Anda di halaman 1dari 3

LKS PENTIGRAF

Nama/NUS/KELAS: Kasihol Nathanael Hutahaean/20/XA1


Dikirim ke produkbelajar@gmail.com
Subjek dan nama file: PENTIGRAF_XA1.NUS
Batas waktu: 14 Januari 2023, pukul 23.50 WIB
Sumber Fakta/konteks: https://uap.jesuits.id/uap/

LIMA SYARAT WAJIB TUGAS PENULISAN PENTIGRAF:

1. Tulis judulnya dengan huruf kapital


2. Isi pentigraf terdiri dari 3 paragraf
3. Paragraf ke-3 harus berisi hal yang tak terduga, yang bisa menimbulkan suspense atau ketegangan
4. Jumlah dialog/kalimat langsung: 1 s.d. 2 kalimat, selebihnya dibuat dalam bentuk narasi/deskripsi
5. Jumlah maksimal kata: 210 s.d. 250 kata

CONTOH PENTIGRAF

BATU SANDUNGAN – Pentigraf Rohani oleh Tengsoe Tjahjono

Ini terjadi di negeri antah berantah. Konon para orang kaya selalu bersekongkol dengan para petugas
pajak agar tidak membayar pajak untuk negara. “Jangan laporkan seluruh harta kekayaanku agar tidak
terlalu banyak pajak yang harus aku bayar,” perintahnya kepada petugas pencatat harta kekayaan. Para
orang kaya itu semakin hari semakin kaya, hartanya bertimbun untuk tujuh keturunan.

Hari demi hari pemasukan negara itu menurun. Pembangunan pun mangkrak. Jalan raya, jembatan,
gedung sekolah, pabrik, dan sebagainya terbengkalai. Jumlah karyawan dan pegawai negara yang
dirumahkan semakin banyak, pengangguran pun meningkat. Jumlah orang miskin yang harus dibiayai
negara meningkat tajam. Lalu, bagaimana dengan orang-orang kaya itu? Mereka tak bisa lagi
membelanjakan uangnya sebab kebutuhan pokok sulit didapatkan. Hartanya tak bisa menyelamatkan
dirinya.

“Bayarlah pajak agar kalian tak menjadi batu sandungan bagi banyak orang dan bagi kamu sendiri,” kata
Sang Guru Agung. Namun, ketika itu tak banyak orang yang mau mendengarkan. Sekarang mereka baru
merasakan akibatnya. Batu sandungan itu sungguh bisa menghancurkan kehidupan bersama.

Inspirasi Sabda: Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan
pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di
dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.” (Matius 17:27)

Sumber: https://www.google.com/search?q=BATU+SANDUNGAN+
%E2%80%93+Pentigraf+Rohani+oleh+Tengsoe+Tjahjono&oq=BATU+SANDUNGAN+
%E2%80%93+Pentigraf+Rohani+oleh+Tengsoe+Tjahjono&aqs=chrome..69i57j0i546.527j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
BATU SANDUNGAN – oleh Jenny Seputro

Malam ini gerimis kembali turun rintik-rintik. Tidak lama sebelum berubah menjadi hujan yang cukup
deras. Aku duduk di teras gubuk kecilku sambil menyesap secangkir kopi panas. Kutatap gundukan-
gundukan tanah yang terbentang di hadapanku, dengan batu-batu nisannya yang beraneka rupa. Di
sebelahku, Suwiro duduk mengangkang sambil memainkan ponselnya. Katanya itu posisi wenaknya.
Kami berdua sudah sama-sama tua. Usiaku tujuh puluh empat, dan Suwiro tujuh puluh dua. Sudah
puluhan tahun kami berdua menjadi penjaga makam. Tepatnya sejak kami menjadi duda kesepian setelah
anak-anak semua berkeluarga.

Kelihatannya pekerjaan ini membosankan. Setiap hari mengurusi mereka yang sudah berpulang.
Mendengar ratap tangis keluarga yang ditinggalkan, atau terkadang justru tawa canda sanak saudara yang
sudah lama tidak kumpul-kumpul. Tapi bersama Suwiro selalu ada yang menarik untuk dibahas,
ditertawakan, digosipkan. Seperti kami selalu merasa lucu kalau orang memasukkan ponsel mainan ke
dalam peti jenazah. Mungkin sebagai lambang agar komunikasi tidak terputus, aku tidak pernah paham.
Mana ada sinyal di dalam situ?

Kuhirup lagi kopi di tanganku yang sekarang hanya hangat-hangat kuku. Suwiro masih senyum-senyum
menatap ponselnya. Aku tahu dia jarang berinteraksi dengan orang-orang dunia maya. Biasanya dia hanya
menatapi foto-foto keempat anak dan kedua cucunya. Mereka yang sangat disayanginya, tapi nyaris tidak
pernah datang menjenguknya. Sering aku sengaja menyindirnya, sudah tua masih genit. Apalagi hujan-
hujan begini, salah-salah nanti tersambar petir. Kali ini dia membalas dengan seloroh kami biasanya,
kalau di bawah sana tidak ada sinyal. Aku tertawa, hingga tawaku berubah menjadi tangis yang tak
tertahankan. Air mata mengalir di pipiku, bersama percikan hujan yang menerpa wajahku. Bayangan
Suwiro pun memudar, hilang bersama angin. Kurasa aku belum mampu menerima kepergiannya, ketika
penyakit jantung merenggutnya tiga hari yang lalu.
Sumber: https://ghostwriterindonesia.com/contoh-pentigraf-tak-ada-sinyal/

Tema pentigraf: Berjalan Bersama Yang Terkucilkan


Jualan Kerupuk
Karya Kasihol Nathanael Hutahaean

Paragraf pertama
Saat itu pukul 07:08 dihari Senin, Marvin harus datang ke kampus sebelum pukul 07:30. Mengingat bahwa ia
adalah seorang anak kos yang tinggal sendiri di perantauan, Marvin menyesal karena telah begadang
semalaman. Dengan tergesa-gesa ia mengeluarkan sepedanya dan mengebut menuju kampus. Di
perjalanannya, ia melihat seorang anak yang kelihatannya sedang duduk didepan sebuah toko sambil
memajang kerupuk yang dijualnya. Padahal selama ini ia tidak pernah melihat seseorang berjualan di tempat
itu.
Paragraf kedua
Setiap hari anak itu menjual kerupuknya, Marvin yang berangkat selalu melihatnya berjualan walaupun tidak
pernah laku. Hingga akhirnya Marvin bertanya kepada anak itu. Ternyata ia telah berjualan kerupuk semenjak
masih kecil, hanya saja ia berpindah ke tempat itu karena selalu diusir oleh pemilik toko-toko sebelumnya.
Mendengar hal itu, Marvin teringat pengalaman saat ia masih kecil, dimana ia harus menjual es lilin di
desanya untuk membantu orang tua mencari uang agar Marvin bisa bersekolah. Karena merasa senasib
dengan anak itu, Marvin memutuskan untuk membantunya dengan membeli kerupuk. Marvin membayar
Rp15.000,00. Melihat wajah anak itu yang berseri-seri karena jualannya laku, Marvin merasa gembira.
Paragraf ketiga
Minggu demi minggu. Marvin membeli kerupuk anak itu, bahkan ia pernah ditunjukkan sebuah kotak pensil
bergambar pahlawan yang baru saja dibeli anak itu. Terkadang juga Marvin duduk bersama dan mengobrol
tentang berbagai hal. Hingga pada suatu hari, Marvin pergi ke tempat anak itu untuk membeli kerupuk.
Namun, di tempat itu tidak terdapat seorang anak dan kerupuknya. Marvin akhirnya bertanya dengan pemilik
toko. Katanya, “Oh, adik itu baru saja saya minta pindah saat siang tadi karena meresahkan pembeli toko.”

Anda mungkin juga menyukai