Anda di halaman 1dari 9

TUGAS AKHIR

EKSPONEN DAN LOGARITMA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Matematika

Dosen Pengampu: Drs. Nizaruddin, M.Si.

Disusun Oleh :

Dela Noor Zamroni (5D)


(17310130)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN
TEKHNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG

2019
Kita akan membuat percakapan antara bu guru dengan nina tentang mata pelajaran matematika
yaitu materi Eksponen dan Logaritma.

Suatu hari nina belajar privat dengan guru matematika di kelas setelah pulang sekolah. Nina
bertanya kepada bu guru tentang materi Eksponen dan Logaritma.

Penjelasan mengenai Eksponen sebagai berikut:

Eksponen adalah perkalian berulang. Banyaknya perkalian yang dilakukan ditulis


di atas bilangan pokok dengan ukuran angka kecil. Misal : 2 x 2 x 2. Maka
ditulis 23 . Dengan 2 sebagai bilangan pokok, dan 3 sebagai bilangan pangkat
(banyaknya perkalian).
1. John Napier
Pada tahun 1616, John Napier menemukan : Bilangan desimal. Contoh : 6,5 Dibaca enam koma lima dan
Logaritma Contoh : 23 = 8 Sama dengan 2log 8=3. Bilangan berpangkat sangat membantu kita dalam
mempersingkat bilangan yang relatif besar atau kecil. Contoh 0,00000099 ditulis dalam bilangan berpangkat
menjadi 9,9 × 10−7 .
Adapun orang yang pertama kali menemukan bilangan berpangkat atau eksponen adalah John Napier
(1550-1617). John Napier merupakan seorang bangsawan dari Merchiston, Skotlandia. John Napier juga
merupakan penemu bilangan logaritma, yang memang ada hubungannya dengan bilangan eksponen. John
Napier menyadari bahwa setiap bilangan bisa di ubah dalam bentuk eksponen maupun logaritma, agar bilangan
tersebut bisa diubah dalam bentuk yang lebih sederhana.
John Napier juga adalah seorang matematikawan, fisikawan, ahli astronomi, dan astrologi. Peninggalannya
yang terkenal dalam bidang matematika di antaranya adalah Napier’s bones atau rabdologia. Rabdologia berasal
dari bahasa Yunani rhabdos artinya batang dan logia artinya belajar. Rabdologia adalah alat hitung semacam
abakus yang digunakan untuk melakukan hitungan perkalian dan pembagian dengan menggunakan konsep
dasar menjumlahkan untuk perkalian dan pengurangan untuk pembagian Napier’s bones terdiri dari sebuah
papan dengan pinggiran dan satu set batang dengan tulisan angka-angka di dalamnya. Papan dan batang
biasanya dibuat dari bahan kayu, metal atau kardus tebal.
Satu set Napier’s bones (Rabdologia) dan contoh daftar perkalian 7.
Walaupun demikian, tanpa menggunakan rabdologia semacam itu kita tetap bisa menggunakan konsep
hitungan Napier’s bones untuk melakukan hitungan perkalian atau pembagian. Berikut ini adalah contoh
menghitung perkalian dengan memanfaatkan konsep hitungan pada rabdologia.
Contoh : 15 X 13 = . . .
Untuk menyelesaikan perkalian dua digit, terlebih dahulu gambarlah empat buah kotak untuk mewakili digit-
digit yang dikalikan itu sebagai berikut :
Langkah 1 → Gambarkan empat buah kotak dengan masing-masing kotak dibagi dua menjadi dua bagian
dengan sebuah garis diagonal. Karena kita akan mengalikan 15 dengan 13, maka :
Langkah 2 → Kalikan masing-masing digit angka itu, dan tulis hasilnya di dalam kotak yang sesuai. Perhatikan
cara meletakkan hasil kali angka-angka itu. Satu kotak dibagi dua bagian dengan sebuah garis diagonal, bagian atas
diagonal diisi dengan digit puluhan, dan bagian bawah diagonal diisi dengan digit satuan. Jadi, jika hasil kalinya
berupa angka satu digit maka ditulis 0 di bagian atas diagonal, dan satu digit (satuan) itu disimpan di bagian bawah
diagonal.

1 x 1 = 1 (ditulis 01 dalam kotak baris 1, kolom 1)

5 x 1 = 5 (ditulis 05 dalam kotak baris 1, kolom 2)

5 x 1 = 5 (ditulis 05 dalam kotak baris 1, kolom 2)

1 x 3 = 3 (ditulis 03 dalam kotak baris 2, kolom 3)

5 x 3 = 15 (ditulis 15 dalam kotak baris 2, kolom 2)

Langkah 3 → Setelah semua kotak terisi penuh, saatnya menjumlahkan masing-masing angka itu sesuai posisi
garis diagonalnya. Kita akan menjumlahkan mulai dari pojok bawah sebelah kanan.
kanan ke arah kiri adalah digit satuan dan digit
5 (untuk digit satuan)
puluhan, dan di samping kiri bawah adalah digit
3 + 1 + 5 = 9 (untuk digit puluhan)
ratusan. Tidak ada digit ribuan Tidak ada digit
0 + 1 + 0 = 1 (untuk digit ratusan) ribuan, karena angka di pojok kiri atasnya 0.

Hasil perkalian itu ditulis di bagian bawah dan Jadi, hasil dari 15 x 13 = 195
samping kiri kotak. Berturut-turut, dari pojok bawah
2. Rene Deskrates
Cara penulisan perkalian berulang dengan menggunakan notasi bilangan berpangkat atau notasi eksponen
pertama kali dikenalkan oleh salah satu ahli matematika berkebangsaan prancis Rene Deskrates (1596–
1650). Pada abad 16, matematikawan Italia menggunakan istilah lato (artinya “sisi”) yang terkadang diartikan
dengan akar karena sisi tersebut tidak diketahui panjangnya. Istilah ini kemudian diambil untuk menghitung
panjang sisi dari suatu bujur sangkar dan bilangan kuadrat disebut dengan lato cubico.
Bombelli menggunakan terminologi dengan menggunakan simbol R., artinya radix, namun mirip dengan
simbol universal yang biasa digunakan dokter dalam menulis resep. Oleh karena itu, Bombelli kemudian
menggantinya dengan simbol R.q. (radice quarata), sehingga akar kuadrat untuk 2 ditulis dengan notasi R.q.2
dan akar kubik untuk 2 ditulis dengan notasi R.c. 2 (radice cubica). Simbol-simbol di atas mulai digunakan
Bombelli dalam buku karyanya yang terkenal L’Algebra.
Menulis notasi akar dengan R.q. atau R.c. ternyata merepotkan dan tidak praktis sehingga dibuat dengan
menuliskan dalam bentuk r (huruf r kecil). Apa yang terjadi kemudian? Penulisan notasi dengan r ini jika ditulis
oleh tangan (bukan mesin ketik) terlebih tulisan orang tersebut jelak, maka yang muncul adalah bentuk yang
tidak lazim. Lama kelamaan huruf r kecil yang beragam ini diberi bentuk baku yaitu bentuk seperti yang kita
kenal sekarang ini yaitu √. Sebelum orang menggunakan x² sebagai simbol xx, x³ sebagai simbol untuk xxx dan
seterusnya, dahulu orang merasa kesulitan untuk menuliskan suatu persamaan dengan derajat yang lebih dari
satu. Pada saat itu, simbol-simbol x, y, z dan seterusnya sudah digunakan untuk menyatakan bilangan yang
belum diketahui nilainya. Namun, ketika mereka dihadapkan pada bilangan-bilangan yang berpangkat tinggi
misalnya n, sangat tidak praktis apabila dituliskan dalam bentuk perkalian x sebanyak n kali. Dengan demikian,
diperlukan simbol yang sederhana untuk bilangan-bilangan tersebut. Pada abad ke-17 matematikawan Perancis,
Rene Descartes menjadi orang pertama kali menggunakan a, b dan c untuk menyatakan bilangan yang telah
diketahui nilainya. Pada saat itu, Descartes mulai menggunakan symbol x² untuk xx dan sebagainya. Sejak saat
itu persamaan aljabar dapat dituliskan dalam bentuk yang sudah modern.
3. Mishael Stifel
Eksponen berasal dari dua suku kata dari bahasa lain “Expo” dan “Ponere“. Expo berarti berasal atau dari
dan Ponere tempat dia sendiri. Penggunaan kata eksponen dalam matematika modern tercatat pertama kali
dalam buku “Arithemetica Integral” yang ditulis oleh seorang ahli matematika asal inggris bernama Michael
Stifel. Namun demikian saat itu istilah eksponen hanya digunakan untuk bilangan dasar 2. Jadi istilah eksponen
3 berarti 23 yang bernilai 8.
Kemunculan awal eksponen memang belum jelas pastinya. Meskipun tidak 100% benar banyak yang
menyebutkan sistem pangkat atau eksponen ini sudah ada sejak jaman Babilonia. Pada abad 23 sebelum Masehi
Masyarakat Babel di sekitar wilayah Mesopotamia telah mengenal kuadrat dalam sistem penanggalan mereka.
Konsep eksponen di zaman modern agak berbeda dari konsep Stifel atau dari masyarakat Babel. Eksponen
sekarang digunakan untuk menentukan berapa kali bilangan tersebut dikalikan dengan ia sendiri. Dengan
adanya eksponen anda tidak perlu lagi menuliskan 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 x, anda cukup menulis
310.
Intensitas Bunyi
𝑊 Intensitas Bunyi
( )
𝑚2

1,0 × 10−12 Ambang batas bawah pendengaran

5,2 × 10−10 Suara bisik- bisik

3,2 × 10−6 Percakapan normal

8,5 × 10−4 Lalu lintas padat

8,3 × 102 Pesawat jet lepas landas

Untuk penemuan logaritma sebagai berikut :

Sebenarnya, sebelum penemuan logaritma, orang telah lebih dulu menggunakan gagasan yang
mendasari penelitian ilmu logaritma yaitu prosthaphaeresis, perubahan proses pembagian dan perkalian
kepada penambahan dan pengurangan. Orang pertama yang memulai gagasan ini adalah Ibnu Yunus As-
Sadafi al-Misri (950-1009) yang sezaman dengan tokoh optik dan geometri, Al-Haytsam atau Al-Hazen (965-
1039), karena penemuannya terhadap hukum yang kemudian dikenal sebagai “Hukum Ibnu Yunus”, yaitu
2.cos x. cos y = cos (x + y) + cos (x – y). Aturan serupa juga digunakan oleh Viéte, Werner, Pitiscus, dan
Tycho Brahe.

Lalu bagaimana Logaritma ditemukan ?

Logaritma ditemukan di awal tahun 1600 oleh John Napier (1550-1617) dan Joost Bürgi (1552-1632),
walaupun banyak yang mengatakan Napier adalah perintis yang sebenarnya. Napier sendiri menghabiskan
waktu sekitar 20 tahun sebelum menemukan ide logaritma tersebut dengan menerbitkan
karyanya, Descriptio (lengkapnya Minifici Logarithmorum Canonis Descriptio) tahun 1614.

Bürgi di lain pihak, mempublikasikan Progress-Tabulen (lengkapnya Arithmetische und geometrische


Progress-Tabulen) tahun 1620, walaupun penemuannya itu berasal dari tahun 1588. Hal ini diketahui melalui
sebuah surat dari seorang astronom Reimanus Ursus Dithmarus yang menjelaskan tentang metode Bürgi
dalam menyederhanakan perhitungan matematis lewat penggunaan cara yang kini disebut logaritma.
Walaupun demikian, pada prinsipnya kedua logaritma yang mereka temukan sama, yang berbeda hanya
pendekatannya. Bila Napier lewat pendekatan aljabar, maka Bürgi menggunakan pendekatan geometris.

Sementara ide pekerjaan Napier dapat dijelaskan secara sederhana. Untuk membuat setiap suku pada deret
geometri menjadi sangat dekat, kita tentunya memilih bilangan yang mendekati satu. Napier memilih
bilangan 1 – 10-7 (atau 0,9999999), sehingga tiap suku adalah (1 – 10-7 )L. Kemudian untuk mendapatkan nilai
desimal, setiap suku ia kalikan dengan 107 . Nah, jika N = 107 (1 – 10 -7)L maka L disebutnya
sebagai logaritma dari bilangan N.

Kata logaritma berasal dari kata logos (perbandingan) dan arithmos (bilangan). Sebelumnya, ia menyebutnya
dengan “artifisial numbers” (bilangan buatan). Perhatikan bahwa logaritma Napier tidaklah sama dengan
logaritma yang kita gunakan sekarang.

Sebagai misal, bila logaritma modern menyatakan log ab = log a + log b atau ab = 10log a + log b
maka
Logaritma Napier menyatakan N1.N2/107 = 107. (1 – 10-7 )L1 + L2
. Jadi, logaritma dari Napier untuk
7
penjumlahan tidak menyatakan N1.N2 melainkan N1.N2/10 . Logaritma Napier dapat kita dekati menjadi
logaritma modern, bila bilangan logaritma dan bilangan N kita bagi dengan 10 7. Maka akan kita peroleh
logaritma modern, tetapi dengan basis mendekati 1/e .

Sedikit berbeda dengan logaritma Napier, Logaritma Bürgi memiliki bentuk N = 108 (1 + 10-4 )L , dengan
tabel dinyatakan dalam bentuk 10L. Burgi menyebut bilangan L sebagai bilangan “merah” (“red” numbers)
dan bilangan N sebagai bilangan “hitam” (“black” numbers).

Henry Briggs (1561-1631), seorang profesor geometri di Oxford, mendiskusikan masalah logaritma bersama
Napier dan menyarankan metodenya sendiri. Ia melihat, seharusnya log(1) = 0 dan log(10) = 1. Briggs lalu
membuat tabel logaritma dengan menggunakan syarat yang ia buat tadi. Sehingga ia dapatkan log(10 1/2) =
log(3,1622277) = 0,500000. Briggs lalu mempublikasi tabel logaritma dari 1 hingga 1000
dalam Logarithmorum chilias prima (tahun 1617).

Tahun 1624, ia mempublikasikan lagi tabel dengan bilangan hingga 100.000 dalam Arithmetica logarithmica.
Keduanya hingga ketelitian 14 desimal, tetapi tabel pertama mengandung beberapa entri yang tidak tepat.
Dari buku tabel kedua itulah, mulai digunakan istilah “mantissa” dan “characteristic”.
Untuk penyelesaiannya sebagai berikut :

Diketahui:
Satu bakteri membelah menjadi r bakteri untuk setiap jam. Jumlah bakteri pada akhir 3 jam adalah 10.000
bakteri dan setelah 2 jam kemudian, jumlahnya menjadi 40.000 bakteri.
Ditanya:

• Berapa banyak bakteri sebagai hasil pembelahan.

• Berapa jumlah bakteri pada akhir 8 jam.

Jawab:

Anda mungkin juga menyukai