Anda di halaman 1dari 58

Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan

penelitian

Bab V Penerapan Konsep City Branding sebagai Instrumen dalam


Pembuatan Rencana di Kota Bandung

Bab ini membahas mengenai hasil analisis yang terdiri dari penerapan konsep city
branding di dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung, kerangka
konseptual proses pembuatan remcana yang menerapkan konsep city branding
sebagai instrumen, serta peluang penerapan kerangka konseptual pada studi kasus
Kota Bandung.

V.1 Kerangka Konseptual Proses Pembuatan Rencana yang Menerapkan


Konsep City Branding sebagai Instrumen
Beberapa peneliti telah merumuskan rencana operasional brand negara (Moilanen
dan Rainisto, 2009), proses city branding (Kavaratzis, 2008), dan kerangka place
branding sebagai instrumen dalam perencanaan ruang strategis (Oliveira, 2016b),
sebagai pendekatan dalam menjelaskan proses city branding. Meski demikian,
model-model yang dikembangkan tersebut, tidak dapat langsung diterapkan pada
proses pembuatan rencana di Indonesia, baik itu rencana pembangunan maupun
rencana penataan ruang, karena proses pembuatan rencana telah diatur dalam
peraturan perundangan yang memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, dalam
merumuskan kerangka konseptual proses pembuatan rencana yang menerapkan
city branding sebagai instrumen, penulis menyintesiskan prinsip-prinsip dasar
pada proses city branding, dan menggunakan langkah-langkah utama dalam
proses pembuatan rencana sebagai basis dalam kerangka. Karena kerangka
dikembangkan berdasarkan pendekatan proses pembuatan rencana, maka prinsip
dasar berkaitan dengan metode atau cara yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan kapasitas perencana dan lembaga pembuat rencana.

Berdasarkan tinjauan terhadap model dan proses city branding, Moilanen dan
Rainisto, berpendapat bahwa pada fase awal perlu diberikan perhatian yang tinggi
untuk memperluas partisipasi dan komunikasi serta meningkatkan komitmen dari
pelbagai pemangku kepentingan. Tujuannya adalah untuk memulai
mengorganisasikan proyek branding yang dibentuk melalui: menghasilkan

89
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

90

komitmen di antara aktor politik dan bisnis, melakukan pengorganisasian dan


menciptakan visibilitas untuk proses yang akan dimulai. Kavaratzis menekankan
adanya diskusi dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh otoritas kota
yang relevan terkait visi untuk masa depan kota (dan juga brand) serta strategi
yang paling baik untuk mencapai visi tersebut. Dengan demikian, pada tahapan
awal proses, yang perlu diperhatikan adalah komitmen aktor kunci dan
pembentukan tim yang kompak. Hal ini dibentuk melalui pemahaman aktor kunci
yang kuat mengenai konsep city branding, serta perluasan pemahaman tersebut
terhadap anggota tim.

Selanjutnya, Moilanen dan Rainisto menyebutkan perlunya tahap penelitian, tahap


ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dasar yang luas untuk pengambilan
keputusan. Tahap ini meliputi 5 (lima) bagian utama: mengidentifikasi faktor
dalam identitas brand yang dapat memberikan keuntungan kepada pelbagai
kelompok diskusi; penelitian terhadap bagaimana suatu negara diakui oleh target
audiens luar; penelitian mengenai bagaimana suatu negara diakui oleh
penduduknya sendiri; melengkapi informasi dasar jika diperlukan; dan
menganalisis dan menafsirkan hasil. Kavaratzis menyebutkan beberapa aspek
perlu diperhatikan diantaranya: Budaya yang berorientasi brand, harus disebarkan
melalui organisasi-organisasi yang terlibat. Komunitas lokal harus dilibatkan dan
dimobilisasi untuk mendukung pembentukan dan penyempurnaan visi dan strategi
brand. Setelah itu, sinergi harus ditemukan dengan semua pemangku kepentingan
yang relevan yang akan berperan dalam memberikan janji dari brand. Dengan
demikian, tahapan selanjutnya adalah pentingnya melibatkan perspektif dan
pengalaman masyarakat atau kelompok yang lebih luas, dalam mengumpulkan
informasi yang diperoleh melalui proses diskusi. Pengumpulan informasi
dititkberatkan pada bagaimana kota dirasakan baik oleh masyarakatnya maupun
target audiens yang ingin dipengaruhi, atau dengan kata lain, pada informasi
mengenai citra kota.

Tahapan berikutnya menurut Moilanen dan Rainisto, adalah pembentukan


identitas brand yang meliputi kegiatan membuat kesimpulan tentang tahap kedua,
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

91

mendefinisikan elemen dari brand (ide inti, identitas, janji dari nilai) dan
merumuskan rencana strategis untuk brand yang terdiri dari struktur brand, posisi,
organisasi, pembagian peran, dan pembiayaan. Tahap ini adalah proses interaktif
dan sirkular yang diulang sampai hasil akhir yang memuaskan tercapai. Pada
tahap ini, Kavaratzis menekankan bahwa janji ini (visi dan brand) harus
didasarkan pada infrastruktur kota, lansekap fisiknya, dan peluang yang
ditawarkannya kepada audiens yang ditargetkan. Hal ini juga ditekankan oleh
Oliveira, bahwa dalam merumuskan strategi brand: rencana fokus pada kualitas,
domain strategis, aset, dan atribut suatu wilayah yang spesifik; serta fokus untuk
mengatasi kendala ekonomi, sosial dan politik suatu wilayah. Dengan demikian,
yang perlu diperhatikan adalah memulai tahapan ini dengan potensi yang telah
dimiliki oleh kota, atau dengan kata lain, brand dikembangkan berdasarkan
identitas kota.

Setelah itu, Moilanen dan Rainisto menyebutkan perlunya tahapan pembuatan dan
penguatan brand yang bertujuan untuk menetapkan rencana implementasi yang
berdasarkan pada tujuan strategis. Tahap ini meliputi pembuatan rencana
operasional yang terintegrasi yang mencakup langkah-langkah, tampilan visual,
jadwal, pembiayaan, dan pembagian tanggung jawab; koordinasi antara pemangku
kepentingan dan langkah pelaksanaan; mengatur upaya tindak lanjut; dan
menyelesaikan tahap perencanaan dan pelaporan. Oliveira menambahkan bahwa
tahap pembuatan fokus pada membuka kemungkinan dan mengkomunikasikan
perubahan struktural dan fokus pada melibatkan atau mengikutsertakan aktor-
aktor regional utama dan masyarakat sipil. Dengan demikian, yang perlu
diperhatikan adalah rancangan brand bersama, sub-brand, dan operasionalisasi
serta membuka kolaborasi dengan pelbagai pihak.

Pada tahap akhir, Moilanen dan Rainisto dan Kavaratzis menyebutkan bahwa
proses city branding merupakan proses yang tidak linier. Kavaratzis juga
menekankan pentingnya komunikasi dan promosi brand. Selain itu pada
keseluruhan proses, perlu juga diperhatikan jika penelitian dan analisis eksternal
dan internal diperlukan pada semua tahap untuk menciptakan dan memelihara
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

92

hubungan yang diperlukan dengan semua audiens yang relevan, serta


kepemimpinan yang kuat perlu diterapkan untuk menjamin konsistensi dan
efektivitas. Oliveira menambahkan bahwa tahap akhir fokus pada membayangkan
masa depan bersama, yang lebih baik, dan realistis serta fokus pada penguatan
rasa memiliki dan perasaan regional. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan
pada tahap ini adalah komunikasi dan adopsi brand di dalam dokumen rencana
yang dihasilkan.

Setelah menyintesakan fokus yang perlu diperhatikan pada setiap tahapan dalam
proses city branding, selanjutnya adalah merumuskan langkah utama yang akan
menjadi dasar dalam kerangka konseptual. Langkah-langkah utama disintesakan
dengan berpedoman pada Permendagri No. 86 tahun 2017 yang mengatur tentang
tata cara perencanaan pembangunan daerah serta Permen ATR/BPN No. 1 tahun
2018 tentang pedoman penyusunan RTRW Kota/Kab. dan No. 16 tahun 2018
tentang pedoman penyusunan RDTR Kota/Kab. Berdasarkan Permendagri No. 86
tahun 2017, prosedur penyusunan rencana pembangunan meliputi tahap: (1)
Persiapan penyusunan; (2) Penyusunan rancangan awal; (3) Penyusunan
rancangan; (4) Pelaksanaan Musrenbang; (5) Perumusan rancangan akhir; serta (6)
Penetapan. Sedangkan berdasarkan Permen ATR/BPN No. 1 dan No. 16, prosedur
penyusunan rencana tata ruang meliputi tahap: (1) Persiapan; (2) Pengumpulan
data dan informasi; (3) Pengolahan data dan analisis; (4) Penyusunan konsep;
serta (5) Penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah. Kedua
prosedur penyusunan rencana tersebut meliputi langkah utama yang secara umum
memiliki unsur yang sama. Dengan demikian, dapat disintesakan 5 (lima) langkah
utama yang digunakan sebagai dasar pada penyusunan kerangka konseptual dalam
proses pembuatan rencana yang menerapkan konsep city branding sebagai
instrumen yang terdiri dari: (1) Tahap persiapan; (2) Tahap pengumpulan data dan
informasi; (3) Tahap pengolahan dan analisisdata; (4) Tahap perumusan konsep;
serta (5) Tahap penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah. Tabel
V.4 pada halaman selanjutnya merangkum tinjauan langkah utama dalam proses
city branding dan langkah utama dalam proses pembuatan rencana sebagai dasar
dalam penyusunan kerangka konseptual.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

93

Tabel V.1 Tinjauan langkah utama dalam proses city branding dan proses
pembuatan rencana

Proses city branding


Moilanen dan Kavaratzis (2008) Oliveira (2016b)
Rainisto (2009)
1. Memulai dan 1. Perumusan Visi (dan 1. Fokus pada kualitas, domain
mengorganisasi- brand) serta strategi strategis, aset, dan atribut
kan; brand; suatu wilayah;
2. Tahapan 2. Pensuasanaan brand 2. Fokus untuk mengatasi
penelitian; (budaya berorientasi kendala ekonomi, sosial dan
3. Membentuk brand, komunitas politik suatu wilayah;
identitas brand; lokal, dan sinergi 3. Fokus pada membuka
4. Membuat, aktor); kemungkinan dan
melaksanakan, 3. Perwujudan brand mengkomunikasikan
dan fokus pada (infrastruktur, perubahan struktural;
rencana; cityscape dan 4. Fokus pada melibatkan dan
5. Implementasi gateways, dan mengikutsertakan aktor-aktor
dan follow-up. peluang yang regional utama dan
ditawarkan) masyarakat;
4. Komunikasi brand 5. Fokus pada membayangkan
(promosi). masa depan bersama, yang
lebih baik, dan realistis;
6. Fokus pada penguatan rasa
memiliki dan perasaan
regional;
Proses pembuatan rencana
Rencana pembangunan Rencana tata ruang
(Permendagri No. 86/2017) (Permen ATR/BPN No. 1/2018)
1. Persiapan penyusunan; 1. Persiapan;
2. Penyusunan rancangan awal; 2. Pengumpulan data dan informasi
3. Penyusunan rancangan; 3. Pengolahan data dan analisis;
4. Pelaksanaan Musrenbang; 4. Penyusunan konsep;
5. Perumusan rancangan akhir; 5. Penyusunan dan pembahasan
6. Penetapan. rancangan peraturan daerah.
Sumber: Moilanen dan Rainisto 2009; Kavaratzis 2008; Oliveira 2016b,
Permendagri No. 86/2017, Permen ATR/BPN No.1/2018.

Kerangka konseptual dikembangkan berdasarkan 5 tahapan utama dalam proses


pembuatan rencana secara umum, berada di kotak bagian atas. Setiap tahapan
terdiri dari 3 kotak. Kotak di bagian tengah merupakan hal yang perlu menjadi
fokus ketika suatu kota ingin membuat rencana yang menerapkan konsep city
branding sebagai instrumen. Sedangkan kotak di bagian paling bawah menyoroti
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

94

hal yang akan dicapai jika konsep city branding diterapkan sebagai instrumen
dalam proses pembuatan rencana. Panah tegas melambangkan tahapan proses
pembuatan rencana. Sedangkan panah putus-putus mewakili unsur sirkular dan
iterasi dalam proses city branding, serta menekankan pentingnya aspek
pemantauan dan pertimbangan ulang di setiap tahapan dalam merumuskan strategi
branding kota. Gambar V.1 merupakan ilustrasi kerangka konseptual proses
pembuatan rencana yang menerapkan konsep city branding sebagai instrumen.

Gambar V.1 Kerangka konseptual proses pembuatan rencana yang menerapkan


konsep city branding sebagai instrumen

V.2 Penerapan Konsep City Branding di dalam Proses Pembuatan


Rencana di Kota Bandung
Hipotesis awal penelitian ini adalah bahwa konsep city branding cenderung lebih
berhasil ketika diterapkan di dalam kerangka perencanaan. Kota Bandung sebagai
studi kasus, pada beberapa kesempatan telah menunjukkan upaya yang
mengindikasikan branding seperti dengan pemberian tema pada tujuan penataan
ruang di 8 SWK dalam RDTR, berita-berita mengenai walikota atau stakeholder
terkait yang berbicara tentang branding Kota Bandung, serta kegiatan promosi,
terutama berkaitan dengan kegiatan pariwisata, yang kental dengan nuansa
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

95

branding. Meski demikian, masih terdapat ketidakjelasan mengenai penerapan


(atau tidak diterapkan) dari konsep city branding di dalam proses pembuatan
rencana di Kota Bandung. Studi sebelumnya, yang dilakukan berdasarkan
perspektif perencanaan menunjukkan bahwa Kota Bandung belum siap untuk
menerapkan city branding (Nur‟aini, 2011; Rahmadyani, 2011). Sedangkan
berkaitan dengan RDTR, studi Noviansyah (2017) menunjukan bahwa tema yang
diangkat dinilai tidak mencerminakan konsep city branding secara menyeluruh.
Meski demikian, studi terdahulu tersebut mengambil pendekatan substantif,
sehingga penerapan konsep city branding di Kota Bandung, dari sisi prosedural,
dalam penelitian ini difokuskan pada proses pembuatan rencana, masih belum
diketahui. Dengan demikian, perlu untuk pertama-tama mengetahui sejauh mana
konsep city branding diterapkan (atau tidak) di dalam proses pembuatan rencana.

Penelitian ini memfokuskan identifikasi pada proses pembuatan dua dokumen


rencana: Pertama, RDTR Kota Bandung 2015-2035, yang mengindikasikan
adanya penerapan konsep city branding; Kedua, RPJMD Kota Bandung 2018-
2023, sebagai pedoman pembangunan utama di Kota Bandung selama 5 tahun ke
depan. Meski demikian, kedua dokumen tersebut telah diterbitkan dan disahkan,
sehingga untuk mendapatkan gambaran lebih luas mengenai penerapan konsep
city branding di dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung, identifikasi
juga perlu dilakukan terhadap dokumen yang dihasilkan. Dokumen meliputi
rencana pembangunan dan rencana penataan ruang yang saat ini sedang atau akan
menjadi pedoman dalam kegiatan perencanaan di Kota Bandung.

V.2.1 Penerapan Konsep City Branding dalam Proses Pembuatan Rencana


Berdasarkan Perspektif Aktor Kunci
Identifikasi penerapan konsep city branding dalam proses pembuatan rencana
difokuskan pada dokumen RDTR Kota Bandung 2015-2035, yang diindikasikan
telah menerapakan konsep city branding melalui pendekatan tematik terhadap
perumusan tujuan penataan ruang di 8 SWK, serta dokumen RPJMD Kota
Bandung 2018-2023 yang merupakan dokumen utama dan menjadi pedoman
pembuatan dokumen rencana pembangunan lainnya.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

96

Pada proses penyusunan dokumen RDTR 2015-2035, dimulai pada tahun 2013,
dan disahkan pada tahun 2015. Ide untuk menerapkan konsep city branding,
melalui pemberian tematik pada tujuan penataan ruang, diawali dan dipromosikan
oleh Walikota saat itu, Ridwan Kamil. Walikota memberikan arahan kepada tim
penyusun untuk memberikan tema kepada semua SWK. Tema diberikan
berdasarkan potensi dari karakter khas kawasan yang sudah ada. Tetapi pada
beberapa lokasi, karakter khas tersebut tidak ditemukan secara kuat. Sehingga
brand identity sebagai bagian utama dari proses city branding cenderung
diterapkan secara tidak merata.

“Kalau seperti Cibeunying, atau bandara, atau Ujung Berung, sebenarnya


tidak akan jadi masalah karena memang sudah ada eksisting-nya.
Bagaimana manajemen itu supaya tetap ada, program-program apa, jadi itu
tidak masalah. Nah yang belum ada itu justru jadi masalah. Bagaimana
mendirikannya, kaya Tegalega itu Mediapolis‟, Kordon itu „Ekshibisiopolis‟.
Karena memang waktu penyusunannya juga ga mudah. Karena Pak
Walikota pengennya semua ada brand-nya lah. Dan tidak semua itu sudah
kelihatan. Kaya Arcamanik, itu kan „Sportipolis‟, itu juga kan baru muncul.
Itu kan cocok ya, ada pusatnya, nama-nama jalannya juga nama olahraga.
Tapi tidak semua se-Arcamanik kan. Jadi perlu penegasan mau
diwujudkannya dengan apa. Memang tidak mudah sih. Tidak semuanya ada.
Maksudnya SWK-SWK itu kan bagian dari suatu Kota, belum tentu ada
karakter-karakter khusus di situ. Kaya yang di Kordon itu kan perumahan.
Nah Pak RK pengennya muncul ada tema. Bukan maksa ya, tapi kita pas-
kan lah akhirnya.” (TR2, 2019)

“Sebenarnya tematik itu 2013. Kita kan berawalnya dari posisi yang ada.
Kenapa kita menyusun tema itu, awalnya sebenarnya begini, belum ada
tema pun sebenarnya kegiatan sudah mengerucut disitu. Kita hanya
mengambil tema-tema besar disini. Kita arahkan seperti itu. Contohnya
daerah Cibeunying. Itu kan daerah orang wisata disitu, perdagangan, hotel,
ada restoran. Makanya kita beri tema „Travelopolis‟. Dan dari potensi itu
kita kembangkan supaya dalam perencanaannya terarah. Termasuk untuk
pengembangan pusat primer kedua yang di Gedebage. Pada saat
penyusunan RTRW itu, sudah ada penetapan, tapi kegiatan-kegiatannya di
situnya belum diatur. Kalau kita melihat lebih tegasnya disitu. Kalau yang
lain kan sudah terbangun. Kalau daerah „Teknopolis‟ kan belum terbangun.
Daerahnya masih sawah. Kita berani menggariskan warnanya merah,
kuning. Kalau itu kan sesuai saja dengan eksisting, kalau kuning ya kuning.
Artinya sudah ditetapkan, tetapi tidak ada support untuk bagaimana
mengembangkan daerah itu.” (TR1, 2019)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

97

Pendekatan ini pada saat itu, juga tidak secara sadar dipahami sebagai konsep city
branding oleh aktor kunci. Melainkan sebagai salah satu tujuan pengembangan
kota, yang diberikan untuk membuatnya lebih terarah.

“Engga sih, eh engga ya? Kita sih arahnya, tapi ga tau sih kalau itu
diterjemahkan sebagai branding ya. (TR2: Apakah itu masuk branding atau
tidak gitu). Iya kan karena kita pertama ilmu tentang branding kan kita
terbatas. Kita pahami itu sebagai salah satu tujuan pengembangan kota.
Walaupun secara keseluruhan, tidak secara khusus. Artinya begini, kalau
tema di daerah itu berarti hotel ga bisa di tempat lain, walaupun misalkan
„Travelopolis‟ di Cibeunying. Tapi pembangunan hotel atau yang
berhubungan dengan kegiatan wisata boleh juga di daerah lain. Jadi kita
sudah memberikan tematik seperti itu, tapi pada saat implementasinya
masih secara umum.” (TR1, 2019)

Sedangkan jika berbicara proses secara umum, sudah terdapat mekanisme dalam
membuka diskusi antar lembaga internal mengenai rancangan brand, juga dalam
upaya membuka diskusi dengan kelompok kepentingan yang lebih luas untuk
mendapatkan umpan balik mengenai rancangan brand.

“Kalau terkait representatif masyarakat, sebenarnya masyarakat Kota


Bandung cenderung proaktif. Contohnya mereka informasi kesini itu dari
tahun ke tahun nambah terus jumlahnya, tidak seperti tahun dulu. Sekarang
nanya, seringkali orang tidak ada urusan juga nanya aja. Artinya mereka
sudah mulai aware dengan rencana-rencana di pemerintah. (P: Kalau antar
dinas bagaimana?) Kalau antar dinas apalagi, kita melibatkan mereka,
bahkan timtek nya dulu dari dinas terkait. Artinya kan dari dinas sudah ada.
Tapi dari masyarakat itu tidak seluruhnya, kita hanya mengambilnya dari
tokoh-tokoh masyarakat saja. Ini sebenarnya tergantung efektif tidak,
misalkan dari tokoh-tokoh yang sudah kita sosialisasi, mereka ke
masyarakatnya menyampaikan atau tidak. Atau dari kewilayahan, kadang-
kadang ada juga kan, dari wilayah datang, tapi tidak membawa aspirasi dari
masyarakat. Sehingga bisa jadi mungkin ada juga, tidak seluruh Kota
Bandung proaktif. Tapi dibanding dari pemerintah sebelumnya, kemarin itu
sudah cukup lumayan. “ (TR1, 2019)

Studi lain yang dilakukan Noviansyah (2017) menunjukan bahwa pada dasarnya
tujuan penataan ruang pada SWK dijadikan sebagai tematik adalah untuk dapat
mengarahkan dan mengembangkan sehingga wilayah tersebut dapat dijual ke
masyarakat luas. Yang diharapkan pemerintah adalah agar nantinya pembangunan
dan pengembangan tema bukan sebagai tujuan akhir tetapi juga sebagai alat.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

98

Sehingga tematik adalah bentuk city branding yang diadopsi dengan tujuan untuk
mencapai tujuan penataan ruang secara kota. Sebagai contoh pada SWK Tegalega,
tujuan penataan ruangnya berbunyi pengembangan industri kreatif sementara tema
yang disematkannya „Mediapolis‟. Hal ini agar adanya sebuah bentuk place
making atau penambahan nilai tempat agar wilayah tersebut setidaknya dapat
menarik perhatian dulu sebelum dikembangkan. Dengan demikian, city branding
adalah konsep yang ingin diangkat oleh Dinas Tata Ruang dalam pembuatan
tematik sebagai tujuan penataan ruang pada RDTR.

Pada proses penyusunan RPJMD 2018-2023, Kota Bandung memiliki walikota


baru yaitu M. Oded Danial, yang merupakan wakil walikota pada saat Ridwan
Kamil menjabat sebagai walikota. Secara teoritis, proses pembuatan RPJMD
dilakukan dengan 4 (empat) pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Politik, pendekatan ini memandang bahwa pemilihan kepala
daerah sebagai proses penyusunan rencana program, karena rakyat pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang
ditawarkan para calon kepala daerah. Dalam hal ini, rencana pembangunan
adalah penjabaran agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan kepala
daerah saat kampanye ke dalam RPJMD;
2. Pendekatan Teknokratik, pendekatan ini dilaksanakan dengan
menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga yang
secara fungsional bertugas untuk hal tersebut;
3. Pendekatan Partisipatif, pendekatan ini dilaksanakan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan. Pendekatan ini
bertujuan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki;
4. Pendekatan Atas-Bawah (top-down) dan Bawah-Atas (bottom-up),
pendekatan ini dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Hasil proses
tersebut kemudian diselaraskan melalui musyawarah rencana
pembangunan.

Secara umum, proses penyusunan RPJMD dilakukan dengan membagi isu ke


dalam bidang-bidang seperti ekonomi, infrastruktur, lingkungan, sosial budaya,
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

99

tata kelola pemerintahan. Dari bidang tersebut, kemudian dilihat Organisasi


Perangkat Daerah (OPD) mana saja yang dilibatkan. Bidang ini kemudian
diterjemahkan sebagai misi. Dengan demikian, skema kerja OPD terikat pada misi
daerah.

“Ketika menyusun RPJMD, itu dibagi ke dalam bidang-bidang; ekonomi,


infrastrukur dan lingkungan, sosbud, tata kelola pemerintahan. Dari bidang
tersebut, dilihat SKPD mana saja. Misalkan ekonomi, ada Dinas KUMKM,
Perindustrian, dsb. Infrastruktur dan lingkungan, DLHK, Distaru. Sosial
Budaya ada Dinsos, Disbudpar. Kemudian dari tata kelola pemerintahan.
Nah masing-masing bidang mengusung misi masing-masing. Jadi misi
terkait ekonomi ada di bidang ekonomi, isunya apa, potensinya apa, arah
rencana ke depannya apa, strateginya apa, kemudian breakdown dari strategi
dan sasarannya apa. Visi misi di RPJMD tadi sudah jelas. Misalkan terkait
misi pertama, siapa saja aktor pelakunya, SKPD mana saja. Masing-masing
misi tadi harus dijabarkan kondisinya apa, penyebabnya apa, nanti masing-
masing SKPD harus mengentaskan untuk mencapai visi misi tadi, dalam
bentuk program kegiatan. Kalau semua sudah mengentaskan misinya
masing-masing, sekarang Renstra kan ikut ke visi misi RPJMD. Jadi apapun
yang dilakukan SKPD itu menginduk ke RPJMD. Misi mana, sasaran mana.”
(LH, 2019)

Penerapan konsep city branding di dalam proses pembuatan rencana


pembangunan tidak ditemukan secara khusus. Meski demikian, mekanisme untuk
memperkuat perspektif dan pengalaman masyarakat dalam perumusan kebijakan
telah dilaksanakan melalui proses Musrenbang.

“Ada proses penyusunan, ini sangat partisipatif, karena kita melibatkan


masyarakat itu dari awal, ada rembuk warga, ada elektronik musrenbang,
ada musrenbang kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kota. Tokoh-tokoh
masyarakatnya dihadirkan. Pada saat menyusun RKPD, mereka juga dibawa.
Bahkan ada dua lapis, ada Musrenbang ada Rises. Itu kan aspirasi
masyarakat lagi yang dibawa. Artinya kalau aspiratif, merespons aspirasi
masyarakat, kita bisa confident mengatakan bahwa, ya ini secara sistem
sudah.” (LB, 2019)

“Nah kalau bicara proses, kan kita gini, ada semacam tools. Jadi istilahnya
tentu ada keterwakilan, tapi tidak semua bisa, tapi minimal kita ada
pendekatan ke arah sana. Dan setiap merumuskan kebijakan, kita pasti akan
membuka seluas-luasnya terhadap stakeholder untuk ikut merumuskan.
Artinya juga ada kaya bottom-up planning. Tapi belum tentu memang,
dengan keterbatasan sumber daya yang ada, bisa kita wadahi bisa kita
akomodir. Ini aspek keadilan ya relatif. Tapi minimal itu lah yang terbaik
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

100

yang disepakati, prosesnya itu. Misalkan nanti kita konsepnya A, nanti jadi
B. Itu salah satu sebagai win-win solution, titik temu. Karena yang namanya
kebijakan itu tidak bisa 1 + 1 = 2, kebijakan itu ada unsur kompromistis.
Ada yang teknokratis, partisipatif, bottom-up dan top-down, sama populis
(politis). Dari semua itu, titik temu yang paling ideal atau yang paling
optimalnya dimana.” (BP, 2019)

Sedangkan untuk proses pembuatan dokumen rencana lainnya, ketika kata kunci
city branding disampaikan, beberapa aktor kunci memberikan contoh proses
penyusunan pada saat masa kepempimpinan Ridwan Kamil.

“Dulu saya ingat Pak RK “pasang kursi di trotoar” untuk penyediaan.


Kalau Kami melihat, sebenarnya orang berjalan berapa lama? Misalkan
setiap 600 m, maka Kami pasang kursi setiap 600 m. Ternyata pemahaman
nya beda antara Pak RK dengan Kami. Kursi itu bukan buat istirahat orang
capek jalan. Tapi kursi itu disediakan untuk orang duduk-duduk. Ya sudah
akhirnya Kami buat kursi per 50 m mungkin ada.” (PU, 2019)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan konsep city branding di


dalam proses pembuatan rencana dilakukan pada RDTRK 2015-2035 tetapi tidak
pada RPJMD 2018-2023. Penerapan pada RDTR, diawali dan dipromosikan oleh
walikota saat itu Ridwan Kamil. Sedangkan pada RPJMD, proses penyusunan
dokumen mengambil pendekatan isu strategis dan persoalan yang dihadapi Kota
Bandung, serta relatif bersifat sektoral. Penerapan konsep juga lebih kuat
dirasakan ketika periode kepemimpinan walikota Ridwan Kamil. Tetapi tim pada
tataran teknis proses penyusunan tidak menyadari jika konsep yang diterapkan
merupakan bagian dari konsep city branding. Meski demikian, telah terdapat
mekanisme untuk melibatkan partisipasi masyarakat pada proses penyusunan,
terutama melalui Musrenbang.

V.2.2 Penerapan Konsep City Branding di dalam Dokumen yang Dihasilkan


Berdasarkan Content Analysis
Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran lebih luas mengenai
penerapan konsep city branding di dalam proses pembuatan rencana di Kota
Bandung. Terutama untuk memberikan perspektif lain terhadap temuan yang
diperoleh dari dokumen RDTR dan RPJMD yang ditinjau sebelumnya. Metode
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

101

content analysis dilakukan untuk mengetahui sejauh mana konsep city branding
diterapkan (atau tidak) di dalam proses pembuatan rencana, dengan melakukan
tinjauan terhadap dokumen rencana yang telah dihasilkan Kota Bandung. Metode
ini, yang sering dikelompokkan ke dalam terminologi „discourse analysis‟, telah
diaplikasikan untuk menganalisis bentuk kualitatif atau teks dari data seperti pada
dokumen tertulis atau materi yang bersifat visual. Metode ini juga banyak
digunakan di beberapa penelitian terkait branding serta identitas dan citra sebuah
tempat (misalnya Govers et al., 2007; Hanna dan Rowley 2008; Oliveira 2015).

Analisis dimulai dengan mengumpulkan dokumen perencanaan, baik yang


bersifat peraturan yang memiliki kedudukan hukum (Perda Kota Bandung, Perda
Provinsi Jawa Barat, Perpres, Pergub, Perwali, dsb.) beserta lampiran atau naskah
akademik yang menjelaskan isi dari peraturan tersebut, rencana induk atau
rencana sektoral yang diterbitkan instansi yang berkepentingan, serta dokumen
yang disarankan oleh aktor kunci saat proses wawancara dilakukan. Dokumen
diperoleh melalui survey instansi langsung oleh penulis, atau diunduh dari laman
jdih.bandung.go.id, serta dari laman resmi instansi yang bersangkutan. Total
dokumen yang ditinjau adalah sebanyak 27 dokumen, yang dibagi ke dalam
kategori dokumen rencana pembangunan dan rencana penataan ruang, dan
diperoleh dalam format salinan digital.

Tabel V.2 Daftar dokumen yang ditinjau dalam content analysis

Kode Judul Dokumen


Kategori Rencana Pembangunan
1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah(RPJPD) Kota Bandung
Tahun 2005-2025 (Perda No. 8 Tahun 2008)
2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Bandung Tahun 2018-2023 (Perda No. 3 Tahun 2019)
3 RPJMD Kota Bandung Tahun 2013-2028 (Perda No. 3 Tahun 2014)
4 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota BandungTahun 2019
5 Rencana Strategis (Renstra) Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian
dan Pengembangan Tahun 2018-2023
6 Renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2018-2023
7 Renstra Dinas Komunikasi dan Informatika Tahun 2018-2023
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

102

Kode Judul Dokumen


8 Renstra Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah 2018-2023
9 Renstra Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Tahun 2018-2023
10 Renstra Dinas Pangan dan Pertanian Tahun 2018-2023
11 Renstra Dinas Pekerjaan Umum Tahun 2018-2023
12 Renstra Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Tahun 2018-2023
13 Renstra Dinas Penataan Ruang 2018-2023
14 Renstra Dinas Perdagangan dan Perindustrian 2018-2023
15 Renstra Dinas Perhubungan 2018-2023
16 Renstra Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan
Pertamanan 2018-2023
17 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Bandung
Tahun 2012-2025 (Perda No. 1 Tahun 2013)
18 Rencana Induk Bandung Kota Cerdas (Master Plan Bandung Smart City)
Periode 2018-2023 (Buku 1, 2, 3) (Perwali No. 1470 Tahun 2018)
19 Background Study 2018: Masterplan Penanaman Modal Kota Bandung
20 RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 (Perda No. 24 Tahun 2010)
21 Rancangan Akhir RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2018-2023
22 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat tahun
2016-2025 (Perda No. 15 Tahun 2015)
23 Rencana Besar Pengembangan Destinasi Wisata Kelas Dunia Provinsi
Jawa Barat
Kategori Rencana Penataan Ruang
24 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2011-2031
(Perda No. 18 Tahun 2011)
25 Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR dan PZ) Kota
Bandung Tahun 2015-2035 (Perda No. 10 Tahun 2015)
26 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-
2029 (Perda No. 2 Tahun 2010)
27 Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung
(Perpres No. 45 Tahun 2018)
Catatan: Content analysis juga dilakukan terhadap 15 dokumen Renstra instansi
lain yang tidak langsung berkaitan dengan konsep brand kota dan city branding
dalam penelitian ini, tetapi tidak menghasilkan temuan yang signifikan.

Analisis dilanjutkan dengan merumuskan kata kunci yang berkaitan dengan


konsep city branding, serta terminologi yang berkaitan dengan kata kunci tersebut.
Proses identifikasi kata kunci di dalam dokumen dilakukan dengan memindai
dokumen menggunakan perintah „cari‟. Hasilnya, paragraf dan kalimat yang di
dalamnya terdapat kata kunci yang dimaksud, ditandai dan dipelajari konteksnya.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

103

Untuk kata kunci „brand‟, „branding‟ dan „city branding‟ dicari secara verbatim.
Jika kata kunci terdapat pada dokumen, maka ditelusuri konteksnya berdasarkan
kata kunci selanjutnya. Jika tidak, maka kata kunci lainnya dicari berdasarkan
muatan yang diberikan, serta dipilih yang signifikan dan cukup spesifik.

Tabel V.3 Kata kunci yang digunakan dalam content analysis

No. Kata Kunci Keterangan


1 Brand, branding, city branding Padanan kata dalam bahasa Indonesia:
„merek‟, „pencitraan‟.
2 Visi, tema, slogan, logo Konteks: muatan dari visi, tema, slogan,
atau logo yang diberikan.
3 Identitas, citra Konteks: muatan dari identitas atau citra
yang diberikan (Kota perdagangan dan
jasa, kota wisata, kota pusaka, kota kreatif)
4 Promosi, pemasaran Konteks: muatan dari promosi atau
pemasaran yang diberikan.
Sumber: Hasil analisis 2019

Untuk kategori kata kunci pertama, kata „brand‟ muncul dalam RPJMD Kota
Bandung 2018-2023 (2) dalam konteks “Indeks brand awareness pariwisata Kota
Bandung” yang berfungsi sebagai indikator kinerja dalam pelaksanaan program
pemasaran kepariwisataan yang diwujudkan melalui pengembangan kampung
wisata di setiap wilayah. Kata kunci „branding‟ muncul dalam dua dokumen yaitu
Master Plan Bandung Smart City (18) dan RPJMD Provinsi Jawa Barat 2019-
2023 (21). Dalam Master Plan Bandung Smart City, konteks branding yang
dimaksud adalah “smart branding”, yaitu inovasi dalam memasarkan daerah
sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan mengembangkan tiga elemen,
yaitu pariwisata, bisnis dan wajah kota. Di dalam smart branding juga dijelaskan
mengenai „Stunning Bandung‟ sebagai brand Kota Bandung yang dipromosikan
untuk menarik wisatawan. Kata branding yang terdapat pada RPJMD Provinsi
Jawa Barat 2019-2023 berbicara mengenai dua hal; pertama, “good governance”
sebagai prinsip dalam tata kelola pelayanan masyarakat; kedua, sebagai
pertimbangan dalam penguatan promosi pariwisata pada pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Berbasis Pariwisata. Sedangkan kata kunci „city
branding‟ tidak ditemukan dalam dokumen yang ditinjau.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

104

Untuk kategori kata kunci kedua, berkaitan dengan visi sebagian dokumen
mencantumkan visi jangka panjang (1, 17, 18, 20, 22), visi jangka menengah yang
diusung kepala daerah sehingga relatif erat dengan unsur politik (2, 3, 21), arahan
pengembangan (26, 27) serta tema pengembangan (19, 25). Jika dilihat dari
muatan dalam konteks yang ditemukan, ketika berbicara mengenai visi, terdapat
kecenderungan untuk menitikberatkan pada unsur religi, seperti dengan adanya
kata kunci agamis (2), akhlak mulia (17), iman dan takwa (20). Terkait muatan
tema pengembangan, yang dikhususkan pada 8 tema pengembangan SWK, selain
terdapat pada RDTR Kota Bandung 2015-2035 (25), hanya Masterplan
Penanaman Modal Kota Bandung (19) yang menyertakan konteks tema tersebut
sebagai pertimbangan strategi. Sedangkan berkaitan dengan logo, di luar lambang
resmi Kota Bandung, hanya ditemukan pada Bandung Smart City (18), Stunning
Bandung sebagai brand pariwisata Kota Bandung (18), dan tema pengembangan
pada 8 SWK (25).

(a)

(b) (c)

Gambar V.2 Logo yang tercantum dalam dokumen (a) Bandung Smart City
(Masterplan Bandung Smart City); (b) Stunning Bandung; (c) Tema
pengembangan 8 SWK (Peta RDTR Kota Bandung 2016)

Untuk kategori kata kunci ketiga, identitas dan citra Kota Bandung yang paling
banyak ditemukan adalah kota wisata (1, 2, 4, 17, 18, 21, 22, 26, 27), kota kreatif
(1, 3, 4, 17, 23, 26), serta kota perdagangan dan jasa (1, 2, 26, 27). Jika meninjau
muatan dalam dokumen RPJMD Kota Bandung 2018-2023, sebagai acuan
pelaksanaan pembangunan saat ini, dengan RPJMD Kota Bandung 2014-2018, di
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

105

dalam dokumen terkini tidak terdapat kata kunci teknopolis dan kota MICE (3).
Kata kunci yang cukup spesifik dan sering muncul adalah kampung wisata dan
co-working space (2).

Untuk kategori kata kunci keempat, meskipun ditemukan konteks promosi dan
pemasaran pariwisata (2, 3, 4, 17, 18, 23) dan produk berbasis industri kreatif (2,
3, 4, 6, 25), tetapi relatif belum spesifik berbicara dalam konteks brand kota dan
city branding. Selain itu, konteks promosi dan pemasaran juga ditekankan pada
penggunaan teknologi komunikasi dan informatika (3, 22) melalui fasilitasi e-
commerce/market place (8), dan kerjasama regional promosi wisata dalam
lingkup Priangan Timur (6, 17). Tabel V.4 menampilkan ringkasan dari hasil
temuan yang signifikan dan cukup spesifik (untuk hasil lengkapnya lihat
Lampiran C).

Tabel V.4 Hasil content analysis terhadap dokumen perencanaan

Kode Brand, Visi, tema, Identitas, citra Promosi, pemasaran


branding, city slogan, logo
branding
1 Tidak ada* “Kota Bandung - Jasa wisata, Pusat kegiatan
Bermartabat” perdagangan pemasaran ekonomi
berbasis industri di Priangan Timur
kreatif dan IT
- Multikulturalisme
dalam lingkungan
Sunda
2 Indeks brand “Terwujudnya Kota jasa: Pemasaran
awareness Kota Bandung - Kampung wisata pariwisata, hasil
pariwisata yang Unggul, - Co-working space peternakan, dan
Kota Bandung Nyaman, hasil perikanan
Sejahtera dan (tidak spesifik)
Agamis”
3 Tidak ada* “Terwujudnya Kota kreatif: - Promosi sentra
Kota Bandung - Ekonomi kreatif industri potensial.
yang Unggul, dan teknopolis - Pemasaran pari-
Nyaman, - Kota MICE wisata, peman-
Sejahtera” faatan media.
4 Tidak ada* Tidak ada* - Bandung smart city Pemasaran
- Bandung kota pariwisata, hasil
kreatif peternakan, dan
- Pariwisata berbasis hasil perikanan
budaya (tidak spesifik)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

106

Lanjutan Tabel V.4

Kode Brand, Visi, tema, Identitas, citra Promosi, pemasaran


branding, city slogan, logo
branding
5 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
6 Tidak ada* Tidak ada* - Pariwista - Kerjasama
berbasis budaya regional promosi
dan ekonomi wisata
kreatif - Pemasaran
- Kampung wisata subsektor
- Forum/dewan ekonomi kreatif
pariwisata
7 Tidak ada* Tidak ada* Bandung Smart City Tidak ada*
(Tata kelola peme-
rintahan berbasis e-
government)
8 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Peningkatan
promosi/pemasaran,
fasilitasi e-
commerce/market
place
9 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
10 Tidak ada* Tidak ada* Kota tujuan Promosi investasi
penanaman modal berdasarkan karakter
yang prospektif dan geografis daerah
kondusif
11 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
12 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
13 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
14 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Promosi pelaku
usaha dan kemitraan
dengan toko modern
15 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
16 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
17 Tidak ada* “Kota Bandung - Pariwista mem- - Pasar pariwista
sebagai Destinasi perkuat citra pendidikan tinggi,
Pariwisata daerah sebagai keluarga, pelajar/
Perkotaan yang kota kreatif mahasiswa
Kreatif, - Destinasi - Pemasaran
Berbudaya, dan pariwisata kreatif regional
Berakhlak Mulia” berwawasan
lingkungan
18 Smart “Bandung is a - Tourism - Duta ekonomi
branding liveable and branding kreatif
loveable smart - Business - Stunning Bandung
city” branding - Arsitektur
- City appearance berkelas
branding internasional
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

107

Lanjutan Tabel V.4

Kode Brand, Visi, tema, Identitas, citra Promosi, pemasaran


branding, city slogan, logo
branding
19 Tidak ada* Pengembangan kota berdasarkan SWK Tidak ada*
yang secara garis besar semua itu
menjadi produk turunan RDTR yang
berfokus pada perecanaan tata ruang dan
rencana jaringan prasarana.
20 Tidak ada* “Dengan Iman Tidak ada* Tidak ada*
dan Takwa
Provinsi Jawa
Barat Termaju di
Indonesia”
21 Good “Terwujudnya - Smart province - Promosi dan
Governance Jawa Barat Juara - Penguatan menjaga warisan
dan Promosi Lahir Batin promosi wisata budaya dunia dan
Pariwisata dengan Inovasi dalam Kawasan warisan alam
dan Kolaborasi” Ekonomi Khusus dunia
(KEK) Berbasis - Event pariwisata
Pariwisata reguler
22 Tidak ada* “Menjadikan Citra Pariwisata di - Pemasaran
Jawa Barat Daerah Provinsi tradisional dan
Sebagai Destinasi berkelas Dunia digital
Pariwisata - Pemasaran riset
Berkelas Dunia pasar dan peman-
yang Terintegrasi, faatan TIK
Berkelanjutan dan - Badan promosi
Menjunjung pariwisata daerah
Tinggi Nilai
Budaya”
23 Tidak ada* Tidak ada* - Kawasan wisata Konsep pemasaran
per-kotaan dan destinasi wisata
pendidikan berkelas dunia
Bandung
- Kawasan
strategis pari-
wisata kreatif
Bandung dan
sekitarnya
24 Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada* Tidak ada*
25 Tidak ada* Aerobiopolis, Tidak ada* Promosi (sentra
travelapolis, boneka Sukamulya)
mediapolis,
karyapolis,
sportipolis,
sundapolis,
eksibisiopolis,
teknopolis
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

108

Lanjutan Tabel V.4

Kode Brand, Visi, tema, slogan, logo Identitas, citra Promosi,


branding, city pemasaran
branding
26 Tidak ada* Kota inti PKN dengan kegiatan utama Tidak ada*
perdagangan dan jasa, industri kreatif dan
teknologi tinggi, pariwisata, dan transportasi.
27 Tidak ada* Pusat pemerintahan provinsi, perdagangan Tidak ada*
dan jasa internasional, olahraga internasional,
sistem angkutan umum penumpang dan
barang regional, pendidikan tinggi, industri,
kesehatan internasional, pariwisata, kegiatan
pertemuan, serta pusat pameran dan sosial
budaya.
*Tidak ada temuan yang signifikan dan spesifik
Sumber: Hasil analisis, 2019

Secara umum, karakteristik dokumen yang ditinjau berorientasi para


perkembangan ekonomi. Begitu juga konteks kata kunci dicari, yang sebagian
besar menjelaskan perekonomian dan daya saing daerah. Sebagian dokumen,
merupakan Rencana Strategis (5-16) yang disusun dengan kerangka yang relatif
bersifat sektoral dan administratif. Selain itu, terdapat juga dokumen rencana
induk yang secara holistik membahas mengenai kota tetapi dalam dalam konteks
spesifik, seperti pariwisata (17), smart city (18), dan penanaman modal (19).
Tinjauan terhadap dokumen skala regional juga dilakukan untuk memberikan
perspektif eksternal dan menjelaskan posisi Kota Bandung dalam konstelasi
regional (20, 21, 22, 23, 26, 27).

Meninjau hasil temuan dan berkaca pada perkembangan kerangka teoritis


mengenai city branding, dari ketiga dokumen yang memuat kata kunci terkait
branding, hanya konteks „smart branding‟ yang dapat dikatakan memberikan
penjelasan cukup detail yang diuraikan ke dalam strategi sebagai upaya dalam
menerapkan konsep city branding. Pada konteks „Stunning Bandung‟, sebagai
brand pariwisata Kota Bandung, hanya disebutkan sebagai salah satu program
pembangunan jangka pendek (tahun 2017-2018) di bawah Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bandung, sebagai bagian dari peta jalan pembangunan smart city
Kota Bandung. Sedangkan pada konteks „Indeks Brand Awareness Pariwsata
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

109

Kota Bandung‟ serta „Good governance‟ dan „Promosi Wisata dalam KEK
Berbasis Pariwisata‟, branding merupakan faktor eksternal atau kondisi yang
perlu dipertimbangkan dalam merumuskan strategi. Dan kedua konteks terakhir
juga berbicara dalam skala Provinsi Jawa Barat, tidak menyebutkan Kota
Bandung secara spesifik.

Smart branding, yaitu branding daerah yang pintar, adalah inovasi dalam
memasarkan daerah sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan
mengembangkan tiga elemen, yaitu pariwisata (toursim branding), bisnis
(business branding), dan wajah kota (city appearance branding). Smart branding
merupakan salah satu dari enam dimensi dalam smart city, yang dalam Masterplan
Bandung Smart City, dikembangkan berdasarkan perspektif pelayanan masyarakat
dalam kerangka tata kelola pemerintahan berbasis e-government. Sehingga
strategi yang diuraikan untuk masing-masing elemen lebih fokus pada tampilan
visual dan relatif kurang memunculkan identitas dan citra Kota Bandung sebagai
konsep sentral dalam branding.

“Smart City itu kami tidak melihatnya sebagai branding. Smart city itu tata
kelola layanan publiknya. Itu tadi spiritnya lebih mudah, lebih murah, lebih
cepat, itu smart. Nanti akan bertingkat, ada smart government, ada smart
people. Diturunkan lagi, ada smart health, smart education. Nah poinnya
adalah itu tata kelola pelayanan publik yang coba kitaterapkan. Tapi
faktanya, selama ini Bandung itu hidupnya dari jasa dan pariwisata. Jadi
kalau mesti milih mau pakai brand yang mana, brand yang sudah terbentuk
itu Kota Jasa dan Pariwisata. Kota Jasa dan Pariwisata yang smart kan oke
juga. Tapi smart city, itu kalau kami melihatnya adalah sebuah bisnis model
tata kelola public services.” (LB)

“Karena selama ini saya melihat, belum terlalu fokus. Karena kalau saya
lihat dari luar, dari kota-kota lain, harus ada yang dipegang sih satu. City
branding-nya itu yang jadi penggerak, baru ke arah yang lain, cluster yang
lain. Tapi kalau disini, yang paling ini (diutamakan) di smart governance,
jadi inovasi berbasis teknologi, baru bisa men-deliver ke cluster-cluster
yang lain. Kalau dari masterplan lebih ke arah pelayanan publiknya baru
men-deliver ke smart branding. Tapi kalau fokusnya di smart branding di
awal, itu pasti lebih fokus. (Misalnya) Bandung Kota A, B, C, D. Bandung
itu dari smart governance-nya dulu, dia harus punya tata kelola yang cerdas,
reformasi birokrasi, pemanfaatan teknologi, nanti men-deliver, untuk
meningkatkan branding-nya pakai ini, ekonominya pakai ini.” (KI2)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

110

Gambar V.3 Tampilan utama smart branding (tourism, business, appearance)


dalam laman smartcity.bandung.go.id

Untuk „Stunning Bandung‟, yang merupakan brand pariwisata Kota Bandung,


konteks yang ditemukan dalam dokumen adalah promosi brand „Stunning
Bandung‟ sebagai program pembangunan jangka pendek (tahun 2017-2018) di
bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, yang merupakan bagian
dari peta jalan pembangunan smart city Kota Bandung. Di dalam dokumen juga
tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana brand ini diwujudkan
dalam struktur perekonomian, pengaturan ruang, serta strategi pencapaian yang
cukup spesifik. Konteks „Stunning Bandung‟ juga tidak ditemukan pada Rencana
Strategis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung tahun 2018-2019. Hal
ini dikarenakan brand „Stunning Bandung‟ merupakan brand yang diberikan
untuk Kota Bandung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, sehingga
hubungannya lebih bersifat vertikal.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

111

“Branding yang diambil Kota Bandung, Stunning Bandung, itu given dari
Kemenpar. Jadi tidak dibuat Disbudpar Kota Bandung. Sehingga kita
menerima hal tersebut dari Kementerian untuk diaplikasikan di wilayah
kerja pemerintah dan wilayah kerja Kota Bandung. Jadi disini kita mencoba
untuk mengkomunikasikan, menyampaikan informasi ke masyarakat bahwa
Bandung khusus untuk pariwisata dan kebudayaan, meskipun ini lintas
sektoral, itu menggunakan satu bahasa yang sama yaitu „Stunning Bandung‟
bahwa Bandung itu memukau. Bagaimana memukau itu? Nah ini kan harus
disampaikan. Sebelum ke masyarakat, sebelum kepada stakeholder, harus di
pemerintah sendiri. Di pemerintah sendiri kita kebingungan karena kan
masih baru nih, Pak Walikota baru satu tahun. Memukau ini seperti apa?
Apakah tampilannya „kasep‟? Tampilannya menarik? Ataukah aturannya
galak? Ataukah seperti apa? Itu kan tadi, ditetapkan berdasarkan
kepentingan stakeholder itu sendiri, yang utamanya pemerintah.” (KP)

Sedangkan untuk konteks tema pengembangan di 8 SWK yang terdapat pada


dokumen RDTR Kota Bandung 2015-2035, yang dalam penelitian ini
diasumsikan menjadi salah satu indikasi Kota Bandung telah menerapkan konsep
city branding, berdasarkan hasil content analysis, kata kunci tema pengembangan
di 8 SWK (Aerobiopolis, Travelapolis, Mediapolis, Karyapolis, Sportipolis,
Sundapolis, Eksibisiopolis, dan Teknopolis) hanya ditemukan di dokumen RDTR
dan Background Study Rencana Penanaman Modal Kota Bandung. Kata kunci ini
tidak ditemukan pada Rencana Strategis Dinas Penataan Ruang tahun 2018-2023
dan juga pada RPJMD Kota Bandung tahun 2018-2023. Padahal salah satu
tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan tema pengembangan ini, berdasarkan
perspektif aktor kunci, adalah pada tahap operasional, yaitu bagaimana
menurunkannya ke dalam petunjuk teknis yang menjelaskan tugas dan wewenang
instansi yang terlibat.

“Tema saya pikir ini kan visi. 8 SWK itu, ini diarahkan untuk apa, titik lain
diarahkan untuk apa. Visinya begitu, disesuaikan dengan potensi masing-
masing. Apa yang harus dilakukan. Untuk memunculkan sampai ketemu
temanya itu. Kalau ditentukan oke, tapi kita perlu tarik lagi lebih teknis,
lebih operasional. Apa yang perlu dilakukan oleh masing-masing Dinas
sektor untuk sampai pada tujuan tercapainya tema itu.” (LB)

“Kalau yang tema ini sebenarnya banyak sektor yang terlibat. Misalkan
yang di „Teknopolis‟, ambil contoh karena belum terbangun, sektor yang
terlibat kan bukan hanya tata ruang, tapi perwujudan jalannya di PU, banyak
sektor yang terlibat.” (TR1)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

112

“Kalau secara pendekatan iya. Sekarang perwujudan fungsinya. Yang saya


ingat RDTR wilayah SWK ini yang daerah Husein. Ke kita-nya apa sih?
Tupoksi dari misalkan Camat, Lurah, yang di SWK tersebut, dengan adanya
tema seperti itu, apa yang bisa diperbuat? Nah intinya, itu-nya belum dapet
kalau saya lihat.” (PU)

“Nah berkaitan dengan tematik, sekarang memang kita harapannya ke depan,


investasi di Kota Bandung itu mengacu ke Perda RDTR, yang membagi
Bandung ke dalam 8 SWK, Teknopolis, Aerobiopolis, Sportipolis (dll).
Memang idealnya, kedelapan SWK ini menjadi masa depan investasi Kota
Bandung. Kalau sekarang misalkan ingin berinvestasi di bidang olahraga
dan segala macem, larikan ke Arcamanik. Kalau ingin investasi tentang
transportasi, penerbangan, segala macem, larikan ke Bandung Aerobiopolis.
Memang harusnya begitu. Hanya kendalanya, Perda 10 tahun 2015 tentang
RDTR itu belum diatur dalam juknis seperti apa. Itu kita belum punya,
background, turunan dari Perda itu, belum ada Perwal-nya. Jadi kita masih
belum “Ini mau seperti apa sih?” Ini Perda-nya sudah ada. Tapi bagaimana
konsep detailnya, seperti itu, aplikasinya, itu kita belum.” (PM)

Lalu ketika pertanyaan mengenai agenda evaluasi RTRWK 2011-2031


disampaikan, aktor kunci juga menyebutkan bahwa ide mengenai konsep tema
pengembangan pada RDTRK 2015-2035, rencannya akan diadopsi di dalam
agenda evaluasi.
“Iya keluar pasti. Karena gini, dulu awal-awal kenapa RTRW belum ada,
kemudian kita berani munculkan, karena dari segi hukum, dua-duanya
sama-sama Perda, jadi ga masalah. Kemarin tidak ada masalah. Bahkan di
RTRW ini apa yang sudah kita rencakan di RDTR itu di-adopt untuk
kesesuaian programnya. Karena untuk perijinan RDTR ini akan lebih dilihat.
Misalkan di RTRW tidak ada tapi di RDTR ada, itu tetep jalan. Sekarang
RTRW ada beberapa yang disesuaikan. Untuk kegiatan-kegiatan yang
kemarin belum ada disesuaikan di RTRW. Ada juga setelah dianalisis,
terkait jalan, terdapat perbedaan di beberapa dokumen, baik di dokumen
Perwal jalan sendiri, dokumen RTRW, RDTR sebelumnya, dan RDTR
sekarang. Itu kemudian di RTRW yang akan diinduk. Dimasukkan kok,
walaupun mungkin tidak detail, hanya tujuannya saja, seperti tujuan
kawasan. Jadi tidak secara detail dibahas.” (TR1, 2019)

“Perlu ada penegasan lagi itu mau dbikinkan dimana. Apakah tema untuk
satu kota, atau ada satu kawasan yang merepresentasikan branding itu. Kaya
Gedebage, namanya „Teknopolis‟ ya, itu kan tidak seluruh kawasan
„Teknopolis‟, tapi ada satu kawasan khusus yang jadi „Teknopolis‟. Atau
kaya Cibeunying, kan „Travelopolis‟, bangunan heritage sama FO, itu kan
satu wilayah. Jadi perlu ada penegasan sih. Di RDTR kita juga belum begitu
tegas, mau dimana dan berupa apa. Mungkin perlu ada lagi dokumen
rencana lainnya yang menegaskan tema itu.” (TR2, 2019
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

113

Berdasarkan tinjauan terhadap tiga konteks branding yang ditemukan dalam


dokumen rencana Kota Bandung, dapat dikatakan bahwa upaya branding Kota
Bandung relatif memfokuskan pada pendekatan berbasis promosi komunikasi
yang menekankan pada tampilan visual. Upaya branding juga kurang memiliki
orientasi strategi yang berakar pada konsep identitas dan citra Kota Bandung yang
unik. Hal ini menurut beberapa literatur mengenai city branding, dianggap tidak
efektif dalam mendorong restrukturisasi ekonomi, inklusi dan kohesi sosial,
keterlibatan dan partisipasi politik, identifikasi tempat, dan kesejahteraan umum
masyarakat (Oliveira, 2016b). Sedangkan berkaitan dengan perumusan brand kota,
beserta strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan branding yang dimaksud,
Kavaratzis dan Hatch (2013) berpendapat bahwa proses branding mengacu pada
serangkaian langkah yang perlu diambil satu demi satu untuk mencapai brand
yang diinginkan. Selain itu, strategi city branding cenderung lebih efektif jika
melibatkan pelbagai pemangku kepentingan (Kavaratzis, 2012) dan juga
masyarakat (Eshuis dkk., 2014).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep brand kota dan city branding,
yang berkorespondensi pada tinjauan literatur, tidak ditemukan di dalam dokumen
rencana yang dihasilkan Kota Bandung. Dari tiga dokumen yang memuat
terminologi brand, hanya dokumen Masterplan Bandung Smart City, melalui
dimensi smart branding, yang dirasa cukup jelas dalam mengartikulasikan upaya
branding ke dalam strategi pariwisata, bisnis, dan wajah kota. Hanya saja, selain
dikembangkan dalam kerangka tata kelola pelayanan publik, upaya branding yang
dilakukan cenderung memfokuskan pada pendekatan berbasis promosi
komunikasi yang menekankan pada tampilan visual. Sedangkan identitas dan citra
Kota Bandung yang unik, meskipun telah terakomodasi di dalam dokumen
rencana yang dihasilkan, belum menjadi konsep sentral dalam upaya branding di
Kota Bandung.

Jika disandingkan dengan temuan pada sub-bab sebelumnya. Penerapan konsep


city branding di dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung lebih kuat
dirasakan pada era pemerintahan walikota Ridwan Kamil. Hal ini juga
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

114

ditunjukkan dengan ditemukannya konteks branding, meskipun bersifat eksternal,


di dalam dokumen RPJMD Provinsi Jawa Barat 2019-2023, yang mana Ridwan
Kamil merupakan Gubernur terpilih. Meski demikian, pada studi kasus Kota
Bandung, penerapan konsep city branding juga lebih kuat dirasakan di periode
menengah menuju akhir kepemimpinan Ridwan Kamil. Hal ini ditunjukkan
dengan ditemukannya konteks branding di dalam Masterplan Bandung Smart City
2018-2023 (ditetapkan oleh Oded M. Danial tahun 2018, tetapi dirintis oleh
Ridwan Kamil), dan di dalam RDTR 2015-2035 (ditetapkan 2015), tetapi tidak di
dalam RPJMD 2013-2018 (ditetapkan 2014) yang disusun di awal pemerintahan
Ridwan Kamil.

Selain itu, meskipun konsep city branding tidak diterapkan di dalam proses
penyusunan dokumen RPJMD, tetapi strategi yang berkaitan dengan branding
lebih banyak ditemukan di dalam dokumen rencana pembangunan lainnya,
meskipun hasilnya lebih banyak berupa upaya promosi dan komunikasi yang
bersifat visual dan cenderung kurang efektif. Hal ini dikarenakan dokumen
rencana pembangunan disusun dengan melibatkan relatif lebih banyak sektor
dibandingkan dengan rencana tata ruang, sehingga berpotensi menghasilkan
konsep dalam perumusan strategi yang lebih variatif. Sedangkan strategi yang
mengarah pada perubahan struktural seperti pada RDTRK 2015-2035, yang
proses penyusunannya menerapkan konsep city branding, diterjemahkan secara
tidak konsisten dan tidak terkoordinasi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
tersedianya petunjuk teknis atau rencana operasional (yang ditetapkan melalui
Peraturan Walikota) yang dapat menjadi pedoman pelaksanaan baik oleh Dinas
sektoral dan kewilayahan. Ditambah lagi, kata kunci tema pengembangan
(misalnya Teknopolis, yang menjadi salah satu program unggulan walikota
Ridwan Kamil) tidak ditemukan di dokumen lain selain pada RDTR 2015-2035
dan Background Study Rencana Penanaman Modal 2018, bahkan tidak ditemukan
di dalam dokumen RPJMD 2018-2023. Sehingga ada kecenderungan bahwa
penerapan konsep city branding di dalam proses pembuatan rencana, relatif
melemah pada awal periode kepemimpinan walikota saat ini.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

115

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan konsep city branding di


dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung dilakukan secara satu arah,
tidak disadari, tidak konsisten, dan tidak terkoordinasi. Meski demikian, Kota
Bandung telah memiliki dokumen rencana yang berpotensi mengarahkan
perubahan struktural yang berorientasi branding seperti RDTRK 2015-2035, yang
rencananya idenya akan diadopsi pada agenda evaluasi RTRWK 2011-2031.
Berdasarkan temuan tersebut, maka tahapan selanjutnya pada analisis adalah
mengidentifikasi peluang penerapan konsep city branding sebagai instrumen
dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung.

V.3 Peluang Penerapan Konsep City Branding sebagai Instrumen dalam


Proses Pembuatan Rencana di Kota Bandung
Pembahasan sebelumnya menunjukan bahwa Kota Bandung belum menerapkan
konsep city branding dalam proses pembuatan rencananya. Dengan demikian,
untuk mengidentifikasi peluang penerapan, tahapan pertama adalah
mengembangkan kerangka konseptual proses pembuatan rencana yang
menerapkan konsep city branding sebagai instrumen, lalu mengaplikasikan
kerangka tersebut terhadap studi kasus Kota Bandung, kemudian merumuskan
faktor-faktor yang perlu diperhatikan.

V.3.1 Mengaplikasikan Kerangka Konseptual ke dalam Studi Kasus Kota


Bandung
Dalam mengaplikasikan kerangka konseptual ke dalam studi kasus Kota Bandung,
identifikasi dilakukan berdasarkan 5 tahapan yaitu persiapan, pengumpulan data
dan informasi, pengolahan dan analisis data, perumusan konsep, serta penyusunan
dan pembahasan rancangan peraturan.

V.3.1.1 Tahap Persiapan


Tahapan ini fokus pada mematangkan pemahaman aktor kunci mengenai konsep
brand kota dan city branding. Dapat membentuk komitmen, budaya berorientasi
brand, memfasiliasi diskusi dua arah, serta membentuk tim yang kompak. Dalam
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

116

mengaplikasikan kerangka di Kota Bandung, tinjauan dilakukan terhadap


pemahaman aktor kunci mengenai konsep brand kota dan city branding.

Konsep „brand‟ secara umum memiliki arti “A type of product manufactured by a


particular company under a particular name; An identifying mark burned on
livestock or (especially in former times) criminals or slaves with a branding iron;
A piece of burning or smouldering wood” (en.oxforddictionaries.com, 2019).
Sedangkan dalam kerangka pemasaran, „brand‟ memiliki arti “a complex
multidimensional construct whereby managers augment products and services
with values and this facilitates the process by which consumers confidently
recognise and appreciate these values” (Chernatony dan Dall‟Olmo Riley, 1998).
Di sisi lain, American Marketing Association (2013), mendefinisikan
„brand„ sebagai “name, term, design, symbol, or any other feature that identifies
one seller’s good or service as distinct from those of other sellers.”

Pemahaman aktor kunci mengenai brand kota dan city branding, didentifikasi
melalui temuan hasil wawancara, ketika pertanyaan mengenai brand disampaikan,
aktor kunci memberikan definisi brand kota dengan konteks yang berbeda-beda,
antara lain sebagai berikut:

“Untuk brand-nya sendiri saya melihat lebih di misi kedua (RPJMD) tata
kelola pemerintahan, dan misi keempat tata ruang yang berwawasan
lingkungan. Nah itu yang mungkin, misi dua dan misi empat, yang nanti
banyak memberikan warna dalam branding Kota Bandung.”. (KI1)

“Tapi faktanya, selama ini Bandung itu hidupnya dari jasa dan pariwisata.
Jadi kalau mesti milih mau pakai brand yang mana, brand yang sudah
terbentuk itu Kota Jasa dan Pariwisata.” (LB)

“Tantangannya sebetulnya simple kalau buat Saya, brand ini (Stunning


Bandung), Bandung satu-satunya kota yang diberikan branding oleh
Kementerian.” (KP)

“Kalau saya lihat, brand itu kan lebih ke kemasan. Kalau menurut saya,
barangnya itu-itu juga. Misalnya bakso tapi nanti pengemasannya dengan
segala macam variasinya. Termasuk produk-produk wisata di Bandung.
Bagaimana mengemas itu agar nanti orang akan menjadi penasaran, akan
menjadi tertarik.” (BP)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

117

“Kalau kita mengusung city branding terkait dengan kondisi perekonomian


atau kondisi masyarakat Kota Bandung yang saat ini sudah menjadi
kawasan perdagangan atau jasa, maka untuk bisa mencapai positioning city
branding tersebut, persoalan lingkungan tadi harus dapat diatasi. Pertama
kemacetan, penting diatasi, untuk menarik wisatawan, investor, dan juga
menunjang city branding tadi, misalkan Kota Jasa yang Bermartabat
(RPJPD)”. (LH)

“Pada saat bikin brand-nya (RDTR) mungkin melihatnya seharusnya


potensi-potensi, tapi kemudian pengembangannya bagaimana, sulit tidak
kedepannya.” (TR1)

“Karena memang waktu penyusunannya (RDTR) juga ga mudah. Karena


Pak Walikota pengennya semua ada brand-nya lah. Dan tidak semua itu
sudah kelihatan.” (TR2)

“Apalagi kalau ingat dulu pernah kejadian banjir Pagarsih sampai mobil
terbawa arus, itu kan betul-betul brand nama jelek sekali untuk Kota
Bandung.” (PU)

“Terus citra yang baru ya itu, sekarang dengan visinya agamis, mendorong
Kota Bandung punya program-program yang diminati masyarakat dan religi.
Dan brand itu sudah mulai, Kota Bandung sebagai kota religius.” (KI2)

“Jadi kalau brand Bandung memang, disebutnya juga kan Kota Kembang.
Bahkan dulu Soekarno “Kalau Bandung itu diciptakan ketika Allah
tersenyum” kan begitu”. (PM)

Aktor kunci memberikan definisi brand kota dengan mengasosiasikan kata brand
ke dalam beberapa terminologi. Pertama, mengasosiasikan brand kota dengan
visi-misi yang terdapat pada RPJMD dan RPJPD. Kedua, mengasosiasikan brand
kota dengan tema pengembangan SWK yang terdapat pada RDTR. Ketiga,
mengasosiasikan brand kota dengan slogan dalam strategi pemasaran, contohnya
dalam pariwisata yaitu „Stunning Bandung‟. Keempat, mengasosiasikan brand
kota dengan identitas, yaitu bagaimana Kota Bandung ingin dirasakan oleh
masyarakat. Kelima, mengasosiasikan brand kota dengan citra, yaitu bagaimana
Kota Bandung dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pemahaman aktor kunci mengenai brand kota secara simultan digunakan,
atau menjadi kata ganti dan dianggap memiliki makna yang sama, dengan konsep
visi, tema pengembangan, strategi pemasaran, identitas dan citra. Tabel V.1 pada
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

118

halaman selanjutnya merangkum konteks definisi dan asosiasi makna brand kota
oleh aktor kunci.

Tabel V.5 Konteks definisi dan asosiasi makna brand kota oleh aktor kunci

Aktor Kunci Konteks Definisi Asosiasi Makna


KI1 Brand itu lebih di misi kedua tata kelola Visi-misi, identitas
pemerintahan, dan misi keempat tata
ruang yang berwawasan lingkungan.
LB Bandung itu hidupnya dari jasa dan Identitas, citra
pariwisata, dan brand yang sudah
terbentuk itu kota jasa dan pariwisata.
KP Bandung satu-satunya Kota yang Strategi pemasaran
diberikan brand(ing) oleh Kementerian
Pariwisata (Stunning Bandung).
LH Mengusung city branding terkait dengan Visi-misi, identitas
kondisi perekonomian masyarakat Kota
Bandung yang saat ini sudah menjadi
kawasan perdagangan atau jasa, misalkan
Kota Jasa yang Bermartabat.
BP Brand itu lebih ke kemasan, bagaimana Strategi pemasaran
orang menjadi tertarik.
TR1 Pada saat bikin brand-nya (RDTR) Tema pengembangan
mungkin melihatnya seharusnya potensi.
TR2 Karena memang waktu penyusunannya Tema pengembangan
(RDTR), Pak Walikota ingin semua ada
brand-nya.
PU Waktu kejadian banjir Pagarsih sampai Citra
mobil terbawa arus, itu kan brand, nama
jelek sekali untuk Kota Bandung.
KI2 Sekarang dengan visinya agamis, brand Visi-misi, identitas
itu sudah mulai, Kota Bandung sebagai
kota religius.
PM Jadi kalau brand Bandung memang, Identitas, citra
disebutnya juga kan Kota Kembang.
Sumber: Hasil analisis 2019

Brand kota memiliki karakteristik akar yang multi-disiplin, berhadapan dengan


pelbagai kelompok kepentingan, memiliki tingkat intangibility dan kompleksitas
yang tinggi, perlu memertimbangkan tanggung jawab sosial, berhubungan dengan
bermacam identitas, dan membutuhkan pengembangan jangka panjang (lihat
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

119

Tabel II.1). Brand kota juga menekankan pada karakteristik intrinsik dan khasnya
sebagai produk dalam konteks tempat. Maka dapat dimengerti jika terdapat multi-
perspektif dalam memandang brand kota, meskipun brand kota tidak sama
dengan dengan visi kota. Meski demikian, pemahaman mengenai pentingnya
konsistensi dalam jangka panjang untuk membentuk brand kota (Kavaratzis,
2009), serta konstruksi brand kota yang multi-dimensi dan kompleks (Chernatony
dan Dall‟Olmo Riley, 1998) serta multi-stakeholder (Balmer dan Gray, 2003),
telah terdapat pada pemahaman beberapa aktor kunci:

“Brand itu muncul atas konsistensi keberhasilan yang kita capai.


Keberhasilan yang diulang lagi, diulang lagi, terus menerus, itu yang jadi
brand. Jadi kalau mau memunculkan brand tertentu, maka kita harus tarik
mundur step-nya. Keberhasilan apa yang harus dicapai dan harus dilakukan
berulang-ulang. Itu baru jadi brand.” (LB)

“Kalau secara umum Saya lihat kan Kota Bandung cukup bagus ya brand-
nya. Dari berbagai faktor lah. Dari tata kota nya, Bandung cukup bagus.
Dari iklimnya juga, Bandung banyak diminati, banyak orang datang ke
Bandung. Saya pikir tidak ada tempat lah kalau Anda pergi kemana pun,
bisa senyaman di Bandung.” (PM)

Selain itu, salah satu aktor kunci juga memberikan pendapat yang mungkin dapat
merangkum mengenai apa yang dimaksud dengan suatu brand kota yang kuat:

“Tetapi di satu sisi sih kemarin kan kita ada peningkatan infrastruktur ya,
seperti perbaikan-perbaikan taman, di sisi lain memberikan dampak
perubahan citra positif jadinya semakin banyak pengunjung yang datang.
Walaupun kondisi macet atau apa, tapi mereka tetap datang karena kita
membangun image-image baru, yang bisa membuat mereka hadir. Karena
kalau ditanya tentang Bandung, temen-temen saya “Ah Bandung macet,
males ke Bandung sekarang, dari Bandung mau ke Lembang aja dua jam.”
Ya begitu, image-nya seperti itu. Tapi entah kenapa mereka tetep aja dateng,
tetap aja menjadi pilihan, kuat, citra(brand)-nya sih kuat.” (TR1)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat perbedaan perspektif dari


aktor kunci dalam memandang brand kota. Pemahaman brand kota secara
simultan digunakan atau diasosiasikan dengan visi-misi, tema pengembangan,
strategi pemasaran, identitas dan citra. Hal ini dapat dimengerti mengingat
karakteristik brand kota yang kompleks, multi-dimensi dan multi-stakeholder.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

120

Meski demikian, pemahaman mengenai karakteristik tersebut, dan pentingnya


konsistensi jangka panjang dalam membentuk brand, telah terdapat pada
pemahaman beberapa aktor kunci.

Sedangkan terkait konsep city branding, secara sederhana dapat dipahami sebagai
proses memberikan brand terhadap kota. Dalam memberikan kejelasan
konseptual mengenai city branding, Boisen dkk. (2018) memberikan
perbandingan dengan konsep city promotion dan city marketing, dan
menggunakan definisi city branding sebagai “a network of associations in the
consumers' mind based on the visual, verbal, and behavioral expression of a place
and its' stakeholders. These associations differ in their influence within the
network and in importance for the place consumers' attitude and behavior.”
(Zenker dan Braun, 2017). Beberapa peneliti, melalui pelbagai pendekatan,
mencoba merumuskan kerangka konseptual city branding sebagai acuan dalam
manajemen brand sebuah kota. Beberapa pendekatan dan kerangka yang banyak
dirujuk dan dijadikan pedoman dalam praktik city branding antara lain:
pendekatan tempat sebagai lokasi bisnis (Rainisto, 2003; Moilanen, 2008;
Moilanen dan Rainisto, 2009), pendekatan brand yang bersifat relasi (Hankinson,
2004, 2007, 2015), pendekatan komunikasi (Kavaratzis, 2004, 2008; Kavaratzis
dan Ashworth, 2005), pendekatan yang lebih aplikatif (Trueman dan Cornelius,
2006), dan pendekatan evaluasi (Anholt, 2006).

Pemahaman aktor kunci mengenai konsep city branding dan pendekatan yang
digunakan juga relatif beragam.. Berikut beberapa pernyataan aktor kunci
mengenai konsep city branding:

“Sebenarnya branding itu non-spasial kalau menurut saya, non-spasial itu


yang RPJMD, branding-nya kalau saya nilai masih bisa berlanjut itu smart
city, Bandung creative city. Kalau Kami, tugasnya lebih ke informasi, apa
sebenarnya rincian dari branding itu, “Unggul, nyaman, sejahtera, dan
agamis” itu apa, melanjutkan „Bandung Juara‟ seperti apa. “(KI1)

“Jika isu tersebut dikaitkan dengan city branding, berarti kan kita akan
membuat sesuatu positioning Kota Bandung yang bisa menonjolkan
identitas dirinya yang bisa diakui keberadaannya oleh dunia luar.” (LH)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

121

“Kalau secara isu saya pikir tidak bergeser ya, jasa, pariwisata, kalau secara
branding. Jadi kami di pemerintah itu melihat branding itu bukan dari luar.
Bukan bagaimana caranya menciptakan branding, bukan. Bagaimana
branding itu terbentuk karena aktivitas yang sudah dilakukan. Maka
branding-nya jadi dengan sendirinya.” (LB)

“Jadi branding Kota Bandung selama ini semua orang mengatakan satu hal,
banyak orang di Indonesia ngomong Bandung itu apa? Gedung Sate.
Padahal itu kan Jawa Barat. Nah sekarang dibuatlah oleh Kementerian
branding-nya tadi, “Stunning Bandung; Where the Wonders Begin”. Jadi
disini kita mencoba untuk mengkomunikasikan, menyampaikan informasi
ke masyarakat bahwa Bandung khusus untuk pariwisata dan kebudayaan,
meskipun ini lintas sektoral, itu menggunakan satu bahasa yang sama yaitu
„Stunning Bandung‟, bahwa Bandung itu memukau.” (KP)

“Ya kalau dari segi image, Kota Bandung mah Kota Kreatif. Artinya kalau
disebut perdagangan dan jasa itu mah sudah terbentuk. Kalau dari segi yang
lain juga sama. Misalkan pendidikan, semua perguruan tinggi favorit, negeri
dan swasta ada di Bandung. Termasuk juga pusat penelitian ada Telkom,
Pindad, PT. DI, jadi didukung oleh itu juga. Artinya itu akan mem-branding
Kota Bandung juga.” (BP)

“Kita pahami itu (branding) sebagai salah satu tujuan pengembangan kota.
Walaupun secara keseluruhan, tidak secara khusus.” (TR1)

“Perlu ada penegasan lagi itu mau dbikinkan dimana. Apakah tema untuk
satu kota, atau ada satu kawasan yang merepresentasikan branding itu. Kaya
Gedebage, namanya „Teknopolis‟ ya, itu kan tidak seluruh kawasan
„Teknopolis‟, tapi ada satu kawasan khusus yang jadi „Teknopolis‟.” (TR2)

“Jadi yang namanya branding itu kan sebenarnya sesuatu yang simpel,
mengena, setiap orang mengerti, dan bisa ditafsirkan. Kalau bicara branding
itu buat apa, ya dulu-dulu kaya “we can make people fly”, itu caranya apa?
Buat tiketnya murah atau apa. Sama dengan Kota Bandung.” (PU)

“Dan brand itu sudah mulai, Kota Bandung sebagai kota religius. Kota
desain juga, sudah sejak 2015. Akademik kan karena banyak universitas.
Kuliner paling, karena tadi harus kreatif, harus inovatif, jadinya ke kuliner,
banyak jajanan. Kalau ga gitu, mungkin Kota Bandung tidak akan
disinggahi sama pelancong. Sama mungkin budaya, budaya sunda yang
berkembang di Kota Bandung seperti angklung, itu jadi branding.” (KI2)
“Kan kita tidak mungkin menyusun sebuah perencanaan, bahkan sebelum
ke visi misi itu kan kita bicara dulu isu strategis. Bandung itu sebagai apa
sih? Potensi yang dimiliki Kota Bandung itu apa? Ketika kita berbicara
potensi, kan berbicara branding tuh.” (PM)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

122

Istilah city branding, atau branding, oleh aktor kunci seringkali digunakan, dan
dianggap memiliki makna yang sama, dengan kata „brand‟. Seperti ketika
mengungkapkan “branding-nya itu ...” yang kemudian diikuti dengan visi, tema,
slogan, identitas, atau citra. Selain itu, perspektif masyarakat sebagai konsumen
juga sudah dipertimbangkan beberapa aktor kunci, terutama yang berkaitan
dengan kegiatan pariwisata. Sedangkan dalam melihat kerangka konseptual city
branding, beberapa aktor kunci menitikberatkan pada pendekatan komunikasi
yang ditandai dengan munculnya kata kunci seperti „menyampaikan informasi‟,
„positioning‟, dan „mengkomunikasikan‟.

Tabel V.6 Interpretasi makna pada frasa dalam pemahaman city branding

Aktor Frasa dalam Pemahaman


Interpretasi Makna
Kunci City Branding
KI1 - Branding-nya itu smart city, Bandung - Karakteristik brand (visi,
creative city. identitas)
- Tugasnya lebih ke informasi. - Pendekatan komunikasi
LB - Branding itu terbentuk karena - Perspektif konsumen
aktivitas yang sudah dilakukan.
KP - Dibuatlah oleh Kementerian branding- - Karakteristik brand
nya. (strategi pemasaran)
- Mencoba untuk mengkomunikasi-kan - Pendekatan komunikasi
ke masyarakat. - Perspektif konsumen
(pariwisata)
LH - Membuat sesuatu positioning Kota - Pendekatan komunikasi
Bandung.
BP - itu akan mem-branding Kota Bandung - Karakteristik brand (citra)
juga
TR1 - (Branding) sebagai salah satu tujuan - Karakteristik brand (tema)
pengembangan kota
TR2 - Tema untuk satu kota, atau ada satu - Karakteristik brand (tema)
kawasan yang merepresentasikan
branding
PU - Branding itu kan sebenarnya sesuatu - Perspektif konsumen
yang simpel, mengena, setiap orang
mengerti, dan bisa ditafsirkan.
KI2 - Budaya sunda yang berkembang di - Karakteristik brand
Kota Bandung seperti angklung, itu (identitas)
jadi branding - Perspektif konsumen
(pariwisata)
PM - Ketika kita berbicara potensi, kan - Karakteristik brand
berbicara branding (identitas)
Sumber: Hasil analisis 2019
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

123

Pemahaman aktor kunci mengenai konsep city branding, yang seringkali dianggap
sama dengan brand kota, dapat dimengerti, sebagaimana disampaikan Boisen dkk.
(2018) bahwa konsep city branding bersifat identity-driven. Hal ini mewakili
pendekatan outside-in yang berupaya mengekspresikan nilai-nilai dan narasi
terpilih dari tempat yang dimaksud. Tugas dari city branding adalah upaya sadar
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan reputasi kota; dengan kata lain,
manajemen reputasi. Dengan demikian, muatan atau substansi dari brand kota
itulah yang menjadi penting. Muatan ini menjelaskan bagaimana brand kota
tersebut dipahami dan diterjemahkan ke dalam strategi.

Adanya perspektif masyarakat sebagai konsumen yang dipertimbangkan, terutama


yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata, merupakan faktor penting dalam
memahami konsep city branding. Boisen dkk. (2018) menyebutkan bahwa mandat
yang sesuai dengan city branding adalah orkestrasi citra yang menekankan pada
kemampuan untuk memengaruhi baik promosi terkoordinasi (city promotion), dan
pengembangan produk dan layanan (city marketing) untuk dapat memengaruhi
persepsi dan asosiasi yang dimiliki dengan kota. Tujuan city branding telah
tercapai ketika orang-orang, secara umum, dan dalam jangka waktu yang lebih
lama, memiliki reputasi yang baik terhadap kota.

Berkaitan dengan pendekatan komunikasi terdahap konsep city branding yang


dititikberatkan oleh beberapa aktor kunci, Kavaratzis (2004) menyebutkan bahwa
pendekatan ini memandang brand sebagai sebuah komunikator yang memiliki
makna fungsional dan simbolis. Kerangka ini membagi komunikasi dalam bentuk
komunikasi disengaja dan komunikasi tidak disengaja. Bentuk komunikasi
disengaja yaitu berupa promosi, slogan, logo, dan bentuk pemasaran lainnya.
Sedangkan komunikasi tidak disengaja berkaitan dengan aksi dan alat pemasaran
yang dilakukan kota ketika komunikasi bukan merupakan tujuan utama. Bentuk
komunikasi ini terbagi ke dalam 4 (empat) bidang yaitu: strategi lansekap (aksi
dan keputusan berkaitan dengan desain kota, arsitektur, ruang terbuka), proyek
infrastruktur (proyek yang dikembangkan untuk memunculkan karakter kota yang
khas), struktur organisasi (struktur tata kelola pemerintahan yang efektif), dan
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

124

perilaku kota (visi pemimpin kota dan strategi pembangunan). Citra dari brand
kota kemudian dikomunikasikan melalui 3 (tiga) jenis komunikasi yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Komunikasi primer berkaitan dengan bidang-bidang dalam
bentuk komunikasi tidak disengaja. Komunikasi sekunder berkaitan dengan
bentuk-bentuk pemasaran pada komunikasi disengaja. Sedangkan komunikasi
tersier berkaitan dengan komunikasi dari mulut ke mulut setiap orang, yang
didukung oleh media komunikasi yang ada.

Sebagai tambahan perspektif, dengan melakukan pencarian di internet


menggunakan kata kunci „city branding Kota Bandung‟, salah satu hasil pencarian
teratas adalah berita dengan judul “Kiat Ridwan Kamil Bentuk City Branding”
(Jamil, 2018, https://www.ayobandung.com/read/2018/10/04/38866/kiat-ridwan-
kamil-bentuk-city-branding, 2 Agustus 2019). Berita ini melaporkan pemaparan
Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat 2018-2023) mengenai tiga kiat jitu
membentuk city branding atau image kota melalui peran personil Humas dalam
institusi pemerintahan di acara Indonesian City Government PR Summit. Ridwan
Kamil merupakan walikota Bandung periode 2014-2018. Dan walikota Bandung
saat ini, Oded M. Danial merupakan wakil walikota ketika Ridwan Kamil
menjabat. Dengan demikian, pendapatnya dianggap relevan dalam memberikan
perspektif mengenai city branding di Kota Bandung. Berikut kutipan berita yang
telah disesuaikan dengan kebutuhan analisis:

“Humas harus sangat proaktif dalam menyebarkan berita baik, masuki


semua instrumen media tidak hanya yang konvensional tapi juga digital.
Humas harus pandai juga me-manage berita buruk, seperti peristiwa
bencana alam di daerah, kecelakaan, kekeringan, maupun permasalahan
infrastruktur, dengan teori delapam jam. Humas harus selalu memotivasi
kepala daerahnya untuk melek digital dan informasi, karena setiap informasi
yang disebarkan kepala daerah akan mewakili citra dari seluruh daerah yang
dipimpinnya. Saya kira tiga poin itulah yang ujungnya city branding itu
akan muncul dengan kuat kalau praktisi Humas ini lebih kuat bisa
memviralkan berita baiknya. Jangan kalah pada saat krisis berita negatifnya
dan pemimpinnya jangan gaptek terhadap Indonesia hari ini dimana semua
warganya adalah melek digital. City branding dapat mendorong iklim
investasi, meningkatkan kunjungan wisatawan dan mempopulerkan kota di
mata dunia.” (https://www.ayobandung.com/read/2018/10/04/38866/kiat-
ridwan-kamil-bentuk-city-branding)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

125

Tiga poin yang disampaikan oleh Ridwan Kamil mengenai pendapatnya tentang
kiat membentuk city branding antara lain: proaktif dalam menyebarkan berita baik,
pandai mengelola berita buruk, serta pentingnya pemimpin untuk melek digital
dan informasi karena setiap informasi yang disebarkan kepala daerah akan
mewakili citra dari seluruh daerah yang dipimpinnya. Ketiga poin tersebut
berkaitan dengan pendekatan komunikasi dalam city branding, terutama berbicara
mengenai strategi komunikasi sekunder dan tersier. Pendekatan komunikasi ini
juga dititikberatkan oleh beberapa aktor kunci dalam memahami konsep city
branding. Selain itu, Ridwan Kamil juga menyampaikan tiga tujuan city branding
yaitu mendorong iklim investasi, meningkatkan kunjungan wisatawan dan
mempopulerkan kota di mata dunia. Hal ini juga sejalan dengan apa yang
disampaikan beberapa aktor kunci mengenai perspektif konsumen, terutama
berkaitan dengan wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemahaman aktor kunci mengenai


konsep city branding, atau branding, seringkali digunakan secara bersamaan atau
dianggap memiliki makna yang sama dengan brand kota, berikut asosiasinya
dengan visi-misi, tema pengembangan, strategi pemasaran, identitas dan citra.
Selain itu, beberapa aktor kunci juga memertimbangkan pentingnya perspektif
masyarakat sebagai konsumen, terutama yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata. Sedangkan mengenai pendekatan yang digunakan dalam memahami
konsep city branding, beberapa aktor kunci menitikberatkan pada pendekatan
yang bersifat komunikasi.

V.3.1.2 Tahap Pengumpulan Data dan Informasi


Tahap ini fokus pada menggali informasi mengenai bagaimana kota dirasakan,
baik oleh masyarakat maupun target audiens yang ingin dipengaruhi. Diharapkan
memberikan gambaran pasar dan daya saing kota. Dalam mengaplikasikan
kerangka di Kota Bandung, tinjauan dilakukan terhadap pemahaman aktor kunci
mengenai citra Kota Bandung saat ini.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

126

Konsep citra dalam kerangka brand menurut Kavaratzis dan Ashworth (2005),
menjelaskan bagaimana brand kota dirasakan. Boisen dkk. (2011), berpendapat
bahwa citra perlu ditafsirkan dalam konteks tertentu agar dianggap positif atau
negatif, sedangkan reputasi tempat yang menjadi tujuan dari place branding,
adalah jumlah opini normatif jangka panjang tentang tempat yang merangsang
penilaian langsung dan/atau respons emosional. Dalam konsep awal mengenai
citra kota, Lynch (1960) menkankan fungsi lansekap perkotaan dalam membentuk
citra, serta mengemukakan bahwa dimensi kota tidak hanya dari fisik, melainkan
juga aspek budaya, politik, ekonomi, dan spasial serta nonspasial (Lynch, 2000).

Proses wawancara dalam menggali pandangan aktor kunci mengenai citra Kota
Bandung dibuka dengan pertanyaan mengenai isu terkini. Hal ini dilakukan untuk
menangkap persoalan-persoalan yang berpotensi menimbulkan citra buruk bagi
Kota Bandung. Jawaban yang diberikan aktor kunci sebagian besar mengacu pada
isu strategis jangka menengah yang terdapat di RPJMD Kota Bandung 2018-2023,
yaitu: (1) Peningkatan kualitas pendidikan; (2) Peningkatan derajat masyarakat; (3)
Tata kelola pemerintahan; (4) Ketimpangan ekonomi; (5) Optimalisasi
infrastruktur dan penataan ruang; (6) Lingkungan hidup berkualitas dan
optimalisasi pengelolaan persampahan; (7) Penanggulangan kemiskinan dan
PMKS; serta (8) Sinergitas pembiayaan pembangunan. Selain itu, aktor kunci juga
memberikan jawaban berdasarkan urusan yang dihadapinya dalam pemerintahan.
Wawancara kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana isu yang
dihadapi memberikan pengaruh terhadap citra Kota Bandung. Berikut adalah
jawaban dari aktor kunci:

“Gara-gara muncul macet, gara-gara sampah yang belum optimal tertangani.


Tentu itu akan berpengaruh. Tapi kalau sampai mengubah brand, belum.
Bandung sebagai Kota Jasa, sebagai Kota Pendidikan, Kota Pariwisata,
Ibukota Provinsi, fungsinya sebagai itu ya, masih sama.” (LB)

“Terus citra yang baru ya itu, sekarang dengan visinya agamis, mendorong
Kota Bandung punya program-program yang diminati masyarakat dan religi.
(Kalau) Image negatif, ya sekarang itu problem-nya karena banyak
pengunjung yang merasakan Bandung macet. Itu jadi image negatif. Karena
kalau pembangunan fisik jalan ga sebanding dengan pertumbuhan penduduk.
Akses jalan tol dari Jakarta-Bandung cukup mudah.” (KI2)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

127

“Jujur aja sebenarnya citranya jadi negatif ya. Kota Bandung ini semakin
kesini gimana. Pertama udah macet karena tidak tertibnya kegiatan-kegiatan,
contoh PKL, kalau kita jalan di kawasan perdagangan seperti Cicadas atau
di dekat mal-mal seperti BEC. Orang luar yang datang ke Kota Bandung
kan, image nya sudah yang macet, terus ga tertib, kemudian masalah dulu
terkait masalah sampah. Kalau saya sih menilainya malah justru menambah
citra negatif kepada pengunjung yang datang.” (TR1)

“Ya kalau dari segi image, Kota Bandung mah Kota Kreatif. Artinya kalau
disebut perdagangan dan jasa itu mah sudah terbentuk. Kalau (citra) negatif
mungkin masih banyak juga, kemacetan, kemudian kawasan kumuh, masih
banyak juga. Dan juga ada faktor kedekatan dengan Jakarta, sebagian
macetnya kan Jakarta. Kemudian dari segi sanitasi, banjir. Artinya itu efek
juga dari penduduk. Kawasan terbangunnya semakin luas, ruang terbuka
semakin sempit.” (BP)

“Sangat memengaruhi, apalagi kalau ingat dulu pernah kejadian banjir


Pagarsih sampai mobil terbawa arus, itu kan betul-betul brand nama jelek
sekali untuk Kota Bandung. Untuk sekelas Kota, Ibukota Provinsi, kejadian
tersebut dapat terjadi. Dan kalau saya sering menerima tamu juga, kadang
kejadian di Kabupaten/Kota sekitar, yang kebawa-bawa Kota Bandung juga.
Seperti “Pak kemarin yang banjir seleher di Bandung itu dimana?” Padahal
kan itu Kabupaten. Tapi ya kita coba membentuk image bahwa ya Bandung
sebenarnya aman, tidak sampai kejadian seperti itu. Tapi masalah sampah
dan lain-lain penting juga.” (PU)

Berdasarkan interpretasi terhadap pernyataan aktor kunci, terdapat beberapa citra


negatif yang dititikberatkan yaitu: macet (LB, TR1, KI2), banjir (BP, PU), kumuh
(BP), banyak sampah (LB, TR1), dan PKL tidak tertib (TR1)
1) Terkait macet, jika dikaitkan dengan identitas pada pembahasan
sebelumnya, merupakan dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan
aktivitas ekonomi, sedangkan rasio luas jalan terhadap luas wilayah Kota
Bandung hanya 7%. Selain itu, konteks lain yang dibicarakan tentang
macet adalah faktor kunjungan dari Jakarta, terutama pada saat hari libur.
2) Terkait banjir, ini juga berkaitan dengan semakin tingginya alih fungsi
lahan dan perilaku masyarakat terutama mengenai sampah. Meski
demikian, konteks yang dibicarakan tentang banjir adalah kejadian di
sekitar Kota Bandung yang seringkali dianggap sebagai bagian Kota
Bandung. Hal ini dapat dimengerti mengingat banjir, termasuk juga alih
fungsi lahan di kawasan resapan air, tidak hanya merupakan wewenang
Kota Bandung, melainkan juga daerah di sekitar Kota Bandung.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

128

3) Terkait kumuh, tidak banyak konteks yang dibicarakan oleh aktor kunci.
Tetapi jika dikaitkan dengan kebersihan dan pola hidup masyarakat,
kumuh juga berhubungan dengan persoalan sampah.
4) Terkait banyak sampah, selain sulitnya pengelolaan dari meningkatnya
volume sampah akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi,
konteks lain yang dibicarakan adalah kejadian longsor di TPA Leuwigajah
yang mengakibatkan sampah yang diproduksi Kota Bandung saat itu tidak
dapat diangkut sehingga memenuhi kota.
5) Terkait PKL yang tidak tertib, ini berkaitan dengan kegiatan ekonomi,
terutama sektor informal yang menjadi sektor lapangan usaha unggulan di
Kota Bandung.

Dari citra negatif yang dititikberatkan oleh aktor kunci, jika direfleksikan terhadap
citra Kota Bandung yang disampaikan pada sub-bab IV.2.2, maka dapat dilihat
hubungan antara citra negatif dengan citra Kota Bandung secara umum. Beberapa
poin yang dapat ditekankan antara lain: Pertama terkait citra kota wisata dan jasa.
Ariani (2006) menyebutkan bahwa elemen yang membentuk citra tersebut
sebagian besar berupa objek wisata, baik itu wisata belanja dan kuliner, wisata
bangunan bersejarah maupun objek rekreasi. Citra pedagang kaki lima (PKL)
yang tidak tertib berkaitan langsung dengan kesan yang diterima pengunjung saat
beraktivitas wisata, bai kuliner, belanja dan rekreasi. Hal ini sejalan dengan studi
Rahmadyani (2011) yang menyebutkan bahwa faktor yang paling disukai
penduduk, pebisnis, dan pengunjung tentang Kota Bandung adalah ambience dan
atmosfer. Dengan demikian, citra negatif yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan terutama di objek wisata, seperti banjir, kumuh, dan banyak sampah
dapat memengaruhi citra kota wisata. Selain itu, citra Kota Bandung yang macet
juga oleh aktor kunci banyak dikaitkan dengan kegiatan pariwisata seperti macet
pada hari libur akibat kunjungan dari luar, pengujung menjadi malas ke Bandung
gara-gara macet.

Untuk citra Kota Pusaka, menurut Budiyati (2016), faktor yang diperhatikan
adalah keberadaan benda cagar budaya baik berupa bangunan maupun kawasan
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

129

cagar budaya. Dari konteks yang disampaikan aktor kunci, citra negatif yang
dititikberatkan tidak secara langsung dapat memengaruhi citra Kota Bandung
sebagai kota pusaka. Tetapi secara tidak langsung memengaruhi aktivitas wisata
yang bersifat wisata bangunan bersejarah.

Untuk citra kota kreatif, menurut Angger (2017), saluran yang bersifat fisik,
seperti ruang publik terbuka, cagar budaya, sarana kreatif, sentra industri kreatif,
serta seni publik memberikan terpaan yang cukup instensif. Komunikasi citra kota
kreatif di Kota Bandung juga menimbulkan efek terhadap dorongan untuk
berkegiatan kreatif serta terlibat dalam ekonomi kreatif. Dari konteks yang
disampaikan aktor kunci, citra negatif yang dititikberatkan tidak secara langsung
dapat memengaruhi citra Kota Bandung sebagai kota kreatif. Salah satu aktor
kunci menyampaikan bahwa:

“Artinya Bandung itu karena kota yang sudah jadi, di satu sisi banyak
orang-orang produktif dan kreatif, sehingga walaupun tadi ada isu
kemacetan, banjir, sampah, kawasan kumuh, tetep orang dateng ke Bandung
karena ada magnet tersendiri.” (BP)

Sedangakan refleksi terhadap pola spasial brand image Kota Bandung, menurut
Khoiriana dan Nurlambang (2017), terdapat lima brand image yang berkaitan
dengan Kota Bandung yaitu „Kota Belanja‟, „Kota Taman‟, „Kota Wisata‟, „Kota
Kuliner‟ dan „Kota Fashion‟. Dari konteks yang dibicarakan aktor kunci, untuk
„Kota Taman‟, „Kota Kuliner‟ dan „Kota Fashion‟, citra negatif yang
dititikberatkan tidak secara langsung dapat memengaruhi citra Kota Bandung
tersebut. Tetapi ketika memerhatikan pola spasial brand image yang dibagi ke
dalam area pusat kota, area peralihan dan area pinggiran, Khoiriana dan
Nurlambang (2017) menyebutkan bahwa brand image yang muncul di area
peralihan (Kota Wisata) dan dan area pinggiran (Kota Taman dan Kota Wisata)
relatif lebih sedikit daripada di area pusat kota (kelima brand image dapat
dirasakan) (lihat Gambar IV.11). Hal ini berkaitan dengan salah satu pandangan
aktor kunci mengenai tantangan investasi Kota Bandung yang masih bertumpu di
Bandung Barat dan Bandung Utara.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

130

“Tapi kalau Bandung investasi selalu menarik. Anda bisa lihat sepanjang
Jalan Riau, pertumbuhan hotel, outlet, segala macem. Hanya memang
persoalannya sekarang masih bertumpu di Bandung Barat dan Bandung
Utara. Kita coba persebarannya ke Bandung Timur dan Selatan. Karena
kalau ke Bandung Timur, ke Ujungberung, ke daerah Selatan, itu kita akan
sangat terbatas melihat hotel-hotel yang bagus seperti di Bandung Utara
(dan Bandung Barat).” (PM)

Dengan demikian, berdasarkan refleksi aktor kunci terhadap citra Kota Bandung,
terdapat beberapa citra negatif yang dititikberatkan yaitu macet, banjir, kumuh,
banyak sampah, dan PKL yang tidak tertib. Jika citra negatif yang dititikberatkan
tersebut dikaitkan dengan citra Kota Bandung secara umum, dapat disimpulkan
bahwa untuk citra kota wisata dapat secara langsung dipengaruhi, tetapi untuk
kota pusaka dan kota kreatif tidak secara langsung dapat dipengaruhi. Sedangkan
jika dilihat dari pola spasial brand image Kota Bandung, terdapat hubungan antara
banyaknya brand image yang dirasakan masyarakat dengan jumlah investasi,
yang mana keduanya lebih banyak terdapat di area pusat kota (kota belanja, kota
taman, kota wisata, kota kuliner dan kota fashion) daripada di area peralihan (kota
wisata) dan di area pinggiran (kota taman dan kota wisata).

V.2.2.3 Tahap Pengolahan dan Analisis Data


Tahap ini fokus pada peningkatan kualitas, domain strategis, aset, dan atribut yang
sudah dimiliki kota. Diharapkan mampu memberikan keberhasilan yang lebih
realistis dan memupuk keyakinan pada masyarakat. Dalam mengaplikasikan
kerangka konseptual ke dalam studi kasus Kota Bandung, tinjauan dilakukan
terhadap identitas Kota Bandung dan refleksi aktor kunci.

Konsep identitas menurut Kavaratzis dan Ashworth (2005) menjelaskan


bagaimana kota ingin brand-nya dirasakan. Boisen dkk. (2011) berpendapat
bahwa identitas merujuk pada kombinasi dari pelbagai jenis identifikasi. Ketika
identitas suatu tempat telah dikenali, maka akan berubah menjadi sebuah janji,
sebuah ekspektasi: menjadi sebuah citra. Rainisto (2003) mendefinisikan identitas
dan citra sebuah kota adalah substansi matang dari suatu kota di belakang sebuah
brand; konsistensi antara brand utama, sub-brand, dan produk; kombinasi dari
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

131

faktor daya tarik yang unik, mulai dari proses branding holistik, tanggung jawab
manajemen utama dan melibatkan seluruh tingkat dan pemangku kepentingan
suatu kota. Sedangkan Anholt (2007) yang menggunakan pendekatan daya saing
wilayah, merumuskan 6 (enam) faktor kunci dalam membentuk identitas
kompetitif kota yang terdiri dari: pariwisata, brands produk, kebijakan, investasi,
budaya dan masyarakat.

Dalam menggali pandangan aktor kunci mengenai identitas Kota Bandung terkini,
proses wawancara dibuka dengan pertanyaan mengenai isu dan kondisi Kota
Bandung. Jawaban aktor kunci kemudian dikategorikan ke dalam identitas fisik
lingkungan, sosial kependudukan, perekonomian, serta perencanaan
pembangunan dan penataan ruang. Refleksi dilakukan dengan perbandingan
terhadap gambaran identitas yang disampaikan pada Sub-bab IV.1

Pertama, identitas fisik lingkungan berbicara mengenai kondisi geografis, potensi


sumber daya alam, karakteristik penggunaan lahan, dan keberadaan bangunan-
bangunan yang membentuk identitas Kota Bandung. Berikut adalah pandangan
aktor kunci mengenai kondisi fisik lingkungan Kota Bandung terkini:

“Karena Bandung ini kan kota yang tidak punya sumber daya alam. Kita ini
yang menawarkan jasa dan pariwisata. Memang kota yang selama ini
hidupnya dari dua sektor itu.” (LB)

“Jadi branding Kota Bandung selama ini semua orang mengatakan satu hal,
banyak orang di Indonesia ngomong Bandung itu apa? Gedung Sate.
Padahal itu kan Jawa Barat.” (KP)

“Kota Bandung kan konsep awalnya dijadikan kota peristirahatan,


permukiman, jadi tidak di-desain untuk bangkitan lalu lintas yang tinggi,
sehingga jalannya kecil-kecil, berbukit-bukit, naik-turun. Karena Bandung
kan awalnya sebagai tempat hunian, sekarang berubah jadi Kota Jasa dan
Perdagangan. Dengan demikian, itu mengubah tata guna lahan, pola ruang
juga berubah. Dari hunian jadi perdagangan dan jasa. Atau dari RTH jadi
hunian, perdagangan dan jasa.” (LH)

“Kota Bandung ini kan sebenarnya berada di kawasan lingkungan dan


dataran tinggi. Jadi pengembangan kotanya tidak sebebas di dataran. Tapi di
sisi lain fungsi kotanya banyak yang berkembang, mulai dari pemerintahan,
pendidikan, pariwisata, belum lagi yang perdagangan dan jasa.” (BP)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

132

“Artinya meskipun tidak punya sumber daya alam, tapi punya sumber daya
manusia.” (BP)

“Bandung kan tidak punya sumber daya alam, jadi semuanya diciptakan. ...
Kalau yang unsur alamnya, seperti Lembang, Tangkuban Parahu atau di
Selatan ada Ciwidey, meski bukan kita yang mengelola memang, tapi ada
andil juga.” (KI2)

“Bandung itu tidak punya sumber daya alam, tapi Bandung itu kota jasa
yang dinamis.” (PM)

Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas fisik lingkungan Kota Bandung
antara lain:
1) Bandung merupakan kota di dataran tinggi (BP);
2) Bandung tidak memiliki potensi sumber daya alam (LB, BP, PM, KI2);
3) Bandung merupakan kota yang didesain untuk lokasi peristirahatan (LH);
4) Gedung Sate merupakan landmark yang paling kuat merepresentasikan
identitas Kota Bandung (KP).

Pandangan mengenai Bandung yang merupakan kota di dataran tinggi, meskipun


berbicara dalam konteks tantangan pengembangan perkotaan, membentuk Kota
Bandung menjadi kota dengan udara sejuk dan lembab serta memiliki
pemandangan indah. Tetapi secara morfologi regional, Kota Bandung terletak di
bagian tengah “Cekungan Bandung”. Sehingga daerah berbukit, dan juga kawasan
perkebunan, yang merupakan elemen penting dalam menciptakan kondisi tersebut,
sebagian besar bukan merupakan bagian dari wilayah administrasi Kota Bandung.

Pandangan mengenai Kota Bandung sebagai wilayah yang tidak memiliki potensi
sumber daya alam, dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, potensi sumber daya
alam yang berfungsi sebagai destinasi wisata seperti Lembang, Tangkuban Parahu
atau Ciwidey yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari wilayah administrasi
Kota Bandung, tetapi sering dianggap sama dengan Kota Bandung. Kedua,
potensi sumber daya alam yang berkaitan dengan bahan baku produksi seperti
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

133

hasil pertanian dan perkebunan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya lahan
pertanian tanah kering yang hanya 14% dari total penggunaan lahan tahun 2016,
dan sebagian besar merupakan kawasan permukiman 57%, sisanya digunakan
untuk sarana prasarana baik yang bersifat basis maupun yang berkaitan dengan
kegiatan perdagangan dan jasa (diolah dari Data Statistik Bandung dalam Angka
Tahun 2018, BPS).

Pandangan mengenai Kota Bandung yang didesain sebagai kota peristirahatan,


permukiman, dan tidak didesain untuk menghadapi bangkitan lalu lintas yang
tinggi, sehingga jalannya kecil-kecil, berbukit-bukit, naik-turun. Hal ini sejalan
dengan julukan-julukan Kota Bandung di masa lalu seperti Een kleine berg dessa
(Desa pegunungan kecil yang manis) dan Bandoeng de bloem der Indische
Bergsteden (Bandung kembang dari kota pegunungan Hindia Timur). Selain itu,
Thomas Karsten, melalui „The Karsten Plan‟, pada tahun 1930 juga merencanakan
Kota Bandung untuk dapat menampung 750 ribu penduduk dalam kurun waktu 25
tahun (1930-1955). Sedangkan jika melihat rasio luas jalan berbanding luas
wilayah, luas jalan Kota Bandung hanya sebasar 7% (Data Statistik Bandung
dalam Angka Tahun 2018, BPS), relatif lebih kecil dibandingkan DKI Jakarta
(10,7%) (Kementerian PUPR, 2017).

Kemudian pandangan mengenai Gedung Sate yang merupakan landmark yang


paling kuat merepresentasikan identitas Kota Bandung, sejalan dengan studi
Ariani (2006) dan Budiyati (2016). Gedung Sate, selain merupakan cagar budaya,
juga menjadi salah tujuan wisata yang cukup populer di Kota Bandung. Tetapi,
sebagaimana disampaikan oleh aktor kunci, Gedung Sate juga merupakan
lambang Provinsi Jawa Barat, meskipun dimiliki oleh Pemerintah Kota Bandung
dan PT. KAI.

Kedua, pandangan aktor kunci mengenai identitas sosial kependudukan yang


berbicara mengenai penduduk, kualitas sumber daya manusia, serta kebudayaan.
Berikut adalah pandangan aktor kunci mengenai kondisi sosial kependudukan
Kota Bandung terkini:
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

134

“Bandung itu kan cuma segini-gininya. Sementara orang yang ingin


melakukan aktivitas disini kan berebut. Kalau dari survey BPS, kita itu 2,4-
2,6 jiwa, itu kalau malam. Siang ini bisa 4 (perlu klarifikasi).” (LB)

“Tapi kalau di Bandung sih, rasa-rasanya masih cukup kondusif karena


maturity, kedewasaan orang menghadapi perbedaan itu sudah bisa kita
andalkan di Bandung ini.” (LB)

“Kota Bandung siang hari 2,7, malam hari 2,5. Karena banyaknya penduduk
yang kerja di Bandung, malam hari pulang ke rumahnya yang di luar
Bandung.” (LH)

“Artinya Bandung itu karena kota yang sudah jadi, di satu sisi banyak
orang-orang produktif dan kreatif. Artinya kita punya sumber daya manusia,
mungkin saatnya baik dari orang lokal, orang asli Sunda dan orang dari luar,
yang produktif dengan ide-idenya.” (BP)

“Termasuk masyarakat, masyarakat kita kan heterogen ya, ga kaya di Jogja.


Di Jogja kan kalau disuruh sekali sama Sultan, langsung nurut. Kalau di kita
kan masyarakatnya dari berbagai suku.” (TR1)

“Bandung itu kan selama ini, terkenal kota kreatif sama inovatif. Dan
memang dari sumber daya yang kita miliki juga lebih ke human resource ...
Kota Bandung kalau bikin event, partisipasi masyarakatnya tinggi. Mungkin
karena kecintaanya ke Kota Bandung.” (KI2)

“Kita tahu, Bandung itu kalau Sabtu-Minggu sudah bukan milik orang
Bandung lagi, milik orang Jakarta, Bogor, dll” (PM)

Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas fisik lingkungan Kota Bandung
antara lain:
1) Perbedaan penduduk siang dan malam (LB, LH) serta hari kerja dan hari
libur (PM), lebih tinggi saat siang dan hari libur;
2) Orang Bandung produktif, kreatif, dan inovatif (BP, KI2);
3) Orang Bandung cukup dewasa dalam menghadapi perbedaan (LB, TR1).

Pandangan mengenai perbedaan penduduk saat siang dan malam serta saat hari
kerja dan hari libur, dapat dilihat dalam hubungan kausalitas. Bertambahnya
penduduk ketika siang hari dan hari libur disebabkan oleh tingginya daya tarik
Kota Bandung sebagai tempat bekerja (siang hari) dan tempat rekreasi (hari libur).
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

135

Di sisi lain, fenomena ini juga mengakibatkan Kota Bandung menjadi semakin
padat. Meskipun pendapat mengenai jumlah penduduk siang itu beragam, mulai
dari 2,7-4 juta jiwa. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang diolah dari data
BPS adalah 0,9% per tahun dan kepadatan penduduk pada tahun 2017 mencapai
14.898 penduduk/km2 atau kedua terpadat di Provinsi Jawa Barat di bawah Kota
Cimahi. Ketika jumlah penduduk mencapai 2,6 juta jiwa, itu sudah cukup untuk
membuat Kota Bandung menjadi yang paling padat di Provinsi Jawa Barat.

Pandangan mengenai karakteristik masyarakat Kota Bandung yang produktif,


kreatif dan inovatif, oleh beberapa aktor kunci dijelaskan bahwa hal ini
disebabkan oleh keberadaan universitas berkualitas serta keterbatasan sumber
daya alam yang mendorong masyarakat untuk bertindak kreatif dan inovatif. Pada
tahun 2017, sebanyak 59,5% penduduk Kota Bandung merupakan penduduk
muda (usia 0 hingga 34 tahun) dan berkontribusi 5,14% dari total penduduk muda
di Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 18,4% dari total penduduk merupakan lulusan
perguruan tinggi dari diploma hingga doktoral. Serta 35,47% dari angkatan kerja
bekerja di antaranya bekerja di sektor informal pada lapangan pekerjaan utama
sektor Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel.

Kemudian pandangan mengenai kondisi masyarakat yang heterogen berakar dari


sejarah panjang Kota Bandung yang telah menjadi daerah tujuan orang-orang
Eropa untuk berkunjung dan tinggal bahkan sejakan zaman kolonialisme. Saat ini
Kota Bandung yang juga ibukota Provinsi Jawa Barat, mayoritas ditinggali etnis
Sunda. Tetapi dengan semakin berkembangnya daya tarik Kota Bandung,
sebagaimana ditunjukkan oleh fenomena perbedaan penduduk saat siang dan
malam, Kota Bandung menjadi semakin heterogen oleh pendatang baru. Sehingga
adanya kedewasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan tersebut menjadi
hal positif dalam membentuk identitas Kota Bandung.

Ketiga, pandangan aktor kunci mengenai identitas perekonomian yang berbicara


mengenai lapangan usaha unggulan dan investasi. Berikut adalah pandangan aktor
kunci mengenai kondisi perekonomian Kota Bandung terkini:
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

136

“Karena Bandung ini kan kota yang tidak punya sumber daya alam. Kita ini
yang menawarkan jasa dan pariwisata. Memang kota yang selama ini
hidupnya dari dua sektor itu.” (LB)

“Bandung ini bisa jadi juaranya di sisi apa sekarang yang sudah diterapkan.
(Salah satunya) Wisata halal yang ada di Kota Bandung.” (KP)

“Karena Bandung kan awalnya sebagai tempat hunian, sekarang berubah


jadi Kota Jasa dan Perdagangan.” (LH)

“Jadi sekarang Bandung itu sebagai bisnis dan wisata saja.” (BP)

“Kemarin dari Disbudpar mengembangkan wisata halal. Termasuk kita juga


ada rencana untuk mengembangkan wisata religius karena ada Misi
Bandung Agamis. Sekarang ada Pusdai, di Gedebage juga ada mesjid
terapung. Jadi kita harus meng-create yang belum, kalau kuliner sama
fesyen mah sudah.” (BP)

“Pertumbuhan investasi di Kota Bandung akan terus meningkat. Bandung


itu target investasi tahun 2018, hanya 4,7 triliun, tapi realisasinya 12,7
triliun.” (PM)

Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas perekonomian Kota Bandung
antara lain:
1) Perekonomian Kota Bandung bertumpu pada perdagangan dan jasa,
dengan lapangan usaha unggulan sektor pariwisata (LB, LH, BP);
2) Salah satu ide yang kini gencar digalakan adalah wisata halal (KP, BP);
3) Kota Bandung merupakan daerah tujuan investasi yang menarik (PM).

Pandangan mengenai perekonomian Kota Bandung yang bertumpu pada


perdagangan dan jasa dengan lapangan usaha unggulan sektor pariwisata, sejalan
dengan struktur PDRB Kota Bandung tahun 2017 yang menunjukkan bahwa:
Lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor
menempati peringkat pertama dengan kontribusi 26,6%. Serta lapangan usaha
transportasi dan pergudangan mengalami pertumbuhan paling tinggi dalam 8
tahun terakhir, dan saat ini ada di peringkat ketiga dengan kontribusi 11,4%.
Selain itu, dapat juga dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bandung.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

137

Pada tahun 2017, berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, jumlah wisatawan
mancanegara yang berkunjung ke Kota Bandung mencapai 176.487 jiwa (8,7%
dari total kunjungan ke Provinsi Jawa Barat), yang menempati posisi ketiga di
Jawa Barat di bawah Kota Bogor (39%) dan Kabupaten Purwakarta (32,1%).
Sedangkan untuk wisatawan nusantara, Kota Bandung dikunjungi oleh 4,6 juta
wisatawan (26,6% dari total kunjungan ke Provinsi Jawa Barat), menempati
peringkat kedua di bawah Kabupaten Purwakarta (30,9%). Meski demikian, jika
dilihat dari pertumbuhan wisatawan, Kota Bandung justru mengalami penurunan
dari tahun 2011-2016 (BPS Kota Bandung).

250000 6487239 7000000

5877162
5627421 6000000
225585 5388292
200000 5080584
4827589
5000000
180143 183932
176855 176432 173036
150000
4000000

3000000
100000

2000000
50000
1000000

0 0
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Wisatawan Mancanegara (Skala Kiri) Wisatawan Domestik (Skala Kanan)

Gambar V.4 Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan (dalam jiwa) ke Kota


Bandung pada tahun 2011-2016.

Pandangan mengenai ide wisata halal di Kota Bandung, didorong oleh


penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Pariwisata yang menilai Kota
Bandung telah mampu mengembangkan wisata halal. Kota Bandung juga
termasuk ke dalam 16 destinasi unggulan wisata halal (Kementerian Pariwisata
Republik Indonesia, 2019, http://www.kemenpar.go.id/post/siaran-pers-16-
pemimpin-daerah-destinasi-wisata-unggulan-berkomitmen-kembangkan-wisata-
halal, 4 Agustus 2019). Salah satu ikon wisata religi Kota Bandung adalah Masjid
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

138

Agung yang pada tahun 2016 dikunjungi oleh 44.768 wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Meski demikian, pengembangan wisata halal, sebagaimana
disampaikan oleh salah satu aktor kunci bukan hanya masjid, melainkan harus di
semua struktur.

“Nah orang kan berpikir “wisata halal itu masjid”, bukan, wisata halal itu di
semua struktur. Dari mulai rumah makan menyediakan barang-barang dan
makanan halal, tempat ibadahnya juga tersedia, tempat dimana tidak ada
masyarakat yang melakukan kebohongan, ataupun praktik prostitusi. Ini kan
berarti sudah satu kota yang mengadakan wisata halalnya.” (KP).

Kemudian pandangan mengenai Kota Bandung yang menjadi tujuan investasi


yang menarik, lebih merupakan dampak dari meningkatnya akivitas ekonomi.
Salah satu aktor kunci menekankan pada tingginya investasi yang bersifat bisnis
murni yang ditunjukkan dengan tingginya jumlah ijin yang diurus yang setiap
harinya yang mencapai 400 ijin investasi. Selain itu, jenis invetasi juga banyak
dalam bentuk hotel, restoran, dan outlet yang merupakan elemen penting dalam
menunjang kegiatan pariwisata.

“Kota Bandung sedemikian luar biasa untuk investasi jenis ini (bisnis
murni). Bagaimana kita melihat Bandung sebagai tujuan investasi bisnis
murni, kita lihat di ijin. Tiap hari, yang bikin ijin di Bandung itu bisa 400.
Artinya 400 orang tertarik untuk berinvestasi di Kota Bandung. Anda bisa
lihat sepanjang Jalan Riau, pertumbuhan hotel, restoran, outlet, segala
macem, di Bandung cukup banyak.” (PM)

Keempat, pandangan aktor kunci mengenai identitas perencanaan pembangunan


dan penataan ruang yang berbicara mengenai arah kebijakan pemerintah kota.
Berikut adalah pandangan aktor kunci mengenai kondisi perencanaan
pembangunan dan penataan ruang Kota Bandung terkini:

“Kebetulan walikota terpilih itu mengajukan, hampir sama dengan yang lalu,
tapi ditambah, mewujudkan “Bandung yang unggul, nyaman, sejahtera, dan
agamis”. Dan tagline-nya juga melanjutkan „Bandung Juara‟. Yang dulu
mungkin lebih banyak ke masalah fisik dan yang lain, ini nuansa religinya,
agamisnya, mulai masuk.” (KI1)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

139

“„Mewujudkan Masyarakat yang humanis, agamis, dan berdayasaing‟. Itu


artinya membangun manusia, jadi isu sentralnya membangun manusia.” (LB)

“Walaupun sekarang ada „ Unggul, Nyaman, Sejahtera dan Agamis‟, artinya


mungkin arah-arah ke spiritual lebih diperkuat. Dulu pas Pak RK, fisik,
infrastruktur, taman-taman. Tapi artinya gini, kalau dulu infrastruktur yang
utama, sumber daya manusia yang pendukung. Sekarang dibalik, sumber
daya manusianya, aspek-aspek keagamaannya akan lebih banyak diperkuat,
infrastrukturnya mungkin akan diturunkan.” (BP)

“Ada hal-hal yang tadinya kita fokuskan seperti ke infrastruktur atau


pembangunan, sekarang dengan pergantian kepala daerah baru titik beratnya
kepada sosial. Jadi sangat berbeda drastis. Sekarang kan upayanya itu ke
arah membangun yang lebih humanis, seperti liveable city. Kita juga suka
mendengung-dengungkan itu, kita bikin kajian tentang itu. Misalkan secara
infrastruktur, kita bangun jalur pedestrian yang besar buat pejalan kaki.
Kemudian kita bangun taman-taman yang bisa untuk tujuan masyarakat
untuk ruang terbuka publik.” (TR1)

Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat kesamaan pandangan terhadap arah kebijakan, bahwa arah
kebijakan Kota Bandung di masa jabatan walikota yang baru ini (2018-2023)
lebih menekankan pada pembangunan sumber daya manusia. Konteksnya
pergeseran dari sebelumnya fokus pada pembangunan fisik seperti infrastruktur
dan taman-taman, menjadi fokus pada pembangunan manusia atau aspek
sosialnya. Kata “Agamis” yang terdapat pada visi walikota juga memberikan
nuansa religi dalam konsep pembangunan sumber daya manusia di Kota Bandung.
Dalam menunjang arah kebijakan ini, beberapa aktor kunci juga menyampaikan
program pengembangan co-working space, sebagai salah satu program yang saat
ini sedang gencar dikembangkan:

“Artinya kita punya sumber daya manusia, mungkin saatnya baik dari orang
lokal, orang asli Sunda dan orang dari luar. Artinya meskipun tidak punya
sumber daya alam, tapi punya sumber daya manusia. Yang produktif dengan
ide-idenya pasti dia akan membuat suatu istilahnya kenyamanan, iklim lah,
iklimnya itu jalan. Didukung dengan infrastruktur tadi, orang akhirnya
seneng. Coworking space, desain. Lebih ini di Bandung, dibandingkan
dengan di Jakarta. Kalau disini ya udara sejuk, jadi lebih enjoy buat
nongkrong-nongkrong atau hangout. Dan upaya-upaya pemerintah sekarang
kan menciptakan ruang publik, banyak taman-taman, sebagai ruang sosial.
Kemudian tadi ada pengembangan coworking space di spot-spot, komunitas
kreatif. Semuanya akan mendukung untuk penguatan itu tadi.” (BP)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

140

“Kalau creative city, yang terakhir itu industri kreatif. Terakhir itu mau
bikin coworking space. Tapi leading sector nya di Disbudpar. Mau bikin
coworking space untuk bikin start-up. Ada juga ekonomi kreatif. Mungkin
nanti arahnya biar di pariwisata, ini zona ini, seperti itu.” (TR1)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa refleksi terhadap identitas Kota


Bandung berdasarkan perspektif aktor kunci diantaranya: Pertama identitas fisik
lingkungan, bahwa Kota Bandung kota di dataran tinggi, Kota Bandung tidak
memiliki potensi sumber daya alam, Kota Bandung merupakan kota yang didesain
untuk lokasi peristirahatan, serta Gedung Sate merupakan landmark yang paling
kuat merepresentasikan identitas Kota Bandung. Kedua identitas sosial
kependudukan, bahwa Kota Bandung memiliki prbedaan penduduk siang dan
malam serta hari kerja dan hari libur dimana penduduk lebih tinggi saat siang dan
hari libur, masyarakat Kota Bandung juga tergolong produktif, kreatif, dan
inovatif dan cukup dewasa dalam menghadapi perbedaan. Ketiga identitas
perekonomian, bahwa perekonomian Kota Bandung bertumpu pada perdagangan
dan jasa dengan lapangan usaha unggulan sektor pariwisata, salah satu ide yang
kini gencar digalakan adalah wisata halal, di sisi lain Kota Bandung juga
merupakan daerah tujuan investasi yang menarik. Keempat identitas perencanaan
pembangunan dan penataan ruang, bahwa arah kebijakan Kota Bandung di
periode walikota 2018-2023 menekankan pada pembangunan sumber daya
manusia dengan nuansa „Agamis‟ yang dituangkan dalam visi. Salah satu progam
yang gencar dilakukan adalah pengembangan coworking space, sebagai media
untuk penguatan kualitas sumber daya manusia.

Jika disandingkan dengan temuan pada pembahasan sebelumnya, terdapat 4


(empat) domain strategis unik yang dimiliki Kota Bandung. Pertama, industri
kreatif berbasis fesyen, seperti dengan adanya sentra kaos Surapati, sentra tekstil
dan konveksi Cigondewah, sentra rajutan Binongjati, sentra sepatu dan olahan
kulit Cibaduyut, yang didukung oleh simpul perdagangan seperti Pasar Baru.
Kedua, pusat jasa pendidikan tinggi seperti dengan adanya ITB, Universitas
Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia, Politeknik Negeri Bandung,
Universitas Katolik Parahyangan, Telkom University, serta hampir lebih dari 30
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

141

(tiga puluh) perguruan tinggi lainnya. Selain sebagai penyedia jasa pendidikan,
yang menjadi daya tarik bagi pelajar dari luar Kota Bandung, keberadaan kampus
juga dapat berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan sehingga bisa
bersinergi dengan pemerintah Kota. Ketiga, pusat pelayanan skala provinsi dan
nasional serta kantor-kantor penting di Indonesia, seperti dengan adanya kantor
Gubernur Provinsi Jawa Barat, Bandara Husein Sastranegara, Rumah Sakit Hasan
Sadikin, kantor pusat PT. Telkom, PT. KAI, PT. Pos Indonesia, PT. Dirgantara
Indonesia, serta 7 (tujuh) kantor pusat BUMN lainnya. Dan keempat, pariwisata
sebagai aktivitas yang mengikat ketiga sektor sebelumnya. Beberapa citra yang
saat ini dirasakan tentang Kota Bandung, berkaitan langsung dengan kegiatan
pariwisata, seperti kota belanja, kota kuliner, dan kota fesyen.

V.3.1.4 Tahap Perumusan Konsep


Tahapan ini fokus pada rancangan brand bersama, sub-brand, dan
operasionalisasi serta membuka kolaborasi dengan pelbagai pihak. Tahapan ini
ditekankan Moilanen dan Rainisto (2009) merupakan proses yang interaktif dan
sirkular yang diulang sampai hasil akhir tercapai. Dengan demikian, yang perlu
ditekankan pada proses adalah kapasitas perencana dan lembaga pembuat rencana
terhadap ketiga tahapan awal. Berdasarkan perspektif aktor kunci, tahapan ini
merupakan tahapan yang paling memungkinkan konsep city branding
memberikan warna terhadap dokumen yang dihasilkan. Pada studi kasus Kota
Bandung, konsep city branding cukup terlihat pada RDTR melalui tujuan
penataan ruang pada 8 SWK. Meski demikian, berdasarkan temuan pada tahap
analisis sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam menghasilkan konsep city
branding di Kota Bandung, inisiatif awal muncul dari Walikota, sedangkan
substansi tema berawal dari posisi yang ada, dalam hal ini kegiatan yang
mengerucut ke satu tema tertentu. Sebagai contoh daerah Cibeunying yang
merupakan daerah wisata, perdagangan, hotel, ada restoran sehingga diarahkan
memiliki tema „Travelopolis‟. Meski demikian, studi Noviansyah (2017) yang
memfokuskan pada kesesuaian tematik dengan wilayah, menunjukan bahwa tema-
tema yang diangkat sebagai tujuan penataan ruang tidak sesuai dengan faktor-
faktor pertimbangan dan karakteristik kawasan. Selain itu, penurunan konsep
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

142

yang dihasilkan terhadap dokumen lainnya juga relatif masih lemah. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak tersedianya petunjuk teknis atau rencana operasional
(yang ditetapkan melalui Peraturan Walikota) yang dapat menjadi pedoman
pelaksanaan baik oleh Dinas sektoral dan kewilayahan. Tema-tema yang muncul
di RDTR juga tida dilanjutkan pada dokumen yang terbit setelahnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan rencana yang menerapkan
konsep city branding di Kota Bandung pada tahap perumusan konsep relatif masih
lemah pada operasionalisasi dan petunjuk teknis.

V.3.1.5 Tahap Penyusunan dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah


Tahapan ini fokus pada komunikasi brand dan adopsi brand di dalam dokumen
rencana yang dihasilkan. Tahapan ini secara umum meliputi pembahasan dengan
anggota Dewan sehingga selain dari segi teknis, perencana juga diharapkan sudah
secara gencar mengkomunikasikan rancangan brand agar lebih mudah dikenali
oleh masyarakat luas. Gambar V.5 berikut merangkum temuan dalam menerapkan
kerangka konseptual pada studi kasus Kota Bandung.

Gambar V.5 Temuan terhadap aplikasi kerangka konseptual pada studi kasus
Kota Bandung
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

143

V.2.3 Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Menerapkan Konsep


City Branding sebagai Instrumen dalam Proses Pembuatan Rencana
di Kota Bandung
Berdasarkan gambaran kondisi yang diperoleh ketika mengaplikasikan kerangka
konseptual ke dalam studi kasus Kota Bandung, maka dapat dirumuskan faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam menerapkan konsep city branding sebagai
instrumen dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung, diantaranya sebagai
berikut:

1. Perlunya dukungan politik dari walikota


Salah satu titik awal munculnya ide penerapan konsep city branding dalam
proses pembuatan rencana di Kota Bandung, dalam RDRTK 2015-2035,
adalah keingian dari walikota kala itu Ridwan Kamil. Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, penerapan juga cenderung bersifat satu arah,
artinya kuat disampaikan oleh walikota tetapi pemahamannya tidak
sepenuhnya sampai kepada tim teknis. Aspek ini sejalan dengan pendapat
Anholt (2003) bahwa yang penting dalam kebijakan keputusan yang
diambil oleh pemerintah suatu tempat, baik kebijakan luar negeri maupun
kebijakan lokal yang disiarkan media internasional. Juga dengan Rainisto
(2003) bahwa kepemimpinan yang profesional dan terampil, memberikan
alternatif strategi terhadap masa depan yang tidak pasti; Kesatuan politik:
konsistensi, para pemain utama dari suatu tempat dapat menyetujui tujuan
dan strategi bersama dari program-program. Selain itu, Florida (2008)
menekankan kualitas dan keberhasilan dari kepemimpinan publik serta
adanya peluang untuk keterlibatan masyarakat lokal. Hal-hal yang perlu
dilakukan dari Kota Bandung antara lain Perluas pemahaman aktor kunci
mengenai konsep brand kota dan city branding, Bangun komunikasi
internal, dan Sampaikan rancangan awal brand. Ini diharapkan dapat
menghadirkan umpan balik dalam budaya brand, mengikat komitmen
aktor kunci.

2. Informasi yang aktif disampaikan oleh stakeholder


Fokus terhadap komunikasi sebagai pendekatan dalam merumuskan
komponen utama pembentuk city branding disampaikan oleh Kavaratzis
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

144

(2004, 2008, 2009) yang merumuskan tiga jenis komunikasi dalam


membentuk citra dari brand yaitu primer, sekunder, dan tersier. Dalam
kerangka city branding, Kavaratzis menekankan bahwa tujuan komunikasi
primer dan sekunder adalah untuk membangkitkan dan memerkuat
komunikasi tersier yang positif. Jenis komunikasi primer termasuk ke
dalam bentuk komunikasi tidak disengaja, berkaitan dengan berkaitan
dengan aksi dan alat pemasaran yang dilakukan kota ketika komunikasi
bukan merupakan tujuan utama. Bentuk komunikasi ini terbagi ke dalam 4
(empat) bidang yaitu: strategi lansekap (aksi dan keputusan berkaitan
dengan desain kota, arsitektur, ruang terbuka), proyek infrastruktur
(proyek yang dikembangkan untuk memunculkan karakter kota yang khas),
struktur organisasi (struktur tata kelola pemerintahan yang efektif), dan
perilaku kota (visi pemimpin kota dan strategi pembangunan). Untuk
strategi lansekap, 8 tema pengembangan SWK yang tercantum pada
RDTR bisa menjadi dasar. Untuk proyek infrastruktur, pembangunan
taman-taman, telah menciptakan salah satunya citra positif Kota Bandung.
Untuk struktur organisasi, Masterplan Bandung Smart City dapat menjadi
pedoman dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang cerdas.
Sedangkan untuk perilaku kota, secara spesifik perilaku aktif walikota
Bandung terdahulu, yang diteruskan kepada penggantinya saat ini, dalam
berinteraksi dengan masyarakat di media sosial juga menjadi hal positif.
Jenis komunikasi sekunder berkaitan dengan bentuk komunikasi disengaja,
yaitu berupa promosi, slogan, logo, dan bentuk pemasaran lainnya.
Keberadaan Diskominfo dan Bagian Humas, sebagai leading sector
penyebaran informasi di Kota Bandung menjadi variabel penting, terutama
dalam proaktif menyebarkan berita baik, pandai mengelola berita buruk,
serta pentingnya pemimpin untuk melek digital dan informasi karena
setiap informasi yang disebarkan kepala daerah akan mewakili citra dari
seluruh daerah yang dipimpinnya (lihat sub-bab V.1.2). Dimensi Smart
Branding, pada Masterplan Bandung Smart City, dapat menjadi pedoman
pelaksanaan perwujudan komunikasi sekunder. Laman smart branding
juga dapat digunakan media untuk mengkomunikasikan pesan terkait
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

145

brand kota. Selain itu, keberadaan Bandung Command Center, selain


media promosi konvensional, juga bisa menjadi kanal dalam kegiatan
promosi dengan memanfaatkan aktivitas media sosial yang dilakukan
warga Kota Bandung. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi,
terutama dalam kegiatan promosi Kota Bandung perlu diperhatikan.
Meskipun beberapa peneliti berpendapat bahwa perhatian besar pada
strategi promosi kurang efektif dalam mendorong restrukturisasi ekonomi,
inklusi dan kohesi sosial, keterlibatan dan partisipasi politik, identifikasi
tempat, dan kesejahteraan umum masyarakat. Tetapi di sisi lain, promosi
juga dapat memberikan keberhasilan pada jangka pendek, untuk
memperkenalkan Kota Bandung ke pasar yang relatif belum mengenal
Kota Bandung, serta untuk menarik investasi dan wisatawan yang baru
datang ke Bandung. Untuk ranah yang lebih praktis, komunikasi dapat
memanfaatkan brand „Stunning Bandung‟ sebagai slogan untuk kegiatan
promosi. Dengan demikian, hal yang dapat dilakukan Kota Bandung
adalah Analisis pasar dan daya saing kota, Citra positif (wisata, jasa,
pusaka, kreatif, belanja, fesyen), Citra negatif (macet, sampah, kumpuh,
tidak tertib, banjir), dan Gunakan BCC untuk menangkap informasi. Ini
diharapkan dapat memberikan gambaran peluang keuntungan yang dapat
diperoleh dari setiap segmen pasar.

3. Dukungan dari universitas, lembaga riset, dan pelaku usaha.


Kota Bandung merupakan tempat bagi lebih dari 30 universitas,
karakterisik masyarakat yang kreatif Hal yang dapat dilakukan Kota
Bandung adalah Pariwisata berbasis jasa, industri kreatif fesyen, pusat
pendidikan, pusat pelayanan provinsi dan nasional, Perkuat peluang
kolaborasi, dan Gunakan RDTR sebagai basis perubahan struktural. Hal
ini dapat memberikan keberhasilan yang lebih realistis dan memumpuk
keyakinan pada masyarakat.

4. Pemahaman brand, citra dan identitas di dalam partisipasi Musrenbang


atau konsultasi publik
Pentingnya perspektif masyarakat dalam membentuk brand, dan metode
diskusi mengenai brand perlu dilakukan. Mekanisme di Indonesia telah
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian

146

memfasilitasi aspek ini dengan mengadakan Musrenabang bagi dokumen


rencana pembangunan dan konsultasi publik bagi dokumen rencana
penataan ruang. Catatan perlu diberikan mengenai perlunya
menyampaikan diskusi mengenai brand, citra, dan identitas.

5. Konsistensi di dalam dukungan politik dan tata kelola pemerintahan


Sifat dari penerapan city brand di Kota Bandung cenderung politis,
sehingga pada rangkaian proses, konsistensi dukungan diperlukan untuk
menjamin kelangsungan proses pembuatan.

Gambar V.6 mengilustrasikan kerangka implementatif dengan tambahan kotak


berwarna merah muda di bagian paling atas yang menunjukan faktor-faktor yang
perlu diperhatikan dan berfungsi sebagai prasyarat atau asumsi dalam penerapan
konsep sebagai instrumen. Tanda kurung di dalam kerangka menandakan studi
kasus Kota Bandung, yang ketika dihilangkan, kerangka dapat berfungsi secara
generik.

Gambar V.6 Kerangka implementatif proses pembuatan rencana yang


menerapkan konsep city branding sebagai instrumen dengan Kota
Bandung sebagai studi kasus

Anda mungkin juga menyukai