Anda di halaman 1dari 3

LKS PENTIGRAF

Nama/NUS/KELAS: Jason Gabriel Dwi Junianto Munthe/17/XA1

Dikirim ke produkbelajar@gmail.com

Subjek dan nama file: PENTIGRAF_XA1.NUS

Batas waktu: 14 Januari 2023, pukul 23.50 WIB

Sumber Fakta/konteks: https://uap.jesuits.id/uap/

LIMA SYARAT WAJIB TUGAS PENULISAN PENTIGRAF:

1. Tulis judulnya dengan huruf kapital


2. Isi pentigraf terdiri dari 3 paragraf
3. Paragraf ke-3 harus berisi hal yang tak terduga, yang bisa menimbulkan suspense atau ketegangan
4. Jumlah dialog/kalimat langsung: 1 s.d. 2 kalimat, selebihnya dibuat dalam bentuk narasi/deskripsi
5. Jumlah maksimal kata: 210 s.d. 250 kata

CONTOH PENTIGRAF

BATU SANDUNGAN – Pentigraf Rohani oleh Tengsoe Tjahjono

Ini terjadi di negeri antah berantah. Konon para orang kaya selalu bersekongkol dengan para petugas
pajak agar tidak membayar pajak untuk negara. “Jangan laporkan seluruh harta kekayaanku agar tidak
terlalu banyak pajak yang harus aku bayar,” perintahnya kepada petugas pencatat harta kekayaan. Para
orang kaya itu semakin hari semakin kaya, hartanya bertimbun untuk tujuh keturunan.

Hari demi hari pemasukan negara itu menurun. Pembangunan pun mangkrak. Jalan raya, jembatan,
gedung sekolah, pabrik, dan sebagainya terbengkalai. Jumlah karyawan dan pegawai negara yang
dirumahkan semakin banyak, pengangguran pun meningkat. Jumlah orang miskin yang harus dibiayai
negara meningkat tajam. Lalu, bagaimana dengan orang-orang kaya itu? Mereka tak bisa lagi
membelanjakan uangnya sebab kebutuhan pokok sulit didapatkan. Hartanya tak bisa menyelamatkan
dirinya.

“Bayarlah pajak agar kalian tak menjadi batu sandungan bagi banyak orang dan bagi kamu sendiri,” kata
Sang Guru Agung. Namun, ketika itu tak banyak orang yang mau mendengarkan. Sekarang mereka baru
merasakan akibatnya. Batu sandungan itu sungguh bisa menghancurkan kehidupan bersama.

Inspirasi Sabda: Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan
pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di
dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.” (Matius 17:27)
Sumber:
https://www.google.com/search?q=BATU+SANDUNGAN+%E2%80%93+Pentigraf+Rohani+oleh+Tengsoe+Tjahjono&oq=BATU+SANDUNGAN+%E2
%80%93+Pentigraf+Rohani+oleh+Tengsoe+Tjahjono&aqs=chrome..69i57j0i546.527j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8

BATU SANDUNGAN – oleh Jenny Seputro

Malam ini gerimis kembali turun rintik-rintik. Tidak lama sebelum berubah menjadi hujan yang cukup
deras. Aku duduk di teras gubuk kecilku sambil menyesap secangkir kopi panas. Kutatap
gundukan-gundukan tanah yang terbentang di hadapanku, dengan batu-batu nisannya yang beraneka
rupa. Di sebelahku, Suwiro duduk mengangkang sambil memainkan ponselnya. Katanya itu posisi
wenaknya. Kami berdua sudah sama-sama tua. Usiaku tujuh puluh empat, dan Suwiro tujuh puluh dua.
Sudah puluhan tahun kami berdua menjadi penjaga makam. Tepatnya sejak kami menjadi duda kesepian
setelah anak-anak semua berkeluarga.

Kelihatannya pekerjaan ini membosankan. Setiap hari mengurusi mereka yang sudah berpulang.
Mendengar ratap tangis keluarga yang ditinggalkan, atau terkadang justru tawa canda sanak saudara
yang sudah lama tidak kumpul-kumpul. Tapi bersama Suwiro selalu ada yang menarik untuk dibahas,
ditertawakan, digosipkan. Seperti kami selalu merasa lucu kalau orang memasukkan ponsel mainan ke
dalam peti jenazah. Mungkin sebagai lambang agar komunikasi tidak terputus, aku tidak pernah paham.
Mana ada sinyal di dalam situ?

Kuhirup lagi kopi di tanganku yang sekarang hanya hangat-hangat kuku. Suwiro masih senyum-senyum
menatap ponselnya. Aku tahu dia jarang berinteraksi dengan orang-orang dunia maya. Biasanya dia
hanya menatapi foto-foto keempat anak dan kedua cucunya. Mereka yang sangat disayanginya, tapi
nyaris tidak pernah datang menjenguknya. Sering aku sengaja menyindirnya, sudah tua masih genit.
Apalagi hujan-hujan begini, salah-salah nanti tersambar petir. Kali ini dia membalas dengan seloroh kami
biasanya, kalau di bawah sana tidak ada sinyal. Aku tertawa, hingga tawaku berubah menjadi tangis yang
tak tertahankan. Air mata mengalir di pipiku, bersama percikan hujan yang menerpa wajahku. Bayangan
Suwiro pun memudar, hilang bersama angin. Kurasa aku belum mampu menerima kepergiannya, ketika
penyakit jantung merenggutnya tiga hari yang lalu.

Sumber: https://ghostwriterindonesia.com/contoh-pentigraf-tak-ada-sinyal/
Tema pentigraf: Berjalan Bersama yang Tersingkirkan
ORANG TERSINGKIR
Karya Jason Gabriel Dwi Junianto Munthe

Paragraf pertama
Gabriel berlari sambil terengah-engah. Jam menunjukkan pukul 09:58. Ia hanya memiliki waktu 2 menit
sebelum terlambat menghadiri interview kerja. Nahas, Gabriel terlambat 3 menit dari waktu yang dijanjikan.
Sesampainya di ruang interview, ia langsung menghadap kepada si interviewer yang bermuka merah. Singkat
cerita, ia langsung ditolak olehnya. Katanya, Gabriel tidak kompeten. Meski gagal, Gabriel tak berkecil hati. Ia
menganggap bahwa kegagalan ini sudah biasa.
Paragraf kedua
Setelah itu, Gabriel kembali pulang. Selagi berjalan, ia melihat seorang kakek berkeliling menjajakan mainan
lato-lato. Kakek itu bersemangat menjual dagangannya meskipun panas mentari menyengat dan pakaiannya
basah kuyup. Sayang, tidak ada seorangpun yang membeli. Melihat hal itu, Gabriel membangkitkan
compassion dalam jiwanya dan bergegas menuju dagangan si kakek. Gabriel mengambil sepasang lato-lato
kemudian mengeluarkan dompetnya. Isinya hanya selembar Rp20.000. Uangnya akan habis untuk membeli
sepasang. Namun, Gabriel tetap ingin untuk membeli dan menyodorkan uang itu kepada sang kakek. Kakek
dengan sopan menolak. Ia tahu kalau Gabriel hanya memiliki sedikit uang.
Paragraf ketiga
Gabriel kemudian bercerita tentang dirinya yang selalu ditolak bekerja, padahal sudah dua tahun lulus dari
kuliah. Si kakek paham, sekarang ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan meskipun lulusan dari universitas
ternama. Si kakek menyarankan Gabriel untuk mengembangkan sikap dan soft skillnya. “Di zaman ini, kalau
tak spesial orang tak tertarik, Nak.” kata kakek. Gabriel merasa tersinggung dan marah. Ia membantah dan
beranggapan kalau lapangan pekerjaan memang sedikit sehingga merupakan kesalahan pemerintah. Kakek
itu berkata, “Kalau begitu, jangan kasihan dengan saya. Kasihanilah dirimu itu yang tak mau berusaha
sehingga menjadi orang tersingkir.” Gabriel terdiam membatu.

Anda mungkin juga menyukai