Anda di halaman 1dari 2

Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah novel yang disebut juga sebagai karya sastra klasik Indonesia.

Novel ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan nama pena
Hamka. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 oleh penerbit
nasional Hindia Belanda, Balai Pustaka. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta dua sejoli yang
gagal, karena terbentur budaya masyarakat Minang.

Kedua sejoli itu adalah Hamid dan Zainab, dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa bersatu
akibat perbedaan latar belakang keluarga dan derajat ekonomi. Perasaan cinta mereka terus
disimpan di dalam hati masing-masing dan tak pernah terungkapkan. Ketidakberdayaan Hamid untuk
mengungkapkan perasaannya semakin memberatkan perasaan dan hati Hamid saat Mak Asiah, Ibu
dari Zainab, meminta dirinya untuk membujuk Zainab supaya mau menikah dengan laki-laki pilihan
keluarga. Untuk mengobati luka hatinya, Hamid akhirnya memutuskan pergi dari Padang menuju ke
Mekah. Hamid ingin memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan terus beribadah di hadapan
Ka’bah.

Hamid adalah seorang anak yatim, sehingga ia tinggal bersama sang ibu saja di kota Padang, tepatnya
di sebuah rumah yang mungkin lebih pantas untuk disebut sebagai gubug. Beberapa bulan
kemudian, rumah besar yang berada di sebelah gubug Hamid, ditempati oleh Haji Ja’far. Ia adalah
seorang saudagar yang tinggal bersama istri dan anak perempuannya.

Keluarga Haji Ja’far merasa iba melihat keadaan Hamid dan ibunya. Maka dari itu, istri saudagar yang
biasa dipanggil Mak Asiah itu akhirnya membantu Hamid. Haji Ja’far menyekolahkan Hamid bersama
dengan Zainab, putrinya, yang akhirnya dianggap sebagai adik oleh Hamid.

Seusai lulus sekolah, Hamid menyadari bahwa dia mencintai Zainab, begitu juga sebaliknya. Namun,
keduanya saling menyimpan dalam hati perasaan itu. Sebab, Hamid mengetahui, meskipun dia
menyatakan perasaannya, itu pasti akan sia-sia. Hamid tidak sederajat dengan Zainab. Dia sadar diri
akan kasta keluarganya dalam masyarakat, karena itulah Zainab juga tak menyatakan perasaannya
kepada Hamid.

Hingga pada suatu hari, Haji Ja’far meninggal dunia. Hamid dan Ibunya tak lagi sering mengunjungi
rumah almarhum Haji Ja’far. Ditambah lagi dengan keadaan sang ibu yang sudah sakit-sakitan. Tak
lama kemudian, ibu Hamid pun menyusul Haji Ja’far menuju ke alam barzah.

Hamid sangat terpukul dengan semua pengalaman ini. Kini Hamis hidup sebatang kara. Apalagi saat
Mak Asiah meminta bantuannya untuk meluluhkan hati Zainab, supaya mau menikah dengan pria
pilihan ayahnya. Hamid yang putus asa akhidnya memutuskan untuk meninggalkan kota Padang dan
pergi ke tempat yang sangat jauh dari kota itu. Maka itu, sampailah dia di tanah suci, Mekah.
Di tanah suci, Hamid bisa melupakan Zainab dan segala penderitaannya dengan berserah diri kepada
Allah. Namun, tak jarang juga kenangan-kenangannya bersama Zainab muncul di benaknya. Hingga
pada suatu hari, Saleh datang. Saleh adalah teman Hamid sewaktu masih di bangku sekolah. Dia
membawa kabar mengenai Zainab yang ia ketahui dari istrinya.

Saleh memberitahu Hamid bahwa Zainab juga mencintainya dan sekarang dia sedang menderita,
karena perasaan yang dari lama dia pendam itu. Zainab ternyata tidak jadi menikah dengan pria
pilihan ayahnya. Saat surat Zainab untuk Hamid sampai kepadanya, Hamid menyadari bahwa dia
sangat beruntungnya mengetahui bahwa Zainab memiliki perasaan yang sama untuk dirinya. Namun,
hal itu tidak juga mengubah keadaan, karena semuanya sudah terlambat.

Pada hari mengerjakan tawaf, Saleh menerima surat dari Rosnah, istrinya. Hamid yang waktu itu ada
di atas bangku tandu bertanya kepada sahabatnya tentang surat ini. Sebab, dia melihat perubahan
pada ekspresi wajah Saleh setelah membaca surat itu. Dengan gugup, Saleh mengatakan kepada
Hamid bahwa Zainab telah meninggal dunia. Tak lama setelah berdoa dan mengerjakan tawaf, Hamid
pun menyusul Zainab. Hamid menghembuskan nafas terakhirnya di bawah lindungan ka’bah. Pada
hari itu juga jenazah Hamid dimakamkan di kuburan Ma’al yang Masyhur.

Dari novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, kita dapat belajar untuk mengatasi segala masalah dengan
berserah diri atau kembali kepada-Nya. Seperti Hamid yang menyerahkan dirinya kepada Allah.
Sebab, di bawah lindungan-Nya, segala masalah dapat diatasi dengan mudah.

Melalui kisah ini, Hamka juga menyampaikan bahwa cinta yang tulus itu merupakan suatu hal yang
suci dan abadi. Perasaan cinta adalah berkat dari Allah yang sifatnya sangat adil. Sebab, cinta tidak
memandang faktor duniawi yang dimiliki manusia. Seperti cinta Hamid dan Zainab yang tidak
memandang kedudukannya di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai