Anda di halaman 1dari 2

MENIMBANG KEBIJAKAN AUDIT HALAL ONLINE

H. Ainul Yaqin, S.Si.MSi. Apt.


Pemerhati Kebijakan JPH dan Mantan Wadir LPPOM MUI Jatim

Salah satu tahap penting dalam proses sertifikasi halal adalah audit, atau
pemeriksaan produk halal. Tujuan dari audit adalah untuk mendapatkan data yang
valid penerapan jaminan halal yang dilakukan oleh pelaku usaha atau produsen,
dengan cara melihat secara langsung proses produksi dan fasilitas produksi yang
digunakan serta hal-hal yang terkait langsung dengan kehalalan.
Pada dasarnya setiap pelaku usaha yang melakukan proses sertifikasi halal
harus terlebih dahulu menyiapkan perencanaan dalam bentuk penerapan sistem
jaminan halal (SJH). Maka para auditor yang bertugas memeriksa, bukanlah sedang
mencari-cari kelemahan atau kesalahan dari pelaku usaha, tetapi ingin memastikan
apakah penerapan jaminan halal yang dilakukan perusahaan berjalan efektif atau
tidak. Efektifitas penerapan SJH inilah yang menjadi bukti bahwa perusahaan telah
berproduksi secara konsisten untuk menghasilkan produk yang dijamin halal.
Seiring dengan kondisi pandemi Covid-19, pelaksanaan audit atau
pemeriksaan produk halal ke perusahaan menghadapi kendala. Hal ini karena untuk
menekan penyebaran Covid-19, protokol yang harus diikuti adalah mencegah sedapat
mungkin adanya kerumunan orang-orang secara berdekatan atau kontak secara
dekat antara orang perorang, lebih-lebih dalam ruang tertutup untuk waktu yang lama.
Dalam proses audit tidak dielakkan lagi adanya pertemuan orang-orang yang relatif
intensif dalam suatu ruangan dalam waktu yang relatif lama. Maka menjadi sangat
beresiko terjadinya penularan jika ada di antara yang terlibat konyak ternyata positif.
Di sisi lain, pelaksanaan audit halal tidak bisa ditunda, karena menyangkut
kelangsungan kegiatan produksi yang secara tidak langsung berhubungan dengan
keberlangsungan denyut nadi perekonomian. Jika audit halal tidak dilakukan, maka
sertifikasi halal juga akan terhenti. Hal ini menjadi masalah bagi para produsen. Maka
untuk menyikapi hal tersebut, diterapkan audit dengan pendekatan online atau audit
on desk. Artinya auditor tidak hadir ke lokasi, namun berkomunikasi dan berkoordinasi
secara online dengan pihak perusahaan.
Secara hukum, penerapan audit online memperoleh pengakuan, artinya
dinyatakan legal. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2021 pasal
70 ayat (3) yang menyatakan: “Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang_undangan, pemeriksaan produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring”.
Yang menjadi masalah, pemeriksaan secara daring atau online tidak bisa
secara optimal mengetahui kondisi yang sebenarnya lokasi dan kondisi fasilitas
produksi. Padahal hal ini menjadi faktor penting dalam proses pemeriksaan produk
halal. Fasilitas produksi adalah salah satu faktor dari tiga faktor yang menentukan,
yaitu produk, bahan dan fasilitas produksi.
Ada banyak hal yang tidak bisa terungkap jika hanya dilakukan dengan audit
on deks atau secara daring saja. Misanya terkait mencermati fasilitas produksi,
fasilitas penyimpanan bahan, fasiltas penyimpanan produk, fasilitas pengangkutan,
dan sebagainya, apakah bisa diketahui benar-benar bisa terjaga dari kontaminasi jika
dilakukan dengan hanya audit online. Dengan sistem daring atau online, hal-hal
tersebut hanya dapat terkonfirmasi secara sepihak dari penjelasan pelaku usaha,
belum terkonfirmasi secara langsung dengan melihat ke lapangan. Inilah yang
menjadi masalah krusial terutama jika ada hal yang tidak buisa secara terbuka
diungkap oleh pelakau usaha, atau pelaku usaha mempunyai keterbatasan untuk
mengungkapnya misalnya dalam kasus usaha-usaha mikro, atau lebih-lebih jika ada
faktor ketidakjujuran.
Sebagai contoh dalam kasus usaha mikro atau usaha rumah tangga yang
produksinya dilakukan di rumah, yang secara kebetulan pelaku usaha mempunyai
anjing piaraan. Apakah fasilitas dan sarana produksi bisa terjaga dari kontaminasi
karena adanya sentuhan dengan anjing piaraan. Hal ini menjadi persoalan penting
terkait dengan produksi yang menjamin kehalalan. Fatwa MUI yang menjadi acuan
dalam produksi halal di Indonesia mengikuti pandangan bahwa najis anjing adalah
najis mughalladhah atau najis berat.
Contoh yang lain terkait dengan sarana penyimpanan bahan dan produk jadi,
apakah tidak ada bahan lain di luar bahan-bahan untuk produksi dan produk jadi yang
disimpan dalam gudang penyimpanan bahan dan produk. Jika ada apakah bahan-
bahan tersebut termasuk kritis atau tidak. Jika termasuk kritis apakah sudah
diterapkan sistem pengendaliannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya bisa
terjawab secara valid dengan cara melihat langsung ke lokasi.
Contoh kasus di atas, misanya kebetulan pelaku usahanya seorang non
muslim yang mengkonsumsi daging babi. Usahanya termasuk kategori usaha mikro
dan produksinya dilakukan di rumah. Beberapa bahannya disimpan dalam ruang
penyimpanan dingin atau dalam almari es yang di dalanya juga tersimpan bahan lain
misalnya daging yang tidak halal. Maka hal ini menjadi faktor krusial yang serius.
Saat ini kondisi pandemi sudah mulai turun, semestinya kebijakan penerapan
audit dengan sistem online perlu ditinjau lagi. Pelaksanaan audit offline perlu
diterapkan kembali walapun harus diberlakukan penerapan protokol secara ketat.
Kebijakan pemerintah yang menerapkan PPKM dengan berbagai level mestinya
menjadi acuan.
Mengingat ada banyak lembaga pemeriksa, Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) sekalu lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengawal pelaksanaan jaminan produk halal perlu membuat ketentuan teknis
kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam masalah penerapan audit onlimen
dan offline ini. Dengan demikian, jaminan halal tetap dapat diwujudkan secara optimal.
Jangan sampai ada lembaga pemeriksan yang sudah susah payah melakukan audit
langsung atau secara offline, lalu diperlakukan sama dengan yang cuma melakukan
audit online.

Anda mungkin juga menyukai