Daniel Tambunan Tugas Hasba Cooling System Primordialisme
Daniel Tambunan Tugas Hasba Cooling System Primordialisme
Oleh :
DANIEL ARTASASTA TAMBUNAN
NIM 32023007031
PASCASARJANA S-3 ILMU KEPOLISIAN ANGKATAN KE-9
Abstract
Reflecting on the 2019 elections, the political situation brought Indonesia to the brink of
division, the strengthening of ethnic identity politics is something that must be avoided in
the upcoming elections. Through an in-depth understanding of this concept and its
implementation in political security, this paper analyzes the Cooling System Concept
offered by POLRI in maintaining stability and democracy in Indonesia, especially ahead
of the 2024 General Election. The Cooling System strategy implemented by POLRI in
facing the challenges of primordialism in political dynamics in political contestation in
Indonesia is expected to increase the level of democracy in Indonesia.
Key Words : Cooling System, Primordial Politics, Plural Society,
Abstrak
LATAR BELAKANG............................................................................................................................................................ 1
RUMUSAN PERMASALAHAN ............................................................................................................................................. 3
BUKU ......................................................................................................................................................................... 16
PUBLIKASI ILMIAH......................................................................................................................................................... 16
INTERNET .................................................................................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, budaya, dan bahasa,
telah lama dihadapkan pada tantangan primordialisme dalam arena politik. Faktor-faktor
identitas seperti etnisitas dan agama sering kali menjadi pusat perhatian dalam kontestasi
politik, menghasilkan ketegangan, konflik, dan bahkan kekerasan di berbagai tingkatan
pemerintahan. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai politik primordial, telah
menjadi masalah yang serius dan kompleks dalam upaya mempertahankan stabilitas dan
kedamaian dalam proses demokratisasi Indonesia (Aspinall, 2011).
Dalam konteks ini, peran Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) menjadi sangat
penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri, termasuk dalam
pengamanan proses politik, seperti pemilihan umum (Pemilu). Salah satu pendekatan
yang diterapkan oleh POLRI untuk menghadapi tantangan primordialisme ini adalah
konsep "Cooling System."
Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho beberapa waktu lalu menjelaskan tentang
pentingnya cooling system dalam menjaga keamanan dan ketertiban, khususnya imbas
situasi politik jelang Pemilu 2024. Potensi kerawanan pemilu yang dapat berkembang
berupa adanya black campaign, hoaks, ujaran kebencian, hingga konflik politik identitas.
Mabes POLRI bahkan telah melakukan identifikasi terhadap 11 variabel potensi konflik
yang diprediksi akan menjadi tantangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 diantaranya
profesionalitas penyelenggara pemilu, konflik kepengurusan internal parpol, calon
incumbent/petahana, kondisi geografis, potensi konflik paslon, sejarah konflik,
karakteristik masyarakat, gangguan kamtibmas, profesional pengamanan, dan isu SARA
pasangan calon (paslon).
Cooling System maksudnya adalah kehadiran Polri untuk menjaga dan mencegah
potensi gangguan kamtibmas dengan melibatkan seluruh komponen bangsa sehingga
1
kamtibmas terjaga dan terkendali”.1 Untuk itu, seluruh anggota Polri dituntut untuk
bersikap netral selama Pemilu 2024, dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Lalu apa yang dimaksud dengan Cooling system tersebut? Belum banyak artikel
ilmiah maupun penelitian terdahulu yang menjelaskan tentang konsep ini. Namun dari
beberapa sintesis konsep yang lalu dianalisis penulis, memberikan pandangan bagi
penulis bahwa konsep cooling system ini menekankan tentang perlunya menciptakan
lingkungan politik yang kondusif dan aman dimana partisipasi masyarakat dalam proses
politik tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor primordial yang dapat memicu konflik. Cooling
system dalam politik adalah serangkaian strategi, kebijakan, atau tindakan yang
dirancang untuk meredakan ketegangan politik, mengurangi konflik, dan mendorong
dialog yang konstruktif antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat atau
politik.
Strategi ini tentunya dipilih untuk menghadapi Pemilu yang akan diselenggarakan
pada tahun 2024. Pemilihan Umum dimaknai sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan
juga dimaknai sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat
(Lesmana & Sutrisno, 2021). Huntington (1996) melihat kontestasi politik sebagai
komponen penting dalam demokrasi, tetapi juga mengakui bahwa kontestasi tersebut
dapat memunculkan tantangan yang harus diatasi untuk menjaga stabilitas dan kualitas
demokrasi dalam negara-negara yang baru mengadopsi sistem ini.
Tentunya kita tidak ingin Pemilu mendatang diwarnai dengan politik primordialisme
dalam bentuk etnisitas digunakan untuk memisahkan antara “kami dan mereka”, “saya
dan kamu”, bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim berupa “Jawa dan Bukan Jawa”,
“Islam dan Kristen”. Cukuplah dalam satu periode era politik di Indonesia muncul kembali
istilah “Pribumi dan Non Pribumi” (studi kasus pemilihan Gubernur DKI Tahun 2017).2
1
Polri:Pentingnya Cooling System untuk Keamanan Pemilu 2024. Diakses pada 07 September 2023.
https://humas.polri.go.id/2023/06/14/polri-pentingnya-cooling-system-untuk-keamananpemil2024/
2
Mengapa istilah 'pribumi' dalam pidato Anies Baswedan memicu kontroversi? Dapat diakses di
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41648172
2
Indonesia ke arah perpecahan, apabila tidak dikendalikan kemungkinan keinginan
daerah-daerah untuk memisahkan diri dari Indonesia akan menguat bila menganggap
power sharing yang diberikan negara tidak adil.
Bahkan hal ini sudah jauh diprediksi oleh Max Weber dalam Eriksen (2010) yang
berpendapat bahwa “fenomena primordial” seperti etnisitas dan nasionalisme akan
berkurang kepentingannya dan pada akhirnya lenyap sebagai akibat dari modernisasi,
industrialisasi, dan individualisme. Kenyataannya, etnisitas, nasionalisme, dan bentuk-
bentuk politik identitas lainnya semakin penting secara politis di dunia setelah Perang
Dunia Kedua, dan terus berlanjut hingga abad ke-21.
Pada suatu negara yang demokratis, maka karakter kepolisian yang dihasilkan
adalah karakter yang independen atau otonom. Sedangkan pada suatu negara yang
otoritarian maka karakter kepolisian menjadi kepolisian yang tidak otonom, merupakan
perpanjangan tangan dan menjadi subordinasi dari kekuasaan (Mahfud, 2009). Melihat
kembali sejarah kedudukan POLRI dalam Era pemerintahan orde Baru dimana POLRI
terintegrasi dalam angkatan bersenjata republik Indonesia (ABRI). Dualisme ABRI
membuat kedudukan POLRI tidak hanya sebagai lembaga penegak hukum tapi juga
menjadi kekuatan sosial politik. Padahal jelas Mahfud MD (2009) dalam politik hukum di
Indonesia berpendapat bahwa, sistem politik begitu kuat mempengaruhi sistem hukum.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin mempertegas standing position
bagi POLRI agar tidak terseret dalam kuatnya arus politik di Indonesia. Tidak ada ruang
sedikitpun untuk memberikan dukungan baik terlihat maupun tidak, baik langsung
maupun tidak langsung dalam kontestasi politik melalui Pemilu mendatang.
Rumusan Permasalahan
Dalam artikel ini, penulis melakukan analisis singkat dengan metode studi
kepustakaan (literature review) terkait strategi POLRI melalui cooling system dalam
menghadapi politik primordial di Indonesia, dengan fokus pada pemilihan umum yang
akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang secara serentak. Berkaca pada
Pemilu 2019, situasi politik membawa Indonesia di ambang perpecahan, menguatnya isu
etnik politik identitas menjadi hal yang harus dihindari pada pemilu mendatang. Melalui
pemahaman mendalam tentang konsep ini dan implementasinya dalam pengamanan
3
politik, penulis berupaya menghadirkan wawasan yang lebih baik tentang bagaimana
POLRI berperan dalam menjaga stabilitas dan demokrasi di Indonesia.
Mendasari hal tersebut, maka artikel ilmiah ini akan menjawab suatu
permasalahan konkrit yang dihadapi oleh POLRI yang disusun oleh penulis dalam bentuk
pertanyaan yaitu “Bagaimana strategi Cooling System yang diterapkan oleh POLRI
dalam menghadapi tantangan primordialisme dalam dinamika politik pada
kontestasi politik di Indonesia?”
4
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya dan etnis yang luar biasa,
seringkali dihadapkan pada tantangan kompleks dalam kontestasi politik. Dalam
dinamika politiknya, terkadang muncul polarisasi dan konflik yang berakar dari faktor
primordial, seperti perbedaan etnis, agama, dan budaya (Aspinall et al., 2011). Fenomena
primordialisme ini, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat mengancam stabilitas politik dan
keamanan nasional. Pada setiap tahapan penting dalam proses politik, seperti pemilihan
umum, primordialisme dapat menjadi pemicu persaingan yang sengit dan bahkan konflik
terbuka di berbagai tingkat masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan dan efektivitas
strategi yang mampu menanggulangi potensi konflik primordial menjadi krusial.
Di satu sisi, keberagaman ini menjadi salah satu kekayaan Indonesia yang patut
disyukuri, namun, di sisi lain, juga bisa menjadi ladang subur bagi politik primordialisme.
Politik primordialisme, yang menekankan identitas etnis, agama, atau budaya sebagai
dasar bagi dukungan politik, sering kali mencoba memanfaatkan perbedaan-perbedaan
ini untuk kepentingan politik. Masih relevankah konsep primordialisme dalam menjaring
suara pemilih? Bagaimana kita menghadapi imbas negatif dari pola lama dan selalu
berulang ini? Dalam menghadapi politik primordial, masyarakat majemuk Indonesia
harus berupaya menjaga keharmonisan dan kerukunan antar kelompok yang berbeda,
serta mendukung pemimpin dan partai politik yang mempromosikan integrasi nasional
5
dan pluralisme sebagai fondasi demokrasi yang kokoh. Dalam konteks ini, POLRI
memiliki peran kunci dalam memastikan keamanan, mengatasi potensi konflik, dan
memfasilitasi dialog antar kelompok masyarakat majemuk demi mewujudkan politik yang
inklusif dan berkeadilan.
Meskipun tidak mudah, namun POLRI dalam kontestasi Pemilu nanti harus
mampu memutus ikatan primordial seperti yang dalam pemikiran Geertz (Nurjaman,
2021). Geertz menegaskan ikatan primordial sebagai ikatan yang berasal dari unsur-
unsur bawaan, atau lebih persis lagi unsur-unsur bawaan yang diandalkan dari kehidupan
sosial, hubungan langsung dan terutama hubungan kekerabatan. Tren peningkatan
primordialisme berbasis identitas agama, etnis, dan kelas melalui media sosial proses
produksi dan reproduksi informasi palsu di media sosial yang berfokus pada kepentingan
politik tertentu yang tentunya akan membawa dampak negatif bagi bangsa Indonesia
(Eriksen, 2010).
Akibat adanya berbagai macam suku bangsa di Indonesia adalah munculnya sikap
primordialisme yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Primordialisme diartikan sebagai
perasaan yang lahir dari dalam kehidupan sosial, dibentuk dari hubungan langsung dan
hubungan keluarga, tetapi juga dapat meliputi hubungan dalam lingkup agama, suku
budaya, bahasa, serta kebiasaan sosial. Primordialisme menguat dengan ikatan
kekerabatan kesamaan suku bangsa, daerah dan adat istiadat, terbentuk secara askriptif
dan merupakan hal yang given atau pemberian dari Tuhan sehingga tidak bisa dirubah
(Chryshnanda., 2016).
6
Untuk kepentingan perebutan jabatan politik baik legislatif, eksekutif maupun
dalam birokrasi pemerintahan; tokoh politik dan bahkan pemimpin nasional masih tetap
mengaktifkan sentimen primordialisme seperti kesukuan, etnisisme, dan agama.
Gambaran riil ini menunjukkan bahwa politik Indonesia masih primitif tradisional. Menjadi
hal yang tidak dapat dihindari jika kontestasi politik di Indonesia banyak ditentukan oleh
ikatan primordial berupa suku bangsa, agama, kebangsawanan, dan ikatan patronitas
bila dibandingkan dengan pilihan yang didasarkan dengan alasan rasional (Haboddin,
2015).
Kedua, proses liberalisasi politik dalam bentuk sistem politik multi partai yang
diimplementasikan melalui sistem pemilihan langsung. Masyarakat cenderung melihat
kesamaan dari orang yang akan mereka pilih baik untuk legislatif maupun eksekutif.
Untuk meraih suara terbanyak, maka kontestan politik cenderung menampilkan dirinya
sebagai kontestan yang memiliki latar belakang kesamaan dengan masyarakat di daerah
pemilihannya.
Dalam konteks inilah POLRI memiliki peran strategis dalam memelihara stabilitas
keamanan selama kontestasi politik. Dengan menerapkan pendekatan cooling system,
7
POLRI berkomitmen untuk menciptakan lingkungan politik yang kondusif, di mana
partisipasi publik dihargai dan dijamin tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor primordial.
Strategi ini menjadi penting dalam memastikan bahwa proses politik berlangsung secara
adil, damai, dan sesuai dengan semangat demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi
Indonesia.
Kadiv Humas POLRI, Irjen Sandi Nugroho beberapa waktu lalu menjelaskan
tentang pentingnya cooling system dalam menjaga keamanan dan ketertiban, khususnya
imbas situasi politik jelang Pemilu 2024. Cooling System maksudnya adalah kehadiran
POLRI untuk menjaga dan mencegah potensi gangguan kamtibmas dengan melibatkan
seluruh komponen bangsa sehingga kamtibmas terjaga dan terkendali”.3
Lalu apa yang dimaksud dengan Cooling system tersebut? Cooling system dalam
politik adalah serangkaian strategi, kebijakan, atau tindakan yang dirancang untuk
meredakan ketegangan politik, mengurangi konflik, dan mendorong dialog yang
konstruktif antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat atau politik.
Dalam konteks ini, cooling system dapat mencakup berbagai langkah seperti;
Pertama, Promosi Toleransi dan Inklusivitas. POLRI melalui kehadirannya di tengah
masyarakat dituntut untuk mampu mendorong nilai-nilai toleransi, inklusivitas, dan
keragaman dalam politik, sehingga individu dan kelompok merasa dihargai dan diterima
dalam proses politik. Kedua, Membangun jembatan antara kelompok-kelompok. Dengan
program yang diturunkan hingga ke tataran terbawah, POLRI hadir dalam menciptakan
3
Polri:Pentingnya Cooling System untuk Keamanan Pemilu 2024. Diakses pada 07 September 2023.
https://humas.polri.go.id/2023/06/14/polri-pentingnya-cooling-system-untuk-keamananpemil2024/
8
forum atau mekanisme untuk memfasilitasi dialog antara kelompok-kelompok yang
berkonflik (isu konteks politik), sehingga mereka dapat berbicara, mendengarkan, dan
mencari pemahaman bersama.
Ketiga, Pendidikan Politik. Meskipun POLRI (dalam hal ini sebagai institusi) tidak
berpolitik, namun bukan berarti personel POLRI bisa abai terhadap situasi politik
nasional. Kehadiran POLRI dalam memberikan pendidikan politik yang objektif kepada
masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang isu-isu politik dan memerangi
stereotip dan prasangka. Keempat, Transparansi dan Akuntabilitas. POLRI perlu
mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik untuk mengurangi ruang
bagi praktik-praktik yang memicu primordialisme.
Pengertian ini akan menjadi dasar untuk membahas bagaimana cooling system
dapat membantu mengatasi primordialisme dalam kontestasi politik. Untuk menghadapi
kontestasi politik di tahun 2024 mendatang, maka POLRI melalui Program Presisi yang
menjadi andalan Kapolri saat ini berupaya untuk menghadirkan situasi politik yang aman
dan kondusif, tanpa mengesampingkan netralitas POLRI itu sendiri. Melalui Program
Presisi yang merupakan inisiatif dari Kapolri bertujuan untuk menciptakan pelayanan
kepolisian yang profesional, responsif, dan berintegritas.
Meskipun tidak secara eksplisit terkait dengan politik, program ini memiliki
relevansi dengan cooling system dalam politik. Kaitannya dapat dijelaskan sebagai
berikut; Pertama, Profesionalisme dan Inklusivitas. Program Presisi Kapolri
mengedepankan profesionalisme dalam pelayanan kepolisian, yang mencakup
peningkatan kompetensi anggota kepolisian. Dengan memiliki polisi yang lebih
profesional, sistem keamanan publik menjadi lebih dapat diandalkan, dan hal ini dapat
menciptakan suasana yang lebih stabil dalam politik. Profesionalisme juga bisa berarti
bahwa kepolisian lebih inklusif dan tidak mendiskriminasi berdasarkan faktor-faktor
seperti etnis atau agama.
9
bahwa lembaga penegak hukum bekerja secara adil dan transparan, mereka cenderung
lebih percaya pada proses politik.
Dengan demikian, meskipun Program Presisi Kapolri tidak secara langsung terkait
dengan politik, beberapa aspeknya memiliki relevansi dengan prinsip-prinsip dalam
cooling system politik yang diperlukan untuk menghadapi primordialisme. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya-upaya POLRI dalam berbagai sektor dapat berkontribusi
untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih stabil dan inklusif terutama dalam
menghadapai Pemilu di tahun 2024.
Pada Pemilihan Umum 2024 yang akan berlangsung sesaat lagi di Indonesia,
POLRI memiliki peran penting dalam menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran
proses pemilihan. Untuk menghadapi agenda politik nasional tersebut, maka POLRI
menyusun suatu operasi kepolisian terpusat yang diberi sandi Operasi Mantap Brata.
Dalam operasi ini, POLRI membentuk beberapa Satgas yang tergabung dalam operasi,
yakni Mabes Polri sebanyak 9 satgas, Satgas Polda sebanyak 7 Satgas dan Satgas
Polres sebanyak 6 Satgas. Selain itu, dalam pelaksanaannya, Operasi Mantap Brata
2023-2024 akan melibatkan beberapa satuan kerja (satker) Polri.
Selain itu, sebanyak sebelas satuan kerja POLRI akan mendukung pelaksanaan
Operasi Mantap Brata 2023-2024 seperti diantaranya, Bareskrim POLRI, Baintelkam
POLRI, Baharkam POLRI, Korbrimob POLRI, Slog POLRI, Divisi humas POLRI, Divisi
TIK POLRI, Divisi Propam POLRI, Divisi Hubinter POLRI, Srena POLRI dan Inspektorat
Pengawasan Umum POLRI.
Satgas Mabes POLRI terdiri atas Satgas Preemtif, Satgas Preventif, Satgas
Tindak, Satgas Gakkum, Satgas Capres/Cawapres, Satgas Anti Teror, Satgas TPSLN,
Satgas Humas dan Satgas Banops. Sementara di tingkat tingkat Polda, akan dibentuk
10
tujuh Satgas yang terdiri dari Satgas Preemtif, Satgas Preventif, Satgas
Kamseltibcarlantas, Satgas Tindak, Satgas Gakkum, Satgas Humas, dan Satgas
Banops. Lalu, di tingkat Polres terdapat enam satgas, yakni Satgas Preemtif, Satgas
Preventif, Satgas Kamseltibcarlantas, Satgas Gakkum, Satgas Humas dan Satgas
Banops.
Penting untuk dicatat bahwa POLRI harus tetap netral dan tidak memihak kepada
salah satu pasangan calon atau partai politik tertentu. Netralitas ini sangat penting untuk
memastikan bahwa pemilihan berjalan secara adil dan dapat dipercaya. Kontribusi
POLRI dalam menciptakan lingkungan politik yang aman dan kondusif dapat dilihat dari
berbagai aspek seperti:
11
pemerintah, kepolisian jelas tidak lepas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa,
akan tetapi ini tidak berarti bahwa kepolisian tidak memiliki kemandirian (Yuniarto, 2016).
Dalam pandangan penulis, beberapa hal berikut dapat dijadikan elemen kunci
dalam penerapan cooling system oleh POLRI :
12
2. Pengawasan Ketat pada Titik Rawan. Dengan memusatkan perhatian pada titik-
titik rawan, seperti tempat-tempat pemungutan suara, pusat perhitungan suara,
dan area dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka POLRI dapat
memastikan keamanan dan mencegah terjadinya insiden atau gangguan yang
dapat memicu konflik.
3. Penguatan Intelijen. Peningkatan kapasitas intelijen untuk memantau dan
mengidentifikasi potensi ancaman dari kelompok-kelompok yang berpotensi
memanfaatkan faktor primordial untuk tujuan politik. Dengan demikian, pimpinan
Polri dalam setiap tingkatan mulai dari Mabes POLRI, Polda, Polres hingga Polsek
dapat merespons dengan cepat dan tepat terhadap situasi yang memerlukan
intervensi.
4. Edukasi dan Advokasi Masyarakat. POLRI berperan aktif dalam menyediakan
informasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Melalui kerja sama dengan
lembaga-lembaga terkait, POLRI dapat memastikan pemahaman yang benar
tentang pentingnya memilih berdasarkan program dan visi-misi, bukan sekadar
faktor primordial, atau bahkan dengan tawaran sejumlah uang (money politic).
5. Dialog Antar Kelompok. Pentingnya dialog ini dengan difasilitasi oleh POLRI
adalah untuk mempromosikan pemahaman saling percaya dan meminimalisir
potensi konflik. Melalui dialog yang berjalan seimbang dan dikemas dengan
nuansa keBhinekaan, POLRI dapat membangun kepercayaan dan kerjasama di
antara berbagai kelompok masyarakat.
6. Mengantisipasi konflik dengan mengedepankan pemolisian masyarakat.
Peran penting POLRI untuk melihat dengan bijak konflik yang terjadi di
masyarakat, konflik bukan selalu berarti negatif. Apabila bisa diarahkan maka
melalui konflik, masyarakat dapat lebih saling memahami dan menguatkan nilai-
nilai dialektika, tentunya prinsip ini dapat ditemukan dalam model pemolisian
komunitas (community policing).
7. Transparansi dan Akuntabilitas. POLRI memastikan bahwa tindakan mereka
selama pengamanan Pemilu dilakukan secara transparan dan akuntabel. POLRI
tidak boleh inklusif dan perlu membuka ruang bagi pengawasan publik dan
melaporkan setiap tindakan atas keputusan yang diambil. POLRI juga harus
13
menjalin kerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan kelancaran dan keamanan Pemilu dan
Pilkada serentak 2024.
14
BAB III
PENUTUP
Sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat, maka POLRI secara
keseluruhan haruslah terbebas dari pengaruh kepentingan (conflict of interest) dari pihak
tertentu terutama pada kontestasi pemilihan umum. Penerapan cooling system oleh
POLRI dalam pengamanan Pemilu dipandang sebagai strategi yang bertujuan untuk
mengurangi potensi konflik dan ketegangan yang berkaitan dengan faktor-faktor
primordial, seperti identitas etnis, agama, atau budaya, selama proses pemilihan umum.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Huntington, S. (1996). The Clash of Civilization and the Remaking of World Order.
Jakarta: Penerbit Qalam.
Reith, C. (2011). Theories and Origins of the Modern Police. London: Routledge.
Yuniarto, B. (2016). Kedudukan dan Fungsi Polisi dalam Sistem Politik. Yogyakarta:
Deepublish.
Publikasi Ilmiah
Aspinall, E. (2011). Democratization and ethnic politics in Indonesia: Nine theses. Journal
of East Asian Studies, 11(2), 289–319. https://doi.org/10.1017/S1598240800007190
Aspinall, E., Dettman, S., & Warburton, E. (2011). When religion trumps ethnicity: A
regional election case study from Indonesia. South East Asia Research, 19(1), 27–
58. https://doi.org/10.5367/sear.2011.0034
Lesmana, A. C., & Sutrisno, B. (2021). Playing with Identity Politics: An Analysis Post-
2019 Presidential Election. In 236 | Jurnal Sosiologi USK (Vol. 15).
16
Nurjaman, A. (2021). Tantangan Primordialisme dalam Upaya Membangun Budaya
Politik Nasional. Jurnal Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial .
https://doi.org/10.22219/satwika.xxxxxx
Pitoewas, B., & Yanzi, H. (2020). Abstrak Pengaruh Sikap Primordialisme Terhadap
Upaya Pembentukan Proses Harmonisasi Masyarakat Multikultur. Jurnal Kultur
Demokrasi.
Internet
Polri Siapkan “Cooling System” Antisipasi Konflik Saat Pemilu Serentak 2024
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/16/16091251/polri-siapkan-cooling-system-
antisipasi-konflik-saat-pemilu-serentak-2024
The police are the public and the public are the police; the police
being only members of the public who are paid to give full time
attention to duties which are incumbent on every citizen in the
interests of community welfare and existence.
~Robert Peel~
17