Anda di halaman 1dari 71

MODUL AJAR SEJARAH INDONESIA

A. Informasi Umum

Nama Satuan Pendidikan : SMA Swasta Budi Luhur


Fase / Kelas : F / XI
Tahun Ajaran : 2023/2024
Kata Kunci : Pergerakan kebangsaanIndonesia
Alokasi waktu : 2 JP x 7 pertemuan ( 630 menit)

A. Tujuan Pembelajaran

Capaian Pembelajaran Alur Tujuan Pembelajaran

- Fase F, peserta didik di Kelas XI dan XII 11.2. Menjelaskan pergerakan kebangsaan
mampu mengembangkan konsep konsep Indonesia
dasar sejarah untuk mengkaji peristiwa - 11.2. 1 Membandingkan organisasi
sejarah dalam dimensi manusia, ruang, dan
perjuangan nasional sebelum tahun 1908
waktu. Melalui literasi, diskusi, dan
penyelidikan (penelitian) berbasis proyek dan sesudah 1908
kolaboratif peserta didik mampu menjelaskan - 11.2.2 Menganalisis faktor internal (dalam
berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di negeri) dan eksternal (luar negeri) tumbuhnya
Indonesia dan dunia meliputi Kolonialisme organisasi pergerakan nasional
dan Perlawanan Bangsa Indonesia, - 11.2.3 Menjelaskan pergerakan nasional
Pergerakan Kebangsaan Indonesia,
Pendudukan Jepang di Indonesia, Proklamasi dalam periode moderat/ kooperatif
Kemerdekaan Indonesia, Perjuangan - 11.2.4 Menjelaskan pergerakan nasional
Mempertahankan Kemerdekaan, dalam periode politik
Pemerintahan Demokrasi Liberal dan - 11.2.5 Menjelaskan pergerakan nasional
Demokrasi Terpimpin,
dalam periode radikal.
- Peserta didik di Kelas XI mampu
menggunakan sumber primer dan sekunder - 11.2.6 Menganalisis perbedaan respon
untuk melakukan penelitian sejarah nasional pemerintah kolonial Belanda terhadap
dan sejarah lokal secara diakronis atau organisasi pergerakan nasional bertipe
sinkronis kemudian mengomunikasikannya moderat dan radikal
dalam bentuk lisan, tulisan, dan/atau media - 11.2.7 Membandingkan dampak dan
lain. Selain itu mereka juga mampu
keunggulan antara strategi kolaboratif (kerja
menggunakan keterampilan sejarah untuk
menganalisis dan mengevaluasi peristiwa sama) dan radikal (bawah tanah) yang
sejarah ditempuh oleh organisasi pergerakan nasional
Dengan mempelajari sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia peserta didik diharapkan dapat:

1. Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia
Selalu bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang diberikan kepada bangsa
Indonesia dengan munculnya kaum terpelajar mulai timbul kesadaran pergerakan kebangsaan untuk
menuju Indonesia merdeka.

2. Berkebhinekaan Global
Mengambil pelajaran dari para pejuang pergerakan nasional bahwa dalam membangun organisasi
pergerakan tidak bersifat kadaerahan tetapi bersifat nasional dan internasional dengan
mengenyampingkan suku, agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya.

3. Mandiri
- Mengerjakan tugas-tugas belajar yang diberikan guru secara mandiri
- Meneladani sikap mandiri para pejuang pergerakan nasional untuk melepaskan diri dari
kolonialisme menjadi negara yang merdeka.

4. Integritas
- Menumbuhkan nilai kejujuran kepada para siswa dalam mengerjakan evaluasi dan tugas-tugas
belajarnya.
- Meneladani para pejuang pergerakan nasional yang sabar, pantang menyerah, rela berkorban
untuk kemerdekaan tanah air.

5. Kritis
- Dapat memetik pelajaran nilai-nilai (value) bahwa perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri
antar daerah akan menemui kesulitan jika tidak adanya kerjasama dan persatuan antar daerah.

6. Kreatif
- Kreatif dalam memilih sumber belajar sebagai bahan diskusi kelompok sehingga menghasilkan
materi hasil diskusi dapat dipertanggungjawabkan.

7. Gotong royong
- Berkolaborasi dalam diskusi kelompok dengan saling menghargai pendapat orang lain dan
tidak memaksakan pendapatnya diterima oleh orang lain.
- Mengambil hikmah bahwa keberhasilan untuk mencapai tujuan dilandasi semangat kerjasama
(kolaborasi).

D. Sarana Prasarana
1. Jaringan internet yang memadai
2. Komputer/laptop
3. Perpustakaan, buku-buku sejarah sebagai referensi
4. Peta kekuasaan Majapahit di masa Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada yang luas
hingga ke luar negeri yang menginspirasi faktor internal (dalam negeri) tumbuhnya
organisasi pergerakan
E. Materi ajar, alat dan bahan
A. Organisasi Perjuangan Pergerakan Nasional Sebelum dan Sedudah 1908
Perjuangan bangsa menuju Indonesia merdeka memang sudah ada jauh sebelum adanya politik etis
yang dituntut Van Deventer untuk memberi kesempatan kepada pribumi agar mengenyam
pendidikan. Namun, karena perjuangan mereka masih sebatas pada kepentingan kedaerahan atau
karena harga diri serta martabat yang terabaikan karena monopoli perdagangan, maka kolonial
Belanda mudah mematahkan perjuangan mereka.
Perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro yang secara tidak sengaja terjadi bersamaan
ternyata sangat merepotkan kolonial Belanda. Baru setelah kolonial Belanda menghadapi mereka
satu demi satu, akhirnya perjuangan mereka dapat dihentikan.
Untuk lebih memahami karakter perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908, perhatikan
paparan berikut ini.
i. Sebelum Tahun 1908 dipimpin raja atau bangsawan dan tokoh agama, sedangkan setelah
1908 dipimpin dan digerakkan kaum terpelajar.

ii. Sebelum Tahun 1908 bersifat kedaerahan (lokal), sedangkan setelah 1908 bersifat nasional
dan sudah ada interaksi antardaerah.
iii. Sebelum Tahun 1908 bersifat fisik atau perjuangan dengan mengangkat senjata, sedangkan
setelah 1908 perjuangan menggunakan jalur organisasi.
iv. Sebelum Tahun 1908 terfokus pada pemimpin yang berkarisma, sedangkan setelah 1908
memiliki organisasi dengan adanya kaderisasi.
v. Sebelum Tahun 1908 bersifat reaktif dan spontan, sedangkan setelah 1908 memiliki visi
secara jelas, yakni Indonesia Merdeka.

Berikut penjelasan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme setelah


tahun 1908.

1. Dipimpin dan Digerakkan Kaum Terpelajar


Setelah tahun 1908, walaupun di antara mereka berlatar belakang bangsawan yang sehari-
harinya bergelut dengan sistem feodalisme, tetapi mereka adalah orang-orang terpelajar.
Munculnya kaum terpelajar pada saat itu tidak terlepas dari politik etis yang membuka keran
bagi kaum pribumi (inlander) untuk dapat mengenyam pendidikan. Walaupun sebatas pada
kaum bangsawan dan bukan untuk rakyat jelata, tetapi sudah cukup untuk mengantar para
tokoh untuk berpikir bagaimana cara mencapai Indonesia merdeka.
Awalnya, pendidikan dalam politik etis dibuka dengan tujuan menciptakan tenaga
administrasi terdididik dengan gaji yang murah. Namun, dengan adanya sekolah-sekolah
milik Belanda seperti HIS, ELS, MULO, dan HBS yang dinikmati tidak lebih 10 persen orang
Indonesia, ternyata dapat melahirkan golongan cendekiawan seperti Supomo, Suwardi
Suryaningrat, Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Kaum cendekia ini ada yang berjuang
secara kooperatif seperti Sukarno dan ada yang berjuang nonkooperatif seperti Sutan Syahrir.

2. Bersifat Nasional dan Sudah Ada Interaksi Antardaerah Setelah tahun 1908, kolonial
Belanda mencanangkan penjajahannya di Indonesia dalam satu komando yang memantau dari
berbagai daerah dengan nama Pax Netherlandica. Sistem Pax Netherlandica merupakan sistem
politik pembulatan negeri oleh kolonial Belanda dengan tujuan agar negara asing seperti
Inggris, Spanyol, dan Portugis tidak lagi menduduki wilayah Indonesia. Salah satu upayanya
adalah mengirim pasukan militer ke daerah yang belum dikuasai di Nusantara. Keberhasilan
sistem politik Pax Netherlandica berdampak pada penyatuan rakyat Indonesia dalam perasaan
senasib sepenanggungan, yaitu sama-sama dijajah Belanda. Penderitaan yang dialami satu
daerah tidak lagi dianggap sebagai penderitaan daerah itu semata, melainkan penderitaan
seluruh rakyat Hindia Timur (Indonesia). Hal inilah yang memicu persatuan yang pada akhirnya
melahirkan kesadaran sebagai suatu bangsa atau kesadaran nasional. Kesadaran berbangsa ini
tidak terlepas dari peran kaum terpelajar dan terdidik. Mereka bertemu satu sama lain
antardaerah di dalam negeri maupun di luar negeri saat mengenyam pendidikan. Di tempat
pendidikan, pelajar-pelajar tersebut bertemu untuk membahas nasib dan masa depan Indonesia.
Contohnya mahasiswa STOVIA (kedokteran) yang bertemu satu sama lain antardaerah yang
kemudian melahirkan organisasi Budi Utomo untuk Indonesia merdeka.
3. Perjuangan Menggunakan Jalur Organisasi Meskipun perjuangan dengan senjata dilakukan
secara sporadis, tetapi pada dasarnya setelah tahun 1908, perjuangan sudah menggunakan jalur
organisasi. Banyak cara dalam berjuang secara organisatoris, misalnya diplomasi, kampanye
lewat media radio dan 90 surat kabar, pidato di lapangan terbuka (rapat akbar), dan ada yang
menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda. Perjuangan dengan cara organisasi dikarenakan
bangsa kita sudah mulai sadar bahwa jika berjuang dengan senjata tidak mungkin menandingi
kecanggihan senjata yang dimiliki penjajah. Terbukti, keberhasilan kita mempertahankan
kemerdekaan adalah karena tokoh-tokoh pejuang Indonesia menyeimbangkan antara perjuangan
secara militer dan perjuangan melalui diplomasi.
4. Memiliki Organisasi dengan Adanya Kaderisasi Sebelum tahun 1908, perjuangan pada
umumnya tergantung pada munculnya satu atau beberapa tokoh sehingga jika tokoh tersebut
gugur atau ditangkap, dengan mudah kolonial memadamkan api perjuangan. Setelah tahun
1908, perlawanan tergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan kaderisasi yang
sudah rapi. Dengan demikian, jika pionir wafat, maka perjuangan tetap terjaga
keberlangsungannya. Contohnya dengan wafatnya Jenderal Sudirman pada usia 34 tahun,
perjuangan diteruskan oleh penggantinya, yakni jenderal Gatot Subroto.
5. Memiliki Visi Secara Jelas, yakni Indonesia Merdeka. Sebelum tahun 1908, perjuangan raja-
raja lokal dilatarbelakangi oleh monopoli perdagangan atau penguasaan daerah yang dianggap
melecehkan martabat dan harga diri penguasa daerah. Setelah tahun 1908, munculnya
organisasi-oganisasi pergerakan dilatarbelakangi satu misi dan visi yang jelas, yakni Indonesia
menuju kemerdekaan. Walaupun organisasi-organisasi kepemudaan tersebut bersifat sosial
budaya, tetapi lambat laun berubah menjadi organisasi politik dengan tujuan mengusir penjajah
dari bumi Indonesia.

B. Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Organisasi Pergerakan


Ada beberapa faktor yang memicu gerakan nasionalisme di Indonesia, baik bersifat
internal (dari dalam negeri) maupun bersifat eksternal (dari luar negeri). Untuk lebih jelasnya,
ikutilah paparan berikut ini.
1. Faktor Internal (dari Dalam Negeri)
a. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik yang Parah Akibat Penjajahan.
Penindasan, kekejaman, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial telah menyebabkan kebencian dan ketidaksukaan yang akhirnya memicu
perlawanan terhadap penjajah.
b. Munculnya Kaum Terpelajar

Kebijakan politik etis atau politik balas budi yang digagas oleh Van Deventer pada
awalnya mempunyai prinsip dasar bahwa pemerintah kolonial memiliki tanggung jawab
untuk memperbaiki taraf hidup rakyat pribumi. Walaupun pada kenyataannya oleh
penjajah niat dasar moral itu diselewengkan dengan tujuan mendidik para pribumi agar
penjajah memperoleh tenaga administratif yang cerdas dan bergaji murah, ternyata dengan
adanya pendidikan itu muncul para pelajar yang terdidik dengan wawasan lebih luas.
Setelah mempelajari berbagai perjuangan kemerdekaan bangsa lain, maka tumbuh
kesadaran dalam diri mereka bahwa setiap bangsa adalah sederajat dan berhak merdeka,
lepas dari belenggu penjajahan bangsa lain.
c. Motivasi Kejayaan Bangsa pada Masa Lampau
Tumbuh kesadaran dari para aktivis pergerakan bahwa bangsa ini pernah menjadi bangsa
yang besar, yakni ketika kejayaan Sriwijaya (Palembang) dan Majapahit (Jawa Timur)
yang dapat mempersatukan berbagai wilayah, bahkan kekuasaannya melebihi Nusantara,
yakni dari Selat Malaka sampai Tanah Genting Kra di Thailand. Kejayaan ini dapat
memotivasi bahwa bangsa ini mempunyai potensi menjadi bangsa yang mandiri dan besar
seperti halnya Sriwijaya dan Majapahit.

2. Faktor Eksternal (dari Luar Negeri)


a. Keberhasilan Pergerakan Nasional di Negara-negara Lain.
Keberhasilan pergerakan di Asia dan Afrika seperti Cina, India, Filipina, Turki, dan Mesir
membangkitkan semangat para kaum terdidik untuk berjuang sehingga dapat menikmati
keberhasilan yang sama dengan mereka.
b. Kemenangan Jepang Terhadap Rusia.
Perang tahun 1905 menyadarkan bahwa bangsa Barat (ras Kaukasoid) bukanlah bangsa
yang superior segala-galanya terhadap bangsa Timur (ras Mongoloid) karena ternyata
bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa Eropa.
c. Masuk dan Berkembangnya Paham Baru di Eropa dan Amerika.
Paham seperti liberalisme (kebebasan, kesetaraan derajat manusia, dan supremasi hukum)
yang dibawa T.S. Raffles, kebebasan-kesetaraan yang dikampanyekan Napoleon
Bonaparte, dan paham nasionalisme yang terus menggema ke seluruh dunia menumbuhkan
kesadaran bahwa setiap bangsa berhak untuk merdeka.

F. Periode Moderat/ Kooperatif


Periode moderat/kooperatif merupakan periode awal kebangkitan nasional, ketika gerakan
nasionalisme di Indonesia diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki kondisi sosial dan
budayanya. Sifat gerakan organisasi yang lahir pada periode ini adalah moderat dan kooperatif dengan
pemerintah kolonial Belanda. Organisasi yang lahir pada periode ini antara lain sebagai berikut.
1. Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang pertama kali didirikan pada 20 Mei
1998 di Jakarta. Kemunculan organisasi ini tidak lepas dari pengaruh penerapan politik etis dari
pihak Belanda. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin Sudirohusodo.
Organisasi Budi Utomo didirikan dengan tujuan untuk menggalang dana demi membantu
anak-anak bumiputra yang kekurangan dana. Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Sutomo,
seorang mahasiswa STOVIA yang kemudian dipilih menjadi ketua organisasi tersebut. Sebagian
besar pendiri Budi Utomo adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo,
Cipto Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.
Para tokoh pendiri Budi Utomo berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan, pendidikan
dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi ini memiliki corak sebagai organisasi
modern, yaitu memiliki pimpinan, ideologi, dan keanggotaan yang jelas. Organisasi Budi Utomo
bersifat kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, moderat, serta tidak membedakan agama,
keturunan, dan jenis kelamin.
Pada 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertama di Yogyakarta.
Dalam kongres itu, dibahas dua prinsip perjuangan, yaitu golongan muda yang menginginkan
perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan golongan tua yang
mempertahankan cara lama, yaitu perjuangan sosio- kultural.
Selanjutnya, kongres Budi Utomo tahun 1931 di Jakarta memutuskan bahwa Budi Utomo
terbuka bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada kongres tahun 1932 di Solo, diputuskan secara tegas
bahwa tujuan Budi Utomo adalah mencapai Indonesia merdeka. Untuk tujuan inilah pada tahun
1935 Budi Utomo rela meleburkan dirinya dengan mengadakan fusi dan membentuk suatu wadah
baru yang lebih besar, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra).

2. Sarekat Islam (SI)


Organisasi lain yang berdiri pada periode moderat/kooperatif adalah Sarekat Islam
(Syarikat Islam). Organisasi ini merupakan pengembangan dari Sarekat Dagang Islam (SDI)
yang didirikan tahun 1909 di Jakarta oleh R.M. Tirtodisuryo. Tujuan utama SDI adalah untuk
membela kepentingan pedagang Indonesia dari ancaman persaingan dengan pedagang Cina.
Namun, karena sering terjadi perkelahian dan kerusuhan yang dilakukan pedagang Cina dan
SDI, maka pemerintah melarang SDI.
Atas anjuran H.O.S. Cokroaminoto, pada 10 September 1912, SDI diubah menjadi
Sarekat Islam. Dasar organisasi Sarekat Islam adalah persatuan bangsa dengan Islam sebagai
tali atau simbol persatuan. Tujun dari organisasi ini adalah kemajuan perdagangan, kemajuan
hidup kerohanian, dan menggalang persatuan di antara umat Islam.
Sarekat Islam merupakan partai yang diorganisasi oleh pengusaha kecil Indonesia.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang terkenal adalah H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan
Abdul Muis. Untuk mendekati atau menarik rakyat, agama Islam-lah yang dijadikan daya
tariknya. Jadi, untuk bisa menjadikan Sarekat Islam suatu organisasi yang kuat, ia harus
bersifat massal. Hingga tahun 1916, Sarekat Islam telah memiliki 80 cabang Sarekat Islam
lokal di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota 800.000 orang.
Pada tahun 1913, Sarekat Islam menyelenggarakan kongres pertama di Surabaya.
Kongres itu menetapkan keputusan sebagai berikut. a. Sarekat Islam bukan partai politik. b.
Sarekat Islam tidak melawan Pemerintah Hindia Belanda. c. Haji Oemar Said Cokroaminoto
dipilih menjadi ketua Sarekat Islam. d. Kota Surabaya ditetapkan menjadi pusat kegiatan
Sarekat Islam.
3. Muhammadiyah

Organisasi yang lahir pada periode moderat/kooperatif adalah Muhammadiyah. Keberadaan


organisasi Budi Utomo telah memberikan inspirasi kepada K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan
sebuah organisasi yang bersifat modern. Ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18
November 1912 yang bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran Islam, yaitu
seharusnya Islam bersumber pada Alquran dan Al-Hadis, tindakannya adalah amar makruf
nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk.
Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen organisasi
modern, pendirian lembaga pendidikan, dan dakwah melalui media atau surat kabar. Sistem
pendidikan dibangun dengan cara sendiri, menggabungkan cara tradisional dengan cara modern.
Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam bidang kemasyarakatan, organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah
yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan
berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian
sosial dan tolong-menolong sesama muslim.
Selanjutnya, organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiyah di Yogyakarta sebagai
bagian dari organisasi wanita Muhammadiyah. Nama tersebut terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri
Nabi Muhammad yang dikenal taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung eko
nomi rumah tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
Aisyiyah yang masih eksis sampai sekarang didirikan sebagai pembantu peran kaum
perempuan, terutama bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, perempuan tidak mendapatkan
akses pendidikan dan kemasyarakatan karena dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan,
apalagi mempunyai peran kemasyarakatan.
Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama sama mempunyai kewajiban
untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk melalui bidang
pendidikan.

4. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Awalnya,
Taman Siswa memiliki nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan
Nasional Taman Siswa). Saat itu, Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman Indria.
Kemudian, Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang
lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Artinya, “guru jika di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa
menjalin kerja sama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para
siswanya”. Hingga saat ini, azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan.
Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren dengan
mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah
pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia.
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung.
Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan
Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang- undang Ordonansi
Sekolah Liar Tahun 1932, yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai
politik. Meski demikian, Taman Siswa mampu memberikan kontribusi yang luar biasa
bagi masyarakat luas dengan pendidikan.
Taman Siswa juga mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak mampu
disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini, sekolah Taman Siswa masih berdiri dan
tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
5. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935. Partai
ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo dan
Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia
yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut
dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat
Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh
Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi, Datuk
Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.
Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan
mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun
Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi
(menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta
mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar Dewantara, tokoh
pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar Dewantara berpesan kepada
ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan dengan menggunakan namanya karena
dapat mengkultuskan individukan dirinya. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah
sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki Hajar Dewantara”. Untuk
menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama “Taman Siswa” sebagai nama
jalan. yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg
memodifikasi politiestaat peninggalan De Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai)
yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif
dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa
Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan
memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938,
kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin,
seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra,
M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang Karena
aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah
Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno. Maka, pada
9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda
Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian,
M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan demikian, Parindra
digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda
pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di
Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk
memperoleh kemerdekaan.

6. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)


Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai-
partai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di dalam rapat
pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam GAPI, masing
masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya masing-
masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai, GAPI bertindak sebagai
penengah.
Pertama kali, 117 pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh Perindra,
untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat gelagat internasional
yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan langsung Indonesia dalam perang,
maka pembentukan badan ini terasa sangat mendesak, antara lain untuk memupuk rasa
saling menghargai serta kerja sama untuk membela kepentingan rakyat.
Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi internasional pada saat itu.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra) mengadakan
rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang baru. Sebagai
realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat umum yang
menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas sekretaris
umum, sekretaris pembantu, dan bendahara.
Jabatan-jabatan ini untuk pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra
sebagai bendahara, Abikusno Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir
Sjarifudin dari Gerindo sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra
(Partai Indonesia Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam
Indonesia), PPKI (Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam
Indonesia), Persatuan Minahasa, dan Pasundan. Dasar dasar federasi meliputi hak
menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia, demokrasi dalam usaha-usaha politik,
ekonomi, sosial, serta kesatuan aksi.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan
semua partai politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia. Sesuai
dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun organisasi- organisasi
politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2) menyelenggarakan kongres
Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya, disebutkan bahwa Gabungan Politik
Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal berikut, 1) hak

118 untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri, 2) persatuan nasional dari
seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan dalam paham politik, serta 3)
persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Meskipun persatuan nasional merupakan
dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum
pergerakan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan
GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional Indonesia di
samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-anggota pun
terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan. Terdapatnya anggota anggota GAPI,
Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo yang mempunyai konflik: PII Sukiman
dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh. Yamin. Sementara itu, perpecahan
kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama bagi GAPI untuk melakukan aksi-
aksinya. Pada rapat tanggal 4 Juli 1939, GAPI memutuskan pendirian Kongres Rakyat
Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini merupakan pelaksanaan program GAPI.
Pada 1 September 1939, Hitler menyerbu Polandia dan mulai berkobarlah Perang
Dunia II di Eropa. GAPI menekan Belanda supaya memberikan otonomi sehingga
dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia dalam melawan fasisme.
Tentu saja Belanda tidak bereaksi. Di samping itu, GAPI melakukan aksi
Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini, diharapkan pemerintah Nederland memberi
peluang untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat melalui Kongres
Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan berhubung dengan timbulnya Perang
Dunia II.
Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga menawarkan hubungan kerja sama
Indonesia dengan Belanda, dengan harapan adanya perhatian Belanda terhadap
aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk merealisasikan keputusan-keputusan
konferensi GAPI yang dilangsungkan pada 19-20 September 1939 yang antara lain
sebagai berikut. a. Perlunya dibentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari
dan oleh rakyat. Pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika
keputusan di atas dipenuhi, maka GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk
mendukung Belanda. c. Anggota-anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam
ikatan GAPI. Berparlemen merupakan program yang terus-menerus dan
disebarluaskan kepada semua partai, baik anggota GAPI maupun anggota Kongres
Rakyat Indonesia. Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang
mendapat perhatian dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa
segala sesuatu yang berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan
dibicarakan setelah selesai perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei
1940 tentu merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah
Nederland menjadi Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan
hubungan Indonesia dengan Belanda.
Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho) mendapat
tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga ditarik kembali oleh para
sponsornya. Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika
organisasi tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang
berdasarkan atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad

akan berubah menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem
pemilihan yang adil. Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI, Indonesia
Berparlemen telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia Commisie tot
bestudering van staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk mempelajari perubahan-
perubahan tata negara).
Panitia yang biasa disebut Commisie Visman karena nama ketuanya Visman ini
dibentuk pada November 1940 dan laporannya ke luar tahun 1942. Partai Indonesia
Raya (Parindra) Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada
Desember 1935.

Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi
Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia
Raya dan mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka. Di Jawa, anggota
Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo.
Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes.
Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh
Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi,
Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas. Dalam mewujudkan tujuannya,
Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun
serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin),
menyusun perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri),
mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-
percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar Dewantara,
tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar Dewantara
berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan dengan
menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya. Sehingga
pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki
Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama
“Taman Siswa” sebagai nama jalan yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936.
Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan De
Jonge menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih
baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa
Timur.
Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan
memiliki anggota sebanyak 19.500 orang. Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei
1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni
Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra,
M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia
memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik Volksraad. Karena
aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah
Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno. Maka, pada
9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda
Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian, M.H.
Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan demikian, Parindra
digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda
pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di
Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk
memperoleh kemerdekaan.
7. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai-
partai dan organisasi-organisasi politik yang berdiri pada 21 Mei 1939 di dalam rapat
pendirian organisasi nasional di Jakarta. Walaupun tergabung dalam GAPI,
masing masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh terhadap program
kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai, GAPI
bertindak sebagai penengah.
Pertama kali, 117 pimpinan dipegang oleh Mohammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujono. Inisiatif datang dari Thamrin, tokoh
Perindra, untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Karena melihat gelagat
internasional yang semakin genting serta memungkinkan keterlibatan langsung
Indonesia dalam perang, maka pembentukan badan ini terasa sangat mendesak, antara
lain untuk memupuk rasa saling menghargai serta kerja sama untuk membela
kepentingan rakyat. Adapun alasan yang tidak kalah penting adalah situasi
internasional pada saat itu.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi inisiatif M.H. Thamrin (Parindra)
mengadakan rapat pada 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang baru.
Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada 21 Mei 1939 diadakan rapat umum yang
menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Kepengurusan federasi dijalankan oleh suatu sekretariat tetap yang terdiri atas
sekretaris umum, sekretaris pembantu, dan bendahara. Jabatan-jabatan ini untuk
pertama kali diduduki oleh M.H. Thamrin dari Parindra sebagai bendahara, Abikusno
Tjokrosuyoso dari PSII sebagai sekretaris umum, dan Amir Sjarifudin dari Gerindo
sebagai sekretaris pembantu. Anggota GAPI terdiri atas Parindra (Partai Indonesia
Raya), Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), PH (Partai Islam Indonesia), PPKI
(Persatuan Partai Katolik Indonesia), PSII (Persatuan Sarekat Islam Indonesia),
Persatuan Minahasa, dan Pasundan.
Dasar-dasar federasi meliputi hak menentukan nasib sendiri, persatuan Indonesia,
demokrasi dalam usaha-usaha politik, ekonomi, sosial, serta kesatuan aksi. Sedangkan
tujuannya adalah untuk mengadakan kerja sama dan mempersatukan semua partai
politik Indonesia dan mengadakan kongres-kongres rakyat Indonesia.
Sesuai dengan anggaran dasarnya, tujuan GAPI adalah 1) menghimpun
organisasi-organisasi politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama, 2)
menyelenggarakan kongres Indonesia. Pada bagian lain anggaran dasarnya, disebutkan
bahwa Gabungan Politik Indonesia berdasarkan kepada beberapa hal berikut, 1) hak
118 untuk menentukan dan mengurus nasib bangsa sendiri, 2) persatuan nasional dari
seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan dalam paham politik, serta 3)
persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.

Meskipun persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam
kenyataannya perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan begitu
saja. Bagaimanapun, hal ini akan memengaruhi bahkan menghambat pencapaian
tujuan GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdirinya Golongan Nasional
Indonesia di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara anggota-
anggota pun terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan.
Terdapatnya anggota-anggota GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan, dan Gerindo
yang mempunyai konflik: PII Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh.
Yamin. Sementara itu, perpecahan kaum pergerakan tidak menjadi penghalang utama
bagi GAPI untuk melakukan aksi-aksinya. Pada rapat tanggal 4 Juli 1939, GAPI
memutuskan pendirian Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Pembentukan kongres ini
merupakan pelaksanaan program GAPI. Pada 1 September 1939, Hitler menyerbu
Polandia dan mulai berkobarlah Perang Dunia II di Eropa. GAPI menekan Belanda
supaya memberikan otonomi sehingga dapat dibentuk aksi bersama Belanda-Indonesia
dalam melawan fasisme. Tentu saja Belanda tidak bereaksi.
Di samping itu, GAPI melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini,
diharapkan pemerintah Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan
dan kesejahteraan rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan
berhubung dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan hal di atas, GAPI juga
menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan adanya
perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia.
Hal ini untuk merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang
dilangsungkan pada 19-20 September 1939 yang antara lain sebagai berikut. a.
Perlunya dibentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat.
Pemerintah harus bertanggung jawab kepada parlemen itu. b. Jika keputusan di atas
dipenuhi, maka GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda.
c. Anggota-anggota GAPI akan bertindak semata-mata dalam ikatan GAPI.
Berparlemen merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada
semua partai, baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia.
Tuntutan GAPI, yakni Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat
perhatian dari pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah
selesai perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak Mei 1940 tentu
merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Nederland
menjadi Exile Government di London, ini berarti semakin menjauhkan hubungan
Indonesia dengan Belanda. Pada Agustus 1940, mosi-mosi (Thamrin, Soetardjo, dan
Wiwoho) mendapat tanggapan yang umumnya negatif dari pemerintah sehingga
ditarik kembali oleh para sponsornya.
Pada bulan yang sama, GAPI memulai upaya yang terakhir ketika organisasi
tersebut mengusulkan pembentukan suatu uni Belanda Indonesia yang berdasarkan
atas kedudukan yang sama bagi kedua belah pihak dengan Volksraad akan berubah
menjadi badan legislatif yang bersifat bikameral atas dasar sistem pemilihan yang adil.
Akan tetapi, desakan yang terus-menerus dari GAPI, Indonesia Berparlemen telah
memaksa Belanda membentuk suatu panitia Commisie tot bestudering van
staattrechtelijke hervormingen (Panitia untuk mempelajari perubahan-perubahan tata
negara). Panitia yang biasa disebut Commisie Visman karena nama ketuanya Visman
ini dibentuk pada November 1940 dan laporannya ke luar tahun 1942.
G. Periode Politik
Periode politik merupakan kelanjutan dari periode moderat/kooperatif. Dalam
periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia dalam bidang politik lahir untuk meraih
kemerdekaan Indonesia. Beberapa organisasi yang muncul pada periode ini adalah
sebagai berikut.
1. Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker
(Setyabudi Danudirjo), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi
Suryaningrat) pada 25 Desember 1912 di Bandung. Organisasi ini berkomitmen untuk
menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia dengan menyebarluaskan paham
Indische nationalism (nasionalisme Hindia) yang tidak membedakan keturunan, suku
bangsa, agama, kebudayaan, maupun adat istiadat.
Cita-cita tersebut terwujud dalam surat kabar De Expres dengan semboyan
“Indische los van Holland” yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan “Indie voor
Indiers” yang berarti Hindia untuk orang Hindia.
Adapun Indische Partij memiliki program kerja seperti menanamkan cita-cita
nasional Hindia Timur (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam
pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan, memberantas
usaha usaha yang menyebabkan kebencian antaragama, memperbesar pengaruh pro-
Hindia Timur di lapangan pemerintahan, berusaha mendapatkan kesamaan hak bagi
semua orang Hindia, serta dalam hal pengajaran kegunaannya harus ditujukan untuk
kepentingan ekonomi Hindia.
Kritik yang terlalu keras membuat Indische Partij mendapat pengawalan lebih
ketat dari pihak Belanda. Belanda menolak permohonan organisasi ini untuk mendapat
status badan hukum. Kecemasan Belanda mencapai puncaknya pada tahun 1913.
Belanda menangkap dan mengasingkan ketiga pemimpin Indische Partij.
Rencana penangkapan dimulai ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar
De Expres dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang
Belanda) terbitan 13 Juli 1913. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menuliskan tentang
bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk merayakan
peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis.
Pada tahun yang sama, pemerintah Belanda menyatakan Indische Partij sebagai
organisasi terlarang. Kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Insulinde, tetapi
tidak berumur panjang. Pada tahun 1919, organisasi ini berubah nama lagi menjadi
National Indische Partij (NIP).
Pada 1914, Dr. Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit,
sedangkan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru dikembalikan pada tahun
1919. Douwes Dekker tetap bertahan di dunia politik, sedangkan Ki Hajar Dewantara
terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.

2. Gerakan Pemuda

Organisasi politik yang kedua adalah gerakan pemuda. Sejak berdirinya Budi
Utomo, unsur pemuda Indonesia mulai terlibat. Namun, unsur pemuda ini tidak lama
bertahan dalam Budi Utomo karena didominasi oleh golongan tua atau priayi. Setelah
itu, gerakan pemuda mulai tumbuh dan berkembang secara mandiri di berbagai daerah
di Indonesia. Bermula dari gerakan solidaritas yang bersifat informal, gerakan-gerakan
pemuda ini kemudian menjelma menjadi gerakan politik yang bercita-cita
mewujudkan Indonesia yang merdeka dan maju.
Gerakan pemuda yang muncul pertama kali adalah Trikoro Dharmo yang
merupakan cikal bakal dari Jong Java. Organisasi ini didirikan oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo, dan kawan-kawan di gedung STOVIA, Batavia pada tahun 1915.
Trikoro Dharmo memiliki misi dan visi yang dikembangkan sebagai tujuan dari
Trikoro Dharmo, yaitu mempererat tali persaudaraan antarsiswa siswi bumiputra
pada sekolah menengah dan kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi para
anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan
budaya. Meski demikian, tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah mencapai
Jawa Raya dengan memperkukuh rasa persatuan antarpemuda Jawa, Sunda, Madura,
Bali, dan Lombok.
Dalam kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini kemudian
berubah nama menjadi Jong Java dan berubah haluan menjadi organisasi politik.
Dalam kongres selanjutnya di Solo pada tahun 1926, Jong Java mengutarakan hendak
menghidupkan rasa persatuan bangsa Indonesia serta kerja sama antarpemuda di
seluruh Indonesia. Dengan demikian, organisasi ini menghapus sifat Jawa sentris
sehingga lahirlah Perkumpulan Pasundan, Persatuan Minahasa, Molukas, Sarekat
Celebes, Sarekat Sumatera, dan lain lain. Selain itu, juga ada organisasi kepemudaan
lain yang berasal dari Sumatra dengan nama Jong Sumatranen Bond yang didirikan
pada tahun 1917. Dari organisasi ini muncul nama-nama besar seperti Mohammad
Hatta, Mohammad Yamin, dan Bahder Johan.
Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini melontarkan pemikiran Mohammad
Yamin, yakni semua penduduk Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dan bahasa persatuan. Selanjutnya, pada tahun 1918, berdirilah
persatuan pemuda Ambon yang diberi nama Jong Ambon. Kemudian, antara tahun
1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang
terkenal dari Jong Minahasa adalah Sam Ratulangi.
Pada tahun 1926, berbagai organisasi kepemudaan berkumpul dan mengadakan
Kongres Pemuda I di Yogyakarta yang menunjukkan adanya persatuan antar pemuda
Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 26-28 Oktober
1928, sebanyak 750 orang wakil dari organisasi-organisasi kepemudaan seluruh
Indonesia berhasil menunjukkan persatuan tekad dalam Sumpah Pemuda.
Dalam kongres ini, lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman pertama kali
dikumandangkan beriringan dengan dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai
simbol identitas bangsa. Dalam butir sumpah pemuda yang pertama, “Bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia”, menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di
Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Butir pertama ini juga menjadi
tolok ukur kesetiaan rakyat terhadap negaranya.

Butir kedua, yaitu “Berbangsa satu, bangsa Indonesia”, dibutuhkan untuk


menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat dalam
sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih bersifat
kesukuan. Contohnya Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong
Java. Meskipun banyaknya perbedaan dapat menimbulkan konflik, tetapi dengan sikap
saling menghormati dan toleransi yang tinggi, perbedaan yang ada dapat menyatukan
bangsa menuju kemerdekaan. Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda berbunyi,
“Berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Tolok ukur eksistensi suatu bangsa dapat dilihat dari cara dan sikap rakyat dalam
berbahasa. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan
tanggung jawab bagi setiap warga negara. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu
berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam berbagai
kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda telah
membuktikan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah hambatan untuk mencapai
persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai hal yang
mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang mengilhami berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga saat ini.

1. Gerakan Perempuan
Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita
Kartini untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya,
pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang menyangkut
politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga dan
meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.
Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri
Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak
perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya organisasi
pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun 1904, sebelum
akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.
Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja
Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe
Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni
Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug
(1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Hadi di Jepara (1915).
Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan
kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga bertujuan
untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa, organisasi-
organisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah “Kaoetaman
Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota
Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan kerumahtanggaan diajarkan
di sekolah-sekolah ini.
Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda
Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak

Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan sekolah


rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan sekolah dasar.
Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam
menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi politik
induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi politik
mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi bagian dari
Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik dengan politik.
Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang
memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.
beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan
organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian
wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis organisasi
wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga diterima di kalangan
organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan mendukung persatuan
Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22-25
November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan
memajukan wanita Indonesia serta membuat gabungan organisasi wanita. Beberapa
organisasi yang hadir dalam kongres tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia,
Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.
Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi
wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian, pada
28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok pembahasan di
dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan antipoligami. Selain itu,
kongres juga memutuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan untuk memperbaiki nasib dan
derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang dikumpulkannya, diharapkan mampu
memperbaiki nasib wanita pada masa itu.
Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran
PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung.
Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS
bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik golongan
atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik, tetapi
pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah mengadakan
kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering menyuarakan
antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat mengecam
pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan tahun 1933
oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo) setelah partai ini
dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh pemerintah kolonial ini
mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti menjadi
“Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta.
Akan tetapi, setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K.
Trimurti dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan
sebagai organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut ke
dalam konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih dengan
PPII. IS mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan sejahteraan wanita
seperti di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita sudah sewajarnya masuk
ke lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi organisasi wanita tidak dapat
bekerja sama dengan IS yang lebih banyak menyerang federasi itu. Akan tetapi,
keduanya juga saling bekerja sama dalam rangka pengiriman delegasi kongres Wanita
Asia di Lahore.
Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di
Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan
Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia.
Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan Indonesia sekaligus
mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di Bandung pada 25-28 105
Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu.
Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat mendorong kesadaran wanita
Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Dengan mulai banyaknya kaum
wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan perlunya membentuk sebuah
organisasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja
Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri meskipun
bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib, yakni
diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu tidak
melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada pendidikan
keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran nasional. Satu hal
yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya perkumpulan dalam
kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke Studentedvereniging
(perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun 1940.
Kegiatan organisasi- organisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang Pasifik
yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa delapan
perkumpulan.
Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad
(semacam DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia,
Gang Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-organisasi
itu juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia
mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa dalam periode ini
kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik, baik dengan sikap
kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.

H. Metode Radikal
Periode radikal merupakan suatu periode yang memunculkan
organisasi organisasi politik yang kemudian dinamakan “partai”. Organisasi-organisasi
ini pada umumnya bersifat radikal dan nonkooperatif. Mereka tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita cita organisasinya.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Perhimpunan Indonesia
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan
organisasi yang bernama Indische Vereniging Salam Historia Lagu “Indonesia Raya”
diciptakan W.R. Supratman tahun 1924. Saat itu, umur pemuda yang berasal dari
Purworejo ini baru 24 tahun. Lagunya baru diperdengarkan kepada publik tahun 1928.
Siapa sangka, pada uang kertas Rp 50.000,00 edisi W.R. Supratman ada tulisan
kecil/micro word teks asli lagu Indonesia Raya hasil ciptaannya (1908), yaitu
perkumpulan Hindia yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina, dan Belanda.
Organisasi itu didirikan oleh R.M. Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R.
Husein Djajadiningrat. Semula, organisasi itu bergerak di bidang sosial dan
kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Organisasi itu
juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera. Banyaknya pemuda pelajar
di Tanah Hindia yang dibuang ke Belanda semakin menggiatkan aktivitas
perkumpulan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan itu mengutamakan masalah-
masalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat di antara mahasiswa Hindia di
Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi
Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya, pada tahun 1925, perkumpulan itu
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama
majalah terbitan mereka juga berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Itu semua
merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasionalis yang muncul di luar
tanah air.
Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka,
dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan. Perhimpunan Indonesia semakin
mendapat simpati dari para mahasiswa Indonesia di Tanah Belanda. Jumlah
keanggotaannya semakin bertambah banyak. Tahun 1926, jumlah anggota mencapai
38 orang. Di Tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan kepada semua
pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka.
PI bersemboyan “self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta-minta dan
menuntut-nuntut.
Dalam anggaran dasarnya juga disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya
diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia
berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan
tidak mungkin diadakan kerja sama (nonkooperasi). Bangsa Indonesia harus mampu
berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain. PI menjadi organisasi
politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta,
PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda
untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja
dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional.
Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap
pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik
pergerakan Indonesia karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat itu
menjadi penjajah Tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan
pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan
Indonesia. Jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan
berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala risikonya.

2. Partai Komunis Indonesia (PKI)


Istilah komunis, berasal dari bahasa Latin “comunis” yang artinya “milik
bersama”. Istilah ini berakar dari pemikiran Karl Marx dan Lenin. Dalam
perkembangannya, komunis terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran sosial demokrat
yang disebut juga sosialisme serta aliran komunisme ajaran Marx dan Lenin.
Aliran yang pertama bertujuan membentuk pemerintahan demokratis parlementer
dengan pemilihan. Sedangkan yang kedua “Komunisme Marx” yang menjadi dasar
perjuangan Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung adalah komunisme “Diktator
Proletar” yang menolak sistem demokrasi parlementer.
Pada tahun 1913, H.J.F.M. Hendriek Sneevliet, bekas anggota Partai Buruh Sosial
Demokrat Negeri Belanda, tiba di Jawa sebagai sekretaris serikat dagang perusahaan
Belanda. Tahun berikutnya ia mendirikan perkumpulan Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) bersama dengan Bergsma, Brandstander, dan
H.W. Dekker. Tujuannya adalah menyebarkan Marxisme. Semula, anggotanya hanya
orang-orang Belanda saja, seperti Cramer, Van Gelderen, dan Strokis.
Demi kemajuan perkumpulan, Sneevliet mendekati Sarekat Islam Cabang
Semarang yang dipimpin Samaun dan Darsono. Pendekatan itu berhasil dengan baik.
Samaun dan Darsono dipengaruhi dan masuk sebagai anggota ISDV. PKI sendiri
berdiri pada tahun 1920 dengan Semaun sebagai ketuanya.
Dalam perjuangannya, PKI menggunakan strategi garis komunis internasional,
yaitu dengan melakukan penyusupan ke dalam tubuh partai-partai lain. Tujuannya agar
organisasi lain terpecah belah dan anggotanya beralih menjadi anggota PKI sehingga
kelak mereka dapat membentuk negara komunis. Salah satu organisasi yang disusupi
PKI adalah Sarekat Islam. Hal itu mungkin karena Sarekat Islam memperkenankan
adanya keanggotaan rangkap, sehingga timbul SI putih dan SI merah (telah disusupi
ISDV atau PKI).
PKI yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh sejak semula sudah
sadar bahwa pemerintah Belanda selalu menindas rakyat, termasuk kaum buruh.
Untuk itu, setiap ada kesempatan, PKI selalu melakukan pemogokan dan kekacauan,
dengan puncak berupa pemberontakan.
Pemberontakan PKI meletus pada tahun 1926 di Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat, kemudian meluas ke Sumatra pada tahun 1927. Akan tetapi,
pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga
banyak anggota PKI yang ditawan dan sebagian dibuang ke Tanah Merah dan Digul,
Irian Barat. Di antara mereka terdapat Aliarkham dan Sarjono, 110 sementara Alimin
dan Muso berhasil melarikan diri ke luar negeri.

3. Partai Nasional Indonesia (PNI)

Partai Nasional Indonesia merupakan perkembangan dari kelompok belajar


(Algemeene Studie Club). Rapat yang dihadiri Sukarno, Cipto Mangunkusumo,
Suyudi, dan beberapa mantan anggota Perhimpunan Indonesia, di antaranya Iskaq
Cokroadisuryo, Budiarto, dan Sunario, berhasil membentuk organisasi pergerakan
baru yang dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI ini sangat terpengaruh oleh Perhimpunan Indonesia. Tujuan didirikannya PNI
adalah kemerdekaan Indonesia. Ideologi partai ini dikenal dengan istilah
Marhaenisme, yaitu suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya
masyarakat sejahtera yang merata. Adapun perjuangan PNI didasarkan pada trilogi
perjuangan, yaitu kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Dengan trilogi perjuangannya ini, PNI berhasil menghimpun partai-partai lain ke
dalam suatu organisasi bersama, yaitu Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI). PNI bersama partai lain dalam PPPKI melakukan propaganda
untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.
Tindakan PNI itu tentu saja menggusarkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda melakukan tindakan keras dengan menggeledah markas PNI dan
menangkap para tokohnya. Dalam peristiwa penangkapan yang terjadi pada 28
Desember 1929 itu, pemerintah Belanda berhasil menangkap Sukarno, Maskun, Gatot
Mangkupraja, dan Supriadinata.
Mereka kemudian diajukan ke pengadilan kolonial. Dalam sidang di pengadilan
kolonial Bandung, Sukarno dan kawan kawannya didampingi pembela, yaitu Sastro
Mulyono, Sartono, dan Suyudi, yang juga merupakan anggota PNI. Dalam sidang itu,
Sukarno menyampaikan pembelaannya yang diberi judul Indonesia Menggugat. Di
sana, Soekarno mengungkapkan bahwa pergerakan di kalangan rakyat bukanlah hasil
dari hasutan, melainkan reaksi yang wajar dari kaum tertindas yang ingin merdeka.
Namun, meskipun pengadilan tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya,
Sukarno dan kawan-kawan tetap dijatuhi hukuman penjara.

4. Partai Indonesia (Partindo)


Partai Indonesia (Partindo) didirikan di Jakarta pada 30 April 1931. Pendirian
partai ini merupakan hasil keputusan Sartono sewaktu ia menjabat ketua PNI-Iama
menggantikan Sukarno yang ditangkap pemerintah Belanda pada tahun 1929. Sartono
kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo yang memiliki tujuan pokok
sama dengan PNI-lama, yaitu mencapai Indonesia merdeka dengan menjalankan
politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.
Tindakan Sartono ini mendapat reaksi keras dari anggota PNI-lama, di antaranya
Moh. Hatta dan Sutan Syahrir, serta golongan yang tidak menyetujui dengan
pembubaran ini. Mereka membentuk Golongan Merdeka dan menjadi organisasi baru
bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Partindo dan PNI-baru pun
bersaing dalam memperoleh simpati rakyat.

Setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada tahun 1932, ia bertekad
menyatukan kembali PNI-baru dengan Partindo. Akan tetapi, usahanya mengalami
kegagalan sehingga ia akhirnya memutuskan untuk memilih Partindo untuk
mengembangkan kemampuan agitasinya. Ia mengumumkan keputusannya tersebut
pada 1 Agustus 1932. karena organisasi tersebut lebih sesuai dengan pribadinya dan
menawarkan kebebasan Jumlah anggota Partindo tahun 1932 meningkat cukup pesat
karena daya tarik Sukarno. Akan tetapi, kewibawaannya telah menurun dibandingkan
saat ia memimpin PNI-lama. Pendapat pendapatnya sering kali ditentang oleh
pengurus
Partindo lainnya dan peranannya lebih terbatas di Partindo Cabang Bandung.
Meskipun demikian, usul Sukarno untuk mengganti nama Partindo menjadi PNI
(Partai Nasional Indonesia) mendapat dukungan dari banyak anggota. Meskipun
mendapat banyak dukungan, usul tersebut menemui kegagalan, tetapi konsepnya
tentang Marhaenisme dan sosio-ekonomi diterima partai.
Sejak Sukarno memilih Partindo, maka PNI-baru berjuang sekuat tenaga untuk
menarik simpati rakyat. Antara kedua organisasi ini kadang terjadi saling ejek-
mengejek. Pemimpin Partindo seperti Sartono dan Sujudi dinilai sebagai kaum borjuis
nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme Indonesia.
Gerakan Swadesi Partindo juga mendapat kritikan.
Menurut Hatta dan Syahrir, kaum nasionalis harus bersatu untuk mencapai
kemerdekaan. Aktivitas Partindo juga dihambat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun mendapat pembatasan-pembatasan dan pelarangan, tokoh-tokoh Partindo
tidak pernah menggubrisnya. Lewat majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia
Moeda, mereka melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan
mengejek tindakan imperialisme Belanda.
Melihat hal itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan gubernur jenderal,
yaitu exorbitante rechten, membuang aktivis pergerakan yang dianggap
membahayakan ketenteraman negara. Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores).
Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah memberikan
pengaruh kepada partai ini. Pada tahun 1936, pengurus Partindo mengumumkan
pembubaran dirinya.
Pembubaran ini atas ide Sartono yang menggantikan kedudukan Sukarno sebagai
ketua. Golongan yang tidak setuju kemudian mendirikan Komite Pertahanan Partindo
di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran itu, tetapi tidak berhasil.
Akhirnya, tahun 1937, partai tersebut benar-benar bubar dan sebagian besar
anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo sedikit
berbeda dengan Partindo, yaitu menjunjung asas kooperatif terhadap Belanda.
I. Respon Kolonial Belanda terhadap Perjuangan Moderat dan Radikal
Perjuangan pergerakan melalui strategi moderat adalah bentuk perjuangan untuk
memperbaiki kondisi sosial dan budaya. Sifat gerakan ini sangat kooperatif dengan
Kolonial Belanda sehingga Belanda tidak merasa terancam. Karena bersifat non politis
maka Kolonial Belanda membiarkan organisasi ini berkembang. Perkembangan
organisasi akibat pembiaran dari pihak kolonial inilah yang kemudian menumbuh
kembangkan rasa cinta tanah air dan kesadaran nasional untuk Indonesia merdeka.
Sebaliknya strategi perjuangan dengan cara radikal mendapat tentangan keras dari
Kolonial Belanda karena perjuangan ini mengancam kolonisasi pihak Belanda. Para
pejuang pergerakan itu tidak mau bekerja sama dengan Kolonial Belanda bahkan ada

yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda seperti yang dilakukan PKI (Partai
Komunis Indonesia) pada tahun 1926. Akibatnya para tokohnya dikejar-kejar kolonial
dan organisasi dibubarkan kolonial.

J. Keunggulan antara strategi kolaboratif (kerja sama) dan radikal (bawah tanah)
Strategi perjuangan pergerakan dengan cara kolaboratif tentunya mempunyai
keuntungan:1). Perjuangan dapat berkembang dengan pesat karena memperjuangkan
pendidikan, agama, budaya, dan kesejahteraan rakyat. 2). Dapat bekerja sama dengan
kolonial untuk tujuan Indonesia merdeka. 3). Hasil perjuangan dapat terlihat secara nyata
misalnya a). KH. Ahmad Dahlan bergerak dalam bidang keagamaan yang mendirikan
Muhammadiya. b). Ki Hajar Dewantara begerak dalam bidang pendidikan yang
mendirikan Taman Siswa. c). Budi Utomo yang membangun organisasi kepemudaan
berdasarkan cita-cita nasionalisme tampa membedakan suku, agama, daerah dan asal-
usul. d). Serekat Islam yang bertujuan untuk kemajuan perdagangan dari anggotanya
sehingga meningkatkan kesejateraan para pedagang dan konsumennya
K. Organisasi Perjuanagn Pergerakan Nasional Sebelum dan Sedudah 1908
Perjuangan bangsa menuju Indonesia merdeka memang sudah ada jauh sebelum adanya
politik etis yang dituntut Van Deventer untuk memberi kesempatan kepada pribumi agar
mengenyam pendidikan. Namun, karena perjuangan mereka masih sebatas pada
kepentingan kedaerahan atau karena harga diri serta martabat yang terabaikan karena
monopoli perdagangan, maka kolonial Belanda mudah mematahkan perjuangan mereka.
Perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro yang secara tidak sengaja terjadi
bersamaan ternyata sangat merepotkan kolonial Belanda. Baru setelah kolonial Belanda
menghadapi mereka satu demi satu, akhirnya perjuangan mereka dapat dihentikan.
Untuk lebih memahami karakter perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908,
perhatikan paparan berikut ini.
1. Sebelum Tahun 1908 dipimpin raja atau bangsawan dan tokoh agama, sedangkan
setelah 1908 dipimpin dan digerakkan kaum terpelajar.
2. Sebelum Tahun 1908 bersifat kedaerahan (lokal), sedangkan setelah 1908 bersifat
nasional dan sudah ada interaksi antardaerah.
3. Sebelum Tahun 1908 bersifat fisik atau perjuangan dengan mengangkat senjata,
sedangkan setelah 1908 perjuangan menggunakan jalur organisasi.
4. Sebelum Tahun 1908 terfokus pada pemimpin yang berkarisma, sedangkan setelah 1908
memiliki organisasi dengan adanya kaderisasi.
5. Sebelum Tahun 1908 bersifat reaktif dan spontan, sedangkan setelah 1908 memiliki visi
secara jelas, yakni Indonesia Merdeka.
Berikut penjelasan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme
setelah tahun 1908.

1. Dipimpin dan Digerakkan KaumTerpelajar


Setelah tahun 1908, walaupun di antara mereka berlatar belakang bangsawan yang
sehari-harinya bergelut dengan sistem feodalisme, tetapi mereka adalah orang-orang
terpelajar. Munculnya kaum terpelajar pada saat itu tidak terlepas dari politik etis
yang membuka keran bagi kaum pribumi (inlander) untuk dapat mengenyam
pendidikan. Walaupun sebatas pada kaum bangsawan dan bukan untuk rakyat jelata,
tetapi sudah cukup untuk mengantar para tokoh untuk berpikir bagaimana cara
mencapai Indonesia merdeka. Awalnya, pendidikan dalam politik etis dibuka dengan
tujuan menciptakan tenaga administrasi terdididik dengan gaji yang murah. Namun,
dengan adanya sekolah-sekolah milik Belanda seperti HIS, ELS, MULO, dan HBS
yang dinikmati tidak lebih 10 persen orang Indonesia, ternyata dapat melahirkan
golongan cendekiawan seperti Supomo, Suwardi Suryaningrat, Sukarno, Moh. Hatta,
dan Sutan Syahrir. Kaum cendekia ini ada yang berjuang secara kooperatif seperti
Sukarno dan ada yang berjuang nonkooperatif seperti Sutan Syahrir.
2. Bersifat Nasional dan Sudah Ada Interaksi Antardaerah
Setelah tahun 1908, kolonial Belanda mencanangkan penjajahannya di Indonesia
dalam satu komando yang memantau dari berbagai daerah dengan nama Pax
Netherlandica. Sistem Pax Netherlandica merupakan sistem politik pembulatan
negeri oleh kolonial Belanda dengan tujuan agar negara asing seperti Inggris,
Spanyol, dan Portugis tidak lagi menduduki wilayah Indonesia.
Salah satu upayanya adalah mengirim pasukan militer ke daerah yang belum
dikuasai di Nusantara. Keberhasilan sistem politik Pax Netherlandica berdampak
pada penyatuan rakyat Indonesia dalam perasaan senasib sepenanggungan, yaitu
sama-sama dijajah Belanda. Penderitaan yang dialami satu daerah tidak lagi
dianggap sebagai penderitaan daerah itu semata, melainkan penderitaan seluruh
rakyat Hindia Timur (Indonesia). Hal inilah yang memicu persatuan yang pada
akhirnya melahirkan kesadaran sebagai suatu bangsa atau kesadaran nasional.
Kesadaran berbangsa ini tidak terlepas dari peran kaum terpelajar dan terdidik.
Mereka bertemu satu sama lain antardaerah di dalam negeri maupun di luar negeri
saat mengenyam pendidikan.
Di tempat pendidikan, pelajar-pelajar tersebut bertemu untuk membahas nasib dan
masa depan Indonesia. Contohnya mahasiswa STOVIA (kedokteran) yang bertemu
satu sama lain antardaerah yang kemudian melahirkan organisasi Budi Utomo untuk
Indonesia merdeka.
3. Perjuangan Menggunakan Jalur
Organisasi Meskipun perjuangan dengan senjata dilakukan secara sporadis, tetapi
pada dasarnya setelah tahun 1908, perjuangan sudah menggunakan jalur organisasi.
Banyak cara dalam berjuang secara organisatoris, misalnya diplomasi, kampanye
lewat media radio dan 90 surat kabar, pidato di lapangan terbuka (rapat akbar), dan
ada yang menolak bekerja sama dengan kolonial Belanda. Perjuangan dengan cara
organisasi dikarenakan bangsa kita sudah mulai sadar bahwa jika berjuang dengan
senjata tidak mungkin menandingi kecanggihan senjata yang dimiliki penjajah.
Terbukti, keberhasilan kita mempertahankan kemerdekaan adalah karena tokoh-tokoh
pejuang Indonesia menyeimbangkan antara perjuangan secara militer dan perjuangan
melalui diplomasi.

4. Memiliki Organisasi dengan


Adanya Kaderisasi Sebelum tahun 1908, perjuangan pada umumnya tergantung pada
munculnya satu atau beberapa tokoh sehingga jika tokoh tersebut gugur atau
ditangkap, dengan mudah kolonial memadamkan api perjuangan. Setelah tahun 1908,
perlawanan tergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan kaderisasi yang
sudah rapi. Dengan demikian, jika pionir wafat, maka perjuangan tetap terjaga
keberlangsungannya. Contohnya dengan wafatnya Jenderal Sudirman pada usia 34
tahun, perjuangan diteruskan oleh penggantinya, yakni jenderal Gatot Subroto.
5. Memiliki Visi Secara Jelas, yakni Indonesia Merdeka
Sebelum tahun 1908, perjuangan raja-raja lokal dilatarbelakangi oleh monopoli
perdagangan atau penguasaan daerah yang dianggap melecehkan martabat dan harga
diri penguasa daerah. Setelah tahun 1908, munculnya organisasi-oganisasi pergerakan
dilatarbelakangi satu misi dan visi yang jelas, yakni Indonesia menuju kemerdekaan.
Walaupun organisasi-organisasi kepemudaan tersebut bersifat sosial budaya, tetapi
lambat laun berubah menjadi organisasi politik dengan tujuan mengusir penjajah dari
bumi Indonesia.
L. Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Organisasi Pergerakan
Ada beberapa faktor yang memicu gerakan nasionalisme di Indonesia, baik
bersifat internal (dari dalam negeri) maupun bersifat eksternal (dari luar negeri). Untuk
lebih jelasnya, ikutilah paparan berikut ini.
1. Faktor Internal (dari Dalam Negeri)
a. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik yang Parah Akibat Penjajahan.
Penindasan, kekejaman, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial telah menyebabkan kebencian dan ketidaksukaan yang
akhirnya memicu perlawanan terhadap penjajah.
b. Munculnya Kaum Terpelajar
Kebijakan politik etis atau politik balas budi yang digagas oleh Van Deventer pada
awalnya mempunyai prinsip dasar bahwa pemerintah kolonial memiliki tanggung
jawab untuk memperbaiki taraf hidup rakyat pribumi. Walaupun pada
kenyataannya oleh penjajah niat dasar moral itu diselewengkan dengan tujuan
mendidik para pribumi agar penjajah memperoleh tenaga administratif yang cerdas
dan bergaji murah, ternyata dengan adanya pendidikan itu muncul para pelajar yang
terdidik dengan wawasan lebih luas. Setelah mempelajari berbagai perjuangan
kemerdekaan bangsa lain, maka tumbuh kesadaran dalam diri mereka bahwa setiap
bangsa adalah sederajat dan berhak merdeka, lepas dari belenggu penjajahan bangsa
lain.
c. Motivasi Kejayaan Bangsa pada Masa Lampau
Tumbuh kesadaran dari para aktivis pergerakan bahwa bangsa ini pernah menjadi
bangsa yang besar, yakni ketika kejayaan Sriwijaya (Palembang) dan Majapahit
(Jawa Timur) yang dapat mempersatukan berbagai wilayah, bahkan kekuasaannya
melebihi Nusantara, yakni dari Selat Malaka sampai Tanah Genting Kra di
Thailand. Kejayaan ini dapat memotivasi bahwa bangsa ini mempunyai potensi
menjadi bangsa yang mandiri dan besar seperti halnya Sriwijaya dan Majapahit.

2. Faktor Eksternal (dari Luar Negeri)


a. Keberhasilan Pergerakan Nasional di Negara-negara Lain.
Keberhasilan pergerakan di Asia dan Afrika seperti Cina, India, Filipina, Turki, dan
Mesir membangkitkan semangat para kaum terdidik untuk berjuang sehingga dapat
menikmati keberhasilan yang sama dengan mereka.
b. Kemenangan Jepang Terhadap Rusia.
Perang tahun 1905 menyadarkan bahwa bangsa Barat (ras Kaukasoid) bukanlah
bangsa yang superior segala-galanya terhadap bangsa Timur (ras Mongoloid)
karena ternyata bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa Eropa.
c. Masuk dan Berkembangnya Paham Baru di Eropa dan Amerika.
Paham seperti liberalisme (kebebasan, kesetaraan derajat manusia, dan supremasi
hukum) yang dibawa T.S. Raffles, kebebasan-kesetaraan yang dikampanyekan
Napoleon Bonaparte, dan paham nasionalisme yang terus menggema ke seluruh
dunia menumbuhkan kesadaran bahwa setiap bangsa berhak untuk merdeka.

M.Periode Moderat/ Kooperatif


Periode moderat/kooperatif merupakan periode awal kebangkitan nasional, ketika
gerakan nasionalisme di Indonesia diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki
kondisi sosial dan budayanya. Sifat gerakan organisasi yang lahir pada periode ini adalah
moderat dan kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda. Organisasi yang lahir pada
periode ini antara lain sebagai berikut.
1. Budi Utomo
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang pertama kali didirikan
pada 20 Mei 1998 di Jakarta. Kemunculan organisasi ini tidak lepas dari pengaruh
penerapan politik etis dari pihak Belanda. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo. Organisasi Budi Utomo didirikan dengan tujuan untuk menggalang
dana demi membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan dana.
Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA
yang kemudian dipilih menjadi ketua organisasi tersebut. Sebagian besar pendiri Budi
Utomo adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto
Mangunkusumo, dan R.T. Ario Tirtokusumo.
Para tokoh pendiri Budi Utomo berpendapat bahwa untuk mendapatkan
kemajuan, pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama. Organisasi ini
memiliki corak sebagai organisasi modern, yaitu memiliki pimpinan, ideologi, dan
keanggotaan yang jelas. Organisasi Budi Utomo bersifat kooperatif terhadap
pemerintah kolonial Belanda, moderat, serta tidak membedakan agama, keturunan, dan
jenis kelamin.
Pada 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertama di
Yogyakarta. Dalam kongres itu, dibahas dua prinsip perjuangan, yaitu golongan muda
yang menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial,
sedangkan golongan tua yang mempertahankan cara lama, yaitu perjuangan sosio-
kultural.

Selanjutnya, kongres Budi Utomo tahun 1931 di Jakarta memutuskan bahwa Budi
Utomo terbuka bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada kongres tahun 1932 di Solo,
diputuskan secara tegas bahwa tujuan Budi Utomo adalah mencapai Indonesia
merdeka. Untuk tujuan inilah pada tahun 1935 Budi Utomo rela meleburkan dirinya
dengan mengadakan fusi dan membentuk suatu wadah baru yang lebih besar, yaitu
Partai Indonesia Raya (Parindra).
2. Sarekat Islam (SI)
Organisasi lain yang berdiri pada periode moderat/kooperatif adalah Sarekat
Islam (Syarikat Islam). Organisasi ini merupakan pengembangan dari Sarekat Dagang
Islam (SDI) yang didirikan tahun 1909 di Jakarta oleh R.M. Tirtodisuryo. Tujuan
utama SDI adalah untuk membela kepentingan pedagang Indonesia dari ancaman
persaingan dengan pedagang Cina. Namun, karena sering terjadi perkelahian dan
kerusuhan yang dilakukan pedagang Cina dan SDI, maka pemerintah melarang SDI.
Atas anjuran H.O.S. Cokroaminoto, pada 10 September 1912, SDI diubah
menjadi Sarekat Islam. Dasar organisasi Sarekat Islam adalah persatuan bangsa
dengan Islam sebagai tali atau simbol persatuan. Tujun dari organisasi ini adalah
kemajuan perdagangan, kemajuan hidup kerohanian, dan menggalang persatuan di
antara umat Islam.
Sarekat Islam merupakan partai yang diorganisasi oleh pengusaha kecil Indonesia.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang terkenal adalah H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus
Salim, dan Abdul Muis. Untuk mendekati atau menarik rakyat, agama Islam-lah yang
dijadikan daya tariknya. Jadi, untuk bisa menjadikan Sarekat Islam suatu organisasi
yang kuat, ia harus bersifat massal. Hingga tahun 1916, Sarekat Islam telah memiliki
80 cabang Sarekat Islam lokal di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota 800.000
orang.
Pada tahun 1913, Sarekat Islam menyelenggarakan kongres pertama di Surabaya.
Kongres itu menetapkan keputusan sebagai berikut. a. Sarekat Islam bukan partai
politik. b. Sarekat Islam tidak melawan Pemerintah Hindia Belanda. c. Haji Oemar
Said Cokroaminoto dipilih menjadi ketua Sarekat Islam. d. Kota Surabaya ditetapkan
menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
3. Muhammadiyah
Organisasi yang lahir pada periode moderat/kooperatif adalah Muhammadiyah.
Keberadaan organisasi Budi Utomo telah memberikan inspirasi kepada K.H. Ahmad
Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat modern. Ia pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang bercirikan organisasi sosial,
pendidikan, dan keagamaan.
Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk memurnikan ajaran
Islam, yaitu seharusnya Islam bersumber pada Alquran dan Al-Hadis, tindakannya
adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang
buruk.
Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan
manajemen organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan, dan dakwah melalui
media atau surat kabar. Sistem pendidikan dibangun dengan cara sendiri,

menggabungkan cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah
pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas.
Dalam bidang kemasyarakatan, organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik,
dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu
ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923.
Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong-menolong sesama muslim.
Selanjutnya, organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiyah di
Yogyakarta sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiyah. Nama tersebut
terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad yang dikenal taat beragama,
cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung eko nomi rumah tangga. Diharapkan profil
‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
Aisyiyah yang masih eksis sampai sekarang didirikan sebagai pembantu peran
kaum perempuan, terutama bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, perempuan
tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena dianggap tidak perlu
mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran kemasyarakatan.
Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama sama mempunyai
kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk
melalui bidang pendidikan.
4. Taman Siswa
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Awalnya, Taman Siswa memiliki nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa
(Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu, Taman Siswa hanya memiliki
20 murid kelas Taman Indria. Kemudian, Taman Siswa berkembang pesat dengan
memiliki 52 cabang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani”. Artinya, “guru jika di depan harus memberi contoh atau
teladan, di tengah harus bisa menjalin kerja sama, dan di belakang harus memberi
motivasi atau dorongan kepada para siswanya”. Hingga saat ini, azas ini masih relevan
dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan
Barat dan pondok pesantren dengan mengajukan sistem pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli
Indonesia.
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak
mendukung. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk
membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang-
undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932, yakni larangan mengajar bagi guru-guru
yang terlibat partai politik. Meski demikian, Taman Siswa mampu memberikan
kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan.
Taman Siswa juga mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak
mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini, sekolah Taman Siswa masih
berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
5. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Partai Indonesia Raya didirikan oleh dr. Sutomo di Solo pada Desember 1935.
Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi, yaitu Budi Utomo

dan Persatuan Bangsa Indonesia. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan
mulia yang hakikatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa, anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut
dengan kaum kromo. Di daerah lain, masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan
Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani
oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo, dr. Sam Ratulangi,
Datuk Tumenggung, Kwo Kwat Tiong, dan Alatas.
Dalam mewujudkan tujuannya, Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan
mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan
Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan
Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya,
serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada saat itu, Van Starkenborg, Salam Historia Ki Hajar Dewantara,
tokoh pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum meninggal, Ki Hajar Dewantara
berpesan kepada ahli warisnya agar tidak menggunakan nama jalan dengan
menggunakan namanya karena dapat mengkultuskan individukan dirinya. Sehingga
pemerintah pusat maupun daerah sampai sekarang tidak menggunakan nama jalan “Ki
Hajar Dewantara”. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah menggunakan nama
“Taman Siswa” sebagai nama jalan. yang menggantikan De Jonge pada tahun 1936.
Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan De Jonge
menjadi beambtenstaat (negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik
kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa
Timur. Pada Mei 1941 (menjelang Perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan
memiliki anggota sebanyak 19.500 orang.
Ketika dr. Soetomo meninggal pada Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua
Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan
anggota Volksraad. Sebelum menjadi ketua Parindra,
M.H. Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang sehingga ia
memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung politik Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang,
pemerintah Hindia Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Sukarno.
Maka, pada 9 Februari 1941, rumah M.H. Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia
Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria. Selang dua hari kemudian,
M.H. Thamrin mengembuskan napas yang terakhir. Dengan demikian, Parindra
digambarkan sebagai partai yang bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda
pada awal berdirinya, akan tetapi dicurigai pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di
Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk
memperoleh kemerdekaan.

N. Periode Politik
Periode politik merupakan kelanjutan dari periode moderat/kooperatif. Dalam
periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia dalam bidang politik lahir untuk meraih
kemerdekaan Indonesia. Beberapa organisasi yang muncul pada periode ini adalah
sebagai berikut.
1. Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker
(Setyabudi Danudirjo), Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi
Suryaningrat) pada 25 Desember 1912 di Bandung. Organisasi ini berkomitmen untuk
menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia dengan menyebarluaskan paham
Indische nationalism (nasionalisme Hindia) yang tidak membedakan keturunan, suku
bangsa, agama, kebudayaan, maupun adat istiadat.
Cita-cita tersebut terwujud dalam surat kabar De Expres dengan semboyan
“Indische los van Holland” yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan “Indie voor
Indiers” yang berarti Hindia untuk orang Hindia.
Adapun Indische Partij memiliki program kerja seperti menanamkan cita-cita
nasional Hindia Timur (Indonesia), memberantas kesombongan sosial dalam
pergaulan baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan, memberantas
usaha usaha yang menyebabkan kebencian antaragama, memperbesar pengaruh pro-
Hindia Timur di lapangan pemerintahan, berusaha mendapatkan kesamaan hak bagi
semua orang Hindia, serta dalam hal pengajaran kegunaannya harus ditujukan untuk
kepentingan ekonomi Hindia.
Kritik yang terlalu keras membuat Indische Partij mendapat pengawalan lebih
ketat dari pihak Belanda. Belanda menolak permohonan organisasi ini untuk mendapat
status badan hukum. Kecemasan Belanda mencapai puncaknya pada tahun 1913.
Belanda menangkap dan mengasingkan ketiga pemimpin Indische Partij.
Rencana penangkapan dimulai ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar
De Expres dengan judul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang
Belanda) terbitan 13 Juli 1913. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menuliskan tentang
bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk merayakan
peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari tangan Prancis.
Pada tahun yang sama, pemerintah Belanda menyatakan Indische Partij sebagai
organisasi terlarang. Kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Insulinde, tetapi
tidak berumur panjang. Pada tahun 1919, organisasi ini berubah nama lagi menjadi
National Indische Partij (NIP).
Pada 1914, Dr. Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit,
sedangkan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru dikembalikan pada tahun
1919. Douwes Dekker tetap bertahan di dunia politik, sedangkan Ki Hajar Dewantara
terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.
2. Gerakan Pemuda
Organisasi politik yang kedua adalah gerakan pemuda. Sejak berdirinya Budi
Utomo, unsur pemuda Indonesia mulai terlibat. Namun, unsur pemuda ini tidak lama
bertahan dalam Budi Utomo karena didominasi oleh golongan tua atau priayi. Setelah
itu, gerakan pemuda mulai tumbuh dan berkembang secara mandiri di berbagai daerah
di Indonesia. Bermula dari gerakan solidaritas yang bersifat informal, gerakan-gerakan
pemuda ini kemudian menjelma menjadi gerakan politik yang bercita-cita
mewujudkan Indonesia yang merdeka dan maju.
Gerakan pemuda yang muncul pertama kali adalah Trikoro Dharmo yang
merupakan cikal bakal dari Jong Java. Organisasi ini didirikan oleh R. Satiman

Wiryosanjoyo, dan kawan-kawan di gedung STOVIA, Batavia pada tahun 1915.


Trikoro Dharmo memiliki misi dan visi yang dikembangkan sebagai tujuan dari
Trikoro Dharmo, yaitu mempererat tali persaudaraan antarsiswa siswi bumiputra
pada sekolah menengah dan kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi para
anggotanya, serta membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan
budaya. Meski demikian, tujuan sesungguhnya dari organisasi ini adalah mencapai
Jawa Raya dengan memperkukuh rasa persatuan antarpemuda Jawa, Sunda, Madura,
Bali, dan Lombok.
Dalam kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini kemudian
berubah nama menjadi Jong Java dan berubah haluan menjadi organisasi politik.
Dalam kongres selanjutnya di Solo pada tahun 1926, Jong Java mengutarakan hendak
menghidupkan rasa persatuan bangsa Indonesia serta kerja sama antarpemuda di
seluruh Indonesia. Dengan demikian, organisasi ini menghapus sifat Jawa sentris
sehingga lahirlah Perkumpulan Pasundan, Persatuan Minahasa, Molukas, Sarekat
Celebes, Sarekat Sumatera, dan lain lain. Selain itu, juga ada organisasi kepemudaan
lain yang berasal dari Sumatra dengan nama Jong Sumatranen Bond yang didirikan
pada tahun 1917. Dari organisasi ini muncul nama-nama besar seperti Mohammad
Hatta, Mohammad Yamin, dan Bahder Johan.
Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini melontarkan pemikiran Mohammad
Yamin, yakni semua penduduk Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar dan bahasa persatuan. Selanjutnya, pada tahun 1918, berdirilah
persatuan pemuda Ambon yang diberi nama Jong Ambon. Kemudian, antara tahun
1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang
terkenal dari Jong Minahasa adalah Sam Ratulangi.
Pada tahun 1926, berbagai organisasi kepemudaan berkumpul dan mengadakan
Kongres Pemuda I di Yogyakarta yang menunjukkan adanya persatuan antar pemuda
Indonesia. Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 26-28 Oktober
1928, sebanyak 750 orang wakil dari organisasi-organisasi kepemudaan seluruh
Indonesia berhasil menunjukkan persatuan tekad dalam Sumpah Pemuda.
Dalam kongres ini, lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman pertama kali
dikumandangkan beriringan dengan dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai
simbol identitas bangsa. Dalam butir sumpah pemuda yang pertama, “Bertumpah
darah satu, tanah air Indonesia”, menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di
Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Butir pertama ini juga menjadi
tolok ukur kesetiaan rakyat terhadap negaranya.
Butir kedua, yaitu “Berbangsa satu, bangsa Indonesia”, dibutuhkan untuk
menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat dalam
sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih bersifat
kesukuan. Contohnya Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong
Java. Meskipun banyaknya perbedaan dapat menimbulkan konflik, tetapi dengan sikap
saling menghormati dan toleransi yang tinggi, perbedaan yang ada dapat menyatukan
bangsa menuju kemerdekaan. Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda berbunyi,
“Berbahasa satu, bahasa Indonesia.”

Tolok ukur eksistensi suatu bangsa dapat dilihat dari cara dan sikap rakyat dalam
berbahasa. Menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan
tanggung jawab bagi setiap warga negara. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu
berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam berbagai
kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda telah
membuktikan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah hambatan untuk mencapai
persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai hal yang
mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang mengilhami berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga saat ini.
3. Gerakan Perempuan
Kemunculan organisasi-organisasi wanita merupakan realisasi dari cita-cita
Kartini untuk memperjuangkan kedudukan sosial wanita. Pada awal kemunculannya,
pergerakan wanita belum begitu mempersoalkan masalah-masalah yang menyangkut
politik, fokus mereka adalah pada perbaikan dalam hidup berkeluarga dan
meningkatkan kecakapan sebagai seorang ibu.
Pada tahun 1912, atas segala usaha Budi Utomo, berdirilah organisasi Putri
Merdika di Jakarta. Organisasi ini bertujuan memajukan pengajaran anak-anak
perempuan. Kemunculan Putri Merdika kemudian disusul oleh munculnya organisasi
pendidikan Kautaman Istri yang dirintis oleh Dewi Sartika sejak tahun 1904, sebelum
akhirnya berubah menjadi Vereninging Kaoetaman Istri.
Mulai tahun 1910, sekolah ini diurus oleh sebuah panitia yang terdiri dari Njonja
Directour Opleidingschool, Raden Ajoe Regent, Raden Ajoe Patih, dan Raden Ajoe
Hoofd-Djaksa. Selanjutnya, Kautaman Istri berdiri di beberapa wilayah lain, yakni
Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug
(1918). Organisasi-organisasi wanita juga muncul di daerah Jawa Tengah seperti
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Hadi di Jepara (1915).
Organisasi-organisasi tersebut memfokuskan pada pelatihan untuk memajukan
kecapakan wanita, khususnya kecakapan rumah tangga. Selain itu juga bertujuan
untuk mempererat persaudaraan antara kaum ibu. Tidak hanya di Jawa, organisasi-
organisasi wanita juga bermunculan di luar Jawa. Di antaranya adalah “Kaoetaman
Istri Minangkabau” di Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota
Gedang, Sumatra Barat tahun 1914. Banyak keterampilan kerumahtanggaan diajarkan
di sekolah-sekolah ini.
Salah satu tokoh wanita yang berpengaruh di luar Jawa adalah Maria Walanda
Maramis. Pada tahun 1918, melalui perkumpulan Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurunnya (P.J.K.A.T) yang dibentuknya, pada tahun 1917 ia mendirikan sekolah
rumah tangga Indonesia pertama di Manado dengan 20 murid tamatan sekolah dasar.
Setelah tahun 1920, organisasi wanita semakin luas orientasinya, terutama dalam
menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan bersama organisasi politik
induk. Dengan semakin bertambahnya organisasi wanita, setiap organisasi politik
mempunyai bagian kewanitaan, misalnya Wanudyo Utomo yang menjadi bagian dari
Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Namun, tidak semua organisasi wanita yang muncul selalu identik dengan politik.
Salah satu contohnya adalah kemunculan ‘Aisyiyah di Muhammadiyah yang
memfokuskan tujuannya pada kegiatan sosial keagamaan.
beberapa organisasi di atas, ada jenis organisasi wanita lain yang merupakan
organisasi terpelajar seperti Putri Indonesia, JIB dames Afdeling, Jong Java bagian
wanita, organisasi Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Dari beberapa jenis organisasi
wanita tersebut, paham kebangsaan dan persatuan Indonesia juga diterima di kalangan
organisasi ini. Oleh karena itu, untuk membulatkan tekad dan mendukung persatuan
Indonesia, diadakan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22-25
November 1928. Kongres tersebut bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan
memajukan wanita Indonesia serta membuat gabungan organisasi wanita. Beberapa
organisasi yang hadir dalam kongres tersebut ialah Wanita Utomo, Putri Indonesia,
Wanita Katolik, Wanito Mulyo, ‘Aisyiyah, SI bagian wanita, dan lain-lain.
Kongres ini menghasilkan keputusan untuk membentuk gabungan organisasi
wanita dengan nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Setahun kemudian, pada
28-31 Desember 1929, PPI mengadakan kongres di Jakarta. Pokok pembahasan di
dalam kongres masih mengenai kedudukan wanita dan antipoligami. Selain itu,
kongres juga memutuskan untuk mengubah nama organisasi menjadi Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang bertujuan untuk memperbaiki nasib dan
derajat wanita Indonesia. Dengan dana yang dikumpulkannya, diharapkan mampu
memperbaiki nasib wanita pada masa itu.
Organisasi ini tidak mencampuri politik dan agama. Pada tahun 1930, atas anjuran
PNI, didirikan organisasi wanita kebangsaan bernama Istri Sedar (IS) di Bandung.
Organisasi ini memusatkan tenaganya di bidang ekonomi dan kemajuan wanita. IS
bersikap netral terhadap agama dan menjangkau semua lapisan wanita, baik golongan
atas atau bawah. IS juga tidak secara langsung terjun ke dalam politik, tetapi
pemerintah selalu mengamati aktivitas organisasi itu, terutama setelah mengadakan
kongres pada 4-7 Juni 1931. Dalam propagandanya, IS sering menyuarakan
antikolonial. Selain itu, ada sebuah organisasi wanita yang sangat mengecam
pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan “Mardi Wanita” yang didirikan tahun 1933
oleh anggota-anggota wanita partai politik Partai Indonesia (Partindo) setelah partai ini
dikenakan vergadeverbod (larangan mengadakan rapat) oleh pemerintah kolonial.
Ini mempunyai banyak cabang terutama di Jawa Tengah dan namanya diganti
menjadi “Persatuan Marhaen Indonesia” yang berpusat di Yogyakarta. Akan tetapi,
setahun kemudian, organisasi ini dikenai larangan dan ketuanya, S.K. Trimurti
dimasukkan ke penjara karena masalah pamflet. PPII dan IS dapat dikatakan sebagai
organisasi wanita yang berpengaruh saat itu. Namun, keduanya justru larut ke dalam
konflik antarorganisasi. Sejak awal pendiriannya, IS terus berselisih dengan PPII. IS
mencemooh karena PPII hanya bergerak untuk memajukan sejahteraan wanita seperti
di negara merdeka. Menurutnya, perjuangan wanita sudah sewajarnya masuk ke
lapangan politik. Di satu sisi, PPII sebagai federasi organisasi wanita tidak dapat
bekerja sama dengan IS yang lebih banyak menyerang federasi itu. Akan tetapi,
keduanya juga saling bekerja sama dalam rangka pengiriman delegasi kongres Wanita
Asia di Lahore.

Pada 20-24 Juli 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) kedua diadakan di
Jakarta. Beberapa keputusan KPI adalah mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan
Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia.
Selain itu, juga didirikan pula Badan Kongres Perempuan Indonesia sekaligus
mengakhiri kiprah PPII. Selanjutnya, KPI ketiga diadakan di Bandung pada 25-28 105
Juli 1938. Kongres tersebut menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu.
Peringatan hari ibu setiap tahun diharapkan dapat mendorong kesadaran wanita
Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Dengan mulai banyaknya kaum
wanita yang bekerja di lapangan, maka dirasakan perlunya membentuk sebuah
organisasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1940 di Jakarta dibentuk perkumpulan Pekerja
Perempuan Indonesia (PPI) yang terdiri dari mereka yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah atau swasta, guru, perawat, dan buruh. Mereka menyatukan diri meskipun
bekerja di bidang yang berbeda-beda karena mereka merasa senasib, yakni
diskriminasi kaum wanita terlihat jelas dalam kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan, gaji, dan kesempatan untuk maju. Kendati demikian, perkumpulan itu tidak
melakukan kegiatan sebagai serikat pekerja, melainkan menekankan pada pendidikan
keterampilan untuk mata pencaharian dan pembentukan kesadaran nasional.
Satu hal yang juga mencerminkan kemajuan wanita adalah terbentuknya
perkumpulan dalam kalangan mahasiswi dengan nama Indonesische Vrouwelijke
Studentedvereniging (perkumpulan mahasiswi Indonesia) di Jakarta pada tahun 1940.
Kegiatan organisasi- organisasi wanita dalam tahun sebelum pecah Perang Pasifik
yang pantas dicatat adalah rapat protes yang diselenggarakan atas prakarsa delapan
perkumpulan.
Protes ini muncul karena tidak adanya anggota wanita dalam Volksraad
(semacam DPR sekarang). Rapat ini diadakan di Gedung Permufakatan Indonesia,
Gang Kenari, Jakarta, yang dihadiri 500 dari 45 perkumpulan. Organisasi-organisasi
itu juga mendukung aksi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia
mempunyai parlemen sebagai wakil rakyat. Dapat dikatakan bahwa dalam periode ini
kaum wanita telah menaruh perhatian pada perjuangan politik, baik dengan sikap
kooperatif maupun nonkooperatif dengan pemerintah kolonial.

O. Metode Radikal
Periode radikal merupakan suatu periode yang memunculkan organisasi□organisasi politik
yang kemudian dinamakan “partai”. Organisasi-organisasi ini pada umumnya bersifat radikal
dan nonkooperatif. Mereka tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda
dalam mewujudkan cita cita organisasinya. Organisasi-organisasi tersebut antara lain sebagai
berikut.
1. Perhimpunan Indonesia
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan
organisasi yang bernama Indische Vereniging (1908) yaitu kumpulan Hindia yang
beranggotakan orang-orang Hindia, Cina, dan Belanda. Organisasi itu didirikan oleh
R.M. Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Djajadiningrat. Semula,
organisasi itu bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran
tentang situasi tanah air. Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama
Hindia Putera. Banyaknya pemuda pelajar di Tanah Hindia yang dibuang ke Belanda
semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan itu mengutamakan masalah-
masalah politik. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat di antara mahasiswa Hindia di
Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi
Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya, pada tahun 1925, perkumpulan itu
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama
majalah terbitan mereka juga berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Itu semua
merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasionalis yang muncul di luar
tanah air.
Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka,
dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan. Perhimpunan Indonesia semakin
mendapat simpati dari para mahasiswa Indonesia di Tanah Belanda. Jumlah
keanggotaannya semakin bertambah banyak. Tahun 1926, jumlah anggota mencapai
38 orang. Di Tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan kepada semua
pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka.
PI bersemboyan “self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta-minta dan
menuntut-nuntut.
Dalam anggaran dasarnya juga disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya
diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia
berdasarkan kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan
tidak mungkin diadakan kerja sama (nonkooperasi). Bangsa Indonesia harus mampu
berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain. PI menjadi organisasi
politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta,
PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda
untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja
dilakukan di Belanda dan Indonesia, tetapi juga dilakukan secara internasional.
Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap
pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik
pergerakan Indonesia karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat itu
menjadi penjajah Tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan pemuda
terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan Indonesia.
Jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan berjuang untuk
kemerdekaan tanah airnya dengan segala risikonya.

2. Partai Komunis Indonesia (PKI)


Istilah komunis, berasal dari bahasa Latin “comunis” yang artinya “milik
bersama”. Istilah ini berakar dari pemikiran Karl Marx dan Lenin. Dalam
perkembangannya, komunis terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran sosial demokrat
yang disebut juga sosialisme serta aliran komunisme ajaran Marx dan Lenin.
Aliran yang pertama bertujuan membentuk pemerintahan demokratis parlementer
dengan pemilihan. Sedangkan yang kedua “Komunisme Marx” yang menjadi dasar
perjuangan Marx, Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung adalah komunisme “Diktator
Proletar” yang menolak sistem demokrasi parlementer.
Pada tahun 1913, H.J.F.M. Hendriek Sneevliet, bekas anggota Partai Buruh Sosial
Demokrat Negeri Belanda, tiba di Jawa sebagai sekretaris serikat dagang perusahaan
Belanda. Tahun berikutnya ia mendirikan perkumpulan Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) bersama dengan Bergsma, Brandstander, dan
H.W. Dekker. Tujuannya adalah menyebarkan Marxisme. Semula, anggotanya hanya
orang-orang Belanda saja, seperti Cramer, Van Gelderen, dan Strokis.
Demi kemajuan perkumpulan, Sneevliet mendekati Sarekat Islam Cabang
Semarang yang dipimpin Samaun dan Darsono. Pendekatan itu berhasil dengan baik.
Samaun dan Darsono dipengaruhi dan masuk sebagai anggota ISDV. PKI sendiri
berdiri pada tahun 1920 dengan Semaun sebagai ketuanya.
Dalam perjuangannya, PKI menggunakan strategi garis komunis internasional,
yaitu dengan melakukan penyusupan ke dalam tubuh partai-partai lain. Tujuannya agar
organisasi lain terpecah belah dan anggotanya beralih menjadi anggota PKI sehingga
kelak mereka dapat membentuk negara komunis. Salah satu organisasi yang disusupi
PKI adalah Sarekat Islam. Hal itu mungkin karena Sarekat Islam memperkenankan
adanya keanggotaan rangkap, sehingga timbul SI putih dan SI merah (telah disusupi
ISDV atau PKI).
PKI yang sebagian besar anggotanya adalah kaum buruh sejak semula sudah
sadar bahwa pemerintah Belanda selalu menindas rakyat, termasuk kaum buruh.
Untuk itu, setiap ada kesempatan, PKI selalu melakukan pemogokan dan kekacauan,
dengan puncak berupa pemberontakan.
Pemberontakan PKI meletus pada tahun 1926 di Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat, kemudian meluas ke Sumatra pada tahun 1927. Akan tetapi,
pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga
banyak anggota PKI yang ditawan dan sebagian dibuang ke Tanah Merah dan Digul,
Irian Barat. Di antara mereka terdapat Aliarkham dan Sarjono, sementara Alimin dan
Muso berhasil melarikan diri ke luar negeri.

3. Partai Nasional Indonesia (PNI)


Partai Nasional Indonesia merupakan perkembangan dari kelompok belajar
(Algemeene Studie Club). Rapat yang dihadiri Sukarno, Cipto Mangunkusumo,
Suyudi, dan beberapa mantan anggota Perhimpunan Indonesia, di antaranya Iskaq
Cokroadisuryo, Budiarto, dan Sunario, berhasil membentuk organisasi pergerakan
baru yang dinamakan Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI ini sangat terpengaruh oleh Perhimpunan Indonesia. Tujuan didirikannya PNI
adalah kemerdekaan Indonesia. Ideologi partai ini dikenal dengan istilah
Marhaenisme, yaitu suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya
masyarakat sejahtera yang merata. Adapun perjuangan PNI didasarkan pada trilogi
perjuangan, yaitu kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Dengan trilogi perjuangannya ini, PNI berhasil menghimpun partai-partai lain ke
dalam suatu organisasi bersama, yaitu Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan

Indonesia (PPPKI). PNI bersama partai lain dalam PPPKI melakukan propaganda
untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia.
Tindakan PNI itu tentu saja menggusarkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda melakukan tindakan keras dengan menggeledah markas PNI dan
menangkap para tokohnya. Dalam peristiwa penangkapan yang terjadi pada 28
Desember 1929 itu, pemerintah Belanda berhasil menangkap Sukarno, Maskun, Gatot
Mangkupraja, dan Supriadinata.
Mereka kemudian diajukan ke pengadilan kolonial. Dalam sidang di pengadilan
kolonial Bandung, Sukarno dan kawan kawannya didampingi pembela, yaitu Sastro
Mulyono, Sartono, dan Suyudi, yang juga merupakan anggota PNI. Dalam sidang itu,
Sukarno menyampaikan pembelaannya yang diberi judul Indonesia Menggugat. Di
sana, Soekarno mengungkapkan bahwa pergerakan di kalangan rakyat bukanlah hasil
dari hasutan, melainkan reaksi yang wajar dari kaum tertindas yang ingin merdeka.
Namun, meskipun pengadilan tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya,
Sukarno dan kawan-kawan tetap dijatuhi hukuman penjara.
4. Partai Indonesia (Partindo)
Partai Indonesia (Partindo) didirikan di Jakarta pada 30 April 1931. Pendirian
partai ini merupakan hasil keputusan Sartono sewaktu ia menjabat ketua PNI-Iama
menggantikan Sukarno yang ditangkap pemerintah Belanda pada tahun 1929. Sartono
kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo yang memiliki tujuan pokok
sama dengan PNI-lama, yaitu mencapai Indonesia merdeka dengan menjalankan
politik nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.
Tindakan Sartono ini mendapat reaksi keras dari anggota PNI-lama, di antaranya
Moh. Hatta dan Sutan Syahrir, serta golongan yang tidak menyetujui dengan
pembubaran ini. Mereka membentuk Golongan Merdeka dan menjadi organisasi baru
bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru). Partindo dan PNI-baru pun
bersaing dalam memperoleh simpati rakyat.
Setelah Sukarno dibebaskan dari Penjara Sukamiskin pada tahun 1932, ia
bertekad menyatukan kembali PNI-baru dengan Partindo. Akan tetapi, usahanya
mengalami kegagalan sehingga ia akhirnya memutuskan untuk memilih Partindo
karena organisasi tersebut lebih sesuai dengan pribadinya dan menawarkan kebebasan
untuk mengembangkan kemampuan agitasinya. Ia mengumumkan keputusannya
tersebut pada 1 Agustus 1932.
Jumlah anggota Partindo tahun 1932 meningkat cukup pesat karena daya tarik
Sukarno. Akan tetapi, kewibawaannya telah menurun dibandingkan saat ia memimpin
PNI-lama.
Pendapat pendapatnya sering kali ditentang oleh pengurus Partindo lainnya dan
peranannya lebih terbatas di Partindo Cabang Bandung. Meskipun demikian, usul
Sukarno untuk mengganti nama Partindo menjadi PNI (Partai Nasional Indonesia)
mendapat dukungan dari banyak anggota. Meskipun mendapat banyak dukungan, usul
tersebut menemui kegagalan, tetapi konsepnya tentang Marhaenisme dan sosio-
ekonomi diterima partai.
Sejak Sukarno memilih Partindo, maka PNI-baru berjuang sekuat tenaga untuk
menarik simpati rakyat. Antara kedua organisasi ini kadang terjadi saling ejek-

mengejek. Pemimpin Partindo seperti Sartono dan Sujudi dinilai sebagai kaum borjuis
nasionalis yang menentang kapitalisme Barat tetapi mendukung kapitalisme Indonesia.
Gerakan Swadesi Partindo juga mendapat kritikan.
Menurut Hatta dan Syahrir, kaum nasionalis harus bersatu untuk mencapai
kemerdekaan. Aktivitas Partindo juga dihambat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun mendapat pembatasan-pembatasan dan pelarangan, tokoh-tokoh Partindo
tidak pernah menggubrisnya. Lewat majalah Pikiran Rakjat dan Soeloeh Indonesia
Moeda, mereka melancarkan kritik pedas tentang situasi ekonomi, sosial, dan
mengejek tindakan imperialisme Belanda.
Melihat hal itu, Gubernur de Jonge menjalankan kewenangan gubernur jenderal,
yaitu exorbitante rechten, membuang aktivis pergerakan yang dianggap
membahayakan ketenteraman negara. Sukarno kemudian dibuang ke Ende (Flores).
Penangkapan Sukarno dan larangan mengadakan rapat oleh pemerintah memberikan
pengaruh kepada partai ini. Pada tahun 1936, pengurus Partindo mengumumkan
pembubaran dirinya.
Pembubaran ini atas ide Sartono yang menggantikan kedudukan Sukarno sebagai
ketua. Golongan yang tidak setuju kemudian mendirikan Komite Pertahanan Partindo
di Semarang dan Yogyakarta untuk menghambat pembubaran itu, tetapi tidak berhasil.
Akhirnya, tahun 1937, partai tersebut benar-benar bubar dan sebagian besar
anggotanya masuk dalam Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo sedikit
berbeda dengan Partindo, yaitu menjunjung asas kooperatif terhadap Belanda.
P. Respon Kolonial Belanda terhadap Perjuangan Moderat dan Radikal
Perjuangan pergerakan melalui strategi moderat adalah bentuk perjuangan untuk
memperbaiki kondisi sosial dan budaya. Sifat gerakan ini sangat kooperatif dengan
Kolonial Belanda sehingga Belanda tidak merasa terancam. Karena bersifat non politis
maka Kolonial Belanda membiarkan organisasi ini berkembang. Perkembangan
organisasi akibat pembiaran dari pihak kolonial inilah yang kemudian menumbuh
kembangkan rasa cinta tanah air dan kesadaran nasional untuk Indonesia merdeka.
Sebaliknya strategi perjuangan dengan cara radikal mendapat tentangan keras dari
Kolonial Belanda karena perjuangan ini mengancam kolonisasi pihak Belanda. Para
pejuang pergerakan itu tidak mau bekerja sama dengan Kolonial Belanda bahkan ada
yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda seperti yang dilakukan PKI (Partai
Komunis Indonesia) pada tahun 1926. Akibatnya para tokohnya dikejar-kejar kolonial
dan organisasi dibubarkan kolonial.

Q. Keunggulan antara strategi kolaboratif (kerja sama) dan radikal (bawah tanah)

Strategi perjuangan pergerakan dengan cara kolaboratif tentunya mempunyai


keuntungan:1). Perjuangan dapat berkembang dengan pesat karena memperjuangkan
pendidikan, agama, budaya, dan kesejahteraan rakyat. 2). Dapat bekerja sama dengan kolonial
untuk tujuan Indonesia merdeka. 3). Hasil perjuangan dapat terlihat secara nyata misalnya a).
KH. Ahmad Dahlan bergerak dalam bidang keagamaan yang mendirikan Muhammadiya. b).
Ki Hajar Dewantara begerak dalam bidang pendidikan yang mendirikan Taman Siswa. c).
Budi Utomo yang membangun organisasi kepemudaan berdasarkan cita-cita nasionalisme
tampa membedakan suku, agama, daerah dan asal- usul. d). Serekat Islam yang bertujuan
untuk kemajuan perdagangan dari anggotanya sehingga meningkatkan kesejateraan para
pedagang dan konsumennya.
R. Kegiatan pembelajaran Utama:

Pengaturan Siswa Metode


Berkelompok - Diskusi kelompok
- Presentasi
- Ceramah
- Debad
- Bermain peran

S. Asesmen:

Individu Berkelompok
- Test tertulis PG dan essay - Diskusi kelompok
- Sikap peserta didik selama - Presentasi
mengikuti kegiatan pembelajaran - Produk hasil diskusi kelompok dalam
bentuk tulisan/tulisan/ media lain)

T. Persiapan Pembelajaran:

No Langkah Persiapan Pembelajaran Waktu


1 Membuat maind maping materi pergerakan kebangsaan 15 menit
Indonesia
2 Mencari informasi materi dan membuat pemaparan power 90 menit
point
3 Membuat tekhnis diskusi kelompok 15 menit
4 Membuat assesmen 30 menit
U. Urutan kegiatan pembelajaran dalam1 sesi pembelajaran:

Pertemuan ke-1

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa bersama-sama dipimpin
salah satu peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang pembelajaran
hari ini
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Apa perbedaan
organisasi perjuangan nasional
sebelum dan sesudah tahun 1908?
- Menyajikan informasi awal materi
tentang organisasi perjuangan
nasional sebelum tahun 1908 dan
sesudah 1908 dengan media power
point
- Siswa berdiskusi kelompok dengan
tema bentuk-bentuk perjuangan
nasional sebelum dan sesudah tahun
1908. Hasil diskusi kelompok
tersebut kemudian dipresentasikan
di depan kelas.
Penutup - Kesimpulan tentang materi hari itu 10 menit
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi tentang kelebihan dan
kelemahan pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-2
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa bersama-sama dipimpin
salah satu peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang pembelajaran
hari ini
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Apa yang mendorong
terjadinya tumbuhnya
pergerakan nasional dari dalam
dan dari luar negeri?
- Menyajikan informasi awal untuk
membuka wawasan tentang faktor
internal (dalam negeri) dan
eksternal (luar negeri) tumbuhnya
organisasi pergerakan nasional
dengan media Power point
- Guru menyajikan video/ film
tentang faktor internal (dalam
negeri) dan eksternal (luar negeri)
tumbuhnya organisasi pergerakan
nasional
- Siswa berdiskusi kelompok tentang
faktor internal (dalam negeri) dan
eksternal (luar negeri) tumbuhnya
organisasi pergerakan nasional.
Hasil diskusi kelompok tersebut
kemudian dipresentasikan di depan
kelas.
Penutup - Kesimpulan tentang materi hari itu 10 menit
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi tentang kelebihan dan
kelemahan pembelajaran hari ini
Pertemuan ke-3
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi tentang kehadiran peserta 10 menit
didik hari ini
- Berdoa secara bersama-sama
sesuai agama dipimpin satu orang
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang materi yang
dipelajari hari ini
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa organisasi
Budi Utomo bersifat moderat/
kooperatif dengan kolonial
Belanda?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
pergerakan nasional dalam periode
moderat dengan media Power point
- Guru menggunakan metode debat
dengan tema “Bentuk perjuangan
Budi Utomo”. Debat dibagi 2
kelompok pertama temanya agar
Budi Utomo bersikap politis
menentang kolonialisme sedangkan
kelompok lain mengambil tema
Budi Utomo dalam perjuangan
memilih kooperatif atau moderat.
- Dari hasil debat itu kemudian
disimpulkan dampak positif dan
negatifnya dalam memilih
perjuangan moderat maupun politik.
Penutup - Evaluasi kegiatan pembelajaran 10 menit
hari ini
- Refleksi kekurangan dan kelebihan
pembelajaran hari ini
Pertemuan ke-4
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa sesuai agama dan
keyakinan
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu

Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit


pemantik: Mengapa organisasi
pergerakan Indische Partij (IP)
memilih bentuk perjuangan lewat
politik?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
pergerakan nasional dalam periode
politik
- Peserta didik berdiskusi kelompok
membahas tentang Indische Partij
(IP), gerakan pemuda, dan gerakan
perempuan.
- Hasil diskusi kelompok kemudian
dipresentasikan di depan kelas
Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit
yang baru saja didiskusikan
- Kesimpulan secara bersama-sama
antara guru dan siswa
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi terhadap kelebihan dan
kekurangan pembelajaran hari ini
Pertemuan ke-5

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini
- Apersepsi untuk menjelaskan
pentingnya pokok bahasan hari ini
bagi kehidupan peserta didik
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa Perhimpunan
Indonesia setelah ketuanya Muh.
Hatta, organisasi mahasiswa di
Belanda ini berkembang pesat?
 Guru menyajikan informasi
awal sebagai pembuka
wawasan tentang pergerakan
nasional dalam periode radikal
 Peserta didik diskusi
kelompok tentang
Perhimpunan Indonesia,
Partai Nasional Indonesia,
Partai Komunis Indonesia,
dan Partai Indonesia.
 Hasil diskusi kelompok
kemudian dipresentasikan di
depan kelas

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja didiskusikan
- Kesimpulan secara bersama-sama
antara guru dan peserta didik
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi terhadap kekurangan
dan kelebihan pembelajaran
hari ini
Pertemuan ke-6

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini
- Apersepsi untuk menjelaskan arti
pentingnya pembelajaran hari ini
bagi nilai-nilai kehidupan
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa pemerintah
kolonial Belanda merespon positif
kepada organisasi pergerakan yang
bersifat moderat/ kooperatif tetapi
sebaliknya merespon negatif
organisasi pergerakan yang bersifat
radikal?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
perbedaan respon pemerintah
kolonial Belanda terhadap
organisasi pergerakan nasional
bertipe moderat dan radikal
Guru menerapkan motode debat
dalam pembelajaran. Kelompok satu
membahas pentingnya pergerakan
nasional dalam bentuk kooperatif.
Sedangkan lain membahas
pentingnya pergerakan nasional
dalam bentuk radikal
Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit
yang baru saja di debatkan
- Kesimpulan
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi dari proses pembelajaran
hari ini
Pertemuan ke-7

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Guru memberikan informasi
tentang kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi untuk menjelaskan arti
pentingnya pembelajaran hari ini
bagi nilai-nilai kehidupan
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa perjuangan
pergerakan nasional dengan cara
kolaboratif (kerja sama) lebih
berhasil dibanding dengan radikal?
- Guru menyajikan informasi awal
tentang dampak dan keunggulan
antara strategi kolaboratif (kerja
sama) dan radikal (bawah tanah)
yang ditempuh oleh organisasi
pergerakan nasional
Guru menerapkan metode debat
dengan membuat dua kelompok.
Kelompok pertama membahas
tentang keberhasilan perjuangan
dengan cara kolaboratif/
kerjasama. Sedangkan
kelompok kedua membahas
tentang keberhasilan perjuangan
dengan cara radikal (perjuangan
di bawah tanah)

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja didebatkan
- Kesimpulan bersama-sama antara
guru dan peserta didik pelajaran
hari ini
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
Refleksi dari proses pembelajaran
hari ini

V. Refleksi guru
- Apakah guru sudah memberikan pembelajaran terbaik untuk siswa?
- Dibutuhkan penanaman karakter dari guru untuk diimplementasikan bagi para siswa
- Kesulitan apa yang dialami guru selama proses pembelajaran?
- Perlu adanya langkah nyata dari guru untuk memperbaiki proses belajar.
- Apakah menurut guru seluruh siswa mengikuti pelajaran dengan baik?

W. Kriteria untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dan asesmennya


(asesmen formatif)
1. Penilain Individu
a. Penilaian Tertulis
Kisi-kisi Soal:
CP ATP Indikator Soal Nonor
Soal/Bentuk
Soal
- Pada Fase F, - 11.2. 1 Disajikan ilustrasi tentang 1 /PG
peserta didik di Membandingkan perjuangan pergerakan
Kelas XI dan XII organisasi nasional peserta didik dapat
mampu perjuangan membandingkan perjuangan
mengembangkan nasional sebelum 1908 dan setelah
konsep-konsep sebelum tahun 1908.
dasar sejarah untuk 1908 dan
mengkaji peristiwa sesudah 1908
sejarah dalam
dimensi manusia, - 11.2.2 Peserta didik dapat mengkaji 2/PG
ruang, dan waktu. Menganalisis ulang faktor-faktor dari (Soal
Melalui literasi, faktor internal internal (dalam negeri) yang HOTS)
diskusi, dan (dalam negeri) menyebabkan tumbuhnya
penyelidikan dan eksternal organisasai pergerakan
(penelitian) (luar negeri) nasional
berbasis proyek tumbuhnya
kolaboratif peserta organisasi
didik mampu pergerakan
menjelaskan nasional
berbagai peristiwa
sejarah yang - 11.2.3 Disajikan ilustrasi tentang 3/PG
terjadi di Indonesia Menjelaskan pergerakan nasional, peserta
dan dunia meliputi pergerakan didik dapat menentukan
Pemerintahan Orde nasional dalam pergerakan nasional dalam
Baru, periode bidang moderat
Pemerintahan moderat/koopera
Reformasi, serta tif
Revolusi Besar
Dunia, Perang Disajikan beberapa contoh 4/PG
- 11.2.4
Dunia I dan II, pergerakan nasional dalam
Menjelaskan
Perang Dingin, dan bidang politik, moderat dan
pergerakan
Peristiwa radikal perserta didik mampu
nasional dalam
Kontemporer mengidentifikasi pergerakan
periode politik
Dunia sampai nasional dalam bidang politik
abad-21.
- 11.2.5 Disajikan beberapa gambar 5/PG
- Peserta didik di
Menjelaskan tokoh-tokoh pergerakan (penggunaan
Kelas XII mampu
pergerakan peserta didik dapat visual/ peta/
menggunakan
nasional dalam mengidentifikasi gambar gambar)
sumber sekunder
periode radikal. tokoh pergerakan nasional
dan sumber primer
secara radikal
untuk melakukan
penelitian sejarah
- 11.2.6 Disajikan ilustrasi tentang 6/PG
nasional, sejarah
Menganalisis respon pemerintah kolonial
CP ATP Indikator Soal Nonor
Soal/Bentuk
Soal
dunia, dan/atau perbedaan Belanda terhadap munculnya
sejarah tematis respon organisasi pergerakan
secara sinkronis pemerintah ,nasional peserta didik
atau diakronis kolonial Belanda mampu menentukan respon
kemudian terhadap kolonial terhadap pergerakan
mengomunikasika organisasi nasional bertipe moderat
nnya dalam bentuk pergerakan
lisan, tulisan, nasional bertipe
dan/atau media moderat dan
lain. Selain itu radikal
mereka juga
mampu Disajikan ilustrasi tentang 7/PG
menggunakan - 11.2.7 pergerakan nasional secara
keterampilan Membandingkan moderat dan radikal, peserta
sejarah untuk dampak dan didik dapat menentukan
menganalisis keunggulan keunggulan strategi
peristiwa sejarah antara strategi kolaboratif yang ditempuh
dari berbagai kolaboratif oleh organisasi pergerakan
perspektif dan (kerja sama) dan nasional
mengaktualisasika radikal (bawah
n minat bakatnya tanah) yang
dalam bidang ditempuh oleh
sejarah melalui organisasi
studi lanjutan atau pergerakan
kegiatan nasional
kesejarahan diluar
sekolah.
- 11.2.7 Disajikan ilustrasi tentang 8/PG
Membandingkan pergerakan nasional dengan
dampak dan cara radikal peserta didik
keunggulan dapat menentukan hambatan-
antara strategi hambatan yang diperoleh
kolaboratif oleh tokoh-tokoh pergerakan
(kerja sama) dan
radikal (bawah
tanah) yang
ditempuh oleh
organisasi
pergerakan
nasional

- 11.2.7 Disajikan beberapa 9/PG


Membandingkan keunggulan pergerakan
dampak dan nasional dengan cara
CP ATP Indikator Soal Nonor
Soal/Bentuk
Soal
keunggulan kolaboratif dan radikal
antara strategi peserta didik dapat
kolaboratif mengidentifikasi keunggulan
(kerja sama) dan strategi pergerakan nasional
radikal (bawah secara kolaboratif
tanah) yang
ditempuh oleh
organisasi
pergerakan
nasional
- 11.2.7 Disajikan beberapa 10/PG
Membandingkan organisasi pergerakan
dampak dan nasional dengan cara
keunggulan kolaboratif dan radikal
antara strategi peserta didik dapat
kolaboratif mengidentifikasi organisasi
(kerja sama) dan pergerakan dengan cara
radikal (bawah radikal
tanah) yang
ditempuh oleh
organisasi
pergerakan
nasional

2. Penilain Berkelompok
a. Penilaian Diskusi Kelompok dan Debat

Rubrik Penilaian:
No Aspek Penilaian Skor
0 1 2 3
1 Keaktifan diskusi/ debat
a. Aktif memberi masukan
pemikiran
b. mendengarkan pendapat
orang lain

2 Kreatifitas diskusi
a. Kreatif dan inovasi dalam
diskusi/ debat
b.Ide/gagasan adalah original

Kualitas hasil diskusi/ debat


3 a.hasil runtut dan logis
b.Pengumpulan hasil
diskusi/debat

Indikator Rubrik Penilaian

No Indikator Rubrik
1 Aktif memberi masukan 2 = aktif berpendapat
pemikiran 1.= kurang aktif
0 = tidak aktif

2 Mendengarkan pendapat orang 1 = Mendengarkan pendapat


lain 0 = Tidak mendengar
pendapat

3 Kreatifitas dalam diskusi/ 3 = Sangat kreatif


debat 2 = Kreatif
1 = Kurang kreatif
0 = Tidak kreatif

4 Origionalitas gagasan 3 = gagasan sangat orisionil


2 = gagasan orisionil
1 = gagasan kurang orisionil
0 = gagasan tidak orisionil

4 Hasil diskusi/ debat runtut dan 2 = Sangat runtut dan logis


logis 1 = Runtut dan logis
0 = tidak runtut dan tidak logis

5 Pengumpulan hasil diskusi/ 3 = lebih awal


debat tepat waktu 2 = tepat waktu
1= terlambat
0 = tidak dilaksanakan
Jumlah Skor 25

Nilai = Jumlah perolehan skor


X 100
Jumlah skor maksimum
b. Penilaian Presentasi dan diskusi
Rubrik Penilaian :
No Aspek Penilaian Skor
0 1 2 3
1 Kelengkapan
materi
2 Penulisan materi
3 Kemampuan
presentasi
4 Keaktifan selama
kegiatan presentasi
5 Sikap menghargai
dan menghormati
pendapat orang lain

Indikator rubrik penilaian:

No Indikator Rubrik
1 Kelengkapan materi 2 = lengkap
1 = kurang lengkap
0 = tidak ada
2 Penulisan materi 2 = sesuai dengan rambu-
rambu yang diberikan
1 = tidak sesuai rambu-rambu
yang diberikan
0 = tidak ada
3 Kemampuan presentasi 2 = Komunikatif
1 = Kurang komunikatif
0 =Tidak Komunikatif
Keaktifan selama kegiatan 3 = Sangat aktif
presentasi 2 = Cukup aktif
1 = Kurang aktif
0 = Tidak aktif
4 Kreatifitas media presentasi 2 = Menggunakan kreasi
digital lebih dari
1(animasi/paint/ video/ dll)
1 = Menggunakan 1 kreasi
digital (animasi/paint/ video/
dll)
0 = Tidak menggunakan kreasi
No Indikator Rubrik
digital

5 Sikap menghargai dan 1 = Sikap menghargai dan


menghormati pendapat orang menghormati pendapat orang
lain lain
0 = Tidak Sikap menghargai
dan menghormati pendapat
orang lain
Jumlah Skor 20

Nilai = Jumlah perolehan skor


X 100 %
Jumlah skor maksimum

X. Pertanyaan refleksi untuk Peserta Didik


- Apakah peserta didik dapat mencerna seluruh materi yang diberikan oleh guru?
- Apakah peserta didik sudah menerapkan karakter yang ditanamkan guru dalam proses
pembelajaran?
- Kesulitan apa yang dialami para peserta didik selama proses pembelajaran?
- Perlu adanya langkah-langkah dari peserta didik untuk memperbaiki hasil belajar.
- Perlu adanya sikap dari peserta didik untuk selalu mengikuti pelajaran dengan baik.
Y. Lembar Kerja Peserta Didik

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK


(Diskusi kelompok)

Materi : Organisasi perjuangan sebelum dan sesudah tahun 1908


Petunjuk Kegiatan Diskusi:
- Bentuklah 6 kelompok dalam kelas!
- Pembagian yaitu 3 kelompok tema : Organisasi perjuangan sebelum
1908 dan tiga kelompok dengan tema: Organisasi perjuangan setelah
1908
- Buatlah perencanan kegiatan kunjungan ke perpustakaan, atau link
internet
- Selama diskusi , kalian harus mengerjakan secara kolaboratif dalam
kelompok masing-masing.
- Laporan hasil diskusi harus memperhatikan:
1. Keaktifan diskusi
2. Kreatifitas diskusi
3. Mendengarkan pendapat
4. Orisionalitas gagasan
5. Hasil diskusi runtut dan logis
6. Pengumpulan hasil diskusi tepat waktu
- Hasil diskusi ditulis dalam kertas dan setelah selesai dikumpul disertai
nama kelompok dan nomor absen siswa

Penilaian: Peninilaian terhadap individu meliputi:


1. Keaktifan diskusi
2. Kreatifitas diskusi
3. Mendengarkan pendapat
4. Orisionalitas gagasan
5. Hasil diskusi runtut dan logis
6. Pengumpulan hasil diskusi tepat waktu
Daftar Pustaka

Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2019. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Mengetahui, Tangerang, ___ Juli 2023


Kepala SMA Budi Luhur Guru Mata Pelajaran

(Drs. I Nyoman Jiwa, M.M) (Eldisa Destaniar W., S.Pd)

Anda mungkin juga menyukai