Anda di halaman 1dari 23

1

REVITALISASI MATA PELAJARAN PMP DAN PENATARAN P4 PADA

JENJANG PENDIDIKAN DI INDONESIA SEBAGAI SYARAT UNTUK

MENGIKIS GENERASI TAWURAN

Makalah Politik Hukum

Program Studi Magister Ilmu Hukum Kampus Jakarta

Konsentrasi Hukum Bisnis

Effendy Onggo Saputra

NIM: MH8662
2

A. LATAR BELAKANG

A.1. Masyarakat Indonesia Yang Sakit

Masyarakat Indonesia pasca reformasi tahun 1998 merupakan masyarakat

yang telah berubah, dari masyarakat dibawah pemerintahan represif, dimana hak

politiknya ditekan menjadi masyarakat dibawah pemerintahan yang

berdemokrasi. Menurut Nurwijayanto, masyarakat demokrasi nan majemuk di

era reformasi ditandai dengan pelaksanaan hak asasi manusia secara utuh, dalam

arti semua hak-hak manusia dihargai dan dijunjung tinggi dengan

memperhatikan hak-hak orang lain. Namun hal ini disalah-artikan dalam

pelaksanaannya, ketika hak-hak seseorang diminta untuk dihargai dengan

sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan hak-hak orang lain serta norma dan

aturan yang berlaku.1 Pendapat ini dijelaskan lebih lanjut oleh Lemhanas

Republik Indonesia dalam jurnalnya, dimana nilai-nilai sosial masyarakat saat ini

cenderung demokratis dengan mengakomodasi kebebasan berbicara, bersikap

dan bertindak sehingga memacu tumbuhnya kreativitas masyarakat.2

Akibat pelaksanaan demokrasi atas nama hak asasi manusia yang “keblinger”

itu terciptalah peningkatan terjadinya kasus konflik-konflik sosial, baik antara

satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain atau kelompok

1
Nurwijayanto, “Upaya Mendisiplinkan Siswa Melalui Pendidikan Karakter”,
https://nurwijayantoz.wordpress.com/pendidikan-4/upaya-mendisiplinkan-siswa-melalui-
pendidikan-karakter/, diakses tanggal 21 April 2015.
2
Lemhanas Republik Indonesia, 2012, “Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila di Seluruh
Komponen Bangsa Untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke-
Indonesia-an Dalam Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global”, Jurnal Kajian Lemhanas
RI Edisi 14, Desember 2012, Jakarta, hlm. 104.
3

masyarakat dengan penegak hukum baik di perkotaan maupun di daerah dalam

kurun waktu setelah reformasi (tahun 1998), sehingga situasi ini merupakan

indikasi menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar

falsafah, asas dan paham negara.3

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan; perselisihan;

pertentangan.4 Sementara menurut Santoso dalam bukunya tentang Teori-teori

kekerasan, yang menjadi bahan penelitian Efianingrum, konflik merupakan

akibat dari perpecahan dalam komunikasi, salah menginterpretasikan simbol,

pengambilan peran yang tidak tepat, komunikasi yang gagal dengan orang lain,

salah menginterpretasikan situasi, dan sebagainya.5 Selain itu, teori konflik dari

Fisher dan Ibrahim dalam penelitian Lamria, memberikan pengertian konflik

secara lebih umum:

Teori Kebutuhan Manusia: berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam

disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia- fisik , mental dan sosial yang tidak

terpenuhi atau yang dihalangi.

Teori Identitas: berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas

yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan

dimasa lalu yang tidak terselesaikan.6

3
Loc. cit.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm. 799.
5
Efianingrum, 2006, “Wacana Kekerasan dalam Interaksi Remaja (Kasus Perkelahian Pelajar di
Yogyakarta)”, Jurnal Humaniora 2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 5.; Baca
juga: Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia, Jakarta.
6
Lamria, 2004, “Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horizontal”, Jurnal Hak Asasi Manusia
Vol. 1 No. 1 Oktober 2004, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Jakarta. Baca juga
4

A.2. Hukum Yang Menjauh Dari Tujuannya

Selain masalah konflik sosial yang terjadi dalam tahun-tahun setelah

runtuhnya Orde Baru, timbul pula permasalahan tentang keadilan hukum, yang

sebenarnya sudah berlangsung tidak hanya dalam skala nasional, namun juga

dalam tataran skala yang lebih besar. Sudjito menjelaskan, memasuki zaman

milenium ketiga ini dalam tataran teoritis ataupun praktis telah terjadi krisis

hukum yang begitu kompleks dan multidimensional dalam skala global.7 Lebih

lanjut Sudjito memaparkan krisis hukum yang terjadi dalam skala nasional, saat

ini banyak realitas sosial dan penyelesaian perkara-perkara hukum yang

dipandang masih amat kurang memuaskan khalayak ramai. Dengan prasangka

yang teramat kurang puas, mereka yang awam ini gampang berprasangka akan

adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain ialah sebagai akibat ulah

para hakim, jaksa dan/atau pengacara yang menyalahi hukum yang berlaku,8

kendati diakui bahwa menegakkan hukum itu adalah soal menjamin persamaan

setiap orang didepan hukum, faktanya tidaklah demikian. Kaum lemah, rakyat

miskin, dan orang biasa yang tidak memiliki:

1. Koneksi

2. Uang

3. Kesadaran hukum

4. Pengetahuan tentang prosedur di kepolisian dan pengadilan

Fisher & Abdi, 2002, “Working With Conflict; Skills& Strategies for Action”, Zed Books in
association with Responding to Conflict, New York.
7
Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 5
8
Loc. cit.
5

5. Kapasitas memobilisasi orang

Pada akhirnya (di)kalah(kan) di mata hukum tatkala berhadapan dengan

pihak yang memiliki, paling tidak, kelima hal itu.9 Tujuan hukum untuk

menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian menjadi semakin kabur dari

filosofi hukum, dimana menurut Satjipto filosofi hukum adalah: “Hukum untuk

manusia, bukan manusia untuk hukum,”10 sehingga hukum (diciptakan) bukan

untuk dirinya sendiri melainkan mengabdi dan melestarikan kemanusiaan.11

A.3. Penghapusan Pendidikan Moral Pancasila dan Penataran P4 dari

jenjang pendidikan di Indonesia

Menurut Sutrisno, salah seorang staf pengajar di Fakultas Filsafat UGM,

pada acara Kursus Pancasila dengan tema Pancasila Dasar Negara yang

diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM di SMA Sang Timur

Yogyakarta, jauh hari sebelum marak penekanan pendidikan budi pekerti di

sekolah-sekolah, bangsa Indonesia sebenarnya telah mengenal penanaman budi

pekerti di jaman Orde Baru, yaitu melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan

dan Pengamalan Pancasila). Namun, seiring masuknya pelajaran yang lain

seperti pendidikan agama mengakibatkan pendidikan Pancasila kian

9
Atmaja, 2012, “Rasa Frustasi yang Membebaskan”, Jurnal Analisa 22 Oktober 2012, Jakarta,
hlm. 2.
10
Suteki, 2010, “Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo”, Jakarta,
hlm. 2.
11
Ramada, 2014, “Dialektika Hukum Progresif – Obrolan Ringkas Buku-buku Satjipto
Rahardjo”, Kaum Tjipian, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 22.
6

terpinggirkan.12 Lebih lanjut, artikel Kompas yang berjudul: “Pendidikan

Pancasila Dihapus” menyatakan, dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang

pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti

musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama.13 Hal tersebut,

pada akhirnya menimbulkan perasaan enggan pada generasi muda pasca

reformasi untuk tetap belajar dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila yang

telah digali, diawal kemerdekaan, oleh Founding Fathers kita.

Kenyataan mengenai keengganan yang dihadapi generasi muda pasca

reformasi diatas, dapat ditangkap dengan jelas dalam pidato Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono yang menanyakan, apakah Pancasila sebagai dasar negara

dilupakan dan ditinggalkan? Apakah arah perjalanan bangsa ini menyimpang?

Apakah kehidupan bernegara kita sekarang ini tidak kokoh? Apakah ekses dari

reformasi dan demokratisasi terlalu besar dan terlalu mahal? Dan apa yang kita

harapkan dari Pancasila dalam menjawab tantangan bangsa dan tantangan global

yang kian besar dewasa ini? Pertanyaan kritis itu, pertanyaan fundamental itu,

marilah bersama-sama kita carikan jawabannya.14

12
Humas UGM, “Pengamat UGM: Penataran P4 Wujud Penanaman Budi Pekerti”,
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=5255, diakses tanggal 21 April 2015.
13
Harian Kompas edisi Online, “ Pendidikan Pancasila Dihapus”,
http://nasional.kompas.com/read/2011/05/06/03075643/Pendidikan-Pancasila-Dihapus, diakses
tanggal 21 April 2015.
14
Yudhoyono, 2006, “Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila”,
disampaikan dalam Rangka Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006 di Jakarta
Convention Center, Jakarta.
7

B: PEMBAHASAN

B.1. Peningkatan Konflik Sosial Dalam Masyarakat.

Meningkatnya konflik sosial dalam masyarakat dipotret dengan jelas oleh

Badan Pusat Statistik dengan mengacu pada data statistik konflik massal dalam

tiga tahun yang berbeda, yakni tahun 2005 dimana telah terjadi 1,655 kasus

konflik massal; tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah menjadi 2,283 kasus;

serta terakhir tahun 2011 dimana terjadi konflik massal sebanyak 2,562 kasus.15

Hal yang mengejutkan dari peningkatan tren konflik sosial dalam masyarakat

tersebut adalah fakta tentang peningkatan secara signifikan konflik sosial yang

terjadi pada pelajar Indonesia, seperti yang terlampir dalam tabel 1 dibawah ini.

Konflik sosial yang terjadi pada kaum intelektual, generasi penerus bangsa ini

mengalami peningkatan sebesar 72% dalam kurun waktu hanya 6 (enam) tahun

(mulai tahun 2005 hingga tahun 2011), pasca reformasi. Tidak terhitung jumlah

pelajar yang tewas dan luka-luka akibat konflik yang biasa disebut sebagai

“tawuran” pelajar tersebut.

15
Sub Direktorat Statistik Politik dan Kriminal, 2014, Katalog Statistik Kriminal 2014, Badan
Pusat Statistik, Jakarta, hlm. 117.
8

TABEL 1. JENIS PERKELAHIAN MASSAL

Tahun
Jenis Perkelahian Massal 2005 2008 2011 % Peningkatan
Antar Kelompok Warga 1,243 1,255 1,348 0.08
Warga Antar Desa - 739 1,054 100%
Warga dengan Aparat Keamanan 54 51 120 55%
Warga dengan Aparat Pemerintah - 28 102 100%
Antar Pelajar 58 62 210 72%
Antar Suku 66 34 102 35%
Lainnya 234 114 149 -57%
Total 1,655 2,283 3,085 46%
Data diambil dan diolah lagi dari Statistik Kriminal 2014

Informasi informasi yang dipaparkan diatas membuat membuat penulis

bertanya tentang solusi terbaik untuk mengikis habis perilaku tawuran pelajar.

B.2. Tawuran Pelajar dan Faktor-Faktor Penyebabnya.

Konflik sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berbentuk

perkelahian massal atau tawuran itu telah berlangsung lama, bahkan sebelum era

reformasi berlangsung. Dikalangan pelajar, aksi tawuran ini sudah dianggap cara

terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah, bahkan cenderung dianggap biasa.

Tentu saja peristiwa ini bukan hanya merugikan pelajar yang melakukannya akan

tetapi masyarakat yang ada dilingkungannya juga ikut merasakan akibatnya. 16

Namun aksi yang sudah terlanjur menjadi biasa ini wajib dicari akar

penyebabnya.

16
Latifah dan Syani, 2013, Peranan Guru Sekolah Dalam Mencegah Terjadinya Tawuran
Dikalangan Pelajar (Studi di SMA Perintis 1 Bandar Lampung), Jurnal Sociologie Vol.1, No.3,
Universitas Lampung, Lampung, hlm. 244.
9

Tawuran, menurut Kamus Bahasa Indonesia, berasal dari kata tawur, yang

berarti perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal.17 Sementara menurut

Assegaf, Perkelahian pelajar (tawuran) merupakan perilaku kekerasan terbuka

(overt) yang dilakukan oleh sekelompok pelajar (crowd).18 Beberapa penelitian

yang dilakukan berusaha menentukan akar masalah dari tawuran pelajar tersebut.

Menurut Teja, Tawuran pelajar seringkali terjadi karena terbatasnya tempat

mengekspresikan diri atau mengalihkan sifat agresif siswa ke hal-hal yang lebih

positif dan kompetitif yang juga tentunya dapat membangun karakter mereka.19

Dalam hal ini, Teja lebih memfokuskan tinjauannya kepada ketersediaan tempat

untuk memberikan pendidikan karakter yang menjadi tanggung jawab

pemerintah dan sekolah.20 Efianingrum berpendapat bahwa, pemicu aksi tawuran

biasanya berawal dari ketersinggungan salah satu pihak yang kemudian

berbuntut tindak kekerasan. Sebagai akibatnya, muncul aksi solidaritas sesama

teman untuk melakukan aksi balasan yang muncul lebih keras daripada aksi

pertama. Begitu aksi kekerasan susulan tidak diselesaikan, dapat muncul

kekerasan susulan berikutnya.21 Rismanto, et al., lebih berani dalam menyatakan

pendapatnya, bahwa tawuran di Indonesia merupakan realita terjadinya degradasi

17
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit. hlm 1643.
18
Efianingrum, Op.Cit, hlm. 5.
19
Teja, 2012, Tawuran Pelajar dan Pendidikan Karakter di Kota Jakarta, Info Singkat
Kesejahteraan Sosial Vol. IV, No.19/I//P3DI/Oktober/2012, Jakarta, hlm. 10.
20
Loc. cit.
21
Efianingrum, Op. Cit., hlm. 5.
10

moral (kemerosotan moral)22, tanpa menyebutkan lebih detil tentang apa yang

dimaksud dengan degradasi moral.

KPAI mencatat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan intensitas

tawuran pelajar. Di antaranya, banyaknya perilaku kekerasan yang terjadi di

masyarakat, mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, hingga lingkungan

terbesar, negara.23 Sementara Julianti menuliskan bahwa tawuran pelajar

disebabkan oleh pendirian remaja yang labil dan kurangnya perhatian dari orang

tua.24 Dimana menurut penulis, faktor tersebut hanyalah bagian kecil dari sumber

penyebab terjadinya tawuran pelajar. Namun penulis setuju dengan pendapat

Julianti bahwa, Pelajar melakukan perkelahian tawuran, disebabkan karena

dalam diri mereka terdapat konflik diri. Seperti terdapat adanya ketidakcocokan

antara keinginan dengan kenyataan yang ada dilingkungannya, yaitu teman

sesama pelajar dengan pelajar sekolah lain.25

Catatan dari KPAI diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Imtiaz, et. al, dimana menurut National Youth Violence Prevention Resource

Centre, menyatakan bahwa:

22
Rismanto, Et.Al., 2013, “Model Penyelesaian Tawuran Pelajar Sebagai Upaya Mencegah
Terjadinya Degradasi Moral Pelajar (Studi Kasus di Kota Blitar – Jawa Timur), Jurnal
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Vol. 2, No.1, Universitas Negeri
Malang, Malang.
23
Setiawan dan Aquina, “KPAI: Selama 3 Tahun, 46 Pelajar Tewas Akibat Tawuran”,
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/354883-kpai--selama-3-tahun--46-pelajar-tewas-akibat-
tawuran, diakses tanggal 22 April 2015.
24
Julianti, 2013, “Internalisasi Nilai Toleransi Melalui Model Telling Story Pada Pembelajaran
PKN Untuk Mengatasi Masalah Tawuran (Studi Kasus Tawuran Pelajar Sekolah Menengah di
Sukabumi), Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol.14 No.1, April 2013, Universitas Pendidikan
Indonesia, Jakarta, hlm. 2.
25
Ibid, hlm. 11.
11

“Environmental factors such as poverty, media exposure to violence, and the

general environmental apathy play an important role in creating conditions that

can contribute to a culture of violence.”26 Dengan terjemahan bebasnya kurang

lebih berarti: faktor-faktor lingkungan sekitar seperti kemiskinan, peran media

dalam menyiarkan kekerasan, dan lingkungan umum yang apatis memainkan

peran penting dalam menciptakan kondisi-kondisi yang dapat berkontribusi pada

budaya kekerasan. Penelitian Imtiaz juga dengan lengkap memaparkan pendapat

Hudley dan Novac tentang gabungan beberapa faktor yang berkontribusi dalam

membentuk perilaku agresif (dalam hal ini mengarah pada aksi tawuran), yakni:

“harsh and emotionally unsupportive family environments; communities

experiencing disorder and violence; and rejecting peer contexts can all alter

brain structures, develop and reinforce biases in cognition, and support

retaliatory aggression.”27 Dengan terjemahan bebasnya yang kurang lebih

berarti: lingkungan keluarga yang keras dan tidak mendukung secara emosional;

masyarakat yang mengalami gangguan dan kekerasan; menolak hubungan

dengan sesama, mampu merubah seluruh struktur otak dalam mengembangkan

dan memperkuat kesadaran berprasangka hingga mendukung agresi balasan.

Penelitian yang telah dilakukan Imtiaz diatas memperkuat dugaan bahwa

masyarakat Indonesia yang sakit dan mengalami gangguan kekerasan (konflik

sosial) yang berkesinambungan, tidak hanya menularkan penyakitnya pada

26
Imtiaz, et.al, 2010, “Sociological Study of the Factors Affecting the Aggressive Behavior
Among Youth”, Pakistan Journal of Social Sciences (PJSS) Vol. 30, No. 1 (September 2010),
Bahauddin Zakariya University, Pakistan, hlm. 100.
27
Loc.cit.
12

generasi penerus, dalam hal ini pelajar Indonesia, namun juga meningkatkan

intensitasnya dari tahun ke tahun.

B.3. Peran Pancasila Sebagai Ideologi Utama Bangsa Indonesia

Pengertian Pancasila yang luas bagi bangsa Indonesia mencerminkan betapa

pentingnya ideologi Pancasila sebagai sistem nilai utama yang diterima sebagai

satu-satunya azas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di

Indonesia.

Menurut Hanapiah, sebagai ideologi, Pancasila berhakikat (berperanan

utama) sebagai: (a) pandangan hidup bangsa, (b) dasar negara, dan (c) tujuan

nasional (negara).28 Sementara menurut Mahifal, Pancasila sebagai ideologi

digunakan sebagai alat pemersatu bangsa.29 Pengertian Pancasila sebagai

ideologi dari kedua penulis diatas, disimpulkan dengan jelas oleh Lemhanas

Republik Indonesia, bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa, lahir melalui

proses yang panjang dengan bersendikan keberagaman dalam ke-Bhineka-an dan

seiring dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.30 Oleh sebab itu, Pancasila

wajib untuk dijadikan sebagai living ideology, sebagai working ideology, yang

28
Hanapiah, 2012, “Pendidikan Pancasila”, Makalah disajikan pada kegiatan pemadatan
Matakuliah Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa Peserta Ujian Persamaan Mutu (UPM) (pada
STISIP Tasikmalaya, tanggal 22 Juli 2002, di Kampus STISIP Tasikamalaya), Universitas
Padjajaran, Bandung, hlm. 2.
29
Mahifal, 2011, “Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui
Pembinaan Ideologi dan Wawasan Kebangsaan”, Jurnal Pedagogia Universitas Pakuan,
Universitas Pakuan, Bogor, hlm. 7.
30
Lemhanas Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 98.
13

antisipatif, yang adaptif, dan yang responsif.31, sebab Pancasila berfungsi sebagai

filosofische grondslag dan common platform diantara sesama warga masyarakat

dalam menyepakati secara konstitusionalisme bahwa hakikat Pancasila adalah

sebagai ideologi terbuka didalam konteks kehidupan negara.32 Dalam hal ini,

penulis lebih condong tentang pemahaman Pancasila dalam kedudukannya

sebagai agama sipil (Civil Religion), karena memiliki landasan keagamaan

beragam, memiliki sesuatu yang bisa mengikat mereka (masyarakat) bersama

secara emosional dan menggerakkan sukma dan raga bersama mereka sebagai

citizens, warganegara.33

B.4. Penataran P4 dan Pendidikan Moral Pancasila

Kedudukan Pancasila sebagai agama sipil di Indonesia ini, menurut penulis,

membutuhkan suatu pedoman umum yang vital untuk diusahakan

pengamalannya secara, luas, nyata dan berkesinambungan ke seluruh sendi-sendi

masyarakat Indonesia. Sejarah pernah mencatat bahwa pedoman umum tersebut

pernah dikukuhkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun

1978 dan dinamakan sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

31
Yudhoyono, 2010, “Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Peringatan
Pidato Bung Karno 1 Juni 1945”, http://www.antaranews.com/berita/206119/pidato-presiden-
peringatan-pidato-bung-karno-1-juni-1945, diakses tanggal 28 April 2015.
32
Lemhanas Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 98.
33
Pemahaman Agama Sipil (Civil Religion) diambil dari Fauzi, 2013, “Masa Depan Agama Sipil
di Indonesia - Percakapan bersama Rousseau, Bellah dan Cak Nur”, Makalah untuk diskusi Masa
Depan Agama Sipil, Serambi Salihara, hlm. 2; Selain itu Penulis juga menyarankan untuk
membaca: Bellah, 1967, “Civil Religion In America”, Dædalus, Journal of the American
Academy of Arts and Sciences Vol. 96 No. 1 pp. 1-21.
14

Didalam fungsinya, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini

merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta

setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun

di daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.34 Namun niat yang luhur

tersebut pupus karena praktek yang salah kaprah, sehingga melalui Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998, dengan pertimbangan bahwa

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

(Ekaprasetia Pancakarsa) yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai

dengan perkembangan kehidupan bernegara, perlu dicabut.35 Alasan pencabutan

pelaksanaan P4 ini dilakukan karena menurut Samsuri dalam penelitian yang

dilakukan oleh Baehaqi Arief, meskipun Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 Pasal

1 menjelaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tidak

merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tercermin dalam

Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi

kelihatan lebih penting dari Pancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila

34
Tap MPR RI No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa), Pasal 4.
35
TAP MPR RI No. XVIII/MPR/1998 Tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978
Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa),
Pertimbangan b, hlm. 1035.
15

menjadi “kata sakti” dalam segenap kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga

lokal dalam forum-forum formal maupun non formal.36

Menurut Penulis, kelemahan penerapan P4 dimasa lalu, semestinya tidak

dijadikan alasan untuk menghapusnya, karena sebuah ideologi, dalam

pemahamannya secara meyeluruh, membutuhkan indoktrinasi. Selain itu, kalau

Penataran P4 terkesan seperti sebuah indoktrinasi, itu karena materi Penataran P4

dibuat seragam di seluruh Indonesia agar Pancasila ditafsirkan sama di seluruh

wilayah Indonesia.37

Oleh sebab esensi dari penghapusan penataran P4 tersebut sudah tidak sesuai

dengan jalan awal yang dicita-citakan warga negara Indonesia saat merebut

kemerdekaan dulu, maka tantangannya, menurut Fauzi, adalah – dulu, kini dan di

masa depan – bagaimana warganegara terus mengontrol pemerintah agar berjalan

di “jalan yang lurus”,sesuai dengan cita-cita republik, terutama di masa-masa

krisis.38 Kelemahan P4 harus diperbaiki dan, mengutip kalimat dari Hanapiah,

dikembangkan sesuai dengan perkembangan dinamika global, dinamika nasional,

dan dinamika lokal/daerah, yang pada akhirnya diarahkan untuk kepentingan

bangsa/nasional dan NKRI.39

36
Baehaqi Arief, 2011, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Pada Warga Negara Muda Melalui
Pendidikan Kewarganegaraan”, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, hlm. 9.
37
Viva Online, “ Fungsi Penataran P4 di Masyarakat, Menggali Kepribadian Bangsa yang
Hilang”,
http://log.viva.co.id/frame/read/aHR0cDovL2hlcnVzdXBhbmppLmJsb2dzcG90LmNvbS8yMDE
yLzA2L3BlbmF0YXJhbi1wNC5odG1s, diakses tanggal 28 April 2015.
38
Fauzi, Op.Cit., hlm. 11.
39
Hanapiah, Op. Cit., hlm. 10.
16

C: PENUTUP

C.1. Revitalisasi Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila Secara Kongkret.

Pendidikan Moral Pancasila sewajibnya diberlakukan kembali dalam jenjang

pendidikan nasional di negara Indonesia. Hal ini merupakan situasi yang urgent

berkaitan dengan masa depan generasi bangsa. Penulis setuju dengan ide dari

Julianti yang mengkritik pelaksanaan pelajaran PKn di sekolah karena

menurutnya, PKn sudah seharusnya mengorganisasikan tentang pembelajaran

warga negara untuk mencapai tingkat kecerdasan yang multi dimensional. Isinya

bersifat kongkrit atau isi pembelajaran tidak bersifat knowledge based, tetapi

lebih kepada nilai keterampilan kewarganegaraan, termasuk peserta didik dapat

memecahkan permasalahan hidup diri sendiri tanpa bantuan orang lain. 40 Dalam

hal ini, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila lebih tepat untuk bisa

diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya: kerja bakti untuk

membersihkan sekolah dan lingkungan masyarakat sekitar sekolah secara rutin

memberikan pengertian tentang nilai dari kebersamaan (gotong royong),

Pelaksanaan diskusi panel antar agama yang melibatkan beberapa pemuka agama

dan wajib dihadiri oleh para siswa dalam kaitannya tentang pemahaman

Pancasila sebagai Civil Religion. Serta dalam rangka mendidik nasionalisme,

maka pelaksanaan upacara bendera setiap hari Senin yang mewajibkan seluruh

siswa untuk mengikutinya, sudah semestinya diadakan kembali. Contoh nyata

40
Julianti, Op.Cit, hlm. 12.
17

pengamalan Pendidikan Moral Pancasila, termaktub dalam penelitian Rismanto,

et.al, yang mengkaji langsung sebuah model penyelesaian tawuran diantara

2(dua) Sekolah Menengah Atas, yakni SMK 1 Islam Blitar dan SMK Katolik

Santo Yusuf Blitar, yakni: mediasi kekeluargaan yang menggunakan wejangan

bertajuk “Bersatu Bangkit Bersama Dengan Perdamaian, Rukun Agawe

Santoso”, dihadiri oleh siswa bersama Guru dan Kepala Sekolah dari masing-

masing sekolah beserta dengan Dinas Pendidikan dan Polisi.41 Dalam hal ini,

penulis mengapresiasi peran dari seluruh lapisan masyarakat Blitar yang menjadi

media bagi penyelesaian tawuran pelajar yang telah berlangsung selama puluhan

tahun, serta menjadi yakin bahwa teori-teori dalam Pendidikan Moral Pancasila,

sebenarnya berakar dari dalam diri Bangsa Indonesia sendiri.

C.2. Revitalisasi Penataran P4 di Seluruh Jenjang Pendidikan

Penulis menyetujui solusi yang ditawarkan oleh Latifa dan Syani yang

menyoroti tentang, sangat pentingnya peran kepala sekolah dan guru, dalam

mencegah terjadinya tawuran tersebut apalagi bagi sekolah yang memang

terletak di zona pendidikan, yang pada hakekatnya rentan terjadi perselisihan

antar pelajar sehingga dapat berujung pada terjadinya tawuran. 42 Karena itu,

menurut penulis, Penataran P4 (yang telah diperbaiki dan dikembangkan)

diperlukan bukan hanya bagi Kepala Sekolah atau Guru-Guru yang mengajar

ilmu sosial, namun juga kepada setiap siswa di seluruh jenjang pendidikan.

41
Rismanto, Et.Al., Op. Cit., hlm. 13.
42
Latifah dan Syani, Op.Cit, hlm. 245.
18

Pelaksanaan Penataran P4, baik pola 25 jam, 45 jam dan 100 jam yang

terintegrasi dan sistematis akan mampu mengupas dan mengurai Pancasila

sebagai ideologi terbuka, sehingga, menurut Efianingrum, bagaimana sikap-sikap

seperti gotong royong, kerjasama, saling tolong menolong, toleransi, dan lain

sebagainya dapat ditumbuhkan kembali dalam masyarakat yang semakin

kompetitif ini.43 Sejalan dengan pemikiran penulis, Efianingrum juga

mencetuskan tentang, perlunya disediakan wahana untuk mengembangkan sikap

tersebut (gotong royong, kerjasama, saling tolong menolong, toleransi, dan lain

sebagainya), adanya keteladanan dari berbagai pihak, dan mekanisme kontrol

(hukum positif maupun hukum sosial) yang tegas bagi setiap pelaku tindak

kekerasan.44 Dalam hal ini, Penulis yakin bahwa revitalisasi penataran P4

merupakan satu-satunya jalan untuk mengikis kebiasaan tawuran yang mulai

berakar pada aksi pelajar Indonesia saat ini.

Akhir Kata, penulis berharap makalah yang dibuat ini bukan sekedar wacana

ataupun pelengkap untuk kelulusan suatu mata kuliah, namun merupakan

tindakan awal menuju suatu tindakan yang dilakukan secara nyata dan bersama-

sama. Karena cita-cita untuk kembali menjadi bangsa Indonesia yang beradab

dan berbudaya, menjunjung tinggi adat ketimuran seperti sopan santun, gotong

royong, toleransi, bermusyawarah untuk mufakat, dan mengamalkan nilai-nilai

Pancasila tersebut merupakan tanggung jawab penulis dan seluruh masyarakat

yang menyatakan dirinya Rakyat Indonesia.

43
Efianingrum, Op.Cit., hlm. 13.
44
Loc. cit.
19

 DAFTAR PUSTAKA

 Buku, Jurnal Lokal, Jurnal Internasional, dan Tugas Akhir

 Atmaja, A.P. Edi, 2012, “Rasa Frustasi yang Membebaskan”, Artikel

Harian Analisa yang dimuat tanggal 22 Oktober 2012, Medan.

 Baehaqi Arief, Dikdik, 2011, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila

Pada Warga Negara Muda Melalui Pendidikan Kewarganegaraan”,

Makalah disampaikan dalam Kongres Pancasila III ”Harapan,

Peluang, dan Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila”

(diselenggarakan di Universitas Airlangga Surabaya, 31 Mei – 1 Juni

2011), Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

 Efianingrum, Ariefa, 2006, “Wacana Kekerasan dalam Interaksi

Remaja (Kasus Perkelahian Pelajar di Yogyakarta), Jurnal

Humaniora, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

 Fisher, Simon & Abdi, Dekka Ibrahim, 2002, “Working With

Conflict; Skills& Strategies for Action”, Zed Books in association

with Responding to Conflict, New York.

 Hanapiah, Pipin, 2012, “Pendidikan Pancasila”, Makalah disajikan

pada kegiatan pemadatan Matakuliah Pendidikan Pancasila bagi

Mahasiswa Peserta Ujian Persamaan Mutu (UPM) (pada STISIP

Tasikmalaya, tanggal 22 Juli 2002, di Kampus STISIP

Tasikamalaya), Universitas Padjajaran, Bandung.


20

 Imtiaz, Ruqaya; Yasin, Ghulam; Yaseen, Asif, 2010, “Sociological

Study of the Factors Affecting the Aggressive Behavior Among

Youth”, Pakistan Journal of Social Sciences (PJSS) Vol. 30, No. 1

(September 2010), Bahauddin Zakariya University, Pakistan.

 Julianti, 2013, “Internalisasi Nilai Toleransi Melalui Model Telling

Story Pada Pembelajaran PKN Untuk Mengatasi Masalah Tawuran

(Studi Kasus Tawuran Pelajar Sekolah Menengah di Sukabumi),

Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol.14 No.1, Universitas Pendidikan

Indonesia, Jakarta.

 Lamria, Maria, 2004, “Analisa Penyebab Terjadinya Konflik

Horizontal”, Jurnal Hak Asasi Manusia Vol. 1 No. 1 Oktober 2004,

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Jakarta.

 Latifah, Mar Atul dan Syani, Abdul, 2013, Peranan Guru Sekolah

Dalam Mencegah Terjadinya Tawuran Dikalangan Pelajar (Studi di

SMA Perintis 1 Bandar Lampung), Jurnal Sociologie, Vol.1, No.3,

Universitas Lampung, Lampung.

 Lemhanas Republik Indonesia, 2012, “Memperkokoh Nilai-Nilai

Pancasila di Seluruh Komponen Bangsa Untuk Memantapkan

Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an

Dalam Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global”, Jurnal

Kajian Lemhanas RI Edisi 14, Desember 2012, Jakarta.


21

 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa

Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

 Ramada, Diandra Preludio, “Dialektika Hukum Progresif – Obrolan

Ringkas Buku-buku Satjipto Rahardjo”, 2014, Kaum Tjipian,

Universitas Diponegoro, Semarang.

 Rismanto, Septian Bayu; Al Hakim, Suparlan; Sutoyo, 2013, “Model

Penyelesaian Tawuran Pelajar Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya

Degradasi Moral Pelajar (Studi Kasus di Kota Blitar – Jawa Timur),

Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Vol.

2, No.1, Universitas Negeri Malang, Malang.

 Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta : Ghalia

Indonesia, Jakarta.

 Sub Direktorat Statistik Politik dan Kriminal, 2014, Katalog Statistik

Kriminal 2014, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

 Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

 Teja, Mohammad, 2012, Tawuran Pelajar dan Pendidikan Karakter di

Kota Jakarta, Jurnal Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol. IV,

No.19/I//P3DI/Oktober/2012, Jakarta.

 Peraturan Perundang-undangan

 Tap MPR RI No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).


22

 TAP MPR RI No. XVIII/MPR/1998 Tentang Pencabutan Ketetapan

MPR RI No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa)

 Artikel Online

 Harian Kompas edisi Online, “ Pendidikan Pancasila Dihapus”,

http://nasional.kompas.com/read/2011/05/06/03075643/Pendidikan-

Pancasila-Dihapus, diakses tanggal 21 April 2015.

 Humas UGM, “Pengamat UGM: Penataran P4 Wujud Penanaman

Budi Pekerti”, http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=5255, diakses

tanggal 21 April 2015.

 Nurwijayanto, “Upaya Mendisiplinkan Siswa Melalui Pendidikan

Karakter”, https://nurwijayantoz.wordpress.com/pendidikan-4/upaya-

mendisiplinkan-siswa-melalui-pendidikan-karakter/, diakses tanggal

21 April 2015.

 Yudhoyono, Susilo Bambang, 2010, “Pidato Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dalam acara Peringatan Pidato Bung Karno 1

Juni 1945”, http://www.antaranews.com/berita/206119/pidato-

presiden-peringatan-pidato-bung-karno-1-juni-1945, diakses tanggal

28 April 2015.

 Viva Online, “KPAI: Selama 3 Tahun, 46 Pelajar Tewas Akibat

Tawuran”, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/354883-kpai--
23

selama-3-tahun--46-pelajar-tewas-akibat-tawuran, diakses tanggal 22

April 2015.

 Viva Online, “ Fungsi Penataran P4 di Masyarakat, Menggali

Kepribadian Bangsa yang Hilang”,

http://log.viva.co.id/frame/read/aHR0cDovL2hlcnVzdXBhbmppLmJs

b2dzcG90LmNvbS8yMDEyLzA2L3BlbmF0YXJhbi1wNC5odG1s,

diakses tanggal 28 April 2015.

 Pidato

 Yudhoyono, Susilo Bambang, 2006, “Menata Kembali Kerangka

Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila”, disampaikan dalam

Rangka Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006 di Jakarta

Convention Center, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai