Penulis: Rahmanto Tyas Raharja | Editor: Aulia Rahman Nugraha, Edi Chandren
Published date: 11/12/2023
Executive Summary
● Jika diimplementasikan, rencana peningkatan batas modal minimum bagi
perusahaan asuransi di Indonesia (mulai 2026) dapat menyebabkan konsolidasi
industri, sehingga berpotensi menimbulkan aksi korporasi ke depannya seperti
rights issue, private placement, hingga merger dan akuisisi.
● Berkaca pada kebijakan serupa yang terjadi di industri perbankan, kami menilai
sentimen peningkatan batas modal minimum dapat menjadi katalis dan
berpotensi mendorong harga saham emiten-emiten asuransi pada 2024-2025.
● Kami menilai emiten asuransi small-cap dengan ekuitas di bawah Rp500 M
memiliki potensi dan urgensi terbesar untuk melakukan aksi korporasi demi
dapat mematuhi batas modal minimum.
● Top pick kami adalah: JMAS, MTWI, AHAP
● Risiko datang dari kepastian mengenai pelaksanaan rencana ini, likuiditas
perdagangan emiten asuransi small-cap yang cenderung tidak likuid, dan tren
bullish harga saham seperti di industri perbankan pada 2020–2022 juga mungkin
tidak terjadi pada industri asuransi.
Sekilas Rencana Peningkatan Batas Modal Minimum Industri Asuransi dan
Implikasinya
Pada Juni 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan wacana untuk
meningkatkan batas modal minimum bagi perusahaan asuransi dan reasuransi, baik
konvensional maupun syariah. Peningkatan tersebut rencananya akan dilakukan secara
bertahap mulai 2026 hingga 2028.
Deskripsi: Perbandingan antara antara ketentuan modal disetor minimum pendirian perusahaan asuransi saat ini dan rencana
perubahan modal minimum industri asuransi.
Sumber: POJK No.67/POJK.05/2016 dan saduran dari berbagai media
Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Lembaga Penjamin dan Dana
Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan bahwa ketentuan untuk modal minimum
perusahaan asuransi yang baru berdiri akan lebih besar. Berikut adalah syarat modal
disetor minimum perusahaan asuransi yang baru berdiri:
● Asuransi konvensional: Rp1 T
● Asuransi syariah: Rp500 M
● Reasuransi konvensional: Rp2 T
● Reasuransi syariah: Rp1 T
Deskripsi: Tabel ekuitas minimum yang wajib dipenuhi perusahaan asuransi berdasarkan kelompoknya paling lambat pada akhir 2028.
Sumber: Infobanknews berdasarkan kutipan OJK
Perbedaan perusahaan asuransi KPPE 1 dan 2 adalah izin penjualan produknya. KPPE 2
diperkenankan untuk menjual produk yang lebih kompleks, sementara KPPE 1 yang
memiliki modal lebih rendah hanya diizinkan untuk menjual produk yang lebih simpel.
OJK juga berencana mengklasifikasikan perusahaan asuransi atau reasuransi yang belum
dapat memenuhi modal minimum hingga tenggat waktu yang telah ditentukan ke dalam
Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA). KUPA menjadi alternatif bagi perusahaan
asuransi atau reasuransi yang tidak dapat memenuhi persyaratan ekuitas minimum
hingga akhir 2028.
Perusahaan yang tidak mampu memenuhi ekuitas minimum sebagai KPPE 1 dapat
menjadi perusahaan anak dalam KUPA. KUPA nantinya dipimpin oleh satu perusahaan
asuransi atau reasuransi yang termasuk dalam KPPE 2.
Selain itu, skema pengelompokan KUPA akan mirip seperti Kelompok Usaha Bank (KUB)
di industri perbankan, di mana Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang tidak mampu
memenuhi batas modal minimum berkonsolidasi membentuk Kelompok Usaha Bank
(KUB).
Kami juga menilai POJK yang mewajibkan pemisahan UUS perusahaan asuransi juga
serupa dengan yang telah terjadi di perbankan, yang juga telah mendorong terjadinya
aksi korporasi baik spin-off independen hingga merger dan akuisisi. Kami menilai hal ini
juga dapat terjadi di industri asuransi.
Why Now?
Meski baru diimplementasikan dalam 3 tahun ke depan (2026), kami menilai bahwa
sentimen dari rencana peningkatan modal minimum berpotensi mendorong pergerakan
harga saham emiten asuransi dalam waktu dekat, yakni pada 2024–2025. Penilaian kami
didasarkan oleh sentimen serupa yang terjadi di sektor perbankan, di mana saham emiten
bank mengalami bullish pada 1–2 tahun sebelum deadline peningkatan batas modal
minimum.
Sebagai pengingat, OJK mulai mengatur peningkatan batas modal minimum bagi
perbankan pada 2020, dengan tenggat waktu selama 2 tahun hingga 2022. Saat itu, bank
umum perlu memenuhi syarat modal minimum yang dinaikkan secara bertahap dalam 3
tahun, menjadi 1 triliun rupiah pada akhir 2020, 2 triliun rupiah pada akhir 2021, dan 3
triliun rupiah pada akhir 2022.
Berikut adalah sejumlah data mengenai jarak antara batas implementasi peningkatan
batas modal minimum dengan pergerakan harga saham dan aksi korporasi yang dilakukan
beberapa bank pada 2020–2022 (sejak diumumkan hingga batas pelaksanaan):
Deskripsi: Pergerakan harga saham dan aksi korporasi yang dilakukan beberapa bank pada 2020–2022 untuk memenuhi peningkatan
batas modal minimum. Harga saham adalah harga dalam rupiah per lembar. Harga saham sudah disesuaikan dengan faktor rights issue.
Sumber: Stockbit analysis
Selain bank yang masuk di dalam tabel di atas, masih banyak kasus aksi korporasi yang
dilakukan emiten perbankan pada 2020–2022, seperti akuisisi Bank Royal oleh $BBCA,
akuisisi Bank Fama oleh $EMTK, hingga $AMRT masuk menjadi pemegang saham di
$BANK.
Saat ini, kami juga melihat sudah ada ‘tanda-tanda’ aksi korporasi yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan asuransi di Indonesia:
● Asuransi Tugu Pratama Indonesia ($TUGU) yang telah memulai proses pemisahan
(spin-off) unit usaha syariah (UUS) milik perseroan dengan progres telah mencapai
60–70% dan ditargetkan rampung pada 1H24.
● Perusahaan reasuransi grup Salim, Inare, telah menyiapkan penambahan modal
pada 2024 hingga Rp300–400 M. Sebagai informasi, Asuransi Harta Aman Pratama
($AHAP) adalah emiten asuransi yang berelasi dengan Grup Salim.
● PT Asuransi Allianz Utama Indonesia yang telah resmi melakukan spin-off unit
usaha asuransi syariah menjadi PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia.
Berikut ini merupakan emiten di industri asuransi yang diurutkan berdasarkan besaran
ekuitas:
Berdasarkan ekuitasnya, kami menilai ada beberapa skenario yang dapat terjadi jika
rencana peningkatan modal minimum ini diberlakukan. Selain itu, kami juga telah
memilih saham yang berpotensi diuntungkan dari skenario tersebut melalui catatan ‘Top
Pick’. Adapun top pick yang kami buat sudah memasukan faktor kemungkinan bagi emiten
tersebut melakukan aksi korporasi, tingkat keunikan masing-masing emiten, serta porsi
kepemilikan masyarakat.
Rights issue memiliki kemungkinan kecil mengingat valuasi pasar (harga saat ini)
yang lebih rendah dari nilai bukunya. Namun, tidak menutup kemungkinan ada
apresiasi harga pasar yang mengakibatkan valuasinya naik ke PBV di atas satu,
yang jika terjadi, memperbesar kemungkinan emiten untuk membuka opsi
melakukan rights issue.
○ Emiten asuransi yang memiliki valuasi lebih tinggi (PBV >1), memiliki potensi
untuk melakukan aksi korporasi baik rights issue, private placement, merger, dan
akuisisi. Berbeda dengan emiten asuransi dengan PBV di bawah 1, pada
kategori ini opsi rights issue terbuka karena valuasi yang dimiliki lebih tinggi
dibandingkan nilai buku perusahaan. Dalam kasus merger dan akuisisi, kami
melihat emiten pada golongan ini lebih berpotensi menjadi acquirer, dengan
target merger dengan atau akuisisi emiten asuransi yang lebih kecil. Namun,
tidak menutup kemungkinan emiten pada kategori ini menjadi target dari
perusahaan asuransi yang lebih besar, atau perusahaan konglomerasi yang ingin
masuk ke bisnis asuransi.
Kami menilai bahwa emiten pada golongan ini memiliki peluang untuk melakukan
rights issue dan private placement. Aksi korporasi merger dan akuisisi juga dapat
dieksplorasi, meski memiliki kemungkinan lebih kecil dibanding emiten pada
kategori sebelumnya.
Namun, kami menilai emiten dengan ekuitas di atas Rp1 T masih memiliki
kemungkinan untuk menggelar aksi korporasi berupa rights issue, private
placement, hingga merger dan akuisisi. Menurut kami, emiten pada kategori ini
dapat mengambil kesempatan dari peraturan peningkatan modal ini untuk
melakukan ekspansi anorganik melalui merger dan akuisisi, dengan target
perusahaan asuransi yang lebih kecil. Untuk mendapatkan dana guna
melakukannya, rights issue dan private placement merupakan opsi yang dapat dipilih
oleh emiten dalam kategori ini.
Top pick: LIFE, TUGU
Selain risiko di atas, tren bullish harga saham seperti di industri perbankan pada
2020–2022 juga mungkin tidak terjadi pada industri asuransi, mengingat kondisi kedua
industri tersebut tidak 100% sama. Hal ini terutama karena pada konsolidasi perbankan
2020-2022, terdapat katalis tambahan yaitu hot-nya pembentukan bank digital. Saat ini,
kami belum melihat hype dengan level yang sama pada asuransi, asuransi digital, ataupun
insurtech.
Nantinya, LPS bersama OJK juga akan menetapkan tingkat kesehatan bagi perusahaan
asuransi yang ikut penjaminan polis, di mana ada rencana penyesuaian ambang batas Risk
Based Capital (RBC) yang saat ini 120% kemungkinan akan dinaikan.
Stockbit Pro Insights: Ke depannya, kami melihat roadmap regulasi di industri asuransi
semakin mirip dengan industri perbankan. Meski belum terdapat detail teknis, kami
melihat skema ini dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
industri asuransi, sehingga berpotensi meningkatkan penetrasi masyarakat. Hal ini juga
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi, mengingat beberapa
kasus masalah keuangan hingga gagal bayar polis asuransi oleh beberapa perusahaan
asuransi belakangan ini. Penjaminan polis asuransi oleh LPS pada industri asuransi ini
serupa dengan penjaminan deposito yang dilakukan LPS pada industri perbankan.
Rencana peningkatan RBC juga dapat mendorong industri asuransi untuk meningkatkan
modal yang dimiliki untuk memenuhi ketentuan RBC yang berlaku.
Penulis:
Rahmanto Tyas Raharja, Investment Analyst Lead
Editor:
Edi Chandren, Investment Analyst Lead
Aulia Rahman Nugraha, Sr. Investment Journalist
Disclaimer:
Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan
rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.
Informasi ini dimiliki oleh PT Stockbit Sekuritas Digital (“Stockbit”), Perusahaan efek yang
berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.