Anda di halaman 1dari 252

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai komoditas perdagangan, jagung menempati kedudukan penting

dalam perekonomian nasional, karena manfaatnya yang serba guna. Jagung

bermanfaat sebagai pangan, pakan dan bahan bakar (food, feed, and fuel).

Selain dikonsumsi langsung dalam bentuk biji muda, juga dikonsumsi sebagai

nasi jagung. Sebagai bahan baku industri, jagung diolah untuk berbagai

keperluan, diantaranya sebagai bahan pangan dan pakan ternak.

Kedudukan jagung sebagai bahan pangan nasional merupakan makanan

pokok utama setelah beras, sehingga menjadi penyangga ketahanan pangan

nasional. Perbaikan perekonomian nasional yang ditandai dengan meningkatnya

pendapatan perkapita, proporsi jagung sebagai bahan pangan tergeserkan

menjadi bahan baku utama industri pakan ternak. Komponen utama (54 s.d

60%) dalam rangsum pakan ternak adalah jagung (Sinjal, 2009). Sebagian

besar (55%) produksi jagung nasional digunakan sebagai pakan, sisanya 30%

untuk konsumsi pangan dan 15% untuk kebutuhan industri lain dan benih

(Hadijah, 2009; Suharjito, 2011).

Peningkatan permintaan jagung oleh industri pakan, pangan dan industri

turunan berbasis jagung (integrated corn industry) menyebabkan permintaan

jagung di dalam negeri terus meningkat (Hadijah, 2009; Nurhasanah, 2012).

Laju peningkatan permintaan jagung lebih besar bila dibandingkan dengan laju

pertumbuhan produksi jagung dalam negeri, akibatnya harga jagung domestik

terus meningkat dari tahun ke tahun (Ferrianta, 2011). Produksi jagung dalam

negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, sehingga masih diperlukan.


2

Produksi jagung nasional diproyeksikan tumbuh 4,63% per tahun. Pada tahun

2015 produksi jagung diharapkan telah mencapai 17,93 juta ton (Suharjito,

2012). Kini kedudukan komoditas jagung semakin kompleks dan strategis,

karena selain sebagai penyangga ketahanan pangan, juga menjadi komoditas

subtitusi impor yang dapat menghemat devisa.

Kedudukan jagung yang strategis tersebut melandasi pemerintah

menggerakkan berbagai sumberdaya untuk meningkatkan produksinya. Daerah

yang selama ini sebagai pemasok jagung utama ditingkatkan produksinya

melalui perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Salah satu daerah yang

merespon kebijakan pemerintah tersebut adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB). Dalam program kerja pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

NTB periode 2008 s.d 2013 telah menetapkan pengembangan komoditas jagung

sebagai program unggulan, bersama sapi dan rumput laut yang dikenal dengan

program pijar (Rahman, 2011; Sjah, 2011).

Penetapan jangung sebagai komoditas dan program unggulan cukup

beralasan, sebab Provinsi NTB sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki

potensi untuk pengembangan jagung, diantaranya adalah lahan kering. Luas

lahan kering disajikan pada Tabel 1.1. Selain itu, kondisi agroklimat wilayah

Provinsi NTB memenuhi persyaratan tumbuh tanaman jagung, karena keadaan

iklim tropis, jenis tanah gromosol dan topografi landai sampai bergelombang

mendukung bagi pengembangan jagung. Demikian pula, kondisi sosial ekonomi

masyarakatnya yang telah terbiasa menamam jagung dan mengolah jagung

untuk berbagai keperluan pangan memungkinkan dilakukannya introduksi

teknologi dengan cepat (Putra, et al., 2005).


3

Tabel 1.1 Luas Lahan Kering (ha) Yang Potensial Sebagai Lokasi
Pengembangan Luas Areal Tanaman Jagung Tahun 2003

Jenis Kota Lombok Lombok Lombok Sum-


Dompu Bima NTB
Lahan Mataram Barat Tengah Timur bawa
Ladang/ Huma - 17.719 1.883 4.741 12.017 2.806 6.402 45.568
Padang
- 329 410 1.344 12.060 8.857 16.126 39.126
Rumput
Lahan belum
27 - 1 400 29.859 3.147 21.089 54.523
dibudidayakan
Jumlah 27 18 048 2 294 6.485 53.926 14.810 43.617 139.217
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB)

Sejak jagung dicanangkan sebagai program komoditas unggulan pada

tahun 2008/2009, produksinya di Provinsi NTB berturut-turut menunjukkan

peningkatan. Pada tahun 2008 produksi mencapai 196.263 ton dengan luas

panen 59.078 ha, pada tahun 2009 produksi jagung meningkat menjadi 308.863

ton dengan luas panen 81.543 ha, dan terus meningkat menjadi 371.205 ton

dengan luas panen 64.529 ha pada tahun 2010 (BPS NTB, 2011).

Kebijakan pengembangan agribisnis jagung telah dituangkan pada Grand

Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung di NTB yaitu target produksi jagung

tahun 2013 sebesar 613.496 ton dengan luas panen sebesar 116.268 ha

(Pemda NTB, 2009). Target produksi tersebut sangat realistis karena produk-

tivitas jagung pada saat itu masih rendah, yaitu 33,22 ku/ha tahun 2008 dan

37,88 ku/ha tahun 2009 (BPS NTB, 2010) dan secara teknis masih sangat

memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas jagung mencapai 40 s.d 50

ku/ha pada tahun 2013 dengan penerapan iptek pada teknik budidaya dan

penanganan pascapanen yang benar serta terarah (Diperta NTB, 2009).

Peningkatan produksi jagung sebagai mana diungkapkan di atas belum

sepenuhnya mampu membebaskan penduduk perdesaan dari kemiskinan.

Walau produksi jagung meningkat, namun sebagian petani yang tinggal di


4

daerah perdesaan masih miskin, karena peningkatan produksi itu dinikmati oleh

pihak lain di luar petani, seperti pedagang dan konsumen pengguna jagung.

Jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan Provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB) menunjukkan peningkatan (Tabel 1.2) dari 419.310 orang menjadi 439.450

orang pada bulan Maret 2012 s.d 2013, serta dari 412.940 orang menjadi

438.370 orang pada bulan September 2012 s.d 2013. Oleh karena sebagian

besar petani tinggal di perdesaan, dan jumlah penduduk miskin meningkat di

perdesaan, maka dapat diartikan bahwa jumlah petani miskin juga meningkat.

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi NTB Berdarkan Wilayah


Perkotaan dan Perdesaan pada Bulan Maret dan September Tahun
2012 dan 2013

Maret September Perubahan dari


No Wilayah 2012 2013 2012 2013 2012 ke 2013
1 Perkotaan 433.340 391.400 415.380 364.080 Menurun
2 Perdesaan 419.310 439.450 412.940 438.370 Meningkat
NTB 852.650 830.850 828.320 802.450 Menurun
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Berita Statistik Januari 2013 dan Januari 2014

Kemiskinan petani disebabkan rendahnya harga-harga produk pertanian di

perdesaan dan rendahnya produktivitas usahatani. Untuk mengurangi jumlah

petani yang miskin, maka diperlukan strategi yang dapat melindungi petani dari

praktik penghisapan surplus produsen usahatani oleh pihak-pihak lain di luar

petani dengan mempekuat posisi tawar (bargaining position) petani melalui

pengembangan kelembagaan dan peningkatan produktivitas usahatani.

Pihak yang paling bertanggungjawab bagi peningkatan kesejahteraan

petani adalah pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan regulasi

kebijakan yang mengatur hubungan antara kelembagaan petani dengan

kelembagaan lainnya yang bertindak sebagai avalis dalam kolaborasi


5

(kerjasama) dan manajemen rantai pasok jagung, sebagaimana regulasi yang

telah ada pada komoditas lainnya (tembakau), sehingga para pemangku

kepentingan (stakeholders) mampu menerapkan kolaborasi dan manajemen

rantai pasok (supply chain management) sebagai mana mestinya melalui

perubahan paradigma dari paradigma yang berorientasi pada peningkatan

kepuasan konsumen semata menjadi paradigma yang berorientasi pada

peningkatan kesejahteraan petani. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

yang hanya berorientasi pada peningkatan kepuasan konsumen telah terbukti

gagal membebaskan petani dari kemiskinan, karena para pedagang dan

pengusaha berusaha menghisap surplus produsen usahatani dengan menekan

harga semurah-murahnya. Selain itu, petani juga dihisap surplus produsen

usahataninya oleh sebagian perusahaan yang berperan sebagai avalis dengan

melakukan pungutan bagi hasil yang memberatkan petani.

Praktek manajemen rantai pasok yang baik dalam pengembangan

agribisnis jagung merupakan keharusan disebabkan oleh semakin meningkatnya

tuntutan akan pelayanan yang bermutu dan koordinasi lintas organisasi serta

kebutuhan akan kelancaran aliran produk dan aliran modal dalam siklus lengkap

proses produksi dari petani (penghasil bahan baku) ke perusahaan atau

pedagang (yang menyelenggarakan fungsi-fungsi pemasaran) sampai ke

konsumen pengguna jagung. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk

meningkatkan kesejahteraan petani adalah manajemen rantai pasok dan

integrasi proses bisnis.

Manajemen rantai pasok merupakan suatu yang baru yang belum

sepenuhnya diimplementasikan dalam program pengembangan agribisnis

jagung, meskipun dalam praktiknya telah diterapkan secara parsial. Tujuan


6

diaplikasikannya manajemen rantai pasok adalah meningkatkan keunggulan

kompetitif produk pada semua level lembaga yang terlibat dalam rantai pasok

(termasuk usahatani) melalui penciptaan nilai bagi pelanggan (konsumen).

Meningkatkan keunggulan kompetitif hanya dapat dicapai apabila manajemen

rantai pasok berkemampuan menghasilkan produk yang memenuhi selera

konsumen yaitu produk yang berkualitas, bermanfaat (useful), memiliki

karakteristik unik (unique) pada harga yang direspon positif oleh konsumen.

Peningkatan keunggulan kompetitif produk diharapkan mampu mengubah

posisi tawar (bargaining position) petani. Perubahan kearah lebih baik hanya

terjadi apabila petani mengubah dirinya sendiri menjadi lebih baik melalui

koordinasi lintas organisasi yang didukung oleh sistem informasi dan pembagian

share insentif yang adil sesuai dengan rantai nilai dari fungsi-fungsi pemasaran.

Besarnya insentif tersebut sesuai dengan surplus produsen yang dihasilkan

masing-masing pihak dalam rantai pasok (usahatani, pengolahan, penyimpanan,

dan transportasi, informasi dan modal) dan surplus konsumen bagi para

pelanggan (customer) (Just, at al., 2004). Dengan demikian dalam manajemen

rantai pasok tidak terbatas pada hubungan transaksional semata, melainkan

kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok yang saling

menguntungkan (mutual relationship).

Mengacu pada teori kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration

theory) dapat disimpulkan bahwa kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam

rantai pasok merupakan kekuatan pendorong manajemen rantai pasok yang

efektif, karena dapat membantu organisasi berbagi resiko dan mengakses

sumberdaya yang diperlukannya. Organisasi mulai merasa bahwa itu tidak

cukup untuk meningkatkan efisiensi sampai dicapainya organisasi rantai pasok


7

memiliki kemampuan kompetitif. Kolabolasi antar lembaga dalam rantai pasok

membantu mempermudah kerjasama antar lembaga guna meningkatkan

keunggulan kompetitif (Mathuramaytha, 2011). Oleh karena petani sebagai

pelaku utama penghasil bahan baku dan merupakan lembaga yang terlibat di

dalam rantai pasok, selayaknya mereka memperoleh keselarasan insentif

sebagai mana yang diterima oleh pedagang perantara dan konsumen pengguna.

Penerapan manajemen rantai pasok dinilai belum cukup untuk

meningkatkan keunggulan kompetitif jagung. Menurut Bartezzaghi (1999) yang

diperkuat oleh Spekman, et al. (2001) bahwa introduksi integrasi proses bisnis

dapat meningkatkan keunggulan kompetitif. Integrasi proses bisnis adalah suatu

upaya minimalisasi biaya proses. Integrasi proses bisnis terdiri atas integrasi

vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal ditempuh dengan cara

memperpek rantai pasok atau mereduksi lembaga yang inefisien, sedangkan

integrasi horizontal dilakukan dengan cara memperbesar skala usaha hingga

mencapai skala ekonomis melalui pemanfaatan bersama (sharing) barang-

barang modal, sehingga dapat menekan biaya tetap (operhead).

Menggabungkan manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis diharapkan

dapat meningkatkan efisiensi dan keunggulan kompetitif komoditas dan pada

gilirannya meningkatkan kesejahteraan petani jagung. Oleh karena itu sebagai

“goal” penelitian ini adalah meningkatkan kesejahteraan petani jagung.

Atas dasar pemikiran di atas, dirasa penting untuk dilakukan penelitan

tentang manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dalam upaya

peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.


8

1.2 Perumusan Masalah

Pada Program Percepatan Pengembangan Agribisnis Jagung (PAJ) di

Provinsi Nusa Tenggara Barat telah diintroduksi suatu konsep manajemen rantai

pasok (supply chain management), yaitu suatu gagasan yang memberikan

kepastian bahwa seluruh produksi jagung yang dihasilkan oleh petani memiliki

kepastian pembeli dengan harga yang wajar serta insentif berusaha bagi

lembaga yang terlibat. Gagasan ini akan lebih mudah dicapai apabila produk

jagung yang dihasilkan memiliki keunggulan kompetitif, yaitu memenuhi selera

konsumen.

Konsep manajemen rantai pasok yang diintroduksi tersebut belum

sepenuhnya diimpelentasikan oleh seluruh pemangku kepentingan

(stakeholders) sebagaimana mestinya, satu diantaranya belum adanya regulasi

yang mengatur penyelenggaraan kolaborasi (kerjasama) dan manajemen rantai

pasok jagung dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga berpotensi

terjadi praktik yang kontra produktif atau disinsentif bagi peningkatan

kesejahteraan petani seperti pembebanan biaya pembinaan oleh perusahaan

kepada petani berupa pengutan bagi hasil. Ke depan dibutuhkan regulasi yang

mengatur kolaborasi (kerjasama) yang saling menguntungkan (simbiose

mutualistik) antara petani dengan perusahaan dengan mengintruduksi konsep

manajemen rantai pasok.

Konsep manajemen rantai pasok dimaksukan untuk meningkatkan

keunggulan kompetitif produk pada setiap lembaga yang terlibat dalam rantai

pasok, serta membangun kelembagaan yang mampu melindungi produk dari

serangan pesaing di luar rantai pasok. Kemampuan melindungi produk dari

serangan para pesaing disebut keunggulan kompetitif (competitive advantage).


9

Kerangka teoritis yang dibangun oleh Mathuramytha (2011) telah

menempatkan keunggulan kompetitif sebagai ouput, serta keragaan organisasi

sebagai outcome dari kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok.

Keragaan organisasi yang terdiri atas keragaan pasar dan keragaan keuangan

berorientasi bagi peningkatan kepuasan konsumen dan peningkatan laba

perusahaan, namun cenderung mengorbankan kesejahteraan petani.

Paradigma yang hanya berorientasi pada peningkatan kepuasan

konsumen dan mengorbankan kesejahteraan petani harus diubah dengan

menyeimbangkan antara peningkatan kepuasan konsumen di sisi hulu (down

stream) dengan peningkatan kesejahteraan petani di sisi hilir (up stream) . Oleh

karena itu, kerangka teoritis yang dibangun oleh Mathuramaytha (2011)

semestinya dimodifikasi dengan menempatkan peningkatan kesejahteraan

petani sebagai outcome.

Peningkatan keunggulan kompetitif belum cukup apabila hanya

mempraktikkan kolaborasi (kerjasama) dan manajemen rantai pasok, namun

masih diperlukan introduksi integrasi proses bisnis (Bartezzaghi, 1999; Spekman,

et al., 2001). Integrasi proses bisnis adalah suatu konsep yang memobilisasi

sharing pemanfaatan barang-barang modal dan mereduksi lembaga di dalam

rantai pasok dan aktivitas yang inefisiensi.

Untuk mencapai peningkatan kesejahteraan petani jagung maka

dimungkinkan menggabungkan beberapa faktor strategis yang dapat dipilih oleh

Pemerintah Daerah dan petani, serta perusahaan yang berperan sebagai avalis

dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Strategi peningkatan kesejahteraan petani yang dilakukan secara parsial

rentan mengalami kegagalan, sehingga perlu dirumuskan suatu strategi prioritas


10

terbaik dengan menggabungkan beberapa faktor terpilih dalam upaya

peningkatkan kesejahteraan petani jagung.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan

utama penelitian ini adalah “sejauhmana keterkaitan manajemen rantai pasok

dan integrasi proses bisnis dengan peningkatan kesejahteraan petani

jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Secara rinci masalah tersebut

dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi manajemen rantai pasok jagung;

2. Bagaimana hubungan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

dengan integrasi proses bisnis;

3. Fraktor-faktor apa yang mempengaruhi keunggulan kompetitif jagung ;

4. Bagaimana keterkaitan antara manajemen rantai pasok, integrasi proses

bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok dengan kesejahteraan petani jagung;

5. Bagai mana strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan

petani jagung.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini antara lain bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen rantai pasok

jagung;

2. Menganalisis hubungan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

dengan integrasi proses bisnis;

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif jagung;


11

4. Menganalisis pengaruh manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis,

keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

terhadap kesejahteraan petani jagung;

5. Memilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan

petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Manfaat Praktis

a. Sebagai evaluasi manajemen rantai pasok jagung yang telah dipraktikkan

selama ini dari petani sampai dengan pedagang perantara;

b. Menyajikan potret manajemen rantai pasok jagung di Provinsi Nusa

Tenggara Barat yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani jagung;

c. Bahan acuan bagi pemerintah daerah, perusahaan yang berperan sebagai

avalis dan kelompok tani (petani) dalam memilih alternatif strategi prioritas

terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung di Provinsi

Nusa Tenggara Barat.

2. Manfaat Bagi Pengembangan Hasanah Ilmu Pengetahuan

a. Memperkaya model teoritis kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam

rantai pasok, manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis dengan

keunggulan kompetitif sebagai output dan kesejahteraan petani sebagai

outcome;

b. Menjadi referensi ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif, serta keterkaitan


12

dengan kesejahteraan petani jagung secara parsial maupun bersama-

sama (over all model).

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Tujuan penelitian ini difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan

petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu melalui perpaduan

kolaborasi dan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, dan keungulan

kompetitif internal terhadap eksternal rantai pasok jagung.

Analisis dibatasi pada analisis deskriftif dan analisis inferensi

menggunakan structure equation modeling berbasis partial least square , karena

variabel yang dianalisis bersifat laten dan skala pengukuran ordinal, sehingga

kurang tepat bila menggunakan analisis parametrik.

Kelemahan dalam penelitian ini antara lain:

1. Tidak dianalisis perilaku pasar input dan pasar output serta struktur pasar

jagung di tingkat petani yang merupakan faktor penentu terbentuknya harga.

2. Selain itu tidak dielaborasi perilaku biaya dalam kaitannya dengan

maksimalisasi laba, dan produktivitas sebagai penentu keunggulan kompetitif

internal , sebab skopnya dinilai terlalu luas;

3. Fokus penelitian dibatasi pada variabel yang berpengaruh langsung dan tidak

langsung terhadap kesejahteraan petani jagung. Dalam pengukuran

menggunakan skala ordinal, sehingga hanya dapat dianalisis menggunakan

statistik non parametrik, serta tidak memenuhi persyaratan apabila analisis

menggunakan statistik parametrik. Oleh karena menggunakan analisis non

parametrik, maka hasil analisis yang diperoleh berupa kondisi statis (potret),

namun masih bisa dilakukan analisis perbandingan antar parameter dalam

model.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Penelitian Terdahulu

Rantai pasok merupakan topik penelitian yang banyak diminati akhir-akhir

ini. Yang membedakan suatu penelitian dengan penelitian lainnya ialah produk,

metode analisis, indikator dan/atau variabel yang mempengaruhinya. seperti

Hamid (2011) menggunakan SEM (Structural Equation Modeling) dalam

menganalisis hubungan antara praktik rantai pasok dengan rantai permintaan.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa praktik rantai pasok dan rantai

permintaan memiliki hubungan yang positif terhadap keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif memiliki pengaruh positif terhadap keragaan perusahaan

baik keragaan keuangan maupun keragaan nonkeuangan. Praktik rantai pasok

memiliki pengaruh langsung terhadap keragaan non-keuangan, dan berpengaruh

negatif terhadap keragaan keuangan. Praktik rantai permintaan tidak

berpengaruh terhadap keragaan nonkeuangan dan berpengaruh negatif pada

keragaan keuangan perusahaan. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh

Hamid (2011) tersebut berbeda dengan penelitian ini dari aspek produk, indikator

dan variabel yang digunakan. Penelitian ini fokus pada rantai pasok jagung,

menggunakan metode deskriptif dan analisis keterkaitan manajemen rantai

pasok dengan variabel lainnya menggunakan Structure Equation Modeling

berbasis varians yaitu Partial Least Square (SEM-PLS).

Beberapa peneliti rantai pasok komoditas pertanian menggunakan marjin

pemasaran sebagai ukuran efisiensi dengan cara membandingkan antar rantai

pasok (Susiana dan Ritonga, 2005 cit. Prihatiningsih, 2007). Dalam penelitian

ini tidak tampak marjin laba dan marjin biaya, karena telah diinklusifkan dalam
14

ratio surplus produsen. Sementara Irmawati (2007) menggunakan kepuasan

pelanggan (customer), nilai keuntungan (laba) dan keunggulan kompetitif

sebagai indikator keragaan manajemen rantai pasok, sedangkan dalam

penelitian ini koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, dan aliran modal

digunakan sebagai indikator keragaan manajemen rantai pasok. Penelitian ini

juga berbeda dengan penelitian Mardhiyyah (2008) yang menggunakan KPI

(Key Performance Indicator) sebagai tolak ukur keragaan manajemen rantai

pasok (supply chain management), yaitu: delivery performance, leadtime dan

supply chain response time.

Nugroho (2005) mengungkapkan bahwa perubahan yang sangat cepat

yang terjadi di dunia bisnis menyebabkan kompetisi di antara pelaku-pelaku

bisnis menjadi semakin ketat dan nyata, buktinya adalah tingkat kompetisi yang

meningkat yang ditandai dengan permintaan yang berfluktuasi, penurunan

tingkat loyalitas konsumen, dan semakin singkatnya siklus hidup produk. Salah

satu strategi yang disarankan untuk dikembangkan adalah manajemen rantai

pasok, yaitu manajemen yang sejalan dengan kompetitif perusahaan. Strategi

manajemen rantai pasok mengarah pada dua hal, yaitu kemampuan respon dan

efisiensi rantai pasok. Operasionalnya diwujudkan pada aplikasi kebijakan

perusahaan dalam menangani 4 (empat) faktor pendorong keragaan rantai

pasok, yaitu persediaan, fasilitas, transportasi dan informasi. Efisiensi

persediaan menggunakan metode EOQ (Economic Order Quantity) dan reorder

point dan sangat sesuai dengan strategi LSC (lean supply chain) dan strategi

kompetitif diferensial perusanaan disebabkan perusahaan dapat meminimalisasi

biaya tanpa mengurangi kualitas produk. Oleh karenanya dalam penelitian ini

mengkaji keragaan lembaga yang terlibat dalam satu segmen rantai pasok,
15

maka dinilai kurang tepat jika menggunakan metode EOQ dan reorder point

dalam mengukur efisiensi persediaan. Keunggulan kompetitif produk dan

organisasi diukur dengan menggunakan lima indikator: efisiensi, kualitas produk,

ketergantungan pengiriman, diversifikasi produk, dan waktu tempuh ke pasar.

Kepuasan yang diperoleh masing-masing pihak yang terlibat dalam rantai

pasok disesuaikan dengan strategi kompetitif perusahaan. Dengan demikian,

penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Permana

(2011) yang membandingkan efisiensi pengadaan bahan baku dengan

menggunakan teknik lot sizing, yaitu Lot for Lot (LFL), Economic Order Quantity

(EOQ), Periode Order Quantity (POQ) dan Part Periode Balancing (PPB). Dari

hasil penelitiannya disimpulkan bahwa teknik POQ dan LFL menghasilkan

penghematan biaya terbesar atau biaya inventori terendah dibadingkan dengan

teknik lot sizing lainnya, namun pada bahan baku yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Adinugroho (2010), Hamzah (2011),

Pawisari (2011), dan Utomo (2011) menggunakan persepsi para pelaku

kemitraan sebagai ukuran keragaan manajemen rantai pasok. Oleh karena itu

pengukurannya masih kualitatif, dan belum sampai pada penggunakan ukuran

kuantitatif dan proxy sebagai mana pengukuran yang dilakukan dalam penelitian

ini. Walau Hamidi (2008) menggunakan produktivitas usahatani sebagai ukuran

efisiensi kemitraan (kolaborasi) namun tidak menganalisis kesejahteraan petani.

Justru yang dianalisisnya adalah dampak kemitraan terhadap produktivitas

usahatani yang dibandingkannya dengan produktivitas usahatani swadaya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2006) dengan

menggunakan metode SEM menunjukkan bahwa kualitas kemitrakerjaan dapat

ditingkatkan melalui komitmen jangka panjang, komunikasi dan berbagi resiko.


16

Dari tiga faktor tersebut ditemukan bahwa komitmen jangka panjang merupakan

dasar bagi perusahaan mitra kerja PT Indonesia Power Unit Bisnis Perusahaan

di Semarang untuk melakukan kemitrakerjaan. Temuan ini sangat membantu

peneliti untuk menganalisis keragaan manajemen rantai pasok, sekaligus dapat

digunakan sebagai referensi dalam menganalisis keterkaitan antara manajemen

rantai pasok, integrasi proses bisnis dan keunggulan kompetitif dengan tingkat

kesejehateraan petani jagung.

Hasil pengamatan rantai pasok jagung dilakukan oleh Pawisari (2011),

bahwa struktur rantai pasok pada pola kemitraan (kolaborasi) dilakukan dengan

konsep saling percaya tanpa adanya kesepakatan kontraktual yang mengikat

merupakan kunci sukses dalam rantai pasok jagung, namun di sisi lain

menyulitkan dalam pengembangan jaringan kerjasama (kemitraan) karena

dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun tingkat kepercayaan.

Dengan demikian, variabel penting dalam penelitian ini adalah kolaborasi

(kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok, karena inklusif terdapat indikator

yang diyakini dapat memelihara keberlanjutan kolaborasi (kerjasama) antar

lembaga dalam rantai pasok yang pada gilirannya menentukan keragaan

manajemen rantai pasok. Dengan memanfaatkan indikator pada sistem indek

pengukuran keragaan manajemen rantai pasok dapat dijelaskan pengaruh

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap manajemen rantai pasok.

Keberlanjutan hubungan antar pembeli-penjual dalam rantai pasok identik

dengan kontinyuitas pasokan komoditas dari petani - pedagang perantara -

perusahaan pengolahan (firm industry). Keberlanjutan hubungan antar pembeli-

penjual dipengaruhi oleh sosial-budaya struktur masyarakat desa (Tanaya, et al.

2002); sementara hubungan petani-pedagang-perusahaan industri pengolah dan


17

sebaliknya dipengaruhi oleh faktor kepercayaan, komitmen, ketergantungan,

komunikasi dan kepuasan (Hartono dan Muhaimin, 2009). Kualitas pelayanan

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan (Silalahi, 2007).

Yusuf (2009) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas pelayanan

dengan kepuasan pengusaha di Kawasan Berikat. Arifin (2004) meneliti faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap keragaan rantai pasok menyimpulkan bahwa

kualitas hubungan berpengaruh terhadap keragaan rantai pasok. Dengan

demikian menempatkan hubungan baik dengan pelanggan sebagai indikator

dalam penelitian ini merupakan pilihan yang tepat, karena didukung oleh hasil

penelitian, juga memiliki rasionalitas yang dapat dihandalkan.

Dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tanaya (2010) terhadap rantai

pasok jagung di Pertanian Lahan Kering di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat

digambarkan dalam bentuk aliran komoditas sebagai berikut:

Petani Jagung (Lombok)

Petani Besar (30%) Petani Besar (47%)

Small Farmers (70%) Petani Besar (23%)


Petani Kecil (100%)
Small Farmers (73%)
Pedagang Perantara

Pasar Lelang Pedagang


Lintas Pulau
(Lombok)

Konsumen Lokal Industri Pangan / Pakan

Gambar 2.1 Keterlibatan Petani Kecil dan Besar dalam Rantai Pasok Jagung di
Pertanian Lahan Kering di Lombok
Sumber : Tanaya (2010).
18

Pada Gambar 2.1 tampak bahwa petani kecil memilih menjual langsung

produksi jagungnya ke konsumen lokal, sementara petani besar lebih cenderung

menjual produksi jagungnya ke pedagang perantara, pedagang lintas pulau, dan

pasar lelang selanjutnya ke industri pangan dan pakan ternak. Persentase

petani besar yang menjual produksi jagungnya ke pedagang perantara berkisar

antara 47% sampai 70% (Gambar 2.1). Satu di antara sejumlah kelemahan

penelitian Tanaya (2010) adalah belum mempelajari aliran teknologi, informasi,

fasilitas, dan modal dari Avalis - Pembina Wilayah / Koperasi – Kelompok Tani

dan sebaliknya. Kelemahan ini dilengkapi dalam penelitian ini dengan

mengaplikasikan metode deskriptif.

Kualitas hubungan ditunjukkan oleh lima indikator yaitu: komitmen

(commitment), kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity), fleksibelitas (flexibility),

dan saling tukar informasi (information exchange) (Sujoko, 2002 cit.

Hendratman, 2009). Wahyudi (2002) cit. Hendratman (2009) menyatakan

bahwa kualitas hubungan dipengaruhi oleh tiga indikator yaitu: komitmen

(commitment), kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity). Sementara Arifin

(2004) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa tiga indikator kepercayaan

(trust), komitmen (commitment), dan kelancaran komunikasi adalah faktor yang

mendukung hubungan dengan outlet (Hendratman, 2009). Sehubungan dengan

hasil penelitian tersebut, maka kualitas hubungan diyakini memiliki keterkaitan

yang erat dengan keragaan manajemen rantai pasok; atau memperbaiki kualitas

hubungan implisit memperbaiki manajemen rantai pasok.

Koordinasi yang kurang baik dalam organisasi akan mengakibatkan hasil

pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan oleh

organisasi. Kurangnya pertemuan formal serta evaluasi rutin oleh pimpinan


19

untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian suatu pekerjaan,

kerjasama yang kurang baik di antara seksi-seksi yang terkait dalam menangani

penyelesaian pekerjaan, serta kurangnya komunikasi di antara seksi yang satu

dengan seksi yang lain akan menghambat proses penyelesaian pekerjaan

(Kamaludin, et al., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Hervani, et al. (2005)

menempatkan koordinasi sebagai variabel penentu, sementara dalam penelitian

ini koordinasi antar lembaga dijadikan sebagai indikator manajemen rantai pasok.

Pernyataan yang dikemukakan di atas didukung oleh keyakinan bahwa

kurangnya koordinasi akan mengganggu keberlanjutan pasokan, disebabkan

tiap-tiap anggota (lembaga) dalam rantai pasok memiliki tujuannya sendiri-sendiri

yaitu mengoptimalkan kepuasan dan kesejahteraannya sendiri. Kurangnya

koordinasi dapat menimbulkan misinformasi sebagai efek dari apa yang disebut

bullwhip effect (Anatan dan Elitan, 2008), yaitu permintaan yang meningkat

sepanjang rantai, misalnya peningkatan 10 unit di tingkat pengecer

diterjemahkan meningkat 20 unit di tingkat pedagang besar, dan 100 unit di

tingkat produsen. Efek ini dapat mengakibatkan membengkaknya biaya

pabrikasi (manufacturing), transportasi, penyimpanan, transaksi dan biaya-biaya

lain yang menjadi ikutannya.

2.2 Kajian Teoritis

2.2.1 Rantai Pasok (Supply Chain)

Rantai Pasok adalah suatu sistem jaringan dan saluran distribusi sejak dari

pengadaan bahan baku, proses produksi, dan penghantaran (delivery) produk

sampai di tangan pelanggan. Bansod dan Borade (2007) mendefinisikan rantai

pasok (supply chain) adalah suatu jaringan fasilitas dan saluran distribusi yang

meliputi pengadaan dari bahan baku, produksi, perakitan dan pengiriman produk
20

atau melayani kepada pelanggan (Utomo, 2011). Sedangkan Widodo, et al.

(2011) menegaskan bahwa rantai pasok (supply chain) adalah sebuah sistem

yang tersusun oleh sejumlah lembaga yang saling berinteraksi melalui pola

interaksi yang khas sesuai dengan struktur yang terbentuk.

Dalam setiap lembaga terdapat kegiatan atau aktivitas yang berkontribusi

pada tercapainya tujuan yaitu membentuk kepuasan bagi pelanggan. Dengan

demikian lembaga menunjuk pada suatu mata rantai kegiatan dari pemasok,

perusahaan industri pengolahan (manufaktor), distribusi hingga ke konsumen

akhir (Anatan dan Ellitan, 2008). Pada penelitian ini rantai pasok diartikan

sebagai aliran produk jagung, aliran pelayanan dan aliran modal dari petani

selaku produsen jagung sampai dengan pedagang perantara selaku pemasok

kebutuhan peternak atau perusahaan pengolahan.

Whang dan Cheung (2004) mendifinisikan rantai pasok (supply chain)

sebagai proses terintegrasi yang di dalamnya terdapat beberapa pelaku bisnis.

Lin, et al. (2006) cit. Utomo (2011) menyatakan bahwa pelaku bisnis tersebut

terdiri atas para pemasok (suppliers), pusat-pusat pengolahan, werehouses,

pusat-pusat distribusi dan penjual retailer di mana bahan baku work-in-process

dan produk jadi mengalir dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya. Dalam penelitian

ini, rantai pasok dibatasi dalam aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal

yang melibatkan lembaga petani dan pedagang selaku pemasok jagung ke

perusahaan industri (firm industry) atau ke peternak selaku konsumen pengguna

jagung.

Rantai pasok (supply chain) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh para pelaku bisnis dalam satu aliran material dan informasi dari sejak

dihasilkan oleh produsen penghasil bahan baku, pengangkutan, pengolahan,


21

penyimpanan, distribusi sampai ke tangan pelanggan. Sementara Indrajit dan

Djokopranoto (2003) cit. Prihatiningsih (2007) mengungkapkan bahwa rantai

pasok (supply chain) adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang

produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini juga merupakan

jaringan atau jejaring (networks) dari berbagai organisasi yang saling

berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin

menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang (Prihatiningsih, 2007).

Dapat dipahami bahwa rantai pasok (supply chain) sesungguhnya

terbentuk akibat adanya kebutuhan dari para pelaku bisnis dalam rangka

menciptakan nilai guna, yaitu guna bentuk, guna tempat dan guna waktu, serta

guna milik. Tiap-tiap pelaku bisnis menciptakan nilai guna yang apabila

dikomulatifkan akan menghasilkan nilai bagi pelanggan (customer value).

Rantai pasok (supply chain) kadang-kadang disebut juga jejaring logistik,

namun menurut Tunggal (2011) istilah jejaring logistik berbeda dengan rantai

pasok. Tunggal (2011) mendifinisikan jejaring logistik sebagai rantai aliran

barang yang memungkinkan perpindahan barang dari satu produsen ke

konsumen, sementara rantai pasok (supply chain) dimaksudkan untuk memenuhi

kebutuhan pelanggan dan pelanggan merasa puas.

Rantai pasok (supply chain) lebih difokuskan pada jaringan fisik para

pelaku bisnis, yaitu perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengadaan

bahan baku, pemasok, memproduksi barang, menginformasikan aliran bahan

baku dan barang jadi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan mengirimkan

barang jadi tersebut kepada pemakai akhir (Thomas dan Grifin, 1996), sehingga

belum melibatkan fungsi koordinasi antar pelaku bisnis.


22

Dalam rantai pasok (supply chain) terkadung makna terjalinnya hubungan

antara lembaga sebagai bentuk hubungan antara penjual dan pembeli yang di

dalamnya terkandung makna pertukaran relasional. Dwyer et al. (1987) cit.

Tanaya (2002) mencatat ada 5 (lima) fase dalam pengembangan hubungan

penjual-pembeli, yaitu (1) kesadaran, (2) eksplorasi, (3) ekspansi, (4) komitmen,

dan (5) pembubaran.

Dengan demikian dapat dirangkum pengertian rantai pasok (supply chain)

sebagai serangkaian aktivitas penciptaan nilai guna (manfaat) bagi para pelaku

bisnis dari pengadaan bahan baku (jagung), proses produksi, pengangkutan,

penyimpanan, dan distribusi sampai di tangan pelanggan. Dalam penelitian ini

akumulasi nilai guna bagi produsen diukur menggunakan surplus produsen.

2.2.2 Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management)

Di antara pelaku bisnis menghendaki adanya suatu kelangsungan dalam

aliran material dan informasi dalam suatu rantai pasok sehingga menjamin

proses produksi dan distribusi secara ajek dan kontinyu dalam suatu mekanisme

kerjasama yang saling mengikat sehingga membentuk apa yang disebut

manajemen rantai pasok (supply chain management, SCM). Dengan kata lain,

manajemen rantai pasok adalah pengelolaan bisnis antar berbagai aktivitas

untuk memperbaiki hubungan perusahaan dengan mitra bisnis untuk mencapai

keunggulan kompetitif (Whang dan Cheung, 2004; Utomo, 2011), kemudian

Anatan dan Ellitan (2008) menyebutnya sebagai jejaring bisnis (network

business).

Menurut Widodo, et al. (2011) manajemen rantai pasok adalah suatu

manajemen terhadap aliran material dan aliran informasi serta modal yang

mengikutinya dari awal sampai akhir mata rantai bisnis untuk mengoptimalkan
23

pemenuhan kebutuhan setiap lembaga di dalam rantai pasok tersebut. Tunggal

(2011) mengutip definisi manajemen rantai pasok dari Ross (2008) adalah filosofi

manajemen yang secara terus menerus mencari sumber-sumber fungsi bisnis

yang kompeten untuk digabungkan baik yang ada di dalam perusahaan maupun

di luar perusahaan seperti mitra bisnis yang berada dalam satu rantai pasok

untuk memasuki sistem supply yang kompetitif tinggi dan memperhatikan

kebutuhan pelanggan, fokus pada pengembangan solusi inovatif dan sinkronisasi

aliran produk, jasa, dan informasi untuk menciptakan sumber nilai pelanggan

(customer value) yang bersifat unik.

Yang membedakan rantai pasok dan manajemen rantai pasok adalah

adanya koordinasi dan keterikatan antar pelaku-pelaku bisnis dalam satu rantai

pasok, yaitu suatu kesadaran bersama untuk membangun jaringan bisnis yang

saling membantu, saling menguntungkan dan terikat satu sama lain dalam satu

disiplin dalam rangka membangun suatu kebersamaan untuk menghasilkan nilai

guna yang dapat memberikan kepuasan bagi konsumen akhir. Masing-masing

pelaku bisnis terbangun oleh satu ikatan kepentingan yaitu menghasilkan

keuntungan (surplus produsen) yang berkelanjutan atau adanya ikatan yang

saling membutuhkan, saling memelihara, dan saling membesarkan, dan bebas

dari persaingan internal dalam satu rantai pasok, namun membangun keung-

gulan kompetitif dengan produk sejenis atau produk subtitusinya (Widodo, et al.,

2011).

Dipertegas juga oleh Hervani, et al. (2005) bahwa manajemen rantai

pasok harus melibatkan koordinasi dan manajemen suatu jaringan yang

kompleks tentang aktivitas pengembangan dari produk jadi hingga pemakai

terakhir atau pelanggan. Childerhouse dan Topwill (2002) dan Huang, et al.
24

(2003) memastikan ada perusahaan yang berperan sebagai integrator di antara

para pelaku bisnis: supplier, firm, distributor, dan customer dengan

menggunakan media informasi. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai

integrator adalah avalis, yaitu perusahaan yang berperan sebagai penyedia

teknologi, informasi, fasilitas dan modal, sementara Pembina Wilayah/Koperasi

berperan sebagai lembaga mediasi atau penghubung antara kelompok tani

dengan avalis.

Manajemen rantai pasok sebagai alat yang ampuh untuk mencapai

kolaborasi, sementara kolaborasi merupakan media dalam menfasilitasi aliran

teknologi, informasi, modal dan komoditas. Di pihak lain Mathuramaytha (2011)

telah menggagas model teoritis kolaborasi (kerjasama) yang dikaitkan dengan

keunggulan kompetitif produk dan kinerja organisasi. Kelebihan manajemen

rantai pasok sangat banyak, seperti pengurangan kerugian produk, peningkatan

penjualan, pengurangan biaya transaksi, kontrol yang lebih baik dari kualitas dan

keamanan produk dan diseminasi teknologi, modal dan pengetahuan di antara

mitra. Manajemen rantai pasok telah dikembangkan dan diimplementasikan di

seluruh rantai untuk menjamin optimal keragaan rantai pasok (Roekel, et al.,

2002). Dalam penelitian ini, keragaan manajemen rantai pasok ditunjukkan oleh

indikator koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal yang

dihubungkan dengan kesejahteraan petani.

2.2.3 Manajemen Rantai Pasok Untuk Agroindustri

Perusahaan yang bergerak pada agroindustri adalah perusahaan yang

menghasilkan input pertanian dan yang mengolah freshmaterial dari pertanian.

Freshmaterial produk pertanian memiliki sifat antara lain musiman, perishable


25

dan variasi dalam produksi. Sifat-sifat ini akan berpengaruh dalam rantai

pasoknya.

Sifat musiman dari produk pertanian membutuhkan waktu penyimpanan

yang cukup lama untuk disesuaikan dengan permintaan konsumen. Juga produk

pertanian dihasilkan dari kebun atau ladang petani yang letaknya tersebar

mengharuskan untuk dibawa ke pusat pengolahan dan kemudian produk

olahannya didistribusikan kepada para pelanggan yang letaknya tersebar.

Karakteristik ini menempatkan moda transportasi sebagai nadi dari pergerakan

material dalam satu rantai pasok (supply chain).

Memperbaiki sifat-sifat yang negatif dari produk pertanian segar ini

dirasakan semakin dibutuhkannya peranan dari teknologi pengolahan pangan,

teknologi informasi, pengetahuan dan softasset-lainnya dalam meminimalisasi

biaya dalam manajemen yang berbasis rantai pasok (Widodo, et al., 2011).

Ada enam faktor kunci yang harus diperhatikan dalam manajemen rantai

pasok untuk agroindustri yaitu: kualitas, teknologi, logistik, teknologi informasi,

regulasi kebijakan dan konsumen (Bourlakis dan Weigtman, 2004).

Tujuan dari manajemen rantai pasok untuk agroindustri adalah

meminimalisasi biaya dalam setiap aktivitas dalam rantai pasok guna

memperbesar keutungan total, yaitu meminimalisasi loss dan reject product,

mengefisiensikan biaya proses, biaya angkut dan biaya simpan per unit,

sehingga harga jual di tingkat konsumen dapat ditekan untuk memberikan

kepuasan konsumen yang lebih besar. Sementara Tunggal (2011) menyebutkan

tujuan dari manajemen rantai pasok adalah memaksimalkan persaingan dan

keuntungan (laba) bagi perusahaan dan seluruh lembaga dalam rantai pasok

termasuk pelanggan akhir. Dalam penelitian ini dianalisis sejauh mana


26

keterkaitan antara manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis terhadap

kesejahteraan petani jagung, serta keberlanjutan pasokan jagung dari petani ke

pedagang perantara (pemasok).

2.2.4 Sistem Indek Pengukuran Keragaan Manajemen Rantai Pasok

Pengembangan balanced scorecard adalah suatu metode pengukuran

yang mengintegrasikan pengukuran keragaan keuangan dan kekuatan yang

mengendalikan keragaan manajemen rantai pasok pada masa yang akan datang

yang mencerminkan keseimbangan tujuan jangka pendek dengan tujuan jangka

panjang baik indek keuangan maupun indek non-keuangan dan indek-indek

lainnya dengan mempertimbangkan strategi untuk mencapai tujuan.

Pengembangan balanced scorecard (the enhanced balanced scorecard)

terdiri atas 5 (lima) aspek yaitu: loyalitas pelanggan, prosedur rantai pasok,

pengembangan ke depan, nilai keuangan dan nilai dari lingkungan (Guangyin,

et al., 2010). Oleh karena pengukuran ini merupakan pengembangan atas

metode pengukuran keragaan rantai pasok yaitu balanced scorecard, maka

sistem indek ini diintroduksi dengan mengambil salah faktor kunci sebagai

indikator integrasi proses bisnis: hubungan baik dengan pelanggan, prosedur

operasonal dengan biaya rendah, pengembangan ke depan, kesehatan aliran

kas, dan penyerapan tenaga kerja.

2.2.5 Teori Kolaborasi Rantai Pasok (The Supply Chain Collaboration


Theory)

Hampir semua lembaga atau organisasi sedang dalam proses

mengadopsi manajemen rantai pasok yang mana pada akhir-akhir ini mulai

dirasakan bahwa manajemen rantai pasok tidak cukup untuk meningkatkan

efisiensi suatu organisasi, melainkan masih diperlukan peningkatan keunggulan


27

kompetitif komoditas melalui peningkatan efisiensi. Kolaborasi adalah salah satu

yang mampu mengatasi masalah inefisiensi (Mathuramaytha, 2011).

Keragaan
Pasar

Keragaan
Organisasi
Keragaan
Keruangan

Keunggulan
Kolaborasi Rantai
Kompetitif
Pasok
Ketidak Pastian
Lingkungan :
• Ketidak Pastian
Pelanggan
• Ketidak Pastian
Supplier Y1 Y2 Y3 Y4 Y5
BIF SNK KSI

Keterangan :
BIF = Berbagi informasi Y1 = Rasio Harga/Biaya
SNK = Singkronisasi keputusan Y2 = Kualitas produk
KSI = Keselarasan insentif Y3 = Ketergantungan pengiriman
Y4 = Inovasi produk
Y5 = Waktu tempuh ke pasar

Gambar 2.2 Konsep Model Teoritis Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai
Pasok
Sumber : Mathuramaytha (2011).

Telah banyak diidentifikasi bahwa kolaborasi (kerjasama) mampu

meningkatkan keragaan rantai pasok. Dengan kolaborasi dapat berbagi

investasi besar, resiko, dan sumber daya, serta meningkatkan pertumbuhan yang

wajar dan laba atas investasi. Kolaborasi telah terbukti sebagai kekuatan

pendorong yang efektif bagi organisasi rantai pasok, sehingga dapat dianggap

sebagai kemampuan inti. Kolaborasi antar lembaga yang terlibat dalam rantai

pasok telah mampu memastikan pencapaian manfaat potensial. Munculnya teori

kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory) menciptakan

kebutuhan pada level antara agar dapat membantu para anggota berhasil dalam

berkolaborasi, yaitu manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis.

Kolaborasi telah banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir, sehingga

dalam penelitian ini akan dielaborasi kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui berbagi informasi,

membuat keputusan bersama, dan berbagi manfaat dari dicapainya keuntungan

yang lebih besar serta dicapainya kepuasan konsumen akhir yang lebih tinggi
28

bila dibandingkan bertindak sendiri-sendiri. Konsep kolaborasi terdiri atas 3 (tiga)

demensi, yaitu : berbagi informasi, sinkronisasi keputusan, dan keselarasan

insentif (Mathuramytha, 2011).

Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok mendukung keunggulan

kompetitif produk. Keunggulan kompetitif menunjukkan bahwa sejauh mana

sebuah organisasi mampu menciptakan perlindungan atas produknya dari para

pesaing. Keunggulan kompetitif terdiri atas 5 (lima) demensi yaitu : harga yang

kompetitif, harga premium, nilai ke pelanggan yang berkualitas, pengriman yang

dihandalkan dan inovasi produksi (Mathuramaytha, 2011).

Konsep model teoritis kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok ini

diadopsi dalam sistem indek pengukuran keragaan rantai pasok dari Guangyin,

et al. (2010) dan indikator keragaan keuangan dari Safiee, et al. (2011). Lebih

lanjut bahwa konsep model kolaborasi di atas dilengkapi dengan menggunakan

kepuasan pelanggan dari Mentzer, et al. (2001) cit. Ballau (2004) surplus

produsen, pengeluaran rumah tangga dan tabungaan investasi sebagai indikator

kesejahteraan petani (Just, et al. , 2004).

Keragaan manajemen rantai pasok sudah banyak diteliti di antaranya

Irmawati (2007) dan Adinugroho (2010). Oleh karena itu, pada penelitian ini

dilakukan elaborasi keterkaitan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis,

keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

terhadap kesejahteraan petani jagung yang mana indikator masing-masing

diintroduksi dari Thomas dan Grifin (1996) dan Widodo et al., (2011); dan

Hervani, et al. (2005) menegaskan bahwa manajemen rantai pasok harus

melakukan koordinasi dalam suatu jaringan bisnis yang komplek tentang aktivitas

pengembangan dari suatu produk.


29

Konsep model teoritis kolaborasi rantai pasok dari Mathuramaytha (2011)

di atas yang menempatkan keragaan organisasi sebagai outcome dimodifikasi

dengan kesejahteraan petani sebagai outcome penelitian ini, sebab petani

merupakan satu di antara pelaku dalam rantai pasok jagung, sehingga tidak saja

menganalisis hubungan kolaborasi antar lembaga dengan manajemen rantai

pasok, namun melihat pengaruh kolaborasi antar lembaga dan manajemen rantai

pasok terhadap keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani jagung.

2.2.6 Teori Surplus Produsen

Surplus produsen menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat

sebagai balas jasa atas penggunaan faktor-faktor produksi langka (input) dan

hasil produksi (output). Oleh karena surplus produsen dapat digunakan untuk

mengukur kesejahteraan masyarakat, maka surplus produsen dapat pula

digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani jagung.

Surplus produsen adalah keuntungan produsen karena adanya selisih

harga yang sebenarnya (harga pasar) dengan harga yang bersedia diterima oleh

produsen untuk melepaskan hasil produksinya. Selisih ini merupakan marjin

kontribusi dari suatu kegiatan produksi. Secara geometri, surplus produsen

sama dengan ½ marjin kontribusi dikalikan kuantitas produksi.

Sinaga (1989) telah merumuskan secara matematik perubahan surplus

produsen:

SP = QSb (Hb-Hs) ± 0,5 (QSb-QSs)(Hb-Hs)

Keterangan :
SP = surplus produsen QS = jumlah penawaran
H = harga b = dasar (basis)
s = skenario
30
P
MC, S

P0 ATC
AVC
P1
MR

q0 q

Gambar 2.3 Surplus Produsen


Sumber : Dimodifikasi dari Just, Hueth dan Schmitz (2004)

Keterangan:
P = harga
q = kuantitas produksi

Dalam menganalisis proses terbentuknya surplus produsen dapat

dijelaskan melalui pendekatan biaya marjinal (MC) dan biaya rata-rata total

(ATC), biaya rata-rata variabel (AVC) dan marginal revenue (MR) sebagai mana

tampak pada Gambar 2.3.

Just, et al. (2004) menyatakan bahwa laba dapat mengukur surplus

produsen dan kesejahteraan produsen dengan menggunakan kriteria variasi

kompensasi (compensating variation) dan variasi equivalen (equivalent variation).

Dalam pasar persaingan sempurna, tidak ada timbul surplus produsen bagi

produsen individu, dengan kata lain keuntungan ekonomi didorong menjadi nol.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang diukur surplus produsennya adalah

usahatani dengan asumsi struktur pasar persaingan sempurna, maka lebih tepat

apabila yang dianalisis adalah marjin kontribusi masing-masing usahatani.

Pada Gambar 2.3 besarnya compensating variation adalah daerah yang

diarsir, karena profit pada p0 yang lebih besar dari pada p1. Pada sisi lain,

equivalent variation yaitu jumlah uang yang jika diberikan kepada produsen tidak

merubah tingkat kesejahteraanya bila terjadi penurunan harga dari p0 ke p1 , yang


31

besarnya sama dengan equivalent variation. Jadi suplus produsen adalah

daerah di atas kurve penawaran S=MC (supply) dengan batas tertinggi harga

dengan batas bawah kurve AVC (kurve biaya variabel rata-rata minimum).

Dengan demikian perubahan surplus produsen mencerminkan perubahan

kesejahteraan para pemilik faktor produksi berupa sewa bagi pemilik faktor

produksi tetap, upah bagi tenaga kerja dan bunga bagi pemilik modal dan

keuntungan bagi manajemen perusahaan. Dengan demikian, surplus produsen

merupakan akumulasi dari rantai nilai yang dihasilkan oleh pihak yang terlibat

dalam rantai pasok.

2.2.7 Teori Strategi Kompetitif (The Competitive Strategy Theory)

Yang membedakan rantai pasok dengan bukan rantai pasok terletak pada

cara memandang persaingan. Dalam rantai pasok yang bersaing adalah

keseluruhan lembaga dalam rantai pasok, bukan bersaing secara individual

(Christopher, 2002; Anatan dan Ellitan, 2008).

Keunggulan kompetitif ada pada level konsumen, sehingga keberhasilan

atau kegagalan rantai pasok ditentukan oleh konsumen akhir. Keunggulan

kompetitif ditentukan oleh kemampuan dalam menyediakan kualitas dan

kuantitas produk yang tepat, harga yang tepat dan waktu yang tepat yang

direspon positif oleh konsumen. Dengan kata lain mampu memaksimalkan

kepuasan konsumen dengan pemahaman perubahan situasi pasar.

Dari sisi produsen mampu menghasilkan produk yang berkualitas dengan

biaya yang minimal. Kemampuan relatif internal rantai pasok dalam

meminimalisasi biaya pada kualitas produk sejenis tertentu disebut keunggulan

komparatif. Mengkombinasikan keungulan komparatif dan kompetitif menjadi

bagian integral dari strategi rantai pasok dalam memenangkan persaingan.


32

Mengkombinasikan keunggulan komparatif dan kompetitif suatu produk

yang berada dalam tanggungjawab dan koordinasi integrator dengan

menerapkan teori strategi kompetitif (the competitive strategy theory) dinilai

sebagai strategi yang tepat. Teori strategi kompetitif dikembangkan oleh Michael

F. Porter dari Harvard Business School. Teori strategi kompotetif ini selanjutnya

dikenal dengan analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu

membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu

produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan

peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila

lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam keuntungan. Ada 5 (lima)

model (five forces model) analisis menurut Porter yaitu (Porter, 1988)

1. Ancaman Pendatang Baru (threat of new entrants)

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari ancaman pendatang

baru:

a. Skala ekonomi, apabila dapat diproduksi dengan skala kecil, maka dengan

mudah pesaing baru masuk dengan skala industri yang sama.

b. Kurve pembelajaran, untuk mendapatkan skala ekonomi yang efisien

dibutuhkan jangka waktu tertentu, semakin cepat dicapai tingkat efisiensi

yang tinggi, maka semakin cepat datangnya ancaman dari pesaing baru;

c. Biaya yang tidak terkait dengan skala produksi, jika memiliki softasset,

seperti hak paten, merek dagang, akses ke bahan baku, hak manajemen /

perizinan dari pemerintah, serta adanya barrier yang diberikan pemerintah,

maka akan menghambat masuknya pesaing baru;

d. Diferensiasi produk, yaitu produk yang dihasilkan memiliki keunikan yang

sulit ditiru akan menghambat masuknya pesaing baru;


33

e. Kebutuhan modal, apabila dalam proses produksi memerlukan modal

yang relatif kecil untuk mencapai skala yang efisien, maka ancaman

datangnya pesaing baru akan semakin besar, sebaliknya apabila

membutuhkan modal yang besar akan menghambat datangnya pesaing

baru;

f. Biaya perpindahan, adalah biaya yang dibutuhkan untuk pindah dari satu

suppliers ke suppliers lainnya. Jika tidak membutuhkan biaya

perpindahan yang besar, maka akan memperbesar peluang masuknya

pesaing baru;

g. Akses ke jalur distribusi adalah sejauh mana dapat memanfaatkan jalur

distribusi yang tersedia dalam memasarkan suatu produk. Jalur distribusi

memiliki peranan yang krusial bagi industri, sebab kesalahan dalam

memilih jalur distribusi dapat menghambat pendistribusian produk, dalam

hal ini apakah menganut prinsip close distribution channel atau open

distribution chanel.

h. Antisipasi pertumbuhan. Pangsa pasar yang besar kurang berpengaruh

terhadap datangnya pesaing baru, namun bila pangsa pasar relatif kecil,

sementara pendatang baru dengan cepat bertambah jumlahnya, maka

akan sangat terasa pengaruhnya bagi tercapainya keuntungan

perusahaan, sebab pangsa pasar yang tersedia akan dibagi dengan

jumlah pelaku bisnis yang banyak, maka masing-masing akan

memperoleh share yang relatif kecil.

2. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pemasok (bargaining power of suppliers)

Antara industri dan pemasok saling membutuhkan, sehingga tercipta

hubungan satu dengan lain dalam jalinan tawar-menawar, di mana industri


34

menghendaki agar memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang

relatif lebih murah, sementara pemasok menghendaki harga penjualan yang

lebih tinggi. Oleh karena itu terjadi nego dalam menentukan harga, atau

menyediakan potongan harga khusus bagi industri. Ada beberapa teknis

pelaksanaan potongan ini:

a. Credite After Delevery, biasanya tampa potongan dengan masa tenggang

maksimal 2 bulan;

b. Cash on Delevery, disediakan discount harga yang besarnya 1 s.d 5%;

c. Cash Before Delevery, di samping memperoleh discount for cash on

delivery, juga menerima discount sales yang besarnya antara 1 s.d 5%.

Apabila pemasok memiliki bargaining power yang kuat, maka pemasok

dapat menawarkan harga yang tinggi untuk menangkap keuntungan industri,

dan sebaliknya bila persaingan antar pemasok relatif ketat dan bargaining

power-nya rendah, maka pemasok menawarkan harga yang rendah.

3. Kekuatan Tawar-Menawar dari Pembeli (bargaining power of buyers)

Efisiensi dalam rantai pasok akan berdampak pada harga beli. Pembeli

menghendaki harga yang rendah untuk memaksimalkan kepuasannya,

sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jumlah dari jenis barang.

Menghadapi harga suatu produk tertentu, pembeli sebagai penentu harga

tergantung pada struktur pasarnya. Pasar dengan struktur monopsoni,

pembeli lebih kuat pengaruhnya dalam menentukan harga, sementara

menghadapi pasar monopoli, maka pembeli hanya sebagai penerima harga

(price taker), sedangkan penjual sebagai penentu harga (price maker).

4. Ancaman Produk atau Jasa Pengganti (threat of substitute products and


services)
35

Ancaman produk atau pengganti ini sangat tergantung pada sifat

hubungan antara produk atau jasa yang ditawarkan dengan produk atau jasa

pengganti. Bagi produk pengganti yang bersifat subtitusi sangat tergantung

pada elastisitas harga silangnya. Perubahan harga relatif produk pengganti

akan mempengaruhi kuantitas produk yang diminta atau ditawarkan. Bagi

produk dengan elastisilas silang yang elastis, maka perubahan harga yang

kecil dari produk pengganti akan berdampak pada perubahan kuantias yang

relatif besar.

Semakin banyak produk atau jasa subtitusi yang tersedia di pasar, maka

permintaan semakin elastis, sebab pembeli semakin banyak pilihan dalam

membeli produk atau jasa yang tersedia. Di antara produk subtitusi dari

jagung adalah beras, kacang kedele, kacang tanah dan kacang hijau.

Peningkatan harga beras akan berdampak pada peningkatan harga jagung,

demikian pula kenaikan harga kedele akan berdampak pada meningkatnya

harga jagung, sebab jagung merupakan subtitusi dari beras dan kedele.

5. Persaingan Kompetitif Antar Industri (competitive rivalry within the industry).

Apabila persaingan dalam industri rendah, mencerminkan struktur pasar

yang cenderung kearah monopoli atau monopsoni. Hal ini harus dicegah

dengan meningkatkan akses untuk memasuki pasar, yaitu dengan

memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk masuk sebagai pesaing

baru. Tetapi bagi perusahaan memerlukan suatu keunikan produk agar tetap

pada posisi struktur pasar yang monopolitik. Bagi perusahaan dapat memilih

beberapa alternatif berikut untuk mengejar suatu keuntungan, yaitu:

a. Mengubah harga untuk mendapatkan keuntungan sementara;


36

b. Menambah diferensiasi produk, menambah atribut, menambah vitur, dan

inovasi kegunaan produk;

c. Melakukan kreasi dalam distribusi, misalnya melakukan integrasi vertikal

atau memperluas jangkauan wilayah pemasaran dengan membentuk

dealer distributor di daerah-daerah yang selama ini masih blankspot.

d. Melakukan eksploitasi relasi dengan pemasok dan menggandeng pemasok

produk lain yang telah memiliki pangsa pasar yang luas, misalnya

mengintegrasikan penjualan benih jagung dengan pupuk yang memiliki

jaringan pemasaran yang luas.

Sekaitan dengan five forces, Porter mengidentifikasi tiga strategi umum

pada tingkat unit bisnis, yaitu:

1. Kepemimpinan dalam biaya, yaitu mampu menekan biaya seminimal

mungkin, sehingga menjadi yang paling efisien dalam industri;

2. Deferensiasi dalam produk, yaitu memiliki keunikan produk yang tidak dapat

ditiru oleh firm lain dalam industri, sehingga memiliki pelanggan yang loyal;

3. Fokus pada satu produk yang menjadi handalan.


BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Fikir

Produksi jagung di Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 2001 s.d 2010

menunjukkan trend yang meningkat (BPS NTB, 2011). Menurut pendapat Sjah

(2011) laju peningkatan eksponensial produksi jagung di NTB sebesar

22,36%/tahun. Peningkatan produksi jagung tersebut belum diikuti oleh

peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan (Tabel 1.2), disebabkan harga

jagung yang diterima relatif rendah bila dibandingkan dengan biaya sosial yang

dikorbankannya (Sadikin, 1999).

Persoalan kebijakan harga dan mekanisme pasar jagung yang tidak

transparan di NTB berimplikasi terhadap kesejahteraan petani jagung.

Sementara transfer bersih yang menggambarkan perubahan surplus produsen

yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah menunjukkan angka negatif, dihitung

dari hasil pengurangan antara keuntungan bersih yang diterima produsen

dengan keuntungan bersih sosial. Hal ini mengindikasikan telah terjadi

pengalihan surplus dari produsen jagung ke pihak lain. Kehilangan surplus

terbesar adalah terjadi pada rejim perdagangan sebesar Rp 2,83 juta/ha/musim.

Artinya, dalam agribisnis jagung di daerah NTB telah terjadi pengalihan

keuntungan dari pihak produsen (petani) ke pihak lain di luar manajemen

agribisnis jagung, baik sebagai pelaku pasar input, maupun pelaku pasar output.

Juga keuntungan yang diterima petani jagung di NTB lebih rendah daripada

tingkat keuntungan sosial yang seharusnya. Pengaruh dari kebijakan pemerintah

dan mekanisme pasar ketika itu berdampak negatif terhadap struktur biaya
38

produksi, sebab biaya yang diinvestasikan petani lebih besar daripada tambahan

keuntungan yang dapat diterimanya (Sadikin, 1999).

Pada aspek pemasaran, petani dihadapkan pada keterbatasan akses

pasar dan informasi pasar (Anonimous, 2012). Akibatnya adalah apabila harga

naik di tingkat konsumen, maka informasi kenaikan harga itu terlambat

disampaikan ke petani, sebaliknya bila harga turun, maka segera para pedagang

menginformasikannya kepada para petani. Dengan penguasaan informasi yang

asimetris tersebut, para pedagang mengambil keuntungan dengan memperbesar

majin pemasaran (Tanaya, et al., 2002). Dengan demikian petani menerima

harga yang relatif rendah.

Rendahnya harga yang diterima oleh petani tidak terlepas dari kondisi

persaingan di antara para petani, di mana struktur pasar di tingkat petani yang

mendekati monopsoni, yaitu sejumlah besar petani menjual jagung dengan

atribut yang hampir sama, berhadapan dengan sejumlah kecil pembeli. Dengan

demikian posisi tawar (bargaining position) petani menjadi relatif rendah. Solusi

untuk mengatasi masalah ini adalah petani melakukan kolaborasi (kerjasama)

dengan perusahaan membentuk organisasi rantai pasok jagung.

Membentuk organisasi rantai pasok jagung dinilai belum cukup untuk

meningkatkan kesejahteraan petani, namun komoditas jagung harus dibuat

efisien atau dibuat memiliki keunggulan kompetitif. Banyak hasil penelitian telah

membuktikan bahwa kolaborasi (kerjasama) memberikan harapan bagi

peningkatan keunggulan kompetitif. Dinamika kolaborasi telah banyak

diidentifikasi sebagai suatu strategi yang penting dalam meningkatkan keragaan

manajemen rantai pasok (Hamid, 2011; Anatan dan Elitan, 2008). Kolaborasi

telah disebut sebagai kekuatan pendorong yang efektif untuk mencapai tujuan
39

manajemen rantai pasok. Dengan demikian kolaborasi dapat dianggap sebagai

kemampuan inti untuk menghasilkan keragaan organisasi yang tinggi

(Mathuramaytha, 2011).

Model bisnis yang terintegrasi dan kolaboratif telah disarankan sebagai

suatu pendekatan bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk

mengkombinasikan informasi lokal dan global untuk mencapai proses yang

multifokus dan fleksibel (Bartezzaghi, 1999). Argumen ini diperkuat oleh

Spekman, et al. (2001) yang mengemukakan bahwa integrasi proses bisnis

pada level multi-entrprise akan membawa dampak pada peningkatan keunggulan

kompetitif perusahaan dan peningkatan keragaan keseluruhan perusahaan

dalam rantai pasokan melalui penciptaan nilai (Anatan dan Elitan, 2008).

Keunggulan kompetitif adalah kemampuan organisasi rantai pasok untuk

melakukan proteksi atas produk mereka dalam menghadapi persaingan di pasar

dari serangan para pesaing. Untuk menguatkan keunggulan kompetitif ini Porter

(1988) mengajukan teori strategi kompetitif (the strategy competitive theory) yang

dikenal dengan analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu:

1) ancaman pendatang baru, 2) kekuatan tawar menawar dari pemasok,

3) kekuatan tawar menawar dari pembeli, 4) ancaman produk atau jasa

pengganti, dan 5) persaingan kompetitif antar industri. Analisis ini

membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu

produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan

peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok” apabila

lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam keuntungan (E.M.Porter,

http://id.wikipedia.org/ wiki/Michael-Porter, 2011).


40

Mekanisme tarik menarik antara kekuatan pembeli dan penjual akan

berlaku dalam satu rantai pasok. Petani sebagai penjual mengharapkan harga

jagung dapat ditingkatkan dengan mengambil surplus pada pedagang perantara,

pedagang perantara akan menuntut harga jual yang lebih tinggi untuk

mendapatkan surplus pada perusahaan industri pengolahan. Sebailknya

perusahaan industri pengolah menghendaki harga beli yang lebih rendah untuk

mendapatkan surplus pedagang perantara, demikian juga pedagang perantara

menekan harga di tingkat petani untuk memperbesar marjin laba yang

diperolehnya. Mekanisme ini akan menghasilkan trade off yang dapat

mengoptimalkan perolehan laba semua lembaga yang terlibat dalam rantai

pasok.

Dalam kondisi persaingan sebagai mana diuraikan di atas, kunci sukses

manajemen rantai pasok terletak pada kemampuan integrator dalam mengelola

tiga pertalian sebagai berikut:

PELANGGAN
Menemukan manfaat
yang dapat memenuhi
kebutuhan pada harga
yang dapat diterima

ORGANISASI
PESAING
RANTAI PASOK
Kemampuan proteksi
dari serangan pesaing Asset dan
pemanfaatannya

Gambar 3.1 Pertalian Manejemen Rantai Pasok (Anatan dan Elitan, 2008)
41

1. Pelanggan membutuhkan manfaat suatu barang, karena itu manajemen rantai

pasok harus mampu menghasilkan keunikan produk yang dihasilkannya, serta

mencari dan menemukan tingkat layanan yang dikehendaki oleh pelanggan

sesuai dengan daya belinya, pengiriman tepat waktu, dan responsif terhadap

kebutuhan dan keluhan konsumen (Spekman, et al., 2001 cit. Anatan dan

Elitan, 2008).

2. Dalam menghadapi pesaing, maka organisasi rantai pasuk harus mampu

mengoperasikan seluruh aktivitas secara efisien dengan memanfaatkan asset

yang tersedia di dalam dan di luar organisasi rantai pasok.

3. Perusahaan yang berperan sebagai integrator mampu mengelola anggota

rantai pasok agar dapat berproses pada biaya yang rendah dan memberikan

manfaat sesuai kebutuhan pelanggan (konsumen).

Kombinasi kekuatan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan

keunggulan kompetitif dipandang sebagai adopsi solusi spesifik dalam proses

yang berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

Pengukuran keragaan merupakan suatu bagian dari proses manajemen

strategik yang dapat memberikan informasi strategis komprehensif bagi para

pengambil keputusan (Mulyadi, 2001 cit. Puspita, 2007). Pengukuran keragaan

manajemen rantai pasok jagung merupakan satu upaya dalam manajemen yang

berperan mengintegrasikan keragaman input, proses dan output dari seluruh

sumberdaya yang tersedia. Keragaan manajemen rantai pasok diukur dengan

menggunakan 4 (empat) indikator yaitu: koordinasi antar pelaku dalam rantai

pasok, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal.

Untuk memecahkan permasalahan utama penelitian ini yaitu “sejauhmana

faktor kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok,
42

integrasi proses bisnis, dan keunggulan kompetitif terhadap kesejahteraan

petnani dan memilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan

kesejahteraan petani jagung” dan mencapai “goal“ penelitian, maka digunakan

tiga grand teori yang menjadi acuan dalam membuktikan hipotesis, yaitu teori

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, teori strategi kompetitif dan teori

surplus produsen. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Teori
Kolaborasi
Rantai
Pasok

Goal
Penelitian
"Peningkatan
Kesejahteraan
Petani" Teori
Teori
Strategi Surplus
Kompetitif Produsen

Gambar 3.2 Grand Teori Sebagai Kerangka Teoritis Untuk Mencapai Goal
Penelitian Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung

Kesejahteraan petani dapat tercapai apabila sebagian besar kebutuhan

rumah tangga petani dapat terpenuhi dari pendapatan yang diperolehnya.

Kebutuhan rumah tangga petani terdiri atas kebutuhan jangka pendek dan

kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan jangka pendek adalah kebutuhan untuk

memenuhi konsumsi rumah tangga yang terdiri atas kebutuhan pangan, dan non

pangan; sedangkan kebutuhan jangka panjang adalah tabungan untuk

memenuhi kebutuhan investasi.

Kerangka fikir penelitian dan hubungan antar variabel untuk meningkatkan

kesejahteraan petani digambarkan secara ringkas sebagai berikut:


43

INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME

X6 X8 Y6 Y7 Y8 Y9 Z5 Z6 Z7

X5 X7 X9
Manajem en Rantai Kesejahter aan
Pasok Petani Pr odusen
Integr asi
Pr oses Bisnis
Keunggulan
Kom petitif

X1 X2 X3 X4
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5
Ketidak Pastian Kolabor asi Antar Lem baga
Lingkungan : Dalam Rantai Pasok
• Ketidak Pastian
Pelanggan
• Ketidak Pastian
Supplier BIF SNK KSI
Keter angan :
X1 = Kesam aan Tujuan Y1 = Efisiensi Z5 = Sur plus pr odusen
X2 = Pem bagian Per an & Tanggungjawab Y2 = Kualitas pr oduk Z6 = Pengeluar an konsum si r um ah tangga petani
X3 = Pem bagian Resiko Y3 = Keter gantungan pengir im an Z7 = Pengeluar an investasi r um ah tangga petani
X4 = Fasilitator Y4 = Diver sifikasi pr oduk BIF = Ber bagi infor m asi
=X5 = Hubungan baik dengan pelanggan Y5 = Waktu tem puh ke pasar SNK=Sinkr onisasi keputusan
X6 = Pr osedur oper asional biaya r endah Y6 = Koor dinasi antar lem baga KSI = Keselar asan Insentif
X7 = Pengem bangan ke depan Y7 = Alir an pr oduk
X8 = Kesehatan alir an kas Y8 = Alir an pelayanan
X9 = Penyer apan tenaga ker ja Y9 = Alir an m odal

Gambar 3.3 3.3


Gambar Kerangka Fikir Penelitian
Kerangka dan Hubungan
Fikir Penelitian Antar Variabel
dan Hubungan UntukVariabel
Antar Meningkatkan
UntukKesejahteraan
Meningkatkan Petani
Kesejahteraan Petani
44

Sebagai input dalam penelitian ini adalah kondisi eksisting, yaitu

kerjasama yang telah terbangunan antar petani dalam kelompok tani dan

kerjasama antar kelompok tani dengan perusahaan yang berperan sebagai

avails. Introduksi manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis sebagai

proses, sementara keunggulan kompetitif jagung sebagai output, serta

peningkatan kesejahteraan petani sebagai outcome.

Dalam merumuskan hubungan kausalitas atau keterkaitan antar variabel

didasarkan pada teori kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration

theory) dari Mathuramaytha (2011), sedangkan introduksi manajemen rantai

pasok dan integrasi proses binsis masing-masing didasarkan dari hasil penelitian

Dewi (2013) dan pernyataan dari Bartezzaghi (1998) dan Spekman, et al. (2001).

Demensi kolaborasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

keunggulan kompetitif dan kinerja organisasi (Mathuramaytha, 2011). Dewi

(2013) mengemukakan bahwa manajemen rantai pasok berpengaruh terhadap

keunggulan kompetitif, sementara Bartezzaghi (1998) dan Spekman, et al. (2001)

mengungkapkan integrasi proses bisnis berdampak positif bagi peningkatan

keunggulan kompetitif.

Konsep manajemen rantai pasok yang selama ini berangkat dari

paradigma meningkatkan kepuasan konsumen telah mengorbankan

kesejahteraan petani, sehingga cenderung tidak adil. Oleh karena itu paradigma

tersebut perlu ditinjau dengan menyeimbangkannya dengan peningkatan

kesejahteraan petani.

Bartezzaghi (1999) dan Spekman (2001) mengemukakan bahwa

perpaduan antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi

proses bisnis pada level multi-entrprise akan membawa dampak pada


45

peningkatan keunggulan kompetitif dan peningkatan keragaan keseluruhan

perusahaan dalam rantai pasok melalui penciptaan nilai. Signifikansi pernyataan

ini telah dibuktikan oleh penelitian Mathuramaytha (2011) sebagai mana telah

ditegaskan di atas. Penciptaan nilai diproses dalam manajemen rantai pasok

atas koordinasi integrator (perusahaan) dan regulasi Pemerintah Daerah. Oleh

karena itu cukup beralasan untuk menduga bahwa integrasi proses bisnis dan

manajemen rantai pasok berpengaruh positf terhadap kesejahteraan petani.

Outcome yang diharapkan dari manajemen rantai pasok adalah

memaksimalkan laba keseluruhan anggota rantai pasok termasuk petani. Hasil

penelitian yang dilakukan Kustiari (2008) mengindikasikan bahwa perubahan

harga jagung dunia tidak ditransmisi sempurna ke harga pasar jagung domestik.

Pada penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa perkembangan harga jagung di

tingkat petani tidak mengikuti perubahan harga jagung tingkat dunia. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Sadikin (1999) di Provinsi Nusa Tenggara yang

menemukan bahwa surplus produsen yang dihasilkan petani tidak seluruhnya

dapat dinikmatinya, namun terjadi kebocoran kepada pelaku lain di luar

usahatani jagung (on farm dan outfarm). Melalui mekanisme kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan integrasi proses

bisnis diharapkan kebocoran ini dapat dihilangkan atau dikurangi, sehingga

dapat meningkatkan surplus produsen, yang mana pada gilirannya dapat

meningkatkan kesejahteraan petani jagung. Atas dasar uraian ini, maka

diperoleh argumentasi yang rasional bahwa peningkatan integrasi proses bisnis

dan perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani jagung.


46

3.2 Hipotesis Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsep

penelitian, dan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

Hipotesis-1 : Integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok berpengaruh positif terhadap manajemen rantai

pasok;

Hipotesis-2 : Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berkorelasi

positif dengan integrasi proses bisnis;

Hipotesis-3 : Manajemen rantai pasok, kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok dan integrasi proses bisnis berpengaruh positif

terhadap keunggulan kompetitif jagung;

Hipotesis-4 Manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis, keunggulan

kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani jagung;

Hipotesis-5 : Peningkatan kesejahteraan petani jagung dapat diupayakan

melalui strategi perbaikan manajemen dan kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok serta peningkatan integrasi

proses bisnis.

3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Rantai pasok adalah aliran produk, aliran informasi, aliran pelayanan dan

aliran modal dari petani selaku produsen jagung sampai dengan peternak

ayam sebagai konsumen pengguna dan sebaliknya.

2. Manajemen rantai pasok adalah suatu manajemen terhadap aliran material

dan aliran informasi serta modal yang mengikutinya dari awal sampai akhir
47

mata rantai bisnis untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan setiap

lembaga dan koordinasi antar lembaga di dalam rantai pasok tersebut.

3. Keragaan manajemen rantai pasok adalah ukuran penampilan prestasi yang

dicapai dari hasil manajemen lembaga yang terlibat dalam rantai pasok

mulai dari produsen sampai dengan pedagang perantara yang berperan

sebagai integrator. Indikator yang digunakan dalam mengukur keragaan

manajemen rantai pasok adalah koordinasi (Y6), aliran produk (Y7), aliran

pelayanan (Y8) dan aliran modal (Y9). Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan skala likert dari 1 (sangat tidak setuju) s.d 5 (sangat setuju),

selanjutnya dihitung nilai tertimbang dengan mengalikan rata-rata skor

dengan bobot. Penetapan bobot dianalisis menggunakan Analitical

Hyararchy Prosess (Lampiran 4).

4. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok (KRP) adalah kerjasama

antara petani dengan perusahaan dan / atau koperasi untuk merencanakan

dan melaksanakan kegiatan produktif. Pengukurannya dilakukan dengan

merata-ratakan skala indikator, yaitu kesamaan tujuan (X1), pembagian

peran dan tanggung jawab (X2), pembagian resiko (X3), fasilitator / pembina

lapang (X4);

5. Kesamaan tujuan (X1) adalah kesesuain tujuan antara petani dan pedagang

yaitu sama-sama memuaskan pelanggan / konsumen (skala);

6. Pembagian peran dan tanggung jawab (X2) adalah tingkat kejelasan

pembagian peran dan tanggungjawab antara petani dan pedagang perantara

(skala) yang mana petani berperan dan bertanggungjawab sebagai penyedia

bahan baku, sementara pedagang perantara sebagai pihak yang

melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran (skala);


48

7. Pembagian resiko (X3) adalah tingkat kejelasan pembagian resiko antara

yang ditanggung petani dan yang ditanggung pedagang perantara (skala);

8. Fasilitator (X4) adalah intensitas ketersediaan fasilitator yang bertugas

mendampingi (PL) petani dalam transfer teknologi dan manajemen

usahatani (skala) yang disediakan oleh pedagang perantara;

9. Berbagi informasi (BIF) adalah tindakan menangkap dan menyebarkan

informasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilan keputusan,

perencanaan dan pengendalian operasional rantai pasok (skala). BIF

dengan indikator : informasi harga (U1), informasi teknologi (U2), dan

informasi skim kredit (U3).

10. Singkronisasi keputusan (SNK) adalah proses pengambilan keputusan

bersama yang dilakukan melalui diskusi atau pertemuan dalam kontek

perencanaan dan operasional (skala) dengan indikator : V1= jenis input

produksi, V2 = kuantitas input, dan V3 = biaya modal.

11. Keselarasan insentif (KSI) adalah kerelaan anggota rantai pasok berbagi

biaya, resiko dan manfaat (Mathuramaytha, 2011) dan/atau memberikan

insentif harga beli jagung petani dibandingkan harga pasar dan/atau dapat

juga berupa hadiah atau penghargaan materi (skala). Indikator KSI adalah

harga input (W1), harga output (W2), dan berbagi biaya (W3).

12. Ketidakpastian pelanggan (KPP) tingkat yang menggambarkan sejauhmana

perubahan atas tuntutan selera pelanggan. Ketidakpastian pelanggan diukur

dari tersedianya pelanggan (skala);

13. Ketidakpastian pemasok (KPS) tingkat yang menggambarkan sejauhmana

perubahan dan ketidakpastian pasokan atas kualitas dan kinerja pengiriman.


49

Ketidakpastian pemasok diukur dari kepastian diperolehnya kualitas dan

ketapan tibanya pengiriman (skala);

14. Integrasi proses bisnis (IRP) adalah serangkaian penggabungan proses

untuk penciptaan nilai guna (manfaat) bagi para pelaku bisnis dari

pengadaan bahan baku (jagung), proses produksi, pengangkutan,

penyimpanan, dan distribusi sampai di tangan pelanggan. Integrasi proses

bisnis menyangkut aspek integrasi vertikal (memperpendek rantai pasok)

dan integrasi horizontal (sharing dalam pemanfaatan barang-barang modal).

Dalam penelitian ini integrasi proses bisnis diukur dari indikator hubungan

baik dengan pelanggan (X5), prosedur operasional biaya rendah (X6),

pengembangan ke depan (X7), kesehatan aliran kas (X8) dan penyerapan

tenaga kerja (X9);

15. Hubungan baik dengan pelanggan (X5) adalah membina hubungan yang

saling membutuhkan, membesarkan, dan menguntungkan bagi pelanggan

(skala).

16. Prosedur operasi biaya rendah (X6) adalah jumlah biaya produksi per unit

yang dapat dihemat akibat disatukannya berapa kegiatan untuk pananganan

pascaproduksi (skala);

17. Pengembangan ke depan (X7) adalah rencana perluasan areal tanam

usahatani jagung dengan mengintegrasikan sumberdaya internal dan

eksternal organisasi / lembaga rantai pasok (skala);

18. Kesehatan aliran kas (X8) adalah pengawasan atas biaya dan menjaga

aliran masuk dan keluar kas yang aman dari resiko kekurangan dana tunai.

Kesehatan aliran kas diukur dari ratio likuiditias, yaitu ratio aktiva lancar

dengan hutang lancar (skala);


50

19. Penyerapan tenaga kerja (X9) adalah jumlah tenaga kerja yang terserap

dalam aktivitas rantai pasok mulai dari usahatani, penangan pascaproduksi

dan pemasaran (skala);

20. Keunggulan kompetitif (KKP) adalah kemampuan organisasi intra rantai

pasok memproteksi diri dari serangan para pesaing (skala). Pengukurannya

menggunakan indikator efisiensi (Y1); kualitas produk (Y2), ketergantungan

pengiriman (Y3), diversifikasi produk (Y4), dan waktu tempuh ke pasar (Y5);

21. Efisiensi pada level petani atau usahatani (Y1) diukur dari produktivitas per

hektar dengan target produktivitas 10 ton/ha jagung tongkol kering panen

(skala);

22. Kualitas produk (Y2) adalah kualitas jagung dengan mengacu pada deskripsi

kualitas yang ditetapkan pada Standard Nasional Indonesia di mana : SNI-1

= 5; SNI-2 = 4; SNI-3 = 3; Non SNI-1 = 2; dan Non-SNI-2 = 1.

23. Ketergantungan pengiriman (Y3) adalah ketersediaan fasilitas pengiriman

produk dari produsen sampai dengan ke pedagang perantara yang

ditunjukkan dengan banyaknya alternatif sarana transportasi dan

perusahaan jasa angkutan yang dapat diakses untuk pengiriman produk ke

pelanggan dengan tepat waktu (skala);

24. Diversifikasi produk (Y4) adalah banyak variasi produk yang dihasilkan

sesuai dengan selera dan kebutuhan konsumen (skala);

25. Waktu tempuh ke pasar (Y5) adalah jumlah waktu yang dibutuhkan

pengadaan bahan baku sampai dengan tibanya produk kepada pedagang

perantara (skala);

26. Manajemen rantai pasok (MRP) adalah suatu proses pengelolaan sumber

daya yang tersedia di internal dan eksternal rantai pasok dari produsen
51

sampai dengan pedagang perantara untuk mengoptimalkan pemenuhan

kebutuhan setiap lembaga yang terlibat di dalam rantai pasok guna

menghasilkan nilai bagi pelanggan (Widodo, et. al., 2011; Anatan dan Elitan,

2008). Manajemen rantai pasok diukur dari indikator (skala): koordinasi

antar lembaga (Y6), aliran produk (Y7), aliran pelayanan (Y8) dan aliran

modal (Y9);

27. Koordinasi antar lembaga (Y6) adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan

dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah intra dan antar

organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien. Koordinasi ini diukur dari

frekuensi pelaksanaan koordinasi antara petani dengan pedagang (skala);

28. Aliran produk (Y7) adalah arus perpindahan produk jagung dari petani ke

pedagang perantara (skala);

29. Aliran pelayanan (Y8) adalah tindakan memenuhi harapan pelanggan dalam

memberikan perlakuan yang baik dan nyaman (skala);

30. Aliran modal (Y9) adalah persentase pembiayaan yang ditransfer dari pihak

kreditur kepada petani dan/atau pedagang perantara dan sebaliknya (skala);

31. Kesejahteraan petani (KSP) adalah ukuran (skala) yang menggambarkan

kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang meliputi

kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan serta

rekreasi. Kesejahteraan petani jagung diukur dari besaran surplus produsen

(Z5), pengeluaran konsumsi (Z6) dan pengeluaran investasi rumah tangga

petani (Z7);

32. Surplus produsen (Z5) adalah besaran keuntungan yang diterima oleh

produsen dengan menjual pada mekanisme harga pasar yang lebih tinggi

daripada harga minimal yang mereka bersedia untuk menjualnya. Harga


52

minimal sama dengan biaya variabel rata-rata. Perubahan surplus produsen

dihitung dengan rumus (Sinaga, 1989; Dumairy, 2012):

q
SP = (H – BVR) x ___
2
Keterangan : SP = surplus produsen (Rp)
H = harga pasar (Rp/kg)
BVR = biaya variabel rata-rata (Rp/kg)
q = produktivitas (kg/ha)

33. Pengeluaran konsumsi rumah tangga (Z6) adalah seluruh pengeluaran

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga (skala);

34. Pengeluaran Investasi rumah tangga (Z7) adalah jumlah penghasilan yang

disisihkan untuk tujuan investasi. Investasi adalah pengeluaran dengan

harapan memperoleh penghasilan pada masa yang akan datang (skala).

35. Pendapatan rumah tangga diukur melalui pendekatan pengeluaran konsumsi

pangan dan non pangan, pengeluaran investasi dan pengeluaran sosial

dinyatakan dalam satuan rupiah per orang per bulan, selanjutnya diklasifikasi

berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) September 2012 sbb:

No Daerah Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)


Pangan Non Pangan Total
1 Perkotaan 194 207 83 175 277 382
2 Perdesaan 185 967 54 474 240 441
Perkotaan + Perdesaan 190 758 68 762 259 520
Sumber: BPS, 2012

36. Strategi prioritas terbaik adalah pemilihan alternatif jalur yang pengaruhnya

terbesar terhadap peningkatan kesejahteraan petani jika dibandingkan

dengan jalur lainnya. Strategi prioritas terbaik dipilih dari koefisien jalur dan

koefisien diterminan terbesar daripada koefisien jalur dan koefisien

diterminan lainnya.
BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan

kualitatif. Pelaksanaannya dilakukan dengan pengumpulan fakta-fakta, diolah,

disusun dan dihubungkan antara satu atau beberapa variabel dengan variabel

lainnya untuk diinterpretasi secara tepat dan rasional. Penelitian bertujuan untuk

menggambarkan atau menjelaskan suatu peristiwa rantai pasok jagung yang

meliputi koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, aliran modal ke / dari petani

secara sistematis, faktual dan akurat.

Pendekatan kuantitatif terkait dengan hipotesis yang dibangun sebagai

jawaban sementara atas permasalahan penelitian dan mencapai tujuan yang

diinginkan atas dasar teori dengan menggunakan analisis Model Persamaan

Struktural Pangkat Terkecil Parsial (Structure Equation Modeling - Partial Least

Square) dan matematika serta interpretasinya menggunakan narasi. Data atau

informasi kualitatif ditransformasi menjadi kuantitatif dengan teknik skor

menggunakan skala Likert.

Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mengelaborasi proses interaksi

suatu variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya, yaitu bagaimana interaksi

variabel manajemen rantai pasok dan integrasi proses bisnis mempengaruhi

variabel kesejahteraan petani. Situasi, kondisi lokal dan kebutuhan-kebutuhan

stakeholders serta perubahan yang terjadi ketika dilaksanakan penelitiaan

diangkat sebagai nomena yang memperjelas proses interaksi antar variabel,

sehingga dapat menjelaskan proses terjadinya fenomena sosial ekonomi di

dalam lingkup objek penelitian (Sarwono, 2002).


54

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ditentukan secara purposive, yakni di Kabupaten

Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) karena merupakan daerah

sentra produksi jagung berdasarkan indikator luas panen dan produksi tertinggi

dan tersedia kelembagaan pemasaran terlengkap dan juga sebagai sentra

pemasaran jagung di NTB. Luas panen, produksi dan produktivitas jagung per

kabupaten tahun 2010 disajikan pada Lampiran 1.1. Peta lokasi penelitian dapat

dilihat pada Lampiran 2.

Waktu pengumpulan data dilaksanakan dari bulan September 2012 s.d

Januari 2014. Periode waktu tersebut digunakan untuk pengumpulan data

sekunder dan primer sebagai bahan penyusunan proposal, hasil penelitian dan

pembahasannya.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Pemilihan kecamatan sampel juga dilakukan dengan teknik pengambilan

sampel purposive sampling, yaitu kecamatan yang merupakan sentra produksi

jagung di Kabupaten Lombok Timur. Penentuan kecamatan dilakukan dengan

pertimbangan luas panen dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan

kecamatan lainnya. Berdasarkan data statistik bahwa sentra produksi jagung di

Kabupaten Lombok Timur adalah Kecamatan Pringgabaya dan Kecamatan

Wanasaba. Kecamatan Pringgabaya merupakan sentra produksi jagung yang

diusahakan di lahan kering (ladang), sedangkan Kecamatan Wanasaba sebagai

sentra budidaya jagung di lahan sawah. Data statistik luas panen, produksi dan

produktivitas jagung di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011 disajikan pada

Lampiran 1.2.
55

Pada tahun 2010 di Kecamatan Pringgabaya terdapat 14 desa yang

mengusahakan jagung diantaranya desa Pringgabaya Utara yang memiliki luas

panen dan produksi serta jumlah petani lebih banyak bila dibandingkan desa

lainnya (Kecamatan Pringgabaya Dalam Angka Tahun 2010). Sedangkan di

Kecamatan Wanasaba dari 10 desa yang mengusahakan budidaya jagung

terdapat Desa Bebidas yang memiliki luas panen dan produksi dan jumlah petani

lebih banyak bila dibandingkan desa lainnya (Kecamatan Wanasaba Dalam

Angka Tahun 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah lembaga yang terlibat dalam satu

segmen rantai pasok jagung dari petani, pedagang perantara / pemasok dan

konsumen pengguna jagung (peternak ayam petelur).

Atas dasar pertimbangan kelembagaan tersebut, maka pengambilan

sampel dilakukan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu sampel petani jagung,

pedagang perantara / pemasok dan peternak ayam petelur.

1. Sampel Petani

Unit analisis pada penelitian ini adalah rumah tangga petani yang

berusahatani jagung dengan pertimbangan bahwa penelitian ini melibatkan

kelembagaan petani sebagai hulu (up stream) dari rantai pasok jagung. Jumlah

unit populasi di lokasi penelitian sebanyak 3.098 rumah tangga petani terdiri dari

jumlah unit populasi di Desa Bebisas sebanyak 1.167 dan di Desa Pringgabaya

Utara sebanyak 1.931 unit rumah tangga petani jagung. Jumlah unit populasi

tiap-tiap desa dapat dibaca pada Tabel 4.1.

Jumlah unit sampel di tiap-tiap desa dihitung menggunakan rumus (Parel,

et al., 1973):
56

2 2
NZ σ
n = ________________ ……………………………………. (4. 1)
N.d + Z
2 2
σ2

Keterangan:
n = jumlah unit sampel
N = jumlah unit populasi
d = simpangan maksimum yang bisa ditoleri = 0,05
Z = tingkat kepercayaan 95% = 1,96 menurut tabel distribusi-z
2
σ = varians populasi luas lahan usahatani jagung
Oleh karena varians populasi (σ2) tidak diketahui, maka digunakan

penaksirnya dengan cara menghitung varians sampel (S2) luas lahan usahatani

jagung. Varians sampel dihitung dengan rumus:


2
(Xi – X )
2 _________________
S = ………………………………………… (4.2)
n-1

Usahatani jagung di Desa Bebidas dilaksanakan pada musim tanam

kemarau kedua (MK-2) di lahan sawah, sementara di Desa Pringgabaya Utara

dilaksanakan pada musim tanam penghujan (MH) di lahan ladang, maka

pengambilan sampelnya dilakukan dengan menerapkan teknik cluster sampling.

Prosedur penaksiran jumlah unit sampel di tiap-tiap desa sebagai berikut:

a. Data luas lahan usahatani dari 10 unit rumah tangga petani di Desa Bebidas

dipakai menaksir jumlah unit sampelnya dengan menggunakan rumus Parel,

et al. (1973). Hasil perhitungannya dapat dibaca pada Lampiran 1.3. Dari

hasil perhitungan pada Lampiran 1.3 dan Tabel 4.1 diperoleh penaksir jumlah

unit sampel sebanyak 45 unit rumah tangga petani. Untuk mencukupi jumlah

unit sampel yang dibutuhkan, maka pengumpulan data dilanjutkan sampai

mencapai 45 unit rumah tangga petani jagung dengan teknik simple random

sampling.
57

b. Di Desa Pringgabaya Utara digunakan data dari 13 unit rumah tangga petani

untuk menaksir jumlah unit sampelnya. Hasil penaksiran jumlah unit sampel

di desa Pringgabaya Utara sebanyak 75 unit rumah tangga petani jagung.

Hasil perhitungannya dapat dibaca pada Lampiran 1.4 dan Tabel 4.1. Untuk

mencapai jumlah unit sampel yang dibutuhkan, maka pengumpulan data

dilanjutkan sampai mencapai 75 unit rumah tangga petani jagung.

Hasil perhitungan jumlah unit sampel di tiap-tiap desa dengan

menggunakan rumus Parel, at al. (1973) sebagai berikut:

Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Per Desa Lokasi Penelitian

No Nama Desa Populasi1) Varians2) Sampel


Lokasi Penelitian (RT) Sampel (RT)
1. Bebidas 1 167 0,0308 45
2. Pringgabaya Utara 1 931 0,0509 75

Jumlah (RT) 3 098 - 120


1)
Sumber: Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan
(BP4K) Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012.
2)
Lampiran 1.3 dan 1.4
Keterangan: RT = Rumah Tangga.

2. Sampel Pedagang Perantara / Pemasok

Pengambilan sampel pedagang perantara / pemasok dilakukan dengan

teknik snowball sampling, karena tidak diketahui jumlah unit populasinya. Teknik

snowball sampling adalah menelusuri aliran produk jagung dari petani ke

pedagang perantara yang membeli jagung. Teknik snowball sampling (Mustafa,

2000) menghasilkan sampel yang representatif dalam penelitian pemasaran.

Penerapan teknik snowball sampling pada penarikan unit sampling

pedagang perantara (pemasok) dimaksudkan untuk memperoleh unit sampling

lembaga yang terlibat dalam rantai pasok termasuk lembaga penunjang seperti

lembaga perkreditan, jasa transportasi, dan lain-lainnya. Selain diperoleh data


58

aliran produk dari petani, juga dapat diperoleh informasi tentang aliran pelayanan

dan aliran modal, sehingga dapat digunakan sebagai data penunjang.

Teknik snowball sampling dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sbb:

a. Melakukan pendatatan nama-nama pedagang pengumpul yang ada di desa

dan pedagang pengumpul yang berasal dari luar desa yang melakukan

pembelian jagung ke desa, kemudian mendata alamatnya;

b. Menghubungi informan kunci yang dapat memberikan informasi tentang

kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh para pedagang perantara,

sehingga dapat dilakukan klasifikasi jenjang kelembagaannya masing-

masing;

c. Melakukan validasi pedagang perantara berdasarkan informasi yang

diterima dari petani yang digunakan sebagai rujukan untuk melakukan

penelusuran ke pedagang pengumpul.

d. Informasi dari pedagang pengumpul digunakan sebagai petunjuk untuk

menelusuri lebih lanjut ke pedagang besar atau perusahaan yang relevan

sesuai dengan aliran produk. Pendalaman informasi ini dilakukan secara

berjenjang dari satu pedagang ke pedagang berikutnya. Dengan metode

snowball sampling, diperoleh sebanyak 20 pedagang perantara dan 60

peternak ayam selaku konsumen pengguna jagung.

3. Sampel Konsumen Pengguna (Peternak dan /atau Indutri Pengolah)

Sampel konsumen pengguna terdiri atas peternak ayam petelur dan

perusahaan pengolahan (agroindustri). Sampel peternak ayam petelur adalah

peternak ayam petelur yang menggunakan jagung sebagai campuran pakan

ayam. Sampel perusahaan pengolahan adalah perusahaan yang mengolah

jagung menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.


59

Metode pemilihan sampel konsumen pengguna dilakukan dengan teknik

snowball sampling, karena tidak diketahui jumlah unit populasinya. yaitu dengan

melanjutkan penelusuran dari pedagang perantara / pemasok atau dari

pedagang pengecer.

Jumlah unit sampel konsumen pengguna (peternak ayam petelur)

disesuaikan dari hasil penelusuran dengan teknik snowball sampling tersebut.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Metode survei digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi primer

dari petani yang berusahatani jagung. pedagang perantara (pemasok) dan

peternak ayam petelur.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung (Daniel,

et al., 2005) dengan para petani, pedagang perantara (pemasok) dan konsumen

pengguna jagung. Untuk melengkapi data primer dilakukan wawancara

mendalam (indeph interview) dengan Ketua Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian

Lapang, Pedagang Perantara, Manajer Lapang Perusahaan dan Ketua

Kelompok Peternak Ayam.

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian

yang dikumpulkan oleh peneliti dari hasil observasi dan/atau survei (Suryabrata,

1983). Data primer yang dikumpulkan terdiri atas data kuantitatif dan data

kualitatif.

Data kuantitatif yang dikumpulkan terdiri atas luas lahan garapan, produksi,

harga jual jagung, penggunaan sarana produksi, tenaga kerja dari dalam dan luar

keluarga , peralatan, harga sarana produksi, upah tenaga kerja laki-laki dan upah

tenaga kerja perempuan, penyusutan, biaya modal, ongkos transportasi,

pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan, pengeluaran investasi,


60

pengeluaran sosial (zakat, infak dan sadakah), jenis kelamin, usia, pendidikan

responden, jumlah anggota rumah tangga produktif, dan kepemilikan telepon

genggam (handphone).

Data kuantitatif dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan

menggunakan kuesioner dengan pertimbangan (Zulganef, 2009; Utomo, 2011):

yaitu (1) memudahkan dalam pengumpulan data; (2) menghemat waktu

pengumpulan data; (3) mengurangi bias data.

Kuesioner yang telah disusun secara cermat, lengkap dan detil

didiskusikan dengan kolega sejawat untuk memperoleh masukan dan

penyempurnaan. Lebih lanjut dilakukan uji coba untuk menilai efektivitas dan

durasi waktu yang diperlukan untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan.

Hasil uji coba ini dijadikan bahan evaluasi untuk menyempurnakan kuesioner

dengan menambahkan item yang kurang atau membuang / mengurangi item

yang tidak penting dan melakukan uji reliabilitas instrumen.

Kuesioner dilengkapi dengan panduan wawancara, kertas kode,

pengolahan dan analisis data dan panduan supervisi bagi keperluan petugas

pembantu penelitian. Untuk mendapatkan hasil data yang memiliki reliabilitas

dan validitas yang handal, maka pembantu peneliti didampingi oleh peneliti

selama pengumpulan data.

Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indeph

interview). Data kualitatif yang dikumpulkan terdiri atas: (1) Jalur rantai pasok dari

petani, kelompok tani, koordinator lapang, pedagang perantara sampai dengan

konsumen; (2) Hubungan perusahaan dan petani meliputi: mekanisme, prosedur

dan persyaratan berkolaborasi (kerjasama), pembagian peran dan tanggung

jawab; dan sharing pembiayaan; (3) Usahatani jagung meliputi: sistem tanam,
61

lokasi penanaman, jadwal tanam, hak atas lahan usahatani, posisi tawar petani,

persaingan antar pedagang, sistem pengembalian pinjaman, permasalahan

dalam berusahatani; (4) Manajemen rantai pasok: pendampingan bagi petani,

komplik dan cara penyelesaian komplik antara Petugas Lapang (PL) dengan

petani, metode penetapan harga pasar, sistem bagi hasil, konvensasi biaya

pembinaan, sumber pembiayaan, koordinasi, aliran pelayanan, aliran produk dan

aliran modal, transfer teknologi (benih unggul, pupuk lengkap berimbang).

Selain data primer, peneliti membutuhkan data sekunder. Data sekunder

diperoleh dari pengutipan data pada dinas instansi yang terkait dengan agribisnis

jagung. Data sekunder berupa data time series harga jagung pipilan kering di

beberapa level (grosir dan pengecer), produksi, luas panen dan produktivitas

diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB

dan kabupaten yang wilayahnya terpilih sebagai lokasi penelitian. Data harga

yang dikumpulkan adalah data dari hasil pencatatan di level konsumen di pasar

lokal, serta harga di pedagang besar antar pulau) dari tahun 2001 s.d 2012,

sementara harga di level petani dikumpulkan dari berbagai sumber.

4.5 Metode Analisis Data

Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan analisis statistik deskriptif dan

inferensi. Analisis statistik deskriptif ditekankan pada upaya mengelaborasi

fenomena ekonomi yang terkait dengan analisis usahatani, pemasaran dan

rantai pasok jagung. Pada analisis usahatani ditampilkan parameter produksi,

produktivitas, harga, nilai produksi, biaya produksi, pendapatan usahatani, dan

surplus produsen usahatani.


62

Produksi adalah kuantitas jagung tongkol kering panen (kg) atau

dikorversi 0,60 menjadi jagung pipil kering simpan. Produktivitas usahatani

jagung dihiutung dengan rumus:

Produksi (kg)
____________________________________
Produktivitas (kg/ha) = ………..…… (4.2)
Luas Lahan Garapan (ha)

Harga adalah nilai jual produk jagung tongkol kering panen dalam satuan

rupiah per kilogram (Rp/kg) atau rupiah per kuintal (Rp/ku). Hasil kali harga

dengan produksi disebut nilai produksi (penerimaan).

Nilai Produksi (Rp) = Harga x Produksi ……………………..… (4.3)

Biaya produksi terdiri atas biaya produksi tetap dan biaya produksi

variabel. Total biaya produksi dihitung dengan rumus:

TBP (Rp/ha) = TBT + TBV

TBP (Rp/ha) = TBT + BVR x q …………………………………..… (4.4)

Keterangan:
TBT = Total Biaya Produksi (Rp/ha); TBT = Total Biaya Tetap (Rp/ha)
TBV = Total Biaya Variabel (Rp/ha); BVR = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha)
q = Produksi (kg/ha)

Pendapatan usahatani (UT) adalah penerimaan bersih usahatani

dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar. Pendapatan usahatani dihitung dari

hasil pengurangan Total Penerimaan dengan Total Biaya Produksi.

Pendapatan UT (Rp) = Total Penerimaan – Total Biaya Produksi .. (4.5)

Surplus Produsen (SP) adalah besaran keuntungan yang diterima oleh

produsen dengan menjual produk (barang) hasil produksi atau jasanya melalui

mekanisme harga pasar yang lebih tinggi bila dibandingkan harga minimal yang

mereka bersedia untuk menjualnya. Harga minimal sama dengan biaya variabel

rata-rata minimal. Perubahan surplus produsen dihitung dengan rumus geometrik

sebagai berikut (Sinaga, 1989):


63

(H – BVR) x q
_________________________
ΔSP (Rp/ha) = = MK x ½ q ……………. (4.6)
2
Keterangan:
ΔSP = Perubahan Surplus Produsen (Rp/ha); H = Harga (Rp/kg)
BVR = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha);
q = Produktivitas (kg/ha); MK = Marjinal Kontribusi = H - BVR

Perubahan surplus produsen juga dapat dihitung dengan persamaan

integral fungsi harga atau persamaan fungsi penawaran sebagai berikut

(Koutsoyiannis, 1982; Dumairy, 2012):


𝑞1
ΔSP = 𝑞0
BM ………………………………………………………… (4.7)

2
BVR = b1 – b2 q + b3 q ……………………………………………(4.8)

BM = b1 – (2 x b2 q) + (3 x b3 q2) ………………………………….. (4.9)

Keterangan:
ΔSP = Perubahan Surplus Produsen (Rp/ha);
BM = Biaya Marjinal (Rp/kg/ha)
BVR = Biaya Variabel rata-rata per hektar (Rp/kg/ha)
q1 = Produktivitas Optimal (kg/ha).
q0 = Produktivitas pada Biaya Variabel Rata-rata Minimal (Rp/kg/ha)

Surplus produsen diperoleh dengan menjumlahkan Total Marjinal

Kontribusi (TMK) dan perubahan surplus produsen. TMK adalah hasil kali

marjinal kontribusi dengan produktivitas ketika dicapainya biaya variabel rata-rata

minimal (q0). Surplus produsen adalah jumlah uang jika diberikan kepada

produsen tidak mengubah kesejahteraannya apabila harga turun dari harga

pasar sampai dengan biaya variabel rata-rata minimal (Just, et al., 2004).

Analisis statistik deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik,

histogram, dan narasi serta penjelasan hubungan suatu variabel dengan variabel

lain atau suatu fenomena dengan fenomena lain sehingga ditemukenali

rasionalitasnya. Dalam implementasinya, analisis statistik deskriptif

menggunakan bantuan program SPSS 13 dan 17 for Windows dan Excel.


64

Program SPSS dan Excel digunakan untuk memudahkan dan mempercepat

kalkulasi proses pengolahan data. Juga digunakan untuk uji reliabilitas

instrumen. Sedangkan analisis statistik inferensi menggunakan Structural

Equation Modeling berbasis varians Partial Least Square (SEM-PLS) dengan

bantuan software Smart-PLS.

Analisis SEM-PLS digunakan untuk melihat keeratan hubungan dan

pengaruh antar faktor penentu manajemen rantai pasok, keunggulan kompetitif

dan kesejahteraan petani jagung, sekaligus menganalisis pengaruh langsung

atau tidak langsung. Analisis SEM-PLS digunakan bagi semua skala data baik

ratio, interval, ordinal, dan nominal; tidak membutuhkan asumsi penyebaran data

berdistribusi normal, jumlah unit sampel tidak mesti besar, serta memiliki

fleksibilitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk menghubungkan antara teori dan

data (Ghozali, 2011).

4.5.1 Analisis Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung

Analisis deskriptif digunakan untuk mengelaborasi keragaan manajemen

rantai pasok dari petani sampai dengan pedagang perantara, yaitu menelaah

keterkaitan petani dengan kelompok tani, kelompok tani dengan perusahaan atau

koperasi penyedia teknologi dan input pertanian, serta pihak lain yang membeli

hasil produksi jagung, termasuk lembaga keuangan, lembaga pemerintahan,

dan lain-lainnya.

Keragaan manajemen rantai pasok diukur dari empat indikator, yaitu:

koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan, dan aliran modal. Tiap indikator

diukur menggunakan skala likert, tiap indikator dibobot menggunakan Analitical

Hierarchy Process (AHP).


65

Langkah-langkah AHP sebagai berikut (Marimin, 2004; Syaifullah, 2010):

1. Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

Masalah yang dihadapi adalah merumuskan indek keragaan manajemen

rantai pasok jagung dengan menetapkan bobot pada setiap indikator.

2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama.

Struktur hierarki didasarkan atas peranan antar indikator dalam

memformulasi indek keragaan manajemen rantai pasok: koordinasi, aliran

produk, aliran pelayanan dan aliran modal.

3. Membuat matrik perbandingan berpasangan (pair-wise comparison) yang

menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap

tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya.

4. Mendifinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah

penilaian sebanyak n[(n-1)/2] shell, n = jumlah elemen yang dibandingkan.

Tabel 4.2 Matrik Perbandingan Berpasangan

1.Koor- 2.Aliran 3.Aliran 4.Aliran


Indikator dinasi Produk Pelayanan Modal
1.Koordinasi 1,00 X21 X31 X41
2.Aliran Produk X12 1,00 X32 X42
3.Aliran Pelayanan X13 X23 1,00 X43
4.Aliran Modal X14 X24 X34 1,00
Jumlah X1. X2. X3. X4.

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya.

Nilai eigen diberikan dengan teknik perbandingan dari nilai 1 s.d 9 dan

inversenya dari 1 s.d 1/9.

6. Mengulangi langkah (3), (4) dan (5) untuk seluruh tingkat hierarki.

7. Menghitung vektor eigen dari setiap matrik perbandingan dengan cara

menjumlahkan seluruh nilai eigen pada setiap baris dan setiap kolom, serta

menghitung bobot = rata-rata nilai eigen.


66

Tabel 4.3 Nilai Bobot Per Indikator Manajemen Rantai Pasok

1.Koor- 2.Aliran 3.Aliran 4.Aliran Jumlah Bobot


Indikator dinasi Produk Pelayanan Modal
1.Koordinasi 1,00/X1. X21/X2. X31/X3. X41/X4. X.1 X.1/X..
2.Aliran Produk X12/X1. 1,00/X2. X32/X3. X42/X4. X.2 X.2/X..
3.Aliran Pelayanan X13/X1. X23/X2. 1,00/X3. X43/X4. X.3 X.3/X..
4.Aliran Modal X14/X1. X24/X2. X34/X3. 1,00/X4. X.4 X.4/X..
Jumlah X1./X1. X2./X2. X3./X3. X4./X4. X.. 1,00

8. Memeriksa konsistensi hiararki dari langkah (1) sampai dengan (7) dengan

menggunakan konsistensi ratio < 10%. Bila belum memenuhi syarat, maka

dilakukan penyesuaian perbandingan berpasangan sampai dicapai

konsistensi ratio < 10%. Alat analisis yang dipakai adalah AHP Calculator

Online (BPMSD).

9. Memindahkan nilai bobot ke tabel berikut:

Tabel 4.4 Penilaian Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung

No Variabel Bobot Rata-rata Nilai Tertimbang


Skala
1 Koordinasi X.1/X.. Y.6 (X.1/X..) x (Y.6)
2 Aliran Produk X.2/X.. Y.7 (X.2/X..) x (Y.7)
3 Aliran Pelayanan X.3/X.. Y.8 (X.3/X..) x (Y.8)
4 Aliran Modal X.4/X.. Y.9 (X.4/X..) x (Y.9)
Jumlah 1,000 IKMRP
Keterangan:
IKMRP = Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok;
Y.6 = rata-rata skala koordinasi; Y.7 = rata-rata skala aliran produk;
Y.8 = rata-rata skala aliran pelayanan; Y.9 = rata-rata skala aliran modal.

Lebih lanjut kriteria keputusan indek keragaan manajemen rantai pasok

(IKMRP) jagung diklasifikasi sebagai berikut (Rangkuti, 2000):

Sangat baik bila nilai IKMRP ≥ 4,6

Baik bila nilai 3,6 ≤ IKMRP < 4,6

Hampir baik bila nilai 2,6 ≤ IKMRP < 3,6

Buruk bila nilai 1,6 ≤ IKMRP < 2,6

Sangat buruk bila nilai IKMRP < 1,6


67

4.5.2 Analisis Deskriptif Keunggulan Kompetitif Jagung

Keunggulan kompetitif jagung dianalisis menggunakan analisis deskriptif.

Indek keunggulan kompetitif dihitung menggunakan lima indikator, yaitu:

1. Efisiensi (Y1); 2. Kualitas produk (Y2);

3. Ketergantungan pengiriman (Y3); 4. Diversifikasi produk (Y4);

5. Waktu tempuh ke pasar (Y5).

Tiap-tiap indikator diukur menggunakan skala likert dari 1 s.d 5, selanjutnya

dihitung nilai tertimbangnya, caranya rata-rata skor dikalikan dengan bobot

masing-masing. Indek Keunggulan Kompetitif diperoleh dengan cara

menjumlahkan nilai tertimbang sebagai berikut:

Tabel 4.5 Nilai Indek Keunggulan Kompetitif di Level Petani s.d Pedagang
Perantara

No Indikator Rata-rata Bobot *) Nilai


Tertimbang
1 Efisiensi Y1 B1 Y1 x B1
2 Kualitas produk Y2 B2 Y2 x B2
3 Ketergantungan pengiriman Y3 B3 Y3 x B3
4 Diversifikasi produk Y4 B4 Y4 x B4
5 Waktu tempuh ke pasar Y5 B5 Y5 x B5
Indek Keunggulan Kompetitif 1,00 IKK1
*) Perhitungan bobot menggunakan software AHP Calculator Online (BPMSD).

Nilai Indek Keunggulan Kompetitif di level petani ke pedagang perantara

(IKK1) diidentifikasi pada salah satu kelas dengan interval sebagai berikut:

Keunggulan kompetitif sangat tinggi apabila IKK1 ≥ 4,6

Keunggulan kompetitif tinggi apabila 3,6 ≤ IKK1 < 4,6

Keunggulan kompetitif moderat apabila 2,6 ≤ IKK1 < 3,6

Keunggulan kompetitif rendah apabila 1,6 ≤ IKK1 < 2,6

Keunggulan kompetitif sangat rendah apabila IKK1 < 1,6


68

Sementara pengukuran persaingan pada level pedagang perantara ke

konsumen pengguna (IKK2) menggunakan indikator Porter’s 5 Forces dari Best

Progress Growth Service (Lampiran 3). Dalam mengukur persaingan

menggunakan teknik skore -1 dan +1 dengan jumlah pertanyaan sebanyak 26,

sementara jumlah skor berkisar -30 s.d +30. Selanjutnya diklasifikasi sebagai

berikut:

Tingkat persaingan sangat tinggi apabila IKK2 ≥ +20

Tingkat persaingan tinggi apabila +11 ≤ IKK2 < +20

Tingkat persaingan moderat apabila -10 ≤ IKK2 < +11

Tingkat persaingan rendah apabila -20 ≤ IKK2 < -10

Tingkat persaingan sangat rendah apabila IKK2 < -20

4.5.3 Analisis SEM-PLS

Analisis Structural Equation Modeling – Partial Least Square (SEM-PLS)

digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama s.d kelima dan menguji

hipotesis penelitian pertama s.d. kelima.

1. Prosedur Analisis Structural Equation Modeling Partial Least Square

Analisis Structural Equation Modeling Partial Least Square (SEM-PLS)

dilakukan dengan prosedur sebagai mana Gambar 4.1 (dimodifikasi dari

Solimun, 2010; Utomo. 2011). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Langkah pertama.-- Berangkat dari permasalahan penelitian bahwa

sejauhmana keterkaitan antara manajemen rantai pasok dan integrasi

proses bisnis dengan kesejahteraan petani jagung diperlukan adanya suatu

model analisis data dan keharusan tersedianya grand theory dan konsep

yang berkaitan dengan permasalahan, maka dibuat kerangka fikir

penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.3.


69

Rancangan
Model

Interoretasi
Diagram
dan
Jalur
Modifikasi

Menilai
Masalah Matriks
Input
Teridentifikasi

Gambar 4.1 Langkah-langkah Analisis SEM-PLS

b. Langkah kedua.-- Diagram jalur (path) dibutuhkan untuk menunjukkan


keterkaitan antar variabel eksogen dan endogen.

MRP

IRP KSP

KRP KKP

• KPP
• KPS

BIF SNK KSI

Gambar 4.2 Diagram


Gambar Jalur Kerangka
4.2 Diagram JalurPenelitian
KerangkaManajemen Rantai Pasok
Penelitian dan
Manajemen
Integrasi Proses Bisnis
Rantai Pasok Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan
Petani
70

Keterangan :
KPP = Ketidakpastian pelanggan
KKS = Ketidakpastian pemasok
BIF = Berbagi informasi
SNK = Singkronisasi keputusan
KSI = Keselarasan insentif
IRP = Integrasi proses bisnis
KRP = Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok
KKP = Keunggulan kompetitif
MRP = Manajemen rantai pasok
KSP = Kesejahteraan petani jagung

Keterkaitan antar variabel dapat berupa hubungan langsung atau

hubungan tidak langsung yang dijustifikasi oleh teori dan konsep,

selanjutnya ditampilkan dalam bentuk gambar agar memudahkan bagi

pembaca untuk memahami konstruksi logisnya.

c. Langkah ketiga.-- Dalam metode analisis SEM-PLS, data input dapat

berupa matriks kovarians dan matriks korelasi. Matriks kovarians

diperlukan bila mana ingin diketahui hubungan kausalitas yang telah

mendapat justifikasi teori. Ghozali (2011) menyatakan bahwa covariance

based SEM berusaha meminimumkan perbedaan antara sample

covariance yang diprediksi oleh model teoritis, sehingga proses estimasi

menghasilkan matriks kovarians dari data yang diobservasi. Matriks

korelasi bila mana dimaksudkan untuk mengetahui kejelasan pola

hubungan kausal antar variabel laten (tidak terukur langsung). Variabel

laten adalah variabel yang diukur tidak langsung berdasarkan pada

indikator-indikator (manifest variabel) dengan syarat harus dalam bentuk

refleksif, yaitu model harus berdasarkan pada teori dan adanya

intermediasi. Dalam hal ini SEM yang digunakan adalah yang berbasis

kompenen atau varians yang dikenal dengan Partial Least Square (PLS).
71

d. Langkah keempat.-- Kelemahan dari SEM adalah peluang terjadinya

unidentified atau underindentified dan over identified. Unidentified adalah

proses pendugaan parameter yang tidak menghasilkan suatu solusi,

sedangkan over identified adalah proses pendugaan parameter mengalami

kegagalan, sehingga model yang dihasilkan tidak dapat dipercaya.

Penilaian masalah teridentifikasi menjadi penting sehingga diperlukan

langkah kelima berikutnya.

Kelemahan di atas diperbaiki dengan evaluasi goodness of fit yang

digunakan untuk mengetahui hasil estimasi parameter apakah dapat

digunakan atau tidak dapat digunakan. Ada beberapa alat uji dalam

evaluasi goodness of fit, yaitu: uji model overall, uji model structural, dan uji

model pengukuran (uji validitas dan reliabilitas), serta uji efektivitas model

(model fit).

e. Langkah kelima.-- Bila telah diperoleh model yang memenuhi syarat

goodness of fit, maka dilanjutkan dengan melakukan interpretasi,

sebaliknya apabila tidak diperoleh syarat goodness of fit, maka dilakukan

modifikasi model sampai diperolehnya syarat goodness of fit.

2. Pengukuran Data Variabel Laten

Untuk memperoleh data dari variabel laten atau variabel unobservable

dapat dilakukan pengukuran atas sejumlah indikator menggunakan skala

likert. Satu dari sejumlah cara adalah metode rata-rata skor indikator

(Solimun. 2010):

𝑛 𝑋 𝑖𝑗
X.𝑗 = 𝑖=1 𝑛𝑗 …………………………………………………………… (4. 10)

Keterangan :
X .𝑗 = variabel laten ke-j
72

𝑋𝑖𝑗 = Indikator ke-i pada variabel laten ke-j


n. j = Jumlah indikator pada variabel laten ke-j
a. Data Variabel Laten Kolaborasi Rantai Pasok (KRP)

X1 + X 2 + X 3 + X 4
KRP =
4

b. Data Variabel Laten Integrasi Proses Bisnis (IRP)

X5 + X6 + X7 + X8 + X9
IRP =
5

c. Data Variabel Laten Keunggulan Kompetitif (KKP)

Y1 + Y2 + Y3 + Y4 + Y5
KKP =
5

d. Data Variabel Laten Manajemen Rantai Pasok (MRP)

Y6 + Y7 + Y8 + Y9
MRP =
4

e. Data Variabel Laten Kesejahteraan Petani (KSP)

Z5 + Z6 + Z7
KSP =
3

3. Uji Kesesuaian dan Efektivitas Model (Model Fit)

a. Goodness of Fit Outer Model

1) Validitas Konvergen (Convergent Validity)


Validitas Konvergen dari model pengukuran dengan refleksi
indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score / component
score dengan contruct score yang dihitung dengan PLS. Jika korelasi >
0,70 disebut refleksi individu tinggi, sementara nilai loading factor antara
0,5 s.d 0,6 dianggap cukup bagi indikator dari variabel laten jumlahnya
dari 3 (tiga) s.d 7 (tujuh) (Ghozali,..2011).
2) Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)
Direkomendasikan nilai AVE(Average Variance Extracted) lebih besar
dari 0,50 (Ghozali. 2011).
n 2
i=1 γ j
AVE = n γ 2 + n var (∂i) ………………………………………. (4.11)
i=1 i i=1
73

Keterangan:
𝛾𝑖 = component loading ke indikator
𝑣𝑎𝑟(𝜕𝑖 ) = 1 - 𝜕𝑖2
3) Reliabilitas Komposit (Composite Reliability)
Ada dua macam ukuran blok indikator, yaitu konsistensi internal
(internal consistensy) dan Cronbach’s Alpha. Dengan output yang
dihasilkan PLS, maka reliabilitas komposit dihitung dengan rumus :
( ni=1 γ i )2
rk = n γ )2 + n var (∂ ) ……………………………………. (4.12)
( i=1 i i=1 i

Keterangan:
rk = reliabilitas komposit
𝛾𝑖 = loading komponen ke indikator
𝑣𝑎𝑟(𝜕𝑖 ) = 1 - 𝜕𝑖2
b. Goodness of Fit Inner Model atau Model Persamaan Struktural
2
R digunakan untuk mengevaluasi konstruk dependen pada model

persamaan struktural, sedangkan untuk menguji relevansi prediktif digunakan

uji Stone Geisser q-Square dan uji-t untuk mengetahui signifikansi dari

koefisien parameter jalur struktural:

R 2inc − R 2exc
q2 = …………………………………………………… (4.13)
1+ R 2inc

1) R2inc dan R2exc adalah R square dari variabel laten dependen ketika
predictor variabel laten digunakan atau dikeluarkan dari dalam
persamaan struktural.
2) Nilai q2 = 0,02, 0,15 dan 0,35 diprediksikan bahwa prediktor variabel
laten memiliki pengaruh yang kecil, menengah dan besar.
4. Uji Validitas

Ada beberapa aspek yang mesti dipenuhi agar diperoleh model yang dapat

dihandalkan, yaitu:

a. Validitas konvergen, yaitu dengan menentukan bahwa setiap indikator yang

diestimasi secara tepat mengukur konsep yang diuji. Menurut Anderson dan
74

Gerbing cit. Ferdinand (2002) bahwa sebuah indikator demensi menunjukkan

validitas konvergen yang signifikan apabila indicator yang bersangkutan

memiliki critical ratio lebih besar dari 2 (dua) kali standard error-nya

(Utomo,..2011).

b. Reliabilitas instrument, bahwa suatu instrument dinilai reliabel apabila

mengukur apa yang hendak diukur secara tepat sesuai dengan maksud

dilakukan pengukuran. Validitas berarti hasil pengukuran itu sesuai dengan

maksud dilakukan pengukuran itu (Vredenbregt. 1978).

Untuk menilai akurasi data tiap-tiap item pertanyaan, maka diperlukan

adanya uji validitas dan uji reliabilitas data. Ada dua pendekatan yang dipakai

untuk menentukan validitas dari alat pengukur, yaitu:

a. Validitas konstruk (Construct Validity)

Validitas konstruk didasarkan atas asumsi bahwa alat ukur yang dipakai

mengandung suatu definisi operasional yang tepat dari suatu konsep teoritis,

sehingga peneliti harus dapat mengetahui dengan jelas sikap atau perilaku

dari responden yang berkorespondensi dengan jawabannya dalam daftar

pertanyaan. Dengan kata lain, peneliti harus dengan hati-hati dan cermat

mencerna setiap pilihan jawaban responden untuk menghindari bias sebagai

akibat kesalahan persepsi atas pertanyaan yang disampaikan. Pada

pendekatan ini diperkembangkan alat-alat pengukur dengan tujuan

mengukur hal yang sama pada kelompok yang berbeda-beda dengan

memakai satuan-satuan yang berbeda-beda pula.

b. Validitas Pragmatik (Pragmatic Validity)

Validitas Pragmatik disebut juga predictive atau empirical validity yaitu

suatu pengukuran yang meramalkan perilaku responden dikemudian hari.


75

Pada penelitian lanjutan dilakukan pemeriksaan ulang, apakah perilaku

responden sesuai dengan apa yang diramalkan dengan tepat atau tidak.

Jika ternyata tepat. maka alat ukur dinyatakan valid. Di sini akan digunakan

pre dan post kuesioner yang mana datanya akan diperbandingkan dengan

harapan atau ramalan.

5. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana data-data telah

terbebas dari kesalahan (error) yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan

intrumen penelitian sebagai akibat perbedaan waktu dan orang yang

menggunakan instrumen tersebut (Anatan dan Ellitan. 2008). Reliabilitas

menggambarkan konsistensi data yang diperoleh dari pengukuran yang

berulang, artinya bila dilakukan pengukuran pertama memberikan hasil data yang

sama pada pengukuran yang kedua ataupun yang ketiga. Dengan kata lain

reliabel artinya suatu teknik yang dipakai berulang kali terhadap obyek yang

sama akan menghasilkan data yang sama pula (Vredenbregt, 1978). Perbedaan

dalam skor tidak boleh melebihi batas tertentu. Uji reliabilitas dilakukan sbb:

c. Composite Reliability

Reliabilitas konstruk dinilai dengan menghitung indeks reliabilitas

instrument, yaitu composite reliability dari model SEM yang dianalisis dengan

rumus (Ferdinand. 2002):

sd 2
Reliability Konstruk = …………………………………… (4.14)
sd 2 + ∈j

Keterangan:
1) Sd (standar deviasi) diperoleh langsung dari standardized loading untuk tiap-
tiap indikator.
2) ∈ 𝑗 = adalah measurement error (kesalahan pengukuran) dari tiap-tiap
indikator.
76

∈ 𝑗 = 1 – reliabilitas konstruk = Sd2


Angka realibitas ≥ 0,70 sebagai standard yang fleksibel, artinya jika

penilaian yang dilakukan bersifat eksploratif, maka nilai lebih kecil daripada 0,70

masih dapat diterima sepanjang dapat dijelaskan dengan alasan-alasan empiris

yang terlihat selama proses eksplorasi. Ferdinand (2002) memberikan pedoman

interpretasi reliabilitas bahwa nilai ≥ 0,5 cukup reliabel untuk menjustifikasi suatu

hasil penelitian.

Beberapa metode untuk mengukur reliabilitas dari alat ukur yaitu

(Vredenbregt. 1978):

a) Metode test retest, yaitu suatu ukuran yang sama pada kesatuan yang sama

pada keadaan yang sama diadakan pada waktu yang berbeda. Metode ini

punya kelemahan, karena sulitnya menciptakan kondisi yang sama bagi

responden sebagai akibat telah terjadinya perubahan pada diri responden dan

lingkungannya.

b) Motode Paralel, yaitu pengukuran dilakukan dua kali dengan menggunakan

alat yang sama oleh peneliti yang berbeda. Pengukuran dilakukan pada

responden yang sama pada waktu yang sama pula.

c) Split half method, yaitu item-item dalam daftar pertanyaan dibagi dua dan

skor pada kedua bagian pertanyaan dikelompokkan. Tingginya correlation

coefficient dinilai sebagai indikator konsistensi internal dari alat ukur yang

dipakai. Jelas bahwa pembagian alat ukur tersebut harus menghasilkan dua

bagian yang identik yang masing-masing mewakili dengan tepat masalah

yang diuji.

Dari 3 (tiga) jenis metode di atas, maka penelitian akan menggunakan

metode ketiga yaitu split half method, sebab paling memungkinkan untuk

dilakukan dengan hasil yang dapat dihandalkan.


77

Dalam analisis SEM-PLS data skala ditranformasi ke log linear, sehingga

memuingkinkan untuk menggunakan koefisien korelasi product moment pearson

dan alpha crombach sebagai alat uji untuk menilai reliabilitas dan validitas

terobservasi yang tidak terukur secara langsung tetapi dihitung dari beberapa

item kuesioner.

d. Koefisien korelasi product moment pearson

Formulasi dari koefisien korelasi product moment pearson sebagai berikut:

n( XY )−( X. Y)
rxy = …………………………. (4.15)
{n X 2 − ( X)2 }{n Y 2 − ( Y)2 }

𝑟𝑥𝑦 = koefisien korelasi antar item dengan total item


n = jumlah unit sampling (responden)
X = skala variabel X
Y = skala variabel Y

Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan siginifikansi pada taraf nyata

0,05 dapat dijadikan standard validitas suatu data dan reliabilitas alat pengukur

sepanjang nilai koefisien korelasi tersebut positif. Dalam penelitian ini pengujian

validitas dan reliabilitas dilakukan bersamaan dengan menggunakan program

software SPSS 13 for windows dimana reliabilitas diuji jika semua item valid.

Pengujian validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r

tabel pada taraf nyata 0,05. Dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel

product moment pearson pada taraf nyata α 0,05 (r α 0,05 (N=120) = 0,120).

Item yang non-signifikan didroup dan selanjutnya apabila semua item telah

signifikan, maka dilanjutkan dengan uji alpha crombach terhadap r tabel product

moment pearson pada α 0,05.


78

Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan siginifikansi pada taraf nyata

0,05 dapat dijadikan standard validitas suatu data dan reliabilitas alat pengukur

sepanjang nilai koefisien korelasi tersebut positif.

e. Cronbach’s Alpha

Rumus Cronbach’s Alpha sebagai berikut :

2[𝑆𝑥2 –(𝑆𝑦21 + 𝑆𝑦22 )]


𝛼𝑐𝑟 = ……………………………… (4.16)
𝑆𝑥2

αcr = koefisien reliabilitas alpha


𝑆𝑥2 = varians total skor seluruh item (total item = total skor negatif + total skor
positif)
2
𝑆𝑦1 = total varians skor item genap pada belahan 1
2
𝑆𝑦2 = total varians skor item negatif pada belahan 2
Kriteria pengujian:

1) Apabila nilai αcr positif > r tabel maka variabel pada item tersebut reliabel

2) Apabila nilai αcr positif < r tabel maka variabel pada item tersebut non-reliabel.

Instrumen dianggap mempunyai reliabilitas yang tinggi apabila nilai

cronbach’s alpha lebih besar dari 0,5 (Nunnaly, 1967 cit. Anatan dan Ellitan

2008).

f. Chi Square

Uji Chi Square merupakan salah satu tipe yang digunakan untuk menguji

reliabilitas instrumen, apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara

banyaknya yang diamati (observed) dari objek atau jawaban yang masuk dalam

masing-masing kategori dengan banyak objek yang diharapkan (expected)

berdasarkan hipotesis–null (Siegel, 1986). Lebih lanjut uji chi square

dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan matriks varians populasi dan matriks

varians sampel. Kriteria yang menunjukkan bahwa frekensi hasil observasi

sesuai dengan frekuensi yang diharapkan. artinya tidak ada perbedaan matriks
79

varians populasi dengan varians sampel. Oleh karena itu nilai chi square yang

diharapkan relatif kecil (non signifikan) pada taraf keyakinan 0,10.


2
k (Oi −Ei )
X2 = i=1 …………………………………………………. (4.17)
Ei
Dimana :
X2 = chi square
Oi = banyaknya kasus yang diamati dalam kategori ke-i
Ei = banyaknya yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho;
i = pengamatan ke-i; k = jumlah seluruh pengamatan.

Lebih lanjut nilai nilai chi square dilakukan uji t-statistik :

t = X2/df ………………………………………………… (4.18)

Bila t-statistik ≤ t-tabel 0,10 maka dinyatakan instrument reliabel.

Bila t-statistik > t-tabel 0,10 maka dinyatakan instrument tidak reliabel.

6. Analisis Model Persamaan Struktural dan Kriteria Pengujian Hipotesis

Analisis model persamaan struktural (Structural Equition Modeling =

SEM) yang digunakan pada penelitian ini adalah :

KRP = a0 + a1 BIF + a2 SNK + a3 KSI + d1 KPP + d2 KPS + ε1 …… (4.19)

IRP = α0 + α1 KRP + ε2 ……………………………………. . ………………. (4.20)

MRP = β0 + β1 IRP + β2 KRP + ε3 ……………….………………….. (4.21)

KKP = ρ0 + ρ1 KRP + ρ2 IRP + ρ3 MRP + ε4 . …………................... (4.22)

KSP = Ω0 + Ω1 MRP + Ω2 KKP + Ω3 KRP + Ω4 IRP + ε5 …............... (4.23)

Keterangan :
BIF = Berbagi informasi KRP = Kolaborasi rantai pasok
SNK = Singkronisasi Keputusan KKP = Keunggulan kompetitif
KSI = Keselarasan insentif MRP = Manajemen rantai pasok
KPP = Ketidakpastian pelanggan KSP = Kesejahteraan petani jagung
KPS = Ketidak pastian pemasok a, α, β, 𝜌, 𝜕, Ω = parameter
IRP = Integrasi proses bisnis ε = error

Adapun kriteria pengujian hipotesis ke-1 s.d. ke-4 sebagai berikut:


80

a. Tujuan-1 dan Hipotesis-1:

Ho: semua nilai βi = 0

Hi: minimal satu nilai βi > 0

Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Penerimaan Hi berarti variabel manajemen rantai pasok dipengaruhi oleh

satu variabel kolaborasi rantai pasok dan/atau integrasi proses bisnis.

b. Tujuan-2 dan Hipotesis-2:

Ho: semua nilai α1 = 0

Hi: minimal satu nilai α1 > 0

Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu

atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses

bisnis. dan manajemen rantai pasok.

c. Tujuan-3 dan Hipotesis-3:

Ho: semua nilai ρi = 0

Hi: minimal satu nilai ρi > 0

Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu

atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses

bisnis. dan manajemen rantai pasok.


81

d. Tujuan-4 dan Hipotesis-4:

Ho: semua nilai Ωi = 0

Hi: minimal satu nilai Ωi > 0

Ho diterima apabila zhit ≤ z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Hi diterima apabila zhit > z-tabel pada taraf nyata = 1% atau 5%.

Penerimaan Hi berarti variabel keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh satu

atau beberapa di antara variabel kolaborasi rantai pasok. integrasi proses

bisnis. dan manajemen rantai pasok.

7. Analisis Perbandingan Koefisien Jalur dan Koefisien Diterminan

Untuk mencapai tujuan kelima dilakukan analisis perbandingan

(comparative analysis) matematik dengan memanfaatkan model persamaan

struktural (4,21), (4.22) dan (4.23) yang lulus validasi dan memenuhi kriteria

yang dapat digunakan sebagai estimasi dan pengujian hipotesis sebagai

mana kriteria yang telah ditetapkan di atas pada point 4) Uji validitas dan 5)

Uji reliabilitas.

Analisis perbandingan dimaksudkan untuk memprediksi efektivitas

strategi prioritas terbaik apabila diaplikasikan pada masa yang akan datang.

Alat analisis yang digunakan untuk menguji efektivitasnya model adalah :


2
a) Koefisien diterminan secara parsial (r ) dan bersama-sama (R2), serta

menguji efektivitas keseluruhan model (effectivity of over all model).

Koefisien diterminan dihitung dengan cara mengalikan koefisien jalur

dengan koefisien korelasinya (r). Dinyatakan efektif apabila koefisien


2 2
diterminan parsial (r ) ≥ 0,1 dan koefisien diterminan total (R ) ≥ 0,5

(Jogiyanto, 2011).
82

b) Menguji Statistik Fit Model koefisien diterminan stasioner (Stationary R-

Square) dengan menggunakan program forcasting create model pada

software SPPS for Windows versi 17.0. Oleh karena variabel dalam

penelitian ini berupa variabel kualitatif yang bersifat laten, maka yang

diukur adalah indikatornya menggunakan teknik skor dengan skala

ordinal Likert. Agar data dengan skala ordinal dapat digunakan untuk

pengujian koefisien diterminan, maka data yang digunakan adalah data

transform weight least square (Yamin dan Kurniawan, 2009).


BAB V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1 Letak Geografi dan Luas Wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan barat dari gugusan

pulau-pulau di kawasan tenggara Indonesia, terletak di antara Provinsi Bali dan

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Koordinat 6º 20' s.d 9º 20' LS

115º 30' s.d 119º 30' BT. Batas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah

sebelah utara Laut Flores, sebelah timur Selat Sape, sebelah selatan Samudra

Hindia dan sebelah barat Selat Lombok (Gambar 5.1).

Nusa Tenggara Barat

Gambar 5.1 Sketsa Letak Wilayah Provinsi Tenggara Barat


Sumber : www.ntbprov.go.id
2
Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki luas wilayah 20 153,15 km , terdiri

atas dua pulau besar yaitu Pulau Lombok di wilayah barat dan Pulau Sumbawa
2
di wilayah timur (Lampiran 2). Luas Pulau Lombok 4.736,65 km (23,5%),

2
sementara luas Pulau Sumbawa 15.416,50 km (75,5%). Secara administratif,

Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas 8 (delapan) kabupaten yaitu

Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara,


84

Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima dan 2 (dua) kota, yaitu Kota Mataram

dan Kota Bima.

5.2 Penduduk dan Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010 sebanyak

4.500.212 jiwa terdiri atas perempuan 2 316 566 jiwa dan laki-laki 2 183 646 jiwa

dengan ratio jenis kelamin (sex ratio) 106,09. Ratio jumlah penduduk dengan
2
luas wilayah adalah 223,1 jiwa/ km . Jumlah rumah tangga sebanyak 1.248.115

kepala keluarga dengan rata-rata anggota rumah tangga 3,61 orang. Dari jumlah

penduduk tersebut yang tergolong usia produktif (usia 15 s.d 64 tahun) sebanyak

2.893.162 orang dengan angka beban tanggungan (dependency ratio) 55,55

artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 55,55 orang

penduduk usia non produktif (BPS NTB, 2011).

Jumlah penduduk usia 15 tahun lebih sebanyak 3.380.129 jiwa terdiri atas

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja sebanyak

2.252.076 jiwa terdiri dari penduduk yang bekerja 2.132 933 jiwa dan mencari

kerja 119.143 jiwa. Jumlah penduduk yang tergolong bukan angkatan kerja

sebanyak 1.128.053 jiwa (pelajar, mengurus rumah tangga dan pensiunan).

Persentase angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian 47,12 persen

yang merupakan persentase tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lainnya,

seperti perdagangan 17,47%, jasa 12,86% dan industri 9,57%. Walau persentase

angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian sebagai persentase terbesar,

namun kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (BDRB) Nusa

Tenggara Barat menempati urutan kedua setelah pertambangan dari tahun 2004

s.d 2007. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 19,79%,

sementara pertambangan 34,68% pada tahun 2010 (BPS NTB, 2010). Dengan
85

demikian, maka pendapatan per kapita penduduk yang bekerja di sektor

pertanian relatif lebih kecil bila dibandingkan penduduk yang bekerja di luar

sektor pertanian. Hal ini berdampak langsung terhadap kesejahteraan penduduk

yamg bekerja di sektor pertanian termasuk kesejahteraan para petani jagung.

5.3 Perekonomian Nusa Tenggara Barat

5.3.1 Struktur Perekonomian

Komoditas jagung merupakan salah satu komoditas sektor pertanian

tanaman pangan yang turut memberikan kontribusi bagi laju pertumbuhan

perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB), serta secara tidak langsung ikut

mempengaruhi kesejahteraan para petani termasuk petani jagung.

Struktur perekonomian NTB terbentuk akibat kontribusi sektor-sektor yang

menyusunnya yang ditunjukkan oleh peranan masing-masing sektor dalam

menciptakan nilai tambah di dalam suatu wilayah atau Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB).

Struktur perekonomian Nusa Tenggara Barat menggambarkan interaksi

antar sektor yang saling terkait antara akumulasi modal, tenaga kerja dan

konsumsi masyarakat yang menghasilkan nilai tambah sebagai akibat perputaran

roda perekonomian yang berdampak ke sektor hulu (backward lankages) dan ke

hilir (forward lankages). Perputaran perekonomian dalam satu periode atau satu

tahun berdampak bolak-balik terhadap perubahan pendapatan per kapita

penduduk. Pendapatan per kapita penduduk menjadi ukuran yang sering

digunakan sebagai ukuran kesejahteraan suatu masyarakat atau untuk

menentukan persentase penduduk miskin. Di sisi lain, pendapatan per kapita

dijadikan tolak ukur kemampuan daya beli masyarakat serta dipakai sebagai

salah satu indikator Indek Pembangunan Manusia (IPM).


86

Perkembangan PDRB Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2004 sampai

dengan tahun 2009 cukup representatif untuk digunakan sebagai gambaran

struktur perekonomian yang sudah terjadi dalam wilayah NTB dan proyeksi

perkembangannya pada masa yang akan datang.

Tabel 5.1 Perkembangan PDRB Provinsi NTB atas dasar harga konstan tahun
2000 menurut sektor lapangan usaha tahun 2004 s.d 2009
(xRp milyar)

No Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 2008 *) 2009 **)


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Pertanian,
peternakan,
1. 3 841,31 3 878,24 3 989,94 4 105,59 4 352,35 4 460,27
kehutanan dan
perikakan
Pertambangan &
2. 4 367,60 4 200,99 4 079,90 4 192,47 3 814,92 4 293,15
galian
3. Industri Pengolahan 634,53 680,81 700,03 769,73 836,93 934,55
Listrik, gas dan air
4. 42,77 45,04 50,20 55,70 60,80 70,08
bersih
5. Bangunan 952,05 1 002,56 1 067,25 1 148,26 1 248,86 1 457,95
Perdagangan, hotel
6. 1 929,97 2 050,08 2 209,50 2 386,01 2 504,70 2 783,67
dan restoran
Pengangkutan dan
7. 1 032,63 1 108,01 1 190,98 1 276,18 1 319,56 1 392,65
komunikasi
Keuangan,
8. persewaan & jasa 653,62 690,87 745,44 812,57 892,56 976,97
perusahaan
9. Jasa-jasa/service 1 473,70 1 527,19 1 570,53 1 622,71 1 769,15 1 941,14
PDRB 14 928,17 15 183,79 15 603,77 16 369,22 16 799,83 18 310,43
PDRB tanpa pertam-
10 855,77 11 295,77 11 854,59 12 529,83 13 368,32 14 461,84
bangan nonmigas
Sumber : BPS NTB, 2010

Pada Tabel 5.1 bahwa PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun

2009 mencapai Rp 18,310 triliyun lebih, sementara tanpa pertambangan non

migas Rp 14,461 triliyun lebih. Pada tahun 2008 dan 2009 sektor pertanian

merupakan penyumbang terbesar yaitu Rp 4,460 triliyun atau skitar 30,84 persen

dari PDRB tanpa pertambangan nonmigas. Kontribusi sektor pertanian sebagian

terbesar masih bersumber dari subsektor tanaman pangan bila dibandingkan

dengan subsektor perkebebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.


87

Mengingat bahwa komoditas jagung merupakan komoditas pangan (bahan

makanan) yang sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak, maka

dampaknya ke sektor lain relatif kecil, kecuali ke sektor perdagangan. Dengan

memperhatikan proporsi produksi jagung yang sebagian besar diperdagangkan

antar provinsi, maka dampak pembentukan nilai tambah jagung ke hilir relatif

kecil. Untuk meningkatkan dampak ke hilir dari produksi jagung, maka sebaiknya

di NTB perlu dikembangkan usaha peternakan ayam terutama ayam petelur yang

banyak membutuhkan jagung, selain itu dalam jangka panjang perlu

dikembangkan pembangunan pabrik pengolahan pakan ternak.

Di luar sektor pertambangan nonmigas, urutan kedua penyumbang nilai

tambah PDRB terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor

ini menyumbang Rp 2,783 triliyun atau sekitar 19,24 persen dari PDRB tanpa

pertambangan non migas. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran ini

didukung oleh semakin diminatinya NTB sebagai tujuan wisata yang mana pada

tahun 2012 menembus angka 1 (satu) juta wisatawan. Pembangunan ruko, hotel

dan restoran yang berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kunjungan

wisatawan turut memberikan dukungan bagi tumbuhnya sektor ini.

Urutan ketiga ditempatkan oleh sektor jasa-jasa/service dengan kontribusi

Rp 1,941 triliyun, berikutnya diikuti oleh bangunan, serta pengangkutan dan

komunikasi. Sebagai penyumbang terkecil dalam struktur perekonomian NTB

adalah sektor keuangan dan persewaan diikuti oleh sektor industri pengolahan.

(Tabel 5.1).

Dilihatat dari aspek pendapatan per kapita penduduk Nusa Tenggara Barat

yang berjumlah 4.500.212 jiwa, maka pendapatan per kapita penduduk NTB

atas dasar harga yang berlaku relatif kecil bila dibandingkan dengan Indonesia.
88

berikut memperlihatkan perkembangan dan perbandingan pendapatan per kapita

penduduk NTB tahun 2000 s.d 2010.

Tabel 5.2 Perkembangan Pendapatan Perkapita Penduduk NTB Tahun 2000


s.d 2011

Nusa Tenggara Barat


Tahun Indonesia (Rp/kapita/tahun)
(Rp/kapita/tahun)
2000 1 915 820 6 171 343
2001 2 201 279 7 077 125
2002 2 438 268 7 616 354
2003 2 648 260 8 196 210
2004 2 953 981 9 303 689
2005 3 281 657 11 179 506
2006 3 658 383 13 195 094
2007 4 041 539 15 416 789
2008 4 502 908 19 141 673
2009 4 914 835 20 964 888
*)2010 5 521 420 43 020 665
**)2011 6 073 767 27 648 409
Catatan: *) Angka Sementara; **) Angka Sangat Sementara
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Nusa Tenggara Barat
Menurut Kabupaten/Kota

Apabila data pendapatan per kapita tahun 2011 dihitung = Rp 503.153/

kapita/bulan. Dengan demikian penduduk NTB tergolong tidak miskin menurut

kriteria BPS, sebab pendapatan rata-rata penduduk NTB di atas garis kemiskinan

sebesar Rp.259.520/kapita/bulan di daerah perkotaan+perdesaan. Demikian

pula apabila menggunakan ukuran Sajogyo setara 360 kg beras untuk daerah

perdesaan dengan perhitungan harga beras Rp 8 000/kg, maka tergolong tidak

miskin. Jumlah penduduk miskin di perdesaan dapat dilihat pada Tabel 1.2.

5.3.2 Kelembagaan Ekonomi Penunjang Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan sektor strategis yang mempengaruhi sektor

lainnya dan sebaliknya kemajuan pembangunan sektor pertanian tidak terlepas

dari eksisting sektor lainnya, seperti sektor keuangan, persewaan dan jasa, serta

sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi.


89

Menyadari hal di atas, maka perlu diuraikan tentang kondisi eksisting

kelembagaan ekonomi terutama keuangan yang merupakan lembaga penyedia

modal atau kredit, seperti bank dan koperasi.

Ada dua jenis bank yang beroperasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB), yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Pada tahun 2010, jumlah

bank umum 23 unit dengan jumlah kantor 208, terdiri atas bank umum devisa

sebanyak 14 unit dan bank umum biasa (commercial non forex banks) sebanyak

9 (sembilan) unit yang masing-masing tersebar di semua kabupaten dan kota se

NTB. Bank Perkreditan Rakyat disingkat BPR adalah bank yang melayani

masyarakat di tingkat kecamatan dan desa. Dikhususkan untuk memenuhi

kebutuhan nasabah kecil, seperti petani, nelayan, buruh, pedagang eceran dan

pedagang bakulan. BPR disebut juga rural banks terdiri dari Bank Perkreditan

Rakyat dan Lumbung Kredit Pedesaan. Lumbung Kredit Pedesaan atau rural

credits telah bermigrasi menjadi BPR. Jumlah BPR di NTB pada tahun 2010

sebanyak 32 unit dengan kantor cabang 112.

Dengan tersedia dan menyebarnya kantor cabang bank umum dan bank

perkreditan rakyat memberikan kemudahan bagi seluruh masyarakat yang

membutuhkan pelayanan perbankan. Spesifik bagi para petani yang tinggal di

daerah perdesaan, keberadaan BPR akan sangat membantu bagi tumbuhnya

usaha kecil menengah, serta memudahkan bagi masyarakat pedesaan untuk

melakukan transaksi keuangan, termasuk para petani, nelayan, usaha kerajinan

skala rumah tangga, pedagang eceran dan pedagang bakulan yang

membutuhkan tambahan modal untuk memperbesar skala usaha. Tabel 5.3

berikut akan menampilkan eksisting lembaga keuangan perbankan di Provinsi

Nusa Tenggara Barat.


90

Tabel 5.3 Jumlah Kantor Bank Umum dan BPR Menurut Kabupaten Tahun 2010

Kabupaten/Kota Bank Umum BPR Jumlah


Pemerintah Pemda Swasta Pemda Swasta
1. Lombok Barat 15 1 1 7 12 36
2. Lombok Tengah 15 2 7 9 2 35
3. Lombok Timur 23 5 4 8 12 52
4. Lombok Utara 4 1 1 0 4 10
5. Kota Mataram 24 5 34 1 9 73
6. Sumbawa Barat 7 1 2 2 1 13
7. Sumbawa 15 2 7 9 12 45
8. Dompu 8 2 0 4 0 14
9. Bima 16 4 2 5 11 38
10. Kota Bima 0 0 0 1 3 4
Jumlah 127 23 58 46 66 320
Sumber : NTB Dalam Angka, 2011.

Kantor pelayanan bank tidak saja di pusat-pusat kota provinsi dan

kabupaten, tetapi telah menyebar sampai di kota kecamatan. Perkembangan ini

cukup menggembirakan, terutama pada 5 (lima) tahun terakhir banyak bank

umum nasional yang membuka kantor cabang di NTB, seperti Bank Mega, Bank

Central Asia, Bank Mualamat, Bank Seri Partha, dan Bank Intenasional

Indonesia (BII), Bank Tabungan Pensiun Negara, dll, serta semua bank

pemerintah telah membuka kantor cabangnya termasuk unit bank syari’ah.

Dengan demikian tampak persaingan antar bank kian ketat dalam menggait

nasabah dengan menawarkan produk-produk layanan yang menarik, termasuk

juga keringan tingkat bunga.

Meskipun jumlah kantor bank telah banyak hadir di NTB, namun

penyerapan kredit sektor pertanian masih sangat rendah bila dibandingkan

dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian menyerap

kredit sebanyak Rp.117.697 milyar atau sekitar 1,26 persen dari jumlah

penyaluran kredit sebesar Rp 9,352 triliyun pada tahun 2010, jauh di bawah

sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 2,464 triliyun (26,35%).


91

Kelemahan yang mendera sektor pertanian dalam penyerapan kredit,

karena skala usaha yang kecil dan lokasinya yang tersebar, sehingga

menyulitkan administrasi perbankan, selain itu terganjal masalah kelayakan

kredit yang meliputi 5’C, yaitu: character, capital, capacity, collateral dan

condition (Riyanto, 19990). Oleh karena itu, bagi petani kecil yang membutuhkan

kredit diharuskan adanya avalis atau perusahaan yang bertindak sebagai

penjamin pinjaman pada bank, seperti PT Pertani dan PT Sang Hiyang Seri dan

PT Bumi Mekar Tani yang bermitra dengan petani.

Koperasi yang dicanangkan sebagai sokuguru perekonomian nasional

masih membutuhkan pembinaan dari Kementerian Koperasi Usaha Kecil

Menengah (Koperasi dan UKM) dilihat dari sisi jumlah telah menunjukkan

perkembangan dengan trend yang meningkat dari tahun 2008 hingga tahun

2010. Pekembangan jumlahnya mencapai 11,44 persen, yaitu dari 2.898 unit

tahun 2008 menjadi 3.007 unit tahun 2009 dan 3.351 unit tahun 2010. Pada

periode yang sama, jumlah modal berkembang 3,07 persen, sehingga

perkembangan modal lebih lambat bila dibandingkan dengan perkembangan

jumlah koperasi (NTB Dalam Angka 2011). Untuk membangun koperasi yang

mandiri bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena belum siapnya

masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam berkoperasi.

Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibangun selama Pemerintahan Orde Baru

cenderung tidak lagi aktif sebagai akibat aktivitasnya menurun setelah

dihapusnya Program Bimas, Inmas dan Insus. Kegiatan KUD semakin terbatas,

peranannya semakin tak tampak dalam memberikan pelayanan sarana produksi

pertanian, petani lebih sering berhubungan dengan kios sarana produksi di kota

kecamatan atau yang dekat dengan tempat tinggalnya.


92

5.4 Produksi Jagung

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia

sebagai penghasil jagung. Jagung dihasilkan di semua kabupaten dalam wilayah

Nusa Tenggara Barat (BPS NTB, 2011). Sejak tahun 2001 s.d 2010 produksi

jagung di Nusa Tenggara Barat terus meningkat sebesar 22,36% lebih tinggi bila

dibandingkan dengan peningkatan produksi jagung nasional sebesar 4,6%/

tahun (Sjah, 2011). Produksi jagung meningkat disebabkan oleh peningkatan

luas areal panen dan peningkatan produktivitas (Tabel 5.4). Luas areal panen

meningkat 12,08 persen dari 24.969 ha tahun 2001 menjadi 64.529 ha tahun

2010, sementara produktivitas meningkat dari 20,34 ku/ha menjadi 38,09 ku/ha

pada periode yang sama (BPS NTB, 2011; Putra, et al., 2005; Putra, 2006).

Pada Tabel 5.4 tampak peningkatan produksi lebih didominasi oleh

peningkatan luas aral panen dengan koefisien korelasi 0,9815, artinya terdapat

hubungan yang kuat antara laju peningkatan luas areal panen terhadap laju

peningkatan produksi, sementara koefisien korelasi antara perubahan

produktivitas dengan perubahan produksi jagung sebesar 0,7422, artinya

peningkatan produksi seiring dengan peningkatan produktivtas. Dari paparan ini

dapat dikatakan bahwa baik luas panen maupun produktivitas secara bersama-

sama atau sendiri berkontribusi terhadap peningkatan produksi jagung. Oleh

karena itu program peningkatan produksi jagung telah berhasil baik dari aspek

ekstensifikasi maupun intensifikasi.

Dengan menggunakan analisis trend eksponensial diperoleh peningkatan

produksi yang mencapai 22,36 persen (Sjah, 2011). Ini memberi indikasi ke

depan, bahwa produksi jagung diestimasikan akan terus meningkat pada tahun

2011 dan 2012. Untuk mempertegas uraian di atas, Tabel 5.4 berikut
93

memperlihatkan perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung

dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2012.

Tabel 5.4 Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat


Tahun 2001 s.d 2012

No Luas Panen Produktivitas Produksi


Tahun
(Ha) % (Ku/ha) Ton %
1 2001 24 969 - 20,34 50 778 -
2 2002 28 847 15,53 20,03 57 785 13,80
3 2003 31 217 8,22 20,57 64 228 11,15
4 2004 33 140 6,16 21,51 71 275 10,97
5 2005 39 380 18,83 24,49 96 459 35,33
6 2006 40 617 3,14 25,60 103 963 7,78
7 2007 42 955 5,76 28,08 120 612 16,01
8 2008 59 078 37,53 33,22 196 263 62,72
9 2009 81 543 38,03 37,88 308 863 57,37
10 2010 61 593 -24,47 40,43 249 005 -19,38
12 2011 89 307 45,00 51,16 456 915 83,50
13 2012 117 030 31,04 54,92 642 674 40,66
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB.

Peningkatan luas panen dimungkinkan karena tanaman jagung dapat

diusahakan pada tiga musim tanam, yaitu pada musim penghujan ditanam di

lahan kering baik ladang maupun tegal. Pada musim kemarau tanaman jagung

diusahakan oleh para petani di lahan sawah dan lahan kering dengan irigasi

pompa air tanah.

Dalam 10 tahun terakhir produksi jagung meningkat hampir 5 kali lipat,

produktivitas meningkat 2 kali lipat dan luas panen meningkat 2,5 kali lipat

(Tabel..5.4). Dalam memacu peningkatan produksi jagung, pemerintah provinsi

Nusa Tenggara Barat dan Kementerian Pertanian menyediakan berbagai skim

bantuan kepada petani, seperti Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU),

bantuan benih dari Cadangan Benih Nasional (CBN), Sekolah Lapang

Pengelolaan Tanaman Terpadu Agribisnis (SL-PTT), Training of Trainer (TOT)

Agribisnis Jagung dan Pelatihan Pemandu Lapang (PL) SL-PTT.


94

Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporat (GP3K)

dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak bidang

Agribisnis seperti PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, Perum Perhutani, dan PT

Pusri. Wilayah operasinya terutama di daerah marjinal yang tidak dapat

dijangkau oleh skim BLBU dan SL-PTT (http://syahyutijagung.

blogspot.com/2012/09/program-jagung-tahun-2011.html.

Pada Program GP3K, ada tiga aspek penting yaitu: pemberian pinjaman

lunak kepada petani, pemberian sarana produksi pertanian, dan pemberian

kawalan budidaya pertanian yang baik dan terintegrasi, sebagai penggerak

kesejahteraan petani dan peningkatan produktivitas pertanian.

Gambar 5.2 Areal Pertanaman Jagung Binaan PT Pertani di Bukit Keramat


Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB
Tahun 2013

Untuk menanggulangi pembiayaan usahatani, pemerintah juga

menyediakan skim kredit diantaranya: Kredit Ketahanan Pangan dan Energi

(KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Kemitraan Bina

Lingkungan (PKBL). Pada Gambar 5.2 di atas tampak areal pengembangan


95

budidaya jagung dengan pembiayaan dari PKBL Pertamina dengan avails

PT.Pertani cabang Nusa Tenggara Barat. Besarnya skrim kredit bagi usahatani

tanaman jagung berkisar Rp 2.500.000 ha-1 s.d Rp 4.500.000 ha-1 yang

disesuaikan dengan paket teknologi dan harga satuan input produksi. Skim kredit

dengan bunga bersubsidi. Tingkat bunga yang dibebankan kepada petani

adalah 0,5 s.d 1 (satu) persen per bulan dengan masa tenggang 6 (enam)

bulan. Skim kredit ini disalurkan melalui bank milik pemerintah antara lain Bank

Negara Indonesia (BNI) 1946, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri.

Gambar 5.3 Areal Pertanaman Jagung di Lahan Sawah Skim Bantuan Langsung
Benih Unggul (BLBU) di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB
Tahun 2012

Semua kabupaten dan 1 (satu) kota (Bima) dalam wilayah Provinsi Nusa

Tenggara Barat berkontribusi dalam menyokong peningkatan produksi jagung,

kecuali kota Mataram yang tidak menghasilkan jagung. Pada Tabel 5.5
96

kabupaten Lombok Timur sebagai penghasil jagung terbanyak (67.628 ton) jika

dibandingkan dengan kabupaten / kota lainnya, sementara yang terkecil adalah

Kota Bima (2.909 ton). Pada Gambar 5.3 tampak lokasi pengembangan areal

budidaya tanaman jagung skim BLBU di Kabupaten Lombok Timur.

Tabel 5.5 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung per Kabupaten / Kota
Tahun 2010

No Luas Panen Produktivitas Produksi


Kabupaten / Kota
(Ha) (Ku/ha) (Ton)
1 Lombok Barat 2 613 36,45 9 523
2 Lombok Tengah 3 191 43,34 13 830
3 Lombok Timur 16 602 40,73 67 628
4 Lombok Utara 5 392 42 69 23 020
5 Kota Mataram 0 0 0
6 Sumbawa Barat 3 076 37,52 11 542
7 Sumbawa 14 528 39,53 57 425
8 Dompu 5 821 41,83 24 348
9 Bima 9 686 40,04 38 778
10 Kota Bima 684 42,53 2 909
Nusa Tenggara Barat 61 593 40,43 249 005
Sumber : BPS NTB, 2011.

Oleh karena produksi jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat relatif lebih

banyak bila dibandingkan dengan kebutuhan lokal di wilayah Provinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB), maka lebih dari separuh produksi jagung asal NTB pada

tahun 2010 dikirim ke luar provinsi untuk memenuhi kebutuhan jagung di wilayah

lain di Indonesia, seperti Bali dan Jawa Timur. Produk jagung asal NTB mampu

bersaing secara nasional baik harga maupun kualitas, sehingga pedagang dari

Bali dan Jawa Timur datang ke NTB untuk membeli jagung sebagai bahan

campuran pakan ternak.

5.5 Pemanfaatan Jagung

Memperhatikan Gambar 5.4 tampak bahwa kebutuhan jagung untuk

keperluan pangan lokal dan benih relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah
97

jagung yang dikirim ke luar provinsi NTB yang diperuntukkan bagi keperluan

campuran pakan ternak.

Pangan
Pakan
Benih
keluar NTB

Gambar 5.4 Perbandingan Persentase Jumlah Jagung Yang Dikirim Keluar NTB
dan Pemenuhan Kebutuhan Lokal Tahun 2010.

Kuantitas jagung yang dikirim keluar provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

berbanding lurus dengan jumlah produksi jagung. Ketika produksi jagung

meningkat dari tahun 2001 s.d. 2009 diikuti oleh peningkatan jumlah jagung yang

dikirim ke luar NTB, demikian pula ketika produksi jagung tahun 2010 menurun

dibanding tahun 2009 sebesar 19,38% (Tabrl 5.4) diikuti oleh penurunan jumlah

jagung yang dikirim keluar NTB dari 253.223,74 fon tahun 2009 menjadi

188.806,14 ton tahun 2010 (Tabel 5.6).

Jumlah pengiriman jagung asal NTB keluar provinsi terus meningkat dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2001 sebesar 33,40 persen dari 50.778 ton

meningkat menjadi 76,71 persen dari produksi sebesar 245.805 ton pada tahun

2010. Perkembangan persentase jagung yang dikirim ke luar NTB lebih dari 2

(dua) kali lipat dari tahun 2001 sampai dengan 2010 (Tabel 5.6).
98

Tabel 5.6 Perkembangan Produksi, Konsumsi Lokal dan Pengiriman Jagung


Keluar NTB Tahun 2001 s.d 2010

*Produksi **Konsumsi Lokal NTB **Pengiriman


Tahun (Ton) Pangan Pakan Benih Keluar NTB
(ton/th) (ton/th) (ton/th) (ton/th)
2001 50 778 11 858,96 20 959,12 998,76 16 961,16
2002 57 785 12 182,30 22 876,35 1 153,88 21 572,47
2003 64 228 11 855,87 24 502,10 1 248,68 26 621,35
2004 71 275 12 065,08 30 720,05 1 325,60 27 164,27
2005 96 459 12 264,14 32 652,20 1 575,20 49 967,46
2006 103 963 2 341,52 34 655,10 1 624,68 65 341,70
2007 120 612 2 360,87 36 743,02 1 014,90 81 406,62
2008 196 263 14 182,21 38 087,55 1 344,50 143 958,79
2009 308 863 9 222,75 46 390,88 1 564,00 253 223,74
2010 245 805 8 763,64 48 220,08 1 414,00 188 807,14
Sumber : *)Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan
**) Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Produksi jagung yang dihasilkan di Pulau Lombok selain memenuhi

kebutuhan peternak dan industri pengolahan jagung di Pulau Lombok

sebagiannya di kirim ke Provinsi Bali, antara lain Kabupaten Karang Asam,

Bangli dan Negara; sementara jagung yang dihasilkan di Pulau Sumbawa selain

dikirim ke Bali untuk memenuhi kebutuhan peternak ayam petelur, juga untuk

memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan pakan ternak di Pulau Jawa. Produksi

jagung Nusa Tenggara Barat dikirim ke beberapa kota di Jawa Timur, yaitu

Pasuruan, Jember, Geresik, Sitobondo dan Surabaya. Konsumen pengguna

jagung asal Nusa Tenggara Barat antara lain : PT Cargil Indonesia, PT Panca

Patriot Prima, PT Reza Perkasa, PT Suri Tani Pemuka, PT Wirifa Sakti, dan PT

Wonokoyo Jaya Corporindo.

5.6 Harga Jagung dan Perkembangannya

Oleh karena sebagian besar tanaman jagung diusahakan di lahan kering

pada musim penghujan dan di sawah pada musim kemarau ke-2, maka panen
99

raya jagung terjadi pada bulan Maret sehingga terjadi peningkatan supply yang

pada gilirannya berakibat pada fluktuasi harga di tingkat petani. Pada bulan

Oktober s.d Maret di mana harga jagung relatif rendah, harga tertinggi terjadi

pada bulan Mei s.d September, yaitu ketika jagung yang ditanam di sawah belum

panen. Gambaran fluktuasi harga jagung di Kabupaten Lombok Timur tahun

2012 dari bulan ke bulan dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut:

1450

1400

1350

1300

1250 Lotim

1200

1150

1100
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Jul Agust Sept Okt Nov Des

Gambar 5.5 Fluktuasi Harga Jagung di Level Petani di Kabupaten Lombok Timur
(Lotim) Tahun 2012

Salah satu perangsang peningkatan produksi dan pengiriman jagung

keluar provinsi Nusa Tenggara Barat adalah harga jagung yang terus membaik

dari tahun ke tahun, sebagai dampak langsung meningkatnya kebutuhan jagung

dalam negeri. Peningkatan harga jagung tidak saja terjadi pada level konsumen

pengguna, namun juga berimbas pada peningkatan harga di level petani.


100

3000

2500

2000
Harga (Rp/kg)

1500

1000

500

0
1990 1995 2000 2005 2010 2015
Tahun

Gambar 5.6 Perkembangan Harga Jagung di Level Petani Tahun 1995 s.d 2012
Sumber: Diolah Dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
dan Berbagai Sumber Lainnya.

Sebagai mana tampak pada Gambar 5.6 bahwa trend harga jagung terus

meningkat dalam kurun waktu tahun 1995 s.d 2012, kecuali pada tahun 2009

menunjukkan penurunan yang tajam. Perilaku ekonomi petani mengikuti trend

pasar, di mana kenaikan harga direspon positif dengan memperluas areal tanam,

sebaliknya apabila harga turun, petani akan menyesuaikan luas areal panen

pada tahun berikutnya. Dengan menghubungkan data pada Tebel 5.4 dan

Gambar 5.6 tampak ada korelasi positif antara harga dengan luas panen.

Perkembangan harga jagung di level petani merupakan derivatif dari harga

jagung level grosir dan di level eceran (konsumen). Gambar 5.7 memperlihatkan

adanya perubahan harga yang konsisten antara harga di level eceran dengan

harga di level petani dalam jangka panjang (lebih dari satu tahun). Pada gambar

yang sama terlihat marjin pemasaran yang mengalami perubahan dari waktu ke

waktu di mana pada tahun 2006 marjin pemasaran tidak terlampau lebar, pada
101

tahun-tahun berikutnya tampak marjin pemasaran semakin melebar terutama

tahun 2008 dan 2009.

4,000

3,500

3,000
Harga (Rp/kg)

2,500
Level Petani
2,000
Level Grosir
1,500
Level Eceran
1,000

500

-
2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar: 5.7 Perkembangan Harga Jagung Pada Berbagai Level Kelembagaan


Pemasaran Tahun 2006 s.d 2011.
Sumber: Diolah Dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi NTB

Dari fenomena ini dapat dikatakan bahwa kenaikan harga di level

konsumen tidak sepenuhnya ditransmisi ke harga di level petani, sebagai akibat

berbagai hambatan informasi dan struktur pasar yang tidak sempurna, di

samping faktor jarak yang lebar antara lokasi sentra produksi dengan sentra

konsumen, dan waktu tempuh yang tidak singkat, sebagai akibat kondisi jalan di

sentra produksi (perdesaan) yang belum seluruhnya kondusif dalam

memperlancar pergerakan dan distribusi barang. Kendala-kendala tersebut

dimanfaatkan oleh pedagang untuk meningkatkan perolehan keuntungan.

Pelajaran lain yang dapat ditarik dari Gambar 5.7 di atas adalah

peningkatan produksi yang tinggi tidak sepenuhnya menguntungkan petani,


102

kenaikan produksi justru lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan

konsumen, karena dapat menekan harga beli di tingkat petani, justru petani

memperoleh keuntungan yang lebih besar jika produksi secara nasional atau

regional tidak terlalu banyak, sebab para pembeli telah berebut mendapatkan

pasokan dengan menaikkan harga beli di level petani sebagai mana tampak

pada tahun 2010 ketika produksi jagung menurun bila dibandingkan tahun 2009.

Pada tahun 2010, harga beli jagung di level petani meningkat, sehingga marjin

pemasaran antara pedagang grosir dan eceran tampak kecil, namun marjin

antara petani dan pedagang grosir tetap lebar.

5.7 Keterkaitan Antar Kelembagaan Dalam Kolaborasi Rantai Pasok Jagung

Kolaborasi rantai pasok jagung melibatkan sejumlah kelembagaan yaitu

Kelompok Tani, Koperasi, Koordinator Lapang, Pedagang Perantara,

Perusahaan / Avalis dan Bank Umum, Peternak Ayam Petelur (Layer) dan

Industri Pakan Ternak (Gambar 5.8).

Gambar 5.8 menunjukkan bahwa aliran modal dari Bank Umum ke

Perusahaan yang berperan selaku avalis (penjamin pinjaman) atau selaku

integrator kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan ke Perusahaan

Swasta yang berperan sebagai pedagang perantara, selanjutnya perusahaan

menyalurkan kredit ke petani melalui koordinator lapang, kelompok tani dan ke

petani. Sementara kredit yang melalui pedagang perantara yang mana alur

modal langsung ke petani, sehingga jalur aliran modalnya lebih pendek. Arus

pengembalian modal mengikuti arah yang sebaliknya.


103

PERUSAHAAN
(INTEGRATOR / BANK UMUM
AVALIS)

KELOMPOK
KOPERASI / LSM /
TANI KOORDINATOR
LAPANG

PETERNAK /
INDUSTRI
PENGOLAHAN

PETANI JAGUNG
PEDAGANG
MITRA PERANTARA

Gambar 5.8 Skema Keterkaitan Antar Lembaga Dalam Kolaborasi Rantai Pasok
Jagung
Keterangan :
= aliran modal
= aliran modal dan pelayanan teknologi
= aliran produk dan pengembalian pinjaman (modal)
= aliran pengembalian pinjaman (modal)

Aliran teknologi bergerak dari perusahaan ke petani mengikuti aliran modal,

karena paket kredit mengikuti paket teknologi terutama input / sarana produksi

pertanian.

Aliran produk jagung bergerak dari petani ke kelompok tani, koordinator,

dan perusahaan. Dari perusahaan ada yang langsung ke peternak / industri

pengolahan, ada juga yang melalui pedagang perantara. Bagi petani yang

mendapatkan pinjaman modal atau kredit dari pedagang perantara, aliran


104

produknya langsung dari petani ke pedagang perantara, selanjutnya ke peternak

atau industri pengolahan pangan maupun pakan ternak. Yang berperan sebagai

koordinator lapang antara lain koperasi, LSM dan/atau perseorangan.

Setiap jalur aliran modal, teknologi dan produk mengikuti alur informasi dan

koordinasi. Alur informasi dan koordinasi merupakan inti dari manajemen rantai

pasok.

Dari Gambar 5.8 di atas diketahui bahwa jalur aliran modal, teknologi/

pelayanan dan informasi dengan integrator perusahaan swasta atau pedagang

perantara lebih pendek, sehingga mereka mengelola rantai pasok lebih efektif

dan lebih efisien. Kelemahannya adalah sulit memperluas jangkauan pelayanan

dan terbatas di bawah 100 ha.

Kelompok tani dan petani mitra dalam menjalin kerjasama (kolaborasi)

dengan perusahaan diharuskan melengkapi sejumlah persyaratan yang

dibutuhkan, antara lain:

1. Foto copy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas lahan

pertanian yang dimiliki oleh petani mitra;

2. Fotocopy Kartu Tanda Pengenal (KTP);

3. Jaminan (agunan) dari kelompok berupa sertifikat tanah atau Buku Pemiliki

Kendaraan Bermotor (BPKB) asli dari Ketua Kelompok Tani atau salah

seorang anggota kelompok tani;

4. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang sudah disetujui atau

diketahui oleh Penyuluh Pertanian Lapang (PPL).

Semua persyaratan sebagai mana disebutkan di atas di antar ke kantor

perwakilan perusahaan atau dititip melalui Pembina Lapang (PL) perusahaan


105

untuk mendapat pengecekatan dari PL dan memperoleh persetujuan pimpinan

cabang di Mataram setelah mendengarkan pertimbangan dari PL.

Sebelum persetujuan manajer cabang perusahaan, PL melakukan

klarifikasi atas usulan pada RDKK, mengecekatan tersebut meliputi :

a. mengecekan atas kebenaran tempat tinggal dengan membandingkan alamat

di KTP dan alamat tinggal yang sebenarnya,

b. mengecek luas lahan yang dimiliki dengan mencocokkan luas lahan pada

SPPT dengan keterangan pekasih,

c. pengecekan lokasi lahan usahatani dan kondisi pengairan, kelas tanah, dan

lain-lain dengan mengkroscek data-data pada RDKK dengan yang

sebenarnya dari informasi pekasih,

d. mendapatkan informasi tentang karakter petani dari warga sekitar tempat

tinggalnya.

Dari hasil wawancara dengan PL diinformasikan bahwa karena berbagai

keterbatasan dan kendala yang dihadapi di lapangan, tidak setiap petani

diperoleh informasi yang akurat, karena jumlah petani yang banyak, lokasi dan

tempat tinggal petani dengan jarak yang jauh, petani lebih banyak waktunya di

ladang, sehingga sulit ditemukan. Dalam praktiknya hanya dipercayakan dari

informasi yang diperoleh dari ketua kelompok atau PPL (Lampiran 20).

Dengan menggunakan informasi yang diperoleh selama investigasi dan

verifikasi data petani dan kelompok tani, PPL mengeluarkan rekomendasi

sebagai bahan pertimbangan manejer dalam menyetujui usulan RDKK suatu

Kelompok Tani. Atas dasar rekomendasi dari PPL, maka manajer dapat

menyetujui permohonan kelompok tani. Dalam praktiknya, tidak semua PPL

mengetahui adanya kerjasama antara kelompok tani dengan perusahaan.


106

Setelah mendapat persetujuan, perusahaan membuatkan surat perjanjian

kontrak yang mengatur tentang hak dan kewajiban masing-masing termasuk

tentang mekanisme penyaluran dan pengembalian kredit (jumlah dan waktu).

Proses sejak pengusulan hingga pencairan membutuhkan waktu 2 s.d 3 bulan

sebelum musim tanam. Hanya kelompok tani yang memenuhi syarat saja yang

disetujui usulan pinjaman modal /kredit. Penyaluran kredit berupa natura seperti

benih, pupuk, herbisida, pestisida; berupa innatura adalah biaya pembukaan dan

pengolahan lahan sebesar Rp 1.200.000/ha. Kredit dalam bentuk natura dan

innatura diantar langsung oleh Pembina Lapang (PL) ke tempat tinggal ketua

kelompok tani.

Kolaborasi rantai pasok antara perusahaan / avalis dengan kelompok

tani dikukuhkan dengan surat kontrak semacam surat perjanjian yang

menegaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu petani

jagung dengan perusahaan.

Secara implisit dalam surat kontrak perjanjian mengharuskan petani untuk:

a. memanfaatkan seluruh sarana produksi yang diterima pada lahan

usahataninya untuk meningkatkan produksi jagung;

b. tidak diperkenankan memindahtangankan atau memperjualbelikan sarana

produksi kepada pihak lain tanpa persetujuan manajer perusahaan;

c. petani melalui ketua kelompok tani melaporkan kepada perusahaan tentang

jadwal panen;

d. petani berkewajiban menjual hasil produksi berupa jagung tongkol kering

panen kepada koordinator lapang yang ditunjuk perusahaan;


107

e. sebagian dari pembayaran hasil produksi digunakan untuk mengembalikan

pinjaman dengan cara didebet langsung oleh perusahaan, hanya sisa nilai

produksi dari pengembalian kredit yang diserahkan kepada petani.

Ada beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi oleh perusahaan kepada

petani, yaitu:

a. menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan petani sesuai dengan usulan

dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani atau memodifikasi sesuai

dengan ketersediaannya di pasar;

b. menghantarkan sarana produksi dan uang tunai (cost of living) ke tempat

tinggal petani;

c. membeli dan membayar seluruh hasil produksi petani atau sesuai dengan

kesepakatan yang ditetapkan menjelang panen;

d. tempat penyerahan hasil produksi adalah di tepi jalan umum yang dapat

dilalui kendaraan bermotor roda empat terdekat dari lokasi usahatani atau

sesuai kesepakatan yang ditentukan ketika panen.

Berbeda dengan kolaborasi antara pedagang perantara (perusahaan

swasta) dengan petani mitra di mana perjanjian dilakukan secara lisan atas dasar

saling percaya tanpa dilengkapi dengan surat perjanjian kontraktual dan tanpa

agunan. Namun karena mereka telah saling mengenal dengan baik (face to

face), dan bertempat tingggal di lokasi yang sama sehingga memungkinkan bagi

perusahaan swasta melakukan pemantauan setiap saat diperlukan, termasuk

mengetahui kapan panen. Perusahaan swasta yang bermitra dengan petani lebih

mudah mengesekusi pengembalian pinjaman, karena birokrasi tidak terlalu

panjang dan proses pengambilan keputusan lebih mudah dan cepat, serta jumlah

petani mitranya tidak banyak.


108

5.8 Petani Mitra dengan Pedagang Perantara lain

Alur aliran modal, teknologi/pelayanan, informasi dan produk sebagai mana

diuraian di atas tidak semuanya terlaksana sebagai mana mestinya. Berbagai

kendala psiko-ekonomi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan,

diantaranya adalah (1) keingkaran petani untuk melunasi hutangnya, (2) hasil

produksi yang tidak sesuai harapan, (3) petani menghindari pemotongan nilai

penjualan untuk menutupi pinjamannya, (4) luasan areal tanam yang tidak sesuai

dengan yang dilaporkan pada RDKK, (5) kegagalan panen karena faktor cuaca

dan gangguan hama penyakit, (6) tertarik dengan tawaran harga yang lebih

tinggi dari pembeli bebas, seperti makelar dan pedagang pengumpul

(Lampiran..20).

Aliran modal dari perusahaan yang berperan sebagai integrator berproses

sesuai Gambar 5.11, namun terjadi penyimpangan bagi petani yang ingkar janji

atas surat kontrak yang telah disepakati, yang mana petani tidak menyetorkan

hasil panennya ke perusahaan yang berperan sebagai avalis melalui ketua

kelompok tani dan koordinator lapang, melainkan menjualnya ke pembeli lain,

seperti makelar atau pedagang pengumpul yang menawarkan harga lebih tinggi

daripada harga pembelian perusahaan mitra. Dua dari tiga orang petani yang

melakukan penyimpangan terhadap akad kredit yang telah ditandatangani.

Dampak dari pengingkaran ini adalah perusahaan mengalami kerugian, karena

tidak mampu menutupi biaya overhead dan biaya operasional (Lampiran 20).

Dari hasil wawacara mendalam terungkap bahwa permasalahan

pengingkaran tersebut merupakan persoalan krusial bagi perusahaan, karena

berdampak buruk bagi kelangsungan hubungan antar pelaku dalam kolaborasi

rantai pasok. Selain menghadapi persoalan dengan petani, juga persoalan yang
109

kerap muncul adalah adanya Pembina Lapang perusahaan yang melakukan

peminjaman living cost petani dari ketua kelompok dan pelunasan hutangnya

juga tidak dosetorkan kepada perusahaan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam

(Lampiran 20) dengan Ketua Kelompok Tani, karena perbuatan Pembina Lapang

(PL) tersebut, maka PL tidak berani datang lagi mendampingi kelompok, dan ada

juga PL yang diberhentikan oleh perusahaan. Hal ini dibenarkan oleh manajer

cabang perusahaan. Akibat pengingkaran oleh petani dan Pembina Lapang,

maka perusahaan mengalami kerugian akibat terjadinya tunggakan

pengembalian pinjaman. Jumlah kredit / pinjaman yang tertunggak tahun 2012

sebanyak Rp.2,844 milyar, sekitar 2/3 dari jumlah kredit yang disalurkan

sebesar Rp 4,266 milyar. Luas areal usahatani yang menjadi sasaran

pembinaan adalah sekitar 562,10 ha pada PT Pertani (Lampiran 13) dan 409 ha

pada PT Sang Hyang Seri dengan jumlah 971,10 ha luas lahan usahatani.

Jumlah kredit yang disalurkan untuk usahatani jagung mencapai Rp 2,836 milyar

pada PT Pertani dan Rp 1,43 milyar pada PT Sang Hyang Seri dengan paket

kredit sebesar Rp 3.500.000/ha (Lampiran 14).

Ada dua penyebab terjadinya tunggakan kredit: (1) faktor ketidak

sengajaan petani, yaitu karena petani benar-benar gagal dalam usahataninya,

misalnya tanaman rusak karena serangan hama penyakit, cuaca kering, atau

hasil produksi yang rendah, sehingga nilai produksi tidak mampu menutupi

hutang-hutangnya; (2) faktor kesengajaan, yaitu petani sebenanya mampu

membayar seluruh hutangnya, hanya tidak mau melunasinya karena di dalam

dirinya ada pengingkaran akad kredit. Bila terjadi tunggakan karena faktor yang

pertama, maka perusahaan memakluminya dan memberikan kesempatan


110

kepada petani untuk membayarnya pada musim tanam yang akan datang;

sehingga kerugian ditanggung bersama tanpa membebani petani dengan denda

atau biaya tambahan akibat menunggak. Bila tunggakan disebabkan oleh faktor

yang kedua, maka yang mengalami kerugian hanya pihak perusahaan. Dalam

konteks ini, perusahaan dapat menempuh jalur hukum atau melakukan tekanan

kepada petani agar mereka mau melunasi hutang-hutangnya. Hanya saja,

penyelesaian melalui jalur hukum belum pernah ditempuh oleh perusahaan.

Yang pernah dilakukan adalah melakukan pendekatan kekeluargaan atau

pendekatan personal dengan menagih ketua kelompok tani atau petani yang

disertai dengan peringatan keras.

Pengingkaran atas pembayaran hutang yang disebabkan faktor

kesengajaan, ditegaskan dalam Al-Qur’an surat ke-100 (Al-Hadiyat) ayat ke-6

sampai dengan ayat ke-8 sebagai berikut: ‘sesungguhnya manusia itu sangat

ingkar, tidak berterimakasih kepada Tuhannya; dan sesungguhnya manusia

itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya; dan sesungguhnya dia sangat

bakhil karena cintanya kepada harta’. Dengan penegasan ini dapatlah

dipahami bahwa pengingkaran terhadap janji itu karena sangat kuat cintanya

terhadap harta, sehingga menjadikan manusia itu bakhil, tidak memberikan apa

yang menjadi hak orang lain, bahkan mengambil yang bukan haknya. Sementara

bakhil artinya kikir (medit), yaitu suatu sikap dan perilaku yang sangat kikir, tidak

mudah menunaikan kewajiban, enggan membayar hutang, tidak bersedia

berzakat, berimfak dan bersedekah, sebaliknya sangat suka menerima

pemberian orang lain, serta sedikit sekali bersyukurnya kepada Tuhannya.


111

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Responden

Data yang dianalisis pada penelitian ini bersumber dari data primer yang

diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan data sekunder yang

diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Badan

Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat. Wawancara dilakukan

dengan menggunakan instrumen kuesioner dan kisi-kisi wawancara

mendalam. Jumlah responden petani sebanyak 120 orang, dan pedagang

perantara 20 orang, dan 60 orang peternak ayam petelur. Seluruh responden

berjumlah 200 orang. Sementara wawancara mendalam dilakukan dengan

Ketua Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian Lapang (PPL), pedagang perantara,

konsumen pengguna, dan Ex Manajer Lapang PT Darmaniaga dan PT Pertani

Cabang Nusa Tenggara Barat. Sebelum menganalisis perlu dideskripsikan

karakteristik social ekonomi responden sebagai acuan dalam membahas hasil

analisis.

6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Petani Jagung

Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi responden, maka

dilakukan deskriptif terhadap data jenis kelamin, usia, pendidikan, kepemilikan

handpon dan jumlah tenaga kerja usia produktif anggota rumah tangga

responden. Distriubusi frekuensi karakteristik sosial ekonomi responden dapat

dibaca pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3.

Peranan laki-laki pada masyarakat agraris tampak masih dominan, di

mana 90,83% dari 120 responden adalah laki-laki, sisanya 9,17% responden

perempuan sebagai perempuan kepala rumah tangga. Responden perempuan

umumnya berstatus janda atau ditinggal suaminya mencari kerja ke luar negeri
112

sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negeri jiran Malaysia atau negara

lainnya. Walau jumlah responden perempuan relatif kecil, namun peranan

perempuan dalam usahatani tampak nyata karena ikut membantu laki-laki

dalam mengerjakan pekerjaan tertentu di sawah atau ladang, seperti

menanam, menyiang, membumbun dan panen.

Tabel 6.1 Dirtribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Petani


Jagung

No Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (n=120)


1 Kelamin
Perempuan 11 9,17
Laki-laki 109 90,83
2 Usia (tahun)
≤ 30 7 2,50
30 s.d 34 19 15,83
35 s.d 39 12 10,00
40 s.d 44 26 21,67
45 s.d 49 4 3,33
50 s.d 54 18 15,00
55 s.d 59 5
60 s.d 64 10
65 ≥ 19 28,33
3 Pendidikan
Tidak punya ijazah 60 50,00
SD sederajat 32 26,67
SMP Sederajat 15 12,50
SMA Sederajat 10 8,33
Diploma (5-8) 0 0,00
S1 3 2,50
S2 0 0
4 Jumlah Anggota RT Usia
Produktif (orang)
≤2 60 50,00
3 s.d 5 54 45,00
6≥ 6 5,00
5 Kepemilikan HP
Memiliki 31 25,83
Tidak memiliki 89 74,17

Usia responden minimal 19 tahun dan maksimal 80 tahun. Rata-rata usia

responden 47,25 tahun. Yang tergolong usia produktif sebanyak 101 orang,

sedangkan yang berusia non-produktif (65 tahun lebih) sebanyak 19 orang.


113

Usia 65 tahun lebih tergolong usia non produktif, namun dalam kenyataannya

petani tersebut masih aktif bekerja mengusahakan tanaman jagung. Tidak

semua anggota rumah tangga berusia produktif tersebut bekerja pada

usahatani jagung, sebagiannya sedang sekolah dan mengurus rumah tangga,

dan ada juga yang bekerja di luar usahatani. Dengan demikian hampir semua

petani membutuhkan tenaga kerja luar keluarga untuk membantu mengerjakan

beberapa jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan waktu penyelesaian 1 s.d

3 (tiga) hari seperti mengolah tanah, menanam dan memanen.

Dilihat dari jenjang pendidikan tampak bahwa para petani yang

mengusahakan tanaman jagung separuhnya tidak bersekolah dan tidak tamat

Sekolah Dasar sederajat atau tidak memiliki ijazah. Rendahnya tingkat

pendidikan petani responden akan berimplikasi pada penyerapan informasi

teknologi dan pemanfaatan skim bantuan dari pemerintah dan/atau

perusahaan. Pendidikan formal bukan satu-satunya sebagai penentu kapasitas

petani dalam berusahatani. Pergaulan dan pengalaman dalam berusahatani

serta kondisi sosial lingkungan memberikan andil dalam membangun kapasitas

sumberdaya manusia para petani, seperti aktivitas belajar pada kelompok tani,

serta adanya anak yang telah berpendidikan formal, sedikit banyak turut

berkontribusi dalam penyerapan informasi, teknologi, dan akses terhadap

permodalan serta pasar.

Separuh dari jumlah anggota rumah tangga responden dihuni oleh

penduduk usia produktif sebanyak 1 s.d 2 orang, jumlah rumah tangga dengan

anggota usia produktif 3 s.d 5 orang sebanyak 54 rumah tangga dan yang

memiliki anggota rumah tangga usia produktif lebih dari 6 orang sebanyak 6

rumah tangga. Rata-rata jumlah anggota keluarga 3,6 orang per rumah tangga.
114

Para petanipun tidak ketinggalan dalam memiliki alat komonikasi

handpon (HP), sebagai sarana dalam mengakses informasi yang mereka

butuhkan. Tiap 4 (empat) orang petani jagung terdapat 1 (satu) orang petani

yang memiliki telepon genggam (HP). HP digunakan untuk berkomunikasi

dengan keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan informasi jenis input dan

harga sarana produksi, serta mengakses pasar atas produk hasil

pertaniannnya.

Pada Tabel 6.1 deskripsi frekuensi karakteristik sosial ekonomi

responden ditemukan adanya variasi yang terkait langsung atau tidak langsung

dengan indikator variabel berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan

keselarasan insentif, serta variabel laten lainnya sebagai struktur yang

menyusun hipotesis, yaitu variabel yang mempengaruhi manajemen rantai

pasok dan kesejahteraan petani. Melalui wawancara dengan menggunakan

instrumen kuesioner dilakukan konfirmasi ulang dengan para responden untuk

mendapatkan kejelasan yang menjadi alasan logis atas kondisi tersebut. Lebih

lanjut dengan menerapkan metode snowball sampling dilakukan pula

konfirmasi dengan para pedagang perantara dan konsumen pengguna baik

yang berdomisili di Pulau Lombok maupun di Pulau Bali, sehingga diperoleh

sinkronisasi jawaban yang saling melengkapi dan memperkuat argumentasi.

6.1.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Pedagang Perantara

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian ini diterapkan

teknik snowball sampling. Dari petani ditelusuri aliran produk melalui pedagang

perantara, selanjutnya ke konsumen pengguna. Dari hasil tabulasi data pada

Tabel 6.2 diskripsi frekuensi karakteristik sosial ekonomi responden diperoleh

data yang menggambarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, jumlah anggota


115

keluarga produktif dan kepemiliki handpon. Data lengkapnya dapat dibaca

pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden


Pedagang Perantara

No Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (n=20)


1 Kelamin
Perempuan 2 10,00
Laki-laki 18 90,00
2 Usia (tahun)
≤ 30 2 10,00
30 s.d 34 2 10,00
35 s.d 39 2 10,00
40 s.d 44 6 30,00
45 s.d 49 2 10,00
50 s.d 54 2 10,00
55 s.d 59 1 5,00
60 s.d 64 - -
65 ≥ 3 15,00
3 Pendidikan
Tidak punya ijazah 6 30,00
SD sederajat 5 25,00
SMP Sederajat 2 10,00
SMA Sederajat 6 30,00
Diploma (5-8) - -
S1 1 5,00
S2 - -
4 Jumlah Anggota RT Usia
Produktif (orang)
≤2 13 65,00
3 s.d 5 7 35,00
6≥ 0 0
5 Kepemilikan HP
Memiliki HP 16 80,00
Tidak Memiliki HP 4 20,00

Usia pedagang berkisar antara 22 s.d 70 tahun dan rata-rata 45,15

tahun. Jumlah pedagang yang berusia produktif 17 orang, sebagian besar

pedagang perantara berusia 40 s.d 44 tahun. Dengan demikian, para

pedagang memiliki kapasitas untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran,

karena memiliki level pendidikan yang baik bila dibandingkan dengan petani,

dan didukung oleh kondisi kesehatan fisik dan mental.


116

Selain usia, para pedagang ditunjang oleh jenjang pendidikan yang mana

sebagian besar dari para pedagang berpendidikan menengah. Oleh karena

jenjang pendidikan yang memadai, maka lebih mudah dalam mengadopsi

informasi dan memiliki pengetahuan yang menunjang profesinya sebagai

pedagang.

Jumlah tanggungan dalam rumah tangga antara 2 s.d 5 orang dengan

rata-rata 3,05 orang/rumah tangga. Jumlah tanggungan tergolong sedang,

sehingga dalam menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran

memerlukan tenaga kerja luar keluarga, sebab jumlah anggota rumah tangga

usia produktif umumnya dua orang. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga

dalam menyelenggarakan fungsi pemasaran memberikan indikasi bahwa para

pedagang menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan nilai tambah

terutama pada fungsi pengangkutan, pengeringan, penyimpanan, dan

pengemasan.

Persentase kepemiliki telepon gengga (handphone) yang cukup banyak

yaitu 80%, artinya dalam setiap 5 (lima) orang pedagang terdapat 4 (empat)

orang yang memiliki telepon genggam. Para pedagang relatif lebih banyak

memiliki handphone daripada para petani, akibatnya penguasaan informasi

pasar oleh para pedagang lebih baik daripada para petani (Tanaya,

et..al.,2002).

6.1.3 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Konsumen Pengguna


Jagung

Karakteristik sosial ekonomi responden konsumen pengguna jagung

(peternak ayam petelur) ditampilkan pada Tabel 6.3 sebagai berikut:


117

Tabel 6.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden


Konsumen Pengguna Jagung

No Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (n=60)


1 Kelamin
Perempuan 1 1,67
Laki-laki 59 98,37
2 Usia (tahun)
≤ 30 3 5,00
30 s.d 34 4 6,67
35 s.d 39 2 3,34
40 s.d 44 6 10,00
45 s.d 49 8 13,34
50 s.d 54 12 20,00
55 s.d 59 7 11,67
60 s.d 64 11 18,33
65 ≥ 7 11,67
3 Pendidikan
Tidak punya ijazah 7 11,67
SD sederajat 8 13,34
SMP Sederajat 6 10,00
SMA Sederajat 23 38,33
Diploma (5-8) 2 3,34
S1 13 21,67
S2 1 1,67
4 Jumlah Anggota RT Usia
Produktif (orang)
≤2 28 46,66
3 s.d 5 30 50,00
6≥ 2 3,34
5 Kepemilikan HP
Memiliki HP 44 73,33
Tdk Memiliki HP 16 26,67

Usia peternak ayam berkisar antara 22 s.d 70 tahun dengan rata-rata

51,74 tahun. Jumlah peternak ayam yang berusia produktif 53 orang, sebagian

besar peternak ayam perantara berusia 50 s.d 54 tahun. Dengan demikian,

para peternak ayam memiliki kapasitas untuk melaksanakan pekerjaanya

sebagai peternak, namun relatif lebih tua bila dibandingkan dengan pedagang

dan petani, dan didukung oleh kondisi kesehatan fisik dan mental.
118

Selain usia, para peternak ayam ditunjang oleh jenjang pendidikan

menengah sampai dengan sarjana. Umumnya usaha peternakan sebagai

lapangan pekerjaan sampingan, misalnya selain bertani atau pegawai juga

memelihara ayam petelur. Kebanyakan dari mereka adalah mantan tenaga

kerja Indonesia di luar negeri.

Jumlah anggota dalam rumah tangga berkisar antara 2 (dua) s.d. 8

(delapan) orang dengan rata-rata 3,67 orang. Bila dibandingkan dengan petani

dan pedagang, maka jumlah anggota keluarga peternak menempati ranking

pertama. Karena jumlah anggota keluarga relative lebih banyak, maka

penggunaan tenaga kerja luar keluarga hanya pada pemeliharaan ternak di

atas 5.000 ekor.

Dilihat dari level pendidikan yang memadai, maka lebih mudah dalam

mengadopsi informasi dan pengetahuan yang menunjang pekerjaannya

sebagai peternak ayam. Penguasaan informasi dapat dilihat dari persentase

kepemiliki telepon gengga (handphone) yang cukup banyak yaitu 73,33%,

ranking kedua setelah pedagang.

6.2 Usahatani Jagung di Daerah Penelitian

6.2.1 Produktivitas Usahatani Jagung

Kapasitas produksi jagung hibrida 10 s.d 16 ton/ha tongkol kering panen.

Dari hasil ubinan yang dilakukan di lahan usahatani milik salah seorang

responden diperoleh 138,4 kg/are atau 13,84 ton/ha tongkol kering panen.

Jarak tanam 32 cm x 82 cm, jumlah tanaman 1 (satu) s.d. 2 (dua)

pohon/rumpun. Jumlah populasi 65.400 pohon/ha dengan jumlah 1 (satu)

tongkol per pohon. Berat tongkol berkisar 153 s.d 302 g/tongkol dengan rata-
119

rata 212 g/tongkol kering panen. Dengan asumsi konversi 60% dari tongkol

kering panen menjadi jagung pipil kering simpan (kadar air 18 s.d 20%)

diperkirakan produksi sebesar 8,3 ton/ha jagung pipil kering. Hasil ubinan ini

masih berada pada kisaran kapasitas produksi sebagaimana diungkapkan di

depan.

Produksi jagung pada lahan usahatani tidak setinggi produksi jagung

hibrida dan hasil ubinan di atas. Sebab tidak semua petani menanam jagung

hibrida dan belum optimal dalam menggunakan pemupukan lengkap dan

berimbang, serta kendala cuaca dan gangguan hama penyakit, termasuk

kondisi kesuburan tanah dan ketersediaan air irigasi yang terbatas di lahan

kering (Lampiran 20). Rata-rata produktivitas usahatani jagung musim tanam

tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4 Produktivitas (ku/ha) Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Maksimum 140,00 118,50 140,00
2 Rata-rata 72,10 62,03 65,81
3 Minimum 14,80 10,50 10,50
4 Standar Deviasi 30,31 25,54 27,73
Sumber: Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1

Rata-rata produktivitas jagung di kecamatan Wanasaba lebih tinggi

daripada di kecamatan Pringgabaya, sebab jagung di kecamatan Wanasaba

sebagian besar ditanam di lahan sawah irigasi teknis dan ½ teknis pada musim

kemarau, sedangkan di kecamatan Pringgabaya ditanam di lahan kering

(ladang) pada musim tanam penghujan, sebagian petani di kecamatan

Pringgabaya menggunakan irigasi sumur pompa air tanah.


120

Pada Tabel 6.4 di atas, tampak bahwa rata-rata produktivitas usahatani

jagung masih di bawah target 10 ton/hektar (100ku/ha). Persentase petani

yang mampu mencapai target produktivitas 10 ton/ha dapat dilihat pada

Tabel..6.5.

Tabel 6.5 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut


Produktivitas Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012

Kecamatan Agregat
No Produktivitas (ku/ha)
Wanasaba Pringgabaya Jumlah %
Jumlah % Jumlah %
1 100,00 ≥ 10 22,22 11 14,67 21 17,50
2 75,00 s.d 99,99 12 26,67 10 13,33 22 18,33
3 50,00 s.d 74,99 11 24,44 32 42,67 43 35,83
4 25,00 s.d 49,99 10 22,22 19 25,33 29 24,17
5 ≤ 24,99 2 4,44 3 4,00 5 4,17
Jumlah 45 100,00 75 100,00 120 100,00

Sumber: Diolah dari Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1

Persentase usahatani dengan poduktivitas jagung di atas 100 ku/ha

sebesar 17,50 persen terdiri atas 22,22 persen di Kecamatan Wanasaba, dan

14,67 persen di kecamatan Pringgabaya. Variasi produktivitas tersebut selain

karena faktor alam (cuaca dan kondisi lahan), juga terkait dengan penggunaan

input produksi dan teknologi budidaya. Penggunaan benih unggul berkualitas

serta respon terhadap pemupukan menjadi faktor penentu produktivitas

usahatani.

Faktor sosial ekonomi petani yang terkait tidak langsung dengan

produktivitas adalah di Kecamatan Wanasaba lebih memilih berusaha tani

mandiri atau bermitra dengan perusahaan swasta yang tidak menerapkan

sistem bagi hasil atau membebani biaya operasional dalam pembinaannya dan

fleksibel dalam mengakses teknologi. Selain itu, pada tahun 2012 petani di

kecamatan Wanasaba telah menerima Bantuan Langsung Benih Unggul


121

(BLBU) dari pemerintah, sementara perusahaan Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang menyelenggarakan program Gerakan Peningkatan Produksi

Pangan Berbasis Korporat (GP3K) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan

(PKBL) di Kecamatan Pringgabaya. Pada tahun 2012, PT Pertani sebagai

BUMN yang ditugaskan mengkoordinasikan GP3K menjalin kerjasama dengan

Koperasi Selaras Corporate Indonesia, dan UD Kreatif; sedangkan pada tahun

2013 menunjuk koordinator lapang dari unsur perseorangan atau Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM).

6.2.2 Nilai Produksi Usahatani Jagung

Satu dari dua komponen pendapatan usahatani adalah nilai produksi.

Nilai produksi usahatani jagung ditampilkan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6 Nilai Produksi (Rp/ha) Pada Usahatani Jagung Musim Tanam
Tahun 2012

No Uraian Kecamatan Agregat


Wanasaba Pringgabaya (N=120)
(n=45) (n=75)
1 Maksimum 21 700 000 15 997 500 21 700 000
2 Rata-rata 9 296 575 8 100 901 8 549 279
3 Minimum 1 998 000 2 029 333 1 998 000
4 Standar Deviasi 4 620 603 3 306 208 3 876 581
Sumber: Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1

Nilai produksi usahatani jagung berkisar antara Rp 1,998 juta sampai

dengan Rp 21,700 juta per hektar dengan rata-rata Rp 8,549 juta/ha

(Tabel..6.6). Nilai produksi tertinggi dan terendah terdapat di Kecamatan

Wanasaba. Rata-rata nilai produksi jagung di Kecamatan Wanasaba lebih

tinggi daripada di Kecamatan Pringgabaya dengan selisih hampir Rp 1,2

juta/ha.
122

Nilai produksi yang berbeda tersebut, selain disebabkan oleh perbedaan

produktivitas per hektar (Tabel 6.4), juga disebabkan oleh harga jual yang lebih

tinggi. Petani di kecamatan Wanasaba panen jagung di luar musim panen raya

(Gambar 5.5). Pada Juli s.d. September harga jagung tongkol kering panen

Rp 1.350/kg. Petani di kecamatan Pringgabaya panen pada musim panen

raya, yaitu bulan Februari dan Maret yang mana harga jagung berfluktuasi

antara Rp 1.200 s.d. Rp 1.250/kg tongkol kering panen.

Distribusi frekuensi jumlah petani menurut nilai produksi dapat dilihat

pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Nilai
Produksi Usahatani Jagung Musim Tanam Tahun 2012

Kecamatan Agregat
No Nilai Produksi (Rp/ha)
Wanasaba Pringgabaya Jumlah %
Jumlah % Jumlah %
1 ≥13 000 000 8 17,78 7 9,33 15 12,50
2 9 750 0000 s.d 12 999 999 11 24,44 17 22,67 28 23,33
3 6 750 000 s.d 9 249 999 11 24,44 23 30,67 34 28,33
4 3 250 000 s.d 6 749 999 13 28,89 25 33,33 38 31,67
5 ≤3 249 999 2 4,45 3 4,00 5 4,17
Jumlah 45 100,00 75 100,00 120 100,00

Sumber: Diolah dari Lampiran 16.1 dan Lampiran 17.1

Pada Tabel 6.7 tampak bahwa nilai produksi per hektar usahatani jagung

mengalami tekanan lebih besar di level petani di kecamatan Pringgabaya bila

dibandingkan dengan di kecamatan Wanasaba. Hal ini ditunjukkan oleh

persentase petani yang lebih banyak dengan nilai produksi di atas Rp 13

juta/ha di kecamatan Wanasaba (17,78%) daripada persentase petani di

Kecamatan Pringgabaya (9,33%).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa resiko turunnya harga

jagung lebih besar pada musim tanam penghujan daripada musim tanam
123

kemarau. Resiko merosotnya hara ini dapat dieliminasi dengan mengusahakan

jagung pada musim kemarau dengan memanfaatkan irigasi sumur pompa

atau dengan menunda waktu jual selama 1 s.d. 2 bulan (April s.d. Mei).

6.2.3 Biaya Produksi Jagung

Biaya produksi total usahatani jagung terdiri atas biaya tetap total dan

biaya variabel total (Lampiran 16.2 dan 17.2). Biaya tetap total adalah biaya

yang jumlahnya tidak berubah meskipun produksi berubah. Biaya tetap total

terdiri atas sewa lahan, penyusutan (deprensiasi) peralatan tahan lama, biaya

modal, dan gaji / upah petani selaku pengelola usahatani. Biaya variabel total

adalah jumlah biaya yang terdiri atas biaya sarana produksi, biaya tenaga

kerja, biaya-biaya lain yang berubah proporsional dengan perubahan jumlah

produksi. Pada Tabel 6.8 ditampakkan biaya produksi total usahatani jagung.

Tabel 6.8 Biaya Produksi Total Usahatani Jagung (Rp/ha) Musim Tanam
Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Maksimum 19 366 108 15 540 787 19 366 108
2 Rata-rata 5 096 428 5 395 733 5 283 493
3 Minimum 1 171 665 1 169 529 1 169 529
4 Standar Deviasi 3 284 743 2 629 024 2 882 474
Sumber: Lampiran 16.2 dan Lampiran 17.2

Mengusahakan jagung di lahan sawah tampak lebih efisien dilihat dari

nilai produksi (Tabel 6.6). Nilai produksi usahatani jagung di lahan sawah lebih

tinggi daripada nilai produksi usahatani jagung di lahan ladang, namun biaya

usahatani jagung di lahan sawah lebih rendah daripada biaya usahatani jagung

di lahan ladang (Tabel 6.8). Efek langsung yang ditimbulkan dari efisiensi

usahatani ini adalah pendapatan usahatani jagung yang lebih tinggi di lahan

sawah daripada di lahan ladang (Tabel 6.9).


124

Dari data dan uraian di atas disimpulkan bahwa produktivitas dan nilai

produksi usahatani jagung dilahan sawah lebih tinggi daripada di lahan ladang,

sementara biaya produksinya lebih rendah. Dengan demikian, maka usahatani

jagung di lahan sawah lebih efisien daripada di lahan ladang.

6.2.4 Pendapatan dan Surplus Produsen Usahatani Jagung

Pada Tabel 6.9 ditampilkan rata-rata pendapatan dan surplus produsen

usahatani jagung.

Tabel 6.9 Rata-rata Pendapatan dan Surplus Produsen Usahatani Jagung


(Rp/ha) Musim Tanam Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Nilai Produksi 9 296 575 8 100 901 8 549 279
2 Total Biaya 5 096 428 5 395 733 5 283 493
3 Total Biaya Variabel 4 137 648 4 717 163 4 499 845
4 Pendapatan Usahatani 4 200 147 2 705 168 3 265 786
5 Surplus Produsen 2 579 446 1 696 907 2 027 859
Sumber: Lampiran 16.2, 16.3, 16.4 dan Lampiran 17.2, 17.3, 17.4

Salah satu ukuran yang sering digunakan dalam mengukur keberhasilan

usahatani adalah pendapatan. Pendapatan adalah nilai produksi dikurangi

dengan pengeluaran biaya sarana produksi dan upah tenaga kerja luar

keluarga, sementara pengeluaran berupa bunga modal dan penyusutan alat

belum diperhitungkan, atau lebih tepat disebut marjin kontribusi. Marjin

kontribusi merupakan selisih antara harga jual produk dengan biaya variabel

rata-rata.

Mengusahakan jagung dapat memberikan pendapatan yang positif

sebesar Rp.3.265.783/ha yang diusakan selama 4 (empat) s.d 5 (lima) bulan,

bagi petani yang luas lahannya kurang dari 1 (satu) hektar maka berpeluang

untuk memperoleh pendapatan yang lebih rendah dan sebaliknya bagi yang
125

mengusahakan tanaman jagung lebih dari satu hektar akan menerima

pendapatan lebih tinggi.

Bagi usahatani komersial seperti usahatani jagung, besarnya pendapatan

usahatani merupakan ukuran keberhasilan sekaligus menjadi harapan bagi

petani dan keluarganya, karena dengan perolehan pendapatan yang lebih

tinggi memungkinkan baginya memenuhi kebutuhan keluarga, pada gilirannya

dapat menaikkan tingkat kesejahteraannya.

Oleh karena rata-rata luas lahan usahatani per responden sebesar

0,599 hektar, sementara pendapatan usahatani per hektar Rp 3 265 783,

maka besarnya rata-rata pendapatan per luas lahan garapan adalah

Rp.1.966.812 atau sekitar Rp.491.703/bulan. Besarnya pendapatan dari

usahatani jagung tidak mampu menutupi pengeluaran konsumsi rumah tangga

yang besarnya sekitar Rp.1,5 juta/bulan. Untuk menutupi kebutuhan rumah

tangganya, para petani mencari penghasilan lain di luar usahatani jagung,

misalnya sebagai buruh tani pada lahan pertanian orang lain, atau bekerja

sebagai peternak, ngojek sepeda motor, supir, dagang, dan lain-lain.

Untuk melihat sejauh mana usahatani jagung mendongkrak perubahan

kesejahteraan rumah tangga petani, berikut akan ditampilkan besarnya surplus

produsen usahatani jagung pada musim tanam tahun 2012. Surplus produsen

dihitung dengan menggunakan rumus matematika geometrik, yaitu hasil kali

marjin kontribusi dengan ½ produktivitas usahatani jagung (persamaan 4.7)

dan persamaan integral biaya marjinal (persamaan 4.8).

Berdasarkan Gambar 6.1 tampak bahwa faktor yang paling

menentukan kesejahteraan petani (surplus produsen) adalah produktivitas.

Apabila produktivitas usahatani meningkat maka surplus produsen akan


126

meningkat. Mengingat bahwa produktivitas usahatani ditentukan oleh

penggunaan sarana produksi dan introduksi teknologi budidaya pertanian,

maka penggunaan teknologi dan alokasi input optimal akan berdampak pada

peningkatan surplus produsen. Surplus produsen adalah ukuran yang

menggambarkan kesejahteraan yang diperoleh produsen dengan kriteria

variasi konpensasi atau sewa kuasi (quasirent).

SURPLUS PRODUSEN USAHATANI JAGUNG


h&c
MUSIM TANAM TAHUN 2012
(Rp/kg)
4000 Surplus
Produsen

3000
BM=S

2000
BVR
1490
a d
1000

432
b
0
10378 12500 q=Produktivitas
q = jagung tongkol kering panen (kg/ha)

Gambar 6.1 Surplus Produsen Usahatani Jagung Musim Tanam


Tahun 2012
Sumber: Lampiran 19.

Keterangan: a+d = Surplus Produsen Usahatani Jagung


= Rp 12.930.102,36/ha
d = Rp 1.951.838,84/ha
b = Biaya Variabel Rata-rata (Rp/ha)
S = kurve penawaran di tingkat petani
BM = Biaya Marjinal
BVR = Biaya Variabel Rata-rata
q = Produktivitas Usahatani Jagung (kg/ha)
Rp 432/kg = biaya variabel rata-rata minimum
Rp 1.000/kg = harga dasar yang ditetapkan oleh
perusahaan (avalis)
Rp 1.490/kg = harga premium jagung tongkol kering
panen (harga rata-rata tahunan)
Rp 3 000/kg = harga jagung di tingkat konsumen
pengguna
127

Selain produktivitas usahatani, yang membatasi kesejahteraan petani

adalah harga output dan harga input. Harga output berbanding lurus dengan

kurve penawaran (supply), sementara harga input berbanding lurus dengan

biaya variabel rata-rata. Apabila petani bersedia menjual jagung lebih rendah

daripada harga pasar, maka petani mengalami kerugian kesejahteraan jika

dibandingkan dengan variasi kompensasi atau sewa quasinya.

Kesediaan produsen untuk melepaskan produk daripada tidak laku

terjual tercapai ketika harga sama dengan biaya variabel rata-rata minimalnya.

Selisih antara harga pasar dengan biaya variabel minimum disebut marjin

kontribusi. Perubahan surplus produsen (area d pada Gambar 6.1) dapat

dihitung dari hasil kali marjin kontribusi dengan setengan kali produktivitas.

Besarnya perubahan surplus produsen usahatani jagung di lokasi penelitian

menggunakan persamaan integral fungsi biaya marjinal (persamaan 4.8)

digambarkan seluas area d = Rp..1.951.838,84/ha. Bila areal a dijumlahkan

dengan areal d sebesar, maka surplus produsen total = Rp..12.930.102,36/

ha/musim tanam atau bila dibulatkan = Rp.12,93 juta/ha/musim tanam.

Interpretasinya adalah jika harga jagung turun dari Rp.1.490/kg menjadi

Rp.432/kg yaitu jumlah uang yang jika diberikan kepada petani sebesar

Rp..12,93 juta/ha tidak mengubah kesejahteraannya. Dalam kontek usahatani

jagung dapat dikatakan bahwa jika petani meningkatkan produktivitas

usahataninya menjadi 12.500 kg/ha jagung tongkol kering panen pada harga

pasar Rp 1490/kg, maka kesejahteraan petani meningkat sebesar Rp..12,93

juta/ha (Just, et al., 2004).

Pada produktivitas rata-rata usahatani jagung 6.581 kg/ha jagung

tongkol kering panen, maka perubahan kesejahteraan rumah tangga petani


128

(area b) sebesar minus Rp..1.488.864,37 dan area a sebesar

Rp..6.961.645,04/ha. Surplus produsen totalnya adalah Rp.5.472.780,67

(area..a minum area b), artinya jika uang sejumlah Rp.5.472.780,67 diberikan

kepada petani tidak mengubah kesejahteraannya jika terjadi larangan

mengusahakan usahatani tanaman jagung, dengan kata lain apabila petani

tidak mengusahakan usahatani tanaman jagung, ia dapat mempertahankan

kesejahteraannya apabila petani mendapatkan konvensasi penghasilan

sebesar Rp. 5.472.780,67 (Just, et al., 2004).

Perubahan kesejahteraan petani lebih banyak dinikmati oleh petani

dengan luas lahan garapan lebih luas daripada satu hektar. Semakin besar

luas lahan garapan, maka semakin besar pula tambahan surplus produsen

yang diperoleh, dan semakin tinggi produktivitas usahatani, maka semakin

besar pula tambahan surplus produsen yang diperoleh dari usahataninya.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa petani menjual produknya

di bawah harga pasar. Jawabannya adalah kebutuhan petani yang mendesak,

dan berbagai alasan lainnya di samping adanya exess supply, karena petani

menjual produknya pada waktu yang bersamaan pada musim panen,

sementara kuantitas permintaan lebih sedikit jika dibandingkan dengan

kuantitas penawaran. Exess supply ini yang mesti dibeli oleh pemerintah, agar

harga jagung di tingkat petani tidak turun bebas, sebab penurunan harga

berdampak kepada penurunan surplus produsen.

Apabila harga jagung terus turun, dan pemerintah tidak melakukan aksi

pasar, maka surplus produsen juga akan turun. Hal ini sudah disadari oleh

perusahaan (avalis) dengan menetapkan harga minimal Rp 1.000/kg jagung

tongkol kering panen, artinya apabila harga pasar jagung di bawah


129

Rp..1000/kg, maka perusahaan membeli jagung petani dengan harga

Rp..1000/kg. Maksud perusahaan menetapkan harga minimal adalah untuk

mempertahankan agar petani tetap bergairah mengusahakan tananam jagung.

h & c (Rp/kg)
3000

2408

2000 BM=S

1490
d

1000

432

| ! | q (kg/ha)
0 2500 5000 7500

Gambar 6.2 . Kurve Penawaran (supply) dan Surplus Produsen Usahatani


Jagung Musim Tanam Tahun 2012 (area d)
Sumber : Lampiran 19.
Keterangan: h = harga; c = biaya (cost); q = produktivitas
BM = biaya marjinal; S = penawaran (supply)

Secara teoritis bahwa apabila harga jagung turun sampai menyentuh

biaya variabel rata-rata, maka usahatani yang tidak efisien akan gulung tikar,

hanya usahatani yang efisien saja yang terus bertahan, sehingga secara mikro

produksi apabila harga jagung menyentuh biaya variabel rata-rata minimal

(Rp..432/kg pada Gambar 6.1), maka tidak ada petani yang secara sukarela

bersedia berusahatani pada harga di bawah Rp 432/kg, karena akan

mengalami kerugian permanen dalam jangka panjang. Oleh karena itu,

Gambar 6.1 di atas dapat disimulasikan denggan menggeser kurve S ke kiri

sampai menyentuh koordinat q = 0kg/ha dan h&c = Rp432/kg (Gambar 6.2).


130

Pada Gambar 6.2 tampak bahwa surplus produsen usahatani jagung

sebesar area d = Rp..1.951.838,84/ha, sementara dari perhitungan geometrik

bahwa surplus produksi usahatani jagung Rp.2.027.859/ha (Tabel 6.9) atau

bila dibulatkan = Rp 2,0 juta/ha, artinya petani bersedia secara sukarela tidak

mengusahakan jagung apabila diberikan konvensasi sebesar Rp 2,0 juta/ha

per musim tanam. Ditinjau dari aspek kolaborsi dan manajemen rantai pasok

bahwa petani akan bersedia sebagai anggota rantai pasok apabila petani

memperoleh konvensasi sebesar Rp,2,0 juta/ha/musim tanaman jika

diharapkan kesejahteraan petani tidak menurun. Jika perusahaan berharap

terjadi hubungan kolaborasi rantai pasok yang berkelanjutan dengan petani,

maka sekurang-kurangnya petani mendapatkan konvensi sebesar Rp 2,0

juta/ha/musim . Ditinjau dari aspek pengalihan budidaya, petani akan bersedia

beralih dari usahatani jagung ke usahatani selain jagung jika sekurang-

kurangnya usahatani selain jagung mampu memberikan konvensasi sebesar

Rp..2,0 juta/ha/musim tanam. Dari sudut pandang sewa, dapat dikatakan

bahwa untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan petani, maka sekurang-

kurangnya sewa lahan sebesar Rp 2,0 juta/ha/musim tanam.

Dengan mencermati deskripsi sebagai mana digambarkan di atas,

bahwa surplus produsen mirip dengan opportunity cost dalam konteks

mempertahankan tingkat kesejahteraan produsen. Oleh karena itu, konsep

surplus produsen menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil kebijakan

terutama pemerintah dan perusahaan di dalam menetapkan harga output dan

input usahatani jagung agar tetap seimbang. Pembebanan harga-harga input

dan biaya pembinaan (system bagi hasil atau biaya operasional) akan

mengakibatkan membengkaknya biaya produksi yang berdampak langsung


131

terhadap perubahan (menurun) tingkat kesejahteraan petani, demikian pula

tekanan harga output dengan serta merta berdampak pada merosotnya

kesejahteraan petani. Kenyataan ini disadari oleh para petani, sehingga dalam

penetapan harga input dan harga output kerap terjadi perbedaan atau

ketidaksepakatan harga antara perusahaan dengan petani, sehingga menjadi

sumber komplik antara petani dan Pembina Lapang (Lampiran 20).

Untuk mempertahankan kesejahteraan petani dari tekanan harga input

dan output, kebijakan yang dapat ditempuh adalah pemberian konvensasi,

seperti Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan pupuk bersubsidi, serta

pendampingan teknologi cuma-cuma. Yang paling penting adalah, pemerintah

bersedia membeli excess supply pada musim panen raya, agar harga jagung

tidak turun bebas, karena dampaknya sangat signifikan terhadap

kesejahteraan petani.

6.2.5 Penggunakan Tenaga Kerja pada Usahatani Jagung

Tenaga kerja merupakan faktor produksi terpenting di samping lahan

usahatani, karena tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang

mengelola dan mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan proses

produksi pada usahatani. Deskripsi penggunaan tenaga kerja pada usahatani

jagung ditampakkan pada Tabel 6.10.

Tabel 6.10 Penggunaan Tenaga Kerja (HKO/ha) Pada Usahatani Jagung


Musim Tanam Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Maksimum 226,67 365,00 365,00
2 Rata-rata 91,28 60,54 72,07
3 Minimum 30,00 15,59 15,59
4 Standar Deviasi 50,43 46,00 49,79
Sumber: Lampiran 16.5 dan Lampiran 17.5
132

Rata-rata penggunaan tenaga kerja adalah 72,07 HKO/ha dengan

kisaran 15,59 s.d 365,00 hari kerja orang (HKO) per hektar. Variasi

penggunaan tenaga kerja tampak sangat lebar dengan standar deviasi 49,79.

Jumlah penggunaan tenaga kerja sangat tergantung kondisi lahan dan

teknologi yang digunakan. Pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga

kerja manusia, cenderung menggunakan tenaga kerja lebih banyak jika

dibandingkan menggunakan traktor dan / atau ternak. Sementara usahatani

jagung tanpa olah tanah (Gambar 6.3) cenderung menggunakan tenaga kerja

lebih sedikit. Pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga kerja manusia

disebabkan kondisi tofografi lahan usahatani yang berlerang dan banyak

ditumbuhi tanaman perdu berupa semak dan berbatu. Topograsi yang

berlerang menyulitkan bagi tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mesin

(handtractor), karena sangat beresiko dari kemungkinan kecelakaan.

Gambar 6.3 Penanaman Jagung Tanpa Olah Tanah (TOT) Binaan PT


Pertani Dengan Sistem Tanam Jajar Legowo.
133

Penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung relatif sedikit, karena

petani melakukan penghematan pengeluaran upah tenaga kerja, diantaranya

pembukaan dan pembersihan lahan menggunakan herbisida, penanaman

tanpa olah tanah, serta tidak dilakukannya pembuatan guludan dan

pembubunan (Gambar 6.3). Pekerjaan yang tidak bisa dihindari harus

dilakukan seperti penugalan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan,

pengairan dan panen. Sebagian besar jenis pekerjaan menggunakan tenaga

kerja luar keluarga, seperti menugal, menanam, memupuk dan memanen.

Besarnya upah tenaga kerja luar keluarga berkisar Rp 30.000 s.d Rp 50.000

per hari tergantung berat ringannya pekerjaan dan jauh dekatnya lokasi

usahatani, sementara jenis pekerjaan pemeliharaan dan pengairan

menggunakan tenaga kerja dalam keluarga.

6.3. Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung

6.3.1 Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan

Pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga petani

ditampilkan pada Tabel 6.11.

Tabel 6.11 Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan (Rp/bulan)


Rumah Tangga Petani Jagung Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Maksimum 3 641 667 4 366 667 4 366 667
2 Rata-rata 1 660 626 1 459 254 1 534 768
3 Minimum 454 167 270 000 270 000
4 Standar Deviasi 652 363 783 923 2 115 427
Sumber: Lampiran 16.7 dan Lampiran 17.7

Pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga petani

jagung berkisar antara Rp.270.000 s.d Rp..4.366.667 dengan rata-rata


134

Rp.1.534.768 per bulan (Tabel 6.11). Besar pengeluaran konsumsi rumah

tangga di Kecamatan Pringgabaya lebih bervariasi daripada di kecamatan

Wanasaba. Bila dikaitkan dengan besar anggota rumah tangga sebanyak 3,6

orang, maka pengeluaran konsumsi per kapitanya menjadi

Rp.426.324/kapita/bulan atau setara dengan US$ 1,4/hari.

Besarnya pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga

lebih tepat digunakan sebagai indikator kesejahteraan, sebab pengertian

sejahtera adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan rumah tangga baik primer

maupun sekunder. Pada tingkat ekonomi rumah tangga yang paling rendah,

maka besarnya pengeluaran pangan dan non pangan merupakan indikator

yang banyak digunakan sebagai ukuran kesejahteraan, terutama persentase

pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga. Kriterianya

adalah < dari 60%.

Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Rumah Tangga


Petani Menurut Persentase Pengeluaran Pangan Tahun 2012

Kecamatan Agregat
No Persentase
Pengeluaran Pangan Wanasaba Pringgabaya Jumlah %
Jumlah % Jumlah %
1 60% ≥ 37 82,22 22 29,33 59 49,17
2 < 60% 8 17,78 53 70,67 61 50,83
Jumlah 45 100,00 75 100,00 120 100,00

Sumber: Diolah dari Lampiran 16.7, 16.8 dan Lampiran 17.7, 17.8

Bila menggunakan acuan persentase pengeluaran pangan < 60%

sebagai batas tingkat kesejahteraan, maka 61 (50,83%) dari 120 rumah tangga

petani yang tergolong sejahtera dan sekitar 49,17% yang tergolong belum

sejahtera. Bila dibandingkan antar kecamatan tampak bahwa petani di

Kecamatan Pringgabaya lebih tinggi persentase yang sejahtera daripada di

Kecamatan Wanasaba. Fenomena kesejahteraan antar kedua kecamatan


135

tampaknya memiliki keunikan, sebab kondisi alam yang kering (Pringgabaya)

justru lebih sejahtera daripada daerah yang lebih subur (Wanasaba). Dengan

demikian membutuhkan kajian yang lebih mendalam tentang fenomena

kesejahteraan antara penduduk perdesaan di lahan kering (ladang) dengan di

lahan semi basah (sawah). Dari uraian ini diyakini bahwa rumah tangga petani

di lahan kering lebih berhemat dalam pengeluaran konsumsi pangan, dan lebih

cenderung memperbesar pengeluaran investasi. Hal ini logis bagi penduduk di

wilayah perdesaan dengan kondisi alam yang kering untuk melakukan upaya

penyelamatan ekonomi rumah tangga mereka di masa depan. Juga perlu dikaji

ulang kriteria kesejahteraan dengan menggunakan persentase pengeluaran

pangan terhadap pengeluaran rumah tangga, terutama dari tinjau konsistensi

dan validitasnya.

Dengan menggunakan kriteria kemiskinan dengan acuan standar yang

ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik sebagai ambang batas tingkat kemiskinan

sebesar Rp.240.441/kapita/bulan. Hasil distribusi frekuensi jumlah dan

persentase rumah tangga menurut pengeluaran ditampilkan pada Tabel 6.13.

Tabel 6.13 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Rumah Tangga


Petani Jagung Menurut Pengeluaran Tahun 2012

Kecamatan Agregat
No Pengeluaran
(Rp/kapita/bln) Wanasaba Pringgabaya Jumlah %
Jumlah % Jumlah %
1 240 441 ≥ 42 93,33 67 89,33 109 90,83,
2 < 240.441 3 6,67 8 10,67 11 9,17
Jumlah 45 100,00 75 100,00 120 100,00

Sumber: Diolah dari Lampiran 16.8 dan Lampiran 17.8

Persentase rumah tangga miskin di kecamatan Wanasaba dan

Pringgabaya relatif kecil. Persentase rumah tangga petani jagung yang

tergolong miskin sebesar 9,17 persen dari 120 rumah tangga (Tabel 6.13). Bila
136

dibandingkan antar kecamatan tampak bahwa persentase penduduk miskin di

kecamatan Pringgabaya lebih banyak daripada di kecamatan Wanasaba.

Penggunaan kriteria kemiskinan menurut BPPS mendekati kondisi yang

sebenarnya bila dibandingkan dengan kriteria persentase pengeluaran pangan

terhadap total pengeluaran rumah tangga.

6.3.2 Pengeluaran Investasi dan Sosial

Pada Tabel 6.14 berikut ditampilkan pengeluaran investasi dan sosial

rumah tangga petani jagung.

Tabel 6.14 Pengeluaran Investasi dan Sosial (Rp/bulan) Rumah Tangga


Petani Jagung Tahun 2012

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Maksimum 5 025 000 8 208 000 8 208 000
2 Rata-rata 816 885 1 134 289 1 015 263
3 Minimum 5 000 11 667 5 000
4 Standar Deviasi 1 010 777 1 654 928 1 413 371
Sumber: Lampiran 16.8 dan Lampiran 17.8

Apabila Tabel 6.11 dan 6.14 bila dipersandingkan akan tampak bahwa

rumah tangga petani di kecamatan Wanasaba cenderung memanfaatkan

pendapatan rumah tangganya untuk memenuhi pengeluaran konsumsi

pangan, sementara bagi rumah tangga petani di kecamatan Pringgabaya

cenderung melakukan pengeluaran untuk tujuan investasi.

Fenomena sebagai mana diungkapkan di atas manarik untuk dielaborasi

lebih mendalam, bahwa rumah tangga petani yang tinggal di lingkungan

agroekosistem ladang lebih hemat pada pengeluaran konsumsi. Tampaknya

perilaku demikian sebagai bagian dari strategi memperoleh keamanan

ekonomi dengan harapan memperbesar penghasilan dalam jangka panjang

melalui pengeluaran investasi di waktu sekarang.


137

6.3.3 Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung

Dengan menggunakan pendekatan total pengeluaran, maka jumlah

penghasilan rumah tangga petani jagung di lokasi penelitian adalah

Rp.2.550.031/bulan. Besar total pengeluaran rumah tangga petani jagung

secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 6.15.

Tabel 6.15 Rata-rata Jumlah Pengeluaran Rumah Tangga Petani Jagung


(Rp/bulan) Tahun 2012

Kecamatan
No Jenis Pengeluaran Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Pangan 1 098 444 1 012 400 1,044,667
2 Non Pangan 562 182 446 854 490,102
3 Investasi 797 685 1 113 013 994,765
4 Zakat, Infaq, Sadakah 19 200 21 276 20,498
Jumlah Pengeluaran 2,477,511 2,593,543 2,550,031
Sumber: Lampiran 16.6; 16.7; 16.8 dan Lampiran 17.6; 17.7; 17.8

Pendapatan dari usahatani jagung merupakan salah satu sumber

pendapatan, selain dari pendapatan sebagai buruh tani, atau usaha produktif

lainnya. Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan jumlah

pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan ditambah pengeluaran

investasi sebagai pendapatan rumah tangga. Pendapatan rumah tangga

petani diperuntukkan memenuhi kebutuhan rumah tangga, yaitu pengeluaran

pangan, pengeluaran non pangan dan pengeluaran investasi dan / atau

tabungan serta pengeluaran untuk kepentingan sosial kemasyarakatan.

Tabungan yang dimaksud adalah tabungan untuk investasi, sementara

tabungan untuk tujuan berjaga-jaga dimasukkan sebagai pengeluaran non-

pangan.
138

Besar total pengeluaran rumah tangga mencerminkan tingkat

kesejahteraan petani di masing-masing lokasi penelitian. Pada Tabel 6.15

tampak bahwa total pengeluaran rumah tangga petani jagung di kecamatan

Pringgabaya (usahatani di lahan ladang) lebih tinggi daripada di Kecamatan

Wanasaba (usahatani di lahan sawah). Hal ini diduga ada tambahan

penghasilan dari luar usahatani, karena memiliki waktu lebih banyak untuk

mencari nafkah di luar usahatani bila dibandingkan dengan petani di

kecamatan Wanasaba. Petani di kecamatan Pringgabaya sebagian besar

hanya berusahatani 1 (satu) kali dalam satu tahun (musim penghujan),

selebihnya berusaha di luar usahatani; sementara bagi petani di kecamatan

Wanasaba berusahatani selama 3 (tiga) musim tanam (musim tanam

penghujan, musim tanam kemarau pertama dan musim tanam kemarau

kedua), sehingga lebih fokus pada kegiatan usahatani.

Pada Tabel 6.15 diketahui bahwa rata-rata penghasilan rumah

tangga petani berdasarkan pengeluaran sebesar Rp 2.550.031/bulan,

sementara rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3,61 orang, maka

pengeluaran rumah tangga petani jagung adalah Rp.706.380/orang/bulan.

Berdasarkan kriteria kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang

menetapkan batas garis kemiskinan Rp.240.441/orang/bulan di daerah

perdesaan, maka rumah tangga petani jagung tergolong tidak miskin. Demikian

pula. apabila menggunakan kriteria kemiskinan menurut Sajogjo setara 360

kg/kapita/tahun beras di perdesaan dengan perhitungan harga beras

Rp.8.000/kg/tahun, maka rumah tangga petani jagung di daerah perdesaan

tergolong tidak miskin. Persentase rumah tangga petani jagung yang miskin

dan tidak miskin dapat dibaca pada table 6.12.


139

6.4 Surplus Konsumen dan Manfaat Jagung Dalam Rangsum Pakan


Ternak

6.4.1 Surplus Konsumen Pengguna Jagung

Surplus konsumen adalah besarnya konvensasi yang mesti diperoleh

dari sejumlah pengeluaran atas suatu barang untuk mencapai tingkat

kepuasan tertentu. Besarsnya surplus konsumen dihitung dari luas area

dibawah kurve permintaan dan di atas harga pasar, sementara perubahan

surplus konsumen dihitung dari selisih harga pasar dengan harga tertinggi

yang bersedia dibayar konsumen dikalikan dengan separuh kuantitas

konsumsi. Surplus konsumen dan pengeluaran konsumen disajikan pada

Tabel 6.16.

Tabel 6.16 Surplus Konsumen dan Pengeluaran Konsumen Pengguna


Jagung (Rp/bulan) Tahun 2012

Konsumen Pengguna
No Uraian
Surplus (S) Pengeluaran (P)
1 Maksimum 30 375 000 141 750 000
2 Rata-rata 2 151 992 8 084 545
3 Minimum 2 100 147 000
4 Standar Deviasi 131 271 538 485 072 675
Sumber: Lampiran 18

Variasi surplus konsumen antara usaha peternak ayam petelur berskala

di bawah 1.000 ekor dengan peternak besar dengan skala usaha di atas

10.000 ekor sangatlah lebar. Usaha peternakan berskala besar memungkinkan

baginya melakukan penghematan biaya sehingga berdampak bagi tingginya

surplus konsumen, sementara peternak ayam petelur skala kecil tergolong

inefisiensi, sehingga berdampak pada rendahnya tingkat efisiensi usaha.

Dengan mengeluarkan data surplus konsumen pengguna tiga perusahaan

besar diperoleh bahwa surplus konsumen pengguna berkisar mulai dari

Rp.2.100 s.d Rp.30.375.000 per bulan dengan rata-rata Rp.2.151.992/bulan.


140

Dari hasil wawancara mendalam dengan responden peternak ayam

petelur mengungkapkan bahwa harga premium jagung di tingkat konsumen

pengguna adalah Rp 3 200/kg dan di tingkat petani Rp 2 500/kg pipil kering

dengan kadar air 16% s.d 18% atau setara dengan Rp 1 500/kg tongkol kering

panen (Lampiran 20). Pada harga tersebut pengeluaran peternak sebanding

dengan penerimaan petani jagung. Dari hasil analisis surplus produsen tampak

bahwa bagi petani yang mengusahakan jagung pada musim tanam kemarau

pertama dapat menikmati harga premium jagung, sementara bagi peternak

dapat menikmati harga premium pada musim tanam penghujan.

6.4.2 Manfaat Jagung Dalam Rangsum Pakan Ayam Petelur

Tabel 6.17 dan Gambar 6.4 menunjukkan bahwa jagung sebagai

komponen penting dalam pakan ternak ayam petelur.

Tabel 6.17 Perbandingan Berat Telur Ayam Arab Yang Menggunakan dan
Yang Tidak Menggunakan Jagung Sebagai Campuran Rangsum
Pakan Ternak

No. Menggunakan Jagung Tidak menggunakan


Pengamatan (gram/butir) jagung (gram/butir)
1 44,0640 36,3851
2 42,3628 40,3502
3 47,4723 32,6166
4 39,0299 42,6514
5 39,5289 36,9808
6 39,1801 37,7558
7 42,2066 28,9435
8 46,8257 39,5981
9 41,2375 40,8934
10 39,7406 37,3386
11 35,4581 41,594
Rata-rata 41,5551 37,7370

Sebagai akhir dari rantai pasok jagung adalah konsumen pengguna

jagung, yaitu peternak ayam petelur. Bagi ayam petelur, menggunakan jagung
141

sebagai pakan merupakan keharusan untuk menjaga performa ternak ayam

layer dan meningkatkan kualitas telur dan memperbesar ukuran telur. Pada

Tabel 6.17 di atas tampak bahwa telur ayam arab yang menggunakan jagung

lebih berat daripada telur ayam arab yang tidak menggunakan jagung dalam

pakan ternak, rata-rata lebih berat 10,12%.

Dengan mengambil sampel telur ayam arab yang menggunakan dan

tidak menggunakan jagung pada rangsum pakan ternak tampak perbedaan

berat terlur maupun perbedaan kualitas telur yang dihasilkan (Tabel 6.17 dan

Gambar 6.4).

Gambar 6.4 Perbedaan Warna Telur Ayam Arab Yang Menggunakan dan
Tidak Menggunakan Jagung Sebagai Campuran Pakan Ternak

Dilihat dari kualitas juga tampak perbedaan yang jelas, bahwa ayam arab

yang mengkonsumsi jagung lebih berkualitas (warna kuning) daripada yang

tidak menggunakan jagung (warna pucat) dalam campuran pakan ternak ayam
142

petelur (Gambar 6.4). Karena perbedaan kualitas dan berat telur tersebut,

maka telur ayam arab yang diberi jagung sebagai pakan lebih mahal jika

dibandingkan dengan telur ayam arab tampa jagung dalam pakannya. Harga

telur ayam arab yang menggunakan jagung dalam pakannya Rp 1.500/butir,

sedangkan yang tidak menggunakan jagung Rp 900 s.d. RP 1 200,- per butir.

Pada Gambar 6.5 ditampilkan foto ayam arab petelur yang menggunakan

jagung sebagai campuran dalam rangsum pakannya.

Gambar 6.5 Ayam Arab Petelur Sebagai Pengguna Jagung di Desa Ungga
Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2013.

Variasi harga pasar telur selain dipengaruhi oleh ukuran berat telur dan

kualitas telur juga dipengaruhi oleh peningkatan permintaan. Harga telur

meningkat dari Rp 24.000/tray (1 tray = 30 butir) menjadi Rp 35.000/tray pada

bulan Ramadhan dan Rabiul Awal (hari besar ummat Islam). Perubahan harga

telur dan perubahan harga jagung mempengaruhi besarnya surplus konsumen

dan pengeluaran konsumen.


143

Kenaikan harga jagung di level konsumen pengguna pada bulan Juni

s.d Agustus hingga mencapai Rp 4.000/kg dianggap bukan masalah oleh

peternak apabila harga telur meningkat sampai di atas Rp 30.000/tray, namun

akan menjadi masalah atau mempekecil surplus konsumen pengguna apabila

harga jagung meningkat, namun harga telur tetap Rp 24.000/tray.

Gambar 6.6 Ayam Broeler Cokelat Sebagai Pengguna Jagung di Desa


Babussalam Kabupaten Lombok Barat

Bagi sebagian peternak ayam petelur, pencampuran jagung dalam pakan

ternak merupakan keharusan yang tidak bisa diabaikan, sebab dapat merusak

produktivitas ayam, sehingga harus diberikan secara teratur dan terus

menerus. Penghentian pemberian pakan dengan campuran jagung dapat

memperlemah kemampuan ayam dalam memproduksi telur, dan untuk

pemulihan (recovery) membutuhkan waktu yang lama. Pada Gambar 6.6


144

ditampilkan foto ayam broiler cokelat yang diberikan rangsum yang dicampur

dengan jagung.

Peternak ayam petelur di Nusa Tenggara Barat terdiri atas peternak

ayam arab dan peternak ayam ras warna cokelat. Dari hasil observasi di lokasi

penelitian bahwa semua peternak ayam ras cokelat menggunakan jagung

sebagai campuran rangsum pakan ayam petelurnya, sedangkan peternak

ayam arab terdapat sebagian yang tidak menggunakan jagung sebagai

campuran dalam pakan ayamnya.

6.5 Pandangan Petani Terhadap Manajemen Rantai Pasok Jagung

Hasil analisis pandangan petani terhadap manajemen rantai pasok

jagung disajikan pada Tabel 6.18.

Tabel 6.18 Pandangan Petani Terhadap Manajemen Rantai Pasok

Kecamatan
No Uraian Agregat
Wanasaba Pringgabaya
(n=45) (n=75) (N=120)
1 Sangat Setuju 4,50 10,00% 9,25 12,33% 13,75 11,46%
2 Setuju 13,25 29,44% 22,25 29,67% 35,50 29,58%
3 Netral 17,50 38,89% 24,25 32,33% 41,75 34,79%
4 Tidak Setuju 8,25 18,33% 13,25 17,67% 21,50 17,92%
5 Sangat Tidak
Setuju 1,50 3,33% 6,00 8,00% 7,50 6,25%
Jumlah 45,00 100,0% 75,00 100,0% 120,00 100,0%

Sumber: Lampiran 6.

Pandangan petani terhadap keragaan manajemen rantai pasok

dikelompokkan ke dalam lima aras, yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak

setuju, sangat tidak setuju. Sangat setuju dan setuju adalah petani yang

mendukung dan memberikan penilaian yang positif terhadap keragaan

manajemen rantai pasok, sedangkan tidak setuju dan sangat tidak setuju

adalah petani yang memberikan penilaian atau kesan kurang simpatik


145

terhadap perusahaan dalam mengelola rantai pasok, sementara netral adalah

petani yang memberikan penilaian moderat.

Pandangan yang sangat setuju dan setuju terhadap keragaan

manajemen rantai pasok adalah petani yang merasakan manfaat dan kebaikan

atas indikator yang digunakan sebagai tolak ukur keragaan manajemen rantai

pasok, sebaliknya pandangan tidak setuju dan sangat tidak setuju

mencerminkan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi petani akibat

pelayanan yang kurang simpatik.

Pada Tabel 6.18 di atas bahwa jumlah petani yang sangat setuju dan

setuju sebanyak 41,04%, tidak setuju dan sangat tidak setuju sebanyak

23,17%, sementara yang netral 34,79%. Dilihat berdasarkan wilayah

kecamatan tampak bahwa persentase petani yang sangat setuju dan setuju

terhadap keragaan manajemen rantai pasok lebih tinggi di kecamatan

Pringgabaya (42,00%) bila dibandingkan dengan di kecamatan Wanasaba

39,44%, sedangkan yang netral lebih banyak di kecamatan Wanasaba

daripada di kecamatan Pringgabaya masing-masing 38,89% dan 32,33%.

Pandangan petani terhadap manajemen rantai pasok tampak berbeda antara

petani di wilayah agroekosistem sawah (kecamatan Wanasaba) dengan petani

di wilayah agroekosistem ladang (kecamatan Pringgabaya).

Pandangan yang cenderung lebih banyak tidak setuju dan sangat tidak

setuju terdapat pada indikator koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan

aliran modal. Sebabnya adalah perusahaan belum menunjukkan performa

yang optimal dalam mengkoordinasikan berbagai kegiatan mulai dari

persiapan, pelaksanaan sampai dengan penarikan kembali modal yang

disalurkan. Dari hasil analisis keragaan manajemen rantai pasok menunjukkan


146

bahwa rata-rata skor indikator koordinasi paling rendah, sementara paling

tinggi adalah aliran pelayanan. Di pihak lain, nilai tertimbang tertinggi diperoleh

pada indikator koordinasi. Yang paling urgen untuk diperbaiki adalah

koordinasi, setelah itu aliran pelayanan, aliran modal dan aliran produk.

Dari sisi perusahaan, penerapan kolaborasi rantai pasok belum

terlaksana sebagai mana mestinya, yaitu menyamakan tujuan perusahaan

dengan tujuan petani, seperti sama-sama memuaskan konsumen, meraih

keuntungan dan saling berbagi resiko serta keselarasan insentif. Yang terjadi

justru cenderung sebaliknya, yaitu menjual harga input lebih tinggi daripada

harga pasar dan membeli output hasil petani dengan harga di bawah harga

pasar. Kelemahan lainnya yang masih tampak adalah belum sinkronnya

keputusan petani dengan keputusan perusahaan, di mana keputusan

dilakukan sendiri-sendiri tanpa melibatkan petani, yang mana keputusan

cenderung bersifat instruktif, buka dicapai dari hasil kesepakatan kolektif.

Dari sisi kelompok tani, tampak bahwa kelompok tani tidak terbuka atas

luas lahan yang dimiliki dan jumlah produksi yang dicapai. Dalam Rencana

Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang diajukan oleh kelompok tani tidak

sesuai dengan kenyataan, yaitu luas lahan usahatani yang diajukan lebih

banyak dari yang semestinya dengan maksud agar memperoleh kredit lebih

banyak, akibatnya petani tidak mampu memenuhi kewajiban membayar

hutang-hutangnya ketika jatuh tempo pada waktu panen. Produksi yang

dihasilkan tidak dapat mencukupi untuk melunasi hutangnya (Lampiran 20).

Dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang diusulkan

oleh Kelompok Tani lebih banyak dari yang semestinya, sebagian dari input

yang diperoleh dalam bentuk kredit dijual ke pedagang pengecer sarana


147

produksi dengan separuh harga, selanjutnya pengecer menjual ke pengusaha,

dan pengusaha menjual lagi ke petani lain yang membutuhkan.

Bagi petani yang berpandangan sangat setuju dan setuju adalah para

petani yang loyal terhadap perjanjian kontrak dan merasakan manfaat atas

terselenggaranya kolaborasi antara petani dengan perusahaan, serta berterima

kasih atas bantuan pembiayaan yang disalurkan perusahaan. Bagi petani yang

sangat setuju dan setuju senatiasa berkomunikasi dengan perusahaan melalui

kelompok tani dan koodinator lapangan, sehingga mengetahui secara jelas isi

yang terkandung dalam kontrak baik yang menyangkut kewajiban dan hak-hak

masing-masing pihak. Selain aktif berkoordinasi, juga menjamin lancarnya

aliran produk dari petani ke perusahaan melalui koordinator lapang. Melalui

aktivitas koordinasi diharapkan dapat memberikan pelayanan optimal baik

yang menyangkut kebutuhan informasi, teknologi, modal, dan lain-lainnya.

Apabila koordinasi lemah, maka banyak tugas dan pekerjaan bersama tidak

dapat terselesaikan dan hasil yang dicapai dibawah target yang ditetapkan.

Selain aspek koordinasi, urutan kedua terpenting adalah aliran

pelayanan. Pelayanan adalah sikap ramah dan empati dari para Pembina

dalam memanjakan pelanggan. Dalam konteks ini, sebagai pelanggan adalah

petani dan sebagai pelayan adalah Pembina Lapang. Pelayanan ini meliputi

pelayanan informasi yang akurat dan pelayanan teknologi yang telah lulus uji

lokasi. Informasi yang bias cenderung merugikan petani, demikian pula

teknologi yang sudah kedaluarsa sangat merugikan petani (seperti benih yang

sudah mati label). Kekecewaan petani yang berakumulasi dapat

mengakibatkan sikap apatis para petani bahkan dapat berlanjut sampai pada

pengingkaran, sebagai sikap perlawanan terhadap perilaku Pembina Lapang.


148

6.6 Analisis Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung

Keragaan manajemen rantai pasok dari skor indikator variabel manajemen

rantai pasok. Pengukuran dilakukan dengan pendekatan rata-rata berbobot

pada semua pengamatan (observasi). Hasil kali bobot dengan rata-rata indikator

diperoleh nilai tertimbang. Dari jumlah nilai tertimbang diperoleh Indek Keragaan

Manajemen Rantai pasok (IKMRP). Hasil analisis IKMRP ditampilkan pada

Tabel 6.19.

Tabel 6.19 Penilaian Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung

No Indikator Bobot1 Rata-rata 2 Nilai


Skala Terimbang
1 Koordinasi 0,400 3,175 1,270*
2 Aliran Produk 0,200 3,208 0,642
3 Aliran Pelayanan 0,200 3,275* 0,655
4 Aliran Modal 0,200 3,225 0,645
IKMRP 1,000 - 3,212
Sumber : 1 Lampiran 4 dan 2Lampiran 5.
Keterangan : * terbesar atau tertinggi

Pada Tabel 6.19 tampak bahwa Indek Kinerja Manajemen Rantai Pasok

(IKMRP) sebesar 3,212 berada pada kisaran dari 2,6 sampai 3,6 dengan kriteria

hampir baik atau belum tergolong baik.

Bila hasil analisis pada Tabel 6.19 dilihat secara cermat menunjukkan

bahwa nilai tertimbang tertingginya adalah koordinasi, sedangkan nilai rata-rata

terbesar adalah aliran pelayanan. Sehubungan dengan hasil analisis ini, maka

perusahaan yang berperan sebagai avalis dalam manajemen rantai pasok dan

Pemerintah Daerah khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang

berperan sebagai pembina kelembagaan petani hendaknya lebih fokus pada

peningkatan koordinasi dan aliran pelayan. Bila dibandingkan rata-rata antar

indikator tampak bahwa rata-rata terkecil terdapat pada koordinasi, artinya

koordinasi antar lembaga yang mesti harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum
149

memperbaiki yang lain. Lemahnya koordinasi berdampak pada belum baiknya

keragaan manajemen rantai pasok yang ditunjukkan oleh banyaknya aspek yang

belum dipahami oleh sebagian pemangku kepentingan (stakeholders), seperti

petani, PL, PPL, Koordinator Lapang.

Oleh karena IKMRP berada pada kisaran dari 2,6 sampai 3,6 maka

keragaan manajemen rantai pasok jagung hampir baik disebabkan masih ada

keluhan petani atas pelayanan perusahaan dan sebaliknya keluhan perusahaan

terhadap petani, sehingga masih memerlukan perbaikan manajemen rantai

pasok pada sisi perusahaan maupun pada sisi petani. Hasil analisis distribusi

frekuensi jumlah dan persentase petani menurut klasifikasi IKMRP disajikan pada

Tabel 6.20.

Tabel 6.20 Distreibusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut


Klasifikasi Indek Keragaan Manajemen Rantai Pasok Jagung

No Klasifikasi Kisaran Jumlah Persentase


(petani) (%)
1 Sangat baik 4,6 s.d 5,0 14 11,67
2 Baik 3,6 s.d < 4,6 34 28,33
3 Hampir Baik 2,6 s.d < 3,6 45 37,50
4 Buruk 1,6 s.d < 2,6 19 15,83
5 Sangat Buruk < 1,6 8 6,67
Jumlah 120 100,00
Sumber : Lampiran 5.

Pada Tabel 6.20 tampak bahwa dari 120 petani yang diobservasi

memberikan persepsi keragaan manajemen rantai pasok pada klasifikasi baik

dan sangat baik sebanyak 40,00% atau kurang dari separuh, yang memberikan

penilaian sangat buruk dan buruk sebanyak 22,50%. Yang memberikan penilaian

sangat buruk dan buruk adalah para petani yang memiliki pengalaman tidak

menyenangkan dengan perusahaan, sebagai akibat pelayanan manajemen

perusahaan yang tidak memuaskan:


150

1. Struktur organisasi yang berjenjang mengakibatkan jarak sosial antara

manajer perusahaan dengan petani relatif renggang, karena PT Pertani

selaku avalis bermitra tidak langsung dengan petani, yaitu menggunakan jasa

Koperasi Selaras Corporate Indonesia selanjutnya ke PT SoeGee Commodity,

selanjutnya Ketua Kelompok Tani dan Petani; sedangkan PT Sang Hyang

Seri menggunakan Manajer Lapang dan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) sebagai pihak pelaksana. Struktur organisasi pelayanan yang panjang

berakibat pada tingginya biaya operasional dan terjadinya penyimpangan

pelaksanaan di lapangan, serta menimbulkan biaya operasional yang tinggi.

Biaya operasional dibebankan kepada petani dalam bentuk pungutan bagi

hasil 65% berbanding 35% dari keuntungan bersih usahatani (net profit) pada

Koperasi Selaras Corporate Indonesia; 70% berbanding 30% pada PT Sang

Hyang Seri, sementara modal berupa kredit yang diberikan kepada petani

ditarik seluruhnya, sehingga petani hanya menerima hasil bersih berkisar

Rp.28.000 s.d Rp 300.000/ha selama 4 bulan (Lampiran 20). Hal ini

mengakibatkan petani keluar dari kolaborasi rantai pasok dan beralih ke rantai

pasok lainnya yang tidak menerapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil

berdasarkan net-profit dinilai memberatkan petani. Oleh karena banyak petani

yang keluar (exit) dari dari kolaborasi kolaborasi rantai pasok, maka pada

musim tanaman 2012/2013 sistem bagi hasil dihapuskan dan digantikan

dengan management fee sebesar 5% dari produksi kotor pada PT Sang

Hyang Seri dan membebankan biaya operasional sebesar Rp.500.000/ha

pada PT Pertani.

2. Harga input yang dimaksukkan pada paket kredit lebih tinggi dari harga pasar,

akibatnya biaya usahatani menjadi lebih besar dari yang seharusnya,


151

terutama herbisida dan pertisida yang dihargakan 2 s.d 3 kali lebih mahal dari

harga pasar.

3. Paket teknologi yang disediakan perusahaan diharuskan bagi petani untuk

mengambilnya secara utuh atau perusahaan kurang fleksibel dalam

menerapkan teknologi;

4. Pengadaan pupuk oleh perusahaan yang tidak mencukupi kebutuhan,

sehingga petani terlambat memupuk dari waktu yang semestinya, berakibat

pada rendahnya capaian produksi dari yang pernah diinformasikan di atas 10

ton/hektar jagung tongkol kering panen. Kenyataan produksi yang dicapai

rata-rata 65,81 ku/ha (6,581 ton/ha) jagung tongkol kering panen (Tabel 6.4);

5. Benih yang diberikan sudah kedaluarsa yang mengakibatkan persentase

tumbuh rendah dan kalaupun tumbuh kondisinya lemah serta produktivitasnya

rendah. Benih jagung N-10 tidak sesuai dengan harapan petani yang

menghendaki jagung varietas Bisi-2 atau Bisi 16, Bisi-18. Benih jagung bisi

lebih disukai oleh konsumen pengguna maupun pedagang, sehingga harga

jualnya lebih tinggi (Lampiran 20).

6. Pada musim panen perusahaan membeli jagung di bawah harga pasar atau di

bawah harga pembelian pengusaha dari Provinsi Bali, akibatnya banyak

petani yang tidak bersedia menjual produksi jagung ke perusahaan mitra;

7. Petani diharuskan membawa jagung ke gudang sehingga menambah biaya

angkutan yang dibebankan kepada petani.

Item-item indikator yang menyebabkan penilaian sangat buruk dan buruk

adalah:

1. Tidak sepakatnya petani tentang makna harga pasar. Bagi petani harga pasar

adalah harga pembelian pedagang pengumpul (pengumpul) lokal ketika


152

panen, sementara harga pasar yang dijadikan patokan oleh perusahaan

adalah harga pembelian jagung di tingkat petani yang berlaku nasional;

sehingga antara petani dan petugas lapang perusahaan kerap cekcok dalam

penetapan harga pasar;

2. Mekanisme pengambilan keputusan yang tidak melibatkan petani berakibat

pada rendahnya sinkronisasi keputusan. Perusahaan memaksakan kehendak

kepada petani dengan menerapkan paket teknologi secara ajek, sementara

petani menghendaki penerapan paket teknologi yang fleksibel;

3. Perusahaan memandang petani sebagai objek untuk meraih keuntungan

sebesar-besarnya, yaitu menjual input sebanyak-banyaknya dengan harga

maksimal dan membeli produksi jagung petani dengan harga yang rendah.

Dalam hal ini perusahaan mengabaikan keselarasan insentif antara

perusahaan dengan petani. Tidak terbangunnya keselaran insentif antara

perusahaan dengan petani mengakibatkan petani memutuskan ikatan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok atau keluar dari kolaborasi dan

berpindah ke rantai pasok lain yang menjanjikan perolehan insentif yang lebih

baik.

4. Rendahnya tingkat kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok di atas

berimbas pada buruknya manajemen rantai pasok seperti kurangnya

koordinasi, rendahnya intensitas aliran informasi, aliran pelayanan dan

terhambatnya aliran produk dan aliran modal dari petani ke perusahaan yang

mengganggu kesehatan aliran kas.

5. Sebagian petugas lapang perusahaan memotong biaya pengolahan lahan

yang semestinya diterima utuh oleh petani dan pengembalian kredit petani

yang tidak disetorkan ke rekening perusahaan juga menjadi pemicu buruknya


153

penilaian petani atas aliran modal dari perusahaan ke petani dan aliran modal

kembali dari petani ke perusahaan.

6. Perusahaan yang berperan sebagai avalis belum sepenuhnya memandang

petani sebagai pelanggan, sehingga belum dijadikan sebagai asset

perusahaan yang mesti dipelihara. Dengan kata lain, perusahaan belum

sepenuhnya menjaga hubungan baik dengan pelanggan.

7. Dari sisi perusahaan juga kecewa atas kolaborasi yang dibangun dengan

petani mitranya, karena persentase pengembalian pinjaman (aliran kas

masuk) dari petani sangat rendah sekitar 30 s.d 35 persen. Manajer

perusahaan menilai petani ingkar janji, karena mereka tidak menjual produksi

jagungnya ke perusahaan, namun menjualnya ke pengepul atau perusahaan

lain yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Di sisi lain, petani

menilai bahwa perusahaan yang lalai dalam menjemput hasil produksi petani.

Yang memberikan penilaian baik adalah petani yang memiliki pengalaman

berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan swasta yang fleksibel dalam

menyalurkan paket teknologi dan bantuan pinjaman, serta tidak terikat dengan

kontrak formal, yaitu kolaborasi rantai pasok yang dibangun atas dasar tolong

menolong (“besiru”). Pertolongan yang diberikan tidak saja terbatas pada

pemenuhan kebutuhan input produksi, bahkan sampai pada bantuan biaya

pendidikan anak dan biaya berobat anggota keluarga. Harga input

diperhitungkan sesuai harga pasar, juga output dibeli sesuai harga pasar

(Lampiran 20).

Apabila petani mengalami kegagalan panen atau produksi jagung yang

dihasilkan di bawah target yang diharapkan, maka perusahaan memberikan

kesempatan kepada petani untuk mengembalikan sebagian pinjamannya untuk


154

dibayar pada musim tanam yang akan datang, dan perusahaan tetap

memberikan pinjaman modal agar petani bisa beproduksi terus.

Pengukuran keragaan manajemen rantai pasok jagung merupakan suatu

upaya dalam manajemen yang berperan mengintegrasikan keragaman input,

proses dan output dari suluruh sumberdaya yang tersedia. Dalam penelitian ini

pengukuran keragaan menggunakan skala likert atas empat indikator, yaitu

koordinasi, aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal (Irmawati, 2007;

Adinugroho, 2010).

Hasil penelitian ini tergolong mederat dan bersesuaian dengan hasil

penelitian: (1) Hayman dan Saosaovaphak (2012) tentang rantai pasok benih

jagung di Republik Uni Myanmar yang pada intinya menyimpulkan bahwa

menerapkan manajemen rantai pasok memiliki tingkat resiko yang moderat. Hal

ini berdampak pada kemungkinan pedagang (perusahaan) pengecer bisa tetap

menguntungkan dan berkelanjutan melalui mekanisme pasar meskipun kondisi

pertanian yang sulit. (2) Dengan menggunakan metode balanced scorecard pada

PT Unitex tbk, Puspita (2008) menyimpulkan bahwa pencapaian keragaan

perusahaan sebesar 58,13 persen dari target; kondisi ini menunjukkan keragaan

perusahaan masih belum optimal dan belum mencapai target yang ditentukan.

(3) Sayaka (2005) dalam penelitiannya tentang perilaku pasar benih jagung

menyarankan agar pemerintah ikut mengontrol distribusi benih supaya petani

tidak dirugikan, sedangkan Roekel, et al. (2002) mengharapkan agar manajemen

rantai pasok diimplementasikan dan dikembangkan di seluruh rantai untuk

menjamin optimal keragaan rantai pasok.


155

Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil penelitian tentang

penerapan manajemen rantai pasok pada produk-produk pertanian di Indonesia

antara lain :

1. Suharjito, et al. (2010) yang intinya menyimpulkan bahwa resiko petani

jagung dimungkinkan untuk digeser kepada pihak lain dalam rantai pasok

melalui mekanisme negosiasi harga. Hasil penelitian ini mendukung teori

strategi kompetitif (the competitive strategy theory) yang dikembangkan oleh

Michael F.Porter dari Harvard Business School, di mana pada akhir-akhir ini

dikenal sebagai analisis lima kekuatan Porter (Porter’s five forces analysis),

yaitu membandingkan suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan

bahwa suatu produk “cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut

menunjukkan peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan

“tidak cocok” apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam

keuntungan. Kebutuhan jagung yang terus menerus meningkat dari tahun ke

tahun (Tabel 5.6) dan jagung cepat laku terjual di pasar (dalam tempo satu

minggu laku terjual) membuktikan bahwa produk jagung telah diterima oleh

pasar dan memberikan keuntungan bagi para pihak yang terlibat dalam rantai

pasok (Lampiran 20).

2. Sari (2012) meneliti keragaan manajemen rantai pasok beras organik

menyimpulkan bahwa penerapan manajemen rantai pasok belum baik,

proses bisnis kurang lancar, dan keragaan belum seluruhnya efisien.

3. Abubakar dan Jamilah (2007) menyimpukan bahwa keragaan pasar pada

pemasaran jagung di Aceh belum efisien ditinjau dari aspek return on capital

(ROC). Hal ini terjadi karena saluran pemasaran tersebut lebih panjang dan

memerlukan biaya pengolahan dan transportasi yang lebih besar.


156

4. Hasil penelitian ini masih relevan dengan kesimpulan penelitian yang

dihasilkan oleh Sadikin (1999) bahwa dampak kebijakan harga yang

mengambang dan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar output

(jagung) saat tersebut, kurang memberi perlindungan terhadap pembentukan

harga jagung, sehingga pendapatan yang diterima oleh petani lebih rendah

daripada harga sosial yang seharusnya dan kurang memberi rangsangan

(disinsentif) terhadap petani jagung di NTB, yang mana nilai tambah yang

diperoleh petani lebih rendah daripada keuntungan sosial yang seharusnya

diterima petani. Bila keuntungan disetarakan dengan perubahan surplus

produsen petani jagung di lokasi penelitian sebesar Rp 2,028 juta/ha/ musim

dan pendapatan Rp 3 265 786/ha/musim atau kurang dari Rp 1 juta/ bulan

(Tabel 6.9), maka adanya surplus produsen tersebut mengindikasikan bahwa

pengembangan usahatani jagung telah meningkatkan kesejahteraan petani,

meskipun diakui bahwa peningkatan kesejahteraan tersebut relatif masih

kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga petani. Sebagai

gambaran bahwa pendapatan dari usahatani jagung hanya mampu menutupi

1/3 dari pengeluaran konsumsi rumah tangga selama 4 (empat) bulan.

Fluktuasi harga yang terjadi dalam kurun waktu 1995 sampai dengan 2012

(Gambar 5.7) sebagai akibat dari kekuatan tarik menarik antara permintaan dan

penawaran jagung di pasar lokal, regional dan nasional. Trend naiknya harga

disebabkan laju peningkatan permintaan yang lebih besar bila dibandingkan

dengan laju peningkatan penawaran (Ferrianta, 2011). Sementara fluktusi harga

musiman atau bulanan disebabkan oleh faktor musim tanam dan gap time

periode antara musim panen dan di luar musim panen (Gambar 5.4).
157

Kebijakan harga pasar jagung yang mengambang sesuai mekanisme pasar

memungkinkan petani menerima harga jual yang rendah, karena harga lebih

banyak ditentukan oleh pembeli (Hadijah, 2009). Kebijakan afirmatif (affirmative

policy) penetapan harga jagung untuk melindungi petani dari anjloknya harga

dalam jangka pendek dapat menguntungkan petani, namun belum tentu

memberikan efek positif dalam jangka panjang, sebab dapat mengakibatkan

harga jagung di tingkat konsumen ikut meningkat, sehingga memberatkan

peternak ayam petelur sebagai konsumen pengguna jagung.

Kebijakan afirmatif sebagai mana yang diharapkan oleh Hadijah (2009)

kurang pas bila ditinjau dari konsep keunggulan kompetitif yang menghendaki

harga premium, yaitu harga yang menyenangkan atau harga yang dapat diterima

oleh pihak produsen, pedagang perantara dan konsumen (Mathuramaytha,

2011). Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani bahwa harga

premium jagung pipil kering simpan dicapai antara Rp 2 500/kg di tingkat petani

dan Rp 3 200 di tingkat konsumen pengguna (Lampiran 20). Tampaknya harga

premium jagung tercapai pada bulan Mei s.d Agustus tahun 2012 di mana pada

bulan-bulan tersebut harga jagung tongkol kering panen di tingkat petani

Rp..1.500/kg. Dengan asumsi konversi dari jagung tongkol kering panen ke

jagung pipil kadar air 16 sampai dengan18 persen sebesar 60%, maka harga

jagung Rp 1 500/kg tongkol kering panen sama dengan Rp 2 500/kg pipil kering

simpan.

Walaupun petani telah berkolaborasi dengan perusahaan di mana

perusahaan bersedia membeli produk jagung yang dihasilkan petani, sehingga

ada kepastian pasar, namun karena penetapan harga sesuai mekanisme harga

pasar, maka posisi tawar (bargaining power) petani tetap rendah, karena harga
158

ditentukan oleh perusahaan atau pedagang (Putra, 2006), harga yang diterima

petani bergantung pada musim dan pedagang yang membelinya (Hadijah, 2009).

sehingga dalam jangka panjang berdampak pada rendahnya pendapatan dan

kesejahteraan petani jagung, yaitu pendapatan usahatani jagung sekitar

Rp 426 500/bulan; 79,17% tergolong belum sejahtera dan sekitar 20,83% yang

tergolong sejahtera dengan rata-rata pengeluaran konsumsi pangan dan non

pangan rumah tangga Rp.1.534.768/bulan (Tabel 6.11 dan 6.12) atau

pendapatan dari usahatani jagung hanya mampu menutupi seperlima dari

pengeluaran rumah tangga petani sebesar Rp 2 550 031 (Tabel 6.15).

Oleh karena kesejahteraan petani yang masih tergolong rendah tersebut,

maka menjadi alasan yang memperkuat kondisi indeks keragaan manajemen

rantai pasok masuk pada klasifikasi hampir baik. Hasil penelitian ini didukung

oleh hasil wawancara mendalam dengan manajer lapang perusahaan yang

mengungkapkan bahwa petani yang bersedia menjual produksi jagungnya dan

mengembalikan pinjaman modal (kredit) kepada perusahaan adalah sekitar

sepertiga dari jumlah petani, sementara 2 dari 3 orang petani mengemplang dan

hingga pelaksanakan penelitian ini belum mengembalikan pinjaman modal

(kredit) kepada perusahaan (Lampiran 20). Juga manajemen yang diterapkan

perusahaan tidak saja mengecewakan sebagian besar petani, dan juga

mengecewakan penyuluh pertanian lapang (PPL) yang membina kelompok tani

yang berkolaborasi dengan perusahaan, selain karena sistem bagi hasil yang

dinilai merugikan petani, juga karena benih yang diberikan kepada petani sudah

kedaluarsa, juga karena penetapan harga input yang terlalu tinggi jika

dibandingkan dengan harga pasar, khususnya insektisida dan herbisida.


159

Persentase petani yang mengemplang atau ingkar terhadap kontrak

kerjasama dengan perusahaan mengindikasikan rendahnya kesadaran petani

dalam membangun hubungan kerjasama yang berkelanjutan dan kompleksitas

permasalahan yang dihadapi oleh petani, terutama tingkat pendidikan dan

kesejahteraan yang masih rendah, dan faktor-faktor lain yang belum diketahui

dengan pasti. Oleh karena itu diperlukan penelitian dengan tujuan khusus untuk

mengetahui faktor-faktor penyebab petani mengingkari kontrak kerja sama serta

membandingkan perilaku petani pada agroekosistem ladang dan agroekosistem

sawah.

Diakui bahwa sebagian petani tingkat pendidikannya rendah dan ada yang

tidak pernah sekolah (Tabel 6.1) serta tidak memiliki ijazah dan penyandang tuna

aksara, namun lingkungan di mana mereka bertempat tinggal, ada warga

masyarakat memberikan informasi kepadanya, bahwa benih yang diberikan

sudah kedaluarsa, maka tidak sepantasnya petani yang sudah kurang

perbendaharaan informasi diperlakukan dengan tidak transparan.

Efek perlakuan yang demikian akan berimbas balik kepada perusahaan, berupa

ketidakmampuan petani untuk memenuhi kewajibannya, atau ada sebagian

petani yang enggan untuk melunasi hutang-hutangnya. Untuk menghasilkan

keunggulan kompetitif pada masa depan, Jarrar (1999) menyimpulkan bahwa

sumberdaya manusia dan pengetahuan manajemen dianggap menjadi sumber

utama keunggulan

6.7 Analisis Keragaan Keunggulan Kompetitif Jagung

Keunggulan kompetitif merupakan gambaran atas kemampuan

memformulasikan sumberdaya dan penerapan strategi dalam menghadapi

persaingan, sehingga tercipta peluang untuk memperoleh laba (profit) yang


160

berkelanjutan. Hasil analisis keunggulan kompetitif jagung di level petani

ditampilkan pada Tabel 6.21.

Tabel 6.21 Analisis Keunggulan Kompetitif Jagung di Level Petani

No Indikator Bobot1 Rata-rata2 Nilai


Skala Tertimbang
1 Efisiensi 0,379* 2,975 1,128*
2 Kualitas produk 0,197 2,967 0,584
3 Ketergantungan pengiriman 0,126 2,958 0,373
3 Diversifikasi produk 0,139 3,067 0,426
4 Waktu tempuh ke pasar 0,159 3,067* 0,487
IKK1 1,000 - 2,998
Keterangan: * terbesar
Sumber : 1Lampiran 7 dan 2 Lampiran 8.

Keunggulan kompetitif dapat dikaji pada aspek produk dan aspek jasa.

Dari aspek produk menggunakan tiga indikator, yaitu efisiensi, kualitas produk

dan diversifikasi produk, sementara dari aspek jasa menggunakan dua indikator,

yaitu ketergantungan pengiriman dan waktu tempuh ke pasar. Dengan

menggunakan Analitical Hirarchy Proces (AHP) diperoleh ranking pembobotan

sebagai mana tampak pada Tabel 6.21, yang mana efisiensi memperoleh bobot

terbesar, selanjutnya kualitas produk dan waktu tempuh ke pasar.

Indek keunggulan kompetitif (IKK1) sebesar 2,998 berada pada kisaran

dari 2,6 sampai 3,6 masuk dalam klasifikasi keunggulan kompetitif moderat. Ada

beberapa fakta yang mempertegas eksisting keunggulan kompetitif tersebut:

1. Usahatani jagung belum diusahakan secara efisien yang ditunjukkan oleh

produktivitas usahatani di bawah target 10 ton/ha jagung tongkol kering

panen (Lampiran 20) dan masih rendahnya ratio harga/biaya variabel. Dari

120 unit usahatani jagung yang dianlisis sebagian besar (82,50%) mencapai

produktivitas di bawah 10 ton/ha, hanya 17,50% yang mencapai target

produktivitas (Tabel 6.5). Target produktivitas yang belum tercapai tersebut


161

berasosiasi dengan ratio harga/biaya variabel, di mana sebagian besar

usahatani ( 76,67%) memperoleh ratio di bawah 3 (tiga), sementara yang

mencapai ratio 3 ke atas sebesar 28 unit (23,33%) usahatani.

2. Kualitas produk yang dihasilkan masih rendah yaitu sebagian terbesar petani

menghasilkan jagung tongkol kering panen dengan kadar air berkisar 18%

sampai dengan 22%. Belum ada petani yang menghasilkan jagung kualitas

super (kualitas SNI-1).

3. Dalam hal pengiriman barang masih tergantung pada kendaraan milik

pembeli, atau menggunakan jasa ojek atau buruh tani untuk mengangkut dari

ladang ke jalan umum terdekat, selanjutnya diangkut menggunakan

kendaraan roda empat ke lokasi penjemuran milik pedagang.

4. Produk yang dihasilkan oleh petani masih relatif homogen. Diverfikasi produk

dengan menghasilkan jagung muda, jagung bayi, jagung manis dan jagung

ketan masih sangat sedikit dari keseluruhan jumlah petani. Sebagian besar

petani menghasilkan jagung untuk keperluan pakan ternak. Perilaku petani

yang demikian mengakibatkan petani menghadapi persaingan antar sesama

petani.

5. Ditinjau dari aspek waktu tempuh ke pasar berkisar antara 1 (satu) sampai 2

(dua) minggu sejak panen, karena memerlukan waktu untuk pengeringan.

Bila cuaca cerah hanya membutuhkan waktu satu minggu, sedangkan bila

cuaca mendung atau berawan membutuhkan waktu dua minggu. Waktu

tempuh ini relatif cepat, karena telah tersedia infrastruktur jalan yang relatif

baik dan kendaraan pengangkut yang mudah didapat dengan cara menyewa

atau menggunakan jasa angkutan umum.


162

Seiring dengan uraian di atas, tampak pada Gambar 5.16 bahwa sebagai

besar usahatani masuk pada kategori keunggulan kompetitif moderat (40%).

Penyebaran distribusi frekuensi ini bersesuaian dengan distribusi frekuensi

produktivitas usahatani dan ratio harga/biaya variabel.

50

40

30

20 Keunggulan Kompetitif

10

0
Sangat Tinggi Moderat Rendah Sangat
Tinggi Rendah

Gambar 6.7 Klasifikasi Keunggulan Kompetitif Jagung di Level Petani

Pada kerangka teoritis telah dipaparkan adanya hubungan kausalitas

antara manajemen rantai pasok dengan keunggulan kompetitif. Teori ini

dibuktikan secara empiris pada Gambar 5.17. Sementara dari hasil analisis

tampak adanya asosiasi antar klasifikasi keragaan manajemen rantai pasok

dengan klasifikasi keragaan keunggulan kompetitif di mana rata-rata dan modus

keduanya berada pada kisaran 2,6 sampai 3,6 dengan klasifikasi masing-masing

hampir baik dan moderat. Beberapa hasil penelitian yang dihimpun oleh Majeed

(2011) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

keuggulan kompetitif dengan keragaan, sementara Prasetya (2008)

menyimpulkan bahwa keunggulan kompetitif berpengaruh positif terhadap

keragaan perusahaan, dan Dewi (2013) mengemukakan bahwa manajemen

rantai pasok berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif, kecuali Hamid (2011)


163

yang menyimpulkan bahwa manajemen rantai pasok berpengaruh positif

terhadap keunggulan kompetitif.

Untuk melengkapi analisis deskripsi pada hasil penelitian ini, maka secara

khusus dilakukan pengukuran tingkat persaingan jagung pada level pedagang

perantara / perusahaan dengan mengadopsi Alat Perencanaan Strategik - Lima

Kekuatan Porter (Strategic Planning Tools Porter’s 5 Forces), yaitu alat analisis

yang dapat menambah kemampuan dalam mengukur kekuatan pemasok dan

kekuatan pembeli dalam rantai pasok yang sama, serta kondisi aktual persaingan

dengan perusahaan di luar rantai pasok.

Alat Perencanaan Strategik - Lima Kekuatan Porter memiliki nilai mulai

dari tingkat persaingan sangat rendah (-30) sampai dengan tingkat persaingan

sangat tinggi (+30). Dari hasil analisis pada Tabel 6.22 dan Lampiran 9 diperoleh

nilai +22 dan -8 dan total +14. Oleh karena nilai positif (+) berada pada kisaran

+11 s.d +20, maka dikategorikan memiliki tingkat persaingan tinggi di mana

perusahaan dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial dan strategi agar

tetap eksis memperoleh laba secara berkelanjutan. Hasil analisis persaingan di

level pedagang perantara jagung ditampakkan pada Tabel 6.20.

Tabel 6.22 Analisis Persaingan di Level Pedagang Perantara Jagung

No Indikator Positif Negatif Jumlah


1 Ancaman Pesaing Baru +4 -1 +3
2 Kekuatan Pemasok +3 -2 +1
3 Kekuatan Pembeli +3 -2 +1
4 Ancaman Produk / Jasa Pengganti +4 -1 +3
5 Revalitas Antar Pesaing Yang Ada +3 -2 +1
6 Komplemen +5 0 +5
IKK2 +22 -8 +14
Sumber: Lampiran 9.
164

Keragaan tingkat persaingan sebagai mana ditampilkan pada Tabel 6.22

menunjukkan persaingan yang tinggi pada lingkungan eksternal rantai pasok dan

persaingan rendah di internal rantai pasok. Uraiannya sebagai berikut:

1. Ancaman Pesaing Baru

Peluang hadirnya pesaing baru sangat terbuka, disebabkan tidak adanya

perlindungan pemerintah dan tidak satupun perusahaan yang memiliki teknik

yang mampu menghambat masuknya pesaing baru termasuk tidak adanya

kepemilikan hak paten, juga tidak ada pembatasan perizinan. Selain itu, kegiatan

usaha pemasaran jagung memiliki marjin keuntungan yang diketahui banyak

orang, serta diakui banyaknya perusahaan sejenis yang berkembang pesat.

Satu-satunya yang menghambat masuknya pesaing baru adalah dibutuhkannya

modal yang cukup besar (lebih dari Rp 500 juta) untuk memulai usaha. Pada

transkrip wawancara mendalam terungkap bahwa kebutuhan modal mencapai

lebih dariRp 1 milyar termasuk barang-barang modal atau total seluruh asset

(Lampiran 20). Kebutuhan modal meliputi modal operasional dan modal

investasi. Modal operasional dibutuhkan untuk pengadaan barang atau

komoditas jagung, sementara modal investasi untuk penyediaan lahan,

bangunan gudang, ruang perkantoran, mesin pemipil, dan kendaraan roda

empat.

2. Kekuatan Pemasuk

Dilihat dari aspek kekuatan pemasok tampak adanya variasi pada aspek

kesulitan beralih kepada perusahaan lain (Lampiran 9), satu-satunya yang dapat

mengikat pemasok agar tetap setia sebagai pemasok adalah pemberian

pinjaman modal operasional, penyediaan sarana angkutan, mesin pemipil, dan

lantai jemur atau dengan kata lain sharing dalam pemanfaatan barang-barang
165

modal (integrasi horizontal). Oleh karena itu bagi perusahaan yang memiliki

modal kecil menghadapi situasi ketidakpastian dalam mempertahankan para

pemasoknya. Dengan demikian, tidak semua perusahaan memiliki pemasok

tetap, para pemasok bebas menentukan kepada perusahaan mana ia memasok

barangnya dengan mempertimbangkan marjin keuntungan yang akan diterima

dan fasilitas yang mereka peroleh dari perusahaan. Upaya mempertahankan

pemasok diantaranya adalah menjalin hubungan baik yang saling

menguntungkan antara pemasok dan perusahaan, diantaranya melalui

pembentukan kolaborasi rantai pasok dan menerapkan manajemen rantai pasok

dan integrasi proses bisnis. Sementara yang memperlemah tingkat persaingan

pemasok adalah skala usaha dari para pemasok yang relatif kecil bila

dibandingkan dengan skala usaha perusahaan. Skala usaha perusahaan jauh

lebih besar, sehingga perusahaan mampu membeli seluruh barang dari

pemasok.

3. Kekuatan Pembeli

Kondisi persaingan dari sisi kekuatan pembeli tampak hampir sama

dengan kondisi persaingan dari sisi kekuatan pemasok (Lampiran 9). Yang

memperlemah persaingan dari aspek kekuatan pembeli adalah para konsumen

pengguna (peternak ayam petelur) membeli langsung jagung kepada para

pedagang antar pulau, sehingga mengurangi peran distributor dan/atau pengecer

dan memperpedek rantai pemasaran. Sementara aspek yang meningkatkan

persaingan adalah: (1) adanya pelanggan minimal 5 perusahaan sebagai

pembeli; (2) peranan pembeli yang dominan dalam menentukan harga,

disebabkan jumlah modal yang dimiliki relatif terbatas untuk melakukan

penyimpanan, karena tuntutan untuk segara membayar hutang-hutang kepada


166

pemasok, sehingga (3) mereka tunduk pada harga yang ditetapkan oleh pembeli.

Meskipun tampak adanya kekuatan tarik menarik dalam penetapan harga

dengan para pembeli, namun akhirnya karena persaingan yang tinggi, yang

mana perusahaan bukan satu-satunya penjual kepada pelanggan, serta pembeli

dengan mudah beralih kepada perusahaan lain, maka harga lebih banyak

ditentukan oleh pembeli; (4) perusahaan lebih banyak merasakan

kitidaknyamanan dari para pembeli, kecuali pada musim di luar panen raya di

mana harga jagung relatif mahal dan langka.

4. Ancaman Produk atau Jasa Pengganti

Situasi persaingan antar pelaku usaha pemasaran jagung tampak terjadi

pada semua kelembagaan, mulai dari petani, pemasok, pedagang perantara dan

para pembeli, sehingga menjadi satu pertimbangan bagi para pelaku usaha

pemasaran untuk beralih kepada usaha pemasaran komoditas lain atau

melakukan diversifikasi usaha, diantaranya adalah mengusahakan aneka hasil

pertanian. Sebagian kecil perusahaan yang konsen dan ingin tetap berusaha

pada usaha pemasaran jagung (Lampiran 9). Sementara situasi persaingan

meningkat oleh: (1) banyaknya perusahaan yang bergerak pada usaha

pemasaran jagung di sekitar lokasi perusahaan, dan (2) kualitas produk yang

hampir sama, serta (3) tidak adanya ciri khas yang khusus pada produk jagung

mereka. Semua perusahaan menghasilkan produk jagung pipil kering.

Dari 20 perusahaan terdapat 2 (dua) perusahaan yang menghasilkan

jagung pecah, dan dua perusahaan yang langsung membeli jagung dari petani

dan menjual langsung ke konsumen penguna. Upaya yang dilakukan oleh empat

perusahaan ini merupakan satu strategi untuk mereduksi persaingan. Oleh

karena itu strategi dengan memperpendek rantai pasok atau dengan kata lain
167

melakukan integrasi vertikal dapat menurunkan tingkat persaingan di dalam

rantai pasok.

5. Rivalitas Antar Pesaing Yang Ada

Ada dua indiktor yang memperlemah persaingan dilihat dari aspek

rivalitas antar pesaing yang ada, yaitu: (1) terjadinya kerjasama yang saling

membantu antar perusahaan terutama dalam memenuhi permintaan pelanggan

atau pun dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, dan (2) pengusaha tidak

tampak saling meremehkan atau saling merendahkan melalui media atau iklan.

Sedangkan yang meningkatkan persaingan adalah: (1) tidak ada hambatan

perpindahan buruh atau karyawan antar perusahaan dan merupakan suatu yang

dinilai lumrah; (2) tidak lazim bagi perusahaan melakukan promosi melalui

spanduk atau iklan, karena pembeli umumnya datang langsung atau

berkomunikasi melalui telepon seluler atau memanfaatkan jaringan internet

melalui penawaran on-line; (3) serta mudah bagi perusahaan lain untuk

mengikuti atau meniru langkah perusahaan dalam memasarkan jagung, sebab

akses yang terbuka terhadap teknologi dansumber modal; dan (4) sebagian kecil

perusahaan yang mengetahui kebutuhan pelanggan (Lampiran 9).

Hasil analisis tersebut memberikan gambaran bahwa komoditas jagung

memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan berpeluang sebagai ancaman bagi

kelangsungan usaha jasa pemasaran jagung. Walau demikian, bukan berarti

bahwa tingkat persaingan yang tinggi tersebut statis, melainkan dapat berubah

sesuai situasi persaingan, kemajuan teknologi, perubahan subtitusi, dan inovasi

perusahaan (Zhao, 2012). Inovasi dengan melakukan upaya integrasi proses

bisnis, seperti memperpendek rantai pasokan dan melakukan proses pengolahan

merupakan upaya mengurangi persaingan dan meningkatkan keunggulan


168

kompetitif jagung, sehingga dapat mempertahankan atau meningkatkan

perolehan laba bagi perusahaan.

6.8 Analisis Deskriptif Variabel Endogen dan Eksogen Dalam Model

Untuk memberikan gambaran karakteristik data penelitian maka dilakukan

analisis statistik deskriptif. Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk

mendeskripsikan perilaku objek penelitian atas variabel penelitian. Dalam

penelitian ini terdapat 9 (sembilan) variabel yang terdiri atas 5 (lima) variabel

endogen dan 4 (empat) variabel eksogen. Hasil`analisis ditampilkan pada

Tabel 6.23.

Tabel 6.23 Statistik Deskriptif Indikator Variabel Laten

Variabel Laten Modus Median Rata-rata Std Deviasi


Berbagi informasi (BIF) 3,00 4,00 3,17 1,03
Sinkronisasi Keputusan (SNK) 3,00 3,00 3,06 0,87
Keselarasan insentif (KSI) 3,00 2,33 2,91 1,08
Kolaborasi rantai pasok (KRP) 3,00 3,00 2,85 0,83
Integrasi proses bisnis (IRP) 3,20 3,40 3,13 0,93
Keunggulan Kompetitif (KKP) 3,00 3,00 3,01 0,92
Manajemen rantai pasok (MRP) 3,25 4,50 3,23 0,96
Kesejahteraan petani (KSP) 2,83 3,67 2,93 0,99

Variabel endogen adalah perilaku variabel ditentukan oleh perilaku variabel

lain dalam model. Yang tergolong variabel endogen adalah kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis, manajemen rantai pasok,

keunggulan kompetitif dan kesejahteraan petani.

Variabel eksogen adalah perilaku variabel yang ditentukan oleh faktor di

luar model, yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan, keselarasan insentif,

dan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yaitu kepastian pemasok dan

kepastian permintaan dikeluarkan dari model, karena kondisi lingkungan yang

homogen di mana produk jagung memiliki kepastian permintaan. Jagung yang

dihasilkan oleh petani selalu ada pedagang yang bersedia membeli, demikian
169

pula jagung pipil yang telah kering langsung dibeli oleh pedagang perantara dan

dikirim ke konsumen pengguna. Produk jagung selalu laku terjual dalam waktu

satu minggu bila kondisi cuaca cerah dan membutuhkan waktu 2 (dua) minggu

bila cuaca kurang cerah. Para pedagang tidak memungkinkan melakukan

penyimpanan jagung untuk menunggu harga lebih tinggi, karena keterbatasan

modal dan tuntutan dari pemasok agar secepatnya mendapatkan pembiayaan

bagi penyediaan pasokan berikutnya.

Semua variabel bersifat laten (unobserved variabel) yang mana

pengukurannya memerlukan indikator. Tiap variabel laten memerlukan 3 (tiga)

s.d 10 indikator di mana tiap indikator membutuhkan dukungan teori atau logical

construct yang jelas (Jogiyanto, 2011). Dalam penelitian ini setiap variabel laten

telah memenuhi persyaratan yang mana masing-masing variabel terdiri atas

tiga, empat atau lima indikator.

Hasil statistik deskriptif indikator variabel menunjukkan bahwa nilai modus

dan median masih berada pada kisaran rata-rata +/- 1 x (satu kali) standar

deviasi, sehingga secara deskriptif bahwa penerapan indikator untuk masing-

masing variabel laten dapat diterima, yaitu nilai modus dan median hampir

mendekati nilai rata-rata atau nilai tengah. Dengan kata lain tidak ditemukan data

yang ekstrim, sehingga keseluruhan nilai observasi dapat digunakan pada

analisis statistik inferensi. Demikian pula nilai standar deviasi terletak dari 0,83

s.d 1,08. Memberi indikasi bahwa nilai indikator variansnya tidak terlalu lebar

dengan kata lain penyebaran data cenderung homogen. Petunjuk yang dapat

digunakan untuk menetukan homogenitas adalah standar deviasi < dari rata-rata

variabel yang bersangkutan. Walaupun homogenitas bukan sebagai persyaratan


170

dalam analisis SEM-PLS, namun akan sangat membantu dalam analisis inferensi

dan interpretasinya.

Hasil analisis distribusi frekuensi jumlah dan persentase petani menurut

level nilai indicator variable laten ditampilkan pada Tabel 6.24.

Tabel 6.24 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Persentase Petani Menurut Level
Nilai Indikator Variabel Laten

Variabel Tinggi (≥ 3,75) Sedang (2,26 s.d 3,74) Rendah (≤ 2,25)


Laten Jumlah % Jumlah % Jumlah %
BIF 36 30,00 61 50,85 23 19,17
SNK 24 20,00 78 65,00 18 15,00
KSI 36 22,50 68 56,67 27 22,50
KRP 19 15,83 73 60,83 28 23,33
IRP 36 30,00 61 50,83 23 19,17
KKP 28 23,33 63 52,50 29 24,17
MRP 42 35,00 62 51,67 16 13,33
KSP 22 18,33 70 58,33 28 23,33
Sumber : Data primer diolah

Nilai indikator pada tiap-tiap variabel disusun sebagai data frekuensi,

berikutnya mengelompokkan nilai rata-rata indikator menjadi tiga, yaitu tinggi,

sedang dan rendah. Nilai rata-rata indikator ≥ 3,75 dikategorikan tinggi, dari

2,26 s.d < 3,75 dikategorikan sedang, dan < 2,26 dikategorikan rendah.

Nilai rata-rata indikator pada tiap-tiap variabel sebagian besar tergolong

sedang, sementara jumlah frekuensi dengan kategori tinggi dan rendah hampir

berimbang. Distribusi frekuensi ini memberi indikasi bahwa petani yang

memperoleh manfaat tinggi hampir sama dengan jumlah petani yang

memperoleh manfaat rendah atas implementasi manajemen rantai pasok yang

dikoordinasikan perusahaan. Bagi petani yang memperoleh manfaat atas

keberadaan perusahaan dalam memberikan pelayanan informasi, teknologi, dan

modal serta penyediaan fasilitas pasar input dan output pertanian cenderung

memberikan penilaian yang relatif tinggi, sebaliknya yang merasa dirugikan atau

menerima perlakuan yang kurang menyenangkan atau tidak memuaskan akan


171

memberikan penilaian yang rendah. Penilaian tersebut didasarkan pada persepsi

tiap-tiap petani dengan menggunakan skala likert.

6.9 Evaluasi dan Uji Efektivitas Model

6.9.1 Evaluasi Outer Model Pada Smart-PLS

Evaluasi model bertujuan untuk mendapatkan justifikasi hubungan

relasional dan kausal. Untuk memperoleh justifikasi atas model analisis Partial

Least Square (PLS) harus melalui verifikasi. Verifikasi tersebut meliputi validitas

konstruk dan reliabilitas instrument sebagai berikut.

1. Validitas Konstruk

Validitas konstruk menunjukkan kekuatan hubungan antar konstruk.

Kekuatan hubungan diukur dari koefisien korelasi antar konstruk. Semakin baik

hubungan relasional antar konstruk maka konstruk yang dibangun semakin

sesuai dengan teori-teori yang diacunya (Jogiyanto, 2011). Dari hasil uji korelasi

antar konstruk menunjukkan bahwa semua konstruk saling berkorelasi dengan

nilai t-statistik lebih besar daripada 1,6449 dengan p-value ≤ 0,05. Dilihat pada

pendifinisian konsep mendekati kesesuaian dengan teori yang menjadi acuan

dalam merumuskan konstruk penelitian ini.

Validitas konstruk menggunakan sekurang-kurangnya dua alat uji, yaitu:

validitas konvergen dan validitas diskriminan.

a. Validitas konvergen mengharuskan hubungan korelasional yang tinggi antar

indikator. Oleh karena itu disyaratkan bahwa Outer Loading di atas 0,7,

Average Variance Extracted (AVE) di atas 0,5 dan Communality ≥ 0,5Cross

Loading terkecil sebesar 0,843, sehingga semua indikator memenuhi

persyaratan sebagai mana ditunjukkan hasil validitas konvergen. . Hasil

faktor loading dapat dilihat pada Tabel 6.25.


172

Tabel 6.25 Faktor Loading Tiap Indikator

No Indikator Outer Loading No Indikator Outer Loading


1 U1 0,964 16 X7 0,889
2 U2 0,953 17 X8 0,928
3 U3 0,931 18 X9 0,889
4 V1 0,854 19 Y1 0,843
5 V2 0,915 20 Y2 0,940
6 V3 0,882 21 Y3 0,941
7 W1 0,934 22 Y4 0,907
8 W2 0,942 23 Y5 0,889
9 W3 0,924 24 Y6 0,906
10 X1 0,887 25 Y7 0,895
11 X2 0,938 26 Y8 0,919
12 X3 0,934 27 Y9 0,864
13 X4 0,907 28 Z5 0,946
14 X5 0,923 29 Z6 0,926
15 X6 0,943 30 Z7 0,939
Keterangan :
U1 = Informasi harga X7 = Pengembangan
U2 = Informasi teknologi X8 = Kesehatan kas
U3 = Informasi skim kredit X9 = Penyerapan t.kerja
V1 = Jenis input produksi Y1 = Harga/biaya
V2 = Kuantitas input Y2 = Kualitas produk
V3 = Biaya modal Y3 = Ketergantungan kirim
W1 = Harga input Y4 = Diversifikasi produk
W2 = Harga output Y5 = Waktu tempuh ke pasar
W3 = Berbagi biaya Y6 = Koordinasi antar lembaga
X1 = Kesamaan tujuan Y7 = Aliran produk
X2 = Peran&tanggungjawab Y8 = Aliran pelayanan
X3 = Pembagian resiko Y9 = Aliran modal
X4 = Fasilitator Z5 = Surplus produsen/biaya produksi
X5 = Hub baik dgn pelanggan Z6 = Pengeluaran konsumsi RT
X6 = Operional biaya rendah Z7 = Pengeluaran investasi RT

Oleh karena semua nilai Outer Loading lebih besar dari 0,7 serta Cross

Loading lebih kecil daripada Outer Loading konstruk yang bersangkutan, maka

perumusan indikator sesuai dengan konsep teori. Semakin tinggi nilai Outer

Loading, maka semakin penting peranan indikator dalam menginterpretasikan

matrik indikator. Oleh karena nilai outer loading semuanya di atas 0,7 maka

semua indikator pada masing-masing variabel dapat digunakan untuk

menjelaskan variabel yang bersangkutan.


173

b. Validitas Diskriminan

Ada tiga alat analisis untuk mengevaluasi validitas diskriminan, yaitu:

1) Average Variance Extracted (AVE), 2) Communality ≥ 0,5 dan 3) korelasi

silang (cross correlation) antra konstrak. Nilai AVE dan Communality disajikan

pada Tabel 6.26.

Tabel 6.26 Nilai Average Variance Extracted (AVE) dan Communality

No Kontruk AVE*) Communality**)


1 BIF 0,902 0,634
2 SNK 0,782 0,482
3 KSI 0,871 0,634
4 KRP 0,841 0,512
5 KKP 0,837 0,546
6 IRP 0,800 0,648
7 MRP 0,806 0,686
8 KSP 0,878 0,635
Keterangan : AVE = Average variance extracted
Sumber : *) Diolah dari data primer **) Lampiran 10

Pada Tabel 6.26 tampak bahwa Average Variance Extacted (AVE) dan

Communality masing-masing ≥ 0,5; sehingga memenuhi syarat validitas

konvergen, maka model memenuhi kriteria, sehingga dapat digunakan untuk

estimasi outer model.

Pengukuran-pengukuran konstruk yang berbeda semestinya tidak

berkorelasi tinggi, kalaupun berkorelasi maka derajat korelasinya rendah. Untuk

membuktikan persyaratan validitas diskriminan ini, maka dilakukan uji korelasi

silang antar variabel laten yang dibandingkan dengan akar rata-rata varian

ekstrakted. Koefisien korelasi silang antar variabel laten disyaratkan < akar AVE

variabel yang bersangkutan, sehingga penghapusan suatu jalur dampaknya tidak

terlalu besar terhadap koefisien jalur lainnya. Hasil analisis akar AVE dan

korelasi silang antar variable laten ditampakkan pada Tabel 6.27.


174

Tabel 6.27 Komparasi Akar AVE Dengan Korelasi Silang Antar Variabel Laten

AKAR
BIF SNK KSI KRP KKP IRP MRP KSP
AVE
BIF 0,950 - 0,672 0,839 0,712 0,783 0,812 0,846 0,850
SNK 0,884 0,672 - 0,675 0,663 0,656 0,742 0,747 0,638
KSI 0,933 0,839 0,675 - 0,718 0,728 0,812 0,872 0,860
KRP 0,917 0,712 0,663 0,718 - 0,681 0,737 0,750 0,729
KKP 0,915 0,783 0,656 0,728 0,681 - 0,752 0,766 0,752
IRP 0,895 0,812 0,742 0,812 0,737 0,752 - 0,894 0,798
MRP 0,898 0,846 0,747 0,872 0,750 0,766 0,894 - 0,859
KSP 0,937 0,850 0,638 0,860 0,729 0,752 0,798 0,860 -

Pada Tabel 6.27 tampak bahwa semua akar AVE variabel laten >

koefisien korelasi silang (cross correlation) antar variabel yang bersangkutan

dengan variabel lainnya yang sebaris. Dengan demikian bahwa semua variabel

memenuhi kriteria validitas diskriminan.

2. Reliabilitas Instrumen

Instrumen dalam bentuk kuesioner berpengaruh terhadap persepsi petani,

seperti penggunan istilah asing akan menyulitkan petani dalam memberikan

jawaban secara tepat. Selain itu, kondisi dan situasi ketika wawancara juga

berpengaruh terhadap konsistensi jawaban petani dari suatu item pertanyaan ke

item pertanyaan lainnya. Sopan santun dan tata kerama dalam wawancara juga

memegang peranan terhadap kosistensi dan ketepatan jawaban yang diberikan

oleh petani. Karena itu suasana yang menyenangkan dan kekeluargaan

membantu dalam menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam

melaksanakan wawancara. Sebagai konvensasi atas keluangan waktu yang

disediakan petani, peneliti memberikan insentif dalam bentuk innatura.

Untuk mendapatkan data yang valid dan konsisten, maka pengumpulan

data dilakukan dua tahap, yaitu (1) pengumpulan data usahatani, (2)

pengumpulan data manajemen agribisnis. Untuk memperoleh keyakinan bahwa


175

data yang diperoleh telah valid dan konsisten, maka dilakukan uji reliabilitas

instrumen.

Uji reliabilitas intrumen menggunakan Cronbach’s Alpha dan Composite

Reliability. Pengukuran Cronbach’s Alpha dimaksudkan untuk mengetahui batas

bawah nilai reliabilitas suatu konstruk, sedangkan Composite Reliability untuk

mengetahui reliabilitas yang sesungguhnya. Oleh karena uji Cronbach’s Alpha

tidak tersedia dalam software Smart-PLS, maka digunakan software SPPS

versi.13.

Hasil perhitungan nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability

disajikan pada Tabel 6.28.

Tabel 6.28 Nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability

No Konstruk Cronbach’s Alpha*) Composite Reliability**)


1 BIF 0,964 0,965
2 SNK 0,969 0,915
3 KSI 0,964 0,953
4 KRP 0,968 0,955
5 KKP 0,963 0,962
6 IRP 0,962 0,952
7 MRP 0,962 0,943
8 KSP 0,963 0,956

Syarat reliabilitas pada uji Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability

minimal 0,6; lebih baik apabila nilainya di atas 0,7. Nilai koefisien Cronbach’s

Alpha dan Composite Reliability sebagai ukuran konsistensi internal yang

mendeskripsikan hubungan satu set data sebagai satu kelompok dan skala yang

dimaksud adalah unidemesional (www.ats.ucla.edu › stat › spss › faq). Oleh

karena nilai masing-masing di atas 0,7 (Tabel 6.28), maka instrumen yang

digunakan memenuhi syarat reliabilitas, artinya jawaban yang diberikan oleh

petani atas kuesioner yang digunakan memiliki konsistensi antar satu item

dengan item lainnya dan skala yang digunakan masuk pada demensional
176

homogen, bebas dari skala yang ekstrim. Reliabilitas instrumen dibuktikan juga

oleh hasil uji Chi Square yang menunjukkan bahwa pengelompokkan data

keseluruhan (general) non signifikan (Lampiran 11).

6.9.2 Evaluasi Model Persamaan Struktural (Inner Model) Pada PLS

Model persamaan struktural dibangun atas dasar teori. Pada penelitian ini

dibangun dari teori kolaborasi rantai pasok yang dicetuskan oleh Mathuramaytha

(2011) dengan modifikasi pada outcome-nya, yaitu keragaan organisasi

dimodifikasi dengan kesejahteraan petani jagung. Teori merupakan sekumpulan

prinsip-prinsip yang disusun secara sistematis dalam serangkaian hubungan

fenomena alam dan/atau sosial, sehingga dapat dipahami hubungan kausalitas

antara satu variabel dengan variabel lainnya dan ditinjau dari pengetahuan logis

dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dibuktikan secara empiris (Yamin dan

Kurniawan, 2009; Jogiyanto, 2011).

Statemen yang dikemukakan Bartezzaghi (1999) dan dipertegas oleh

Spekman (2001) bahwa integrasi proses bisnis dalam rantai pasok dapat

meningkatkan keunggulan kompetitif. Menghubungkan antara teori kolaborasi

rantai pasok dengan pernyataan Bartezzaghi (1999) dan Spekman (2001) di atas

adalah untuk mengevaluasi teori kolaborasi rantai pasok sekaligus memodifikasi

dan mengelaborasi kebaharuan penelitian ini dengan melihat hubungan

kausalitas antar variabel dalam model dan menguji hipotesis. Evaluasi teori dan

menguji hipotesis menggunakan statistik inferensi atas data empiris yang diambil

dari lokasi penelitian.

Manfaat daripada manajemen rantai pasok adalah meningkatkan efisiensi

atau meningkatkan laba seluruh anggota dalam rantai pasok. Oleh karena petani

sebagai anggota dalam rantai pasok, maka sepantasnya mereka berhak


177

menikmati manfaat dari rantai pasok tersebut, berupa peningkatan surplus

produsen, peningkatan pendapatan, peningkatan konsumsi rumah tangga, dan

peningkatan tabungan dan/atau pengeluaran investasi yang pada gilirannya akan

meningkatkan kesejahteraan petani. Evaluasi persamaan struktural terdiri atas:

uji efektivitas model persamaan struktural dan uji koefisien jalur. Uraian masing-

masing sebagai berikut:

1. Uji Efektivitas Model Persamaan Struktural (Model Fit)

Uji efektivitas model meliputi uji model persamaan struktural dan uji model

parsial. Uji model persamaan struktural menggunakan koefisien diterminan


2
persamaan (R ). Hasil analisis nilai koefisien diterminan model persamaan

structural (R2) dan Geisser q-Square Test disajikan pada Tabel 6.29, sementara

hasil uji model secara parsial ditampilkan pada masing-masing persamaan.

Tabel 6.29 Nilai Koefisien Diterminan (R2) dan Stone Geisser q-Square Test

No Variabel R2 inc R2 exc q2


1 KRP 0,595 0,595 0,000
2 KKP 0,627 0,627 0,000
4 IRP 0,544 0,544 0,000
5 MRP 0,817 0,817* 0,000
6 KSP 0,803 0,769 0,003
2
Keterangan: q = Stone Geisser q-Square Test * terbesar
R2 inc adalah koefisien diterminan ketika variabel eksogen inklusif dalam

model (sebelum dikeluarkan dari model), sedangkan R2 exc adalah koefisien

diterminan ketika variabel eksogen setelah dikeluarkan dari model. Variabel

ekogen yang keluarkan dari model adalah jalur yang non-siginifikan. Dari hasil

perhitungan q2 di atas diperoleh nilai 0,003 atau kurang dari 0,02; maka

mengeluarkan variabel eksogen dari model memiliki dampak yang sangat kecil

(Ferdinand, 2002; Utomo, 2011). Oleh karena itu yang digunakan dalam
178

elaborasi koefisien diterminan adalah R2 exc dan jalur IRP-> KSP dikeluarkan

dari model.

Dari hasil uji model persamaan struktural pada Tabel 6.30 di atas tampak

bahwa nilai R2 > 0,5 (Jogiyanto, 2011), maka disimpulkan bahwa semua model

persamaan struktural dapat digunakan untuk mengestimasi dan pengujian

hipotesis.

Untuk keperluan aplikasi model membutuhkan uji lebih lanjut, yaitu uji

efektivitas model parsial (model fit). Model fit yang digunakan adalah koefisien

diterminan parsial (r2i) ≥ 0,1. Hasil uji model parsial ditampakkan pada

Tabel..6.30.

Tabel 6.30 Uji Efektivitas Model Parsial (Model Fit)

Koefisien Koefisien Diterminan


Jalur Jalur1) Parsial 2)
BIF -> KRP 0,270 0,193
SNK -> KRP 0,276 0,183
KSI -> KRP 0,305 0,219
KRP -> KKP 0,202 0,201
IRP -> KKP 0,268 0,288
MRP-> KKP 0,376 0,138
KRP -> IRP 0,737 0,544
KRP -> MRP 0,200 0,150
IRP -> MRP 0,746 0,666
KRP -> KSP 0,148 0,109
KKP -> KSP 0,188 0,141
MRP -> KSP 0,605 0,520
Sumber : 1) Tabel 6.30 2)
Diolah dari Tabel 6.27 dan Tabel 6.30

Dari 13 jalur yang dianalisis dengan menggunakan software Smart-PLS

terdapat 12 jalur yang signifikan (Tabel 6.30), sedangkan 1 (satu) jalur tidak

signifikan. Jalur yang tidak signifikan yaitu IRP KSP. Jalur yang tidak

signifikan dikeluarkan dari model, karena lulus uji Stone Geisser q-Square Test.

Hasil uji menunjukkan bahwa q2 < 0,02, sehingga pengeluaran jalur IRP KSP

dari model pengaruhnya relative kecil terhadap koefisien jalur lainnya.


179

Hasil uji Stone Geisser q-Square Test bersesuaian dengan perbandingan

antara nilai cross correlation dan akar AVE (Tabel 6.26). Apabila nilai cross

correlation < akar AVE, maka penghapusan suatu jalur dari model tidak besar

pengaruhnya terhadap koefisien jalur lainnya. Kondisi ini sebagai persyaratan

yang memungkinkan untuk dilakukan penghapus suatu jalur pada diagram path.

2. Uji Koefisien Jalur

Hasil uji koefisien jalur disajikan pada Tabel 6.31 berikut:

Tabel 6.31 Hasil Uji Koefisien Jalur atau Koefisien Regresi Standard

Estimasi sampel Rata-rata Standard Statistik


Jalur Original1) subsampel deviasi t) p-value
BIF -> KRP 0,270 0,264 0,100 2,700** 0,0086
SNK -> KRP 0,276 0,265 0,083 3,316** 0,0070
KSI -> KRP 0,305 0,321 0,105 2,905** 0,0080
KRP -> KKP 0,202 0,205 0,075 2,704** 0,0086
IRP -> KKP 0,268 0,287 0,183 1,934* 0,0120
MRP-> KKP 0,376 0,359 0,147 2,551** 0,0091
KRP -> IRP 0,737 0,734 0,034 21,865** 0,0000
KRP -> MRP 0,200 0,203 0,058 3,467** 0,0067
IRP -> MRP 0,746 0,743 0,057 13,021** 0,0000
KRP -> KSP 0,148 0,143 0,068 2,182* 0,0107
KKP -> KSP 0,188 0,185 0,078 2,397** 0,0097
MRP -> KSP 0,605 0,609 0,082 7,401** 0,0000
Sumber : Data Primer Diolah
Keterangan : 1) Koefisien Jalur *) Signifikan α=0,05 **) Signifikan α=0,01
Pengujian terhadap koefisien jalur dilakukan dengan menggunakan

student’s t-distribution dan nilai probabilitas signifikansi (p-value). Pada tabel

berikut nilai koefisien jalur ditunjukkan pada kolom estimasi sampel original1).

Dari hasil evaluasi terhadap model persamaan struktural dan koefisien jalur

menggunakan Smart-PLS memenuhi kriteria goodness of fit ditinjau dari aspek

outer model maupun inner model dan memenuhi reliabilitas instrumen, sehingga

layak digunakan sebagai estimasi dan pengujian hipotesis.


180

6.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Rantai Pasok

Manajemen rantai pasok diukur dari indikator koordinasi, aliran

produk, aliran pelayanan dan aliran modal. Semakin intens kegiatan

koordinasi dan aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal, maka

semakin baik manajemen rantai pasok. Hipotesis-1 dirumuskan bahwa

integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok.

Model persamaan struktural dengan manajemen rantai pasok sebagai

variabel endogen adalah sebagai berukut:

MRP = 0,746 IRP + 0,200 KRP ……………………….………………… (5.1)


(p) (0,000) (0,0067)
(r) (0,894) (0,750)
(r2) (0,666) (0,150)
R2 = 0,817

6.10.1 Pengaruh Integrasi Proses Bisnis Terhadap Manajemen Rantai


Pasok

Koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis terhadap

manajemen rantai pasok adalah 0,746 artinya terdapat hubungan positif

antara integrasi proses bisnis dengan manajemen rantai pasok. Dengan nilai

t-statistik = 13,021 (p-value=0,000) dapat diinterpretasikan bahwa

peningkatan integrasi proses bisnis dapat memperbaiki manajemen rantai

pasok. Integrasi proses bisnis memberikan pengaruh terbesar terhadap

manajemen rantai pasok (r2=0,666).

Hasil penelitian ini bersesuian dengan kesimpulan hasil penelitian

Ariani dan Dwiyanto (2013) bahwa integrasi proses bisnis berpengaruh positif

dan signifikan terhadap keragaan manajemen rantai pasok dengan koefisien

regresi standard terbesar. Namun berbeda dengan hasil penelitian Bagchi,

et..al. (2007) yang menemukan bahwa integrasi rantai pasok di negara-


181

negara Nordik adalah retorika lebih dari kenyataan, meskipun demikian

menemukan adanya indikasi yang jelas bagi peningkatan kinerja.

Armistead dan Machin (1997) membangun preposisi penelitian yang

didasarkan pada kategori proses bisnis menjadi bisnis operasional, kemudian

menjadi manajemen proses, sementara Sachan,et.al. (2006) mengungkapkan

bahwa integrasi antar anggota dalam rantai pasok sebagai penggerak

manajemen rantai pasok.

6.10.2 Pengaruh Kolaborsi Antar Lembaga dalam Rantai Pasok


Terhadap Manajemen Rantai Pasok

Nilai koefisien regresi standard kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok terhadap manajemen rantai pasok bertanda positif artinya perbaikan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang dimoderasi oleh variabel

berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselaran insentif

mengakibatkan perbaikan manajemen rantai pasok. Hasil uji t-statistik

menunjukkan hubungan kausalitas positif yang signifikan yang mana nilai

t-statistik 3,467 lebih besar dari nilai t-tabel = 2,3263 dan p-value = 0,0067.

Oleh sebab itu secara menyakinkan bahwa perbaikan kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok berdampak positif bagi perbaikan manajemen

rantai pasok. Fenomena ini tampak jelas dari dari persamaan identitas

kolaborsi rantai pasok bahwa berbagi informs, mensinkronkan keputusan

perusahaan dengan harapan petani, serta memberikan konvensasi insentif

yang sepadan atau minimal sama dengan perubahan surplus produsen

sebesar Rp.2 juta/ha (Gambar 6.2) menjadi bukti bahwa manajemen rantai

pasok memberikan kontribusi bagi keberlanjutan kolaborasi (kerjasama)

antara petani dan perusahaan. Dengan demikian, memungkinkan bagi

manager perusahaan untuk menyelenggarakan manajemen rantai pasok.


182

Dari hasil analisis structural equation modeling bahwa integrasi proses

bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok secara bersama-

sama berpengaruh terhadap manajemen rantai pasok, di mana diperoleh nilai

koefisien diterminan R2 sebesar 0,817 (Tabel 6.29), artinya bahwa varians

manajemen rantai pasok dijelaskan 81,7 persen oleh varians integrasi

proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan variabel

moderasi : berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif,

sementara 18,3 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Dengan

demikian, hipotesis ke-1 diterima, yaitu integrasi proses bisnis dan kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap manajemen

rantai pasok.

6.11 Korelasi Antara Integrasi Proses Bisnis Dengan Kolaborasi Antar


Lembaga Dalam Rantai Pasok

Apabila asosiasi antara dua variabel atau lebih belum diyakini saling

berpengaruh satu terhadap yang lain, atau belum memiliki dasar teori yang

kuat untuk mendukung hubungan kausalitas, namun asosiasi data antar

variabel tersebut bersifat linear dan independen, maka untuk mengetahui

kekuatan hubungan antar variabel tersebut digunakan analisis korelasi

(Shaban, 2005).

Korelasi juga dapat digunakan sebagai pembuktian awal kemungkinan

adanya hubungan kausalitas antara dua variabel atau lebih dengan syarat

hubungan tersebut linear (Bolbuaca dan Jantschi, 2006). Hubungan yang

linear tersebut dapat dilihat dari sebaran data di sekitar kurva garis penduga

baik ke arah positif (searah) maupun ke arah negatif (tidak searah). Oleh

karena itu, analisis korelasi hanya dapat digunakan untuk mengetahui

keeratan hubungan antar suatu variabel terhadap variabel lainnya.


183

Analisis Structural Equation Modeling Parsial Leat Square memiliki

keunikan, selain dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel eksogen

terhadap variabel endogen dapat juga digunakan untuk menganalisis korelasi

antara dua variabel. Dalam model persamaan struktural yang dibangun

terdapat saatu hubungan korelasi antara variabel, yaitu antara kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis.

IRP = 0,737 KRP ……………………………………………… (5.2)


(p) (0,0000)
( r) (0,737)
(r2) (0,544)

Dari persamaan struktural (5.2) di atas dapat dilihat hubungan

korelasional antara integrasi proses bisnis dengan kolaborasi antar kembaga

dalam rantai pasok, yaitu semakin baik kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok semakin tinggi integrasi proses bisnis. Hasil analisis SEM-PLS

kolaborasi rantai pasok dengan integrasi proses bisnis diperoleh nilai

koefisien regresi standard yang equal dengan koefisien korelasi sebesar

0,737 (Tabel 6.30) dengan t-statistik = 21,392 (p-value = 0,000). Hasil uji

t-statistik ini menunjukkan sangat signifikan, sehingga dapat digunakan

sebagai estimasi dan pengujian hipotesis. Hasil analisis menununjukkan

bahwa koefisien korelasi lebih besar dari 0,5 dan lebih kecil dari 0,8

mengindikasikan bahwa hubungan antar variabel masuk kategori hubungan

positif moderat, yaitu integrasi proses bisnis berhubungan positif dengan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok,

Ditinjau dari aspek teori dan logical construct bahwa antara variabel

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses bisnis

bukan hubungan kausalitas. Perubahan variasi integrasi proses bisnis

berkorelasi dengan perubahan variasi kolaborasi antar lembaga dalam rantai


184

pasok, sehingga tidak ada variabel dependen dan independen pada dua

variabel tersebut. Hal ini dibuktikan dari koefisien korelasi sama dengan

koefisien jalur atau koefisien regresi standardnya, artinya tidak ada interaksi

antara kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan integrasi proses

bisnis.

Logika konstruk sebagai mana diungkapkan di atas, setelah dilakukan

analisis terhadap data-data persepsi responden menunjukkan bahwa ada

hubungan korelasional positif moderat antara kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok dengan integrasi proses bisnis, sehingga tesis yang menyatakan

semakin baik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok maka integrasi

proses bisnis semakin meningkat adalah diterima. Dengan demikian, maka

terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa peningkatan kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok diikuti oleh peningkatan integrasi proses

bisnis.

Integrasi proses bisnis terwujud dalam bentuk integrasi vertikal dan

integrasi horizontal. Integrasi vertikal yaitu memperpendek mata rantai

pemasaran atau mereduksi anggota kelembagaan yang terlibat dalam rantai

pasok. Menjadikan petani sebagai pemasok jagung dan menjadikan peternak

ayam petelur sebagai pembeli merupakan upaya mereduksi persaingan

sekaligus meningkatkan keuntungan (profit) perusahaan. Bagi petani akan

mendapatkan harga jual jagung yang lebih tinggi, sementara bagi peternak

ayam petelur mendapatkan harga beli yang lebih murah. Dengan

mengaplikasikan integrasi proses bisnis ini, maka akan memberikan

keuntungan bagi petani dan peternak ayam petelur, sebab masing-masing

pihak akan memperoleh harga premium.


185

Integrasi horizontal dilakukan untuk memperbesar skala usaha

sehingga mencapai skala ekonomis, misalnya dengan menyewa mesin

pemipil, menyewa lantai jemur dan membayar petugas keamanan dengan

tanggung renteng. Hubungan baik dengan mitra bisnis menjadi kunci sukses

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, sementara individualis

merupakan kendala utama integrasi proses bisnis (Lam, 2013). Hubungan

baik dengan mitra bisnis memiliki dua arah, yaitu kearah pemasok (hulu atau

up stream) dan kearah pembeli (hilir atau down stream). Hubungan baik dua

arah tersebut berdampak pada memperbaiki kesehatan aliran kas masuk dan

kas keluar. Oleh karena itu tampak adanya scientific rational bahwa semakin

dekat hubungan antara perusahaan dengan petani melui reduksi

kelembagaan yang tidak perlu akan meningkatkan kesehatan keuangan

perusahaan, yang mana kesehatan keuangan ini merupakan satu indikator

dari sejumlah indikator variabel moderasi yang menyusun variabel kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok.

Strategi integrasi proses bisnis dapat dilakukan secara vertikal yaitu

memperpendek saluran pemasaran sekaligus memperpendek jarak sosial

antar pihak yang berkolaborasi. Integrasi vertikal dilakukan dengan

memperpedek rantai pasok, misalnya petani menjual langsung jagungnya ke

pedagang besar antar pulau, dan pedagang besar antar pulau menjual

langsung jagung hasil olahannya ke konsumen pengguna (peternak, pabrik

pakan ternak, atau ke industri pengolah jagung).

Integrasi proses bisnis secara horizontal dilakukan dengan

memperbesar skala usaha sampai mencapai skala ekonomis, misanya petani

bergabung dalam kelompok tani, kelompok tani bergabung dalam gabungan


186

kelompok tani, dan gabungan kelompok tani yang membentuk kolaborasi

(kerjasama) dengan perusahaan yang berperan sebagai avalis atau

berhubungan dengan lemabga lain, seperti bank, perusahaan industri pakan

ternak, dll. Jika terkendala pengembangan kelompok tani dan gabungan

kelompok tani, pilihan lainnya adalah bergabung ke dalam asosiasi petani,

misalnya Masyarakat Agribisnis Jagung (MAJ), atau lainnya yang telah

menunjukkan kinerja terbauknya.

Integrasi proses bisnis secara horizontal diharapkan dapat

meningkatkan posisi tawar (barganning position) petani. Salah satu kegiatan

yang tidak kalah pentingnya melalui integrasi horizontal ini adalah pembelian

input secara bersama-sama, dan menjual produk secara bersama-sama,

sehingga dapat menghemat biaya pengangkutan, biaya penyimpanan, biaya

promosi, dan lain-lainnya (efisiensi biaya overhead).

6.12 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah kemampuan organisasi intra rantai pasok

memproteksi diri dari serangan para pesaing. Indikator yang digunakan untuk

mengukur keunggulan kompetitif adalah efisiensi, kualitas produk,

ketergantungan pengiriman, diversifikasi produk dan waktu tempuh ke pasar

(Mathuramaytha, 2011). Keunggulan kompetitif secara langsung dipengaruhi

oleh integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok di samping dipengaruhi tidak langsung oleh variabel moderasi

berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif

(Gambar..6.3).
187

Model persamaan struktural hubungan kausalitas antara keunggulan

kompetitif dengan integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok sebagai berikut:

KKP = 0,268 IRP + 0,376 MRP + 0,202 KRP ……………………… (5.3)


(p) (0,0120) (0,0091) (0,0086)
(r) (0,752) (0,766) (0,681)
(r2) (0,201) (0,288) (0,138)
R2 = 0,627

6.12.1 Pengaruh Integrasi Proses Bisnis Terhadap Keunggulan


Kompetitif

Koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis terhadap

keunggulan kompetitif adalah 0,268 dengan t-statistik = 1,934 (p-value =

0,0120) mengindikasikan bahwa terdapat hubungan kausalitas positif dan

signifikan, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan integrasi

proses bisnis mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif. Koefisien

diterminan parsial integrasi proses bisnis terhadap keunggulan kompetitif

sebesar 0,201 artinya 20,15% variasi keunggulan kompetitif dijelaskan oleh

variasi integrasi proses bisnis, dan 79,85% dijelaskan oleh variasi variabel lain

dalam model dan di luar model.

Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Spekman, et al. (2001)

bahwa variabel integrasi proses bisnis mampu meningkatkan keunggulan

kompetitif komoditas atau produk. Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif

dapat disimulasikan dengan meningkatkan integrasi proses bisnis, seperti

meningkatkan hubungan baik dengan pelanggan, prosedur operasional biaya

rendah, pengembangan ke depan, menjaga kesehatan aliran kas dan

penyerapan tenaga kerja.

Dengan mencermati koefisien regresi standard (koefisien jalur) pada

hubungan segi tiga kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi
188

proses bisnis dan keunggulan kompetitif mengindikasikan bahwa ketiga

variabel dan konstruk ini memiliki keeratan hubungan yang tertinggi bila

dibandingkan dengan konstruk lain dalam model. Oleh karena itu, kedudukan

variabel integrasi proses bisnis terhadap keunggulan kompetitif equivalen

dengan kedudukan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap

keunggulan kompetitif. Perpanduan kedua konstruk tersebut menjadi penentu

manajemen rantai pasok dan kesejahteraan petani.

Dengan diintroduksikannya variabel integrasi proses bisnis ke dalam

model kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok semakin meneguhkan

kebenaran teori kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok (the

collaboration supply chain theory) yang didesiminasikan oleh Mathuramaytha

(2011). Demikian pula pernyataan Bartezzaghi (1999) dan Spekman, et al.

(2001) yang menyatakan adanya hububungan kausalitas antara integrasi

proses bisnis dan keunggulan kompetitif terbukti bersesuaian dengan data

empiris yang digunakan dalam analisis jalur dengan menggunakan Structural

Equation Modeling - Partial Least Square.

Hasil analisis statistik inferensi di atas didukung oleh hasil analisis

deskriptif keragaan keunggulan kompetitif pada level pedagang perantara

yang menginformasikan bahwa persaingan di intern rantai pasok lebih rendah

bila dibandingkan dengan persaingan di eksternal rantai pasok (Tabel 6.22).

Dengan berlangsungnya integrasi proses bisnis ke hulu (pemasok atau

up..stream) dan ke hilir (pembeli atau down stream) akan mengurangi

persaingan dari klasifikasi persaingan tinggi menjadi klasifikasi persaingan

moderat. Dengan demikian, maka konstruk logika sebagai mana dielaborasi

di depan memiliki rationalitas scientif yang handal.


189

6.12.2 Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Keunggulan


Kompetitif

Dengan memperhatikan model persamaan struktural (5.3) di atas

tampak bahwa koefisien regresi standard (koefisien jalur) manajemen rantai

pasok terhadap keunggulan kompetitif sebesar 0,376 dengan t-statistik =

2,551 (p-value= 0,0091) dan koefisien diterminan parsial = 0,2880. Hasil uji

t-statistik ini dapat diinterpretasikan bahwa perbaikan manajemen rantai

pasok dapat meningkatkan keunggulan kompetitif jagung secara signifikan,

sementara dari koefisien diterminan parsial menunjukkan bahwa 28,80%

variasi keunggulan kompetitif dijelaskan oleh variasi manajemen rantai pasok,

sedangkan 71,20% dijelaskan oleh variasi variabel lain di dalam dan di luar

model.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2010) telah

memperlihatkan adanya hubungan kausalitas positif antara variabel

kerjasama jangka panjang dengan keunggulan kompetitif, yang mana variabel

kerjasama jangka panjang atau berkelanjutan merupakan salah satu tujuan

dari manajemen rantai pasok. Oleh karena itu terbentuknya hubungan

kausalitas positif antara manajemen rantai pasok dengan keunggulan

kompetitif dapat dipertanggungjawabkan dari aspek teoritis maupun empiris.

Hasil penelitian ini mempertegas peluang terjadinya hubungan kausalitas

positif sebagai mana telah diungkapkan di atas.

Implikasi dari hasil penelitian ini bagi perusahaan yang bertindak selaku

avalis adalah memperbaiki manajemen rantai pasok akan berdampak bagi

peningkatan keunggulan kompetitif perusahaan sekaligus meningkatkan

keunggulan kompetitif jagung. Dengan kata lain perbaikan koordinasi dan

peningkatan aliran produk, aliran pelayanan dan aliran modal telah


190

meningkatkan kemampuan organisasi rantai pasok dalam memproteksi diri

dari serangan para pesaing di luar rantai pasok.

6.12.3 Pengaruh Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok


Terhadap Keunggulan Kompetitif

Dari tiga variabel penentu yang mempengaruhi keunggulan kompetitif

tampak bahwa variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memiliki

koefisien regresi standard terkecil bila dibandingkan variabel penentu lainnya,

yaitu sebesar 0,202. Setelah dilakukan uji t-student distribution diperoleh nilai

t-statistik = 2,704 (p-value=0,0086), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan kausalitas positif dan siginfikan antara kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok dengan keunggulan kompetitif jagung.

Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sebagai upaya mencapai

skala ekonomi yang efisien tentu akan memberikan efek positif bagi

peningkatan keunggulan kompetitif. Yang telah dilakukan adalah

mengorganisasi petani dalam kelompok tani dan memanfaatkan kelompok

tani yang sudah ada. Hal ini telah dibuktikan oleh Mathuramaytha (2011)

yang menunjukkan hubungan kausalitas positif antara kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok dengan keunggulan kompetitif. Keunggulan

kompetitif menunjukkan bahwa organisasi mampu menciptakan perlindungan

atas produksinya dari para pesaing. Selain itu kinerja operasi yang didukung

oleh strategi kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok diperlukan saling

percaya antar perusahaan dengan mitra bisnisnya (Yaqoub, 2012).

Berbeda dari hasil penelitian ini yang telah mempertegas pengaruh

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif.

Dalam konsep penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2008) menempatkan

aliansi stratejik sebagai variabel eksogen untuk membangun keunggulan


191

kompetitif, berikutnya keunggulan kompetitif untuk meningkatkan kinerja

perusahaan. Yang dimaksud dengan aliansi stratejik adalah kerjasama

antara perusahaan dengan mitra dalam membangun atau meningkatkan

kemampuan bersaing dengan cara mencari dan menemukan serta

mengaplikasikan tambahan kemampuan dengan mengkombinasikan

beberapa sumber daya yang ada di dalam perusahaan dan mitranya. Pada

usaha kecil dan menengah memperlihatkan bahwa diferensiasi memiliki

dampak positif terhadap kinerja perusahaan (Ong dan Ismail, 2012).

Pengaruh variabel integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok terhadap keunggulan kompetitif secara

serentak dengan R2 sebesar 0,627. Artinya 62,7 persen variasi keunggulan

kompetitif dijelaskan oleh variasi integrasi proses bisnis, manajemen dan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok serta variabel mederasi berbagi

informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif, sedangkan 37,3

persen dijelaskan oleh variasi variabel lain di luar model.

Dari hasil analisis dan uraian di atas, maka hipotesis-3 diterima yaitu

integrasi proses bisnis, manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok berpengaruh positif dan signifikan dengan keunggulan kompetitif

jagung. Implikasi dari diterimanya hipotesis-3 ini adalah untuk meningkatkan

keunggulan kompetitif jagung dapat dicapai melalui peningkatan integrasi

proses bisnis, perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok.

6.13 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kolaborasi Antar Lembaga


Dalam Rantai Pasok

Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh langsung

terhadap keunggulan kompetitif, manajemen rantai pasok dan kesejahteraan


192

petani jagung di satu sisi, namun dipengaruhi oleh variabel berbagi informasi,

sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif di sisi lainnya. Dengan

demikian, variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok memiliki

kedudukan yang sentral dan menentukan.

Dari hasil analisis model persamaan struktural tampak bahwa variabel

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok tidak saja sebagai penentu inti

terhadap manajeman rantai pasok dan kesejahteraan petani, juga menjadi

penentu inti terhadap keunggulan kompetitif. Hasil penelitian ini menyokong

konsep teoritis kolaborasi rantai pasok (the supply chain collaboration theory)

yang dikemukakan oleh Mathuramaytha (2011) sekaligus mendukung

pernyataan Spekman, et al. (2001) tentang hubungan antara integrasi proses

bisnis dengan keunggulan kompetitif, juga memperkokoh teori strategi

kompetitif (the competitive strategy theory) yang dikemukakan oleh Porter

(1998) di mana kekuatan tawar-menawar pemasok dan kekuatan tawar-

menawar pembeli ditentukan oleh barganinng power masing-masing dalam

menggeser surplus produsen pihak lainnya. Petani sebagai pihak yang paling

lemah bargaining power-nya selalu menjadi pihak yang paling dirugikan baik

sebagai pembeli input / sarana produksi maupun sebagai pemasok output

jagung.

Kondisi sebagaimana diuraikan di atas dibenarkan oleh Suharjito, et al.

(2010) yang memungkinkan menggeser resiko ke pihak lain dengan cara

mengatur waktu panen yang ditransformasikan menjadi waktu tanam. Waktu

panen optimal bagi petani adalah dari bulan Agustus s.d. September dengan

waktu tanam dari bulan Mei s.d Juni. Dengan demikian, bagi petani yang

mengusahakan jagung pada agroekosistem ladang tidak memungkinkan


193

baginya memperoleh harga premium, kecuali yang tersedia irigasi sumur

pompa air tanah. Bagi petani yang berusahatani pada agroekosistem sawah

dengan sistem irigasi teknis atau 1/2 teknis memungkinkan untuk menanam

jagung pada musim kemarau.

Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok adalah kerjasama antara

petani dan perusahaan dan/atau koperasi untuk merencanakan dan

melaksanakan kegiatan produktif. Kerjasama antara petani dan perusahaan

tersebut dibangun atas dasar saling percaya bahwa masing-masing pihak

akan memenuhi kewajiban setelah menerima apa yang menjadi haknya

masing-masing. Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kerjasama

tersebut dilengkapi dengan perjanjian kontraktual dalam bentuk akad tertulis,

namun bagi perusahaan swasta lebih cenderung tidak menggunakan surat

kontrak ataupun surat perjanjian.

Tiap-tiap pilihan memilki kebaikan dan kelemahan. Kebaikan

menggunakan surat kontrak bagi BUMN adalah memiliki alat bukti yang dapat

digunakan untuk mengajukan klaim atas kelalain mitra bisnisnya, sekaligus

sebagai pertanggungjawaban administratif atas pengeluaran keuangan

kepada pimpinan perusahaan dan kepada pemegang saham, termasuk juga

kepada sponsor pembiayaan. Bagi perusahaan swasta yang tidak

menggunakan surat kontrak dapat meringankan penyelenggaraan

administratif formal. Kalau pun ada surat kontrak, namun tidak dilengkapi

dengan biaya materai.

Bagi yang tidak menggunakan kontraktual formal kelemahannya adalah

sulit membangun keyakinan serta menghambat jangkauan pelayanan yang


194

lebih luas (Pawisari, 2011), serta tidak tersedianya bukti tertulis atas

terselenggaranya kerjasama antar pihak-pihak yang berkepentingan.

Model persamaan struktural kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok sebagai berikut:

KRP = 0,270 BIF + 0,276 SNK + 0,305 KSI ………………………….. (5.4)


(p) (0,0086) (0,0070) (0,0080)
(r) (0,712) (0,663) (0,718)
(r2) (0,193) (0,183) (0,219)
R2 = 0,595

Variabel endogen kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

dipengaruhi oleh tiga variabel eksogen yaitu berbagi informasi, sinkronisasi

keputusan dan keselarasan insentif. Fungsinya adalah sebagai prasyarat

(persamaan identitas) dalam membentuk variabel endogen kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok.

Tiga variabel eksogen yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan

dan keselarasan insentif berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel

endogen kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok yang ditunjukkan oleh

hasil uji keseluruhan maupun hasil uji parsial. Hasil uji keseluruhan

menggunakan koefisien determinan R2 = 0,595 lebih besar daripada 0,5

memenuhi syarat untuk digunakan sebagai estimasi. Perubahan variasi

variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dapat dijelaskan oleh

perubahan variasi variabel eksogen sebesar 59,5 persen, sementara 40,5

persen dijelaskan oleh variasi variabel lain di luar model. Sementara hasil uji

parsial menunjukkan p-value < 0,01, sehingga tiap-tiap variabel eksogen

berpengaruhnya signifikan.

Hasil uji parsial tiap-tiap variabel eksogen menunjukkan signifikansinya

yang mana hasil uji t-statistik : (1) Berbagi informasi (BIF) sebesar 2,700 lebih
195

besar daripada t-tabel=2,3263 pada taraf kenyakinan 99 persen;

(2)..Sinkronisasi keputusan (SNK) sebesar 3,316 dan Keselarasan insentif

(KSI) sebesar 2,905 masing-masing lebih besar daripada t-tabel = 2,3263.

Oleh karena itu dapat digunakan sebagai estimator sekaligus dapat

digunakan untuk memprediksi perubahan kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok. Interpretasi ini menerangkan adanya pengaruh signifikan

dengan arah positif.

Koefisien jalur berbagi informasi terhadap kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok sebesar 0,270 diinterpretasikan bahwa peningkatan

variabel berbagi informasi diikuti oleh perbaikan variabel kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok. Hubungan kausalitas positif juga terjadi pada

variabel eksogen sinkronisasi keputusan dengan nilai koefisien jalur sebesar

0,276 dan variabel eksogen keselarasan insentif sebesar 0,305.

Interpretasinya adalah peningkatan variabel eksogen sinkronisasi keputusan

dan keselarasan insentif masing-masing mengakibatkan perbaikan terhadap

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok.

6.14 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Petani Jagung

Kesejahteraan petani adalah ukuran yang menggambarkan kemampuan

petani dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yang meliputi kebutuhan

pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Tingkat kesejahteraan

petani diukur dari besaran surplus produsen, pengeluaran konsumsi dan

tabungan rumah tangga untuk investasi (pengeluaran investasi). Semakin

besar surplus produsen, pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi

maka semakin pendapatan rumah tangga dan semakin tinggi kesejahteraan

petani.
196

Variabel endogen kesejahteraan petani dipengaruhi oleh integrasi

proses bisnis, keunggulan kompetitif, manajemen dan kolaborsi antar

lembaga dalam rantai pasok. Setelah dilakukan analisis diperoleh model

persamaan struktural sebagai berikut:

KSP = 0,605 MRP + 0,148 KRP + 0,188 KKP ………………………... (5.5)


(p) (0,000) (0,0107) (0,0097)
(r) 0,859 0,729 0,752
2
(r ) 0,520 0,108 0,141
2
R = 0,769

6.14.1 Pengaruh Langsung

Dari hasil analisis persamaan struktural diketahui bahwa dari empat

faktor yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan petani ternyata

hanya tiga variabel yang berpengaruh langsung, yaitu keunggulan kompetitif,

manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok.

1. Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Kesejahteraan Petani

Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa satu di antara tiga

variabel endogen yang berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan

petani adalah manajemen rantai pasok dengan koefisien jalur terbesar,

yaitu 0,605 dan koefisien diterminan sebesar 0,5203 (Tabel 6.30); artinya

52,03 persen variasi kesejahteraan petani dijelaskan oleh variasi

manajemen rantai pasok, sisanya sebesar 47,97 persen dijelaskan oleh

variasi variabel lain dalam model dan di luar model.

Koefisien jalur manajemen rantai pasok terhadap kesejahteraan

petani sebesar 0,605 menunjukkan bahwa konstribusi manajemen rantai

pasok terhadap peningkatan kesejahteraan petani relatif besar jika

dibandingkan variabel eksogen lain dalam model, yaitu peningkatan

aktivitas koordinasi antar lembaga dalam rantai pasok, peningkatan aliran


197

produk, aliran pelayanan dan aliran modal rata-rata sebesar 1%

mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani sebesar 0,605%.

Peramalaman (forcasting) ini efektif, sebab didukung oleh hasil uji

efektivitas model (model fit) dengan tingkat kepercayaan 99% (Tabel 6.29,

6.30, dan 6.31 dan Lampiran.15).

Aspek yang melandasi adanya hubungan kausalitas antara variabel

manajemen rantai pasok dengan kesejahteraan petani jagung adalah

adanya hubungan langsung dari kebijakan manajemen rantai pasok

terhadap penentuan harga-harga input, biaya modal, dan penetapan harga

output, di mana harga-harga yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan

dapat mempengaruhi biaya produksi dan nilai produksi yang pada

gilirannya sebagai penentu surplus produsen dan pendapatan usahatani

jagung (Gambar 6.1 dan 6.2 dan Lampiran 19).

2. Pengaruh Keunggulan Kompetitif Terhadap Kesejahteraan Petani

Pengaruh keunggulan kompetitif terhadap kesejahteraan petani

menempati urutan ke-2 setelah manajemen rantai pasok dengan koefisien

jalur sebesar 0,188 dan koefisien diterminan sebesar 0,141 (Tabel 6.31),

artinya 14,1 persen variasi kesejahteraan petani dijelaskan oleh variasi

keunggulan kompetitif, selebihnya dijelaskan oleh variabel lain dalam

model dan di luar model.

Keunggulan kompetitif berpengaruh langsung dan positif terhadap

kesejahteraan petani, artinya variabel keunggulan kompetitif tidak

memerlukan variabel mediasi (antara). Bila terjadi perubahan perbaikan

keunggulan kompetitif, misalnya terjadi peningkatan efisiensi dan

memperbanyak ragam produk rata-rata sebesar 1%, maka akan


198

berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan petani

sebesar..0,188%.

Keunggulan kompetitif adalah kemampuan perusahaan atau

lembaga yang terlibat dalam seluruh rantai pasok dalam melindungi

produknya dari serangan perusahaan lain di luar rantai pasok. Semakin

tinggi kemampuan bersaing, maka semakin mampu perusahaan

menghadapi resiko ketidakpastian.

Dalam kenyataannya bahwa semua produksi jagung yang

dihasilkan petani laku terjual, senantiasa ada perusahaan datang sebagai

pembeli. Pada musim panen, jagung laku terjual dalam tempo maksimal 2

minggu, dibuktikan dari tidak tersedianya stok di gudang di rumah-rumah

petani dan juga di gudang pedagang perantara, kecuali pada beberapa

perusahaan besar seperti PT iPasar, UD Kreatif dan UD Mekar.

Dengan nilai koefisien diterminan sebesar 0,141 (Tabel 6.31)

menunjukkan bahwa peranan variabel keunggulan kompetitif sebagai

instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan petani agak efektif, sebab

nilai koefisien diterminannya > 0,1 (Jogiyanto, 2011). Setiap peningkatan

keunggulan kompetitif sebesar 1% mengakibatkan kenaikan kesejahteraan

petani sebesar 0.141%. Efektivitas ini jauh lebih kecil bila dibandingkan

dengan koefisien diterminan pada jalur manajemen rantai pasok dengan

kesejahteraan petani. Efektivitas peramalan didukung oleh hasil uji

efektivitas model (model fit) dengan signifikansi sebesar 0,009 dan model

statistik dengan signifikansi 0,025 (Lampiran 15).

Kemampuan organisasi rantai pasok untuk melakukan proteksi atas

produk jagung dalam menghadapi persaingan di pasar dari serangan para


199

pesaing disebut keunggulan kompetitif. Sekaitan dengan keunggulan

kompetitif ini Porter (1998) mengajukan teori strategi kompetitif (the

strategy competitif theory) yang dikenal dengan analisis lima kekuatan

Porter (Porter’s five forces analysis), yaitu: 1) ancaman pendatang baru, 2)

kekuatan tawar menawar dari pemasok, 3) kekuatan tawar menawar dari

pembeli, 4) ancaman produk pengganti, dan 5) persaingan kompetitif antar

industri. Dengan menggunakan kriteria ini tampak bahwa persaingan bisnis

perjagungan di Nusa Tenggara Barat masuk klasifikasi persaingan tinggi

(Tabel 6.22 dan Lampiran 9), karena semua daerah sebagai penghasil

jagung pada waktu yang bersamaan dengan jenis dan kualitas yang

hampir sama. Persaingan dipertajam dengan masuknya jagung impor dari

beberapa Negara Asia dan Amerika ke dalam pasar jagung dalam negeri

(domestik) yang berdampak pada menurunnya harga keseimbangan pasar

di dalam negeri, namun harga keseimbangan jagung dunia dan domestik

tidak ditransmisi sempurna ke harga jagung di tingkat petani (Kustiari dan

Nuryanti, 2009).

Analisis 5 (lima) kekuatan Porter dengan cara membandingkan

suatu produk terhadap pasar, di mana dikatakan bahwa suatu produk

“cocok” dengan pasar apabila lima kekuatan tersebut menunjukkan

peningkatan dalam keuntungan, dan sebaliknya dikatakan “tidak cocok”

apabila kelima kekuatan tersebut menunjukkan penurunan dalam

keuntungan (E. M. Porter, http://id.wikipedia.org/wiki/Michael-Porter, 2011).

Dengan menggunakan kriteria ini tampak bahwa jagung yang dihasilkan di

Nusa Tenggara Barat mampu bersaing ditinjau dari aspek harga dengan

jagung sejenis dari daerah lain seperti Jawa Timur dan Bali.
200

Dari lima indikator keunggulan kompetitif tampak indikator kualitas

produk dengan loading factor terbesar dikuiti berturut-turut oleh

diversifikasi produk, efisiensi, yang terkecil adalah ketergantungan

pengiriman dan waktu tempuh ke pasar (Gambar 6.8). Kualitas produk

memiliki hubungan korelasional yang tinggi dengan indikator lainnya pada

variabel keunggulan kompetitif, namun yang paling besar bobotnya adalah

efisiensi, artinya kedua indikator ini perlu mendapatkan perhatian yang

lebih fokus daripada indicator lainnya, sebab indikator efisiensi dan kualitas

produk sebagai indikator penentu dalam meningkatkan keunggulan

kompetitif.

Peningkatan keunggulan kompetitif difokuskan pada kebijakan

penelitian dan pengembangan (research and development) yang meliputi

penelitian pengembangan teknologi budidaya, panen, dan pascapanen

termasuk uji adaptasi lokasi (Saptana, 2006). Penemuan varietas baru

dengan produktivitas tinggi, tahan kering, tahan hama dan penyakit, respon

terhadap pemupukan, dan berumur pendek, serta hasilnya disukai

konsumen. Selain meningkatkan keunggulan kompetitif, penelitian dan

pengembangan telah memberikan benefit yang besar bagi peningkatan

kesejahteraan. Perkiraan orang yang keluar dari kemiskinan melalui adopsi

varietas jagung hibrida naik secara bertahap yaitu lebih dari satu juta orang

pertahun sejak tahun 1980-an (Alene, et al., 2009). Di lokasi penelitian

varietas yang disukai oleh petani untuk diadopsi adalah Bisi 2, Bisi 222,

Bisi 16 dan Bisi 18, juga disukai konsumen pengguna jagung, sehingga

harga jualnya lebih mahal bila dibandingkan dengan varietas lainnya. Pada

musim tanam tahun 2013, varietas bisi diintroduksikan kepada petani


201

sebagai upaya perbaikan manajemen rantai pasok dan perbaikan

kolaborasi rantai pasok. Pemanfaatan teknologi dan manajemen rantai

pasok telah berkontribusi menghasilkan surplus produsen sebesar

Rp..2.juta/ha/musim tanam (Tabel 6.9; Gambar 6.1 dan 6.2), artinya bahwa

bila petani dilarang mengusahakan tanaman jagung maka sekurang-

kurangnya petani mendapatkan uang konvensasi sebanyak Rp..2

juta/ha/musim tanam agar kesejahteraan petani tidak menurun.

Sekaitan dengan kebijakan penelitian dan pengembangan, maka

kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia di dalam perusahaan

menjadi faktor penentu untuk menghasilkan keunggulan kompetitif, karena

pada hakekatnya manusia yang mengendalikan mesin, mengalokasikan

sumberdaya dan modal. Menurut Suhendi (2009) bahwa kapabilitas

sumber daya manusia berperan sebagai suatu pengetahuan kolektif dalam

perusahaan yang sulit ditiru sebagai hasil pengembangan dalam suatu

periode waktu tertentu. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat

Lengnick-Hall dan Lengnick-Hall (1990) bahwa akumulasi dari kapabilitas

sumberdaya manusia, sumber daya alam dan keputusan yang berkualitas

akan memungkinkan perusahaan mengkapitalisasi berbagai peluang yang

ada di pasar serta meminimalkan resiko/ancaman.

Penelitian dan pengembangan menghasilkan teknologi, metode atau

pendekatan baru yang menghasilkan peningkatan produktivitas tenaga

kerja dan lahan. Demikian pula teknologi produksi yang ditransfer

menentukan produksi dan produktivitas usahatani jagung yang pada

gilirannya menentukan nilai produksi (Sanglestsawai, et al., 2012).

Produktivitas sebagai potensi untuk mengatasi isu keberlanjutan pasokan,


202

namun kurangnya akses petani terhadap stockist dan kredit, rendahnya

kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan pupuk optimal, dan tingkat

pendidikan yang relatif rendah telah ditemukan sebagai faktor penting yang

menjelaskan tingkat adopsi teknologi yang rendah (Mghenyi, 2006). Oleh

karena itu harapan untuk mencapai produktivitas 50 ku/ha jagung pipil

kering simpan di lokasi penelitian hingga tahun 2010 belum terwujud.

Produktivitas rata-rata sebesar 40,43 ku/ha pada tahun 2010 (Tabel 5.4)

dan produktivitas rata-rata usahatani responden 65,81 ku/ha jagung

tongkol kering panen (Tabel 6.4) atau setara dengan 39,48 ku/ha jagung

pipil kering simpan dengan asumsi rendemen sebesar 60%. Berdasarkan

data sekunder yang dikutip dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hoertikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2011 dan 2012 produktivitas

usahatani jagung masing-masing mencapai 51,16 ku/ha dan 54,92 ku/ha

(Tabel 5.4).

Jika teknologi diadopsi berkelanjutan dengan penggunaan input

optimal sesuai rekomendasi dapat meringankan masalah para petani,

meningkatkan produksi pangan, meningkatkan pasokan, serta mendukung

tercapainya tujuan manajemen rantai pasok (Ogunsumi, et al., 2005).

Perbedaan kondisi lingkungan antara agroekosistem ladang dan sawah

serta antara musim hujan dan musim kemarau memberi efek penggunaan

teknologi dan jumlah input optimum yang bervariasi, sehingga petani sering

kecewa dengan hasil panen yang diperolehnya di mana hasil panen jauh di

bawah harapan dan informasi yang diterimanya dari Petugas Lapang yaitu

sebesar 10 ton/ha/musim tanam jagung tongkol kering panen.


203

Dengan penggunaan teknologi sesuai rekomendasi diharapkan

produktivitas 10 ton/ha jagung tongkol kering panen (Lampiran 20), namun

kenyataannya hasil yang diperoleh sangat bervariasi mulai dari 3 ton

dengan rata-rata 6,58 ton/ha (Tabel 6.5). Sebabnya adalah penggunaan

input yang minimal dengan biaya minimal pula serta kendala cuaca dan

kesuburan lahan. Bagi petani dengan estimasi keuntungan kotor tertinggi

tidak menggunakan benih jagung hibrida, namun mereka tetap tertular

teknologi dengan biaya tinggi dan berkorelasi dengan keuntungan bersih,

sementara petani lain dengan keuntungan netto nihil beralih dan keluar

dari adopsi benih hibrida (Suri,..2011).

Penerapan teknologi harusnya disesuaikan dengan kondisi agroklimat

wilayah dengan memperhatikan keunggulan komparatif. Pengembangan

areal tanaman jagung ke wilayah marginal seperti agroekosistem ladang

membutuhkan biaya yang lebih banyak, sebagaimana ditunjukkan pada

Tabel 6.8, di mana biaya produksi usahatani jagung di Kecamatan

Pringgabaya (agroekosistem ladang) lebih besar daripada di Kecamatan

Wanasaba (agroekosistem sawah), sehingga untuk berpartisipasi pada

program Pengembangan Agribisnis Jagung bagi petani di agroekosistem

ladang membutuhkan rasio manfaat-biaya yang tinggi. Fenomena

sebagaimana diungkapkan pada paragraf ini bersesuaian dengan hasil

penelitian Smale, et al. (2005) di Mexico yang menyimpulkan bahwa untuk

berpartisipasi pada program pengamanan cadangan jagung, petani

memperoleh rasio manfaat-biaya yang tinggi, meskipun proyek tersebut

menghasilkan manfaat sosial, seperti kesempatan kerja, namun ada bukti

bahwa terjadi defisit transfer kesejahteraan rumahtangga.


204

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wenno (2010) memperlihatkan

pengaruh yang signifikan dari harga input dan upah tenaga kerja terhadap

pendapatan petani jagung di Nabire, di mana kenaikan harga input dan

upah tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pendapatan, yaitu

kenaikan harga input dan upah tenaga kerja akan mengurangi pendapatan

petani jagung. Oleh karena perusahaan yang berperan sebagai integrator

posisinya lebih kuat jika dibandingkan dengan petani, maka memungkinkan

bagi perusahaan lebih leluasa dalam menetapkan harga input bagi petani

mitra, secara langsung akan menekan surplus produsen dan pendapatan

usahatani jagung. Manajemen rantai pasok yang baik adalah yang mampu

memberikan pelayanan berkualitas dan harga input yang lebih rendah

kepada petani.

Tingkat kesejahteraan yang tinggi merupakan harapan setiap orang,

termasuk menjadi harapan rumah tangga petani, yaitu harapan untuk

memenuhi kebutuhan yaitu meliputi : kebutuhan bahan makanan, pakaian,

perumahan, pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Lima kebutuhan yang

pertama merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, dan

satu kebutuhan terakhir (rekreasi) merupakan kebutuhan pelengkap.

Kebutuhan dasar dan pelengkap dapat dipenuhi apabila tersedia surplus

produsen yang cukup, yaitu surplus produsen yang mampu menutupi

seluruh pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan

pelengkap tersebut.

Kesejahteraan petani jagung di lokasi penelitian masih sangat rendah

dengan pendapatan dari usahatani jagung kurang dari US$ 2 kapita-1 hari-1

(US$ 1 = Rp 10.000) dan hanya mampu memenuhi 1/3 dari pengeluaran


205

konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga sebesar Rp 1,5 juta

bulan-1 (Tabel 6.11), atau hanya seperlima dari jumlah pengeluran rumah

tangga petani jagung (Tabel 6.15), serta memungkinkan untuk

ditingkatkan melalui perbaikan kolaborasi antar lembaga dan manajemen

rantai pasok, peningkatan integrasi proses bisnis dan keunggulan

kompetitif jagung secara serentak (simultan). Dalam kondisi ekonomi

rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah, maka

kontribusi sebesar 1/3 dari pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat

bermakna dalam peningkatan kesejahteraan.

Menurut Hagedorn, et al. (2004) bahwa kerugian kesejahteraan petani

disebabkan rendahnya kemampuan pemasaran petani jagung (tanpa

bermaksud merendahkan kemampuan petani), yaitu sebagian besar

produk yang dihasilkan dijual ketika harga pasar di bawah harga rata-rata

tahunan. Pernyataan Hagedorn, et..al. (2004) sesuai dengan perilaku

petani di lokasi penelitian yang cenderung menjual jagung segera setelah

panen pada waktu yang hampir bersamaan, sehingga terbentuk excess

supply yang menekan harga menjadi turun. Kerugian kesejahteraan

tersebut sebanarnya dapat dihindari dengan cara mengatur waktu

penjualan, misalnya sebagian jagung dijual ketika harga di atas harga

rata-rata tahunan. Berdasarkan Gambar 6.2 menunjukkan bahwa harga

rata-rata tahunan sebesar Rp.1.490/kg jagung tongkol kering panen,

sementara pada musim panen raya harga turun menjadi rata-rata

Rp.1.300/kg. Bila surplus produsen dihitung pada harga premium

(Tabel..6.9) Rp.1.500/kg jagung tongkol kering panen, dampaknya adalah

petani kehilangan surplus produsen sebesar Rp.1.145.000/ha (36% dari


206

Rp.3.173.000), terdiri atas kerugian petani Rp.726 158 (23%) dan dinikmati

pihak lain Rp.418 842 (13%). Surplus produsen yang diterima oleh petani

Rp..2.028.000 (64%).

Dari sisi manajemen rantai pasok tampak hubungan positif dan

signifikan yang tunjukkan oleh koefisien regresi standard sebesar 0,605

dengan t-statistik = 7,401 lebih besar bila dibandingkan dengan t-tabel =

2,3263. Perbaikan manajemen rantai pasok mengakibatkan peningkatan

kesejahteran petani. Koefisien regresi standard manajemen rantai pasok

terhadap kesejahteran petani merupakan koefisien regresi standard

terbesar, kemudian diikuti oleh koefisien regresi standard keunggulan

kompetitif sebesar 0,188. Interpretasinya adalah variabel keunggulan

kompetitif berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani. Setiap

peningkatan variabel keunggulan kompetitif mengakibat peningatan

kesejahteran petani. Apabila keunggulan kompetitif naik sebesar 1%

mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani naik sebesar 0,188%.

Peramalan ini efektif, karena didukung oleh uji efektivitas model (model fit)

dengan tingkat kepercayaan 99% (Lampiran 15).

Tabel 6.32 Variabel Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Petani Jagung

Koefisien
No Variabel
Jalur *) Diterminan (%)
1 MRP 0,605 52,03
2 KKP 0,188 14,14
3 KRP 0,148 10,79
Jumlah 76,96
Sumber : Diolah dari Tabel 6.27 dan Tabel 6.30.
Keterangan : MRP = manajemen rantai pasok
KKP = keunggulan kompetitif
KRP = kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok
207

Tiga variabel yaitu MRP, KKP dan KRP secara bersama-sama

mempengaruhi variabel kesejahteraan petani dengan nilai koefisien

diterminan 0,7696 (Tabel 6.32); artinya 76,96% variasi kesejahteraan

petani dijelaskan oleh variasi keunggulan kompetitif, manajemen dan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, secara tidak langsung

dipengaruhi pula oleh variasi variabel eksogen (berbagi informasi,

sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif) sebesar 76,9 persen,

sementara 23,04 persen dijelaskan oleh variasi dari variabel lain di luar

model, dianataranya variabel integrasi proses bisnis.

Pengujian efektivitas model (model fit) dengan menggunakan

software SPPS for Windows Statistic 17.0 fotcasting-create model

menginformasikan bahwa variabel endogen kesejahteraan petani

dipengaruhi oleh variabel eksogen manajemen rantai pasok, keunggulan

kompetitif dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai rantai pasok, dan

secara tidak langsung dipengaruhi oleh integrasi proses bisnis dengan

tingkat kepercayaan 99 persen (Lampiran 15). Model persamaan struktural

efektif untuk digunakan sebagai peramalan (forcasting). Metode yang biasa

dipakai untuk peramalan adalah dengan melakukan simulasi data.

3. Pengaruh Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok Terhadap


Kesejahteraan Petani

Di antara 5 (lima) variabel endogen tampak bahwa variabel

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok merupakan inti yang

memimiliki hubungan langsung dengan 4 (empat) variabel endogen lainnya

(Gambar 6.8). Dari semua koefisien jalur kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok dengan variabel lainnya tampak bahwa kooefisien jalur

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok terhadap kesejahteraan


208

petani merupakan yang terkecil, namun perannya sangat menentukan,

sebab tanpa kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok sulit untuk

menyelenggarakan integrasi proses bisnis dan menerapkan manajemen

rantai pasok yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan

kesejahteraan petani.

Besar koefisien jalur kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

terhadap kesejahteran petani sebesar 0,148 mengindikasikan bahwa

setiap peningkatan kolaborasi (kerjasama) antara perusahaan selaku

avalis dengan petani selaku mitra rata-rata sebesar 1% mengakibatkan

kenaikan kesejahteraan petani rata-rata sebesar 0,148%. Walau koefisien

jalur ini terkecil bila dibandingkan variabel eksogen lainnya, namaun

kedudukan kolaborasi (kerjasama) sangat menentukan dalam keseluruhan

organisasi rantai pasok, sebab berpengaruh langsung terhadap variabel

lain seperti manajemen rantai pasok dan keunggulan kompetitif.

Koefisien diterminan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam

rantai pasok terhadap kesejahteraan petani sebesar 0,1079 (Tabel 6.32),

artinya 10,79% variasi kesejahteran petani dijelaskan oleh variasi kolaborsi

antar lembaga dalam rantai pasok, sementara 89,21% dijelaskan oleh

variasi variabel lain dalam model maupun di luar model.

Loyalitas yang rendah, rapuhnya ikatan moral dan komitmen para

petani dalam membangun kolaborasi (kerjasama) telah mencederai

keberlanjutan kerjasama, hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar atau dua

pertiga dari jumlah petani tidak memenuhi kewajibannya terhadap

perusahaan terutama dalam aliran produk dan aliran modal, hanya

sepertiga dari jumlah mereka yang loyal dan memenuhi kewajiban


209

finansialnya kepada perusahaan. Fenomena ini memperburuk hubungan

antara petani dan perusahaan dan teracam keberlanjutannya

(Lampiraan..20).

Ada beberapa faktor pemicu yang mengakibatkan petani dan

kelompok tani tidak dapat memenuhi kewajiban aliran produk dan aliran

modal kembali. (1) Tingkat produksi yang dicapai di bawah target 10 ton

per hektar, sehingga petani tidak mampu melunasi hutang-hutangnya,

karena nilai produksinya lebih sedikit daripada jumlah hutangnya yang

jatuh tempo. (2) Petani sengaja tidak menjual output usahataninya ke

perusahaan, tetapi memilih menjual ke pedagang yang bersedia membayar

dengan harga yang lebih tinggi, sekaligus menghindari pemotongan atas

hutang-hutangnya. Artinya, petani sengaja tidak bersedia memenuhi

kewajiban sebagaimana perjanjian dalam kontrak kerjasama dengan

perusahaan, dengan kalimat lain bahwa petani mengingkari isi kontrak atau

tidak cukup kuat dalam memegang komitmennya. Fenomena pengingkaran

petani atas isi perjanjian dalam kontrak kerjasamanya memerlukan

penelitian lebih lanjut.

Koefisien regresi standard kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok terhadap kesejahteraan petani adalah 0,148 dengan t-statistik =

2,182 (t-tabel = 1,6449) memberi indikasi bahwa pada taraf nyata 5%

terdapat hubungan positif dan signifikan, sehingga dapat digunakan

sebagai estimasi model dan menguji hipotesis. Semakin baik kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok yang ditentukan oleh variabel

eksogenya menunjukkan semakin tinggi kesejahteraan petani. Untuk

meningkatkan kesejahteraan petani jagung dimungkinkan untuk


210

ditingkatkan dengan memperbaiki kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok. Apabila kolaborsi antar lembaga dalam rantai pasok ditingkatkan

sebesar 1 (satu) persen mengakibatkan peningkatan kesejahteraan petani

sebesar 0,148 persen.

Mengacu pada teori kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok

(the collaboration supply chain theory) yang menempatkan kinerja

organisasi sebagai outcome, pada penelitian ini dimodifikasinya dengan

kesejahteraan petani, tampak sebagai suatu sistem yang saling

berhubungan satu dengan lainnya. Selain itu, kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok memberi kontribusi bagi tercapainya efisiensi rantai

pasok, yaitu menurunkan biaya, memperkecil kebutuhan modal dan

meningkatkan laba seluruh anggota dalam rantai pasok, serta memperkuat

kemampuan bersaing dari ancaman para pesaing di luar anggota rantai

pasok. Oleh karena itu dinilai logis apabila kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok memiliki keterkaitan yang positif dan signifikan terhadap

kesejahteraan petani sebagai mana telah terbukti dari hasil uji hipotesis

pada p-value 0,000 < 0,05 sebagai mana tampak pada Gambar 6.8 dan

Tabel 6.30.

Berangkat dari uraian di atas, maka dapat dibangun suatu premis

mayor : apabila kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh

positif terhadap keunggulan kompetitif, keunggulan kompetitif berpengaruh

positif terhadap kesejahteraan petani, maka premis minornya adalah

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap

kesejahteraan petani. Dengan demikian diyakinkan bahwa konstruk logika

tersebut didukung oleh fakta empiris sebagai mana telah dibahas di depan.
211

Dalam model analisis jalur dirumuskan bahwa terdapat tiga variabel

eksogen yang berpengaruh terhadap kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok, yaitu berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan

keselarasan insentif. Oleh karena itu dampak kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok ditentukan oleh variabel eksogennya sebagai prasyarat

(persamaan identitas) hubungannya dengan kesejahteraan petani jagung.

Pengembangan agribisnis jagung tidak berhenti pada peningkatan

produksi, melainkan harus berlanjut sampai penangan pascaproduksi,

pengolahan hasil dan pemasarannya melalui kerjasama kemitraan

(kolaborasi) antara petani dan perusahaan, sebab bila terhenti hanya

sampai peningkatan produksi, maka harapan peningkatan kesejahteraan

petani jagung hanya sebagai angan-angan belaka, sebab ketika produksi

meningkat dan berlimpah, maka hukum ekonomi (hukum permintaan dan

penawaran) akan bereaksi yang pada akhirnya bermuara pada

menurunnya harga jagung di tingkat petani, sehingga peningkatan produksi

bukannya menaikkan kesejahteraan petani, tetapi justru yang terjadi

adalah sebaliknya, yaitu merosotnya pendapatan para petani. Oleh karena

itu yang perlu dilakukan adalah pembatasan luas areal penanaman jagung,

agar harga jagung berada di atas biaya produksi, sehingga petani dapat

memperoleh surplus produsen. Mghenyi, et al. (2010) dari hasil

penelitiannya di perdesaan Kenya menyimpulkan bahwa perubahan harga

berdampak terhadap keuntungan kesejahteraan di daerah sentra produksi,

sementara kerugian kesejahteraan di daerah sentra konsumen, dan

sebagian besar rumahtangga di perdesaan tidak terpengaruh oleh

perubahan harga. Juga hasil penelitian Mason dan Myers (2013) di Zambia
212

mengungkapkan bahwa kenaikan harga jagung akibat kebijakan pembelian

oleh Food Reserve Agency (FRA) telah membantu produsen jagung

memperoleh surplus, meskipun tidak memungkinkan menimbulkan efek

besar pada kesejahteraan rumahtangga miskin, sementara produsen yang

relatif kaya cenderung memperoleh keuntungan dari kenaikan harga rata-

rata jagung. Informasi ilmiah ini bersesuaian dengan kondisi ekonomi

rumah tangga petani di lokasi penelitian, yaitu petani dengan luas lahan

kurang dari 1 (satu) hektar tetap dalam kondisi kemiskinan dengan

pendapatan per kapita kurang dari 2 (dua) dolar Amereika per hari,

sementara petani dengan luas lahan garapan yang luas menikmati

manfaat dari kebijakan subsidi input (benih dan pupuk).

6.14.2 Pengaruh Tidak Langsung

Pada analisis jalur (Gambar 6.8) diperlihatkan bahwa variabel integrasi

proses bisnis berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani

jagung dengan variabel mediasi (antara) manajemen rantai pasok dan/atau

keunggulan kompetitif. Variabel manajemen rantai pasok dan keunggulan

kompetitif merupakan variabel mediasi mutlak bagi variabel integrasi proses

bisnis, artinya harus dilalui agar dapat memberikan pengaruh terhadap

kesejahteraan petani.

Sebagai mana tampak pada Gambar 6.8 bahwa variabel integrasi

proses bisnis berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani. Hal

ini disebabkan karena koefisien jalur antara integrasi proses bisnis dengan

manajemen rantai pasok dan antara manajemen rantai pasok dengan

kesejahteraan petani yang relatif besar, mengakibatkan kooefisien jalur antara

integrasi proses bisnis dengan kesejahteraan petani menjadi relatif kecil.


213

Namun dengan menggunakan perhitungan pengaruh tak langsung, maka

dapat diketahui nilai koefisien regresi standard tak langsungnya sebagai

mana tampak pada Tabel 6.33.

Pada Tabel 6.33 tampak bahwa variabel integrasi proses bisnis (IRP)

berpengaruh tidak langsung melalui variabel mediasi manajemen rantai pasok

(MRP) terhadap variabel kesejahteraan petani (KSP). Oleh karena koefisien

jalur IRP->MRP dan MRP->KSP menunjukkan signifikan (p-value = 0,000),

maka secara otomatis pengaruh tidak langsung sebesar 0,451 juga signifikan.

Dengan demikian dapat digunakan sebagai estimator, yaitu peningkatan

integrasi proses bisnis sebesar 1% mengakibatkan kenaikan kesejahteraan

petani sebesar 0,451%. Berdasarkan hasil uji efektivitas model (Lampiran 15)

menunjukkan bahwa model memenuhi syarat untuk dijagunakan sebagai

peramalan (forcasting) dengan tingkat keyakinan 99%.

Tabel 6.33 Hasil Perhitungan Pengaruh Tidak Langsung

Arah Jalur Variabel Mediasi Pengaruh Tidak Langsung Signifikansi


IRP ->KSP MRP 0,746x0,605 = 0,451** 0,000
Keterangan : ** signifikan pada taraf nyata 0,01.

Variabel integrasi proses bisnis berpengaruh nyata terhadap

manajemen rantai pasok, serta variabel manajemen rantai pasok

berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan petani, maka integrasi proses

bisnis berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan petani, artinya apabila

integrasi proses bisnis ditingkatkan dapat mengakibatkan peningkatan

terhadap kesejahteraan petani.

Variabel integrasi proses bisnis cenderung sebagai variabel moderating

dan eksogen terhadap variabel endogen manajemen rantai pasok dan

keunggulan kompetitif sebagai mana diungkapkan oleh Battezzaghi (1999)


214

bahwa model bisnis yang terintegrasi dan kolaboratif telah disarankan

sebagai suatu pendekatan bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk

mengkombinasikan informasi lokal dan global untuk mencapai proses yang

multifokus dan fleksibel. Argumen Battezzaghi (1999) tersebut diperkuat oleh

Spekman, et al. (2001) yang mengemukakan bahwa integrasi proses pada

level multi-entrprise akan membawa dampak pada peningkatan keunggulan

kompetitif perusahaan dan peningkatan keragaan keseluruhan perusahaan

dalam rantai pasokan melalui penciptaan nilai (Anatan dan Elitan, 2008).

Dengan kedudukan sebagai variabel eksogen memungkinkan memiliki

pengaruh yang kuat, namun melalui variabel mediasi tertentu atau

membutuhkan variabel moderating lainnya yang dapat memperkuat

pengaruhnya, sebab integrasi proses bisnis hanya bisa terjadi apabila ada

wadah organisasi yang memungkinkan diterapkan integrasi tersebut seperti

kolaborasi dan manajemen rantai pasok.

Posisi variabel integrasi proses bisnis dalam structural equation

modeling (SEM) berpengaruh tidak langsung, sementara variabel keunggulan

kompetitif berpengaruh langsung terhadap variabel kesejahteraan petani, oleh

karena itu dari tinjauan konstruk logika dengan menggunakan primis mayor

dan primis minor dapat diterima, sebagai berikut: apabila manajemen rantai

pasok berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani, dan

integrasi proses bisnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap

manajemen rantai masok, maka integrasi proses bisnis berpengaruh positif

dan signifikan terhadap kesejahteraan petani, dibuktikan dari hasil

perhitungan efek tidak langsung yang menunjukkan signifikan pada taraf

keyakinan 99% (Tabel 6.33).


215

Hubungan kausalitas antara variabel integrasi proses bisnis dengan

keunggulan kompetitif banyak disinggung terutama ketika mengemukakan

tentang pengaruh variabel manajemen rantai pasok terhadap kesejahteraan

petani jagung. Hal ini terkait dengan posisi variabel-variabel yang

berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan petani jagung.

Dari hasil analisis structural equation modeling memperlihatkan bahwa

koefisien regresi standard dari integrasi proses bisnis ke keunggulan

kompetitif menempati ranking ke-2 setelah koefisien regresi standard

manajemen rantai pasok ke keunggulan kompetitif (persamaan 5.3). Hasil

penelitian empiris ini memperlihatkan bahwa integrasi proses bisnis

berpengaruh kuat terhadap keunggulan kompetitif perusahaan, di mana

semakin tinggi integrasi proses bisnis mengakibatkan semakin tinggi

keunggulan kompetitif. Dengan koefisien jalur sebesar 0,268 pada p-value =

0,0120 memberi indikasi bahwa peningkatan integrasi proses bisnis

mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif.

Sebagai penggerak dalam pengembangan agribisnis jagung di Provinsi

Nusa Tenggara adalah SKPD Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura. Hasilnya menunjukkan bahwa kemajuan dalam pencapaian

target program dilihat dari sisi peningkatan produksi tampak signifikan

(Tabel..5.4). Keberhasilan tersebut belum sepadan dengan peningkatan

kesejahteraan petani jagung (Tabel 6.9; 6.11; 6.12, 6.13, 6.14 dan 6.15)

disebabkan sempitnya luas lahan usahatani, sehingga dampaknya relatif kecil

bagi petani berlahan sempit. Sebaliknya bagi petani dengan lahan usahatani

yang luas memperoleh peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi. Oleh

karena luas usahatani kurang dari satu hektar, maka pengelolaan usahatani
216

menjadi kurang efisien. Penyebab kurang efisiennya adalah belum

seimbangnya antara nilai produksi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan,

akibatnya pendapatan dan surplus produsen usahatani berada pada level

yang rendah. Penghasilan yang diperoleh dari usahatani jagung belum

mampu menutupi pengeluaran konsumsi rumah tangga petani.

Untuk meningkatkan pendapatan atau surplus produsen diperlukan

perbaikan produksi per hektar (produktivitas) bukan pada perluasan areal

(Mghenyi, 2006). Sementara yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat

adalah peningkatan produksi disebabkan oleh perluasan areal dan

peningkatan produktivitas (Sjah, 2011).

Dengan memperhatikan hasil penelitian tampak bahwa kerjasama

antara perusahaan dengan petani (kolaborasi) telah mampu menaikkan

kesejahteraan petani jagung pada level yang rendah. Peningkatan

kesejahteraan petani masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi jika sekiranya

organisasi rantai pasok yang dibangun bersinergi positif dalam jangka

panjang. Dengan memperbaiki kolaborasi antar petani dan perusahaan dan

memperbaiki manajemen rantai pasok, serta meningkatkan integrasi proses

bisnis terbuka peluang peningkatan kesejahteraan petani jagung.

Dalam Grand Staretegi Pengembangan Agribisnis Jagung tahun

2009…s.d 2013 ditegaskan bahwa SKPD - Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat bertugas meningkatkan

kelancaran pemasaran jagung dengan menerapkan konsep manajemen

rantai pasok (supply chain management). Sampai dengan penelitian ini

dilaksanakan, peranan SKPD Dinas Perindustrian dan Perdagangan adalah

menyelenggarakan pasar lelang bagi komoditi pertanian dan perkebunan


217

yang di dalamnya termasuk jagung. Dari aspek rantai pasok telah

menunjukkan peningkatan volume perdagangan jagung antar pulau, hanya

saja pihak yang terlibat dalam pasar lelang berjangka tersebut bukanlah

petani melainkan para pedagang antar pulau. Semestinya yang terlibat dalam

pasar lelang tersebut adalah para petani, sehingga petani dapat langsung

memasarkan produksinya sesuai pengarahan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia ketika membuka pasar lelang tersebut.

Yang diuntungkan dari pasar lelang berjangka tersebut adalah para pedagang

antar provinsi.

Kegiatan lain yang dilaksanakan oleh SKPD Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah memetakan rantai pasok

jagung. Rantai pasok jagung bergerak dari sentra produksi menuju sentra

konsumsi. Kabupaten penghasil jagung adalah semua kabupaten di wilayah

provinsi Nusa Tenggara Barat (Tabel 5.5) yang sebagian besar

diperdagangkan melalui pedagang antar pulau di Kabupaten Lombok Timur,

selanjunya dipasarkan ke Provinsi Bali untuk campuran pakan ternak ayam

petelur (layer), dan sebagian digunakan sebagai bahan baku industri (pabrik)

pakan ternak (feed) di Jawa Timur.

Hasil penelitian ini searah dengan hasil penelitian Hamid (2011)

menggunakan SEM (Structural Equation Modeling) dalam menganalisis

hubungan antara praktik rantai pasok dengan rantai permintaan. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa praktik rantai pasok dan rantai

permintaan memiliki hubungan yang positif terhadap keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif memiliki pengaruh positif terhadap keragaan

perusahaan baik keragaan keuangan maupun keragaan nonkeuangan.


218

Indrajit dan Djokopranoto (2003) cit. Prihatiningsih (2007) mengungkapkan

bahwa rantai pasok (supply chain) adalah suatu sistem tempat organisasi

menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para konsumen. Rantai pasok

ini juga merupakan jaringan atau jejaring (networks) dari berbagai organisasi

yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik

mungkin menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran barang (Prihatiningsih,

2007).

6.14.3 Pengaruh Total

Pengaruh total adalah penjumlahan dari pengaruh langsung dan pengaruh

tak langsung. Pengaruh total sama dengan koefisien jalur langsung ditambah

dengan hasil kali semua koefisien jalur tak langsung.

Tabel 6.34 Pengaruh Jalur Terhadap Kesejahteraan Petani Jagung

No Jalur Koefisien*)
Jalur Diterminan(%)
1 KRP -> KKP->KSP 0,1860 12,73
2 KRP -> MRP->KSP 0,2690 18,59
3 KRP -> IRP -> MRP->KSP*) 0,4802 29,61
4 KRP-> IRP -> KKP->KSP 0,1851 12,33
5 KRP -> MRP-> KKP->KSP 0,1621 11,40
6 KRP -> IRP -> MRP -> KKP->KSP 0,1868 13,67
Jumlah 98,33
Sumber : *) Diolah Dari Tabel 6.26 dan Tabel 6.29.
Keterangan : *) terbesar

Model keseluruhan sebagai mana ditampakkan pada Tabel 6.34 di atas

memperlihatkan bahwa jumlah dari koefisien diterminan sebesar 98,33 persen,

artinya model persamaan struktural yang menjelaskan keterkaitan antar variabel

dalam model bersesuaian antara teori dengan data empiris yang digunakan

dalam analisis, di mana variasi variabel yang ada di dalam model mampu

menjelaskan variasi kesejahteraan petani sebesar 98,33 persen, sisanya

sebesar 1,77 persen dijelaskan oleh variasi lain di luar model. Dengan demikian
219

hipotesis-4 dapat diterima yang menyatakan bahwa manajemen rantai pasok,

integrasi proses bisnis, keunggulan kompetitif dan kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani jagung.

Dengan diterimanya hipotesis-4, maka model persamaan struktural

sebagai mana dirumuskan di atas dapat digunakan untuk merumuskan strategi

prioritas dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung. Juga didukung

oleh hasil uji efektivitas model (model fit) dengan tingkat kepercayaan 99%

(Lampiran 15).

6.15 Strategi Prioritas Terbaik Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan


Petani Jagung

Seiring dengan hasil analisis model persamaan struktural yang telah

diuraikan di atas, bahwa pada Gambar 6.8 diperlihatkan hasil analisis jalur antar

variabel terhadap variabel kesejahteraan petani. Dari empat variabel yang

diidentifikasi berpengaruh terhadap kesejahteraan petani, terdapat 3 (tiga)

variabel yang berpengaruh langsung dan 1 (satu) variabel yang berpengaruh

tidak langsung (Tabel 6.32 dan Tabel 6.33). Adapun variabel yang berpengaruh

langsung adalah keunggulan kompetitif, manajemen dan kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok, sedangkan yang berpengaruh tidak langsung

adalah integrasi proses bisnis.

Dengan membandingkan koefisien jalur standard dan koefisien diterminan

dalam model persamaan struktural keseluruhan (ovel all model) dapat ditentukan

atau dipilih strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan

petani jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pada Tabel 6.34 tampak bahwa variasi perubahan kesejahteraan petani

(KSP) terbesar terjadi apabila dilakukan perubahan variasi kolaborasi antar

lembaga dan manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis dan keunggulan
220

kompetitif secara serentak. Pengaruh terbesar terjadi pada jalur KRP -> IRP ->

MRP-> KSP (Prioritas ke-1), dan diikuti KRP -> MRP -> KSP (Perioritas ke-2)

dan jalur KRP -> IRP -> MRP -> KKP ->KSP (Periotas ke-3).

Berdasarkan hasil uji hipotesis-4 dengan menggunakan analisis jalur

sebagai mana telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan

kesejahteraan petani jagung dapat dilakukan melalui pemilihan strategi prioritas

terbaik, yaitu peningkatan integrasi proses bisnis serta perbaikan maanajemen

dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Oleh karena itu terbuka

peluang untuk dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan petani jagung yang

lebih efektif dari beberapa alternatif yang tersedia pada Tabel 6.35.

Tabel 6.35 Strategi Prioritas Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung


No Variabel Eksogen Koefisien Diterminan Prioritas
1 KRP || KKP 0,1273 4
2 KRP || MRP 0,1859 2
3 KRP || IRP || MRP*) 0,2961 1
4 KRP|| IRP || KKP 0,1233 5
5 KRP || MRP|| KKP 0,1140 6
6 KRP || IRP || MRP || KKP 0,1367 3
Jumlah 0,9833
Sumber : Tabel 6.27 dan Tabel 6.30.
Keterangan : *) = terbesar || = serentak

Dalam rangka memperoleh outcome kesejahteraan petani dibutuhkan

strategi terintegrasi dengan melakukan perbaikan manajemen dan kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok, serta peningkatan integrasi proses bisnis,

sebab secara langsung atau tidak langsung akan berdampak simultan terhadap

peningkatan keunggulan kompetitif yang pada gilirannya akan meningkatkan

kesejahteraan petani jagung.


221

Gambar 6.8 Hasil Analisis Jalur pada Smart PLS

Keterangan

BIF = Berbagi informasi KRP = Kolaborasi antar lembaga KKP = Keunggulan kompetitif
U1 = Informasi harga dalam rantai pasok Y1 = Efisiensi
U2 = Informasi teknologi X1 = Kesamaan tujuan Y2 = Kualitas produk
U3 = Informasi skim kredit X2 = Peran&tanggung jawab Y3 = Ketergantungan pengiriman
SNK = Sinkronisasi X3 = Pembagian resiko Y4 = Diversifikasi produk
keputusan X4 = Fasilitator Y5 = Waktu tempuh ke pasar
V1 = Jenis input produksi IRP = Integrasi proses bisnis MRP = Aktivitas manajemen rantai pasok
V2 = Kualitas input X5 = Hubungan baik dengan Y6 = Koordinasi antar lembaga
V3 = Biaya modal pelanggan Y7 = Aliran produk
KSI = Keselarasan Insentif X6 = Operasional biaya rendah Y8 = Aliran pelayanan
W1 = Harga input X7 = Pengembangan ke depan Y9 = Aliran modal
W2 = Harga output X8 = Kesehatan aliran kas KSP = Kesejahteraan petani
W3 = Berbagi biaya X9 = Penyerapan tenaga kerja Z5 = Surplus produsen
Z6 = Pengeluaran rumah tangga
Z7 = Tabungan investasi
222

6.15.1 Peningkatan Kesejahteraan Petani Melalui Jalur KRP -> IRP -> MRP
-> KSP

Pada Gambar 6.9 telah ditampakkan jalur yang efektif dalam upaya

peningkatan kesejahteraan petani jagung di Nusa Tenggara Barat, yaitu jalur

yang terpendek namun koefisien jalur dan koefisien diterminannya paling besar

(optimum).

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani jagung hendaknya dipilih

jalur yang paling efektif, yaitu jalur dengan koefisien jalur dan koefisien

diterminan terbesar. Satu dari 6 (enam) alternatif jalur yang paling besar peluang

untuk terpilih sebagai strategi prioritas terbaik adalah KRPIRPMRPKSP.

MRP

IRP KSP

KRP

Gambar 6.9 Jalur Yang Paling Besar Peluangnya Untuk Terpilih Sebagai
Strategi Prioritas Terbaik Dalam Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
.
Dari berbagai hasil studi terdahulu yang telah dilakukan di berbagai tempat

membuktikan peranan positif integrasi proses bisnis dan manajemen rantai

pasok terhadap kinerja operasional maupun terhadap peningkatan keunggulan

kompetitif perusahaan (Ariani dan Dwiyanto, 2013; Bagchi, et al., 2007; Sachan,

et al., 2006).
223

Pada diagram jalur (Gambar 3.3 dan Gambar 6.8) tampak bahwa

keunggulan kompetitif merupakan variabel endogen, sementara variabel

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan

integrasi proses bisnis sebagai variabel eksogen di satu pihak dan keunggulan

kompetitif merupakan variabel ekogen dari variabel endogen kesejahteraan

petani. Oleh sebab variabel keunggulan kompetitif menjadi variabel yang unik

(spesifik) jika dibandingkan dengan variabel lainnya, yaitu sebagai output dari

proses interaksi intra manajemen rantai pasok, integrasi proses bisnis dan

kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Karena kedudukan variabel

keunggulan kompetitif sebagai output, maka perubahannya dapat disebabkan

oleh variabel eksogennya, sekaligus mempengaruhi kesejahteraan petani.

Optimasi peningkatan kesejahteraan petani dapat ditempuh melalui

integrasi variabel kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses

bisnis dan manajemen rantai pasok. Untuk memperkuat argumentasi ini, maka

dibangun premis mayor dan presmis minor sebagai berikut: apabila kolaborasi

antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai

pasok berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif; dan keunggulan kompetitif

berpengaruh terhadap kesejahteran petani; maka kolaborasi antar lembaga antar

lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan manajemen rantai

pasok berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.

Atas dasar argument di atas, maka hipotesis-5 dapat diterima, yaitu

peningkatan kesejahteraan petani jagung dapat diupayakan melalui strategi

perbaikan manajemen dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok serta

peningkatan integrasi proses bisnis.


224

Apabila dimaksudkan untuk segera meningkatkan kesejahteraan petani

jagung, maka poin-poin berikut patut menjadi perhatian:

1. Sinkronisasi keputusan, yaitu melibatkan petani dalam proses pengambilan

keputusan, terutama dalam penetapan jenis input yang diinginkan petani,

harga input yang sama dengan harga pasar, paket teknologi yang telah teruji

kapasitas, produktivitas dan daya adaptasi lingkungan, serta harga minimal

sama dengan harga pasar. Melakukan mark-up terhadap harga input

merupakan bentuk menyimpangan yang dilakukan perusahaan terhadap

konsep rantai pasok, serta membeli jagung dengan harga di bawah harga

pasar merupakan suatu tindakan yang mencederai kesepakatan dan

menghapus kepercayaan. Dalam konteks kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok, petani mestinya dipandang sebagai pelanggan bagi perusahaan

baik sebagai pelanggan pasar input maupun sebagai pelanggan pemasok

bahan baku.

2. Keselarasan insentif, adalah memberikan insentif yang proporsional dengan

insentif yang diterima oleh perusahaan dan/atau pedagang melalui

mekanisme harga input dan ouput serta pembebanan biaya operasional atau

bunga modal kepada petani. Perusahaan semestinya berperan sebagai

penyangga harga atas produk pertanian, khususnya pada musim panen raya

ketika harga jagung berada pada limit rendah. Perusahaan mestinya bersedia

membeli dengan harga di atas harga pasar agar petani tidak terdegradasi

pada harga yang menyebabkan petani mengalami kerugian. Perusahaan

semestinya bertindak sebagai penyangga harga dan melindungi petani agar

tidak menderita rugi, sebab kerugian dalam jangka panjang akan berdampak

kepada kerugian perusahaan atau pedagang, karena bila petani merugi terus
225

menerus, maka kemampuan reinvestasi petani akan merosot, pada gilirannya

petani tidak lagi bersedia mengusahakan tanaman jagung, sehingga

perusahaan kehilangan pelanggan.

3. Sinkronisasi keputusan dan keselaran insentif menjadi bagian yang tak

terpisahkan dengan berbagi informasi. Berbagi informasi merupakan suatu

keniscaayaan dalam kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok.

Mengikutsertakan petani dalam pertemuan atau rapat sebagai satu strategi

berbagi informasi sekaligus sinkronisasi keputusan. Pelayanan langsung

kepada petani dinilai sebagai upaya berbagi informasi secara akurat untuk

mencegah distorsi informasi dan mengurangi atau mencegah penyimpangan,

semakin lebar jarak antara sumber dengan sasaran semakin besar peluang

terjadinya misinformasi. Contoh misinformasi ini dijumpai pada pembebanan

biaya operasional kepada petani sebagai imbalan pelayanan jasa yang belum

diketahui oleh petani, dan ketidakjelasan bagi petani tentang teknis bagi

hasil. Juga keinginan petani tidak diketahui secara tepat oleh pimpinan

perusahaan, sehingga paket teknologi yang diusulkan petani dalam Rencana

Difinitif Kebutuhan Kelompok tani tidak sama dengan realisasinya.

4. Realisasi paket teknologi yang terlambat tiba memaksa petani menerima

peket teknologi yang dibawa oleh koordinator lapang daripada tidak

menanam sama sekali, karena petani menyadari bahwa apabila petani tidak

menanam, maka petani kehilangan kesempatan mempertahankan tingkat

kesejahteraannya paling sedikit sama dengan perubahan surplus produsen

usahatani jagung sebesar Rp 2 juta/ha/musim tanam (Tabel 6.9 dan

Gambar..6.2). Perlu ada terobosan baru untuk mengubah keadaan melalui

perbaikan sistem komunikasi dengan petani, sehingga efektivitas komunikasi


226

dan informasi dapat ditingkatkan pada masa yang akan datang atau musim

tanam berikutnya.

5. Kesibukan petani di ladang dan keterbatasan personil perusahaan menjadi

kendala dalam meningkatkan intensitas dan efektivitas komunikasi.

Keterbatasan ini dapat diatasi melalui perubahan metode komunikasi dengan

memanfaatkan teknologi yang tersedia seperti handpon dan web.

6. Pemecahan masalah persaingan dan inefisiensi melalui kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok dinilai belum cukup untuk mengangkat

kemampuan organisasi agar memiliki daya saing yang kuat. Solusi yang

ditawarkan berupa integrasi proses bisnis tampaknya dapat diterima sebagai

main stream logika rasional, sebab kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok bisa menjadi beban pembiayaan jika proses produksi, penanganan

pascaproduksi, pengolahan hasil, pengangkutan dan penyimpanan tidak

mampu dikelola secara efisien, bahkan dapat menimbulkan efek

pembekakan biaya karena bertambahnya pekerjaan mengkoordinasikan para

anggota kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok.

Selain fokus perhatian di atas, masih diperlukan integrasi vertikal dan

horizontal sebagai berikut:

1. Petani menjual produksi jagung tidak melalui makelar, melainkan langsung

menjualnya ke perusahaan, sehingga memperoleh harga jual yang lebih

tinggi, yaitu mencapai Rp 1.300 sampai dengan Rp 1.500/kg tongkol kering

panen, sementara kalau petani menjual melalui makelar, maka harganya

lebih rendah, yaitu antara Rp 900/kg sampai dengan Rp 1.200/kg.

2. Pedagang pengumpul melakukan proses pemipilan dan pengeringan di

gudang dan di lantai jemur pedagang besar, sementara pedagang besar


227

menerima jasa pemipilan sebesar Rp 4.000/ku dan sewa lantai jemur

Rp.2.000/ku, upah buruh jemur Rp 6.000/ku. Oleh karena itu, proses

produksi jagung menyerap lapangan kerja pada level usahatani (in farm),

pasca produksi (on farm) dan industri pengolahan (out farm). Dengan

memanfaatkan barang modal bersama (sharing) dapat dipastikan

terbentuknya integrasi horizontal, sehingga dapat menekan biaya produksi

dan menjadi bagian dari upaya proses produksi biaya rendah.

3. Pedagang besar selain memperoleh penerimaan dari upah pemipilan dan

pengeringan juga mendapatkan keuntungan dari transaksi beli jual jagung

pipilan kering. Integrasi proses bisnis tersebut memberikan keuntungan baik

bagi pedagang pengumpul maupun pedagang besar antar pulau. Transaksi

jual beli mempengaruhi kesehatan aliran kas masuk dan kas keluar.

4. Untuk menekan biaya transportasi, pedagang pengumpul menggunakan

kendaraan pick up (open cup) milik sendiri, sebagai bagian dari proses

operasional biaya rendah. Hal yang sama juga dilakukan oleh pedagang

besar antar pulau. Dengan memanfaatkan kredit perbankan mereka membeli

truk sebagai sarana transportasi mengangkut jagung ke konsumen pengguna

baik di dalam provinsi maupun di luar provinsi (Bali). Bila menggunakan jasa

ekspedisi mengharuskan pengeluaran biaya transportasi yang besarnya

antara Rp 10.000 s.d. Rp 12.000/ku. Dengan menggunakan kendaraan miliki

sendiri memungkinkan baginya mendapatkan biaya operasional lebih sedikit

bila dibandingkan dengan menggunakan jasa ekspedisi. Langkah ini

sekaligus sebagai upaya mendapatkan opportunity cost terhadap biaya

pengangkutan, sekaligus sebagai proses produksi dengan biaya rendah

(Lampiran 20).
228

5. Bisnis jagung dinilai sebagai bisnis yang menguntungkan oleh pedagang

pengumpul maupun pedagang besar antar pulau, karena memberikan tingkat

keuntungan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha lainnya seperti

usaha beras, kacang tanah dan kedele. Oleh karena itu hampir semua petani

dan perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara menghendaki

upaya pengembangan ke depan dengan memperbesar volume usaha 1,5 s.d

2 kali lipat dari volume usaha sekarang.

6.15.2 Peningkatan Kesejahteraan Petani Melalui Jalur KRP -> MRP -> KSP

Apabila integrasi proses bisnis belum memungkinkan untuk dilaksanakan,

karena keterbatasan sumberdaya manusia dan modal, maka dimungkikan untuk

memilih jalur yang lebih sederhana (simple), yaitu melalui perbaikan kolaborasi

dan manajemen rantai pasok. Pilihan ini menempati ranking-2 dengan koefisien

diterminan sebesar 18,59% lebih kecil bila dibandingkan koefisien diterminan

yang menempati ranking-1 sebesar 29,61%.

•Kesamaan tujuan MRP •Surplus produsen


•Peran dan tanggung •Pengeluaran RT Petani
•Koordinasi antar
jawab • Tabungan investasi
lembaga
•Pembagian resiko
•Aliran Produk
•Fasilitator
•Aliran Pelayanan
•'Aliran Modal
KRP KSP

Gambar 6.10 Jalur Yang Paling Simpel Sebagai Alternatif Strategi Dalam
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
229

Jalur KRPMRPKSP merupakan jalur yang paling pendek, tanpa

melalui integrasi proses bisnis. Apabila petani belum memungkinkan untuk

melakukan integrasi vertikal (memperpedek rantai pasok) atau belum mampu

menyelenggarakan integrasi horizontal sebagai akibat belum kondusifnya

kelembagaan petani, maka ini paling memungkinkan untuk diterapkan oleh

petani, perusahaan selaku avalis dan Pemerintah Daerah.

Peningkatan kesejahteraan petani melalui perbaikan kolaborasi dan

manajemen rantai pasok dapat diupayakan sebagai berikut:

1. Dalam membangun koordinasi dan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga

dalam rantai pasok diperlukan tiga tahapan kegiatan, yaitu (Marqui, et al.,

2013): (1).pengenalan karakteristik dan perilaku yang memungkinkan

terselenggaranya praktik kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok,

(2).merumuskan persyaratan yang diperlukan dalam berkoordinasi, dan

(3).mengimplementasikan karakteristik dan perilku tersebut dalam

berkolaborasi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Ketua

Kelompok Tani, Penyuluh Pertanian Lapangan dan Manajer Lapang

Perusahaan (Lampiran 20) diperoleh informasi bahwa dari tiga tahapan yang

mesti dilalui tersebut, belum seluruhnya terlaksana sebagai mana mestinya,

yaitu tahap pertama tidak dilakukan sama sekali, yang dilakukan adalah

tahapan kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan: (1) kurangnya pengetahuan

para pengelola dan Petugas Lapang (PL) akan tahapan kegiatan yang mesti

dilakukan, (2) keterbatasan jumlah PL bila dibandingkan dengan jumlah

petani mitra yang mesti menjadi sasaran, (3) keterbatasan waktu,

(4)..serta diperlukan tambahan biaya persiapan yang mesti dikeluarkan.


230

Untuk memperbaiki kolaborasi rantai pasok diperlukan kelengkapan seluruh

tahapan yang mesti dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik.

2. Perbaikan manajemen rantai pasok dimungkinkan melalui upaya bersama

antar lembaga yang terlibat dan tersedianya media untuk berubah (Knoppen

dan Saenz, 2009); sementara kurangnya pengetahuan dan tranparansi biaya

mengakibatkan proses optimasi menjadi sulit (Salmela, et al., 2011).

Kelemahan dalam pelaksanaan manajemen rantai pasok menjadi pemicu

timbulnya ketidakpuasan di antara para pihak yang bekerjasama, seperti

mark-up harga input dan pembebanan biaya kepada petani, serta kurangnya

pengetahuan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dampaknya

adalah timbulnya kesulitan dalam membangun kerjasama yang

berkelanjutan.

3. Mengimplementasikan kerjasama bukan sesuatu yang mudah, banyak

kendala dan kesulitan yang mesti harus diatasi. Satu diantaranya adalah

tersedianya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan bagi

pihak-pihak yang bekerjasama untuk berkoordinasi terutama dalam

mewujudkan integrasi proses bisnis. Manzoni dan Islam (2007) dan Bayazit

(2007) telah menegaskan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi

(ICT) dalam manajemen rantai pasok sebagai media penghubung antar

pihak-pihak yang bekerjasama dalam rantai pasok serta mendorong

perusahaan untuk mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan mitra

bisnisnya. Di daerah perdesaan, terutama di lokasi penelitian, media

informasi dan komunikasi yang tersedia dan telah memasyarakat adalah

handpon dan sebagian kecil telah menggunakan fasilitas internet kecamatan.


231

Media ini semestinya dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas

komunikasi serta mengurangi biaya koordinasi.

4. Penggunaan media informasi dan komunikasi handpon telah memasyarakat

hampir pada semua lapisan masyarakat tidak terkecuali masyarakat petani.

Pemilikan handpon sebanyak 25,38 persen (Tabel 6.1) terkait erat dengan

perilaku petani dalam kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok. Bagi

petani yang tidak memiliki handpon dan kurang informasi menjadi sasaran

makelar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menekan

harga di tingkat petani. Oleh sebab itu, peranan informasi menjadi inti

penentu efektivitas dan efisiensi manajemen rantai pasok (Bititci, et al., 1997;

Kabayashi, et al., 2002), namun bisa informasi pasar yang transparan bias

sebagai komplik, karena bagi para pedagang informasi yang asismetris

memberikan keuntungan ekstra di atas keuntungan normal bagi para

pedagang (Tanaya, et al., 2012).

6.15.3 Peningkatan Kesejahteran Petani Melalui Jalur KRP ->IRP ->MRP->


KKP->KSP

Pilihan jalur ranking-3 merupakan pilihan yang lebih kompleks dengan

dampak terkecil bila dibandingkan dengan dua alternative pilihan sebelumnya.

Jalur ini kurang efisien, sebab dengan memilih dua jalur sebelumnya, maka

secara otomatis akan berdampak simultan terhadap peningkatan keunggulan

kompetitif dan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan keunggulan kompetitif

merupakan output dari kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi

proses bisnis dan manajemen rantai pasok, sementara kesejahteraan petani

merupakan outcome keseluruhan model.


232

IRP MRP KKP

KRP KSP

Gambar 6.11 Jalur Yang Paling Lengkap Sebagai Alternatif Strategi Dalam
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Jagung di Provinsi
Nusa Tenggara Barat.

Berikut ini beberapa hal yang memperkuat argumentasi yang terkait

dengan kesejahteraan petani jagung:

1. Konsep manajemen rantai pasok merupakan jawaban atas kebutuhan para

pelaku bisnis untuk meningkatkan daya saing perusahaan dengan

menghimpun diri dalam organisasi rantai pasok untuk mengatasi kendala

modal, teknologi, informasi dan skala usahaha. Intinya, bahwa manajemen

rantai pasok sebagai strategi untuk memenangkan persaingan dengan

menyelenggarakan koordinasi lintas organisasi perusahaan. Dengan kata

lain, manajemen rantai pasok adalah suatu upaya untuk mengurangi

persaingan internal organisasi rantai pasok dan memperkuat daya saing

eksternal dan bukan untuk menyusun kekuatan higemoni monopoli bagi

tercapainya keuntungan satu perusahaan belaka. Yang diharapkan dari

konsep manajemen rantai pasok adalah meningkatkan keuntungan seluruh

lembaga yang berpartisipasi di dalam organisasi rantai pasok (Tunggal, 2011).


233

2. Oleh karena petani sebagai anggota atau bagian dari rantai pasok dan masuk

dalam ranah koordinasi dari integrator, maka sudah sewajarnya manajemen

rantai pasok berdampak posif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani

sebagai mana telah dibuktikan pada hasil uji model (model fit) pada

Lampiran..15). Konstruk logika peningkatan manajemen rantai pasok

berdampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan petani jagung di

lokasi penelitian adalah diterima dengan asumsi variabel-variabel lain dalam

model tidak berubah.

3. Logika hubungan kausalitas yang sangat kuat tersebut terbentuk melalui

mekanisme pasar dan melalui kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok.

Goldsmith (2011) mengungkapkan bahwa: (1) perusahaan yang bertindak

sebagai integrator (avalis) adalah perusahaan penyedia input pertanian

yang mencari cara untuk menangkap keuntungan dari inovasi mereka dalam

produk baru; (2) melalui kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dengan

mengadopsi berbagai perjanjian kerjasama antar perusahaan hulu dan hilir

berupaya melakukan kontrol (integrasi) vertikal, sehingga dapat meningkatkan

pangsa pasar atas benih, pupuk dan pestisida. Kekuatan pasar dapat

meningkatkan perputaran ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan

petani, namun hasil instrogasi menunjukkan bahwa pengaturan pasar telah

berdampak merugikan kesejahteraan petani, sebab permintaan perusahaan

lebih besar dan inelastik. Menurut Hagedorn, et al. (2004) bahwa kerugian

kesejahteraan petani disebabkan rendahnya kemampuan pemasaran petani

jagung, yaitu sebagian besar produk yang dihasilkan dijual ketika harga pasar

di bawah harga rata-rata tahunan. Kerugian kesejahteraan tersebut

sebanarnya dapat dihindari dengan cara mengatur waktu penjualan.


234

4. Untuk menghindari kerugian kesejahteraan petani, pemerintah melalui

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan

resi gudang, yaitu suatu kebijakan yang memungkinkan petani menyimpan

hasil pertaniannya di gudang yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat

resi gudang. Sertifikat resi gudang dapat dijadikan agunan kredit pada bank

umum, sehingga petani dapat menutupi kebutuhannya yang mendesak dan

segera harus dipenuhi. Sementara petani dapat menjual produk hasil

pertaniannya ketika harga pasar di atas harga rata-rata berikut

mengembalikan kreditnya. Walau program resi gudang telah disosialisasikan

sejak 4 (empat) tahun terakhir, namun hingga penelitian ini dilaksanakan

belum sepenuhnya direspon positif oleh petani. Petani lebih memilih menjual

produksi jagung segera setelah panen, yaitu ketika harga berada pada limit

terendah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa alasan petani segera

menjual produknya ketika musim panen adalah untuk memenutupi hutang-

hutangnya dan memenuhi kebutuhan yang sudah lama tertunda dan

mendesak untuk segera dipenuhi, serta memenuhi kebutuhan pembiayaan

usahatani musim tanam berikutnya. Hasil penelitian ini relevan dengan

perilaku rumahtangga petani di China di mana rumahtangga dengan hutang

pada umumnya menjual jagung mereka jauh lebih awal jika dibandingkan

dengan rumahtangga bebas hutang, sehingga berpotensi kehilangan

kesempatan untuk memperoleh harga jual yang lebih tinggi, demikian juga

rumah tangga yang ada anggota keluarganya menderita sakit sejak tahun

sebelumnya cenderung lebih cepat menjual daripada rumah tangga miskin

lainnya (Sun, et al., 2013).


235

5. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti dan Khomsan (?) menyimpulkan

bahwa kesulitan dan tekanan ekonomi yang dialami keluarga petani miskin

menyebabkan terbatasnya pilihan hidup. Seluruh perhatian keluarga fokus

pada upaya bertahan bagai mana agar mereka tetap hidup, sehingga rumah

tangga petani sulit bebas dari himpitan sosial ekonomi yang menderanya.

6. Pada penelitian ini yang digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani

adalah surplus produsen, pengeluaan konsumsi dan tabungan/pengeluaran

investasi rumah tangga sekaligus sebagai outcome penelitian. Apabila

manajemen rantai pasok mampu meningkatkan laba seluruh anggota dalam

rantai pasok akibat bersinergi dengan semua anggota dalam rantai pasok,

maka dikatakan bahwa manajemen rantai pasok tersebut berhasil; sebaliknya

jika menimbulkan dampak negatif atau stagnan, maka manajemen rantai

pasok dinilai gagal. Oleh karena nilai indek keragaan manajemen rantai pasok

berada pada skala dari 2,6 s.d 3,6 dengan kategori hampir baik (moderat),

maka manajemen rantai pasok yang dikoordinasikan oleh perusahaan tidak

termasuk gagal dan belum termasuk berhasil. Oleh karena itu masih ada

kesempatan bagi pihak-pihak yang berkolaborasi untuk bernegosiasi ulang

memperbaiki beberapa kesepakatan yang sebelumnya masih diperselisihkan,

sehingga ke depan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi petani

dan perusahaan.

7. Upaya tersebut dimungkinkan sebab masih terbuka peluang untuk melakukan

beberapa perbaikan manajemen, karena perusahaan dan petani masih saling

membutuhkan, bahkan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat sangat

berkepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerah diantaranya

penyerapan lapangan kerja (mengurangi pengangguran) dan pada gilirannya


236

meningkatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan per

kapita dan kesejahteraan masyarakat umumnya.

8. Berangkat dari pengalaman pada tahun-tahun lalu serta belum dicapainya

target perusahaan yang telah ditetapkan, maka para manajer cabang

perusahaan yang bertugas mensukseskan Gerakan Peningkatan Produksi

Pangan Bebasis Korporate (GP3K) melakukan improvisasi dengan

memodifikasi kebijakan-kebijakan manajemen sebelumnya, diantaranya telah

menghapuskan sistem bagi hasil yang digantikan dengan manajemen fee

atau dengan pembebanan biaya operasional, serta memberlakukan agunan

kepada kelompok tani. Namun hal yang paling penting adalah apapun

kebijakan manajemen yang diberlakukan dapat berdampak positif terhadap

peningkatan insetif yang diterima petani, sehingga meningkatkan kegairan

petani di dalam berproduksi dengan cara memberikan konvensasi minimal

sama dengan surplus produsen yaitu Rp 2 juta/ha/musim tanam. Melalui

pertimbangan demikian diharapkan agar petani tetap semangat dan tidak

meninggalkan usahatani jagung dengan beralih keusaha lain, serta tetap loyal

dalam organisasi rantai pasok.


BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah:

1. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa keragaan manajemen rantai pasok

jagung di Nusa Tenggara Barat masuk dalam klasifikasi hampir baik, artinya

telah berlangsung koordinasi antar pelaku dalam rantai pasok mulai dari

rekruitmen dan seleksi petani mitra, penyusunan dan pengusulan Rencana

Definitif Kegiatan Kelompok (RDKK); aliran modal berupa realisasi kredit

(biaya pembukaan dan pengolahan lahan dan input pertanian); aliran

pelayanan dalam bentuk pembinaan kelompok tani, pendampingan budidaya

dan pemantauan panen; serta aliran produk berupa pembelian hasil panen

jagung. Kinerja manajemen rantai pasok belum masuk klasifikasi baik,

disebabkan masih adanya keluhan petani atas koodinasi dan pelayanan yang

diberikan perusahan kepada petani, dan sebaliknya masih adanya keluhan

perusahaan kepada petani atas aliran produk dan aliran pengembalian modal

yang belum sesuai dengan harapan perusahaan, yaitu baru mencapai

sepertiga dari target sebesar 100 persen.

2. Keunggulan kompetitif jagung pada level petani masuk dalam klasifikasi

moderat, artinya proses produksi usahatani jagung belum efisien, karena rata-

rata produktivitas yang dihasilkan baru mencapai 6,581 ton/ha dari target 10

ton/ha; kualitas masih rendah karena hampir semua petani menghasilkan

produk jagung tongkol kering panen dengan kadar air 18% s.d 22% dari yang

seharusnya 14% jagung pipil kering panen; jagung yang dihasilkan homogen

dari yang semestinya petani menghasilkan diversifikasi produk; serta produk

dijual segera setelah panen, sehingga petani rata-rata menjual di bawah


238

harga rata-rata tahunan. Tingkat persaingan pada level pedagang perantara

masuk dalam klasifikasi tinggi, artinya terjadi persaingan yang ketat antar

pedagang perantara dieksternal rantai pasok, disebabkan mudahnya masuk

pesaing baru, satu-satunya yang menghambat masuknya pesaing baru

adalah kebutuhan modal yang besar (minimal Rp 500 juta); sementara

persaingan diinternal rantai pasok dapat dieliminasi dengan menjalin

kerjasama antara perusahaan selaku avalis dengan petani sebagai pemasok

dan peternak ayam petelur sebagai pembeli dengan menerapkan manajemen

rantai pasok dan integrasi proses bisnis.

3. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok dan integrasi proses bisnis

berpengaruh positif terhadap manajemen rantai pasok, artinya perubahan

tingkat kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok dan

perubahan tingkat integrasi proses bisnis (baik integrasi vertikal maupun

integrasi horizontal) akan mengakibatkan perubahan yang positif terhadap

tingkat manajemen rantai pasok.

4. Integrasi proses bisnis berkorelasi positif dengan kolaborasi antar lembaga

dalam rantai pasok, artinya semakin baik kerjasama antar lembaga dalam

rantai pasok diikuti oleh peningkatan integrasi proses bisnis. Hubungan positif

antara integrasi proses bisnis dan kolaborasi antar lembaga dalam rantai

pasok, disebabkan peningkatan kerjasama antara perusahaan dengan petani

dan perusahaan memfasilitasi petani dalam pemanfaatan barang-barang

modal, seperti lantai jemur, mesin pemipil, dan kendaraan angkutan barang,

maka kerjasama antar kelembagaan tersebut akan meningkat.

5. Kolaborasi antar lembaga dalam rantai pasok, integrasi proses bisnis dan

manajemen rantai pasok berpengaruh positif terhadap keunggulan kompetitif


239

jagung, artinya perubahan positif variasi kolaborasi antar lembaga dalam

rantai pasok dan integrasi proses bisnis serta manajemen rantai pasok

mengakibatkan perubahan positif variasi keunggukan kompetitif. Pengaruh

yang positif tersebut disebabkan perbaikan manajemen rantai pasok

mengakibatkan peningkatan keunggulan kompetitif jagung di internal rantai

pasok ditinjau dari aspek efisiensi, kualitas produk, ketergantungan

pengiriman, diversifikasi produk dan waktu tempuh ke pasar.

6. Tingkat kesejahteraan petani jagung dipengaruhi oleh tingkat kolaborasi antar

lembaga dalam rantai pasok, manajemen rantai pasok dan keunggulan

kompetitif jagung, serta integrasi proses bisnis; artinya perubahan positif

faktor-faktor kolaborasi dan manajemen rantai pasok serta keunggulan

kompetitif dan integrasi proses bisnis mengakibatkan perubahan yang positif

terhadap tingkat kesejahteraan petani jagung.

7. Penggabungan pengaruh langsung dan tak langsung menghasilkan bahwa

jalur KRPIRPMRPKSP memiliki koefisien jalur paling besar bila

dibandingkan dengan jalur lainnya, sehingga paling besar peluangnya untuk

terpilih sebagai strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan

kesejahteraan petani jagung.

8. Strategi prioritas terbaik dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani

jagung adalah meningkatkan produktivitas usahatani jagung melalui aplikasi

teknologi budidaya dan pascaproduksi, di samping memperbaiki

penyelenggaraan manajemen rantai pasok, meningkatkan integrasi proses

bisnis dan kolaborasi (kerjasama) antar lembaga dalam rantai pasok.


240

7.2 Saran

7.2.1 Saran bagi peneliti dan pengembangan hasanah ilmu pengetahuan

1. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas kolaborasi antar lembaga dan

manajemen rantai pasok pada ekosistem lahan sawah dan ladang.

2. Persentase petani yang menyimpang dari perjanjian kontrak relatif lebih besar

bila dibandingkan dengan persentase petani yang berperilaku loyal, oleh

karena itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab

pengingkaran petani jagung terhadap perjanjian kontrak, dan faktor-faktor

yang mempengaruhi keberlanjutan hubungan antara perusahaan dan petani

mitra.

7.2.2 Saran bagi perusahaan untuk perbaikan manajemen rantai pasok

1. Perningkatan kinerja manajemen rantai pasok agar difokuskan pada

peningkatan koordinasi antar lembaga dalam rantai pasok dan peningkatan

pelayanan kepada petani. Peningkatan koordinasi dan pelayanan diutamakan

pada penghapusan sistem bagi hasil atas dasar net profit (laba usahatani

bersih) menjadi bagi hasil atas dasar gross revenue (penerimaan kotor), serta

menjual input sesuai harga pasar dan membeli output minimal sama dengan

harga pasar.

2. Perusahan yang berperan sebagai avalis atau leader dalam manajemen rantai

pasok disarankan agar melaksanakan integrasi proses bisnis dengan

melakukan koordinasi dan pelayanan langsung kepada petani dan menjual

langsung komoditas jagung ke konsumen pengguna, karena integrasi vertikal

dalam mereduksi persaingan internal rantai pasok dan meningkatkan

keunggulan kompetitif rantai pasok terhadap eksternal rantai pasok jagung.


241

3. Untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasok disarankan kepada

pihak-pihak yang bekerjasama, yaitu perusahaan dan petani untuk melakukan

perbaikan manajemen dengan melakukan negosiasi ulang yang meliputi

harga input produksi, harga pembelian produk dan biaya operasional.

7.2.3 Saran bagi pemerintah dan penyusunan kebijakan

1. Disarankan kepada Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan

kelembagaan terhadap perusahaan yang berkolaborasi dengan petani agar

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani secara seimbang dengan

kepuasan konsumen pengguna. Oleh karena itu strategi prioritas terbaik yang

dapat dipilih adalah memperkuat kolaborasi (kerjasama) antara perusahaan

dengan petani, meningkatkan skala usahapetani melalui pembinaan kelompok

tani dan gabungan kelompok tani agar dapat setara dengan perusahaan,

serta ditingkatkan kemampuan Gabugan Kelompok Tani agar memiliki akses

langsung terhadap lembaga keuangan sebagai sumber penyediaan modal.

2. Sebaiknya Pemerintah Daerah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa

Tenggara Barat (NTB) tentang Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai

Pasok Tanaman Pangan dan Peraturan Gubernur Provinsi NTB tentang

Petunjuk Teknis Operasional Kolaborasi Antar Lembaga Dalam Rantai Pasok

Jagung antara perusahaan dengan petani.

3. Diperlukan kebijakan perlindungan bagi petani jagung agar mereka tetap

bergairah berproduks. Tindakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah

Daerah adalah membeli exess supply jagung pada musim panen dan

menjualnya di luar musim panen, sehingga harga jagung di tingkat petani

tidak merosot dan harga di tingkat konsumen pengguna (peternak ayam

petelur) tidak melampaui harga tertinggi yang mampu dibeli oleh peternak.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, J. dan Jarnilah, 2007. Analisis Kinerja Pasar pada Pemasaran


Jagung. Jurnal Eksekutif. Volume-4 Nomor 3. Desember 2007.
Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Loksemawe Aceh.
Adinugroho,B., 2010. Manajemen Rantai pasok (Studi kasus : Frida Agro
Kecamatan Lembang kabupaten Bandung Barat. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ali, S., 2010. Teori Surplus Perusahaan (Produsen). syukronali.files.
wordpress.com/2010/05/teori-surplus-perusahaan-produsen.docx
Alene, A.D., A.Menkir, Ajala, S.O., B.B.Apraku, A.S. Olanrewaju, V.M.Manyong,
dan A.Ndiaye, 2009. The economic and poverty impacts of maize
research in West and Central Africa. Agricultiral Economics The Journal
of the International Association of Agricultural Economists. Vol 40 Issue
5.p.535-550.
Ambaroz and Praprotnik, 2008. Organisational Effectiveness and Customer
Stisfaction. Organizacija, Volume 41. Number 5, September-October
2008.
Anatan, L. dan L.Ellitan, 2008. Supply Chain Management: Teori dan Aplikasi.
Alfabeta. Bandung.
Anggraeni,W., 2009. Pengukuran Kinerja Pengelolaan Rantai Pasok pada PT
Crown Closures Indonesia. Fakultas Teknologi Industri. Universitas
Gunadarma. Jakarta.
Anonimous, 2012. Pasar Fisik Komoditas : Pasar Bagi Komoditas Agro
Indonesia. PT iPasar Indonesia. Jakarta.
Ariani, D. dan Dwiyanto, B.M., 2013. Analisis Pengaruh Supply Chain
Manahement Terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Pada Industri Kecil
dan Menengah Makanan Olahan Khas Padang Sumatera Barat.
Diponogoro Journal of Management. Vol. No. Tahun 2013. p.1-10.
Arifin, 2004. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Rantai
Pasokan Dalam Mencapai Kinerja Pemasaran Perusahaan di Industri
Garmen Kota Pekalongan. Pascasarajana Udip. Semarang.
Arshinder, Kanda,A., and Deshmukh, S.G., 2008. Supply Chain Coordination :
Perspectives, Empirical Studies and Research Dorection. International
Journal of Production Economics, 115, 316-335.
Ba, S. and Johansson,W.C., 2005. An Exploratory Study of the Impact of e-
Service Process on Online Customer Satisfaction. Forthcoming in
Production and Operations Management.
Bagchi, P.K., B.C.Ha, T.S. Larsen and L.B. Soerensen, 2007. Nature and extent
of supply chain integration in Nordic Firms. International Journal of
Integrated Supply Management. Vol 3 No.1 p.25-51.
Ballou, R. H. ,2004. Business Logistic/ Supply Chain Management: Planning,
Organizing, and Controlling The Supply Chain, Fifth Edition, Prentice
Hall, New Jersey.
243

Bansod,S.V. dan A.B.Borade, 2007. Domain of Supply Chain Management – A


State of Art. Journal of Technology Management & Innovation. Vol.2
Issue 4.p. 109-121.
Barterzzaghi, E., 1999. The Evolution Models is a New Paradigm Emerging ?.
International Journal of Operation and Production Management.
Amsterdam v.19.n.2.p.229-250.
Bayazit, O., 2007. An Examination of current collaborative supply chain
practices. International Journal of Business Inovatiob abd Research.
Vol 1 No.3 p.253-266.
Bezu, S, G.Kassie, B.Shiferaw, and J.R. Gilbert, 2013. Impact of Improved
Maize Adoption on Welfare of Farm Households in Malawi: A Panel
Data Analysis. MPRA.http://mpra.ub.uni-muenchen.de/48763.
Bititci, U.S, Carrie, A.S, McDevitt, L.G, 1997 “Integrated Performance
Measurement Systems: A Development Guide”, International Journal of
Operations and Production Management, Vol 17 no 6, May/June 1997,
MCB University Press, ISSN 0144
Bolbuaca, S.D. and Jantschi, L., (2006). Pearson versus Spearman, Kendall's
Tau Correlation Analysis on Structure-Activity Relationships of Biologic
Active Compounds. Leonardo Journal of Sciences. July-December
2006. p.179-200.
Bourlakis, M.A and Weigtman,W.H., 2004. Food Supply Chain Management.
School of Agriculture, Food and Rural Development, University of
Newcastle, U. K.
BPS NTB, 2010. NTB Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Mataram.
BPS NTB, 2011. NTB Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Mataram.
BPS, 2012. Berita Resmi Statistik No.06/01 Th.VXI. 2 Januari 2012.
Cachon, G.P. dan M.A. Lariviere, 1999. Capacity Choice and Allocation :
Strategic Behavior and Supply Chain Performance. Management
Science. Institute for Operations Research and Management
Sciencees. Vol.45 No. 8. Agustus 1999. p.1091-1108.
Cahyono, J., 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Jangka
Panjang untuk Meningkatkan Keunggulan Kompetitif Perusahaan.
Journal Aset. Vol.12 No.2 September 2010. p.135-164.
Carambas,MCDM., Analysis Marketing Margins in-Eco Labeled Products.
Center for Development Research. University of Bonn. Bonn.
Childerhouse,P. dan D.R.Topwill, 2002. Analisys of Factors Afecting Real-Word
Value Stream Performance. International Jounal of Production
Research 40. p.3499-3518.
Cochran, 1977. Sampling Design for Social Science. Cambrige University
Press. New York.
Daniel,M., Darmawati, Nieldalina, 2011. PRA (Participatory Rural Appraisal:
Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif
dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Bumi Aksara.
Medan.
244

Dewi, S.O., 2013. Pengaruh Manajemen Rantai Pasok Terhadap Keunggulan


Bersaing SamudraToserba Tasikmalaya. Jurnal Manajemen dan Bisnis.
Universitas Siliwangi. Tasikmalaya.p.1-11.
Diperta NTB, 2009. Program Unggulan Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Dumairy, 1991. Matematika Terapan untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Kedua.
BPFE. Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Dwyer,F.R., P.H.Shurr dan S.Oh, 1987. Developing Buyer – Seller
Relationships. Journal of Marketing. 52(2), p.11-27.
Ekelund,R.B., dan Robert F.Hebert, 1997. A History of Economic Theory and
Method. McGraw-Hill Companies.Inc. New York.
Ervil,R., P.Suwignjo dan A.Rusdiansyah, 2010. Pengembangan Model
Pengukuran Kinerja Supply Chain Berbasis Balanced Scorcard: Studi
Kasus di PT Semen Padang. Jurusan Teknologi Industri, ITS.
Surabaya.
Ferdinand,A., 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian
Manajemen. BP Undip. Semarang.
Ferrianta,Y., 2011. Dampak Liberalisasi Perdagangan ASEAN – China Free
Trade Area (ACFTA) Terhadap Kinerja Ekonomi Jagung di Indonesia.
Program Pascasarjana Fakultas Pertanian UB. Malang.
Ghozali,I., 2011. Structural Equation Modeling: Metode Alternatif dengan Partial
Least Square - PLS. Badan Penerbit Undip. Semarang.
Goldsmith, P.,2001. Innovation, Supply Chain Control and the Welfare of
Farmers: The Economics of Genetically Modified Seeds. American
Behavioral Scientist. Vol.44 No. 8. April 2001. P.1302-1326.
Guangyin,X., Z.Xianyang dan QU Jianhua, 2010. Study on Index System of
Supply Chain Performance Appraisal. Agricultural University.
Zhenzhou.p.567-573
Hadi, S., 1988. Statistika 2. Andi Offset. Yogyakarta.
Hadijah, A.D., 2009. Identifikasi Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di
NTB. Proseding Seminar Nasional Serealia. ISBN, 978-979-8940-27-9.
Hamid,H., 2011. Hubungan Antara Praktik Rantai Pasok, Rantai Permintaan,
Keunggulan Kompetitif dan Kinerja Perusahaan ; Studi Pada
Perusahaan-perusahaan Konstruksi di Kota Tarakan kalimantan Timur.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hamidi,H., 2008. Keterkaitan Antar Pelaku dan Dampak Kemitraan Dalam
Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hamzah,H., 2011. Pemasaran Korelasian Pelanggan dan Kolaborasi Pemasok
Dalam Rangka Meningkatkan Sumberdaya Perusahaan Serta
Implikasinya Terhadap Keunggulan Bersaing dan Kinerja Pemasaran;
Sitau Survey pada UKM Komponen Otomotif Logam di Pulau Jawa.
http://repository.unpad.ac.id/handle/123556789/2703.
Hardinis, 2009. Kepuasan dan Loyalitas Konsumen: Makalah Seminar
Manajemen Pemasaran. FE Universitas Mercua Buana. Jakarta.
245

Hartono,R. dan A.W.Muhaimin, 2009. Analisis Rantai Pasokan Emping Melinjo:


Studi Kasus pada Agroindustri Emping Melinjo di Desa Pojok, Ngantru,
Tulungagung. Jawa Timur. Agritek Vo.17 No.5. p.865-873
Hasbi, 2001. Rekayasa sistem kemitraan usaha pola mini pada agroindustri
kelapa sawit. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mathuramaytha, C., 2011. Supply Chain Collaboration – What’s an outcome ?:
A Theoretical Model. International Conference on Financial
Management and Economics. IPEDR Vol.11.@2011 IACSIT Press.
Singapore,
Hagedorn, L.A., Irwin, S.H. and Good,D.L., 2004. The Marketing Performance
of Illinois Corn and Soybean Producers. Paper presented at the NCR-
34 Conference on Applied Commodity Price Analysis, Forecasting, and
Market Risk Management St. Louis, Missouri, April 19-20, 2004
Heyman, C. and Saosaovaphak,a., 2012. Risk Analysis of Supply Chain of
Corn Seed Production Business in the Republic of the Union of
Myanmar Proceedings- Sufficiency Economy and Community
Enterprise-005 4th International Conference on Humanities and Social
Sciences April 21st , 2012 Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkla
University
Hedratman,D., 2009. Analisis Pengaruh Kualitas Hubungan Bisnis dengan
Outlet dan Strategi Pelayanan Outlet Terhadap Kinerja Penjualan dalam
Meningkatkan Loyalitas Outlet: Studi Kasus PT Indosat Semarang.
Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.
Hervani,A.A., M.M.Helms dan J.Sarki, 2005. Performance Measurement for
Green Supply Chain Management. Benchmark. International Journal
12, p.330-353.
Hetharia,D., 2012. Rancangbangun Model Penyediaan Tepung Jagung Pada
Rantai Pasok Industri Berbasis Jagung. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Huang,G.G., J.S.K. Lau dan K.L.Mak, 2003. The Impact of Sharing Production
Information on Supply Chain Dynamics. A Review of Literature.
International Journal of Production Research 41, p.1483.1517.
Irmawati, 2007. Pengaruh Manajemen Rantai Pasokan terhadap Kinerja di
PTPN VIII Gunung Mas Bogor. Departemen Manajemen. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Immelt,J.R., 2012. General Electric Matrix.Life123.com.:
Imran, A. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal
Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Israel, G.D., 2013. Determining Sample Size. Agricultural Education and
Communication Department, University of Florida /IFAS Extension.
Original Publication Date November 1992. Revised April 2009.
Reviewed June 2013.
Jackson, J.C. dan A.P.Cheater, 1994. Contract Farming in Zimbabwe: Case
Studies of Sugar, Tea, and Cotton. Dalam Little, P.D. and M.J. Watts
(eds). Libing Under Contract. Madison,WI: Univesity of Wilconsin Press.
246

Jamess E.. Baartt, J.E. Joe W.. Kottrlliikk, and C. C. Hiiggiinss, 2001.
Organizational Research: Determining: Appropriate Sample Size in
Survey Research. Information Technology, Learning, and Performance
Journal, Vol. 19, No. 1, Spring
Jarrar, Y.F. and Aspinwall, E.M., 1999. Integrating total quality management
and business process re-engineering: is it enough ?. Total Quality
Management Journal. VOL. 10, NOS 4&5, 1999, S584± S593
Jogiyanto, 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasis
Varian Dalam Penelitian Bisnis. UPP STMIK YKPN. Yogyakarta.
Just,R.E., D.L. Hueth dan A.Schmitz, 2004. The Welfare Economics of Public
Policy. Edward Elgar. Northamton. USA.
Kamalabadi,N. A.Bayat, A.Ebrahimi dan M.S.Kahreh, 2008. Presentation a New
Algorithm for Performance Measurement of Supply Chain by using
FMADM Approach. World Aopplied Sciences Journal 5(5): ISSN 1818-
4952. p.582-589
Kamaludin,A., A.Budiman dan A.Y.Widiastuti, 2010. Pengaruh Motivasi,
Koordinasi, dan ketepatan Penempatan Pegawai Terhadap Kepuasan
Kinerja Pada Dinas, Badan dan Kantor Di Lingkungan Pemerintahan
Kota Tasikmalaya. Program Magister Manajemen Program Pascasarna
Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Kariyasa, K dan B.M.Sinaga, 2004. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Pasar Jagung di Indonesia.Jurnal Agro Ekonomi Vol.22.No.2.p.167-194.
Khomsan, A., 2009. Garis Kemiskinan Yang Baru. Jakarta 45. Politikan
Konstitusi Pancasila Indonesia. Jakarta.
Knoppen, D., and M.J. Saenz, 2009. Collaboration simulation through supply
chain simulation. Internastional Journal of Procurement Management.
Vol 2 No.4.p.403-414.
Kobayashia,T, Tamakia, M., Komodab, N., 2002. Business process integration
as a solution to the implementation of supply chain management
systems, Journal Information & Management 40 (2003) 769–780,
Koutsoyiannis, A. 1982. Modern Microeconomic. Second Edition. The
Macmillan Press, Ltd. Hongkong.
Kurniawan,F., 2006. Efektivitas Kolaborasi Antara Perum Perhutani dengan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan kasus PHBM di KPH Madiun
dan KPH Nganjuk , Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kustiari, R. dan N. Nuryanti, 2009. Perubahan Tingkat Harga Komoditi Pangan
di Pasar Dunia dan Dampaknya Terhadap Konsumsi dan Harga di
Pasar Domestik. Seminar Dinamika Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan : Tantangan dan Peluang Bagi Kesejahteraan Petani. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen
Pertanian. Bogor.
Lam, JSL., 2013. Benefits and barriers of supply chain integrastion: empirical
analysis of liner shipping. Internasional Journal of Shipping and
Transport Loistics. Vol 5 No.1 p.13-30.
247

Lengnick-Hall, C dan Lengnick-Hall, M. 1990. Interactive Human Resources


Management and Strategic Planning, Quorum Books, Westport, CT.
Lin,C., T.H.Chiu dan Y.H. Tseng, 2006. Agility Evaluation Using Fuzzy Logic.
Internatinal Journal of Production Economics 1 p.353-368.
Lipton and Moore, 1980. Metodologi Studi Pedesaan di Negara-negara
Berkembang. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.
Majeed, S., 2011. The Impact of Competitiva Advantage on Organizational
Performance. European Journal of Business and Management.Vol.3
No.4. International Institute Studies Technplogy and Education. p.191-
196
Mangiaracina, R., M.Melacini, and A.Perego, 2012. A Critical Analysis of
Vendor Management Inventory in The Grocery Supply Chain.
International Journal Integrated Supply Chain Management. Vol.7 Nos
1/2/3/p.
Manzoni, A. and S.M.N.Islam, 2007. Measuring collaboration effectiveness in
globalised supply networks : a data envelopment analysis application.
International Journal of Logistics Economics and Globalisation. Vol 1
No.1 p.77-91.
McQuitty, F.W., 2000. Systematically Varying Consumer Satisfaction and its
Implications for Product Choice Academy of Marketing Science Review
Volume 2000 No. 10 Available: http://www.amsreview.org/articles/
mcquitty10-2000.pdf Copyright © 2000 – Academy of Marketing
Science.
Mardhiyyah,N., 2008. Kinerja Penyampaian Suku Cadang PT Toyota-Astra
Motor Dengan Model Supply Chain Operations Reference. Departemem
Manajemen Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Marqui, A.C., K.S.De Moura, R.L.C. Alcantara, 2013. Colaborative Supply
Chain : a conceptual model for operationalisation. Internasional Journal
of Management and Decision Making. Vo. 12 No.3 p.195-214.
Mason, N.M., dan R.J.Myers, 2013. The Efects of The Food Reserve Agency
on Maize Market Prioce in Zambia. Agricultiral Economics The Journal
of the International Association of Agricultural Economists.. Vol 44 Issue
2.p.203-216.
Mathuramaytha, C. 2011. Supply Chain Collaboration – What’s an outcome ? :
A Theoreties Model. International Conference on Financial Management
and Economics. IPEDR. Vol.11 @2011. IACSIT Press.Singapore.
p.102-108.
Mghenyi, E.W., 2006. Wefare Effects of Maize Pricing Policy on Rural
Households in Kenya. Michigan State in University. Departement of
Agricultural Economics.
Mghenyi, E., R.J.Myers and T.S. Jayne, 2010. The Efects of a Large Discreate
Maize Proce Increase on the Distribution of Household Welfare and
Poverty in Rural Kenya. Agricultiral Economics The Journal of the
International Association of Agricultural Economists.. Vol 42 Issue 3.
P.343-356.
248

Mentzer, J., DeWitt, W., Keebler, J., Min, S., Nix, N., Smith, C. and Zacharia, Z.,
2001. “Defining supply chain management”, Journal of Business
Logistics, Vol. 22, no. 2, pp. 1-24.
Nazir, Moh., 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nugraha,A., 2001. Doversifikasi Pangan Pokok di Indonesia: Penerapan Model
AIDS untuk Permintaan Pangan.Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugroho,H.A., 2005. Analisis Kinerja Rantai pasokan dengan Pendekatan
Inventory dan Peranannya Terhadap Keunggulan Kompetitif : Studi
Kasus di PT Capsugel Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurhasanah, 2012. Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Hibdrida
Pendekatan Stochastic Production Frontier di Desa Sukolilo Kecamatan
Wajak Kabupaten Malang. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Ogunsumi, L.O., S.O. Ewuola, and A.G.Daramola, 2005. Socio Economic
Impact Assessment of Maize Production Technology on Farmers’
Welfare in Southwest – Nigeria. Journal Central European Agriculture.
Vol 6 (2005) p.15-26.
Ong, J.W. and Ismail, 2012. Competitive Advantage and Firm Performance :
Evidence from small and medium enterprises. International Journal of
Bsiness and Globalisation. Vol 9 No.2 p.195-206.
Parel,C.P.P., P.L. Ferrer, G.C. Caldito, 1973. Sampling Design and Procedures.
The Agricultural Development Council. New York.
Pawisari, 2011. Sistem Manajemen Mutu Pada Rantai Pasok Komoditi Jagung.
Manajemen dan Bisnis -Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pemda NTB, 2009. Grand Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung. Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Bappeda Provinsi NTB. Mataram.
Pemda NTB, 2011. Evaluasi Program Pijar Nusa Tenggara Barat. Bappeda
Provinsi NTB. Mataram.
Permana,H.P.P., 2011. Analisis Pengadaan Bahan Baku Sebagai Bagian Dari
Internal Supply Chain Management PT Hadinata Brother. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pindyck, R.S. and D.L.Rubinfield, 1991. Econometric Modells and Economic
Forecast. Third Edition.McGraw-Hill International Edition. Singapore.
Porter, M.E., 1998. Competitive Strategy: Techniques For Analysis Industries
and Competitors With A New Intruduction. The Free Press. New York.
Prasetya, GLH., 2008. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Aliansi
Stratejik Untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Program Magister
Manajemen. Universitas Diponegoro. Semarang.
Prihatiningsih,N., 2007. Analisis Efisiensi Rantai Rasokan Komoditi Bawang
Merah: Studi Kasus di Kota Madya Bogor. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pujawan, I.Y.,2005. Supply Chain Management. Edisi I.Guna Widya. Surabaya.
Puspita,K.T., 2007. Perancangan Balanced Scorcard Sebagai Instrumen
Pengukuran Kinerja pada PT Unitek,Tbk. Departemen manajemen.
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Instutut Pertanian Bogor. Bogor.
249

Putra A.C. Y.G.Bulu, S.Hastuti, K.Puspadi dan A.Hipi, 2005. Efisiensi


Pemasaran Jagung di Pulau Lombok NTB. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Putra A.,C., 2006. Kinerja Ekonomi Usahatani dan Pemasaran Jagung di Desa
Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu NTB. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) NTB. Narmada.
Putra,I N.N.A., 2012. Persfektif Teori Keagenan Dengan Struktur Kepemilikan
Manajemen Pada Lembaga Keuangan Mikro (Studi pada BPR di NTB).
PDIM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Malang.
Rahman,F.A., 2011. Rumput Laut : Mengejar Ketertinggalan (Kritik Terhadap
Program Pijar). http://lombok-seaweed.blogspot.com/ 2011/05/lombok-
seaweed-rumput-laut-mengejar.html.
Rajkumar, P., 2013. Service quality measurement of the public distribution
system in food grains supply chain. International Journal of Business
Performance and Supply Chain Modelling. Vo. 5 No.2 p.131-147.
Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis :
Reorientasi Konsep Perencanan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Riyanto,B., 1999. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan Edisi 4. BPFE
Yogyakarta.
Roekel, JV., S.Williem and D.M. Boselie, 2002. Agri-Supply Chain
Management: To Stimulate Cross-Border Trade in Developing
Countries and Emerging Economies. Agri Chain Competence center
and Agricultural Economics Research Institute.
Sachan, A., B.S. Sahay, R.Mohan, 2006. Assessing benefits of supply chain
integraition using system dynamics methodology. Internatinal Journal of
Servicess Technology and Management. Vol 7 No.5/6.
Sadikin,I., 1999. Analisis Daya Saing Komoditi Jagung dan dampak Kebijakan
Pemerintah Terhadap Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat Pasca
Krisis Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Litbang Deptan RI. Bogor
Salmela, E., A.Happonen and J.Huiskonen, 2011. Best collaboration
practices in supply chain of technical wholesale items. International
Journal of Collaborative Enterprise. Vol 2 No.1 p.16-38.
Sanglestsawai,S., Rejesus, R.M. and Yorobe, J.M., 2012. Production Risk,
Farmer Welfare, and Bt Corn in the Philippines. Selected Paper
prepared for presentation at the Agricultural and Applied Economics
Association 2012 AAEA Annual Meeting, Seattle, WA. August 12-14,
2012
Sari, P.N., 2012 Analisis Network Supply Chain dan Pengendalian Persediaan
Beras Organik (Studi Kasus : Rantai Pasok Tani Sejahtera Farm, Kab.
Bogor). Instutut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso.W., ? . Pengukuran Kinerja Supply Chain dengan Metode SCOR.
http://wahyusantoso,staff.umm.ac.id/Ilmu Rekayasa Industri.
Saodulet, E., 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns
Hopkins Univercity Baltimore and London.
250

Sayaka, B., 2005. Marketing Conduct of The Corn Seed Producers :


Multinational versus Local Companies. Jurnal Agroekonomi.Vol. 23
No.2 Oktober 2005. p.101-135.
Sekaran,U. dan R.Bougie, 2010. Research Methods for Business: A Skill
Building Approach. Fifth Edition. A John Wiley and Sons Ltd Publication.
Chichester.
Semaoen,I. dan S.M.Kiptiyah, 2011. Mikro Ekonomi. UB Press. Malang.
Setiawan, N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan
Tabel Krejcie-Morgan: Telaah Konsep dan Aplikasi. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung.
Setiawan dan D.E.Kusrini, 2010. Ekonometrika. Andi. Yogyakarta.
Shaban, N., 2005. Analisis of Correlation and Regression Coefficient of
Integration Between Yielad and Some Parameters of Snap Beans
Plants. Trakia Journal of Sciences, Vol. 3, No. 6, p. 27-31.
Shafiee, M. dan N. Shams e-alam, 2011. Supply Chains Performance
Evaluation With Rough Data Envelopment Analysis: Case Study Food
Industry (Ramak Co.) International Conference on Business and
Economics Research 2010. IACSIT. Kuala Lumpur.
Sidarto, 2009. Konsep Pengukuran Kinerja SCM pada Sistem Manufaktur
Dengan Model Performance of Aktivity (POA) dan Supply Chain
Operations Reference (SCOR), Jurnal Teknologi Institut Akprind,
Volume 1. Number 1.
Siegel.,S., 1986. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Gramedia.
Jakarta.
Silalahi,M., 2007. Analisis Pengaruh Kualitas Layanan Dalam Kaitannya
Dengan Loyalitas Pasien Rawat Inap di RSI Malahayati. Medan.
Simanjuntak,S.P.H., 2006. Analisis Pengaruh Kualitas Kemitrakerjaan
Terhadap Kinerja Pemasaran : Studi Pada Perusahaan Mitra Kerja PT
Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit (UBP) Semarang di Kota
Semarang. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sinaga, B.M., 1989. Economtric Model of The Indonesia Hardwood Products
Industry : A Policy Simulation Analysis. Ph.D. Dissertation. University if
The Philippines. Los Banos.
Sinjal,D., 2009. Kemitraan Jagung Berkelanjutan. Jurnal Agrina.
Sinungan, M., 2000. Manajemen Dana Bank. Bumi Aksara. Jakarta.
Sjah,T., 2011. Peluang Peningkatan Produksi Jagung di Nusa Tenggara Barat.
Agroteksos: Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian. Volume 21.Nomor 2-3.ISSN
0852-8286.p.158-164.
Smale, M., M.R. Bellon, J.A.Aguirre, I.M.Rosas, J.Mendoza, A.M.Solabo,
R.Martinez, A. Ramirez, and J.Berthaud, 2005. The economic costs and
benfits of a participatory project to conserve maize landraces on farms
in Oaxaca, Mexico. Agricultiral Economics The Journal of the
International Association of Agricultural Economists.. Vol 29. Issue 3
p.265-275.
251

Solimun, 2010. Analisis Multivariat Pemodelan Struktural: Metode Partial Least


Square-PLS. CV Citra Malang. Malang.
Spekman, R.E., J.W. Kamauff Jr. dan N.Myhr, 2001. An Emprirical Investigation
into Supply Chain Management: A Perspektive on Partnerships.
International Journal of Physical Distribution and Logistics Management,
28(8).
Stadtler,H., 2005. Supply chain management and advanced planning––basics,
overview and challenges. European Journal of Operational Research
163 (2005) 575–588.
Suharjito, Machfud, B.Haryanto dan Sukardi, 2010. Optimalisasi Penentuan
Jadwal Tanam Jagung dengan Menggunakan Integrasi Model Resiko
Rantai Pasok. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 20(1) p.48-56.
Suharjito, 2011. Pemodelan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan
Cerdas Manajemen Resiko Rantai Pasok Produk/Komoditi Jagung.
Sekolah Pascasarajana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suhendi, A. 2009. Keuntungan Kompetitif Melalui Strategi Kompensasi
Sumberdaya Manusia dan Orientasi Pasar: Studi Kasus Pada PT
Indosat, Tbk. Program Studi Magister Manajemen. Pascasarjana.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Sun, D., H.Qiu, J.Bai, H.Liu, G.Lin, S.Rozelle, 2013. Liquidity Constraints and
Postharvest Selling Behavior: Evidence from China’s Maize Farmers.
The Developing Economies Journal. Vol 51 Issue 3.p.260-277.
Sunarti, E., dan Khomsan, A. ( ? )Kesejahteraan Keluarga Petani: Mengapa
Sulit Diwujudkan ?. Institut Pertanian Bobor (IPB). Bogor.
Suri, T., 2011. Selection and Comparative Advantage in Technology
Adoption.Journal Econometrica. Vol 79 Issue 1 p.159-209.
Suryabrata, S., 1983. Metode Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta.
Syaifullah, 2010. Pengenalan Metode AHP (Analitical Hierarchy Process).
Wordpress.com
Tanaya,I.G.L.P., M.McGregor dan P.Batt, 2002. Buyer-Seller Relationships in
Dryland Farming Supply Chains in Lombok Indonesia, 1Muresk Institut
Pertanian, Curtin University of Technology, Australia, 2Fakultas
Pertanian, Universitas Mataram, Indonesia
Tanaya,I.G.L.P., 2010. Inclusion Small-Scale Farmers in Supply Chain
Management: Empirical Evidence from Dryland Farmers in Lombok.
Department of Agribusiness – University of Mataram
Thomas,D.J. dan P.M.Grifin, 1996. Coordinated Supply Chain Management.
European Jurnal of Operation Research. Vol.94. No.1 pp.1-15.
Tunggal,A.W. 2011. Dasar-dasar Intergrated Supply Chain Management.
Harvarindo. Jakarta.
Utomo,D., 2011. Strategi Supply Chain Management pada Proses Produksi dan
Saluran Distribusi terhadap Agroindustri Mangga mangifera indica di
Kabupaten Probolinggo. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Vredenbregt,J., 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia.
Jakarta.
252

Vuuren, T, Lambard, M.R., and Tonder, E., 2012. Customer satisfaction, trust
and commitment. the Department of Marketing Management, University
Johannesburg.Southern African Business Review.Volume 16 Number.3..
Walter,A., Mueller, Thilo A., Helfert, G., 2008. The Impact of Satisfaction, Trust,
and Relationship Value on Commitment: Theoretical Considerations
and Empirical Results. Organizacija, Volume 41. Number 5, September-
October 2008.
Warning,M. dan N.Key, 2002. The Social Performance and Distributional of
Consequences of Contract Farming: An Equilibriym Analysis of
Arachide de Bouche Program and Sinegal, Word Development
30(2).255-63.
Wenno, D., 2010. Analisis Pendapatan Petani Jagung Peserta Program
Agribisnis Pedesaan di Kabupaten Nabire. Journal Agroforestry. Vol.V
No. 2 Juni 2010. p.156-164.
Whang,S. dan Cheung,W., 2004. E-Business Adoption by Travel Agencies :
Prime candidates for Mobile e-Business. International Journal of
Electronic Comerce. Vol.8 (3) pp.43-63.
Widodo,K.H., K.Pramudya, A.Abdullah dan N.Pujawan, 2011. Supply Chain
Management Agroindustri yang Berkelanjutan. Lubuk Agung. Bandung.
Wilson,D.T., 1995. An Integrated Model of Buyer-Seller Relationships. Journal
of The Academy of Marketing Science, 23(4) p.335-346.
Winter, P., Phil Simmons, dan I.Patrick, 2005. Evaluation of a Hybrid Seed.
Contract between Smalholders and Multinasional Company in East
Java-Indonesia. The Journal of Development Studies, 41.p.62-89.
Yahya,M. dan Y.Agunggunanto, 2011, Teori Bagi Hasil dan Perbankan Syariah
Dalam Ekonomi Syariah.
Yamin, S. dan H.Kurniawan, 2009. Structural Equation Modeling: Belajar Lebih
Mudah Teknik Analisis Data Kuesioner dengan Kisrel – PLS. S lemba
Infotek. Jakarta.
Yacoub, Amak M., 2012. Pengaruh Mediasi Kepercayaan pada Hubungan
Antara Kolaborasi Supply Chain dan Kinerja Operasi. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan.Vol.14 No.2 September 2012. p.138-
146.
Yusuf,P., 2009. Hubungan Kualitas Pelayanan Dengan Kepuasan Pengusaha
di Kawasan Berikat Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Tipe A2 Tangerang. FISIP Universitas Indonesia. Jakarta.
Zhao, Y., 2012. A Study of Strategic Orientation and Products. International
Journal of Quality and Innovation. Vol.2 No.1 Inderscience Enterprises
Ltd. p.44-60
Zulganef, 2008. Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai