Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Skizofrenia
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja
halusinasi dan waham. Pasien dengan skizofrenia mempunyai gejala salah satunya
adalah halusinasi akibat cemas berkepanjangan yang tidak mampu dihadapi pasien
menggunakan mekanisme koping dalam diri pasien (Townsend, 2011).
Skizofrenia sering disamakan dengan psikosis, padahal keduanya berbeda.
Psikosis hanya salah satu gejala dari beberapa gangguan mental, di antaranya
skizofrenia. Berdasarkan WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh
dunia menderita skizofrenia. Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih
tinggi mengalami kematian di usia muda. Di samping itu, setengah penderita
skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental lain, seperti
penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan. Menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2013, diperkirakan 1-2 orang tiap 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan
jiwa berat, termasuk skizofrenia, dan hampir 15 persen penderitanya mengalami
pemasungan (Willy, 2018)
Skizofrenia adalah penyakit mental kronis yang menyebabkan gangguan
proses berpikir. Orang dengan skizofrenia tidak bisa membedakan mana
khayalan dan kenyataan. Itu sebabnya masyarakat Indonesia sering menyebut
skizofrenia dengan “gila”. Penyakit ini juga menyebabkan pengidapnya tidak
memiliki kemampuan untuk berpikir, mengingat, ataupun memahami masalah
tertentu. Skizofrenia paranoid merupakan jenis skizofrenia yang paling sering
ditemukan di tengah masyarakat. Gejala paling khas dari skizofrenia paranoid
adalah delusi (waham) dan halusinasi. Itulah sebabnya, orang dengan skizofrenia
paranoid cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat
sesuatu yang tidak nyata. Tidak hanya itu, orang yang memiliki skizofrenia
paranoid juga sering menunjukkan perilaku kacau yang menyebabkan diri mereka
tidak dapat mengendalikan perilakunya. Akibatnya, pengidap skizofrenia paranoid
sering berperilaku tidak pantas, sulit mengendalikan emosi, hasrat, serta
keinginannya. Secara umum, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kronis yang

5
membutuhkan pengobatan berkepanjangan untuk meringankan gejalanya (Swari,
2018).
2. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Gejala awal skizofrenia umumnya muncul di masa remaja. Oleh karena itu,
gejala awal ini sering disalahartikan, karena dinilai wajar terjadi pada masa
remaja. Pada pria, gejala awal muncul di usia 15-30 tahun. Sedangkan pada
wanita, gejala biasanya menyerang kelompok usia 25-30 tahun. Sejumlah gejala
awal skizofrenia, yaitu: cenderung mengasingkan diri dari orang lain, mudah
marah dan depresi, perubahan pola tidur, kurang konsentrasi dan motivasi an
kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah.
Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif.
Gejala positif mengacu pada perilaku yang tidak tampak pada individu yang sehat,
meliputi:
a. Halusinasi. Halunasi adalah perasaan mengalami sesuatu yang terasa nyata,
namun sebenarnya perasaan itu hanya ada di pikiran penderitanya. Misalnya,
merasa mendengar sesuatu, padahal orang lain tidak mendengar apapun.

b. Delusi. Delusi atau waham adalah meyakini sesuatu yang bertolak belakang
dengan kenyataan. Gejalanya beragam, mulai dari merasa diawasi, diikuti,
bahkan sedang Sebagian besar penderita skizofrenia mengalami gejala ini.
c. Kacau dalam berpikir dan berbicara. Gejala ini dapat diketahui dari kesulitan
penderita dalam berbicara. Penderita skizofrenia sulit berkonsentrasi, bahkan
membaca koran atau menonton televisi saja sangat kesulitan. Caranya
berkomunikasi juga membingungkan, sehingga sulit dimengerti oleh lawan
bicaranya.
d. Perilaku kacau. Perilaku penderita skizofrenia sulit diprediksi. Bahkan cara
berpakaiannya juga tidak biasa. Secara tidak terduga, penderita dapat tiba-tiba
berteriak dan marah tanpa alasan.

Gejala negatif mengacu pada hilangnya minat yang sebelumnya dimiliki oleh
penderita. Gejala negatif dapat berlangsung beberapa tahun, sebelum penderita
mengalami gejala awal. Seringkali, hubungan penderita dan keluarga rusak akibat
gejala negatif. Hal ini karena gejala negatif seringkali disalahartikan sebagai sikap

6
malas atau tidak sopan. Gejala negatif umumnya muncul bertahap dan memburuk
seiring waktu, di antaranya adalah:
a. Respons emosional yang ganjil, seperti ekspresi wajah dan nada bicara yang
tidak berubah (monoton).
b. Sulit untuk merasa senang atau puas.
c. Enggan bersosialisasi dan lebih memilih berdiam di rumah.
d. Kehilangan minat dan motivasi pada berbagai aktivitas, seperti menjalin
hubungan atau berhubungan seks.
e. Pola tidur yang berubah.
f. Tidak nyaman berada dekat orang lain, dan tidak mau memulai percakapan.
g. Tidak peduli pada penampilan dan kebersihan diri (Willy, 2018).
3. Faktor Skizofrenia
Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan skizofrenia. Namun
demikian, skizofrenia dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko, seperti:
a. Faktor genetik
Seseorang dari keluarga penderita skizofrenia, 10% lebih berisiko
mengalami kondisi yang sama. Risiko akan menjadi 40% lebih besar bila
kedua orang tua sama-sama menderita skizofrenia. Pada orang yang memiliki
saudara kembar dengan skizofrenia, risiko meningkat hingga 50%.
b. Faktor kimia otak
Penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan kadar dopamin dan
serotonin berisiko menimbulkan skizofrenia. Dopamin dan serotonin adalah
bagian dari neurotransmitter, zat kimia yang berfungsi mengirim sinyal antar
sel-sel otak. Telah diketahui juga, terdapat perbedaan struktur dan fungsi otak
pada penderita skizofrenia. Sejumlah perbedaan tersebut, antara lain:
1) Koneksi antar sel-sel otak yang lebih sedikit.
2) Ukuran lobus temporalis yang lebih kecil. Lobus temporalis adalah bagian
otak yang terkait dengan ingatan.
3) Ukuran ventrikel otak yang lebih besar. Ventrikel adalah bagian di dalam
otak yang berisi cairan.

c. Komplikasi kehamilan dan persalinn


Sejumlah kondisi yang terjadi pada masa kehamilan diduga berisiko
menyebabkan skizofrenia pada anak yang dilahirkan. Di antaranya adalah

7
kekurangan nutrisi, paparan racun dan virus, preeklamsia, diabetes, serta
perdarahan dalam masa kehamilan. Komplikasi saat persalinan, juga berisiko
menyebabkan skizofrenia pada anak. Misalnya kekurangan oksigen saat
dilahirkan (asfiksia), berat badan lahir rendah, dan lahir prematur.Beberapa
faktor risiko lainnya adalah:
1) Peningkatan sistem kekebalan tubuh akibat penyakit autoimun dan
peradangan.
2) Cedera otak akibat jatuh atau kecelakaan, termasuk yang terjadi di masa
kecil.
3) Infeksi virus, terutama virus influenza dan polio.

Selain sejumlah faktor risiko di atas, ada yang disebut faktor pemicu
skizofrenia. Pada orang dengan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, stres
merupakan faktor psikologis paling utama yang dapat memicu timbulnya
skizofrenia. Stres bisa terjadi karena perceraian, kehilangan pekerjaan atau tempat
tinggal, dan ditinggal orang yang dicintai. Pelecehan seksual, atau kekerasan fisik
dan emosional juga dapat menyebabkan stres. Penyalahgunaan NAPZA, seperti
kokain, ganja dan amfetamin, juga dapat memicu skizofrenia pada orang dengan
faktor risiko di atas. Penelitian menunjukkan, pecandu ganja berisiko empat kali
lipat lebih tinggi untuk mengalami skizofrenia (Willy, 2018).
4. Diagnosis
Untuk mendiagnosis skizofrenia, digunakan sejumlah kriteria berikut:
a. Pasien mengalami minimal dua dari sejumlah gejala berikut: Delusi atau
waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku kacau, atau gejala negatif.
Setidaknya satu dari dua gejala yang harus ada adalah delusi, halusinasi, dan
kacau dalam berbicara.
b. Gejala di atas harus dialami pasien, setidaknya selama 6 bulan. Dan juga,
pekerjaan serta kehidupan sosialnya terganggu.
c. Gejala di atas bukan disebabkan oleh kondisi gangguan mental lain,
seperti gangguan bipolar, atau penyalahgunaan NAPZA.

Selain itu, beberapa pemeriksaan yang umum yang perlu dilakukan dokter
untuk mendiagnosis skizofrenia adalah:

8
a. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu memastikan
ada tidaknya masalah lain yang dapat menyebabkan gejala.
b. Pemeriksaan darah lengkap. Tes ini dilakukan untuk memastikan jika gejala
yang ditimbulkan pasien bukan karena pengaruh alkohol, obat-obatan tertentu,
ataupun kondisi medis lainnya.
c. Dokter juga mungkin akan meminta tes gambar, seperti MRI atau CT scan
untuk melihat ada tidaknya kelainan pada struktur otak dan sistem saraf pusat
pasien.
d. Evaluasi kejiwaan. Dokter atau ahli kesehatan mental akan memeriksa status
mental pasien dengan mengamati penampilan, pikiran, suasana hati, serta
diskusi tentang keluarga atau pengalaman pribadi pasien.
5. Komplikasi Skizofrenia
Skizofrenia yang dibiarkan tidak tertangani, dapat memicu sejumlah
komplikasi serius, seperti:
a. Berpikir dan mencoba untuk bunuh diri.
b. Depresi.
c. Fobia.
d. Melukai diri sendiri.
e. Penyalahgunaan NAPZA dan kecanduan alkohol.
f. Perilaku agresif dan gaduh gelisah.

Penderita skizofrenia juga dapat bermasalah dalam hubungan dengan keluarga


dan lingkungan sekitar, sehingga memilih untuk mengisolasi diri. Di samping itu,
gejala yang dialami dapat membuat penderita kesulitan untuk bekerja, sehingga
berakibat buruk pada kondisi keuangannya.

6. Pengobatan
Sampai saat ini, belum ada obat untuk menangani sizofrenia. Metode
pengobatan yang dilakukan hanya sebatas mengendalikan dan mengurangi gejala
pada pasien.
a. Obat-obatan
Untuk menangani halusinasi dan delusi, dokter akan meresepkan
obat antipsikotik dalam dosis seminimal mungkin. Antipsikotik bekerja dengan
menghambat efek dopamin dan serotonin dalam otak. Pasien harus tetap

9
mengonsumsi antispikotik untuk seumur hidupnya, meskipun gejala yang dialami
sudah membaik.
Obat antipsikotik dapat diberikan dalam bentuk tablet atau suntik. Bentuk obat
yang diberikan tergantung pada kemauan pasien untuk diobati. Pada pasien yang
mudah diatur, dokter akan memberikan antipsikotik bentuk tablet. Tetapi pada
pasien yang sulit diberikan tablet antipsikotik, dokter akan memberikan
antipsikotik jenis suntik. Beberapa efek samping obat antipsikotik yang dapat
muncul:
1) Berat badan bertambah

2) Gairah seks menurun


3) Kejang
4) Mulut kering
5) Penglihatan kabur
6) Pusing
7) Tremor

Antipsikotik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antipsikotik generasi pertama


(Tipikal) dan generasi kedua (Atipikal). Antipsikotik generasi kedua umumnya
lebih sering diresepkan dokter karena memiliki risiko efek samping yang lebih
rendah daripadai antipsikotik generasi pertama. Obat skizofrenia antipsikotik
generasi kedua meliputi: Aripiprazole (Abilify), Asenapine (Saphris),
Brexpiprazole (Rexulti), Cariprazine (Vraylar), Clozapine (Clozaril), Iloperidone
(Fanapt), Lurasidone (Latuda), Olanzapine (Zyprexa), Paliperidone (Invega),
Quetiapine (Seroquel), Risperidone (Risperdal), Ziprasidone (Geodon).

Obat antipsikotik generasi pertama memiliki efek samping yang memengaruhi


saraf (neurologis), seperti kejang otot, kedutan, serta gemetar. Meski obat
antipsikotik kedua sering diresepkan karena minim efek samping, antipsikotik
generasi pertama umumnya lebih murah. Terutama pada versi generik, yang dapat
menjadi pertimbangan penting untuk pengobatan jangka panjang. Beberapa obat
skizofrenia antipsikotik generasi pertama meliputi: Chlorpromazine,
Fluphenazine, Haloperidol, Perphenazine

10
Dokter Anda juga mungkin akan meresepkan obat lain, seperti antidepresan
atau obat antikecemasan. Selalu konsultasi ke dokter tentang manfaat dan efek
samping dari obat apapun yang diresepkan untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang serius.

b. Psikoterapi

Psikoterapi untuk penderita skizofrenia bertujuan agar penderita dapat


mengendalikan gejala yang dialaminya. Terapi ini akan dikombinasikan dengan
pemberian obat-obatan. Beberapa metode psikoterapi, antara lain:

1) Terapi individual. Pada terapi ini, psikiater akan mengajarkan keluarga dan
teman pasien bagaimana berinteraksi dengan pasien. Di antara caranya adalah
dengan memahami pola pikir dan perilaku pasien.
2) Terapi perilaku kognitif. Terapi ini bertujuan mengubah perilaku dan pola
pikir pasien. Kombinasi terapi perilaku kognitif dan obat-obatan, akan
membantu pasien memahami pemicu halusinasi dan delusi, serta mengajarkan
pasien cara mengatasinya.
3) Terapi remediasi kognitif. Terapi ini mengajarkan pasien cara memahami
lingkungan sosial, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
memperhatikan atau mengingat sesuatu, dan mengendalikan pola pikirnya.

c. Terapi elektrokonvulsif

Terapi elektrokonvulsif merupakan metode yang paling efektif, untuk


meredakan keinginan bunuh diri, mengatasi gejala depresi berat, dan menangani
psikosis. Terapi dilakukan 2-3 kali sepekan, selama 2-4 minggu, dan dapat
dikombinasikan dengan psikoterapi dan pemberian obat.

Dalam terapi ini, pasien akan diberikan bius umum, dan obat untuk membuat
otot pasien lebih rileks. Kemudian, dokter akan memasang elektroda di ubun-
ubun pasien. Arus listrik rendah akan mengalir melalui elektroda, dan memicu
kejang singkat di otak pasien.

11
d. Terapi kognitif

Penyakit kejiwaan sering terjadi karena pasien memiliki konsep pemikiran


yang dibangun bukan berdasarkan logika, dalam jangka waktu yang lama. Dokter
akan menyarankan terapi kognitif untuk membantu pasien menemukan kebiasaan
alam bawah sadar yang menyebabkan penyakit ini.

Kemudian, akan dilakukan terapi perilaku dan pelatihan secara


psikologis untuk memperbaiki cara berpikir yang salah tersebut. Saat pemikiran-
pemikiran negatif tersebut berkurang dan kognitif Anda kembali normal
(kemampuan mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah),
tandanya gejala telah berhasil diatasi.

Dokter Anda mungkin akan memberi resep antineurotik harian untuk


mencegah gejala seperti delusi dan paranoid. Tambahannya, dokter Anda
mungkin akan menggunakan pengobatan psiko-sosial untuk para pasien.
Pengobatan psikososial adalah terapi konseling yang mendukung kegiatan sehari-
hari dan juga aktivitas-aktivitas komunitas.

B. Terapi Elektro Konvulsi


1. Definisi ECT
Terapi elektro konvulsi (TEK) didefinisikan sebagai suatu tindakan terapi untuk
episode depresi berat, mania dan beberapa jenis skizofrenia yang parah dengan
menggunakan aliran listrik singkat dalam jumlah terkendali untuk menghasilkan
kejang. Aktivitas kejang ini diyakini membawa perubahan biokimia tertentu yang
dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala (Mankad, 2010).
Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien
gangguan jiwa, menggunakan aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang
umum, berlangsung sekitar 25–150 detik dengan menggunakan alat khusus yang
dirancang aman untuk pasien. Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada
otak melalui dua elektroda dan ditempatkan pada bagian temporal kepala (pelipis kiri
dan kanan) dengan kekuatan aliran terapeutik untuk menimbulkan kejang. Kejang
yang timbul mirip dengan kejang epileptik tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya
yang memegang peran penting bukanlah kejang yang ditampilkan secara motorik,

12
melainkan respons bangkitan listriknya di otak yang menyebabkan terjadinya
perubahan faali dan biokimia otak ().
2. Indikasi pemberian ECT
Indikasi pemberian terapi ini adalah sebagai berikut
a. Depresi berat dengan retardasi motorik, waham (somatik dan bersalah, tidak
ada perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, ada ide bunuh diri yang
menetap, serta kehilangan berat badan yang berlebihan).
b. Skizofrenia terutama yang akut, katatonik, atau mempunyai gejala afektif yang
menonjol.
c. Mania. Kontraindikasi pemberian terapi ini antara lain sebagai berikut:
1) Tumor intrakranial, hematoma intrakranial.
2) Infark miokardiak akut.
3) Hipertensi berat.
4) Hipertensi
5) Keadaan umum lemah
6) Kelainan paru-paru berat (Saseno, 2014)
3. Efek samping pemberian terapi ini meliputi hal berikut.
a. Aritmia jantung.
b. Apnea berkepanjangan.
c. Reaksi toksik atau alergi terhadap obat-obatan yang digunakan untuk ECT.
4. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pelaksanaan ECT adalah sebagai
berikut.
Persiapan
a. Kelengkapan surat informed consent.
b. Alat-alat yang diperlukan.
c. Tempat tidur beralas papan.
d. Alat ECT lengkap.
e. Kasa basah untuk lapisan elekroda.
f. Alat untuk mengganjal gigi
g. Tabung oksigen dan perlengkapannya
h. Alat pengisap lendir
i. Alat suntik dan obat-obat untuk persiapan kondisi gawat darurat
5. Tindakan perawat pada tahap persiapan sesuai dengan peran sebagai pelaksanan
dan pendidik.

13
a. Melakukan pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh sebelum diputuskan
untuk melakukan ECT (walaupun tidak ada kontraindikasi).
1) Fungsi vital
2) EKG
3) Rontgen kepala dan rontgen toraks serta rontgen tulang belakang
4) EEG
5) CT scan
6) Pemeriksaan darah dan urine
b. Menjelaskan kepada pasien untuk berpuasa (tidak makan dan minum) minimal
6 jam sebelum ECT.
c. Menjelaskan kepada pasien akan diberikan premedikasi.
d. Mengobservasi keadaan pasien dan menjelaskan tentang ECT agar pasien
tidak cemas.
e. Menanyakan dan menjelaskan kepada pasien untuk tidak memakai gigi palsu,
perhiasan, ikat rambut, ikat pinggang.
f. Tenaga perawat yang akan membantu sebanyak 3–4 orang.
6. Pelaksanaan
a. Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan pakaian longgar.
b. Bantalan gigi dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada rahang bawah.
Perawat yang lain menahan bagian bahu, pinggul, dan lutut secara fleksibel
agar tidak terjadi gerakan yang mungkin menimbulkan dislokasi atau fraktur
akibat terjadinya kejang-kejang.
c. Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan kanan yang telah
dilapisi dengan kasa basah. Sebelumnya dokter/psikiater telah mengatur waktu
dan besarnya aliran listrik yang diberikan.
d. Sesaat setelah aliran listrik diberikan, maka akan terjadi kejang-kejang yang
didahului oleh fase kejang tonik-klonik, serta timbul apnea beberapa saat dan
baru terjadi kembali pernapasan spontan.
e. Saat menunggu pernapasan kembali merupakan saat yang penting. Bila apnea
berlangsung terlalu lama, maka perlu dibantu dengan pemberian oksigen dan
pernapasan buatan atau tindakan lain yang diperlukan.
7. Observasi pasca-ECT
Pada fase ini perawat harus mengobservasi dan mengantisipasi tindakan yang
harus dilakukan karena kesadaran pasien belum pulih walaupun kondisi vital telah

14
berfungsi normal kembali (tetap monitor kondisi vital). Selain itu, harus tetap
berada didamping pasien agar pasien menjadi aman dan nyaman. ECT biasanya
diberikan dalam satu seri yang terdiri atas 6–12 kali (kadang-kadang diperlukan
sampai 20 kali) pemberian dengan dosis 2–3 kali per minggu.

C. Fungsi Kognitif
1. Pengertian Kognitif
Kognitif adalah keyakina seseorang tentang sesuatu yang didaat dari proses
pikir tentang seseorang atau sesuatu.
Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi
pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai,
menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa
diartikan sebagai kecerdasanatau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari
kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains,
serta kecerdasan buatan.
Kepercayaan/ pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat
memengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya memengaruhi perilaku/ tindakan
mereka terhadap sesuatu. mengubah pengetahuan seseorang akan sesuatu
dipercaya dapat mengubah perilaku mereka.
2. Sejarah Kognitif
Istilah kognisi berasal dari bahasa Latin cognoscere yang artinya mengetahui.
Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan.[2] Istilah ini digunakan oleh filsuf
untuk mencari pemahaman terhadap cara manusia berpikir.[3] Karya Plato dan
Aristotle telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan tujuan
filsafat adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman dari manusia itu
sendiri.
Kognisi dipahami sebagai proses mentalkarena kognisi mencermikan
pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak
dapat diukur secara langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat
diamati. Misalnya kemampuan anak untuk mengingat angka dari 1-20, atau
kemampuan untuk menyelesaikan teka-teki, kemampuan menilai perilaku yang
patut dan tidak untuk diimitasi.[4]

15
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka
berkembanglah psikologi kognitif yang menyelidiki tentang proses berpikir
manusia. Proses berpikir tentunya melibatkan otak dan saraf-sarafnya sebagai alat
berpikir manusia oleh karena itu untuk menyelidiki fungsi otak dalam berpikir
maka berkembanglah neurosains kognitif. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan
oleh kedua bidang ilmu tersebut banyak dimanfaatkan oleh ilmu robot dalam
mengembangkan kecerdasan buatan.
Proses kognitif menggabungkan antara informasi yang diterima melalui indra
tubuh manusia dengan informasi yang telah disimpan di ingatan jangka panjang.
Kedua informasi tersebut diolah di ingatan kerja yang berfungsi sebagai tempat
pemrosesan informasi. Kapabilitas pengolahan ini dibatasi oleh kapasitas ingatan
kerja dan faktor waktu. Proses selanjutnya adalah pelaksanaan tindakan yang telah
dipilih. Tindakan dilakukan mencakup proses kognitif dan proses fisik dengan
anggota tubuh manusia (jari, tangan, kaki, dan suara). Tindakan dapat juga berupa
tindakan pasif, yaitu melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Faktor yang memengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan pelaksanaan
respon adalah kompleksitas keputusan, perkiraan terhadap respon, trade-off
kecepatan dan akurasi, dan feedback yang diperoleh (Groover, 2007).
Kompleksitas keputusan dipengaruhi oleh jumlah tindakan yang mungkin dipilih,
yang juga berpengaruh terhadap lamanya waktu pengambilan keputusan.
Perkiraan terhadap respon dipengaruhi oleh informasi yang diterima. Jika
informasi yang diterima telah diperkirakan sebelumnya, pemrosesan informasi
akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan. Trade-off antara
kecepatan dan akurasi merupakan korelasi negative antara keduanya pada
pemilihan dan pelaksanaan respon. Dalam beberapa situasi, semakin cepat
seseorang memilih respon, kemungkinan kesalahan terjadi meningkat. Feedback
merupakan efek yang diketahui oleh seseorang sebagai verifikasi atas tindakan
yang dilakukannya. Rentang waktu antara tindakan dengan feedback harus
diminimasi.
3. Fungsi-fungsi kognitif
a. Atensi dan kesadaran
Atensi adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah
besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan,
ingatan dan proses kognitif lainnya. Atensi terbagi menjadi atensi terpilih

16
(selective attention)dan atensi terbagi (divided attention). Kesadaran meliputi
perasaan sadar maupun hal yang disadari yang mungkin merupakan fokus dari
atensi.
b. Persepsi
Persepsi adalah rangkaian proses pada saat mengenali, mengatur dan
memahami sensasi dari pancaindra yang diterima dari rangsang lingkungan.
Dalam kognisi rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk
persepsi. Proses kognif biasanya dimulai dari persepsi yang menyediakan data
untuk diolah oleh kognisi.

c. Ingatan
Ingatan adalah saat manusia mempertahankan dan menggambarkan
pengalaman masa lalunya dan menggunakan hal tersebut sebagai sumber
informasi saat ini. Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu informasi,
mempertahankan dan memanggil kembali informasi tersebut. Ingatan terbagi
dua menjadi ingatan implisit dan eksplisit. Proses tradisional dari mengingat
melalui pendataan penginderaan, ingatan jangka pendek dan ingatan jangka
panjang.
d. Bahasa
Bahasa adalah menggunakan pemahaman terhadap kombinasi kata dengan
tujuan untuk berkomunikasi. Adanya bahasa membantu manusia untuk
berkomunikasi dan menggunakan simbol untuk berpikir hal-hal yang abstrak
dan tidak diperoleh melalui penginderaan. Dalam mempelajari interaksi
pemikiran manusia dan bahasa dikembangkanlah cabang ilmu psikolinguistik
e. Pemecahan msalah dan kreatifitas
Pemecahan masalah adalah upaya untuk mengatasi hambatan yang
menghalangi terselesaikannya suatu masalah atau tugas. Upaya ini melibatkan
proses kreativitas yang menghasilkan suatu jalan penyelesaian masalah yang
orisinil dan berguna.
f. Pengambilan keputusan dan penalaran
Dalam melakukan pengambilan keputusan manusia selalu
mempertimbangkan penilaianyang dimilikinya. Misalnya seseorang membeli
motor berwarna merah karena kepentingan mobilitasnya, dan kesenangannya
terhadap warna merah. Proses dari pengambilan keputusan ini melibatkan

17
banyak pilihan. Untuk itu manusia menggunakan penalaran untuk mengambil
keputusan. penalaran adalah proses evaluasi dengan menggunakan
pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan fakta-fakta yang tersedia.
Penalaran dibagi menjadi dua jenis yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif

18

Anda mungkin juga menyukai