF - Pelaksanaan POPM Filariasis dan Kecacingan
Pariwisata: Hotel, restoran, wahana wisata ,Layanan Kesehatan - Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Swasta, Yayasan CHAI, Yayasan Peduli Hati Bangsa, PAPDI, - Distrib usi Logistik dalam Pengendalian Hepatitis
- Skrining dan Deteksi Dini P2 Hepatitis
Organisasi Profesi, Dept parasitologi FK UI
- Respon Cepat KLB Penyakit Diare dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
Anggota : Anggun Lathifah Asmi, SKM; Retno Trisari, SKM; Sulistyo, SKM,
M.Kes; Kristina Sitorus, SKM, MKM; Devi Suhailin, SKM, M.Epid;
Alya Ammarie, SKM; Irma Surya Kusuma, SKM, M.Kes; Yayuk
Agustin Hapsari, SKM; Desfalina Aryani, SKM; Anzala Khoirun Nisa,
SKM; Riskha Tiara Pusadewi, SKM; drh. Maya Esrawati;
Muhammad Arsyam AR, SKM, MPH; Deny Fattah, SKM, dr. Febby
Mayangsari, Retno Trisari, Bella Agustina Noor Artiarini, SKM;
Azkiya Zulfa, SKM