Sektor pertanian Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan yang setiap
tahunnya selalu membuat petani kesulitan. Ada beberapa aspek yang merupakan
sumber masalah pertanian Indonesia, yaitu aspek kebijakan pemerintah yang dirasa
kurang pro terhadap petani dan justru melemahkan petani, aspek geografi dimana
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana alam seperti gempa bumi, banjir
bandang, serta letusan gunung berapi, dan aspek program pemerintah yang belum
tepat sasaran. Misalnya, kebijakan subsidi dalam bentuk benih, pupuk, atau kredit
pertanian yang sering dimanipulasi oknum di daerah dan fasilitas yang tidak
diperhatikan, seperti kualitas irigasi yang rusak, mesin pertanian yang belum
mutakhir, dan kondisi lumbung yang buruk memengaruhi hasil beras yang diproduksi
nantinya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivitas pabrik pengolahan nikel yang dikelola PT Virtue Dragon Nickel Industry
di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, April 2019.
Sektor industri pengolahan nikel di Sulawesi Tenggara tumbuh signifikan mencapai
16,74 persen pada 2022. Nilai ini merupakan pertumbuhan tertinggi industri
pengolahan dalam tiga tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan industri pengolahan ini
didorong pengolahan nikel yang semakin masif beberapa tahun terakhir dan kenaikan
harga nikel di pasar dunia. Sumbangan industri pengolahan nikel terhadap ekspor
Sultra pada 2022 bahkan mencapai 5,826 miliar dollar AS atau 99,92 persen dari total
eskpor.
Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Tenggara
(Sultra), Bimo Epyanto mengatakan bahwa sektor pertanian di Sultra masuk dalam
kategori terendah kedua di Indonesia timur. Hal itu berdasarkan data yang
diperoleh BI Sultra. Namun, Dari data, luas lahan di Sultra terbesar dibandingkan
dengan provinsi yang ada di Sulawesi maupun kawasan Sulawesi, Maluku dam
Papua (Sulampua). “Sektor pertanian merupakan salah satu yang menyerap tenaga
kerja,” ucap Bimo di Kendari pada Jumat (27/8/2021).
Menjadi daerah dengan luas lahan tertinggi untuk wilayah Indonesia Timur, tidak
sejalan dengan produktivitas yang masih sangat rendah. Menurutnya, hal tersebut
disebabkan kurang optimalnya pemanfaatan peralatan dan cara penanaman yang
masih bersifat tradisional.
Selain itu, ini juga menandakan dengan luas panen yang sama, jumlah alsintan yang
dibutuhkan Sultra lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa masih rendahnya pemanfaatan peralatan dalam sektor
pertanian. Ia juga menyebutkan bahwa masalah sarana dan prasarana pertanian di
bandingkan dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) sangat jauh. Ia mengatakan Sulsel
memiliki 81.804 peralatan, sedangkan Sultra hanya memiliki 15.462 peralatan.
Dengan mendetail secara keseluruhan yaitu traktor roda 2 sebanyak 7.991, traktor
roda 4 sebanyak 332, tresher sebanyak 3.383, dryer 58, pompa 323, tranpalnter
sebanyak 2.542, combine hervester sebanyak 509 dan penggiling padi sebanyak 324.
“Dengan melihat ratio luas panen yang ada di Sultra untuk alat hanya digunakan
sebesar 11,3 persen dan penggiling padi masih di angka 2,1 persen,” tutupnya.
3. Alih fungsi lahan
Produksi padi tersebut berasal dari dua lokasi persawahan, yakni di Amohalo
Kecamatan Baruga dan Labibia Kecamatan Mandonga. Ia mengaku pemerintah
memberi perhatian serius pada upaya pengembangan pertanian antara lain dengan
pemberian bantuan berupa sarana pertanian dan bantuan pengembangan kapasitas
petani.
"Kami menginginkan petani Kendari menjadi petani sukses dan cerdas, sehingga kami
senantiasa memberikan tambahan pengetahuan dan pelatihan agar bisa meningkatkan
kapasitas mereka," katanya.
4. Akses petani terhadap permodalan