Anda di halaman 1dari 14

Antropologi Terapan dan Antropologi Pembangunan

Oleh Bambang Rudito

Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya (aktivitas manusia dan
hasilnya). Mempelajari manusia secara biologi dengan cara meminjam pengetahuan biologi untuk
menjelaskan perkembangan manusia secara phisik, dan biasanya berkenaan dengan mencoba mencari
asal usul manusia secara ras dan keturunan.
Mempelajari manusia secara perkembangan fisiknya (biologi, kerangka) melalui bentuk fisik manusia
itu sendiri dan juga secara sejarah perkembangannya. Ini dilakukan ilmu antropologi fisik mencari tahu
perkembangan secara ras dan juga persebarannya di daerah tertentu di muka bumi ini, melihat Sejarah
perkembangan manusia secara ras digambarkan dengan percabangan-percabangan bentuk fisik manusia
dengan bertitik tolak pada persebaran tengkorak manusia.
Secara fisik tidak hanya pada bentuk mencari sejarah asal muasal manusia dan rasnya, tetapi juga
bentukan manusia itu sendiri secara turun temurun dengan mempelajari benda-benda buatan manusia
yang ditemukan di samping temuan tengkoraknya bersama dengan benda-benda budaya yang ada di
sekitar tengkorak dan kerangkanya, sehingga dengan demikian dapat dianalisa usia tengkorak manusia
tersebut dengan bantuan Carbon 14.
Selain mendapat bantuan dari ilmu biologi, antropologi fisik juga dibantu oleh ilmu geografi, khususnya
geomorpologi tentang lapisan-laspisan tanah yang dapat menunjukkan zaman kehidupan kerangka
manusia yang ditemukan sehingga benda-benda yang berada di sekitar kerangka tersebut dapat
dijelaskan pada zaman apa manusia itu hidup.
Selain itu juga peminjaman ilmu biologi berjalan terus untuk dipakai oleh ahli antropologi fisik
menggambarkan struktur kehidupan manusia itu sendiri berikut dengan pola fisik dari kehidupannya
atau budaya fisik yang dihasilkan oleh manusia tersebut pada zaman kehidupannya.
Selain melihat manusia secara biologi, antropologi juga melihat tingkah laku manusia secara sosial dan
budaya. Manusia diperhatikan dan diteliti hasil budayanya dan juga pemikiran serta organisasi sosial
yang diciptakannya untuk mengatur pola hidup yang ada pada dasarnya bersama dengan manusia
lainnya dalam suatu suasana lingkungan hidupnya.
Orang sering menyebutnya sebagai antropologi sosial budaya atau antropologi sosial saja. Antropologi
sosial budaya yang saat sekarang menjadi sasaran dari ilmu antropologi itu secara umum, sehingga
orang akan mengatakan bahwa antropologi adalah sebuah ilmu sosial yang mendalami kebudayaan
sekelompok orang yang mempunyai mitos dan ceritera yang sama tentang asal usul kelompok tersebut,
atau disebut dengan sukubangsa dan kehidupan masyarakat sukubangsa tertentu.
Istilah budaya lekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Bukan berarti dengan demikian mudah
untuk mencari definisi yang benar-benar tepat untuk menjelaskannya. Banyak ilmuwan mencoba
mendefinisikan istilah tersebut. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn pernah mengumpulkan definisi-
definisi tentang kebudayaan yang pernah dinyatakan orang dalam tulisan dan terkumpul setidaknya
160 buah definisi Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan menjadi satu buku yang berjudul Culture:
A Critical Review of Concepts and Definitions pada tahun 1952.
Secara etimologis, kata ”budaya” dan ”kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta ”buddhayah” yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian, istilah budaya hendak menggambarkan suatu daya dari akal
yang berupa cipta, karsa, dan rasa dan kebudayaan sebagai hasil dari daya tersebut. Hanya saja di
dalam antropologi budaya, kedua istilah tersebut tidak menunjuk kepada dua hal yang berbeda;
budaya dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan. 1 Definisi ini secara implisit menggambarkan
keunikan manusia sebagai makhluk berakal budi yang membedakan dirinya dari binatang. Manusia
adalah animal rationale, dan rasio atau akalnya itu memungkinkan dirinya membentuk cipta, karsa,
dan rasa yang tidak ditemukan pada dunia binatang pada umumnya.

1
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, hlm.181.
Culture sendiri, istilah dalam bahasa Inggris untuk menunjuk kebudayaan, berasal dari bahasa Latin
”colere” yang berarti mengolah. Tidak hanya dalam hal tanah (bercocok tanam), ”mengolah” di sini
berarti memanfaatkan suatu sumber daya alam dengan tujuan agar hasilnya berguna bagi kehidupan
manusia. Dari pemaknaan ini berkembang arti kebudayaan sebagai segala daya upaya dan tindakan
manusia untuk mengolah alam.
Berbicara lebih lanjut mengenai kebudayaan, J.J. Honigmann di dalam bukunya The World of Man
(1959) membedakan kebudayaan ke dalam tiga wujud: ide atau gagasan, aktivitas, dan artifak.
Kebudayaan merupakan kompleks ide, gagasan, nilai, aturan, dan sebagainya. Sifatnya abstrak dan
hanya dapat ditemui di dalam pikiran orang-orang di mana kebudayaan tersebut ada dan dapat
diketahui ketika dituangkan ke dalam bahasa baik lisan maupun tulisan. Para ahli antropologi dan
sosiologi menyebutnya sebagai sistem budaya, yang memberi jiwa bagi suatu masyarakat.
Kebudayaan juga merupakan kompleks aktivitas dan perilaku yang disebut sebagai sistem sosial.
Sistem ini merupakan pola-pola aktivitas dan interaksi masyarakat, yaitu aktivitas-aktivitas yang
dilakukan secara berulang berdasarkan tata kelakuan. Karena adanya pengulangan dari waktu ke
waktu tersebut dan berdasarkan tata laku yang ada, aktivitas-aktivitas tersebut akhirnya membentuk
suatu pola kebiasaan tertentu. Berbeda dengan sistem budaya, sistem sosial bersifat konkret dan dapat
diamati. Wujud ketiga adalah kebudayaan sebagai hasil karya manusia terkait dengan pengetahuan
budaya yang ada. Hasil karya manusia ini atau artefak adalah kebudayaan dalam bentuk fisik dan
paling konkret dari dua wujud kebudayaan lainnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa ketiga wujud kebudayaan di atas merupakan hasil
interprestasi manusia atas lingkungannya. Manusia hidup dikelilingi oleh lingkungan. Karena
kesadarannya dan kemampuan inderawinya, manusia mempersepsi dunia sekitarnya. Ia
mengidentifikasi apa saja yang ada dan yang terjadi di lingkungannya dan karenanya ia tahu tentang
lingkungannya. Dengan kemampuan akal budinya manusia mengolah informasi itu,
menginterpretasikannya menjadi suatu pengetahuan. Karena pengetahuannya itu, ia kemudian
berperilaku sesuai dengan pengetahuannya tentang lingkungannya yang terkadang kemudian melalui
aktivitasnya ia menghasilkan benda-benda. Seseorang yang tinggal di tepi pantai, misalnya, akan
belajar segala sesuatu tentang lingkungan pantai. Ia akan belajar bahwa di lingkungannya dikelilingi
air laut yang asin, bahwa di laut banyak ikan hidup, di tepi pantai banyak pohon kelapa dan kayunya
dapat mengapung. Ia juga akan belajar bahwa kayu yang diolah bentuknya dapat dinaiki sehingga ia
tidak tenggelam ke air. Ia akan belajar apa itu ikan, jenis ikan apa saja yang ada di sana, ikan apa yang
yang dapat dimakan, bagaimana cara menangkapnya, dan lain-lain.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian menjadi dasar aktivitasnya menangkap ikan sebagai
nelayan dengan peralatan yang dibuatnya berdasarkan pengetahuan yang ia peroleh sebagai hasil
interpretasinya terhadap lingkungan. Tiap orang yang berbeda lingkungan hidupnya akan memiliki
pengetahuan yang berbeda pula. Seseorang yang hidup di pegunungan secara alami tidak akan
memiliki pengetahuan tentang bagaimana menangkap ikan di laut karena ia tidak memiliki
kesempatan untuk belajar tentang kehidupan di tepi laut. Masyarakat eskimo yang tinggal di kawasan
kutub utara, secara alami tidak mengetahui bagaimana mengolah pohon sagu untuk diambil tepungnya
sebagai bahan makanan karena tidak ada pohon sagu yang tumbuh di kawasan kutub utara.
Dari pemahaman tersebut, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai seperangkat norma, pengetahuan,
nilai dan aturan yang digunakan oleh manusia untuk memahami lingkungannya dan digunakan untuk
mewujudkan tingkah lakunya serta dapat digunakan untuk menciptakan benda-benda untuk
kepentingan dirinya. Dari pengertian ini dapat dipahami adanya wujud pengetahuan yang bersifat
abstrak, wujud tingkah laku yang bersifat konkrit dan wujud benda-benda sebagai hasil yang dapat
diciptakan.
Pemahaman terhadap lingkungannya ini dimaksudkan sebagai lingkungan alam yang terdiri dari
benda-benda alamiah hasil ciptaan Yang Maha Kuasa tanpa campur tangan manusia seperti, laut,
hutan, gunung, udara, air yang secara ekosistem saling terkait, kemudian lingkungan sosial yang
berupa aturan-aturan, adat istiadat dari suatu kelompok sosial dan lingkungan budaya sebagai bentuk
nyata benda-benda hasil perbuatan manusia seperti sawah, komputer, mobil, rumah dan sebagainya.
Kebudayaan yang dimaksud disini adalah suatu sistem yang sifatnya abstrak dan berada ’di atas’ atau
’di luar’ individu-individu anggota masyarakat dan dipakai sebagai sarana interpretasi atau pemahaman
yang merupakan suatu rangkaian model-model kognitif (pengetahuan) yang dihadapkan pada
lingkungan hidup manusia. Atau dapat dikatakan sebagai referensi dalam mewujudkan tingkah laku
berkenaan dengan pemahaman individu terhadap lingkungan hidupnya. Jadi dapat dikatakan bahwa
kebudayaan diartikan sebagai serangkaian model-model referensi yang berupa pengetahuan mengenai
kedudukan kelompok sosial tertentu secara struktural dalam masyarakat yang lebih luas, sehingga
tingkah laku yang muncul sebagai respons terhadap pola-pola interaksi dan komunikasi di antara
kelompok-kelompok.
Pedoman yang digunakan sebagai acuan ini bersifat ’memaksa’ untuk diikuti oleh para anggota-
anggotanya, dan apabila tidak diikuti oleh salah satu anggotanya maka anggota tersebut akan
mendapatkan ’sanksi’ dari anggota lainnya dan dianggap menyimpang dari kebiasaan yang berlaku.
Akibat dari penyimpangan yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang anggotanya, maka dapat
menyebabkan pertentangan dan bahkan konflik antar anggota karena pola interaksinya akan terganggu.
Oleh karena itu dalam setiap masyarakat terdapat status dan peran-peran yang berupa struktur sosial
yang gunanya untuk mengatur hubungan setiap anggota masyarakat.
Rangkaian model-model referensi yang digunakan tersebut didasari pada inti dari suatu kebudayaan.
Disini yang dimaksud dengan inti dari kebudayaan (core of culture) yang ada di diri masing-masing
individu terdiri dari pandangan hidup (world view) dan keyakinan (belief), keduanya dibungkus oleh
ethos (sistem pedoman etika berkenaan dengan baik dan tidak baik). Pandangan hidup dan keyakinan
tersebut akan mendorong memunculkan tindakan dan tingkah laku setelah melalui rangkaian sistem
etika, sehingga perwujudan tindakan seseorang tersebut akan berisi juga simbol-simbol yang berupa
etika yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Apabila menyangkut secara keseluruhan masyarakat, maka pandangan hidup dari orang perorang
tersebut adalah berupa nilai budaya masyarakat sedangkan keyakinan dapat berupa kepercayaan dengan
segala atribut yang melingkupinya. Nilai budaya ini menjadi sebuah keadaan yang akan dicapai oleh
sebuah masyarakat dan apabila menyangkut bangsa dan negara maka nilai budaya atau pandangan
hidup ini dikatakan sebagai ideologi.
Dilihat dari definisi atau pengertian tentang kebudayaan, maka kebudayaan sering dipahami sebagai
pengetahuan yang diperoleh melalui sosialisasi dan percampuran dengan kebudayaan masyarakat lain,
yang digunakan oleh manusia untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku
(Spradley,1997:5). Pengetahuan budaya yang diperoleh seseorang dari suatu proses belajar yang terus
menerus dimana pengetahuan tersebut digunakan oleh seseorang tersebut untuk menginterprestasikan
lingkungannya dan melahirkan suatu strategi yang digunakan oleh seseorang itu untuk menghadapi
lingkungannya, sehingga pengetahuan budaya tersebut merupakan juga sistem makna yang hanya
dipahami secara sepakat oleh anggota-anggota suatu masyarakat tertentu.
Sebagai suatu sistem makna, pengetahuan budaya yang dimiliki bersama tersebut, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks berinteraksi. Lebih lanjut, manusia selalu
membutuhkan sesuatu yang merupakan suatu bentuk sistem pengetahuan untuk menginterpretasikan
dunia mereka dan akan menyebabkan tingkah laku sosial yang disebut kebudayaan. Kebudayaan
memang adalah sistem pengetahuan yang digunakan oleh manusia untuk membentuk tindakan mereka,
dan menginterpretasikan lingkungan dan perilaku orang lain. Dari sini dapat dijelaskan bahwa
walaupun seorang individu mempunyai status yang sama dalam suatu masyarakat, akan tetapi karena
mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda maka tindakan masing-masing individu tersebut
akan berbeda, seperti seorang direktur dalam sebuah perusahaan akan berbeda tingkah lakunya dengan
direktur lainnya dalam perusahaan yang berbeda.
Dalam konteks pengetahuan tersebut maka kebudayaan akan berisi konsep-konsep yang digunakan
oleh pemiliknya dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam lingkungannya dan
memanfaatkannya demi memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dimana kemudian seseorang akan
mencari pengetahuan mana yang dianggapnya paling sesuai dan mewujudkannya dalam tindakan-
tindakan sosial. Tindakan sosial disini diartikan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam
diri pelaku untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari
luar yang berasal dari lingkungan (Suparlan,1999).
Berawal dari upaya manusia dalam menginterpretasi lingkungannya, manusia memperoleh
pengetahuan, ide, gagasan, nilai, norma, dan aturan. Kesemuanya itu menjadi dasar bagi aktivitas dan
tingkah laku sehari-hari yang akhirnya membentuk pola-pola aktivitas. Aktivitas itu sendiri beberapa
di antaranya menghasilkan benda-benda.
Antropologi terapan dan antropologi pembangunan
Antropologi terapan adalah penggunaan pengetahuan dan ketrampilam antropologi untuk dipakai
memecahkan masalah-masalah yang ada di dunia nyata. Atau suatu gambaran umum tentang istilah,
bidang, dan literature antropologi terapan, suatu bidang penelitian, metode, dan hasil yang luas yang
dikembangkan dan digunakan untuk memecahkan masalah-masalah manusia.
Mulai dari menerapkan intervensi medis yang dilakukan ahli antropologi yang sesuai dengan budaya,
menjadi mediasi antara pemangku kepentingan masyarakat adat dan pelestari lingkungan, sehingga
merancang produk yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan pengguna, para antropolog berhasil
mengambil peran unik saat bertugas di sektor swasta, public dan non-pemerintah.
Antropologi terapan dapat meliputi antropologi Medis dan kesehatan masyarakat seperti perdukunan,
pemeliharaan lingkungan yang dianggap kotor dan bersih berdasarkan pada budaya yang berlaku,
pengembangan masyarakat yang dilakukan perusahaan seperti penerapan tanggung jawab sosial
perusahaan, antropologi lingkungan, ekonomi dan politik serta ekologi, penggolongan Ras dari ciri ciri
fisik manusia dan beberapa ketimpangan sosial, sistem mata pencaharian dan sistem pangan dan cara
pengawetan panganan, dan lainnya yang merupakan masalah sosial.
Para antropolog menghadirkan metode yang didasari oleh warisan teoretis yang kuat yang menekankan
pentingnya memahami pengetahuan yang dikontekstualisasikan secara lokal serta dampak kekuatan
(pra)sejarah dan sosial.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa antropologi mempelajari manusia secara biologi dan juga sosial
budaya. Pengetahuan antropologi dan cara pencarian data antropologi digunakan untuk memecahkan
persoalan kehidupan manusia pada tingkat sosial budaya.
Ilmu forensik digunakan oleh antropologi untuk mendeteksi sosok mayat manusia apakah keadaan
semasa hidupnya dibunuh oleh orang lain atau dibunuh dengan menggunakan senjata tajam atau
apapun, maka ahli antropologi diperlukan untuk mendeteksi kejadian tersebut.
Begitu juga dengan adanya konflik horizontal antar sukubangsa dan agama yang sulit untuk dipecahkan
maka ahli antropologi akan menggunakan ilmunya dalam hal ini pengetahuan tentang budaya
masyarakat yang bertikai untuk dicari penyelesaiannya.
Masalah-masalah kemiskinan yang muncul dari akibat percampuran budaya yang berbeda yang
menyebabkan persepsi antar golongan berbeda dan menyebabkan munculnya kemiskinan. Masalah ini
biasanya dipahami terlebih dahulu dari kondisi sosial budaya yang ada yang kemudian dicari perbedaan
persepsi antar masyarakat yang terlibat kemudian baru dacara korelasi pemahaman yang ada, seperti
kehidupan orang-orang miskin di perkotaan yang disebabkan adanya perampuran berbagai kondisi
msayarakat yang berbeda budaya yang hidup dalam satu wadah sosial masyarakat.
Pada kehidupan masyarakat masa sekarang, percampuran antar budaya tidak dapat terelakkan lagi dan
akan muncul pada proses interaksi sosial seluruh dan sebagian besar masyarakat dalam satu areal seperti
perkotaan dan juga tempat tempat interkasi berbagai macam budaya dan kehidupan. Perubahan tidak
akan bisa dielakkan baik itu perubahan yang dapat memunculkan kondisi yang negatif dan dapat juga
positif.
Perubahan yang negatif dimaknai sebagai kehidupan yang memunculkan masalah bagi yang
berinteraksi, seperti kemiskinan, konflik, kriminalitas, dan kesenjangan pendidikan yang menyebabkan
munculnya persaingan yang kurang mendukung, dan ini biasanya diperlukan antropologi terapan.
Sedangkan pembangunan adalah suatu cara untuk merubah kehidupan sosial menuju ke arah yang dapat
diprediksi sebagai suatu kehidupan yang lebih baik dari semula, dan ini merupakan penerapan ilmu
antropologi pembangunan misalnya bidang pendidikan, perencanaan regulasi pemerintah.
Melihat kebiasaan masyarakat secara adat istiadat kemudian hasilnya digunakan untuk menerapkan
pembangunan nasional, misalnya program keluarga berencana yang terapkan berbeda antar budaya
seperti alat kontrasepsi IUD harus diterapkan di masyarakat apa kemudian kondom, pil diterapkan di
masayrakat Jawa karena kebiasaannya minum jamu dst.
Masyarakat, dan Pola Kehidupan di Indonesia
Masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau
dengan bentang alam yang berbeda membentuk pola kehidupan masyarakat yang berbeda, dari yang
sederhana hingga yang kompleks.
Segala tindakan yang terwujud yang diperankan oleh para individu dalam kehidupan masyarakat
tampak menjadi sesuatu yang stabil karena terlihat mempunyai pola yang berulang setiap hari. Pola
tersebut pada dasarnya diwujudkan secara tanpa disadari oleh para pelakunya, dan biasanya disertai
dengan aturan-aturan agar tindakan tersebut bermakna dan berfungsi serta ditaati oleh individu anggota
masyarakatnya. Tindakan-tindakan yang berpola yang mengikuti aturan tersebut pada dasarnya
mengandung norma, moral, dan nilai yang menyelimuti tingkah laku yang bersangkutan sehingga
tampak adanya sikap-sikap yang seharusnya ada dan mempunyai nilai sopan santun yang berlaku dan
mempunyai arti simbolik (arti yang hanya dapat dipahami oleh individu sebagai anggota masyarakat
yang bersangkutan) bagi pelaku-pelaku yang terlibat interaksi sosial satu dengan lainnya.
Pandangan terhadap tindakan tertentu dalam kenyataannya selalu dibumbui oleh adanya suatu penilaian
tentang norma dan moral yang baik dan tidak baik, batasan tersebut diikuti oleh sifat-sifat yang
mengandung keagamaan (religiousness) atau keyakinan yang mengarah kepada suatu akibat yang
irasional, suatu tindakan yang sopan sehingga mendapat penghargaan dari alam supra natural seperti
pahala. Sifat-sifat yang mengadung keagamaan ini menjadikan tindakan yang terwujud sebagai
tindakan yang bermoral dan bernorma yang disepakati oleh pihak-pihak yang berinteraksi. Ini menjadi
penting untuk menjaga agar tindakan tersebut tetap stabil dan tetap dijunjung tinggi sebagai tindakan
yang baik.
Kesepakatan-kesepakatan yang secara sadar dan tidak ini terbentuk dalam suatu pola interaksi sosial
yang terjadi. Arena-arena interaksi sosial yang ada tidak hanya bersifat informal saja, akan tetapi juga
bersifat formal, seperti pola interaksi dalam sebuah perusahaan yang secara sadar harus mengikuti
arahan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan sebagai sebuah pedoman bertindak dan
bertingkah laku.
Dalam masyarakat bidang industri barang dan jasa, kebudayaan yang ada juga terdapat dalam kolektifa
sosial yang lebih kecil seperti sebuah perusahaan (korporat). Aturan-aturan, dan norma-norma yang
berkembang, serta pengetahuan dan nilai yang terkandung dalam kebiasaan bertindak, yang diwujudkan
oleh para anggota perusahaan, pada dasarnya bersumber dari kebudayaan yang berlaku yang dijadikan
pedoman dalam rangka kehidupan sebagai komuniti perusahaan. Disamping dianggap sebagai pedoman
dalam aturan berinteraksi, kebudayaan juga digunakan untuk memahami kenyataan-kenyataan sosial di
luar individu tersebut ada, sehingga hasil pemahaman tersebut dipandang mempunyai arti yang
seragam. Keajegan tindakan manusia berkenaan dengan aktivitasnya tergantung pada usaha manusia
tersebut memahami aturan yang ada yang mengikat manusia tersebut dalam status yang ada. Sehingga
dengan demikian kebudayaan yang menjadi pedoman bertindak dari manusia tersebut menjadi sesuatu
yang perlu dikuatkan.
Akan berbeda halnya bila anggota-anggota komuniti suatu perusahaan yang berasal dari berbagai latar
belakang masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya atau berbeda sukubangsanya. Ini dapat terjadi
pada komuniti yang terdiri dari golongan sosial (sukubangsa) dengan kebudayaannya yang berbeda-
beda berada dalam satu ikatan organisasi sosial masyarakat yang dalam hal ini komuniti suatu
perusahaan. Pemahaman terhadap satu gejala yang sama yang dipahami oleh berbagai individu dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda yang dijadikan pedoman dalam memahami, akan dapat
memunculkan tindakan dan tingkah laku yang tidak sama. Oleh karena itu dalam bentuk perusahaan
atau organisasi seperti ini mutlak perlu dibangun sebuah kebudayaan sebagai panutan bagi keseluruhan
karyawannya yang berasal dari berbeda-beda latar belakang, sehingga visi dan misi perusahaan perlu
dibentuk dan juga segala aturannya yang mengikat dan membentuk tingkah laku para anggotanya.
Berkaitan dengan definisi kebudayaan, seseorang akan selalu menggunakan pengetahuan budaya yang
menjadi acuannya dimana pengetahuan budaya tersebut ada dalam latar belakang kebudayaan
sukubangsanya, bangsa atau latar belakang golongannya. Pengetahuan budaya atau nilai-nilai budaya
tersebut kemudian diwujudkannya dalam pengunaan simbol dan atribut-atribut budaya yang akan
memberikan ciri budaya tertentu. Di dalam interaksi sosial seseorang juga akan menggunakan
pengetahuan budaya tersebut untuk melakukan penilaian sosial terhadap orang lain. Ia akan melakukan
penggolongan-penggolongan sosial terhadap orang lain berdasarkan atribut-atribut budaya yang
dikenakannya dimana ia mendasarkannya pada pengetahuan budaya yang dimilikinya.
Misalnya dua orang yang berstatus guru mengajar dalam mata pelajaran yang sama, dan mereka
berperan mengajarkan pengetahuan tentang mata pelajaran yang diasuhnya kepada murid-muridnya.
Peran yang diwujudkannya adalah mengajar, akan tetapi tingkah laku dalam menjalankan peran tersebut
akan berbeda-beda dan ini sangat berkaitan dengan kebudayaan yang dipunyai oleh masing-masing
guru tadi walaupun mempunyai status dan peran yang sama. Misalnya guru matematika yang berasal
dari Medan dan guru matematika yang berasal dari Jogyakarta. Dalam peran yang tampak adalah
tingkah laku masing-masing guru, seperti guru asal Medan maka gaya bicara dan mengajarnya akan
berbeda dengan guru yang berasal dari Jogyakarta.
Atribut-atribut tersebut menjadi ciri dari mana berasal guru-guru tersebut, sehingga identitas masing-
masingnya akan tampak jelas. Dalam contoh ini, status dan peran seorang guru berdasar pada
pengetahuan, aturan, norma dan moral nasional, artinya bagaimana seharusnya tingkah laku seorang
guru berdasar pada kebudayaan nasional. Kemudian dua orang yang berasal dari dua daerah yang
berbeda dengan pengetahuan budaya yang berbeda akan memahami status seorang guru tersebut, dan
ketika diwujudkan dalam perannya masing-masing, maka akan tampak perbedaan dalam atribut yang
dimunculkannya dan ini sangat terkait dengan budaya masing-masing orang tersebut.
Pengetahuan budaya pada dasarnya menjadi suatu unsur pokok dalam mendorong terwujudnya sebuah
tindakan dan juga unsur pokok dalam memberikan penilaian terhadap lingkungan yang dihadapi, baik
tingkah laku orang lain maupun lingkungan alam serta benda-benda hasil perbuatan orang. Sehingga
melalui pengetahuan budaya, seseorang dapat menyaring apakah perbuatannya atau aktivitasnya dapat
sesuai atau tidak dalam lingkungan yang dihadapinya, dan ini sangat berkaitan erat dengan simbol-
simbol keagamaan, pengetahuan, penilaian serta pengaturan sosial sesuai dengan tingkat pengungkapan
perasaan dari individu sebagai anggota masyarakat tertentu.
Pola hidup
Pada masa lalu, satu sukubangsa dapat dikatakan mempunyai budaya yang satu dan digambarkan pada
bentuk pola hidup yang spesifik pula, hal ini dapat saja terjadi karena belum banyaknya interaksi antar
sukubangsa dengan kebudayaannya. Sehingga dapat dikatakan akulturasi antar budaya yang berbeda
belum banyak terjadi, sehingga sering kita membaca dan melihat adanya kespesifikan sukubangsa
dengan kebudayaannya yang tertentu seperti yang diteliti oleh para ahli antropologi barat pada masa
lalu di daerah-daerah Afrika atau di Pasifik. Sehingga dalam tulisan-tulisan ahli antrpologi tersebut
tercatat adanya sukubangsa tertentu yang hidup dengan lingkungannya yang spesifik dan mempunyai
adat istiadat yang spesifik pula dalam pola hidup tertentu. Dengan catatan tersebut maka kita dapat
mengetahui adanya sukubangsa tertentu dengan kebudayaannya yang tertentu pula.
Akan tetapi pada masa sekarang perkembangan kebudayaan semakin cepat dan hubungan antar
sukubangsa sering terjadi sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pola hidup yang bercampur,
dan satu sukubangsa dapat saja mempunyai dua atau tiga pola hidup sekaligus. Ini diakibatkan oleh
adanya percampuran kebudayaan khususnya adanya percampuran pengetahuan budaya yang dipunyai
oleh masing-masing kelompok sosial ini sehingga merubah dan atau menggeser pola-pola pengetahuan
yang ada sebelumnya khususnya dalam hal teknologi menghadapi lingkungan.
Kebudayaan manusia tersebut adalah perangkat untuk usaha menusia dalam pemenuhan kebutuhannya,
seperti kebutuhan biologi, sosial dan psikologi. Kesemua kebutuhan manusia tersebut akan dipenuhi
dan dilaksanakan pemenuhannya melalui kebudayaan sebagai keseluruhan perangkat.
Strategi-strategi yang ada dan diwujudkan oleh manusia itu adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya agar dapat berlangsung terus sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Strategi-strategi
tersebut berkaitan dengan cara-cara manusia mengorganisasikan pengetahuannya satu sama lain dalam
bentuk-bentuk aturan bertindak yang dikhususkan pada aktivitas tertentu yang dianggap penting oleh
manusia. Rangkaian pengetahuan yang dimiliki manusia tersebut akan saling berfungsi satu dengan
lainnya. Jika sudah tidak terpakai lagi, pengetahuan tersebut akan ditinggalkan dan diganti dengan yang
lain. Proses pergantian pengetahuan tersebut dengan sendirinya akan mempengaruhi pengetahuan
lainnya dalam aktivitas yang ada sehingga akan terjadi perubahan pada pola hidup yang nyata.
Keterkaitan antar strategi adaptasi dalam bentuk teknologi dalam pengetahuan manusia pada dasarnya
tidak hanya mengacu pada satu aspek saja (aspek teknologi), akan tetapi juga pada aspek-aspek lainnya
seperti: agama, struktur sosial, kekerabatan, kesenian dan juga ekonomi atau mata pencaharian.
Sehingga perubahan pada salah satu aspek dalam pengetahuan manusia akan juga mengubah aspek-
aspek lainnya, sehingga dalam kondisi tersebut akan dapat mengubah perwujudan aktivitas manusia
secara nyata yaitu pola-pola hidup yang biasa dilakukan.
Manusia berinteraksi satu dengan lainnya dengan menggunakan pengetahuan yang sama atau mirip
sebagai pedoman dalam dan untuk bertindak. Sehingga dengan demikian, dengan menggunakan
pedoman yang sama, manusia yang hidup secara berkelompok tersebut akan memberikan makna yang
sama terhadap gejala yang tampak di luar dirinya sebagai persepsi masyarakat tersebut.
Pedoman yang sama tersebut akan menghasilkan sebuah atau seperangkat tindakan berkenaan dengan
gejala yang dipahami bersama dengan perlakuan yang disepakati atau diartikan berdasarkan pada
persepsi yang sama, dan ini dikuatkan oleh adanya penggunaan simbol-simbol tertentu terhadap gejala
tertentu sebagai bentuk bahasa masyarakat pendukung kebudayaan setempat. Dengan adanya bahasa
yang sama maka masing-masing individu sebagai anggota masyarakat yang sama akan dapat saling
berinteraksi berkenaan dengan gajala yang telah disepakati tersebut baik secara sadar maupun tidak
sadar atau tanpa disadari.

Tindakan-tindakan yang berpedoman pada pengetahuan yang sama tersebut kemudian menjadi milik
dari individu yang bersangkutan sebagai bagian dari masyarakat yang bersangkutan. Ketika berinteraksi
dengan individu lain yang berbeda pedoman/pengetahuan atau berasal dari masyarakat yang berbeda,
maka terjadi proses adaptasi pengetahuan dan ini memerlukan waktu yang bisa singkat dan bisa juga
relatif lama. Dari proses adaptasi tersebut maka akan tampak ciri-ciri dari masing-masing individu yang
berinteraksi tersebut atau dengan kata lain akan tampak atribut-atribut dalam berinteraksi yang mengacu
pada pengetahuan budaya yang dimilikinya tersebut. Sehingga masing-masing individu akan
mengetahui dari mana asal dari lawan interaksinya.
Setiap kebudayaan itu bersifat tradisional (cenderung menjadi tradisi-tradisi yang tidak dapat mudah
berubah). Kecenderungan dari sifat tradisional kebudayaan tersebut disebabkan oleh kegunaannya
sebagai pedoman kehidupan yang menyeluruh, sehingga terdapat hal-hal yang mendasar yang bersifat
tetap dan sangat sulit berubah dan ini menjadi atau mempengaruhi jatidiri manusia yang
mempedomaninya. Bersifat tetap memang dibutuhkan agar individu-individunya dapat mempedomani
perangkat aturan, norma, nilai dan moral yang ada, dan apabila cepat berubah maka bisa terjadi
kekacauan dalam berhubungan, atau bersifat anomi, yaitu ketidak percayaan orang akan pedoman yang
dipanutinya.
Memang kebudayaan disatu pihak harus bersifat statis atau menjadi sebuah tradisi-tradisi yang sehari-
hari dapat diwujudkan sebagai sebuah pola yang tetap. Hal ini membutuhkan suatu kemampuan dari
para anggota masyarakat tersebut untuk tetap ’melestarikan’ pedoman yang digunakan bersama tersebut
agar tidak terjadi kekacauan dalam tindakan yang nyata.
Di pihak lain lingkungan yang dihadapi oleh manusia dalam lingkup masyarakat mempunyai
kecenderungan selalu berubah baik secara ide, dan maupun macamnya maka ini akan mempengaruhi
kebudayaan dalam memahami lingkungan tersebut, akan tetapi perubahan yang terjadi pada aspek
lingkungan tidaklah terlalu drastis, artinya perubahan lingkungan biasanya terjadi secara bertahap
sehingga tidak menimbulkan gejolak yang besar dan kebudayaan tersebut selalu bersifat adaptif. Lain
halnya jika terjadi perubahan lingkungan secara drastis, seperti terjadi perang, gempa bumi yang bisa
langsung merubah pedoman dan biasanya terjadi kekacauan pada hubungan sosial yang terjadi di
masyarakat.
Lingkungan yang dimaksud disini adalah salah satunya lingkungan alam yang terdiri dari benda-benda
alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan alam fisik lainnya, keterkaitannya dengan lingkungan
alam ini adalah bagaimana manusia memberlakukan alam menghasilkan inovasi yang berkaitan dengan
pengelolaan alam. Pengertian lingkungan alam ini lebih ditekankan pada proses berkembangnya alam
tanpa campur tangan manusia, seperti pertumbuhan tanaman, pohon, binatang, udara, air dengan proses
alamiahnya sendiri. Selain dari lingkungan alam, manusia juga dipengaruhi oleh lingkungan budaya
dan lingkungan sosial.
Lingkungan budaya maksudnya adalah hasil-hasil budaya manusia yang berupa benda-benda buatan
manusia seperti kendaraan, rumah, sawah, komputer, dan benda-benda produk dari manusia dan ini
sangat berkaitan dengan adanya adaptasi terhadap teknologi baru dan penciptaan-penciptaan baru guna
mencapai kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan kehidupannya. Lingkungan budaya yang ada
biasanya akan ’menekan’ munculnya aktivitas baru dari masyarakat agar dapat cepat tanggap untuk
kelangsungan hidup masyarakat yang bersangkutan.
Akan halnya dalam sebuah perusahaan, aktivitas perusahaan harus cepat dapat berstrategi dalam
menghadapi teknologi baru atau benda-benda baru yang datang dari luar perusahaan dan perusahaan
akan diharapkan cepat beradaptasi dan mengatur strategi agar perusahaan tidak tertinggal dalam bidang
teknologi. Disini diharapkan munculnya inovasi-inovasi baru berkaitan dengan strategi perusahaan
terhadap perkembangan budaya di luar perusahaan yang berupa perkembangan teknologi guna
menciptakan teknologi baru.
Lingkungan sosial merupakan seperangkat pengetahuan yang berasal dari luar masyarakat dan biasanya
berupa hasil hubungan antar manusia dengan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Disini terjadi
proses percampuran kebiasaan-kebiasaan melalui hubungan antar masyarakat yang berbeda-beda,
dalam proses ini terjadi akulturasi, difusi dan bahkan assimilasi pengetahuan antar masyarakat yang
berbeda.
Berkaitan dengan perusahaan, tentunya diharapkan cepat tanggap terhadap perubahan lingkungan,
khususnya lingkungan sosial. Hal ini berkaitan dengan bidang jasa yang merupakan bisnis dari
perusahaan, bagaimana menanggapi lingkungan sosial yang cepat atau lambat mengalami perubahan,
khususnya kebiasaan-kebiasaan masyarakat sebagai lingkungan sosial. Adanya jasa dari perusahaan
lain yang sejenis yang menuntut adanya inovasi dalam persaingan usaha merupakan juga suatu
lingkungan sosial yang harus ditanggapi oleh perusahaan untuk berstrategi untuk menciptakan aktivitas
baru guna bersaing.
Jadi secara tidak langsung, kebudayaan dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan untuk
berubah setiap saat dan bersifat dinamik. Dari kedua sifat ini, yaitu satu pihak kebudayaan akan selalu
bersifat tradisi karena dipakai sebagai pedoman yang menyeluruh (bersifat tidak mau berubah), dan di
pihak lain dituntut untuk bersifat adaptif (selalu berubah) karena lingkungannya berubah, maka sifat
kebudayaan akan tergantung dengan lingkungannya dan juga tergantung dari kuatnya pengaruh inti
budaya yang ada.
Sehingga dengan demikian akan terdapat kebudayaan-kebudayaan yang mengalami perubahan secara
cepat dan ada juga yang mengalami perubahan secara lambat. Kemudian, disamping terdapatnya proses
perubahan kebudayaan dari sudut lingkungan dan juga dari sudut kebudayaan itu sendiri karena adanya
dorongan penemuan baru, pertambahan jumlah penduduk, maka terdapat juga perubahan-perubahan
pada tingkat sosial, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di pranata-pranata sosial masyarakat yang
dapat pula merubah kebudayaan sebagai pedomannya dan dapat juga tidak merubah kebudayaan yang
ada. ini terkait dengan perubahan kebudayaan itu sendiri. Pada dasarnya perubahan kebudayaan itu
berupa suatu modifikasi yang terjadi dalam perangkat-perangkat ide dan yang disetujui secara sosial
oleh para warga masyarakat.
Akibat dari adanya percampuran antar individu sebagai bentuk hubungan sosial, apalagi dengan latar
kebudayaan yang berbeda, maka akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan-perubahan kebudayaan
yang telah disebutkan di atas. Interaksi ini dapat terjadi ketika adanya sistem yang mendunia atau
globalisasi. Dengan adanya sistem yang satu atau pedoman yang satu sebagai sarana interaksi maka
mau tidak mau masing-masing kelompok sosial yang terlibat didalamnya harus melaksanakan adaptasi
budaya agar dapat melakukan interaksi sosial. Dalam hal ini pengetahuan kebudayaan yang sebelumnya
tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman untuk bertingkah laku, sehingga diperlukan suatu
penyesuaian-penyesuaian baru terhadap unsur-unsur baru yang masuk ini.
Bentuk yang sering dan pasti terjadi dalam suatu kehidupan masyarakat adalah bentuk akulturasi, atau
percampuran kebudayaan yang dianut oleh dua atau lebih kelompok sosial dalam satu arena. Seperti
halnya kehidupan sebuah perusahaan yang pada intinya beranggotakan dari berbagai latar belakang
kebudayaan dan masyarakat, dan mungkin bisa saja sangat berbeda satu dengan lainnya.
Akulturasi ini secara konseptual merupakan pengambilan atau pengadopsian salah satu pengetahuan
budaya dari salah satu kelompok sosial untuk digunakan sabagai sarana atau pedoman untuk bertindak.
Ini dapat digambarkan sebagai bentuk pengaruh kebudayaan modern dalam sebuah kehidupan sosial.
Proses ini biasanya memakan waktu cukup lama dan pada umumnya berkembang setelah dimulai
terlebih dahulu dari benda-benda budaya yang masuk ke suatu daerah, misalnya sebuah komputer dalam
kehidupan masyarakat desa.
Komputer sebagai benda-benda hasil budaya dari suatu masyarakat dan kebudayaan lain akan masuk
ke dalam sebuah daerah melalui suatu bentuk interaksi sosial antar anggota masyarakat. Akibat dari
adanya interaksi dan berlanjut kepada hubungan sosial, maka akan terjadi suatu proses mempengaruhi
atau dapat dikatakan sebagai proses difusi dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lain. Dari adanya difusi
ini makan terjadi suatu bentuk atau suasana adanya barang baru yang masuk ke dalam suatu daerah.
Biasanya proses difusi ini dapat disertai dengan penolakan-penolakan dari keberadaan budaya yang
lama yang sangat kuat. Penolakan-penolakan unsur kebudayaan lain terhadap kebudayaan yang sudah
ada ini tergantung dari kuat lemahnya sistem nilai budaya setempat yang dapat menyaring unsur-unsur
budaya baru yang disesuaikan dengan etika yang ada.
Komputer sebagai barang baru tentunya harus disertai dengan cara-cara pengoperasian benda tersebut,
cara-cara pengoperasian komputer dapat diperoleh dari pengalaman menggunakan benda tersebut, atau
dapat juga diperoleh dari pelatihan penggunaan benda tersebut atau dengan cara mencontoh orang lain
menggunakan benda tersebut. Sehingga dengan demikian lambat laun kemampuan penggunaan
komputer menjadi salah satu pengetahuan budaya dari masyarakat setempat. Penempatan salah satu
pengetahuan baru ini tentu saja akan merubah pengetahuan lainnya yang sering digunakan sebagai
pedoman seperti kebiasaan pada waktu-waktu tertentu mengerjakan kegiatan lain yang kurang atau
dianggap kurang bermanfaat dapat tergantikan oleh kebiasaan baru ini.
Sering juga dengan adanya kebiasaan atau pengetahuan baru ini, mengakibatkan pengetahuan budaya
masyarakat yang sebelumnya tidak dapat menerima pengetahuan baru ini, sehingga mengakibatkan
terjadinya kesenjangan budaya. Kesenjangan budaya ini dapat menyebabkan suatu masalah sosial baru
karena terjadinya ketidak sesuaian antara penggunaan benda yang baru dengan menggunakan
pengetahuan budayanya, dan anggota masyarakat masih menggunakan pengetahuan yang lama. Akibat
lanjutannya adalah pada hubungan sosial yang terjadi yaitu kalahnya bersaing dengan masyarakat yang
pada dasarnya sudah dapat mengoperasikan benda-benda baru tersebut sesuai dengan fungsinya.
Keadaan yang lebih parah lagi adalah munculnya bentuk ketergantungan antara satu kelompok sosial
dengan kelompok sosial lainnya yang mendominasi suasana sosial yang ada, apalagi dalam konteks
pembangunan ekonomi yang nyata-nyata terdapat dominasi global dari salah satu belahan dunia, seperti
dunia barat. Pendominasian dari segi bahasa menjadi salah satu tolok ukur dari dapat atau tidaknya
sebuah masyarakat ’bermain’ di tingkat global. Bagi negara-negara dengan bahasa Inggris sebagai
bahasa utama dan kebiasaan penggunaan bahasa Inggris menjadi alat komunikasi, tentunya negara
tersebut dapat dengan mudah ikut berkecimpung dalam arena global.
Kadang-kadang akibat dari akulturasi menyebabkan hilangnya suatu pengetahuan budaya asli dan ikut
dalam kebudayaan yang baru masuk tersebut sebagai pedoman tingkah laku, atau kadang membentuk
suatu budaya yang baru yang berbeda sama sekali dengan asal percampuran kebudayaan yang ada.
Proses ini dinamakan sebagai assimilasi kebudayaan, dimana dalam proses ini tercipta sebuah
kebudayaan baru sama sekali yang sangat berbeda dengan sifat unsur dari pencampurnya.
Assimilasi kebudayaan dapat terjadi apabila dalam sebuah masyarakat terdapat beberapa masyarakat
dengan kebudayaan yang berbeda-beda dan di lokasi tersebut tidak ada masyarakat yang mendominasi
kehidupan sosial yang ada. Sehingga dengan demikian kemungkinan terbentuknya suatu budaya baru
dan masyarakat baru dapat terjadi dengan cepat. Hal ini bisa terjadi ketika dalam kehidupan masyarakat
sudah atau sedang terjadi proses pencampuran kebudayaan atau sedang dalam proses perubahan.
Proses-proses perubahan kebudayaan menjadi sangat diperlukan ketika membangun sebuah
kebudayaan perusahaan. Kebudayaan suatu perusahaan dapat atau harus dibentuk untuk bisa digunakan
sebagai pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku bagi para anggota karyawannya. Kebudayaan
perusahaan ini menjadi bentuk pedoman yang diciptakan baik oleh para pendirinya maupun melalui
rapat pemegang saham.
Akulturasi dan assimilasi kebudayaan bisa saja terjadi dalam sebuah kebudayaan perusahaan ketika
jalannya aktivitas perusahaan tersebut mengalami gejolak yang bisa memunculkan keinginan-keinginan
kelompok atau individu untuk menguasai perusahaan. Sehingga pembentukkan kebudayaan dan
pemeliharaan kebudayaan perusahaan menjadi sesuatu yang penting.
Dalam tindakan pemenuhan kebutuhan, manusia akan melibatkan pranata-pranata lainnya secara
langsung maupun tidak langsung, dan juga sumber daya yang tersedia di lingkungannya. Dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut manusia akan mewujudkan tindakan yang berupa tradisi-tradisi atau
kebiasaan yang berlaku setempat. Sehingga dengan dasar pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan
tercermin tradisi dari kelompok sosial dalam penggunaan kebudayaan yang bersangkutan, sehingga
akan tampak pola hidup dari komuniti yang bersangkutan.
Walaupun pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sama, akan tetapi
mempunyai perbedaan dalam bentuknya yang sesuai dengan kondisi pola hidup yang dijalaninya
sebagai bentuk adat istiadat atau kebiasaan yang ada. Ini bisa terjadi dalam suatu bentuk masyarakat
atau komuniti yang menggambarkan suatu pola hidup tertentu yang berbeda-beda. Kebutuhan-
kebutuhan manusia tersebut ternyata dapat menjadi berbeda walaupun mempunyai pengelompokkan
yang sama, seperti misalnya antara kehidupan manusia dengan pola hidup industri jasa dan manusia
dengan pola hidup perladangan berpindah atau bertani atau berburu meramu. Walaupun sama-sama
mempunyai kebutuhan biologi akan makan, tetapi dalam perwujudannya sebagai mata pencaharian bisa
berbeda satu dengan lainnya.
Dapat kita membayangkan bila orang yang berasal dari pola hidup industri jasa (perusahaan tambang
misalnya atau perusahaan pengolahan kayu/HPH) berada pada lingkaran masyarakat yang berpola
hidup perladangan berpindah seperti di daerah Kalimantan, tentunya akan terjadi perbedaan
pemahaman terhadap kenyataan-kenyataan sosial yang ada dan bisa menciptakan masalah sosial.
Hubungan sosial yang terjadi antara komuniti yang berbeda pola hidup tersebut akan dapat
mengakibatkan benturan-benturan kepentingan, sehingga akan terbentuk dominasi, diskriminasi,
persepsi negatif akibat dari penguasaan terhadap kelompok. Benturan-benturan ini pada akhirnya bisa
merubah kebudayaan dan menghilangkan tradisi yang selama ini dipegangnya.
Dari bentukan pola hidup yang ada, maka dapat ditengarai bahwa manusia mempunyai berbagai macam
pola hidup dan ini menggambarkan keterkaitan dalam fungsi-fungsi dari masing-masing pranata yang
berlaku di komuniti yang bersangkutan. Bentuk-bentuk komuniti dan masyarakat yang ada di Indonesia
dapat ditengarai dan diklasifikasikan secara umum dalam berbagai pola kehidupan yang berbeda-beda
satu sama lain sesuai dengan aturan adat istiadatnya masing-masing. Pola-pola kehidupan tersebut
terbagi dalam bentuk pedesaan yang melaksanakan mata pencaharian dengan menghasilkan bahan
mentah atau barang, perkotaan yang melaksanakan kegiatan mata pencaharian dengan cara jasa, dan
daerah pedalaman yang melaksanakan kegiatannya dari menangkap hewan dan mengumpulkan barang-
barang mentah.
Bentuk masyarakat terbagi lagi ke dalam beberapa kegiatan spesifik dalam rangka pemenuhan
kebutuhan akan makanan, seperti:
(1) komuniti yang mempunyai mata pencaharian berburu binatang di dalam hutan sebagai makanan
kebutuhan protein dan mengumpulkan serta meramu tumbuh-tumbuhan hutan dibarengi dengan
bentuk dari sistem kekerabatan serta keyakinan dan teknologi yang sederhana, artinya bahwa
bentuk sistem kekerabatannya hanya mendasar pada pembagian jenis kelamin dalam aktivitas
keseharian dan sistem pewarisan yang mengikuti bentukbentuk dari mata pencaharian, seperti untuk
alat-alat perburuan diturunkan pada laki-laki sedangkan alat-alat yang digunakan untuk meramu
diturunkan pada perempuan. Pola mata pencaharian berburu meramu pada dasarnya paling banyak
digeluti oleh sukubangsa-sukubangsa di Indonesia, tetapi biasanya jumlah sukubangsa dengan pola
hidup seperti berburu meramu ini sangat sedikit dalam kehidupannya yang bekelompok-kelompok
serta berpindah-pindah mengikuti binatang hasil buruan, dengan makanan pokoknya adalah sagu
dan beberapa umbi-umbian seperti ubi, keladi, ubi kayu dan juga bagaimana proses pembentukkan
bahan makanan menjadi makanan yang siap dikonsumsi.
(2) komuniti yang berladang dengan sistem ladang berpindah mengikuti perkembangan kesuburan
tanah dengan sistem penguasaan wilayah sudah mulai tampak dengan pengukuran wilayah memakai
bentuk-bentuk alamiah seperti pohon dan sungai, dan dikuatkan oleh adanya sistem kekerabatan dan
keyakinan. Pada sistem ini tampak bahwa pengetahuan tentang ekosistem menjadi sangat penting,
ini diperlukan bagi pembukaan lahan baru dari bentukkannya semula berupa hutan belantara yang
kemudian dengan menggunakan api mulai dibuka secara ditumbangkan dan dibakar guna
meningkatkan kesuburan lahan. Biasanya para peladang ini tahu kapan mereka akan pindah
membuka lahan baru di sebelahnya, sehingga perpindahan ini akan kembali lagi pada lahan asal.
Para peladang dibagi dalam proses kerja, laki-laki membuka hutan dan membakar serta
membersihkan lahan, perempuan mengerjakan aktivitas selanjutnya yaitu menanam dan panen.
Sedangkan untuk menjaga tanaman ladang biasanya dilakukan secara bersamaan.
(3) komuniti nelayan dengan tempat tinggal yang menetap sehingga terlihat jelas penguasaan wilayah
tempat tinggal serta teritorial areal penangkapan ikan, segala pranata sosial lainnya seperti
keyakinan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya akan terkait dengan model dari pola mata
pencaharian nelayan seperti keyakinan-keyakinan akan mahluk supranatural yang berkaitan dengan
laut, teknologi laut dan sebagainya. Dalam konteks ini, nelayan yang dimaksud adalah nelayan
pencari ikan di laut dan bukan nelayan yang berniaga pergi dari suatu pelabuhan ke pelabuhan
lainnya.
(4) komuniti berladang menetap biasanya ditambah dengan adanya sistem pemeliharaan ternak
sebagai kebutuhan protein, di bentuk komuniti ini jelas adanya penguasaan wilayah permukiman dan
wilayah pengolahan sumber daya dikuatkan oleh sistem kekerabatan dan keyakinan. Pada komuniti
ini, pembagian kerja dalam proses perladangan sudah terjadi antara perempuan dan laki-laki.
Pengolahan lahan dalam rangka mempersiapkan lahan dilakukan leh laki-laki sedangkan perempuan
menanam dan panen. Ternak pada umumnya dikerjakan oleh kaum laki-laki, baik
menggembalakannya maupun mengambil hasilnya.
(5) komuniti beternak binatang yang diternakkan di ladang luas dan berupa savana khususnya di
daerah nusa tenggara timur dan sebagian nusa tenggara barat. Biasanya binatang yang diternakkan
adalah berupa kuda dan sapi; cara ternak yang diterapkan adalah dengan melepas binatang ternaknya
di daerah padang rumput. Biasanya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kaum perempuannya
melakukan pengolahan tanah yang sedikit sebagai ladang guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Ternak yang dipelihara akan dijual ke daerah perkotaan sekitarnya.
(6) masyarakat dengan sistem mata pencaharian bertani dengan irigasi, disini jelas tampak adanya
penguasaan wilayah permukiman, pengaturan sumber daya secara sosial yaitu dengan adanya jenjang
sosial masyarakat dan sistem kekerabatan untuk penguasaan wilayah permukiman dan wilayah mata
pencaharian ditambah dengan adanya sistem ekonomi pasar. Pada jenis mata pencaharian ini, para
petani selain mengusahakan lahannya guna mendapatkan hasil dan biasanya dikonsumsi sendiri dan
apabila terdapat kelebihan hasil maka dapat diperdagangkan. Usaha lain dari pola ini disertai dengan
penanaman pohon palawija sebagai selingan dari menanam padi, atau ditambah juga dengan beternak
yang hasilnya biasanya untuk keperluan tambahan rumah tangga bukan untuk dikonsumsi sendiri
tetapi diperdagangkan.
(7) masyarakat industri barang dan jasa serta masyarakat pasca industri dimana dalam bentuk
masyarakat ini segala kebutuhan pencaharian untuk hidup dipenuhi dengan jasa, mengandalkan
ketrampilan. Dalam bentuk masyarakat seperti ini, stratifikasi sosial sangat menentukan jalannya
kesejahteraan hidup para anggotanya. Orang-orang yang hidup dalam pola hidup semacam ini sangat
mementingkan achieved status agar dapat hidup lebih sejahtera. Struktur sosial masyarakat
ditentukan biasanya oleh adanya faktor pendidikan, ekonomi dan juga politik agar dapat menaiki
strata di atas. Hal ini menyebabkan munculnya persaingan antar individu dan memudarnya sifat
kelompok kebersamaan, kecuali membuat pengelompokkan guna memperkuat dan mempertahankan
status sosial yang sudah diperolehnya.
Reference
Abrams, 1981. A Glossary of Literary Term (cet. Ke-IV). New York: Holt Rinehard ang Winston.
Barthes, Rolland. 1974. S/Z, New York.
Barth, F, (1969) Ethnic Groups and Boundaries, Boston: Little Brown.
Basso, K.H. (1972) "Silence in Western Apache Culture" dalam Giglioli, Pier Paolo. Ed. Language and
Social Context: Selected Readings. England: Penguin Books Ltd
Bohannan, Paul and Mark Glazer (1988) High Point in Anthropology, New York: Alfred A Knopf, Inc.
Douglas, Mary (1966) Purity and Danger, An Analysis of Concept of Pollution and Taboo, USA:
Penguin Books.
------------------- (1996) Natural Symbols, Great Britain: Biddles Ltd.
Fardon, Richard (ed) (1985) Power and Knowledge: Anthropological and Sociological Approach,
Plymouth: Latimer Trend & Company Ltd.
Geertz, Clifford (1973) The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books Inc.
------------------- ed. (1971) Myth, Symbol and Culture, New York: W.W. Norton & Company. Inc.
------------------- (1964) The Religion Of Java, The Press of Glencoe:London.
------------------- (1988) Works and Lives the Anthropologist as Author. Stanford California : Stanford
University Press.
Hall, Edward T. dan Mildred Reed Hall (1987)"The Sounds of Silence" dalam Spradley, James P. dan
McCurdy David W. Confirmity and Conflict: Reading in Cultural Anthropology. Edisi Ke-6.
Canada: Little, Brown & Company Limited.
Harris, Marvin (1985) The Sacret Cow and the Abominable Pig: Riddles of Food and Culture, New
York: Simons and Schuster, Inc
Kottak, Conrad Phillip (1991) Anthropology: The Exploration of Human Diversity, New York:
McGraw-Hill, Inc..
Kroeber A.L dan C. Kluckhohn (1952) Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions dalam
Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi (1990)
Kuper, Adam (1999) Culture: The Anthropologist Account, USA: Harvard University Press.
Kusmaidi Et all (1995) Studi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Terasing Mentawai. (laporan studi).
Padang: Departemen Sosial dan IKIP Padang.
Leslie, Charles (1960) Anthropology of Folk Religion, Vintage Books, Alfred A Knopf and Random
House, Inc.
Malinowski, Bronislaw (1961) Argonauts of The Western Pacific, New York:Dutton and Co, Inc.
Middleton (ed) (1967) Magic, Witchraft and Curing, New York: American Museum Sourcesbooks in
Anthropology.
Morris, Brian (1987) Anthropological Studies of Religion an Introductory Text, New York: Cambridge
University Press.
Munterberger, W (1984) “Aral Trauma and Taboo” dalam A Psycoanalytic Study of an Indonesian
Tribe, Psycoanalysis and the Social Sciences, II hlm. 129-172.
Rappaport, Roy A (1967) Pigs For The Ancestors, New Haven: Yale University Press.
Robertson, Roland (ed) (1980) Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Rudito, Bambang (2007) Bebeitei Uma: Upacara Orang Mentawai , Jakarta: ICSD.
---------------------- (2005) Pulagajat: sistem pemerintahan terendah Mentawai, Jakarta: ICSD
---------------------- (2004) Komuniti Lokal: Suara dari Pedalaman, Jakarta : ICSD.
----------------------(1999)Masyarakat dan Kebudayaan Sukubangsa Mentawai, Padang: Lab.
Antrop.”Mentawai” Unand.
Saville-Troike, Muriel. (1990) "Basic Terms, Concepts, and Issues" dalam The Ethnography of
Communication: An Introduction. Massachussetts: Basic Blackwell, Ltd.,Halaman11-48.
Spradley, James. P (ed) (1972) Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, Chandler Publishing
Company.
Stark, Rodney dan William Sims Bainbridge (1996) A Theory of Religion, New Jersey: Rutgers
University Press.
Suparlan, Parsudi (2004) Hubungan Antar Sukubangsa, Jakarta: YPKIK.
---------------------(2000a) “Ethnicity and Nationality among The Sakai: The Transformation of an
Isolated Group into a Part of Indonesian Society” dalam Jurnal Antropologi Indonesia 62: 55-74.
-----------------------.(2000b). “Pengantar” dalam Parsudi Suparlan dan Harisun Arsyad (ed) Ketakwaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen
Agama.
--------------------- (2000) Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia (Proceedings of the sixth Bienical
Research Conference edited by Michael Heigh.) Kuang, Sarawak: University Malaysia Sarawak.
----------------------(1998). Model Sosial Budaya bagi Penyelenggaraan Transmigrasi di Indonesia .
Antropologi Indonesia No. 57 Thn. XXII. Sept.-Des. 1998.
----------------------(1995a). The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society.
Arizona: Arizona State University.
-----------------------(1995b) Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
---------------------- (1991) The Javanese Dukun, Peka Publication.
------------------------(1982) :”Struktur Sosial, Agama dan Ritual:Geertz, Hertz, Cunningham, Turner dan
Levi-Strauss” dalam Ilmu Sosial Dasar, Konsorsium Antar Bidang Depdikbud.
Teeuw, A. 1984. Sastera dan Ilmu sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tuden, Arthur dan Frank Mc.Glynn (eds) (2000) Anthropological Approaches to political behavior
(terjemahan oleh Nugroho dan Suwargono), Jakarta: UI Press.
Turner, Victor (1966) The Ritual Process: Structure and anti structure, New York:Ithaca.

Anda mungkin juga menyukai