City Branding
City Branding
penelitian
Bab ini membahas mengenai hasil analisis yang terdiri dari penerapan konsep city
branding di dalam proses pembuatan rencana di Kota Bandung, kerangka
konseptual proses pembuatan remcana yang menerapkan konsep city branding
sebagai instrumen, serta peluang penerapan kerangka konseptual pada studi kasus
Kota Bandung.
Berdasarkan tinjauan terhadap model dan proses city branding, Moilanen dan
Rainisto, berpendapat bahwa pada fase awal perlu diberikan perhatian yang tinggi
untuk memperluas partisipasi dan komunikasi serta meningkatkan komitmen dari
pelbagai pemangku kepentingan. Tujuannya adalah untuk memulai
mengorganisasikan proyek branding yang dibentuk melalui: menghasilkan
89
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
90
91
mendefinisikan elemen dari brand (ide inti, identitas, janji dari nilai) dan
merumuskan rencana strategis untuk brand yang terdiri dari struktur brand, posisi,
organisasi, pembagian peran, dan pembiayaan. Tahap ini adalah proses interaktif
dan sirkular yang diulang sampai hasil akhir yang memuaskan tercapai. Pada
tahap ini, Kavaratzis menekankan bahwa janji ini (visi dan brand) harus
didasarkan pada infrastruktur kota, lansekap fisiknya, dan peluang yang
ditawarkannya kepada audiens yang ditargetkan. Hal ini juga ditekankan oleh
Oliveira, bahwa dalam merumuskan strategi brand: rencana fokus pada kualitas,
domain strategis, aset, dan atribut suatu wilayah yang spesifik; serta fokus untuk
mengatasi kendala ekonomi, sosial dan politik suatu wilayah. Dengan demikian,
yang perlu diperhatikan adalah memulai tahapan ini dengan potensi yang telah
dimiliki oleh kota, atau dengan kata lain, brand dikembangkan berdasarkan
identitas kota.
Setelah itu, Moilanen dan Rainisto menyebutkan perlunya tahapan pembuatan dan
penguatan brand yang bertujuan untuk menetapkan rencana implementasi yang
berdasarkan pada tujuan strategis. Tahap ini meliputi pembuatan rencana
operasional yang terintegrasi yang mencakup langkah-langkah, tampilan visual,
jadwal, pembiayaan, dan pembagian tanggung jawab; koordinasi antara pemangku
kepentingan dan langkah pelaksanaan; mengatur upaya tindak lanjut; dan
menyelesaikan tahap perencanaan dan pelaporan. Oliveira menambahkan bahwa
tahap pembuatan fokus pada membuka kemungkinan dan mengkomunikasikan
perubahan struktural dan fokus pada melibatkan atau mengikutsertakan aktor-
aktor regional utama dan masyarakat sipil. Dengan demikian, yang perlu
diperhatikan adalah rancangan brand bersama, sub-brand, dan operasionalisasi
serta membuka kolaborasi dengan pelbagai pihak.
Pada tahap akhir, Moilanen dan Rainisto dan Kavaratzis menyebutkan bahwa
proses city branding merupakan proses yang tidak linier. Kavaratzis juga
menekankan pentingnya komunikasi dan promosi brand. Selain itu pada
keseluruhan proses, perlu juga diperhatikan jika penelitian dan analisis eksternal
dan internal diperlukan pada semua tahap untuk menciptakan dan memelihara
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
92
Setelah menyintesakan fokus yang perlu diperhatikan pada setiap tahapan dalam
proses city branding, selanjutnya adalah merumuskan langkah utama yang akan
menjadi dasar dalam kerangka konseptual. Langkah-langkah utama disintesakan
dengan berpedoman pada Permendagri No. 86 tahun 2017 yang mengatur tentang
tata cara perencanaan pembangunan daerah serta Permen ATR/BPN No. 1 tahun
2018 tentang pedoman penyusunan RTRW Kota/Kab. dan No. 16 tahun 2018
tentang pedoman penyusunan RDTR Kota/Kab. Berdasarkan Permendagri No. 86
tahun 2017, prosedur penyusunan rencana pembangunan meliputi tahap: (1)
Persiapan penyusunan; (2) Penyusunan rancangan awal; (3) Penyusunan
rancangan; (4) Pelaksanaan Musrenbang; (5) Perumusan rancangan akhir; serta (6)
Penetapan. Sedangkan berdasarkan Permen ATR/BPN No. 1 dan No. 16, prosedur
penyusunan rencana tata ruang meliputi tahap: (1) Persiapan; (2) Pengumpulan
data dan informasi; (3) Pengolahan data dan analisis; (4) Penyusunan konsep;
serta (5) Penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah. Kedua
prosedur penyusunan rencana tersebut meliputi langkah utama yang secara umum
memiliki unsur yang sama. Dengan demikian, dapat disintesakan 5 (lima) langkah
utama yang digunakan sebagai dasar pada penyusunan kerangka konseptual dalam
proses pembuatan rencana yang menerapkan konsep city branding sebagai
instrumen yang terdiri dari: (1) Tahap persiapan; (2) Tahap pengumpulan data dan
informasi; (3) Tahap pengolahan dan analisisdata; (4) Tahap perumusan konsep;
serta (5) Tahap penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah. Tabel
V.4 pada halaman selanjutnya merangkum tinjauan langkah utama dalam proses
city branding dan langkah utama dalam proses pembuatan rencana sebagai dasar
dalam penyusunan kerangka konseptual.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
93
Tabel V.1 Tinjauan langkah utama dalam proses city branding dan proses
pembuatan rencana
94
hal yang akan dicapai jika konsep city branding diterapkan sebagai instrumen
dalam proses pembuatan rencana. Panah tegas melambangkan tahapan proses
pembuatan rencana. Sedangkan panah putus-putus mewakili unsur sirkular dan
iterasi dalam proses city branding, serta menekankan pentingnya aspek
pemantauan dan pertimbangan ulang di setiap tahapan dalam merumuskan strategi
branding kota. Gambar V.1 merupakan ilustrasi kerangka konseptual proses
pembuatan rencana yang menerapkan konsep city branding sebagai instrumen.
95
96
Pada proses penyusunan dokumen RDTR 2015-2035, dimulai pada tahun 2013,
dan disahkan pada tahun 2015. Ide untuk menerapkan konsep city branding,
melalui pemberian tematik pada tujuan penataan ruang, diawali dan dipromosikan
oleh Walikota saat itu, Ridwan Kamil. Walikota memberikan arahan kepada tim
penyusun untuk memberikan tema kepada semua SWK. Tema diberikan
berdasarkan potensi dari karakter khas kawasan yang sudah ada. Tetapi pada
beberapa lokasi, karakter khas tersebut tidak ditemukan secara kuat. Sehingga
brand identity sebagai bagian utama dari proses city branding cenderung
diterapkan secara tidak merata.
“Sebenarnya tematik itu 2013. Kita kan berawalnya dari posisi yang ada.
Kenapa kita menyusun tema itu, awalnya sebenarnya begini, belum ada
tema pun sebenarnya kegiatan sudah mengerucut disitu. Kita hanya
mengambil tema-tema besar disini. Kita arahkan seperti itu. Contohnya
daerah Cibeunying. Itu kan daerah orang wisata disitu, perdagangan, hotel,
ada restoran. Makanya kita beri tema „Travelopolis‟. Dan dari potensi itu
kita kembangkan supaya dalam perencanaannya terarah. Termasuk untuk
pengembangan pusat primer kedua yang di Gedebage. Pada saat
penyusunan RTRW itu, sudah ada penetapan, tapi kegiatan-kegiatannya di
situnya belum diatur. Kalau kita melihat lebih tegasnya disitu. Kalau yang
lain kan sudah terbangun. Kalau daerah „Teknopolis‟ kan belum terbangun.
Daerahnya masih sawah. Kita berani menggariskan warnanya merah,
kuning. Kalau itu kan sesuai saja dengan eksisting, kalau kuning ya kuning.
Artinya sudah ditetapkan, tetapi tidak ada support untuk bagaimana
mengembangkan daerah itu.” (TR1, 2019)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
97
Pendekatan ini pada saat itu, juga tidak secara sadar dipahami sebagai konsep city
branding oleh aktor kunci. Melainkan sebagai salah satu tujuan pengembangan
kota, yang diberikan untuk membuatnya lebih terarah.
“Engga sih, eh engga ya? Kita sih arahnya, tapi ga tau sih kalau itu
diterjemahkan sebagai branding ya. (TR2: Apakah itu masuk branding atau
tidak gitu). Iya kan karena kita pertama ilmu tentang branding kan kita
terbatas. Kita pahami itu sebagai salah satu tujuan pengembangan kota.
Walaupun secara keseluruhan, tidak secara khusus. Artinya begini, kalau
tema di daerah itu berarti hotel ga bisa di tempat lain, walaupun misalkan
„Travelopolis‟ di Cibeunying. Tapi pembangunan hotel atau yang
berhubungan dengan kegiatan wisata boleh juga di daerah lain. Jadi kita
sudah memberikan tematik seperti itu, tapi pada saat implementasinya
masih secara umum.” (TR1, 2019)
Sedangkan jika berbicara proses secara umum, sudah terdapat mekanisme dalam
membuka diskusi antar lembaga internal mengenai rancangan brand, juga dalam
upaya membuka diskusi dengan kelompok kepentingan yang lebih luas untuk
mendapatkan umpan balik mengenai rancangan brand.
Studi lain yang dilakukan Noviansyah (2017) menunjukan bahwa pada dasarnya
tujuan penataan ruang pada SWK dijadikan sebagai tematik adalah untuk dapat
mengarahkan dan mengembangkan sehingga wilayah tersebut dapat dijual ke
masyarakat luas. Yang diharapkan pemerintah adalah agar nantinya pembangunan
dan pengembangan tema bukan sebagai tujuan akhir tetapi juga sebagai alat.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
98
Sehingga tematik adalah bentuk city branding yang diadopsi dengan tujuan untuk
mencapai tujuan penataan ruang secara kota. Sebagai contoh pada SWK Tegalega,
tujuan penataan ruangnya berbunyi pengembangan industri kreatif sementara tema
yang disematkannya „Mediapolis‟. Hal ini agar adanya sebuah bentuk place
making atau penambahan nilai tempat agar wilayah tersebut setidaknya dapat
menarik perhatian dulu sebelum dikembangkan. Dengan demikian, city branding
adalah konsep yang ingin diangkat oleh Dinas Tata Ruang dalam pembuatan
tematik sebagai tujuan penataan ruang pada RDTR.
99
“Nah kalau bicara proses, kan kita gini, ada semacam tools. Jadi istilahnya
tentu ada keterwakilan, tapi tidak semua bisa, tapi minimal kita ada
pendekatan ke arah sana. Dan setiap merumuskan kebijakan, kita pasti akan
membuka seluas-luasnya terhadap stakeholder untuk ikut merumuskan.
Artinya juga ada kaya bottom-up planning. Tapi belum tentu memang,
dengan keterbatasan sumber daya yang ada, bisa kita wadahi bisa kita
akomodir. Ini aspek keadilan ya relatif. Tapi minimal itu lah yang terbaik
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
100
yang disepakati, prosesnya itu. Misalkan nanti kita konsepnya A, nanti jadi
B. Itu salah satu sebagai win-win solution, titik temu. Karena yang namanya
kebijakan itu tidak bisa 1 + 1 = 2, kebijakan itu ada unsur kompromistis.
Ada yang teknokratis, partisipatif, bottom-up dan top-down, sama populis
(politis). Dari semua itu, titik temu yang paling ideal atau yang paling
optimalnya dimana.” (BP, 2019)
Sedangkan untuk proses pembuatan dokumen rencana lainnya, ketika kata kunci
city branding disampaikan, beberapa aktor kunci memberikan contoh proses
penyusunan pada saat masa kepempimpinan Ridwan Kamil.
101
content analysis dilakukan untuk mengetahui sejauh mana konsep city branding
diterapkan (atau tidak) di dalam proses pembuatan rencana, dengan melakukan
tinjauan terhadap dokumen rencana yang telah dihasilkan Kota Bandung. Metode
ini, yang sering dikelompokkan ke dalam terminologi „discourse analysis‟, telah
diaplikasikan untuk menganalisis bentuk kualitatif atau teks dari data seperti pada
dokumen tertulis atau materi yang bersifat visual. Metode ini juga banyak
digunakan di beberapa penelitian terkait branding serta identitas dan citra sebuah
tempat (misalnya Govers et al., 2007; Hanna dan Rowley 2008; Oliveira 2015).
102
103
Untuk kata kunci „brand‟, „branding‟ dan „city branding‟ dicari secara verbatim.
Jika kata kunci terdapat pada dokumen, maka ditelusuri konteksnya berdasarkan
kata kunci selanjutnya. Jika tidak, maka kata kunci lainnya dicari berdasarkan
muatan yang diberikan, serta dipilih yang signifikan dan cukup spesifik.
Untuk kategori kata kunci pertama, kata „brand‟ muncul dalam RPJMD Kota
Bandung 2018-2023 (2) dalam konteks “Indeks brand awareness pariwisata Kota
Bandung” yang berfungsi sebagai indikator kinerja dalam pelaksanaan program
pemasaran kepariwisataan yang diwujudkan melalui pengembangan kampung
wisata di setiap wilayah. Kata kunci „branding‟ muncul dalam dua dokumen yaitu
Master Plan Bandung Smart City (18) dan RPJMD Provinsi Jawa Barat 2019-
2023 (21). Dalam Master Plan Bandung Smart City, konteks branding yang
dimaksud adalah “smart branding”, yaitu inovasi dalam memasarkan daerah
sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan mengembangkan tiga elemen,
yaitu pariwisata, bisnis dan wajah kota. Di dalam smart branding juga dijelaskan
mengenai „Stunning Bandung‟ sebagai brand Kota Bandung yang dipromosikan
untuk menarik wisatawan. Kata branding yang terdapat pada RPJMD Provinsi
Jawa Barat 2019-2023 berbicara mengenai dua hal; pertama, “good governance”
sebagai prinsip dalam tata kelola pelayanan masyarakat; kedua, sebagai
pertimbangan dalam penguatan promosi pariwisata pada pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Berbasis Pariwisata. Sedangkan kata kunci „city
branding‟ tidak ditemukan dalam dokumen yang ditinjau.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
104
Untuk kategori kata kunci kedua, berkaitan dengan visi sebagian dokumen
mencantumkan visi jangka panjang (1, 17, 18, 20, 22), visi jangka menengah yang
diusung kepala daerah sehingga relatif erat dengan unsur politik (2, 3, 21), arahan
pengembangan (26, 27) serta tema pengembangan (19, 25). Jika dilihat dari
muatan dalam konteks yang ditemukan, ketika berbicara mengenai visi, terdapat
kecenderungan untuk menitikberatkan pada unsur religi, seperti dengan adanya
kata kunci agamis (2), akhlak mulia (17), iman dan takwa (20). Terkait muatan
tema pengembangan, yang dikhususkan pada 8 tema pengembangan SWK, selain
terdapat pada RDTR Kota Bandung 2015-2035 (25), hanya Masterplan
Penanaman Modal Kota Bandung (19) yang menyertakan konteks tema tersebut
sebagai pertimbangan strategi. Sedangkan berkaitan dengan logo, di luar lambang
resmi Kota Bandung, hanya ditemukan pada Bandung Smart City (18), Stunning
Bandung sebagai brand pariwisata Kota Bandung (18), dan tema pengembangan
pada 8 SWK (25).
(a)
(b) (c)
Gambar V.2 Logo yang tercantum dalam dokumen (a) Bandung Smart City
(Masterplan Bandung Smart City); (b) Stunning Bandung; (c) Tema
pengembangan 8 SWK (Peta RDTR Kota Bandung 2016)
Untuk kategori kata kunci ketiga, identitas dan citra Kota Bandung yang paling
banyak ditemukan adalah kota wisata (1, 2, 4, 17, 18, 21, 22, 26, 27), kota kreatif
(1, 3, 4, 17, 23, 26), serta kota perdagangan dan jasa (1, 2, 26, 27). Jika meninjau
muatan dalam dokumen RPJMD Kota Bandung 2018-2023, sebagai acuan
pelaksanaan pembangunan saat ini, dengan RPJMD Kota Bandung 2014-2018, di
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
105
dalam dokumen terkini tidak terdapat kata kunci teknopolis dan kota MICE (3).
Kata kunci yang cukup spesifik dan sering muncul adalah kampung wisata dan
co-working space (2).
Untuk kategori kata kunci keempat, meskipun ditemukan konteks promosi dan
pemasaran pariwisata (2, 3, 4, 17, 18, 23) dan produk berbasis industri kreatif (2,
3, 4, 6, 25), tetapi relatif belum spesifik berbicara dalam konteks brand kota dan
city branding. Selain itu, konteks promosi dan pemasaran juga ditekankan pada
penggunaan teknologi komunikasi dan informatika (3, 22) melalui fasilitasi e-
commerce/market place (8), dan kerjasama regional promosi wisata dalam
lingkup Priangan Timur (6, 17). Tabel V.4 menampilkan ringkasan dari hasil
temuan yang signifikan dan cukup spesifik (untuk hasil lengkapnya lihat
Lampiran C).
106
107
108
109
Kota Bandung‟ serta „Good governance‟ dan „Promosi Wisata dalam KEK
Berbasis Pariwisata‟, branding merupakan faktor eksternal atau kondisi yang
perlu dipertimbangkan dalam merumuskan strategi. Dan kedua konteks terakhir
juga berbicara dalam skala Provinsi Jawa Barat, tidak menyebutkan Kota
Bandung secara spesifik.
Smart branding, yaitu branding daerah yang pintar, adalah inovasi dalam
memasarkan daerah sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan
mengembangkan tiga elemen, yaitu pariwisata (toursim branding), bisnis
(business branding), dan wajah kota (city appearance branding). Smart branding
merupakan salah satu dari enam dimensi dalam smart city, yang dalam Masterplan
Bandung Smart City, dikembangkan berdasarkan perspektif pelayanan masyarakat
dalam kerangka tata kelola pemerintahan berbasis e-government. Sehingga
strategi yang diuraikan untuk masing-masing elemen lebih fokus pada tampilan
visual dan relatif kurang memunculkan identitas dan citra Kota Bandung sebagai
konsep sentral dalam branding.
“Smart City itu kami tidak melihatnya sebagai branding. Smart city itu tata
kelola layanan publiknya. Itu tadi spiritnya lebih mudah, lebih murah, lebih
cepat, itu smart. Nanti akan bertingkat, ada smart government, ada smart
people. Diturunkan lagi, ada smart health, smart education. Nah poinnya
adalah itu tata kelola pelayanan publik yang coba kitaterapkan. Tapi
faktanya, selama ini Bandung itu hidupnya dari jasa dan pariwisata. Jadi
kalau mesti milih mau pakai brand yang mana, brand yang sudah terbentuk
itu Kota Jasa dan Pariwisata. Kota Jasa dan Pariwisata yang smart kan oke
juga. Tapi smart city, itu kalau kami melihatnya adalah sebuah bisnis model
tata kelola public services.” (LB)
“Karena selama ini saya melihat, belum terlalu fokus. Karena kalau saya
lihat dari luar, dari kota-kota lain, harus ada yang dipegang sih satu. City
branding-nya itu yang jadi penggerak, baru ke arah yang lain, cluster yang
lain. Tapi kalau disini, yang paling ini (diutamakan) di smart governance,
jadi inovasi berbasis teknologi, baru bisa men-deliver ke cluster-cluster
yang lain. Kalau dari masterplan lebih ke arah pelayanan publiknya baru
men-deliver ke smart branding. Tapi kalau fokusnya di smart branding di
awal, itu pasti lebih fokus. (Misalnya) Bandung Kota A, B, C, D. Bandung
itu dari smart governance-nya dulu, dia harus punya tata kelola yang cerdas,
reformasi birokrasi, pemanfaatan teknologi, nanti men-deliver, untuk
meningkatkan branding-nya pakai ini, ekonominya pakai ini.” (KI2)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
110
111
“Branding yang diambil Kota Bandung, Stunning Bandung, itu given dari
Kemenpar. Jadi tidak dibuat Disbudpar Kota Bandung. Sehingga kita
menerima hal tersebut dari Kementerian untuk diaplikasikan di wilayah
kerja pemerintah dan wilayah kerja Kota Bandung. Jadi disini kita mencoba
untuk mengkomunikasikan, menyampaikan informasi ke masyarakat bahwa
Bandung khusus untuk pariwisata dan kebudayaan, meskipun ini lintas
sektoral, itu menggunakan satu bahasa yang sama yaitu „Stunning Bandung‟
bahwa Bandung itu memukau. Bagaimana memukau itu? Nah ini kan harus
disampaikan. Sebelum ke masyarakat, sebelum kepada stakeholder, harus di
pemerintah sendiri. Di pemerintah sendiri kita kebingungan karena kan
masih baru nih, Pak Walikota baru satu tahun. Memukau ini seperti apa?
Apakah tampilannya „kasep‟? Tampilannya menarik? Ataukah aturannya
galak? Ataukah seperti apa? Itu kan tadi, ditetapkan berdasarkan
kepentingan stakeholder itu sendiri, yang utamanya pemerintah.” (KP)
“Tema saya pikir ini kan visi. 8 SWK itu, ini diarahkan untuk apa, titik lain
diarahkan untuk apa. Visinya begitu, disesuaikan dengan potensi masing-
masing. Apa yang harus dilakukan. Untuk memunculkan sampai ketemu
temanya itu. Kalau ditentukan oke, tapi kita perlu tarik lagi lebih teknis,
lebih operasional. Apa yang perlu dilakukan oleh masing-masing Dinas
sektor untuk sampai pada tujuan tercapainya tema itu.” (LB)
“Kalau yang tema ini sebenarnya banyak sektor yang terlibat. Misalkan
yang di „Teknopolis‟, ambil contoh karena belum terbangun, sektor yang
terlibat kan bukan hanya tata ruang, tapi perwujudan jalannya di PU, banyak
sektor yang terlibat.” (TR1)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
112
“Perlu ada penegasan lagi itu mau dbikinkan dimana. Apakah tema untuk
satu kota, atau ada satu kawasan yang merepresentasikan branding itu. Kaya
Gedebage, namanya „Teknopolis‟ ya, itu kan tidak seluruh kawasan
„Teknopolis‟, tapi ada satu kawasan khusus yang jadi „Teknopolis‟. Atau
kaya Cibeunying, kan „Travelopolis‟, bangunan heritage sama FO, itu kan
satu wilayah. Jadi perlu ada penegasan sih. Di RDTR kita juga belum begitu
tegas, mau dimana dan berupa apa. Mungkin perlu ada lagi dokumen
rencana lainnya yang menegaskan tema itu.” (TR2, 2019
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
113
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep brand kota dan city branding,
yang berkorespondensi pada tinjauan literatur, tidak ditemukan di dalam dokumen
rencana yang dihasilkan Kota Bandung. Dari tiga dokumen yang memuat
terminologi brand, hanya dokumen Masterplan Bandung Smart City, melalui
dimensi smart branding, yang dirasa cukup jelas dalam mengartikulasikan upaya
branding ke dalam strategi pariwisata, bisnis, dan wajah kota. Hanya saja, selain
dikembangkan dalam kerangka tata kelola pelayanan publik, upaya branding yang
dilakukan cenderung memfokuskan pada pendekatan berbasis promosi
komunikasi yang menekankan pada tampilan visual. Sedangkan identitas dan citra
Kota Bandung yang unik, meskipun telah terakomodasi di dalam dokumen
rencana yang dihasilkan, belum menjadi konsep sentral dalam upaya branding di
Kota Bandung.
114
Selain itu, meskipun konsep city branding tidak diterapkan di dalam proses
penyusunan dokumen RPJMD, tetapi strategi yang berkaitan dengan branding
lebih banyak ditemukan di dalam dokumen rencana pembangunan lainnya,
meskipun hasilnya lebih banyak berupa upaya promosi dan komunikasi yang
bersifat visual dan cenderung kurang efektif. Hal ini dikarenakan dokumen
rencana pembangunan disusun dengan melibatkan relatif lebih banyak sektor
dibandingkan dengan rencana tata ruang, sehingga berpotensi menghasilkan
konsep dalam perumusan strategi yang lebih variatif. Sedangkan strategi yang
mengarah pada perubahan struktural seperti pada RDTRK 2015-2035, yang
proses penyusunannya menerapkan konsep city branding, diterjemahkan secara
tidak konsisten dan tidak terkoordinasi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
tersedianya petunjuk teknis atau rencana operasional (yang ditetapkan melalui
Peraturan Walikota) yang dapat menjadi pedoman pelaksanaan baik oleh Dinas
sektoral dan kewilayahan. Ditambah lagi, kata kunci tema pengembangan
(misalnya Teknopolis, yang menjadi salah satu program unggulan walikota
Ridwan Kamil) tidak ditemukan di dokumen lain selain pada RDTR 2015-2035
dan Background Study Rencana Penanaman Modal 2018, bahkan tidak ditemukan
di dalam dokumen RPJMD 2018-2023. Sehingga ada kecenderungan bahwa
penerapan konsep city branding di dalam proses pembuatan rencana, relatif
melemah pada awal periode kepemimpinan walikota saat ini.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
115
116
Pemahaman aktor kunci mengenai brand kota dan city branding, didentifikasi
melalui temuan hasil wawancara, ketika pertanyaan mengenai brand disampaikan,
aktor kunci memberikan definisi brand kota dengan konteks yang berbeda-beda,
antara lain sebagai berikut:
“Untuk brand-nya sendiri saya melihat lebih di misi kedua (RPJMD) tata
kelola pemerintahan, dan misi keempat tata ruang yang berwawasan
lingkungan. Nah itu yang mungkin, misi dua dan misi empat, yang nanti
banyak memberikan warna dalam branding Kota Bandung.”. (KI1)
“Tapi faktanya, selama ini Bandung itu hidupnya dari jasa dan pariwisata.
Jadi kalau mesti milih mau pakai brand yang mana, brand yang sudah
terbentuk itu Kota Jasa dan Pariwisata.” (LB)
“Kalau saya lihat, brand itu kan lebih ke kemasan. Kalau menurut saya,
barangnya itu-itu juga. Misalnya bakso tapi nanti pengemasannya dengan
segala macam variasinya. Termasuk produk-produk wisata di Bandung.
Bagaimana mengemas itu agar nanti orang akan menjadi penasaran, akan
menjadi tertarik.” (BP)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
117
“Apalagi kalau ingat dulu pernah kejadian banjir Pagarsih sampai mobil
terbawa arus, itu kan betul-betul brand nama jelek sekali untuk Kota
Bandung.” (PU)
“Terus citra yang baru ya itu, sekarang dengan visinya agamis, mendorong
Kota Bandung punya program-program yang diminati masyarakat dan religi.
Dan brand itu sudah mulai, Kota Bandung sebagai kota religius.” (KI2)
“Jadi kalau brand Bandung memang, disebutnya juga kan Kota Kembang.
Bahkan dulu Soekarno “Kalau Bandung itu diciptakan ketika Allah
tersenyum” kan begitu”. (PM)
Aktor kunci memberikan definisi brand kota dengan mengasosiasikan kata brand
ke dalam beberapa terminologi. Pertama, mengasosiasikan brand kota dengan
visi-misi yang terdapat pada RPJMD dan RPJPD. Kedua, mengasosiasikan brand
kota dengan tema pengembangan SWK yang terdapat pada RDTR. Ketiga,
mengasosiasikan brand kota dengan slogan dalam strategi pemasaran, contohnya
dalam pariwisata yaitu „Stunning Bandung‟. Keempat, mengasosiasikan brand
kota dengan identitas, yaitu bagaimana Kota Bandung ingin dirasakan oleh
masyarakat. Kelima, mengasosiasikan brand kota dengan citra, yaitu bagaimana
Kota Bandung dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pemahaman aktor kunci mengenai brand kota secara simultan digunakan,
atau menjadi kata ganti dan dianggap memiliki makna yang sama, dengan konsep
visi, tema pengembangan, strategi pemasaran, identitas dan citra. Tabel V.1 pada
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
118
halaman selanjutnya merangkum konteks definisi dan asosiasi makna brand kota
oleh aktor kunci.
Tabel V.5 Konteks definisi dan asosiasi makna brand kota oleh aktor kunci
119
Tabel II.1). Brand kota juga menekankan pada karakteristik intrinsik dan khasnya
sebagai produk dalam konteks tempat. Maka dapat dimengerti jika terdapat multi-
perspektif dalam memandang brand kota, meskipun brand kota tidak sama
dengan dengan visi kota. Meski demikian, pemahaman mengenai pentingnya
konsistensi dalam jangka panjang untuk membentuk brand kota (Kavaratzis,
2009), serta konstruksi brand kota yang multi-dimensi dan kompleks (Chernatony
dan Dall‟Olmo Riley, 1998) serta multi-stakeholder (Balmer dan Gray, 2003),
telah terdapat pada pemahaman beberapa aktor kunci:
“Kalau secara umum Saya lihat kan Kota Bandung cukup bagus ya brand-
nya. Dari berbagai faktor lah. Dari tata kota nya, Bandung cukup bagus.
Dari iklimnya juga, Bandung banyak diminati, banyak orang datang ke
Bandung. Saya pikir tidak ada tempat lah kalau Anda pergi kemana pun,
bisa senyaman di Bandung.” (PM)
Selain itu, salah satu aktor kunci juga memberikan pendapat yang mungkin dapat
merangkum mengenai apa yang dimaksud dengan suatu brand kota yang kuat:
“Tetapi di satu sisi sih kemarin kan kita ada peningkatan infrastruktur ya,
seperti perbaikan-perbaikan taman, di sisi lain memberikan dampak
perubahan citra positif jadinya semakin banyak pengunjung yang datang.
Walaupun kondisi macet atau apa, tapi mereka tetap datang karena kita
membangun image-image baru, yang bisa membuat mereka hadir. Karena
kalau ditanya tentang Bandung, temen-temen saya “Ah Bandung macet,
males ke Bandung sekarang, dari Bandung mau ke Lembang aja dua jam.”
Ya begitu, image-nya seperti itu. Tapi entah kenapa mereka tetep aja dateng,
tetap aja menjadi pilihan, kuat, citra(brand)-nya sih kuat.” (TR1)
120
Sedangkan terkait konsep city branding, secara sederhana dapat dipahami sebagai
proses memberikan brand terhadap kota. Dalam memberikan kejelasan
konseptual mengenai city branding, Boisen dkk. (2018) memberikan
perbandingan dengan konsep city promotion dan city marketing, dan
menggunakan definisi city branding sebagai “a network of associations in the
consumers' mind based on the visual, verbal, and behavioral expression of a place
and its' stakeholders. These associations differ in their influence within the
network and in importance for the place consumers' attitude and behavior.”
(Zenker dan Braun, 2017). Beberapa peneliti, melalui pelbagai pendekatan,
mencoba merumuskan kerangka konseptual city branding sebagai acuan dalam
manajemen brand sebuah kota. Beberapa pendekatan dan kerangka yang banyak
dirujuk dan dijadikan pedoman dalam praktik city branding antara lain:
pendekatan tempat sebagai lokasi bisnis (Rainisto, 2003; Moilanen, 2008;
Moilanen dan Rainisto, 2009), pendekatan brand yang bersifat relasi (Hankinson,
2004, 2007, 2015), pendekatan komunikasi (Kavaratzis, 2004, 2008; Kavaratzis
dan Ashworth, 2005), pendekatan yang lebih aplikatif (Trueman dan Cornelius,
2006), dan pendekatan evaluasi (Anholt, 2006).
Pemahaman aktor kunci mengenai konsep city branding dan pendekatan yang
digunakan juga relatif beragam.. Berikut beberapa pernyataan aktor kunci
mengenai konsep city branding:
“Jika isu tersebut dikaitkan dengan city branding, berarti kan kita akan
membuat sesuatu positioning Kota Bandung yang bisa menonjolkan
identitas dirinya yang bisa diakui keberadaannya oleh dunia luar.” (LH)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
121
“Kalau secara isu saya pikir tidak bergeser ya, jasa, pariwisata, kalau secara
branding. Jadi kami di pemerintah itu melihat branding itu bukan dari luar.
Bukan bagaimana caranya menciptakan branding, bukan. Bagaimana
branding itu terbentuk karena aktivitas yang sudah dilakukan. Maka
branding-nya jadi dengan sendirinya.” (LB)
“Jadi branding Kota Bandung selama ini semua orang mengatakan satu hal,
banyak orang di Indonesia ngomong Bandung itu apa? Gedung Sate.
Padahal itu kan Jawa Barat. Nah sekarang dibuatlah oleh Kementerian
branding-nya tadi, “Stunning Bandung; Where the Wonders Begin”. Jadi
disini kita mencoba untuk mengkomunikasikan, menyampaikan informasi
ke masyarakat bahwa Bandung khusus untuk pariwisata dan kebudayaan,
meskipun ini lintas sektoral, itu menggunakan satu bahasa yang sama yaitu
„Stunning Bandung‟, bahwa Bandung itu memukau.” (KP)
“Ya kalau dari segi image, Kota Bandung mah Kota Kreatif. Artinya kalau
disebut perdagangan dan jasa itu mah sudah terbentuk. Kalau dari segi yang
lain juga sama. Misalkan pendidikan, semua perguruan tinggi favorit, negeri
dan swasta ada di Bandung. Termasuk juga pusat penelitian ada Telkom,
Pindad, PT. DI, jadi didukung oleh itu juga. Artinya itu akan mem-branding
Kota Bandung juga.” (BP)
“Kita pahami itu (branding) sebagai salah satu tujuan pengembangan kota.
Walaupun secara keseluruhan, tidak secara khusus.” (TR1)
“Perlu ada penegasan lagi itu mau dbikinkan dimana. Apakah tema untuk
satu kota, atau ada satu kawasan yang merepresentasikan branding itu. Kaya
Gedebage, namanya „Teknopolis‟ ya, itu kan tidak seluruh kawasan
„Teknopolis‟, tapi ada satu kawasan khusus yang jadi „Teknopolis‟.” (TR2)
“Jadi yang namanya branding itu kan sebenarnya sesuatu yang simpel,
mengena, setiap orang mengerti, dan bisa ditafsirkan. Kalau bicara branding
itu buat apa, ya dulu-dulu kaya “we can make people fly”, itu caranya apa?
Buat tiketnya murah atau apa. Sama dengan Kota Bandung.” (PU)
“Dan brand itu sudah mulai, Kota Bandung sebagai kota religius. Kota
desain juga, sudah sejak 2015. Akademik kan karena banyak universitas.
Kuliner paling, karena tadi harus kreatif, harus inovatif, jadinya ke kuliner,
banyak jajanan. Kalau ga gitu, mungkin Kota Bandung tidak akan
disinggahi sama pelancong. Sama mungkin budaya, budaya sunda yang
berkembang di Kota Bandung seperti angklung, itu jadi branding.” (KI2)
“Kan kita tidak mungkin menyusun sebuah perencanaan, bahkan sebelum
ke visi misi itu kan kita bicara dulu isu strategis. Bandung itu sebagai apa
sih? Potensi yang dimiliki Kota Bandung itu apa? Ketika kita berbicara
potensi, kan berbicara branding tuh.” (PM)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
122
Istilah city branding, atau branding, oleh aktor kunci seringkali digunakan, dan
dianggap memiliki makna yang sama, dengan kata „brand‟. Seperti ketika
mengungkapkan “branding-nya itu ...” yang kemudian diikuti dengan visi, tema,
slogan, identitas, atau citra. Selain itu, perspektif masyarakat sebagai konsumen
juga sudah dipertimbangkan beberapa aktor kunci, terutama yang berkaitan
dengan kegiatan pariwisata. Sedangkan dalam melihat kerangka konseptual city
branding, beberapa aktor kunci menitikberatkan pada pendekatan komunikasi
yang ditandai dengan munculnya kata kunci seperti „menyampaikan informasi‟,
„positioning‟, dan „mengkomunikasikan‟.
Tabel V.6 Interpretasi makna pada frasa dalam pemahaman city branding
123
Pemahaman aktor kunci mengenai konsep city branding, yang seringkali dianggap
sama dengan brand kota, dapat dimengerti, sebagaimana disampaikan Boisen dkk.
(2018) bahwa konsep city branding bersifat identity-driven. Hal ini mewakili
pendekatan outside-in yang berupaya mengekspresikan nilai-nilai dan narasi
terpilih dari tempat yang dimaksud. Tugas dari city branding adalah upaya sadar
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan reputasi kota; dengan kata lain,
manajemen reputasi. Dengan demikian, muatan atau substansi dari brand kota
itulah yang menjadi penting. Muatan ini menjelaskan bagaimana brand kota
tersebut dipahami dan diterjemahkan ke dalam strategi.
124
perilaku kota (visi pemimpin kota dan strategi pembangunan). Citra dari brand
kota kemudian dikomunikasikan melalui 3 (tiga) jenis komunikasi yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Komunikasi primer berkaitan dengan bidang-bidang dalam
bentuk komunikasi tidak disengaja. Komunikasi sekunder berkaitan dengan
bentuk-bentuk pemasaran pada komunikasi disengaja. Sedangkan komunikasi
tersier berkaitan dengan komunikasi dari mulut ke mulut setiap orang, yang
didukung oleh media komunikasi yang ada.
125
Tiga poin yang disampaikan oleh Ridwan Kamil mengenai pendapatnya tentang
kiat membentuk city branding antara lain: proaktif dalam menyebarkan berita baik,
pandai mengelola berita buruk, serta pentingnya pemimpin untuk melek digital
dan informasi karena setiap informasi yang disebarkan kepala daerah akan
mewakili citra dari seluruh daerah yang dipimpinnya. Ketiga poin tersebut
berkaitan dengan pendekatan komunikasi dalam city branding, terutama berbicara
mengenai strategi komunikasi sekunder dan tersier. Pendekatan komunikasi ini
juga dititikberatkan oleh beberapa aktor kunci dalam memahami konsep city
branding. Selain itu, Ridwan Kamil juga menyampaikan tiga tujuan city branding
yaitu mendorong iklim investasi, meningkatkan kunjungan wisatawan dan
mempopulerkan kota di mata dunia. Hal ini juga sejalan dengan apa yang
disampaikan beberapa aktor kunci mengenai perspektif konsumen, terutama
berkaitan dengan wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung.
126
Konsep citra dalam kerangka brand menurut Kavaratzis dan Ashworth (2005),
menjelaskan bagaimana brand kota dirasakan. Boisen dkk. (2011), berpendapat
bahwa citra perlu ditafsirkan dalam konteks tertentu agar dianggap positif atau
negatif, sedangkan reputasi tempat yang menjadi tujuan dari place branding,
adalah jumlah opini normatif jangka panjang tentang tempat yang merangsang
penilaian langsung dan/atau respons emosional. Dalam konsep awal mengenai
citra kota, Lynch (1960) menkankan fungsi lansekap perkotaan dalam membentuk
citra, serta mengemukakan bahwa dimensi kota tidak hanya dari fisik, melainkan
juga aspek budaya, politik, ekonomi, dan spasial serta nonspasial (Lynch, 2000).
Proses wawancara dalam menggali pandangan aktor kunci mengenai citra Kota
Bandung dibuka dengan pertanyaan mengenai isu terkini. Hal ini dilakukan untuk
menangkap persoalan-persoalan yang berpotensi menimbulkan citra buruk bagi
Kota Bandung. Jawaban yang diberikan aktor kunci sebagian besar mengacu pada
isu strategis jangka menengah yang terdapat di RPJMD Kota Bandung 2018-2023,
yaitu: (1) Peningkatan kualitas pendidikan; (2) Peningkatan derajat masyarakat; (3)
Tata kelola pemerintahan; (4) Ketimpangan ekonomi; (5) Optimalisasi
infrastruktur dan penataan ruang; (6) Lingkungan hidup berkualitas dan
optimalisasi pengelolaan persampahan; (7) Penanggulangan kemiskinan dan
PMKS; serta (8) Sinergitas pembiayaan pembangunan. Selain itu, aktor kunci juga
memberikan jawaban berdasarkan urusan yang dihadapinya dalam pemerintahan.
Wawancara kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana isu yang
dihadapi memberikan pengaruh terhadap citra Kota Bandung. Berikut adalah
jawaban dari aktor kunci:
“Terus citra yang baru ya itu, sekarang dengan visinya agamis, mendorong
Kota Bandung punya program-program yang diminati masyarakat dan religi.
(Kalau) Image negatif, ya sekarang itu problem-nya karena banyak
pengunjung yang merasakan Bandung macet. Itu jadi image negatif. Karena
kalau pembangunan fisik jalan ga sebanding dengan pertumbuhan penduduk.
Akses jalan tol dari Jakarta-Bandung cukup mudah.” (KI2)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
127
“Jujur aja sebenarnya citranya jadi negatif ya. Kota Bandung ini semakin
kesini gimana. Pertama udah macet karena tidak tertibnya kegiatan-kegiatan,
contoh PKL, kalau kita jalan di kawasan perdagangan seperti Cicadas atau
di dekat mal-mal seperti BEC. Orang luar yang datang ke Kota Bandung
kan, image nya sudah yang macet, terus ga tertib, kemudian masalah dulu
terkait masalah sampah. Kalau saya sih menilainya malah justru menambah
citra negatif kepada pengunjung yang datang.” (TR1)
“Ya kalau dari segi image, Kota Bandung mah Kota Kreatif. Artinya kalau
disebut perdagangan dan jasa itu mah sudah terbentuk. Kalau (citra) negatif
mungkin masih banyak juga, kemacetan, kemudian kawasan kumuh, masih
banyak juga. Dan juga ada faktor kedekatan dengan Jakarta, sebagian
macetnya kan Jakarta. Kemudian dari segi sanitasi, banjir. Artinya itu efek
juga dari penduduk. Kawasan terbangunnya semakin luas, ruang terbuka
semakin sempit.” (BP)
128
3) Terkait kumuh, tidak banyak konteks yang dibicarakan oleh aktor kunci.
Tetapi jika dikaitkan dengan kebersihan dan pola hidup masyarakat,
kumuh juga berhubungan dengan persoalan sampah.
4) Terkait banyak sampah, selain sulitnya pengelolaan dari meningkatnya
volume sampah akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi,
konteks lain yang dibicarakan adalah kejadian longsor di TPA Leuwigajah
yang mengakibatkan sampah yang diproduksi Kota Bandung saat itu tidak
dapat diangkut sehingga memenuhi kota.
5) Terkait PKL yang tidak tertib, ini berkaitan dengan kegiatan ekonomi,
terutama sektor informal yang menjadi sektor lapangan usaha unggulan di
Kota Bandung.
Dari citra negatif yang dititikberatkan oleh aktor kunci, jika direfleksikan terhadap
citra Kota Bandung yang disampaikan pada sub-bab IV.2.2, maka dapat dilihat
hubungan antara citra negatif dengan citra Kota Bandung secara umum. Beberapa
poin yang dapat ditekankan antara lain: Pertama terkait citra kota wisata dan jasa.
Ariani (2006) menyebutkan bahwa elemen yang membentuk citra tersebut
sebagian besar berupa objek wisata, baik itu wisata belanja dan kuliner, wisata
bangunan bersejarah maupun objek rekreasi. Citra pedagang kaki lima (PKL)
yang tidak tertib berkaitan langsung dengan kesan yang diterima pengunjung saat
beraktivitas wisata, bai kuliner, belanja dan rekreasi. Hal ini sejalan dengan studi
Rahmadyani (2011) yang menyebutkan bahwa faktor yang paling disukai
penduduk, pebisnis, dan pengunjung tentang Kota Bandung adalah ambience dan
atmosfer. Dengan demikian, citra negatif yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan terutama di objek wisata, seperti banjir, kumuh, dan banyak sampah
dapat memengaruhi citra kota wisata. Selain itu, citra Kota Bandung yang macet
juga oleh aktor kunci banyak dikaitkan dengan kegiatan pariwisata seperti macet
pada hari libur akibat kunjungan dari luar, pengujung menjadi malas ke Bandung
gara-gara macet.
Untuk citra Kota Pusaka, menurut Budiyati (2016), faktor yang diperhatikan
adalah keberadaan benda cagar budaya baik berupa bangunan maupun kawasan
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
129
cagar budaya. Dari konteks yang disampaikan aktor kunci, citra negatif yang
dititikberatkan tidak secara langsung dapat memengaruhi citra Kota Bandung
sebagai kota pusaka. Tetapi secara tidak langsung memengaruhi aktivitas wisata
yang bersifat wisata bangunan bersejarah.
Untuk citra kota kreatif, menurut Angger (2017), saluran yang bersifat fisik,
seperti ruang publik terbuka, cagar budaya, sarana kreatif, sentra industri kreatif,
serta seni publik memberikan terpaan yang cukup instensif. Komunikasi citra kota
kreatif di Kota Bandung juga menimbulkan efek terhadap dorongan untuk
berkegiatan kreatif serta terlibat dalam ekonomi kreatif. Dari konteks yang
disampaikan aktor kunci, citra negatif yang dititikberatkan tidak secara langsung
dapat memengaruhi citra Kota Bandung sebagai kota kreatif. Salah satu aktor
kunci menyampaikan bahwa:
“Artinya Bandung itu karena kota yang sudah jadi, di satu sisi banyak
orang-orang produktif dan kreatif, sehingga walaupun tadi ada isu
kemacetan, banjir, sampah, kawasan kumuh, tetep orang dateng ke Bandung
karena ada magnet tersendiri.” (BP)
Sedangakan refleksi terhadap pola spasial brand image Kota Bandung, menurut
Khoiriana dan Nurlambang (2017), terdapat lima brand image yang berkaitan
dengan Kota Bandung yaitu „Kota Belanja‟, „Kota Taman‟, „Kota Wisata‟, „Kota
Kuliner‟ dan „Kota Fashion‟. Dari konteks yang dibicarakan aktor kunci, untuk
„Kota Taman‟, „Kota Kuliner‟ dan „Kota Fashion‟, citra negatif yang
dititikberatkan tidak secara langsung dapat memengaruhi citra Kota Bandung
tersebut. Tetapi ketika memerhatikan pola spasial brand image yang dibagi ke
dalam area pusat kota, area peralihan dan area pinggiran, Khoiriana dan
Nurlambang (2017) menyebutkan bahwa brand image yang muncul di area
peralihan (Kota Wisata) dan dan area pinggiran (Kota Taman dan Kota Wisata)
relatif lebih sedikit daripada di area pusat kota (kelima brand image dapat
dirasakan) (lihat Gambar IV.11). Hal ini berkaitan dengan salah satu pandangan
aktor kunci mengenai tantangan investasi Kota Bandung yang masih bertumpu di
Bandung Barat dan Bandung Utara.
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
130
“Tapi kalau Bandung investasi selalu menarik. Anda bisa lihat sepanjang
Jalan Riau, pertumbuhan hotel, outlet, segala macem. Hanya memang
persoalannya sekarang masih bertumpu di Bandung Barat dan Bandung
Utara. Kita coba persebarannya ke Bandung Timur dan Selatan. Karena
kalau ke Bandung Timur, ke Ujungberung, ke daerah Selatan, itu kita akan
sangat terbatas melihat hotel-hotel yang bagus seperti di Bandung Utara
(dan Bandung Barat).” (PM)
Dengan demikian, berdasarkan refleksi aktor kunci terhadap citra Kota Bandung,
terdapat beberapa citra negatif yang dititikberatkan yaitu macet, banjir, kumuh,
banyak sampah, dan PKL yang tidak tertib. Jika citra negatif yang dititikberatkan
tersebut dikaitkan dengan citra Kota Bandung secara umum, dapat disimpulkan
bahwa untuk citra kota wisata dapat secara langsung dipengaruhi, tetapi untuk
kota pusaka dan kota kreatif tidak secara langsung dapat dipengaruhi. Sedangkan
jika dilihat dari pola spasial brand image Kota Bandung, terdapat hubungan antara
banyaknya brand image yang dirasakan masyarakat dengan jumlah investasi,
yang mana keduanya lebih banyak terdapat di area pusat kota (kota belanja, kota
taman, kota wisata, kota kuliner dan kota fashion) daripada di area peralihan (kota
wisata) dan di area pinggiran (kota taman dan kota wisata).
131
faktor daya tarik yang unik, mulai dari proses branding holistik, tanggung jawab
manajemen utama dan melibatkan seluruh tingkat dan pemangku kepentingan
suatu kota. Sedangkan Anholt (2007) yang menggunakan pendekatan daya saing
wilayah, merumuskan 6 (enam) faktor kunci dalam membentuk identitas
kompetitif kota yang terdiri dari: pariwisata, brands produk, kebijakan, investasi,
budaya dan masyarakat.
Dalam menggali pandangan aktor kunci mengenai identitas Kota Bandung terkini,
proses wawancara dibuka dengan pertanyaan mengenai isu dan kondisi Kota
Bandung. Jawaban aktor kunci kemudian dikategorikan ke dalam identitas fisik
lingkungan, sosial kependudukan, perekonomian, serta perencanaan
pembangunan dan penataan ruang. Refleksi dilakukan dengan perbandingan
terhadap gambaran identitas yang disampaikan pada Sub-bab IV.1
“Karena Bandung ini kan kota yang tidak punya sumber daya alam. Kita ini
yang menawarkan jasa dan pariwisata. Memang kota yang selama ini
hidupnya dari dua sektor itu.” (LB)
“Jadi branding Kota Bandung selama ini semua orang mengatakan satu hal,
banyak orang di Indonesia ngomong Bandung itu apa? Gedung Sate.
Padahal itu kan Jawa Barat.” (KP)
132
“Artinya meskipun tidak punya sumber daya alam, tapi punya sumber daya
manusia.” (BP)
“Bandung kan tidak punya sumber daya alam, jadi semuanya diciptakan. ...
Kalau yang unsur alamnya, seperti Lembang, Tangkuban Parahu atau di
Selatan ada Ciwidey, meski bukan kita yang mengelola memang, tapi ada
andil juga.” (KI2)
“Bandung itu tidak punya sumber daya alam, tapi Bandung itu kota jasa
yang dinamis.” (PM)
Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas fisik lingkungan Kota Bandung
antara lain:
1) Bandung merupakan kota di dataran tinggi (BP);
2) Bandung tidak memiliki potensi sumber daya alam (LB, BP, PM, KI2);
3) Bandung merupakan kota yang didesain untuk lokasi peristirahatan (LH);
4) Gedung Sate merupakan landmark yang paling kuat merepresentasikan
identitas Kota Bandung (KP).
Pandangan mengenai Kota Bandung sebagai wilayah yang tidak memiliki potensi
sumber daya alam, dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, potensi sumber daya
alam yang berfungsi sebagai destinasi wisata seperti Lembang, Tangkuban Parahu
atau Ciwidey yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari wilayah administrasi
Kota Bandung, tetapi sering dianggap sama dengan Kota Bandung. Kedua,
potensi sumber daya alam yang berkaitan dengan bahan baku produksi seperti
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
133
hasil pertanian dan perkebunan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya lahan
pertanian tanah kering yang hanya 14% dari total penggunaan lahan tahun 2016,
dan sebagian besar merupakan kawasan permukiman 57%, sisanya digunakan
untuk sarana prasarana baik yang bersifat basis maupun yang berkaitan dengan
kegiatan perdagangan dan jasa (diolah dari Data Statistik Bandung dalam Angka
Tahun 2018, BPS).
134
“Kota Bandung siang hari 2,7, malam hari 2,5. Karena banyaknya penduduk
yang kerja di Bandung, malam hari pulang ke rumahnya yang di luar
Bandung.” (LH)
“Artinya Bandung itu karena kota yang sudah jadi, di satu sisi banyak
orang-orang produktif dan kreatif. Artinya kita punya sumber daya manusia,
mungkin saatnya baik dari orang lokal, orang asli Sunda dan orang dari luar,
yang produktif dengan ide-idenya.” (BP)
“Bandung itu kan selama ini, terkenal kota kreatif sama inovatif. Dan
memang dari sumber daya yang kita miliki juga lebih ke human resource ...
Kota Bandung kalau bikin event, partisipasi masyarakatnya tinggi. Mungkin
karena kecintaanya ke Kota Bandung.” (KI2)
“Kita tahu, Bandung itu kalau Sabtu-Minggu sudah bukan milik orang
Bandung lagi, milik orang Jakarta, Bogor, dll” (PM)
Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas fisik lingkungan Kota Bandung
antara lain:
1) Perbedaan penduduk siang dan malam (LB, LH) serta hari kerja dan hari
libur (PM), lebih tinggi saat siang dan hari libur;
2) Orang Bandung produktif, kreatif, dan inovatif (BP, KI2);
3) Orang Bandung cukup dewasa dalam menghadapi perbedaan (LB, TR1).
Pandangan mengenai perbedaan penduduk saat siang dan malam serta saat hari
kerja dan hari libur, dapat dilihat dalam hubungan kausalitas. Bertambahnya
penduduk ketika siang hari dan hari libur disebabkan oleh tingginya daya tarik
Kota Bandung sebagai tempat bekerja (siang hari) dan tempat rekreasi (hari libur).
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
135
Di sisi lain, fenomena ini juga mengakibatkan Kota Bandung menjadi semakin
padat. Meskipun pendapat mengenai jumlah penduduk siang itu beragam, mulai
dari 2,7-4 juta jiwa. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang diolah dari data
BPS adalah 0,9% per tahun dan kepadatan penduduk pada tahun 2017 mencapai
14.898 penduduk/km2 atau kedua terpadat di Provinsi Jawa Barat di bawah Kota
Cimahi. Ketika jumlah penduduk mencapai 2,6 juta jiwa, itu sudah cukup untuk
membuat Kota Bandung menjadi yang paling padat di Provinsi Jawa Barat.
136
“Karena Bandung ini kan kota yang tidak punya sumber daya alam. Kita ini
yang menawarkan jasa dan pariwisata. Memang kota yang selama ini
hidupnya dari dua sektor itu.” (LB)
“Bandung ini bisa jadi juaranya di sisi apa sekarang yang sudah diterapkan.
(Salah satunya) Wisata halal yang ada di Kota Bandung.” (KP)
“Jadi sekarang Bandung itu sebagai bisnis dan wisata saja.” (BP)
Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat beberapa temuan terkait identitas perekonomian Kota Bandung
antara lain:
1) Perekonomian Kota Bandung bertumpu pada perdagangan dan jasa,
dengan lapangan usaha unggulan sektor pariwisata (LB, LH, BP);
2) Salah satu ide yang kini gencar digalakan adalah wisata halal (KP, BP);
3) Kota Bandung merupakan daerah tujuan investasi yang menarik (PM).
137
Pada tahun 2017, berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, jumlah wisatawan
mancanegara yang berkunjung ke Kota Bandung mencapai 176.487 jiwa (8,7%
dari total kunjungan ke Provinsi Jawa Barat), yang menempati posisi ketiga di
Jawa Barat di bawah Kota Bogor (39%) dan Kabupaten Purwakarta (32,1%).
Sedangkan untuk wisatawan nusantara, Kota Bandung dikunjungi oleh 4,6 juta
wisatawan (26,6% dari total kunjungan ke Provinsi Jawa Barat), menempati
peringkat kedua di bawah Kabupaten Purwakarta (30,9%). Meski demikian, jika
dilihat dari pertumbuhan wisatawan, Kota Bandung justru mengalami penurunan
dari tahun 2011-2016 (BPS Kota Bandung).
5877162
5627421 6000000
225585 5388292
200000 5080584
4827589
5000000
180143 183932
176855 176432 173036
150000
4000000
3000000
100000
2000000
50000
1000000
0 0
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Wisatawan Mancanegara (Skala Kiri) Wisatawan Domestik (Skala Kanan)
138
Agung yang pada tahun 2016 dikunjungi oleh 44.768 wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Meski demikian, pengembangan wisata halal, sebagaimana
disampaikan oleh salah satu aktor kunci bukan hanya masjid, melainkan harus di
semua struktur.
“Nah orang kan berpikir “wisata halal itu masjid”, bukan, wisata halal itu di
semua struktur. Dari mulai rumah makan menyediakan barang-barang dan
makanan halal, tempat ibadahnya juga tersedia, tempat dimana tidak ada
masyarakat yang melakukan kebohongan, ataupun praktik prostitusi. Ini kan
berarti sudah satu kota yang mengadakan wisata halalnya.” (KP).
“Kota Bandung sedemikian luar biasa untuk investasi jenis ini (bisnis
murni). Bagaimana kita melihat Bandung sebagai tujuan investasi bisnis
murni, kita lihat di ijin. Tiap hari, yang bikin ijin di Bandung itu bisa 400.
Artinya 400 orang tertarik untuk berinvestasi di Kota Bandung. Anda bisa
lihat sepanjang Jalan Riau, pertumbuhan hotel, restoran, outlet, segala
macem, di Bandung cukup banyak.” (PM)
“Kebetulan walikota terpilih itu mengajukan, hampir sama dengan yang lalu,
tapi ditambah, mewujudkan “Bandung yang unggul, nyaman, sejahtera, dan
agamis”. Dan tagline-nya juga melanjutkan „Bandung Juara‟. Yang dulu
mungkin lebih banyak ke masalah fisik dan yang lain, ini nuansa religinya,
agamisnya, mulai masuk.” (KI1)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
139
Berdasarkan interpretasi terhadap frasa kunci yang muncul dari pernyataan aktor
kunci, terdapat kesamaan pandangan terhadap arah kebijakan, bahwa arah
kebijakan Kota Bandung di masa jabatan walikota yang baru ini (2018-2023)
lebih menekankan pada pembangunan sumber daya manusia. Konteksnya
pergeseran dari sebelumnya fokus pada pembangunan fisik seperti infrastruktur
dan taman-taman, menjadi fokus pada pembangunan manusia atau aspek
sosialnya. Kata “Agamis” yang terdapat pada visi walikota juga memberikan
nuansa religi dalam konsep pembangunan sumber daya manusia di Kota Bandung.
Dalam menunjang arah kebijakan ini, beberapa aktor kunci juga menyampaikan
program pengembangan co-working space, sebagai salah satu program yang saat
ini sedang gencar dikembangkan:
“Artinya kita punya sumber daya manusia, mungkin saatnya baik dari orang
lokal, orang asli Sunda dan orang dari luar. Artinya meskipun tidak punya
sumber daya alam, tapi punya sumber daya manusia. Yang produktif dengan
ide-idenya pasti dia akan membuat suatu istilahnya kenyamanan, iklim lah,
iklimnya itu jalan. Didukung dengan infrastruktur tadi, orang akhirnya
seneng. Coworking space, desain. Lebih ini di Bandung, dibandingkan
dengan di Jakarta. Kalau disini ya udara sejuk, jadi lebih enjoy buat
nongkrong-nongkrong atau hangout. Dan upaya-upaya pemerintah sekarang
kan menciptakan ruang publik, banyak taman-taman, sebagai ruang sosial.
Kemudian tadi ada pengembangan coworking space di spot-spot, komunitas
kreatif. Semuanya akan mendukung untuk penguatan itu tadi.” (BP)
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
140
“Kalau creative city, yang terakhir itu industri kreatif. Terakhir itu mau
bikin coworking space. Tapi leading sector nya di Disbudpar. Mau bikin
coworking space untuk bikin start-up. Ada juga ekonomi kreatif. Mungkin
nanti arahnya biar di pariwisata, ini zona ini, seperti itu.” (TR1)
141
(tiga puluh) perguruan tinggi lainnya. Selain sebagai penyedia jasa pendidikan,
yang menjadi daya tarik bagi pelajar dari luar Kota Bandung, keberadaan kampus
juga dapat berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan sehingga bisa
bersinergi dengan pemerintah Kota. Ketiga, pusat pelayanan skala provinsi dan
nasional serta kantor-kantor penting di Indonesia, seperti dengan adanya kantor
Gubernur Provinsi Jawa Barat, Bandara Husein Sastranegara, Rumah Sakit Hasan
Sadikin, kantor pusat PT. Telkom, PT. KAI, PT. Pos Indonesia, PT. Dirgantara
Indonesia, serta 7 (tujuh) kantor pusat BUMN lainnya. Dan keempat, pariwisata
sebagai aktivitas yang mengikat ketiga sektor sebelumnya. Beberapa citra yang
saat ini dirasakan tentang Kota Bandung, berkaitan langsung dengan kegiatan
pariwisata, seperti kota belanja, kota kuliner, dan kota fesyen.
142
yang dihasilkan terhadap dokumen lainnya juga relatif masih lemah. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak tersedianya petunjuk teknis atau rencana operasional
(yang ditetapkan melalui Peraturan Walikota) yang dapat menjadi pedoman
pelaksanaan baik oleh Dinas sektoral dan kewilayahan. Tema-tema yang muncul
di RDTR juga tida dilanjutkan pada dokumen yang terbit setelahnya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan rencana yang menerapkan
konsep city branding di Kota Bandung pada tahap perumusan konsep relatif masih
lemah pada operasionalisasi dan petunjuk teknis.
Gambar V.5 Temuan terhadap aplikasi kerangka konseptual pada studi kasus
Kota Bandung
Koleksi digital milik UPT Perpustakaan ITB : Hanya di pergunakan di area kampus ITB untuk keperluan pendidikan dan penelitian
143
144
145
146