Anda di halaman 1dari 2

MATA PELARAN : SEJARAH INDONESIA

KELAS : XI MIPA

PERGERAKAN NASIONAL
B. KARAKTERISTIK PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MELAWAN KOLONIALISME
SETELAH TAHUN 1908

Sebelum membahas faktor pendorong lahirnya pergerakan nasional Indonesia dan


perkembangannya, mari kita terlebih dahulu melihat ciri khas perjuangan bangsa Indonesia
melawan kolonialisme setelah tahun 1908. Perhatikan tabel berikut.

No. Sebelum Tahun 1908 Setelah Tahun 1908


1. Dipimpin raja atau bangsawan dan Dipimpin dan digerakkan oleh kaum
tokoh agama terpelajar
2. Bersifat kedaerahan (lokal) Bersifat nasional dan telah ada kerja sama
antardaerah
3. Bersifat fisik atau perjuangan Diplomasi dengan menggunakan cara-cara
dilakukan dengan mengangkat senjata modern, seperti media massa, perundingan,
lobi dan mogok.
4. Terfokus pada pemimpin kharismatik Memiliki organisasi yang memungkinkan
adanya kaderisasi
5. Bersifat reaktif dan spontan Memiliki visi yang jelas, yaitu Indonesia
merdeka

Berikut penjelasan tentang karakteristik perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme


setelah tahun 1908.

1. Dipimpin dan Digerakkan Kaum Terpelajar


Setelah tahun 1908, perjuangan melawan kolonialisme dimotori kaum terpelajar melalui
organisasi-organisasi pergerakan. Sebagian dari mereka berasal dari golongan bangsawan,
namun mereka adalah orang-orang terdidik dan terpelajar. Munculnya kaum terpelajar pada
masa ini tidak terlepas dari kebijakan politik etis pemerintah Belanda. Semula dimaksudkan
untuk memperoleh tenaga kerja murah, pendidikan yang diselenggarakan bagi kaum pribumi
pada awal abad XX justru melahirkan golongan cendekiawan yang menjadi penggerak
perjuangan melawan kolonialisme. Mereka itu antara lain dr. Sutomo, Suwardi Suryaningrat,
Sukarno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Organisasi-organisasi pergerakan tersebut memiliki
karakteristik masing-masing; ada yang bersikap kooperatif-moderat dan ada pula yang bersikap
nonkooperatif-radikal.

2. Bersifat Nasional
Setelah tahun 1908, hampir seluruh wilayah Nusantara menjadi satu kesatuan dalam
politik, hukum, pemerintahan, dan berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Hal ini
memang merupakan cita-cita besar Belanda melalui Pax Neerlandica-nya. Di sisi lain,
keberhasilan Pax Neerlandica itu justru mampu menyatukan rakyat Indonesia dalam satu
perasaan senasib sepenanggungan. Penderitaan yang dialami satu daerah tidak lagi dianggap
sebagai penderitaan daerah itu semata, tetapi juga penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Hal
inilah yang menumbuhkan rasa persatuan dan pada akhirnya melahirkan kesadaran sebagai
satu bangsa (nation) atau kesadaran nasional. Dengan demikian, kata "nasional" dalam istilah
"kesadaran nasional" mengacu pada kenyataan bahwa seluruh rakyat Indonesia bertekad
untuk bersatu berjuang bersama dalam rangka membentuk satu bangsa yang besar. Satu
identitas karena satu nasib itu diperkuat dengan adanya kata "Indonesia" untuk merujuk
semua wilayah jajahan di Hindia Belanda.
Kesadaran berbangsa ini tidak terlepas dari peran kaum terpelajar atau cendekiawan.
Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya hubungan antarcendekiawan dari berbagai
daerah adalah pendidikan, baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri (Belanda). Di
tempat-tempat pendidikan, pelajar-pelajar dari berbagai daerah bertemu serta bersatu
membahas nasib dan masa depan Indonesia.

3. Perjuangan Menggunakan Jalur Organisasi


Kendati perlawanan bersenjata meletus secara sporadis, umumnya perjuangan melawan
kolonialisme setelah tahun 1908 dilakukan dengan menggunakan jalur organisasi. Para tokoh
perjuangan menggunakan cara-cara modern, seperti diplomasi, kampanye melalui media
massa atau pers, rapat akbar, dan pada tingkat yang paling ekstrem menolak bekerja sama
dengan pemerintah kolonial. Gerakan rakyat yang dimotori para golongan terpelajar ini
menghindari cara-cara kekerasan, kecuali dalam kasus pemberontakan PKI pada tahun 1926-
1927 di Jawa dan Sumatra Barat. Penggunaan jalur organisasi dilatarbelakangi kesadaran
bahwa bangsa Indonesia belum mampu menandingi kekuatan keuangan, persenjataan, serta
organisasi politik dan militer Belanda. Penggunaan media massa untuk menyuarakan aspirasi
dianggap sebagai bagian dari upaya persuasif dan diplomasi. Pada masa ini, kaum terpelajar
Indonesia memprakarsai terbitnya banyak media massa seperti koran dan majalah. Melalui
media-media massa itu, para aktivis organisasi pergerakan melakukan kritik serta agitasi
menentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Sebelum lahirnya kesadaran nasional, perjuangan melawan Belanda umumnya
bergantung pada satu atau dua tokoh yang dianggap kharismatik. Tokoh-tokoh tersebut
umumnya berasal dari lingkungan istana (raja/bangsawan) ataupun dari kalangan ulama.
Akibatnya, ketika sang tokoh wafat atau diasingkan, perlawanan berhenti. Setelah tahun
1908, perlawanan bergantung pada organisasi-organisasi pergerakan dengan sistem
kaderisasi yang rapi. Dengan demikian, keberlangsungan gerakan terjaga.

4. Memiliki Visi dan Misi yang Jelas, yaitu Indonesia yang Merdeka
Perjuangan sebelum 1908 bertujuan membebaskan daerah masing-masing dari
penguasaan Belanda. Seiring munculnya kesadaran nasional, perjuangan setelah 1908
melalui organisasi- organisasi pergerakan diarahkan pada satu visi dan misi yang jelas, yaitu
kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi ini semula bergerak di bidang sosial-budaya
dan ekonomi Perlahan-lahan, seiring tumbuhnya kesadaran berbangsa di kalangan anggota
organisasi pergerakan, organisasi-organisasi ini kemudian bersikap politis, yaitu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai