Anda di halaman 1dari 3

SISWA KITA JEBLOK DI PISA, MENGAPA?

Kualitas pendidikan suatu negara dapat diukur dengan berbagai cara. Salah satu cara praktis yang dapat dipakai adalah dengan
membandingkan mutu pendidikan suatu negara dengan negara-negara lain di dunia. Dengan cara tersebut akan dapat diketahui posisi
dan seberapa jauh tingkat pendidikan kita di hadapan jajaran bangsa-bangsa lain.

Ada banyak hasil riset dan studi internasional yang layak dijadikan acuan atau perbandingan. Umpamanya riset dari Program for
International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun Progress in
International Reading Literacy Studies (PIRLS). Studi PISA memfokuskan studi pada aspek literasi bacaan/bahasa, matematika, dan
IPA dicapai peserta didik usia 15 tahun. PISA dilaksanakan tiap tiga tahun sekali dan diikuti semua negara OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) dan negara lain yang berminat. Bagaimana posisi siswa Indonesia?

Ternyata hasil PISA tahun 2012 menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Siswa kita menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara
yang ikut diuji. Jadi, posisinya satu tingkat di atas Peru sebagai juru kunci. Sementara negara-negara Asia Timur berjaya. Shanghai
menduduki peringkat pertama, disusul berturut-turut Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan.

Sebenarnya hasil itu tidak terlalu mengagetkan, karena selama ini memang Indonesia selalu berada di peringkat bawah dalam PISA.
Tahun 2009, posisi Indonesia pada peringkat 57 dengan skor Membaca 402, Matematika 371 dan IPA 383. Tahun 2012 skor tersebut
menjadi, Membaca 396, Matematika 375, dan IPA 382. Jadi perubahannya hanya sedikit.

Pertanyaannya, mengapa skor PISA anak-anak kita sangat rendah? Bukankah anak-anak SMP kita (usia yang ikut PISA) sukses dalam
ujian nasional (UN). Nilainya juga sangat bagus. Apakah materi UN berbeda dengan PISA? Apakah kurikulum Indonesia sangat
berbeda dengan kurikulum Shanghai, Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.

Sebelum membahas itu, ada baiknya diketahui hasil analisis terhadap UN. Tahun 2012, Unesa mengkaji hasil UN SMA tahun 2009,
2010, dan 2011. Simpulannya sa-ngat menarik. Sebagian besar peserta jeblok pada soal-soal yang termasuk dalam kategori analisis.
Termasuk untuk matapelajaran Bahasa Indonesia. Hasil itu sejalan dengan kajian terhadap tes masuk PTN yang menyimpulkan bahwa
sebagian peserta jatuh pada soal IPA Terpadu, yang memang memerlukan kemampuan analisis cukup tinggi.

Lalu apa hubungannya dengan tes PISA? Jelas ada hubungannya. PISA membagi kemampuan siswa menjadi enam level:

Level 1 : mengingat kembali apa yang sudah diajarkan.

Level 2 : menjelaskan yang telah dipelajari dengan bahasa sendiri.


Level 3 : menerapkan yang telah dipelajari untuk pemecahan masalah.

Level 4 : mampu mengurai permasalahan untuk diselesaikan dengan metode yang telah dipelajari.

Level 5 : mampu menentukan kesesuaian dan keunggulan metode tertentu dalam menyelesaikan permasalahan.

Level 6 : mampu berpikir abstrak dan merancang metode baru

Level 1 sampai 3 disebut dengan kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking), sedangkan level 4 sampai 6 disebut dengan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) yang mencakup kemampuan analisis, sintesis, evaluasi, dan kreativitas. Jadi,
PISA tidak hanya menguji kemampuan berpikir tingkat rendah tetapi juga berpikir tingkat tinggi. Data terhadap hasil PISA, UN
maupun tes masuk PTN, konsisten menunjukkan kalau kemampuan berpikir tingkat tinggi anak-anak kita lemah. Bila kita mencermati
hasil PISA (tahun 2009), ditemukan bukti bahwa dari 6 level kemampuan yang diuji, hampir semua siswa Indonesia hanya mampu
menguasai pelajaran sampai level 3 saja. Sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang mencapai level 4, 5, dan
6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini adalah pelajaran
yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman.

Lantas mengapa siswa kita sukses menempuh UN? Itu antara lain karena sebagian besar soal-soal UN berkisar pada low order
thinking yaitu menghafal, memahami, dan menerapkan. Hanya sebagian kecil yang masuk level berpikir tingkat tinggi. Kajian
terhadap UN SMA 2009, 2010, dan 2011 tampak sekali mereka sukses pada soal-soal low order thinking tetapi gagal di high order
thinking.

Pertanyaan yang menarik berikutnya adalah mengapa PISA fokus kepada high order thinking sementara UN pada low order thinking?
Tentu hanya perancang PISA dan perancang UN yang dapat menjawabnya. Namun dapat diduga bahwa perancang PISA menerapkan
prinsip pendidikan era teknologi. Di era teknologi yang diperlukan adalah kemampuan problem solving secara kreatif dan untuk itu
diperlukan kemampuan ber-pikir analisis, kritis, dan kreatif.

Sementara kita tampaknya masih terperangkap pada pola pikir mekanistik. Padahal pola kerja mekanistik, walaupun rumit, akan dapat
dikerjakan oleh mesin, sehingga pola itu tidak lagi penting. Lihatlah, soal-soal kita seringkali berupa perhitungan yang rumit dan
memerlukan ketelitian tinggi. Namun itu sebenarnya pekerjaan mekanistik yang dapat diserahkan kepada komputer. Sementara soal-
soal yang bersifat analisis kreatif belum mendapat perhatian yang cukup.

Apakah high order thinking dapat diajarkan pada siswa setingkat SMP? Pertanyaan itu juga pernah mengganggu saya beberapa tahun
lalu. Bukankah menurut Piaget kemampuan berpikir abstrak baru dimulai ketika anak berusia 13 tahun bahkan 15 tahun? Ternyata
bisa. Saat berkunjung ke sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan Belanda saya menyaksikan bahwa siswa SD dapat diajari berpikir
tingkat tinggi. Kepada anak SD Kelas 1 ditunjukkan gitar dan biola. Kepada mereka ditanyakan apa persamaan dan perbedaannya.
Memang sederhana, tetapi anak-anak belajar berpikir analisis dan kritis. Misalnya persamaan biola dan gitar adalah sama-sama punya
senar, sama-sama mengeluarkan suara. Bedanya jumlah senar gitar berbeda dengan jumlah senar biola. Gitar lebih besar dibanding
biola. Dan sebagainya.

Kepada siswa Kelas 4 SD di sana dibagikan bacaan cerita dan selembar kertas yang memiliki dua kolom. Kolom kiri bertuliskan
“Saya tidak paham, karena…..”, sedangkan kolom kanan bertuliskan “Saya tidak setuju, karena…”. Siswa diminta membaca cerita
dan menuliskan bagian mana yang tidak paham dan menyebutkan alasannya. Siswa juga diminta menyebutkan bagian yang tidak
setuju dan menyebutkan alasannya. Sungguh mengagetkan, ternyata anak Kelas 4 dapat mengerjakan dengan baik. Tentu isi cerita
sesuai dengan usia anak SD Kelas 4. Jadi kepada siswa SD dapat diajarkan kemampuan high order thinking.

Semoga Kurikulum 2013 memberi penekanan pengembangan high order thinking, karena itulah kemampuan yang diperlukan di masa
depan. Semoga Kurikulum 2013 dapat mengentas kita dari perangkap paradigma bahwa high order thinking baru dapat diajarkan di
SMA. Semoga UN untuk Kurikulum 2013 memberi porsi cukup untuk berpikir level tinggi, sehingga hasilnya paralel dengan PISA
yang telah menjadi acuan internasional. Dengan begitu peringkat kita pada PISA tidak lagi berada pada nomor buncit.

Oleh Muchlas Samani

Anda mungkin juga menyukai