Anda di halaman 1dari 17

TULISAN 1

n Program Mekanisasi Pertanian


Bantuan Datang
Masalah Terbilang
PENGANTAR
Dalam edisi kali ini, HU Pikiran Rakyat menurunkan tema tentang ”Teknologi dan
Kesempatan Kerja pada Pertanian Padi”, hasil penelitian para peneliti dari Pusat Analisis
Sosial ”Akatiga”. Dalam penelitian yang berlangsung Januari-Juli 2015, para peneliti
memfokuskan kajian pada efektivitas bantuan dari pemerintah berupa combine harvester.
Adapun peneliti yang terlibat adalah Aprilia Ambarwati, Charina Chazali, Deni Mukbar,
Fahri Hidayat, Fuad Abdulgani, Herlina Wati, Mellyza Margareth, Viesda Pithaloka, Widya
Garnieta, Wulan Sriyuliani, dan Yogaprasta Adi Nugraha. Mereka semua berada di bawah
supervisi Isono Sadoko. Selamat membaca.

HINGGA kini, pertanian masih merupakan sektor andalan bagi Indonesia. Buktinya, 34%
penduduk Indonesia masih menggantungkan hidup dari sektor tersebut (Survei Angkatan
Kerja Nasional 2014, BPS). Angka itu tertinggi dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di
sektor lainnya.
Sayangnya, sebagian besar proses pertanian masih dilakukan dengan cara tradisional. Hal itu
mengakibatkan proses bertani menjadi tidak efektif dan efisien. Petani di Indonesia masih
membutuhkan banyak tenaga kerja dalam setiap tahapan pertanian. Dampaknya tentu pada
tingginya biaya dan waktu produksi padi. Segala kejerihan tersebut terbayar dengan
produktivitas yang belum mencapai target. Saat ini, produktivitas pertanian padi di Indonesia
rata-rata mencapai 5-6 ton per hektare.
Hal itulah yang menjadi latar belakang pemerintah mendorong mekanisasi pertanian sejak
dekade 1980. Berbagai teknologi pertanian menjadi bantuan dari pemerintah untuk
mendongkrak produktivitas padi. Dimulai dengan program bantuan pada tahapan pengolahan
lahan, seperti traktor.
Belakangan, dorongan mekanisasi tidak hanya pada tahap pengolahan lahan, tetapi sampai
pada tahapan pascapanen. Hal itu mulai dari pengadaan power thresher (menggantikan sistem
gebot manual) hingga yang terbaru adalah bantuan mesin panen yang biasa disebut sebagai
combine harvester.
Berbagai macam alat disebar ke daerah untuk mewujudkan impian tersebut. Menteri
Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa bantuan tersebut ditujukan untuk memberikan
semangat bagi para petani setempat. ”Diharapkan pula membantu menambah produktivitas
pada sektor pertanian,” katanya saat menyerahkan bantuan 280 alat mesin pertanian untuk
para petani di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan.
Dalam kesempatan lain, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa bantuan alat dan mesin
pertanian (alsintan) diharapkan dapat mendorong petani lebih giat berproduksi. Ia
menambahkan, jika pemerintah terus membagikan alsintan ke berbagai daerah, dalam waktu
dua tahun, swasembada pangan diyakini akan tercapai.
Bantuan combine harvester mulai dianggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Perubahan 2012. Sebanyak 330 unit combine harvester dibagikan oleh
Kementerian Pertanian dengan tujuan menurunkan tingkat kehilangan hasil panen. Pada
tahun itu juga, Kementerian Pertanian mencanangkan empat target utama. Pertama,
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Kedua, peningkatan diversifikasi
pangan. Ketiga, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor. Keempat, peningkatan
pendapatan petani.
Salah satu strategi pencapaian target adalah dengan pengamanan produksi melalui
penanganan pascapanen yang baik. Tujuannya adalah menurunkan susut hasil,
mempertahankan mutu hasil, mempertahankan dan memperpanjang masa simpan, serta
meningkatkan daya saing komoditas tanaman pangan.
Pemerintah menyadari, belum berkembangnya penanganan pascapanen disebabkan oleh
harga beli sarana yang relatif mahal. Di sisi lain, teknologi di bidang sarana pascapanen
tanaman pangan berkembang pesat. Kebutuhan sarana pascapanen oleh petani semakin
mendesak karena tenaga kerja pada masa panen semakin terbatas.
**
BAGI para petani di daerah, bantuan alat dan mesin pertanian itu sebagian besar cukup
membantu untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pertanian. Traktor dan power thresher
dapat mempersingkat waktu membajak sawah dan perontokan. Selain itu, power thresher
juga dapat meningkatkan mutu gabah sehingga mengurangi susut hasil.
Namun, pada saat berkunjung ke lapangan, kami menemukan fakta bahwa ada satu alat yang
justru menimbulkan berbagai masalah sosial, yakni combine harvester.
Combine harvester dimaksudkan untuk menggantikan tenaga kerja manual dalam tahapan
panen. Tujuannya adalah membantu para petani mengatasi keterbatasan tenaga kerja pada
tahapan panen. Kenyataannya, masih banyak penduduk perdesaan yang menggantungkan
hidup pada tahapan tersebut. Pendapatan mereka terancam hilang dengan keberadaan
combine harvester.
Konflik dan intrik muncul seiring dengan didistribusikannya bantuan combine harvester
kepada para petani di desa. Buruh tani menolak masuknya alat tersebut karena menggeser
pendapatan mereka. Pemilik combine harvester menjadi lebih kaya karena mendapatkan
untung dari pendapatan yang sebelumnya diterima oleh para buruh panen. Buruh panen yang
dirugikan kemudian mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Di Sulawesi Selatan,
misalnya, tidak sedikit buruh panen yang kemudian beralih profesi menjadi tukang ojek.
Soalnya, di sekujur provinsi itu, combine harvester sudah begitu masif digunakan.
Niatan mulia mengefektifkan dan mengefisienkan proses pertanian juga ternodai. Tidak
sedikit proses pengajuan bantuan yang tidak menempuh jalur formal. Kedekatan dengan
aparat pemerintah menjadi salah satu kunci keberhasilan pengajuan proposal. Bahkan temuan
kami di lapangan menunjukkan, bantuan combine harvester diterima baru kemudian disusun
proposalnya.
Jadi, sudah tepatkah sebenarnya distribusi bantuan combine harvester saat ini?***
TULISAN 2
Mereka yang (Mulai) Tersingkirkan

SIANG itu, 25 Februari 2015, cuaca sangat terik ketika penulis ikut berteduh di sebuah
bengkel motor di sebuah kampung di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Di
sekitar bengkel itu, beberapa pengendara bemor sedang berkumpul. Bemor adalah nama lain
dari becak motor, salah satu moda transportasi informal yang umum ditemui di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Menjadi pengendara becak motor adalah salah satu alternatif pekerjaan bagi para pemuda di
kampung tersebut. Hal itu terutama sejak pekerjaan sebagai buruh panen tak lagi mudah
didapatkan. Sebuah ironi tercipta. Kampung itu merupakan salah satu lumbung padi terbesar
di Indonesia. Akan tetapi, pekerjaan menjadi buruh panen justru sulit diperoleh.
Berkurangnya lapangan pekerjaan sebagai buruh panen berawal dari hadirnya sebuah alat
bantu panen. Namanya combine harvester, mesin yang cara kerjanya seperti mobil dan
mampu memotong padi secara cepat serta dapat memisahkan bulir padi dari batangnya
hingga bersih. Memanen padi menggunakan combine harvester membutuhkan 7-10 tenaga
buruh panen saja. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit ketika para petani di kampung tersebut
masih menggunakan mesin power tresher, yaitu mencapai 20-30 orang. Power tresher
merupakan mesin pemisah antara bulir padi dengan batangnya yang daya kerjanya di bawah
combine harvester.
Selain buruh panen, mata pencaharian yang juga hilang akibat maraknya penggunaan
combine harvester adalah pengumpul sisa padi. Ketika panen masih menggunakan power
thresher, bulir padi yang tercecer dikumpulkan oleh para pengumpul padi sebagai tambahan
penghasilan.
Sisa padi yang tercecer di sawah juga dimanfaatkan oleh para peternak itik untuk memberi
makan ternaknya. Namun, kini, semua berubah. Banyak peternak itik di desa-desa penelitian
di Sulawesi Selatan sudah tidak mampu beternak. Soalnya, mereka tak lagi bisa
menggembalakan itik pada pascapanen.
Para peternak sapi pun punya ”hajat” terhadap sawah. Dodo, misalnya, petani di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Ia memutuskan untuk tetap menggunakan power thresher untuk
memanen padi, bukan combine harvester. Soalnya, ia membutuhkan jerami untuk pakan
keempat ekor sapinya.
”Dengan menggunakan power thresher, jerami masih utuh, lebih rapi, dan mudah diangkut.
Sementara jika menggunakan combine harvester, jeraminya hancur dan berbau solar sehingga
sapi sering tidak mau memakannya,” katanya.
Pada musim kemarau, pakan ternak menjadi langka karena rumput-rumput yang ditanam
sebagai hijauan pakan tidak tumbuh maksimal. Tragisnya, pada musim itu, penggunaan
combine harvester justru meningkat. ”Jerami sisa panen secara manual atau menggunakan
power thresher menjadi alternatif pakan gratis. Peternak sapi akan membeli pakan ternak
berupa jerami yang tidak hancur, baik dengan harga borongan maupun ikatan,” tuturnya. Di
Jawa Timur, harga borongan jerami sisa panen mencapai Rp 700.000 per hektare luas panen.
Pihak yang juga tak diuntungkan oleh penggunaan combine harvester adalah pengusaha yang
menyewakan power tresher. Mereka merugi karena kini sebagian besar kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yang bertumpu pada sektor pertanian telah beralih menggunakan combine
harvester untuk proses panen.
**
TIDAK banyak ragam pekerjaan yang bisa dipilih oleh masyarakat yang tinggal di kampung
dengan mayoritas mata pencaharian pada sektor pertanian. Seperti halnya di dua kampung
yang telah diteliti di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Penggunaan combine
harvester di kedua kampung tersebut telah memusnahkan power tresher. Kini, banyak buruh
panen serta pengumpul sisa padi yang menganggur. Mereka telah tersingkirkan.
Di kampung yang terletak jauh dari perkotaan, mencari pekerjaan lain --di luar sektor
pertanian-- sangatlah sulit. Pilihan pekerjaan yang mungkin dijalani yaitu sebagai pengendara
becak motor, penjahit, atau menjadi pengrajin kandang ayam. Sementara jika lokasi kampung
lebih dekat dengan kawasan perkotaan, pilihan pekerjaan lain lebih beragam, seperti menjadi
buruh bangunan, karyawan swasta, serta berdagang.
Selain di Sulawesi Selatan, combine harvester kini mulai digunakan pula oleh para petani di
Provinsi Lampung. Meskipun belum begitu marak seperti di Sulawesi Selatan, tetapi
penggunaan combine harvester di sana mulai mengancam pekerjaan para buruh panen.
Masuknya combine harvester ke dalam sistem pertanian di beberapa daerah di Lampung telah
mengganggu kondisi sistem sosial di sana. Dulu, sebelum menggunakan combine harvester,
biasanya para pemilik sawah akan bekerja sama secara berkelompok pada masa panen.
Bekerja secara kelompok dan bergiliran membuat mereka dapat saling membantu
perekonomian.
Berdasarkan pandangan beberapa buruh panen di dua kampung di Kabupaten Mesuji,
Provinsi Lampung, penggunaan combine harvester saat panen telah mengurangi jumlah lahan
yang bisa mereka panen. Pendapatan mereka pun menurun bahkan hampir 50% dari
pendapatan sebelum adanya combine harvester. Jika penggunaan combine harvester semakin
meluas di Lampung, bukan tidak mungkin para buruh panen akan tersingkirkan, seperti telah
terjadi di Sulawesi Selatan.
Sementara di Pulau Jawa, combine harvester masih sangat jarang digunakan untuk memanen
padi. Kondisi tanah yang mayoritas berlumpur menyulitkan combine harvester untuk
beroperasi. Di Pulau Jawa, posisi buruh panen dan pengumpul sisa padi memang belum
banyak tergantikan oleh combine harvester. Akan tetapi, para buruh panen dan pengumpul
sisa padi di Pulau Jawa juga mengalami penurunan pendapatan meski tidak signifikan.
Selain itu, kehadiran combine harvester di beberapa daerah di Pulau Jawa menuai protes dari
pihak-pihak yang merasa dirugikan dan terancam, seperti para pemilik power tresher, buruh
panen, dan pengumpul sisa padi. Bahkan di suatu desa di Kabupaten Subang, Jawa Barat,
para buruh panen mengancam akan membakar combine harvester yang beroperasi di desa
mereka. Mereka takut tersingkirkan.
**
TERSINGKIRNYA buruh panen akibat penggunaan combine harvester seperti yang terjadi
di Kabupaten Sidenreng Rappang salah satunya ditandai dengan menurunnya jumlah pekerja
pada sektor pertanian padi. Fenomena tersebut diakui pula oleh Dinas Ketenagakerjaan
Kabupaten Sidenreng Rappang sehingga mereka harus mengurai angka pengangguran
melalui beberapa program pelatihan. Ironisnya buruh panen tersingkir di wilayah yang sektor
unggulan ekonominya adalah pertanian padi. Kenyataan pahit itu telah terjadi di Provinsi
Sulawesi Selatan, akankah hal tersebut menimpa Provinsi Lampung dan Pulau Jawa
nantinya?***
TULISAN 3
Dampak Terbesar
Menimpa Perempuan

PEREMPUAN itu duduk di balai-balai yang berada di bawah rumahnya, sebuah kampung di
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Tatapan matanya kosong. Saat itulah kami
tiba, suatu siang pada bulan Februari 2015.
Seorang warga yang kami ajak ngobrol tiba-tiba memanggil namanya. Lamunan perempuan
itu buyar. Ia segera menghampiri kami. Belakangan kami tahu bahwa dia adalah Wangi (60
tahun, bukan nama sebenarnya) mantan buruh panen.
Matanya berlinang mengingat pekerjaannya sebagai buruh panen (pasangkih) sudah
tergantikan oleh sebuah mesin besar bernama combine harvester. Mesin besar itu tak
menggunakan tenaga buruh perempuan karena mereka tidak kuat untuk memanggul karung
yang berisi gabah basah. Walaupun ada perempuan yang terlibat dalam proses panen, mereka
hanya mendapat tugas ringan, yaitu memotong padi di pinggiran petak sawah yang sulit
dijangkau oleh mesin tersebut.
Ternyata, di sana, bukan hanya Wangi yang terkena dampak atas kehadiran combine
harvester. Masih banyak lagi perempuan Kanyuara dan luar Kanyuara yang turut terkena
imbas. Biasanya, ketika musim panen tiba, banyak buruh panen yang berdatangan dari luar
Kanyuara. Roda perekonomian pun berputar. Banyak warga yang menjual makanan dan
mengadakan pasar malam. Namun, setelah maraknya penggunaan combine harvester di
Kanyuara, kegiatan itu hilang dan roda perekonomian pun terhenti.
Kondisi serupa berlaku di Kabupaten Mesuji, Lampung. Buruh perempuan tidak bisa lagi
bekerja sebagai buruh panen (bawon) karena banyaknya buruh laki-laki di desa. Hal itu
membuat buruh perempuan memilih tinggal di rumah atau pergi ke desa lain untuk menjadi
buruh panen dengan menggunakan mesin perontok padi (power thresher).
Demikian pula halnya di Provinsi Jawa Timur. Meskipun tak semasif Sulawesi Selatan dan
Lampung, penggunaan mesin besar itu memberikan kekhawatiran bagi buruh perempuan
bernama Damai (66 tahun, bukan nama sebenarnya), seorang buruh serabutan yang tinggal di
sebuah desa di Kabupaten Blitar, Jawa Tengah.
Saat panen tiba, hidupnya bergantung pada kumpulan gabah yang tercecer di sawah. Sebelum
mesin perontok masuk ke desa, Damai bisa mengumpulkan gabah sebanyak 3-4 karung
dalam sekali panen. Namun, sekarang, ia hanya bisa mengumpulkan gabah maksimal 2
karung. Ia khawatir jika combine harvester benar-benar sudah masuk desanya, ia tidak bisa
lagi menggantungkan hidupnya sebagai pengumpul gabah. ”Kalau mesin sudah sampai desa,
saya tidak bisa lagi mencari gabah karena habis sama mesin,” ujarnya.
**
MEREKA merupakan orang-orang yang terdampak paling parah seiring dengan adanya
combine harvester. Semula, mereka berprofesi sebagai buruh panen dan pengumpul sisa padi.
Akan tetapi, kondisi kian parah saat mesin besar itu masuk ke desa. Secara otomatis mereka
tak bisa lagi bekerja. Kini banyak dari mereka terpaksa menganggur atau beralih pekerjaan
seperti yang dilakukan oleh Wangi.
Kini, Wangi hanya mengandalkan kehidupannya dengan menjadi perajin kandang ayam.
Tragisnya, penghasilan tersebut tak lebih besar bila dibandingkan dengan ketika ia bekerja
sebagai buruh panen. Dahulu, ia dapat mengantongi uang sejumlah Rp 300.000 dalam setiap
musim panen. Selain itu, Wangi juga mendapat penghasilan tambahan dari hasil
mengumpulkan sisa padi sebesar Rp 12.500.
Keadaan sekarang sudah berbeda. Wangi hanya mendapatkan uang sebesar Rp 2.000 dari
setiap rangka penetasan telur yang ia buat. Ia bekerja secara berkelompok dengan kesepuluh
rekannya untuk dapat memenuhi pesanan.
Dalam sekali pesanan, mereka dapat membuat rangka mencapai 150-200 buah. Namun,
pesanan tersebut tidak datang secara rutin. Bahkan, mereka pernah ”libur” selama 3-4 bulan
karena sepi pemesan.
Dengan pendapatan seperti itu, Wangi tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-
hari. Terkadang membeli lauk pauk saja ia tak mampu. Wangi pun memilih menggunakan
garam sebagai lauk agar dapat memberikan rasa pada nasi yang hambar.***
TULISAN 4
Hilangnya Pasar Malam di Desa Kami

”DAHULU, ketika malam saat musim panen, banyak orang datang ke Kanyuara.
Perekonomian hidup karena banyak orang jualan dan warung di pinggir jalan. Tapi, sekarang,
sejak masuknya mobil perontok padi (maksudnya combine harvester -pen), tidak ada lagi
yang jualan. Sepi. Yang terdengar sekarang cuma suara mobil dari pinggir jalan,” ungkap
Sabman (45), salah seorang perempuan warga Kelurahan Kanyuara, Kabupaten Sidenreng
Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. mengenang masa itu.
Pasar malam di daerah itu merupakan pasar dadakan yang hanya aktif pada malam hari dan
berlangsung selama waktu panen padi. Berbeda dengan pasar-pasar yang biasanya menetap di
satu lokasi, pasar malam di Kabupaten Sidrap tidak menetap di satu lokasi. Pasar tersebut
berpindah-pindah lokasi mengikuti waktu panen di desa–desa di Kabupaten Sidrap.
Luas sawah di Kelurahan Kanyuara yang mencapai 1.400 hektare membuat banyak buruh
panen yang berdatangan dari berbagai wilayah di sekitar Kabupaten Sidrap, seperti
Kabupaten Soppeng, Bone, Takalar, dan Jeneponto ketika saat panen. Para buruh panen
tinggal di rumah pemilik alat panen (power thresher), di bawah rumah panggung warga
Kanyuara, bahkan sampai ada yang khusus membuat tenda–tenda di dekat pintu air. ”Dahulu,
buruh panen bisa tinggal selama 20–30 hari di Kelurahan Kanyuara,” ujar Landah,
perempuan mantan pemilik alat perontok padi.
Biasanya, pasar malam mulai ramai setelah jam kerja para buruh panen berakhir, yakni pukul
17.00. Aktivitas pasar berakhir di ujung malam, pukul 24.00. Sejak sore hari, para penjual
pakaian dan makanan sudah ramai menggelar barang dagangan mereka di pinggiran jalan
utama dan jalan-jalan kecil menuju sawah. Para penjual berasal dari berbagai wilayah sekitar
Kabupaten Sidrap, seperti Wajo dan Soppeng. Pedagang dari luar desa pada umumnya
menjual pakaian, sarung, dan kain. Sementara pedagang dari dalam Kelurahan kanyuara
biasanya menjual aneka makanan, seperti mi instan siram air panas, pisang goreng, dan
pisang molen.
Pasar malam merupakan arena rekreasi bagi buruh panen untuk melepas lelah setelah
seharian bekerja memanen padi di sawah. Uang yang diperoleh para buruh panen digunakan
untuk belanja di pasar malam tersebut.
Namun, sejak dua tahun terakhir, kemeriahan pasar malam di Kelurahan Kanyuara sudah
hilang. Pasar malam yang dahulu selalu ramai oleh para buruh panen sekarang sudah tidak
ada lagi. Semua bermula dari kehadiran sebuah mesin bernama combine harvester.
Masyarakat setempat biasa menyebutnya sebagai mobil perontok padi.
Di satu sisi, alat tersebut memberikan manfaat untuk sektor pertanian berupa meningkatnya
efektivitas proses panen. Akan tetapi, di lain sisi, alat tersebut menghilangkan serapan kerja
buruh tani dan mematikan kegiatan perekonomian pasar malam yang sudah ada sejak 10
tahun lalu. Jalan–jalan yang dahulu selalu ramai dipadati oleh pembeli, sekarang sudah
tergantikan oleh kesunyian malam.
Dengan teknologi terdahulu, yakni power thresher, jumlah buruh panen dalam satu hektare
dapat mencapai 30–50 orang. Akan tetapi, setelah combine harvester digunakan, tenaga kerja
yang terserap hanya 5-8 orang. Kemunculan teknologi panen itu berdampak terhadap
hilangnya buruh panen yang berdatangan ke Kelurahan Kanyuara.
Hilangnya kesempatan kerja sebagai buruh panen membuat orang tidak tertarik untuk datang
ke Kanyuara. Hal itu membuat para pedagang tidak berjualan lagi di Kanyuara. Berdasarkan
penuturan Sirna (50), keberadaan pasar malam tersebut dapat memberikan tambahan
pemasukan bagi masyarakat setempat. Namun, hilangnya pasar malam membuat masyarakat
Kelurahan Kanyuara kehilangan salah satu sumber keuangan mereka.***
TULISAN 5
Beragam Jalan Mengakses Bantuan

PEMERINTAH begitu ingin mendorong efektivitas dan efisiensi pertanian, khususnya di


daerah-daerah berkategori lumbung padi. Tak heran jika kemudian bantuan diberikan kepada
daerah-daerah yang menyandang status tersebut, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Program bantuan combine harvester itu sebenarnya
sudah dimulai sejak 2012. Pada tahap awal, terdapat 330 unit combine harvester yang disebar
ke seluruh Indonesia.
Pada tahap berikutnya, semua kelompok tani/gabungan kelompok tani di negeri ini
dimungkinkan untuk mengakses bantuan sosial tersebut. Hanya, mereka harus menempuh
prosedur, seperti tercantum dalam Pedoman Teknis Bantuan Sarana Pascapanen Tanaman
Pangan (Kementerian Pertanian, 2012). Di sana, pemerintah menetapkan sejumlah kriteria.
Beberapa di antaranya, pertama, aktif mendukung program pencapaian sasaran produksi
tanaman pangan (surplus beras 10 juta ton tahun 2014). Kedua, prioritas pada lokasi bukan
penerima bantuan sosial sarana pascapanen Anggaran Pendapatan dan Belanja/ Anggaran
Pendapatan dan Belanja Perubahan Tahun 2011 dan 2012 dari Ditjen Tanaman Pangan.
Ketiga, memiliki usaha penggilingan. Apabila tidak memiliki, bersedia bekerja sama dengan
penggilingan padi terdekat. Keempat, Bersedia menerima dan memanfaatkan bantuan sarana
pascapanen padi sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Kelima, Bersedia menyiapkan lahan
untuk penyimpanan combine harvester.
Pemerintah juga menetapkan ketentuan ihwal lokasi penerima bantuan. Beberapa di
antaranya, pertama, program pemerintah pusat untuk mendukung akselerasi peningkatan
produksi beras surplus 10 juta ton di provinsi sentra padi/beras dan provinsi penunjang
peningkatan padi/beras. Kedua, proposal usulan masyarakat terkait dengan kebutuhan sarana
pascapanen padi di wilayahnya. Ketiga, respons daerah dalam merealisasikan bantuan-
bantuan sarana pascapanen yang pernah diberikan tahun-tahun sebelumnya.
Alur pengajuan berdasarkan kriteria penerima bantuan dan lokasi penerima bantuan pun
sudah ditetapkan dalam petunjuk tersebut. Pertama, pengajuan usulan calon penerima dan
lokasinya diverifikasi Dinas Pertanian kota/kabupaten dan dibantu Dinas Pertanian provinsi.
Kedua, hasil verifikasi direkapitulasi oleh Dinas Pertanian provinsi, selanjutnya disampaikan
secara resmi kepada Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan. Ketiga, finalisasi usulan
dilaksanakan bersama antara daerah dan pusat pada rapat koordinasi yang dilaksanakan di
Jakarta.
**
NAMUN, kondisi di lapangan tak selamanya seturut aturan. Gapoktan di beberapa daerah
mendapat bantuan tak sesuai dengan prosedur. Proses penentuan penerima ditetapkan untuk
mendukung pencapaian surplus beras tahun 2014. Namun, kepastian upaya tersebut belum
terlihat jelas.
Kriteria penerima bantuan pun ditetapkan terkait dengan usaha penggilingan padi. Dua lokasi
di Klaten, Jawa Tengah, penerima dan sekaligus pengelola usaha combine harvester justru
belum memiliki usaha penggilingan sendiri. Pada pelaksanaannya pun belum terlibat kerja
sama langsung dengan usaha penggilingan padi. Sejauh ini, hubungan kerja sebatas
antarpengelola combine harvester dengan pemilik/pengolah sawah. Sementara penggilingan
padi menjadi ranah hubungan kerja langsung oleh pemilik/pengolah sawah.
Belum ada proses monitoring dan evaluasi jelas terhadap penerima bantuan. Salah seorang
staf Dinas Pertanian Kabupaten Klaten yang mengurusi mengenai bantuan sarana prasarana
menyebutkan bahwa bantuan dapat ditarik dari penerima apabila tidak digunakan. Hingga
kini, sanksi tersebut belum pernah terjadi.
Fenomena yang banyak terjadi karena kedekatan pengurus desa dengan pejabat di tingkat
kabupaten, provinsi atau pusat. Dua desa di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah mendapatkan
bantuan setelah gubernur Jawa Tengah datang ke desanya. Salah satu desa pun mendapat
dukungan peran kades dalam forum komunikasi kades di tingkat kabupaten.
Proses mendapat bantuan pun tak sebatas dukungan relasi. ”Uang operasional” agar bantuan
cepat diterima tetap dibutuhkan. Salah satu desa di Jawa Timur mendapat bantuan berkat
informasi dari staf Dinas Pertanian kabupaten. Sebelumnya, ia pernah menjadi petugas
penyuluh lapangan di desa tersebut. Untuk mendapat combine harvester tersebut, desa harus
mengeluarkan dana mencapai Rp 60 juta.
Kasus lainnya, bantuan combine harvester justru datang ke desa yang tak membutuhkan.
Pengurus gapoktan awalnya mengajukan proposal bantuan alat pemotong (power thresher).
Sementara proposal pengajuan bantuan combine harvester diserahkan menyusul.
Lain lagi cerita dari Lampung. Salah satu desa mendapat tawaran dari staf ditjen di
Kementerian Pertanian. Bantuan bisa diterima asal sanggup menjawab tantangan
pengembangan usaha combine harvester. Alhasil, saat ini, gapoktan tersebut memiliki
tambahan 9 combine harvester. Namun, keberanian menjawab tantangan pun bukan tanpa
perhitungan. Selain perhitungan lokasi kerja panen, didukung pula relasi dengan diler
combine harvester di Lampung. Pembelian combine harvester dipermudah dengan tenggat
waktu pembayarannya.
**
KRITERIA lokasi penerima bantuan pun dapat menjadi sorotan. Idealnya, penyerahan
bantuan berdasarkan usulan untuk pemenuhan kebutuhan wilayah. Namun, kondisi lain tetap
bisa terjadi. Alih-alih menjadi prasyarat mengajukan bantuan, proposal ternyata menjadi
formalitas belaka. Pengurus gapoktan menyerahkannya setelah bantuan diterima di desa.
Kisah menarik lain muncul dari Subang, Jawa Barat. Bantuan berawal dari datangnya salah
seorang pengurus gapoktan ke Kantor Kementerian Pertanian untuk menghadiri seminar
pertanian. Selepas salat Jumat, ia bertemu dengan salah seorang staf Kementan yang pernah
melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di desanya. Dalam pertemuan itu, gapoktan desa
tersebut ditawari bantuan combine harvester. Bahkan proposal diserahkan ketika combine
harvester sudah diterima. Pengurus gapoktan berkelakar, combine harvester ibarat sebagai
balas budi terhadap desa lokasi KKN dahulu.
Karakter lahan di lokasi penerima pun tampaknya belum menjadi pertimbangan dalam
penyaluran bantuan tersebut. Lokasi sawah di Jawa relatif belum sepenuhnya dapat
menggunakan combine harvester. Penyebabnya, alat itu akan sulit digunakan pada petakan
sawah sempit dan lokasi hamparan sawah yang bertingkat. Apalagi ketika musim hujan,
sawah basah karena terendam air, combine harvester semakin sulit digunakan karena bisa
saja terperosok. Pengelola akan berpikir ulang untuk menggunakan alat itu karena berdampak
terhadap tingginya biaya perbaikan.***
TULISAN 6
Kekhawatiran Itu Mulai Terbukti

SUATU hari pada bulan Maret 2015, kami terlibat obrolan dengan pejabat di Dinas Pertanian
Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Fokus obrolan kami adalah mekanisme distribusi bantuan
combine harvester. Sekonyong-konyong, wajahnya menyemburatkan kekhawatiran. ”...
berbagai macam persoalan yang timbul, terutama dampak sosialnya.”
Perempuan setengah baya itu membayangkan, suatu ketika, para buruh tani menyerbu
pemilik combine harvester. Ia membayangkan, akan ada protes-protes dari petani, khususnya
buruh tani, karena kehadiran combine harvester. Bahkan, ia dibayangi oleh kekhawatiran
terhadap aksi-aksi nekat, seperti mengusir dan membakar mesin panen tersebut.
**
COMBINE harvester merupakan mesin panen yang canggih dan praktis. Mesin itu lebih
menyerupai lokomotif dengan bobot hampir 2 ton. Dioperasikan oleh seorang sopir, persis
seperti mengendarai mobil. Bagian depan mesin dilengkapi dengan alat pemotong berupa
susunan mata pisau yang dapat bergerak naik turun untuk memangkas batang-batang padi
yang dilewati.
Tepat di atas pemotong, terdapat baling-baling. Fungsinya untuk merontokkan gabah dari
batang yang telah terpotong. Terhubung antara bagian perontok dan bak penampung di
bagian belakang, terpasang blower panjang. Di bagian bawah bak penampung, terdapat kran
untuk mengalirkan gabah ke dalam karung-karung yang telah terpasang pada pengokot.
Posisi pengokot itu menempel ke bak penampung di belakang kran.
Pada sisi kanan mesin, di depan kran tersebut, berdiri seorang asisten sopir. Dia berpijak pada
lempengan besi berukuran sekira 50 x 100 sentimeter yang terpasang pada bagian bawah
mesin. Asisten sopir bekerja mengontrol gabah yang masuk ke karung dan mengikatnya.
Dengan sigap, asisten akan segera mengganti karung penuh dengan karung baru yang telah
terpasang untuk diisi kembali dengan gabah.
Mesin panen ini berkekuatan berkekuatan 200 cc. Dalam satu jam operasi, mesin itu dapat
memanen padi seluas hampir setengah hektare. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan minimal
2 orang.
Pada 2012, secara serempak, pemerintah membagikan combine harvester ke daerah-daerah
lumbung padi di Jawa dan luar Jawa. Program itu dijalankan dalam rangka mengatasi
permasalahan pascapanen serta upaya menurunkan kehilangan gabah pada saat panen.
Melalui skema anggaran APBN 2012, pemerintah berupaya memfasilitasi kebutuhan petani
dengan memberikan hibah mesin panen combine harvester. Hibah diberikan melalui
kelompok tani atau gabungan kelompok tani terpilih.
Bantuan itu diharapkan sesuai dengan tujuan penanganan pascapanen, yaitu menurunkan
kehilangan panen, mempertahankan mutu hasil, mempertahankan dan memperpanjang masa
simpan, serta meningkatkan daya saing komoditas tanaman pangan.
Meskipun demikian, combine harvester menuai pro dan kontra. Di Subang, Jawa Barat,
beberapa desa menolak bantuan mesin panen dari pemerintah karena keberadaan buruh panen
di desa masih sangat banyak. Terjadi beberapa kali sabotase terhadap combine harvester yang
beroperasi di daerah tersebut. Paling sering terjadi adalah aki mesin hilang. Bahkan, terdapat
ancaman mesin akan dibakar jika masih beroperasi.
Di Mesuji, Lampung, kehadiran combine harvester memicu protes masyarakat di desa. Protes
itu dilatarbelakangi oleh anggapan mekanisasi pertanian melalui combine harvester akan
merampas pekerjaan rakyat kecil. Terlebih lagi, penggunaan buruh panen di desa tersebut
hanya pada saat terjadi puso. Buruh panen merasa semakin tidak berdaya.
Masih di Mesuji, buruh tani bahkan tidak mau menanam padi di sawah-sawah yang dipanen
menggunakan combine harvester.
Demikian juga yang terjadi di salah satu desa di Lamongan, Jawa Timur. Banyak pematang
sawah yang rusak karena terlindas roda mesin. Hubungan antarpetani menjadi renggang
dipicu masalah rusaknya pematang. Hal itu juga terjadi di Klaten, Jawa Tengah. Bantuan
combine harvester kurang sesuai dengan karakter sawahnya.
**
TERNYATA, kekhawatiran pejabat Dinas Pertanian Blitar mulai terbukti. Pengelola combine
harvester bantuan di Blitar diusir oleh warga dan pemerintah desa pada saat akan melakukan
panen di desa tetangga. Mereka tidak terima dengan kehadiran combine harvester yang
dianggap berpotensi menyingkirkan petani kecil dan buruh tani.
Meskipun demikian, sejauh ini, pemerintah keukeuh dengan program bantuan combine
harvester. Salah seorang pejabat di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP),
Badan Litbang Kementerian Pertanian mengatakan, combine harvester berpotensi dapat
digunakan di Jawa yang lahannya sempit dengan banyak pematang.
”...menariknya, di Sukoharjo, ada program yang dananya hanya untuk 100 hektare untuk full
mekanisasi, tetapi petani yang mau semua terlibat adalah lebih dari 100 hektare. Jadi, intinya,
mereka mau dibuka galengan-nya. Itu ,dari segi kelembagaan, bukan main. Tetapi, sebelum
galengan itu di buka, untuk pemerintah daerah, kami di pusat (meminta) dilakukan pemetaan
oleh BPN agar masing-masing masih ada batasnya,” ujarnya dalam diskusi Kemandirian
Pangan, di Bogor, akhir Juni lalu.***
TULISAN 7
Mekanisasi Pertanian bukanlah Segala-galanya

Combine harvester bukanlah faktor penentu produktivitas padi. Masih banyak faktor
signifikan yang membutuhkan penyelesaian sistematis, seperti serangan hama.

PEMERINTAH Indonesia saat ini memiliki target swasembada pangan. Outlook Komoditas
Pertanian Tanaman Pangan dari Pusat Data dan Sistem Informasi (Pusdatin) Kementerian
Pertanian 2013 menyatakan bahwa beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula merupakan
lima komoditas pangan utama. Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Andi Amran
Sulaiman, dalam berbagai media, menyatakan memiliki target waktu tiga dan lima tahun
untuk mencapainya. Padi termasuk tanaman pangan yang menjadi target awal swasembada.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, terdapat banyak upaya yang dilakukan untuk
mendukung keberhasilan program.
Untuk mencapai swasembada padi, petani Indonesia harus meningkatkan produksi padi.
Rencana Strategis Kementan 2015-2019 menyatakan, pada tahun 2014, Indonesia mampu
memproduksi padi sebanyak 70,8 juta ton. Kementerian Pertanian menargetkan jumlah itu
meningkat hingga 82,1 juta ton pada tahun 2019. Produksi padi diproyeksikan naik rata-rata
3% per tahun.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai swasembada beras adalah
melakukan mekanisasi pertanian. Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat Mesin Pertanian
(UPJA) dari Kementan akan memberikan bantuan alat dan mesin pertanian (Alsintan)
sebanyak 70.000 unit dan dukungan peralatan pascapanen sekitar 30.000 unit. Hal itu
dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas. Salah satunya adalah pengenalan
combine harvester, mesin panen yang menggabungkan kegiatan potong-rontok-pembersihan-
pengantongan padi.
Berbagai klaim kemampuan combine harvester dalam membantu meningkatkan produktivitas
padi banyak diutarakan oleh pemerintah ataupun dokumen produsen Alsintan. Sebagai
contoh, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) memproduksi combine
harvester yang mampu mengurangi kehilangan hasil panen. Selama ini, kehilangan hasil padi
nasional mencapai 10,2%. Mesin panen padi itu diklaim dapat mengurangi susut hasil panen
padi menjadi hanya sebesar 1,87% (press release Indo Combine Harvester Mendukung
Swasembada Beras Berkelanjutan Jakarta, 8 November 2013).
Akan tetapi, jika ditelaah secara mendalam, penggunaan combine harvester bukanlah penentu
produktivitas padi. Karmin, salah satu pemilik combine harvester di Klaten, Jawa tengah,
mengatakan, dia juga menghadapi berbagai kendala. Combine harvester-nya tidak bisa
digunakan pada sawah yang cenderung lembek. Risiko tenggelamnya combine harvester
membuat dirinya harus mengecek sawah pada malam sebelum mesin panen itu diturunkan ke
sawah. Dia hanya menyanggupi panen untuk sawah yang kondisinya cocok.
Jika combine harvester tenggelam, butuh waktu dan tenaga yang banyak untuk mengangkat
mesin panen yang beratnya lebih dari 2 ton tersebut. Kalau sudah begitu, proses panen akan
semakin lama. Belum lagi, sering kali, combine harvester tidak mampu memanen padi di
sudut–sudut sawah akibat besarnya mesin. Jadi, tetap saja petani akan menggunakan cara
tradisional untuk memanen padi di tempat–tempat yang tidak terjangkau oleh alat tersebut.
Midin, seorang petani di Klaten, mengaku tak merasa hasil sawahnya lebih tinggi ketika
menggunakan combine harvester. Memang, hasilnya terasa lebih bersih karena gabah kosong
terbuang akibat kipas combine harvester. Namun, penggunaan mesin itu tidak memengaruhi
produksi padinya.
Kalaupun padi tercecer akibat cara panen tradisional, seperti gebot, gabah yang jatuh itu akan
dipungut buruh-buruh tani miskin yang tidak memiliki lahan atau kelompok miskin berusia
senja untuk makan. Ngiprik atau ngasak masih menjadi salah satu cara bertahan hidup bagi
mereka yang paling miskin di desa. Padi yang jatuh akibat proses panen tradisional ternyata
ikut mengurangi kesenjangan yang ada di desa. Menggunakan combine harvester dengan
tujuan mengurangi ceceran padi, ternyata berpotensi mempertajam kesenjangan yang ada di
desa.
Midin menambahkan, masih banyak faktor lain yang menentukan tingginya produksi padi.
Bicara soal produktivitas padi, tentu menyinggung soal cuaca, kondisi pengairan, penggunaan
pupuk, bibit, dan pengendalian hama dan organisme pengganggu tanaman. Misalnya,
produksi padi pada musim rendengan (hujan) biasanya lebih tinggi daripada musim gadu
(kemarau).
Beman, petani lain dari Klaten, menceritakan pengalamannya mengenai serangan hama.
”Serangan hama tidak bisa saya prediksi. Misalnya, kalau hujan deras ini malam, besok
paginya tiba-tiba bisa habis dibabat wereng. Padahal, padi saya sudah mulai kuning. Ini harus
segera disemprot pake racun hama yang banyak,” katanya. Serangan hama yang tak terduga
merusak mimpi dan empat bulan jerih payahnya menanam dan merawat tanaman padi.
Hal serupa juga diutarakan oleh mayoritas petani padi di wilayah penelitian yang dilakukan
Akatiga di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan tahun 2015. Serangan
hama merupakan faktor yang paling banyak menurunkan hasil panen dan meningkatkan
biaya produksi.
Tindakan Beman dalam menggunakan ”racun hama yang banyak” mewakili mayoritas petani
saat menghadapi serangan hama. Apa pun hama dan organisme pengganggu tanaman yang
ditemukan selalu diatasi dengan menggunakan racun kimia. Hal itu menjadikan serangan
hama sangat memengaruhi keberlanjutan lingkungan karena tingginya penggunaan kimia
penanggulangan hama.
Jadi, mekanisasi pertanian --apalagi sekadar combine harvester-- bukanlah segala-
galanya.***
TULISAN 8
Kaum Berada Kian Kuasa

”Rata–rata yang memiliki combine harvester dalam jumlah banyak adalah pengusaha
penggilingan padi karena mereka juga menggunakan sekalian untuk mengambil beras dari
petani”
Soleh(bukan nama sebenarnya), petani di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
(25/2/2015)

”Combine harvester telah menggantikan banyak tenaga kerja manual. Namun, tidak ada yang
melakukan protes karena yang memiliki combine harvester adalah orang ’besar’ dan
memiliki banyak lahan luas sehingga para petani penggarap pun tidak bisa memprotes”
Beny (bukan nama sebenarnya), petani di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
(6/3/2015)

COMBINE harvester merupakan teknologi berbiaya tinggi yang diintroduksi oleh pemerintah
melalui Kementerian Pertanian dan pihak swasta. Berdasarkan temuan di desa-desa
penelitian, harga beli alat itu berkisar antara Rp 200 juta hingga Rp 500 juta per unit. Selain
harga beli yang tinggi, biaya perbaikan jika ada kerusakan pun tak murah. Bayangkan saja,
untuk membeli sepasang ban saja, pengelola harus mengeluarkan uang Rp 30 juta.
Dengan kenyataan itu, wajar jika kemudian hanya orang tertentu yang sanggup membeli alat
tersebut. Pada umumnya, combine harvester dimiliki oleh orang-orang kaya. Mereka rata-rata
adalah pemilik lahan sawah yang luas dan sekaligus pelaku usaha dalam rantai hulu-hilir
perberasan, seperti tengkulak, pemilik penggilingan padi, dan penebas.
Di kebanyakan desa penelitian, pemilik combine harvester secara pribadi merupakan pemilik
lahan sawah mencapai 10–80 hektare, bahkan ada yang mencapai 300 hektare. Selain itu,
mereka memiliki penggilingan padi yang besar. Sebagian dari mereka pun memiliki lebih
dari satu unit combine harvester.
Sebagai contoh, salah satu pemilik combine harvester secara pribadi adalah Iman (bukan
nama sebenarnya). Ia merupakan petani kaya pemilik sawah seluas 30-50 hektare plus sawah
keluarga seluas 300 hektare di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Dia memiliki
penggilingan padi berkapasitas produksi 15 ton beras per hari.
Ketika penelitian dilakukan, ia memiliki 6 unit combine harvester. Wilayah kerja combine
harvester miliknya meliputi tiga kabupaten, yakni Pinrang, Sidenreng Rappang (Sidrap), dan
Kabupaten Wajo.
Selain Iman, di kabupaten itu, terdapat beberapa pengusaha yang memiliki combine harvester
hingga selusin plus lahan sawah 300 hektare. Ada pula pengusaha yang memiliki
penggilingan padi dan lahan seluas lebih dari 100 hektare.
Kondisi serupa berlaku di sejumlah daerah. Di Kabupaten Mesuji, Lampung, para pengusaha
mengaku, mereka membeli combine harvester untuk mendukung usaha di bidang perberasan.
Sebelumnya, mereka sudah menjalani profesi sebagai tengkulak dan/atau pemilik pengilingan
beras.
**
PADA saat yang sama, pemerintah memberikan bantuan combine harvester bagi kelompok
tani atau gabungan kelompok tani. Pemerintah menentukan beberapa syarat. Salah satu yang
utama adalah kelompok atau gabungan kelompok tani itu harus aktif dan bersedia
mendukung program pencapaian sasaran produksi tanaman pangan, utamanya mendukung
surplus beras. Mereka juga harus memiliki unit usaha penggilingan. Jika belum punya,
mereka bersedia untuk berusaha/bekerja sama dan bersinergi dengan penggilingan padi
terdekat.
Dalam praktiknya, pengurus kelompok atau gabungan kelompok tani akan lebih dominan
dalam hal penggunaan dan pengelolaan alat tersebut. Bahkan, di Kabupaten Sidrap, combine
harvester digunakan untuk kepentingan pribadi. Sejauh ini, kondisi masih memungkinkan.
Tak hanya di Sidrap, tetapi juga di daerah-daerah yang beroleh jatah bantuan alat tersebut.
Soalnya, Dinas Pertanian masing-masing daerah tidak mengecek secara rinci ihwal
administrasi pengelolaan combine harvester bantuan. Monitoring yang dilakukan sebatas
memastikan bahwa mesin masih ada, bukan pada rincian pengelolaan bantuan.
Oleh pribadi-pribadi itu, combine Harvester bantuan disewakan, baik kepada petani di dalam
maupun di luar desa, bahkan luar kabupaten. Biaya sewa dikenakan kepada siapa pun yang
menggunakan alat itu. Pada akhirnya, keuntungan dari biaya sewa dinikmati oleh segelintir
orang dan untuk kepentingan pribadi mereka, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota.
**
KEBANYAKAN masyarakat di wilayah penelitian masih bertumpu pada sektor pertanian.
Kebanyakan dari mereka adalah petani, tepatnya petani penggarap dan buruh tani.
Berdasarkan data ketenagakerjaan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (Februari 2014),
terdapat lebih dari 40 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian sebagai
lapangan pekerjaan utama. Jumlah itu mencapai 34,5 % dari total tenaga kerja Indonesia
secara keseluruhan yang bekerja pada sektor tersebut.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, terdapat 26,13 juta jumlah rumah tangga usaha tani. Dari
jumlah tersebut, sebanyak 16 juta (61,5%) tidak memiliki tanah. Artinya, terdapat 61,5%
rumah tangga usaha tani yang lebih tepat disebut rumah tangga buruh tani yang mengelola
usaha tani di tanah-tanah petani lain/perusahaan pertanian. Demikian seperti ditulis oleh Lola
Amelia, peneliti kebijakan sosial The Indonesian Institute, dalam artikel berjudul Masih
Relevankah Menyebut Indonesia Sebagai Negara Agraris. Artikel itu dimuat di situs web
http://theindonesianinstitute.com.
Saat ini, rasio gini (ukuran ketimpangan) Indonesia selama tahun 2010-2013 sangat tinggi,
meningkat dari 0,38 menjadi 0,41. Sementara, di wilayah penelitian, di mana teknologi sudah
digunakan secara masif, seperti Sulawesi Selatan, selama tahun 2010-2013 terus meningkat,
dari 0, 41 menjadi 0,43. Angka tersebut menunjukkan bahwa sangat besar ukuran
ketimpangan distribusi pendapatan antara si kaya dan si miskin di Indonesia, khususnya di
Sulawesi Selatan.***

Anda mungkin juga menyukai