Anda di halaman 1dari 18

RESUME TEORI BILANGAN

BILANGAN PRIMA

DOSEN: Sarfa Wasahua, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh;

Kelompok 7
Rahmatiyah azryani rumkel
Azlin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURURAN
INSTITUTE AGAMA ISLAM AMBON
2023
A. Sejarah dan Perkembangan Bilangan Prima

Manusia telah mengenal bilangan prima sejak 6500 sebelum masehi (S.M.). tulang
Ishango yang ditemukan pada tahun 1960 (sekarang disimpan di Musse d’Histoire Naturelle
di Brussels) membuktikan hal tersebut. Tulang Ishango memiliki 3 baris takik. Salah satu
kolomnya memiliki 11, 13, 17 dan 19 takik, yang merupakan bilangan prima antara 10 dan
20.
Sekitar abad 6 S.M., Phythagoras dan kelompoknya telah mempelajari sifat-sifat bilangan,
antara lain : bilangan sempurna (perfect numbers), bilangan sekawan (amicable numbers),
bilangan segi banyak(polygonal numbers) dan bilangan prima (prime numbers). Selanjutnya,
sekitar abad ke empat SM, Euclides mengembangkan konsep dasar teori bilangan. Beberapa
jenis bilangan khusus akan dikemukakan, namun pengertian pembagi dan pembagi sejati
perlu dikemukakan lebih dahulu.
Pembagi (kadang disebut faktor) dari sebuah bilangan bulat adalah bilangan yang dapat
membagi bilangan itu tanpa adaa sisa. Misalnya pembagi dari 12 adalah . Pembagi sejati
(proper divisors) adalah pembagi sebuah bilangan yang kurang dari bilangan itu sendiri.
Misalnya pembagi sejati dari 12 adalah . Selanjutnya, beberapa bilangan khusus
dikemukakan sebagai berikut.
1. Bilangan Berlimpah (Abundant Numbers)
2. Bilangan Berkekurangan (Deficient Numbers)
3. Bilangan Sempurna (Perfect Numbers)
4. Bilangan Mungil (cute numbers)
5. Bilangan Setengah Sempurna (semiperfect numbers)
6. Bilangan Berbahagia (happy numbers
7. Bilangan Narsis (narcissistic numbers
8. Bilangan Palindrom (palindromic numbers)
9. Bilangan bersahabat (amicable numbers)
10. Bilangan Sosial (sociable numbers)
11. Bilangan Berpola (figurate numbers)
12. Bilangan Poligon (polygonal numbers)
13. Bilangan Kuadrat (square numbers)
14. Bilangan Kubik (cube numbers)
15. Bilangan Tetrahedral (tetrahedral numbers)
16. Bilangan Segitiga (triangular numbers)
17. Bilangan Aneh (weird numbers)

Sebelum komputer ditemukan, perkembangan penemuan bilangan prima masih lambat


karena orang belum merasakan manfaatnya. Meski pun sedikit sekali manfaat yang diketahui,
namun di awal masehi orang-orang tetap mencari dan membuktikan bahwa suatu bilangan
merupakan bilangan prima.

Bilangan prima disebut oleh Nicomachus, Theon dan Lamblichus sebagai “bilangan prima
dan tidak komposit”. Theon mendefenisikan hampir sama dengan yang didefenisikan oleh
Euclid, yaitu “bilangan yang tidak dihasilkan oleh sebarang bilangan, melainkan oleh hanya
satu satuan saja”. Satuan berarti bilangan asli yang bukan bilangan prima dan juga bukan
bilangan komposit. Aristotheles juga mengatakan bahwa bilangan prima tidak dihasilkan oleh
sebarang bilangan, sebuah satuan bukan merupakan bilangan, tetapi hanya permulaan
bilangan (Theon dari Smyrna mengatakan hal yang sama). Menurut Nicomachus, bilangan
prima adalah sebuah subbagian, bukan dari sembarang bilangan melainkan dari bilangan
yang ganjil, yaitu “bilangan ganjil yang tidak berlaku untuk bagian yang lain kecuali bagian
yang disebutkan setelah nama bilangan iu sendiri”. Bilangan prima adalah 3, 5, 7 dan
seterusnya. Dan tidak ada subkelipatan dari 3 kecuali 1/3, tidak ada subkelipatan dari 11
kecuali 1/11 dan seterusnya.
Dalam kasus ini satu-satunya subkelipatan tersebut adalah satuan. Menurut Nicomachus, 3
adalah bilangan prima yang pertama sedangkan Aristotheles menganggap 2 sebagian
bilangan prima: (2 adalah satu-satunya bilangan genap yang prima), hal ini menunjukkan
bahwa perbedaan doktrin phytagorean lebih awal dari Euclid. Angka 2 juga memperkuat
defenisi Euclid terhadap bilangan prima. Lamblichus menjadikan ini sebagai dasar serangan
lain terhadap Euclid. Argumentasinya adalah bahwa 2 adalah satu-satunya angka genap yang
tidak memiliki bagian kecuali sebuah satuan. Namun, sebelumnya dijelaskan bahwa genap
kali genap, ganjil kali ganjil dan ganjil kali genap, semuanya tidak termasuk sifat bilangan
prima. Telah dijelaskan bahwa kemungkinan besar 2 adalah bilangan genap dan ganjil, yang
dihasilkan dengan mengalikan 2 terhadap bilangan ganjil yakni satuan tersebut, sehingga 2
dianggap sebagai batas atas subbagian bilangan genap, yang bukan termasuk bilangan prima.
Theon memandang 2 dalam anggapan yang sama, tetapi mendukungnya dengan lingkaran
yang nyata. Bilangan prima menurutnya, juga disebut ganjil-kali-ganjil, sehingga hanya
bilangan ganjil yang prima dan tidak komposit. Bilangan genap tidak dihasilkan oleh hanya
satu satuan, kecuali 2, sehingga terlihat ganjil tetapi tidak prima.
Terdapat beragam nama yang digunakan terhadap bilangan prima. Kita telah
memperhatikan penandaan yang aneh terhadapnya yaitu ganjil kali ganjil. Menurut
Lamblichus, beberapa orang menyebutnya euthimetricdan thimaridas rectilinier, dengan dasar
bahwa ia hanya dapat ditemukan dalam satu dimensi tanpa luasan. Aspek yang sama dari
bilangan prima juga dinyatakan oleh Aristotheles, yang membedakan bilangan komposit
dengan bilangan prima yang hanya memiliki satu dimensi. Theon dari Smyrna
memberikan linear sebagai nama alternatif dari rectilinear. Dalam kedua kasus, untuk
membuat deskripsi yang pas terhadap bilangan prima, kita harus memahami kata hanya,
“bilangan prima adalah bilangan yang hanya linear atau rectilinear”. Bagi Nicomachus, yang
menggunakan bentuk linear, dengan jelas mengatakan bahwa semua bilangan juga begitu,
yakni dapat dipresentasikan oleh titik-titik linear untuk jumlah yang dibutuhkan dan
ditetapkan pada seruas garis.
Bilangan prima disebut prima atau pertama,menurut nicomachus,karena hanya dapat
diperoleh dengan meletakkan sejumlah satuan tertentu bersama,dan satuan tersebut adalah
permukaan dari bilangan.Menurutlamblichus,karena tidak ada bilangan sebelumnya,bilangan
prima menjadi kumpulan satuan yang merupakan kelipatan dan muncul pertama sebagiaan
basis yang bilangan yang lain yang menjadi kelipatannya.Berdassarkan berbagai pernyataan
tersebut,bilangan prima dapat didefinisikanberikut.
“Bilangan bulat p>1 disebut bilangan prima bilamana tidak ada bilangan pembagi d
terhadap p yang memenuhi syarat 1<d<p.Dengan perkataan lain,bilangan prima adalah
bilangan asli yang lebih besar dari satu dan bilangan itu sendiri.Sebuah bilangan bulat p>1
yang bukan bilangan prima disebut bilangan komposit(tersusun)”.
Sebagian contoh,2, 3, 5dan 7 adalah bilangan prima, sedangkan 4, 6, 8 dan 9 adalah
bilangan komposit. Perlu diperhatikan bahwa 1 bukan bilangan primaa dan bukan pula
bilangan composit, sehingga 1 disebutsatuan. Jadi, himpunan semua bilangan bulat positif
(bilangan asli) terbagi dalam 3 himpunan bagian yang saling lepas, yaitu:
1) Himpunan bilangan prima
2) Himpunan bilangan komposit
3) Himpunan bilangan satuan.

B. Rumus Bilangan Prima


.
Cara yang paling sederhana untuk mencari bilangan prima adalah dengan menggunakan
metode saringan Eratosthenes (Sieve of Eratosthenes), sebuah karya dari Eratosthenes (240
SM), seorang ilmuwan Yunani Kuno. Cara ini yang paling sederhana dan paling cepat untuk
menemukan bilangan prima, sebelumsaringan Atkin ditemukan pada tahun 2004. Saringan
Atkin merupakan cara yang lebih cepat namun lebih rumit dibandingkan dengan saringan
Eratosthenes.
Misalkan, kita hendak menemukan semua bilangan prima di antara 1 sampai bilangan
bulat 50. Peragaaun saringan Eratosthenes untuk membuat daftar bilangan kurang dari atau
sama dengan 50 dilakukan sebagai berikut:
1. Membuat daftar bilangan mulai dari 1 sampai dengan 50,
2. Mencoret bilangan 1 dari daftar bilangan tersebut,
3. Membiarkan bilangan 2 dan mencoret semua bilangan kelipatan 2,
4. Membiarkan bilangan 3 dan mencoret semua bilangan kelipatan 3,
5. Membiarkan bilangan 5 dan mencoret semua bilangan kelipatan 5,
6. Membiarkan bilangan 7 dan mencoret semua bilangan kelipatan 7,
7. Membiarkan semua bilangan yang belum dicoret,
8. Melihat hasil bilangan yang dibiarkan dan tidak dicoret.
9. Mendaftar semua bilangan prima yang kurang dari 50, yaitu 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23,
29, 31, 37, 41, 43 dan 47.
(catatan: beberapa bilangan mendapat pencoretan lebih dari sekali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50

Penggunaan saringan Eratosthenes tidak dapat secara memuaskan untuk menguji langsung
suatu bilangan adalah bilangan prima atau bukan bilangan prima, sehingga
banyak “formula” lain yang dibuat untuk menghasilkan bilangan prima. Rumus atau formula
itu antara lain:
1) f(n)= -n+41, untuk n N
Untuk n=1 sampai dengan n=40, diperoleh daftar angka yang merupakan bilangan prima.
Tetapi, untuk n=41 maka f(41)= bukan bilangan prima karena 1681 habis dibagi 1, 41 dan
1681. Dengan demikian, f(n)= -n+41 gagal menjadi rumus bilangan prima.
2) f(n)= -79n+1601
Formula ini gagal menjadi rumus bilangan prima sebab f(81)= -79(81)+1601=1763, di
mana faktor dari 1763 adalaah 1, 41,43 dan 1763, sehingga 1763 bukan bilangan prima.

3) f(n)= +1
Rumus ini dibuat oleh Fermat. Jika secara berturut-turut n diganti dengan 1, 2, 3 dan 4
maka diperoleh semuanya adalah bilangan prima. Tetapi, jika n diganti dengan 5 maka
f(5)= +1=4.294.967.297. Hasil ini bukan bilangan prima karena habis dibagi oleh 641. Jadi,
rumus Fermat gagal menghasilkan bilangan prima untuk n=5.

4) Bilangan prima Sophie Germain.


Sebuah bilangan prima p disebut bilangan prima Sophie Germain bila 2p+1 juga bilangan
prima. Misalnya, 23 adalah bilangan prima Sophie Germain karena 2 23+1=47 juga bilangan
prima. Bilangan ini diberi nama sesuai nama matematikawan Perancis Marie Sophie
Germain.

5) Bilangan prima dengan rumus 3+4k, untuk k>0. Tentu, rumus ini gagal menghasilkan
bilangan prima untuk k=3, karena 3+4(3)=15 bukan bilangan prima.

6) Teorema kecil Fermat menyatakan jika p adalah bilangan prima, maka untuk semua
bilangan bulat a, =a(mod p). Ini berarti, jika kita mengambil sembarang bilangan a, kemudian
mengalikan dengan dirinya sendiri sebanyak p kali dan mengurangi a, hasilnya akanhabis
dibagi dengan p.

C. Teorema Bilangan Prima


Sebelum membahas teorema tentang bilangan prima, terlebih dahulu dijelaskan istilah saling
prima. Dua buah bilangan dikatakan saling prima jika faktor persekutuan terbesar (FPB) dari
dua bilangan tersebut adalah 1. Istilah lain dari saling prima adalah komprima atau prima
relatif. Jadi defenisi saling prima dapat dituliskan sebagai berikut.
“Dua bilangan bulat a dan b dikatakan prima relatif, jika (a,b)=1”
Apabila ( )=1 maka juga dikatakan saling prima. Bilangan bulat positif dikatakan saling
prisma dua-dua atau saling prima sepasang, apabila ( )=1, untuk i=1, 2, 3,…., n dan j=1, 2, 3,
…., n dengan i j. contoh (7, 8, 15)=1,sehingga dikatakan bahwa 7, 8 dan 15saling prima dan
sekaligus saling prima dua-dua, sebab (7,8)=(7,15)=(8,15)=1. Contoh lain (4, 6, 9, 10) =1
menunjukkan bahwa 4, 6, 9 dan 10 saling prima, tetapi tidak saling prima dua-dua, sebab
(4,6)=2, (4,10)=2, (6,9)=3, (6,10)=2 meskipun (4,9)=(9,10)=1.
1) Teorema 6.1
Jika sisa pembagian b oleh a adalah prima relatif dengan a, maka b juga prima relatif dengan
a.
Bukti:
Misalkan a dan b adalah bilangan-bilangan bukat daan a=0, maka menurut algoritma
pembagian diperoleh: b=aq+r dengan
Misalnya, (a,r)=1. Apakah (b,a)=1?
Misalkan (b,a)=d, maka dan d|b
Karena b=aq+r dengan d dan d|b maka d|r
Selanjutnya dan d|r, sehingga d merupakan faktor persekutuan dari a dan r.
Tetapi, karena (a,r)=1, maka d 1.
Mengingat (b,a)=d, yaitu d 1, maka d=1.
Maka, (b,a)=1

Contoh:
Misalkan 81 dan 266, dengan 266=(81)(3)+23. Perhatikan bahwa (81,23)=1, maka menurut
teorema 1 (266,81)=1. Hal ini dapat dilihat pada Algorotma Euclides.

2) Teorema 6.2
Setiap bilangan bulat n>1 dapat dibagi oleh suatu bilangan prima. Dengan perkataan lain, jika
n dan n adalah bilangan komposit, maka ada bilangan prima p sehingga.p|n
Bukti:
Cara I
1) Ambil sembaraang bilangan positif n>1. Jika n bilangan prima maka berarti teorema
terbukti.
2) Apabila n adalah bilangan komposit, maka n mempunyai faktor selain 1 dan n sendiri.
Misalnya , yaitu maka ada sehingga n= dengan 1< <n.
3) Ambil bilangan prima sehingga , dengan demikian teorema terbukti. Tetapi, jika suatu
bilangan komposit, maka mempunyai faktor selain 1 dan , misalnya , yaitu | sehingga
ada sehingga , 1< < .
4) Ambil bilangan prima sehingga . Karena dan |n maka . Jadi, n terbagi oleh suatu
bilangan prima , sehingga teorema terbukti. Tetapi, jika suatu bilangan komposit,
maka mempunyai faktor selain 1 dan , misalnya , yaitu . Ini berarti ada sedemikian
sehingga = dengan 1< < .
5) Ambil bilangan prima dan dengan dan yang berimplikasi sehingga teorema terbukti.
Tetapi, jika suatu bilangan komposit, proses seperti di atas dapat dilanjutkan sedemikian
sehingga didapatkan suatu barisan n, , ,….,dengan n> > >……>1.
Penguraian atas faktor-faktor komposit tersebut tentu berakhir pada suatu faktor prima,
karena faktor-faktor tersebut selalu kurang dari bilangan yang diuraikan dan selalu lebih dari
1. Misalkan penguraian berakhir pada faktor prima , maka dan karena , ,….., sehingga .
Cara II
Misalkan tidak ada bilangan prima p yang memenuhi dan S adalah himpunan semua
bilangan komposit yang tidak mempunyai faktor prima dengan S= .
Karena S dan S N maka menurut prinsip terurut rapi , S mempunyai unsur terkecil m.
Misalkan m S maka m= . dengan 1< <m dan 1< <m, S, sebab m adalah unsur terkecil S,
berarti adalh bilangan prima atau bilangan yang mempunyai faktor prima.
Ternyata tterjadi kontradiksi karena m S mempunyai faktor prima. Jadi, S , yaitu ada bilangan
prima p yang memenuhi .
Contoh:
a. Misalkan n=17 dan n {bilangan prima}, menurut teorema 2, terdapat bilangan prima p
sehingga . Pilih bilangan prima p=17, sehingga .
b. Misal n=357, dengan n {bilangan komposit}. Menurut teorema 2, n memiliki faktor
selain 1 dan 357 sendirii. Misalkan faktor lain adalah =3 yaitu , maka ada sedemikian
sehingga 357=3 dengan =119 dan 1<199< 357. Karena 119 merupakan bilangan komposit ,
maka mempunyai faktor selain 1dan 119 sendiri. Misalkan faktor lain tersebut adalah =7
yaitu , maka ada sedemikian sehingga 119=7 dengan =17 dan 1<17<119. Karena =17
merupakan bilangan prima, menurut teorema 2, ada bilangan prima p sedemikian sehingga .
Pilih bilangan prima p=17 maka .

3) Teorema 6.3
Setiap bilangan bulat n>1 dapat dinyatakan sebagai hasil kali bilangan-bilangan prima.

Bukti:
Cara I
1) Ambil sebarang bilangan bulat positif n>1. Menurut teorema 2, ada suatu bilangan
prima sedemikian sehingga . Karena itu, ada bilangan bulat positif sehingga n= dengan 1< .
2) =1 n= n {bilangan prima}. Tetapi, jika >1, menurut teorema 2, ada bilangan ,
sedemikian sehingga . Karena itu, ada sedemikian sehingga dengan 1< < .
3) =1 = n= . Hal ini berarti n dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan-bilangan prima
(teorema terbukti). Tetapi, jika >1, maka menurut teorema 2, p {bilangan prima} . Karena itu
= dengan 1 < .
4) =1 = n= . Hal ini berarti n dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan –bilangan prima
(teorema terbukti). Tetapi, jika , maka proses dapat dilanjutkan sehingga pada akhirnya
diperoleh .
Penguraian atas faktor-faktor prima tersebut pasti berakhir karena dan setiap . Misalnya
untuk k, maka diperoleh n= yaitu n dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan-bilangan
prima.

Cara II
Bilangan bulat n>1 memiliki kemungkinan n bilangan prima atau komposit. Jika n bilangan
prima maka n adalah faktor primanya sendiri. jika n bilangan komposit, maka n dapat
difaktorkan katakanlah n= dengan dan .
Jika bilangan prima maka ia adalah faktor prima n. jika bukan bilangan prima,
maka dengan dan
Dengan cara yang sama dapat pula berlaku untuk , yaitu mungkin prima atau komposit.
Penguraian faktor komposit pasti berakhir karena faktor-faktornya harus lebih kecil dari yang
diuraikan yaitu bilangan komposit itu sendiri, tetapi harus lebih besar dari 1. Jadi, kita dapat
menyatakan n sebagai hasil kali bilangan-bilangan prima.
Suatu bilangan positif yang lebih besar dari 1 dapat dinyatakan sebagai perkalian bilangan-
bilangan prima. Jika diantara faktor-faktor prima tersebut ada yang sama, maka faktor-faktor
yang sama dapat ditulis dalam bentuk dengan adalah faktor-faktor prima dan merupakan
pangkat-pangkat positif.
Selanjutnya disebut representasi n sebagai perkalian bilangan-bilangan prima atau sering
pula disebut bentuk kanonik dari n. teorema 3 sangat membantu untuk menentukan FPB dan
KPK dari 2 bilangan atau lebih dengan menyatakan bilangan-bilangan tersebut dalam bentuk
kanoniknya.
Misalkan 2 bilangan a dan b, masing-masing dinyatakan dengan dan dimana dan , (i=1, 2,
3,…..,r). Dengan demikian FBP dari a dan badalah dan KPK a dan b adalah[a,b]
Contoh :
Ambil nilai a=112 dan b=212.
Penguraiannya menjadi faktor-faktor prima:
a=112=( )(7)= )( )( )
b=212= )(53)= )( )( )
Dengan demikian FBP dan KPK diberikan oleh:
(a,b)= = =4
[a,b]= = =
Karena a dan b keduanya positif, sifat [a,b](a,b)=ab dapat digunakan.
Bukti, [112,212](112,212)=112 212=23744=5936 . Cara ini berlaku hanya pada dua bilangan
bulat positif.
4) Teorema 6.4
Jika n suatu bilangan komposit, maka n memiliki faktor k dengan 1<k .
Bukti:
Karena n suatu bilangan komposit, ada bilangan-bilangan bulat positif k dan m sedemikian
sehingga km=n dengan 1<k<n dan 1<m<n.
Apabila k dan m kedua-duanya lebih besar dari , yaitu k> dan m> , maka n=km> =n(n>n).
Hal ini tidak mungkin sehingga salah satu dari k atau m harus lebih kecil atau sama dengan ,
misalnya k, yaitu 1<k . Jadi, n memiliki faktor k dengan 1<k .
Kontraposisi teorema 4.
Apabila bilangan bulat positif n tidak mempunyai faktor k dengan 1<k , maka n adalah suatu
bilangan prima.
Contoh:
Apakah 1003 merupakan bilangan prima atau bukan?
Penyelesaian:
Bilangan 1003 diperiksa keterbagiannya oleh bilangan-bilangan prima yang kurang
dari yaitu 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 29 dan 31. Karena terdapat bilangan yang dapat
membagi habis 1003 yaitu 17 maka 1003 adalaah bilangan komposit.
5) Teorema 6.5
Jika n N (bilangan asli), maka n mempunyai faktor prima terbesar p sehingga p .

Bukti:
Misalkan tidak benar bahwa n mempunyai faktor prima terbesar p , berarti n paling sedikit
mempunyai dua faktor p dan q> . Dengan demikian, n=pq> atau n=pq>n. Hal ini
menunjukkan suatu kontradiksi (n>n) yang berarti n mempunyai faktor prima terbesar p .
Contoh:
Contoh ini merupakan prinsip kerja dari saringan Eratosthenes. Jika n=300 maka pencoretan
dihentikan pada bilangan prima terbesar p yaitu p=17. Proses yang dilakukan adalah:
a) Mencari bilangan prima terbesar kurang dari atau sama dengan
b) Mencoret semua bilangan kelipatan bilangan prima yang kurang dari atau sama
dengan (kecuali bilangan-bilangan prima itu sendiri)
c) Semua bilangan yang tersisa adalah bilangan prima.

D. Faktorisasi Tunggal
Telah diketahui bahwa setiap bilangan bulat positif yang lebih besar dari 1 dapat dinyatakan
sebagai perkalian dari bilangan-bilangan prima tertentu. Dapat dikatakan bahwa setiap
bilangan bulat positif yang lebih dari 1 dapat dinyatakan sebagai hasil kali faktor-faktor
prima (mungkin hanya satu faktor). Pada bagian ini dipelajari bahwa hasil kali dari faktor-
faktor bilangan prima itu adalah tunggal, kecuali hanya berbeda menurut urutan dari faktor-
faktor prima tersebut. Pemfaktoran suatu bilangan bulat atas faktor-faktor prima yang tunggal
itu terkenal dengan namaTeorema Dasar Aritmetika (Fundamental Theorem of
Arethmetic) dan disebutFaktorisasi Tunggal. Nama teorema dasar aritmetika digunakan
karena memberikan dasar dalam mengembangkan teorema lain dalam aritmetika. Sebelum
membicarakan faktorisasi tunggal, teorema berikut dikemukakan sebagai persiapan untuk
membuktikan faktorisasi tunggal.
1) Teorema 6.6
Jika p suatu bilangan prima dan , a, b Z, maka atau .
Bukti:
Cara I
Karena p suatu bilangan prima , maka p hanya mempunyai faktor 1 dan p, sehingga (a,p)=1
atau (a,p)=p untuk bilangan bulat a sembarang.
Jika p+a maka (a,p)=1. Jika dan (a,p)=1, maka . hal ini sesuai dengan teorema “jika a, b, c Z,
dan (a,b)=1 maka ”
Karena p+b maka dengan cara yang sama dapat dibuktikan bahwa .

2) Teorema 6.7
Jika p suatu bilangan prima dan maka , untuk 1 .
Bukti:
Induksi matematika diterapkan pada n, yaitu banyaknya faktor. Ambil bilangan prima p.
1) Untuk n=1 berarti , jelas benar
2) Untuk n=2 berarti , karena p bilangan prima maka atau (teorema 1)
3) Andaikan teorema benar untuk n>2, maka diambil sebagai hipotesis induksi
4) Apabila p pembagi perkalian sejumlah kurang dari n faktor, maka p pembagi paling
kurang salah satu dari faktor-faktor itu atau ditulis bahwa 2<t<n, yaitu p prima
dan maka untuk suatu s dengan 2<s<t.
Pandang atau . Menurut teorema 2 atau . Jika benar, teorema terbukti. Jika atau keadaan lain
, menurut teorema 2 lagi diperoleh bahwa atau .
Jika maka teorema terbukti.
Jika , maka proses seperti di atas dapat diteruskan. Berdasarkan hipotesis yang diambil,
proses tersebut akan berakhir. Dengan demikian, bilangan prima p membagi salah satu dari .
Andaikan teorema 2 diterapkan untuk kasus bahwa semuanya bilangan prima dan , maka
menurut teorema 2 untuk semua k dengan 1 . Karena p dan adalah bilangan-bilangan prima
dan maka p= .
3) Teorema 6.8
Jika semua bilangan prima dan , maka p= untuk suatu k dengan 1 .
Bukti:
Jika adalah bilangan prima yang memenuhi sifat , menurut teorema 2 , , ,…, dan .
karena adalah bilangan prima, maka jika , haruslah p= begitu pun memberikan p= dan
seterusnya sampai memberikan p= . Dengan demikian diperoleh p= , p= , p= ,…, p= atau
dapat dituliskan p= untuk k=1, 2, 3,…,n atau 1 . jadi, terbukti bahwa p= untuk .
Selanjutnya kita akan membuktikan ketunggalan dari pemfaktoran dari suatu bilangan bulat
positif atas faktor-faktor prima. Teorema ini menyatakan bahwa jika x adalah sebarang
bilangan bulat positif lebih dari 1, maka x dapatditulis sebagai x= , di mana , . masing-masing
bilangan prima. Lebih dari itu, jika x= dan x= , di mana bilangan , adalah bilangan prima,
maka adalah bilangan prima yang sama dengan dalam urutan sembarang.
4) Teorema 6.9
Pemfaktoran suatu bilangan bulat positif yang lebih besar dari satu atas faktor-faktor prima
adalah tunggal, kecuali urutan dari faktor-faktornya mungkin tidak tunggal.

Bukti:
Kita menyelesaikan bukti teorema ini menjadi dua bagian. Bagian pertama menunjukkan
bahwa setiap bilangan bulat positif yang lebih besar dari 1 dapat difaktorkan menjadi
bilangan prima. Bagian kedua menjelaskan bahwa faktorisasi itu tunggal.
1) Pandang bilangan bulat m sebarang yang lebih besar dari 1. Akan ditunjukkan bahwa m
dapat dituliskan sebagai perkalian faktor-faktor bilangan prima. Karena m adalah bilangan
yang lebih besar dari 1, maka m mungkin prima atau komposit. Andaikan m bilangan prima
maka m adalah faktor primanya sendiri.
Andaikan m bilangan komposit, menurut teorema 6.3 (Setiap bilangan bulat n>1 dapat
dinyatakan sebagai hasil kali bilangan-bilangan prima.) m memiliki faktor prima , sehingga
m= dengan .
Jika bilangan prima maka pembuktian selesai. Jika komposit maka sehingga dengan .
Jika prima maka pembuktian selesai. Tapi jikia komposit, maka seingga dengan dan
seterusnya.
Proses ini akan berakhir pada yang prima, misalnya , maka m= , artinya m adalah hasil kali
faktor-faktor bilangan prima.

2) Akan ditunjukkan bahwa faktorisasi itu tunggal. Andaikan bahwa pemfaktoran m atas
faktor-faktor prima tidak tunggal yaitu ada m= dan m= dengan r s, semuanya bilangan
prima untuk i=1, 2, 3, …,r dan j=1, 2, 3,…,s serta . karena maka berdasarkan teorema 3
(Jika semua bilangan prima dan , maka p= untuk suatu k dengan1 .) untuk bilangan prima
dan maka untuk semua k, 1 . karena maka .

Selanjutnya, jika dipandang yaitu . menurutteorema 3, untuk suatu t dengan . karena maka .
Karena dan maka haruslah . Akibatnya ….. .

Jika proses di atas diulang maka diperoleh:


dan ….. .
dan ….. .

Jika proses ini diteruskan dan r=s maka akan berakhir pada dan teorema terbukti. Jika r<s
maka akan diperoleh 1= . Hal ini mustahil karena itu masing-masing lebih besar dari 1,
sehingga haruslah r = s dan , , … . Ini berarti bahwa m hanya dapat dinyatakan sebagai salah
satu hasil kali faktor-faktor prima saja.
Pada pemfaktoran suatu bilangan bulat positif atas faktor-faktor prima mungkin saja suatu
bilangan prima akan muncul berulang-ulang, seperti 360=2.2.2.3.3.5. Faktor-faktor yang
sama dapat dinyatakan sebagai bilangan berpangkat, sehingga pemfaktoran suatu bilangan
bulat positif atas faktor-faktor prima dapat dinyatakan dalam bentuk kanonik. Karena itu,
teorema faktorisasi tunggal tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
Setiap bilangan bulat m>1 dapat dinyatakan secara tunggal dalam bentuk
kanonik dengan bilangan prima dan pangkat i=1, 2, 3,…r serta .
Pembuktian teorema faktorisasi tunggal ini dapat pula diselesaikan dengan menggunakan
induksi matematika.
Contoh:
Tunjukkan pemfaktoran prima dari 84!
Penyelesaian:
Cara pemfaktoran prima dari suatu bilangan adalah menyatakan bilangan itu sebagai
perkalian dua bilangan, sehingga diperoleh dua faktor. Selanjutnya, faktor-faktor yang belum
meruopakan bilangan prima difaktorkan lagi. Demikian seterusnya sampai diperoleh semua
faktornya adalah bilangan prima. Karena kemungkinan ada banyak cara dalam setiap langkah
memfaktorkan, kemungkinan juga terdapat banyak cara dalam pelaksanaan pemfaktoran
prima. Misalnya pemfaktoran prima dari 84 dilakukan dengan cara atau skema diagram
pohon. Pemfaktoran prima adalah sama yaitu:
a. 84=(2)(2)(3)(7)= (3)(7)
b. 84=(3)(2)(2)(7)= (7)
c. 84=(3)(7)(2)(2)=(3)(7)(
Jadi, jelas bahwa pemfaktoran prima dari 84 adalah tunggal, kecuali urutan faktornya bisa
berbeda.
Pada pembahasan terdahulu mengenai bilangan bulat, telah dijelaskan bahwa bilangan bulat
tidak terhingga banyaknya dan setiap bilangan bulat dapat difaktorkan atas faktor-faktor
prima. Pertanyaan sekarang adalah :apakah banyaknya bilangan prima juga tidak terhingga?
Pada sekitar tahun 300 SM, Euclides membuktikan bahwa banyaknya bilangan prima adalah
tidak terhingga. Teorema Euclides tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: “jika diberikan
sebarang daftar bilangan prima, adalah selalu mungkin membentuk bilangan prima yang baru
yang tidak terdapat dalam daftar”, jadi banyaknya bilangan prima adalah tak terhingga.
5) Teorema 6.10
Banyaknya bilangan prima adalah tidak terhingga
Bukti :
Misalkan bahwa banyaknya bilangan prima adalah tidak terhingga yaitu , … , dimana 2
(bilangan prima terkecil ) dan adalah bilangan prima terbesar. Dari semua bilangan prima itu,
dari p1 hingga pn, dapat dibentuk suatu bilangan bulat positif R dengan jalan mengalikan
bersama-sama bilangan prima tersebut lalu ditambah dengan 1 yaitu ( , … , ) + 1. Karena R ,
terdapat dua kemungkinan nilai R, yaitu R mungkin merupakan bilangan komposit atau
prima.
1) Bila R bilangan prima, yaitu R = P i (1 ) maka R | R, yaitu P i |(P1P2P3…Pn) + 1. Karena
Pi | (P1.P2.P3…Pi…Pn)(berdasarkan teorema “jika a, b Z, a | b maka a|bc C ”)
Kemudian, Pi |(P1P2P3…Pn) + 1 dan Pi | (P1.P2.P3…Pi…Pn), maka Pi|1 (berdasarkan teorema
“jika a, b, c , a|b dan a|b + c maka a|c”). terjadi kontradiksi karena tidak ada bilangan prima
yang membagi habis 1.
2) Bila R bilangan komposit, maka ada bilangan prima Pj (1 ) sehingga Pj| R (sesuai
dengan teorema “jika n dan n adalah komposit, maka ada bilangan prima sehingga P | n”).
Karena Pj|R, Pj | (P1.P2.P3…Pj…Pn) + 1. Demikian pula, karena P j|Pj maka Pj | (P1.P2.P3…Pj…
Pn) (berdasarkan teorema “jika a, b ).
Selanjutnya, karena Pj | (P1.P2.P3…Pj…Pn) + 1 dan Pj | (P1.P2.P3…Pj…Pn) maka Pj|1. Terjadi
kontradiksi karena tidak ada bilangan komposit yang membagi habis 1. Jadi dapat
disimpulkan bahwa banyaknya bilangan prima adalah tidak terhingga.

Pada pembuktian teorema euclides, terdapat pembentukan bilangan bulat positif R sebagai
hasil kali semua bilangan prima ditambah 1. Apakah R tersebut suatu bilangan prima ? bila
kita memulai untuk bilangan prima pertama yaitu 2, kita memperoleh R 1 = 2 + 1 + 3.
Selanjutnya, R2 = 2 (3) + 1 = 7, R 3 = 2(3)(5) + 1 = 31, R 4 = 2(3)(5)(7) + 1 = 211, R 5 = 2(3)(5)
(7)(11) + 1 = 2311.

Ternyata bahwa R1, R2, R3, R4, dan R5 tersebut masing-masing adalah bilangan prima.
Selanjutnya: Bagaimana dengan R6, R7, dan R8 ? Apakah hasil dari R6, R7, dan R8 juga
merupakan bilangan prima?.
R6 = 2(3)(5)(7)(11)(13)+1 = 30031 = (59)(509)
R7 = 2(3)(5)(7)(11)(13)(17)+ 1 = 510511 = (19)(97)(277)
R8 = 2(3)(5)(7)(11)(13)(17)(19)+ 1 = 9699691 = (347)(27953)

Jadi, R6, R7, dan R8 bukan bilangan prima.

Apakah ada tidak terhingga k sedemikian sehingga Rk suatu bilangan prima ? Demikian pula:
Apakah ada tidak terhingga bilangan komposit R k ? Perhatikan barisan bilangan prima 2, 3, 5,
7, …,Pn, dimana Pn adalah bilangan prima ke-n. Sekarang kita ingin menentukan suatu batas
atas dari barisan Pn tersebut. Pada pembuktian teorema euclides dapat diambil kesimpulan
bahwa Pn + 1 P2...Pn+1 + 1.

Sebagai contoh, jika n=2, maka ketidaksamaan tersebut menjadi P 3 +1 + 1 atau 5 (2)
(3)+1=7 9+1=10. Ketidaksamaan ini menunjukkan bahwa bilangan prima ke-3 kurang dari
10. Pendekatan ini terlihat masih sangat kasar. Pendekatan yang lebih halus untuk
menentukan suatu batas atas dari barisan Pn dinyatakan dalam teorema berikut ini.

6) Teorema 6.11
Jika dalam barisan bilangan prima, pn menyatakan bilangan prima ke-n, maka pn
Bukti:
Pembuktian menggunakan induksi matematika untuk n, dengan dua langkah, yaitu:
1) Untuk n=1 diperoleh p1 = = 2. Hal ini memang benar, karena bilangan prima pertama
adalah 2.
2) Diasumsikan bahwa pn benar untuk n = k, yaitu pk . Selanjutnya harus dibuktikan
bahwa pn benar untuk n = k + 1, yaitu pk + 1 atau pk + 1

Perhatikan bahwa:
pk + 1 (p1 p2 p3…pk) + 1
pk + 1 [2(22)( )( )…( )] + 1
pk + 1
Barisan pangkat yaitu: 1 + 2 + 22 + 23 +…+2k – 1 ternyata merupakan suatu deret geometri
dengan rasio 2. Barisan itu dapat ditulis 2k – 1, sebagai deret geometri.

Jadi, pk + 1 + 1. Karena 1 untuk setiap bilangan asli k, ketidaksamaan tersebut menjadi p k +


2
1 + = + = 2 .

3) Karena teorema diasumsikan benar untuk n = 1 dan benar untuk n = k dan telah
ditunjukkan benar juga untuk n = k + 1, maka teorema benar untuk setiap bilangan asli n. Jadi
pn benar untuk setiap bilangan asli n.
7) Teorema 6.12
Untuk n 1 ada paling sedikit n + 1 buah bilangan prima yang lebih kecil dari
Bukti:
Misalkan pi (i = 1, 2, 3,…,n) bilangan prima, maka diperoleh p1 p2 p3 … pn Pn + 1

E. Fungsi sigma τ dan tau ơ

Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki bilangan-bilangan bulat dapat didefinisikan fungsi-


fungsi tertentu yang mempunyai peranan penting dalam Teori Bilangan. Fungsi-fungsi
khusus tersebut sering disebut fungsi aritmetik (fungsi teori bilangan). Pada umumnya fungsi
aritmetik didefinisikan/mempunyai daerah asal pada himpunan semua bilangan bulat positif.
Apabila f suatu fungsi aritmetik,maka : f : B B dengan
B adalah himpunan semua bilangan bulat
B adalah himpunan semua bilangan bulat positif.
Berikut ini akan dibahas fungsi τ (tan) dan fungsi ơ (sigma)
1. Fungsi τ (tau)

Definisi 4.2
Misalkan n suatu bilangan bulat positif τ (n) menyatakan banyaknya pembagi bulat positif
dari n.
Contoh :
1) Pembagi-pembagi bulat positif dari 12 adalah 1,2,3,4,6,dan 12,maka T (12) = 6
2) Pembagi-pembagi bulat positif dari 15 adalah 1,3,5,dan 15,maka T (15) = 4
3) Pembagi-pembagi bulat positif dari 13 adalah 1 dan 13,maka T (13) = 2
4) Periksalah bahwa τ (1) = 1, τ (2) = 2, τ (3) = 2, τ (4) = 3, τ (5) = 2, τ (6) = 4, τ (8) = 4,
Apabila p suatu bilangan prima, maka τ (p) = 2

τ (n) yaitu banyaknya pembagi bulat positif dari n sering dinyatakandengan rumus yang
menggunakan notasi ∑ (sigma). Berikut ini beberapa contoh definisi notasi ∑.

Contoh :
1) n = a1 + a2+ a3 + a4 + a5

2) =2+3+4+5+6

3) =3+3+3+3+3

4) = 1 + 2 + 3 + 4 + 6 + 12,yaitu jumlah semua pembagi bulat positif dari 12

5) = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1, yaitu banyaknya pembagi bulat positif dari 12

6) = f(1) + f(2) + f(3) + f(6) + f(9) + f(18)

Dari beberapa contoh pemakaian notasi ∑ tersebut, τ (n) dapat dirumuskan sebagai berikut :
τ (n) = untuk n ≥ 1
Jadi τ(n) merupakan penjumlahan dari 1 sebnyak pembagi bulat positif dari n.
Contoh :
1) Semua pembagi bulat positif dari 32 adalah 1,2,4,8,16 dan 32,maka
= 1 + 1 + 1 + 1+ 1 + 1 = 6
2) Semua pembagi bulat positif dari 48 adalah 1,2,3,4,5,6,8,12,16,24,dan 48,maka
= 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 10
3) Periksalah bahwa = 1, = 1 + 1 = 2, = 1 + 1 + 1 = 3, 1 + 1+ 1 + 1 = 4,
Jika p suatu bilangan prima,maka = 1 + 1 = 2

Dari uraian dan contoh-contoh di atas dapat dipahami bahwa apabila p suatu bilangan
prima,maka pembagi-pembagi bulat positifnya hanyalah 1 dan p saja,sehingga τ(p) = 2
Pembagi-pembagi bulat positif dari p2adalah 1,p dan p2 sehingga τ(p2) = = 1 + 1 + 1 = 3
Periksalah bahwa τ(p3) = 4, τ (p4) = 5, τ(p5) = 6. Nampak bahwa jika k suatu bilangan bulat
positif,maka τ(pk) = k + 1. Ingat bahwa p disini adalah suatu bilangan prima.

Contoh :
1) 64 = 26, maka τ (64) = τ(26) = 6 + 1 = 7
Periksalah dengan mencacah semua pembagibulat positif dari 64
2) τ(243) = τ(35) = 5 + 1 = 6
3) Periksalah bahwa τ(32) = 6, τ(16) = 5, τ (81) = 5, τ(125) = 4 dan τ (2401) = 5,

Sekarang,apabila p1 dan p2keduanya adalah bilangan prima dan n = p 1p2, maka pembagi-
pembagi bulat positif dari n adalah 1,p1p2 dan p1p2 = n sehingga τ(n) = 4.
Jika m = p1p2, maka pembagi-pembagi bulat positif m dapat disusun sebagai berikut :
1, p2 , p22, p23
P1, p1p2, p1p22, p1p23
2
P1 , p12p2, p12p22, p12p23= m
Nampak pada daftar ini bahwa τ(p12p23) = 3 x 4 = 12
Contoh :
1) τ(144) = τ(24 . 32) = 5 x 3 = 15
2) τ(1323) = τ (33 . 72) = 4 x 3 = 12
3) Periksalah bahwa τ(675) = 12, τ (784) = 15

Dapatkah anda membuktikan bahwa apabila n = p kqt dengan p dan q bilangan-bilangan prima
yang berlainan dan k,t adalah bilangan-bilangan bulat positif, maka :τ(n) = τ(pkpt) = (k + 1) (t
+ 1)
Bukti :
Semua pembagi bulat positif dari n = pkptdapat disusun daftar sebagai berikut :
1, p, p2, p3, …., pk
q, pq, p2q, p3q, …., pkq
2 2
q, pq , p q , p q , ….., pkq2
2 2 3 2

………………………………………….
q2, pq2, p2q2, p3q2, ….., pkqt= n

Nampak pada daftar tersebut bahwa :


τ (n) = τ(pkqt) = (k + 1) (t + 1)
Kita telah mengetahui teorema dasar aritmatika,yaitu bahwa setiap bilangan bulat positif yang
lebih besar dari 1 dapat difaktorkan secara tunggal atas factor-faktor prima.
Missal: 72 = 23 . 32, 300 = 22 . 3 . 52
Setiap bilangan bulat positif n ≥ 1 untuk setiap i =1,2,3,…k

Teorema 4.9
Apabila bentuk kanonik dari bilangan bulat n adalah p1a3,p232,p3a3,….pkak,maka:
τ (n) = (a1 + 1) (a2 + 1) (a3 + 1) … (ak + 1)
Bukti :
Apabila d suatu pembagi bulat positif dari n,maka :
d = p1t1,p2t2,….pktk dengan 0 ≤ t1 ≤ a1
maka banyaknya pembagi bulat positif dari n merupakan hasil kali banyaknya pilihan yang
mungkin untuk ti dari (ai + 1) pilihan. Sehingga diperoleh τ(n) = (a1 + 1) (a2+ 1) (a3 + 1) …
(ak + 1)
Rumus τ(n) tersebut sering dinyatakan dengan notasi П (pi). Berikut ini diberikan definisi
contoh pemakaian notasi П

Contoh :
1) di = d1 . d2 . d3 . d4 . d5
2) f(n) = f(1) . f(2) . f(3) . f(4)
3) (di + 1) = (d1 + 1) (d2 + 1) (d3 + 1) … (dn + 1)

Teorema 4.9 atas dituliskan dengan notasi π sebagai berikut:


Apabila n = p1a1 p2a2 …. Pkak = piai, maka

τ ( n) = (ai+ 1)

Contoh :
1) 1260 = 22 . 32 . 5 . 7,maka
τ (1260) = t (22. 32 . 5 . 7) = (2 + 1) (2 + 1) (1 + 1) (1 + 1) = 36
2) 33.075 = 33 . 52 . 72, maka
τ (3 . 52. 72) = (3 + 1) (2 + 1) (2 + 1) = 36
3

3) Periksalahbahwa τ (2310) = 10, τ(210) = 8, τ(1.156) = 9


Sekarang kita akan memperhatikan hasilkali pembagi-pembagi bulat positif dari suatu
bilangan bulat positif n.
Contoh :
1) Pembagi-pembagi bulat positif dari 12 adalah 1,2,4,6 dan 12. τ(12) = 6
Hasilkan semua pembagi bulat positif dari 12 ditulis dengan notasi K (12) maka :
K(12) = 1 . 2 .3 . 4 . 6 . 12
= (1 . 12) (2 .6) (3 . 4)
= 12 . 12 .12
= (12)3
2) Semua pembagi bulat positif dari 28 adalah 1,2,4,7,14 dan 28. τ(28) = 6
Hasil kali semua pembagi bulat positif dari 28 adalah :
K(28) = 1 . 2 . 4 . 7 . 14 . 28
= (1 . 12) (2 . 14) (4 . 7)
= 28 . 28 . 28
= (28)3
3) Periksalah bahwa K(2) = 2, K(5) = 5, K(9) = 27, K(18) = 183, K(24) = 243, K(32) = 323
Jika p suatu bilangan prima,maka K(p) = p, K(p 2) = p3, K(p3) = p6, K(p4) = p10 dan K(pt) = p1/2
t(t + 1)

Teorema 4.10
Apabila n suatu bilangan bulat positif,maka hasilkan semua pembagi bulat positif dari n
adalah
K(n) = n1/2 τ(n)

Bukti :
Misalkan d adalah suatu pembagi bulat positif dari n, maka ada d 1 (yaitu pembagi bulat
positif dari n pula)sedemikian hingga dd1 = n.hal ini mungkin saja terjadi bahwa d = d 1,yaitu
jika n suatu kuadrat sempurna.
Karena banyaknya pembagi bulat positif dari n adalah τ(n),dengan mengalikan setiap
pembagi dari n (misalnya d) dengan pembagi pasangannya (misalnya d 1) sedemikian hingga
dd1 = n,maka akan diperoleh bahwa hasil kali semua pembagi bulat positif dari n adalah :
K(n) = n1/2 τ(n)
Notasi lain dari K (n) adalah d

2. Fungsi ơ (sigma)
Apabila τ(n) menyatakan banyaknya pembagi bulat positif dari n, maka ơ(n) menyatakan
jumlah semua pembagi bulat positif dari n.
Definisi 4.3
Apabila n suatu bilangan bulat positif ,maka ơ(n) menyatakan jumlah semua pembagi bulat
positif dari n. dengan menggunakan notasi ∑, ditulis ơ(n) =
Contoh :
1) Semua pembagi bilangan bulat positif dari 12 adalah 1,2,3,4,6 dan 12 maka
Ơ(n) = 1+ 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 12 = 28
2) Ơ(27) = 1 + 3 + 9 +27 = 40
3) Periksalah bahwa ơ(2) = 3, ơ(3) = 4, ơ(5) = 6, ơ(7) = 8, ơ(11) = 12
Jika p suatu bilangan prima,maka ơ(p) = p + 1,ơ(p2) = 1+ p + p2,ơ(p3) = 1 + p + p2+ p3 dan
Ơ(pt) = 1 + p + p2+ …+ pt
Mengingat rumus jumlah deret geometri,maka: 1 + p + p2 + p3+…+ pt =
Jadi ơ(pt) = ,jika p suatu bilangan prima dan t suatu bilangan bulat positif
Contoh :
1) Semua pembagi bulat positif dari 32 adalah 1,2,4,8,16 dan 32,maka
Ơ(32) = 1 + 2 + 4 + 8 + 16 + 32 = 63
Ơ(32) = ơ(25) = 20+ 21 + 22 + 23 + 24 + 25= 26 – 1 = 63
2) periksalah bahwa ơ(27) = 40, ơ(49) = 57, ơ(125) = 156, ơ(64) = 127, ơ(42) = 96, ơ(6) = 12
Apabila p dan q adaLah dua bilangan – bilangan prima yang berbeda dan n = pq,maka semua
pembagi bulat positif dari n adalah 1,p,q dan pq = n, sehingga :
Ơ(n) = ơ(pq) = 1 + p + q + pq = (1 + p) (1 + q)
Jika m = p2q3 dengan p dan q bilangan-bilangan prima yang berlainan,maka jumlah semua
pembagi bilat positif dari m dapat disusun sebagai berikut :
Ơ(m) = (1 + p + p2 + p3) + (1 + pq + pq2 + pq3) + (p2 + p2q + p2q2+ p2q2)
= (1 + p + p2) (1 + q + q2+ q3)
Ơ(m) = .
Kita dapat menyimpulkan bahwa apabila n = p kqt denganp dan q keduanya bilangan prima
yang berbeda dan k,t bilangan \-bilangan bulat positif.maka :
Ơ(n) ơ(pkqt) = . = ơ(pk) . ơ(qt)
Analog dengan contoh diatas,buktikanlah pernyataan tersebut :
Contoh :
1) Ơ(15) = ơ(3.5) = ơ(3).ơ(5) = 4 . 6 = 24
Ơ(45) = ơ(32.5) = ơ(32).ơ(5) =13 . 6 = 78
2) Periksalah bahwa ơ(504) = 1560, ơ(784) = 1764,ơ(847) = 1064

Teorema 4.11
Apabila bentuk kanonik dari bilangan bulat positif n = 1a1,maka ơ(n) =
Bukti :
Perhatikan suku-suku dari perkalian (1 + p1 + p12 + p13 + … + p1a1) (1 + p2 + p22 + p33 + … +
p2a2) (1 + p3 + p32+ p33 + … + p3a3) … (1 + pk + pk2 + pk3 + … + pkak)

Setiap suku dari hasil perkalian ini berbeda satu dengan lainnya dan masing-masing
merupakan pembagian dari n,sehingga :
Ơ(n) = i + pi2 + pi3+ … + piai)
Mengingat rumus jumlah deret geometri,maka
(1 + pi + pi2+ pi3 + … + piai =
Sehingga ơ(n) =
Contoh :
1) Ơ(2130) = ơ(2 . 3 . 5 . 7 . 11) = . . . .
= 3 . 4 . 6 . 8 . 12 = 6912
2 2
2) Ơ(5600) = ơ(2 . 5 . 7) = . . = 63 . 31 . 8 =15.624
Perhatikan kembali definisi 4.2 dan definisi 4.3, yaitu jika n suatu bilangan bulat positif,maka
(1) τ(n) = dan (2) ơ(n) =
Pada rumus (2),d menjalani semua pembagi bulat positif dari n. mengingat merupakan
pembagi bulat positif dari n pula, maka rumus (2) dapat ditulis sebagai :
Ơ(n) =
=
=
Hal ini dikatakan bahwa merupakan jumlah kebalikan dari pembagi-pembagi bulat positif
dari n.
Contoh :
1) Semua pembagi bilangan bulat positif dari 18 adalah 1,2,3,6,9 dan 18. Ơ(18) = 39
Jumlah semua kebalikan pembagi-pembagi dari 18 adalah :
= + ++ + +
= = =
DAFTAR PUSTAKA

Tiro.MA.dkk.2008:Pengenalan Teori Bilangan(213-254). Makassar:CV. Andira Karya


Mandiri.
Siallagan.Lydia 2017:Fungsi tao dan sigma;
https://id.scribd.com/document/357864843/FUNGSI-Tao-Dan-Sigma

Anda mungkin juga menyukai