PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
diadakan gadai (marhun bih), yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan menurut
Ulama Hanafiyah, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai
jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan
mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang.
Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn,
bukan rukunnya.
Sedangkan syarat rahn menurut jumhur ulama sesuai dengan rukunnya yaitu
sebagai berikut
1. Orang yang mengadakan akad (Ar-Rahn dan Murtahin)
Menurt jumhur ulama atau sebagian besar ulama mengatan untuk melakukan
akad gadai baik rahin maupun murtahin harus cakap bertindak hokum ( baligh dan
berkal). Sedangkan menurut imam hanafi baligh dan berakal saja tidak cukup,
karena anak kecil yang mumayiz (dapat membedakan yang baik dan buruk) boleh
melakukan akad rahn dengan syarat sepengetahuan orang tua.
2. Marhun bih
a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtarin,
b.Marhum bih itu boleh dilumasi dengan marhun itu,
c. Marhum bih itu jelas/tetap dan tertentu.
3. Marhun
a. Marhan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhum bih;
b.Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);
c. Marhun itu jelas dan tertentu;
d.Marhun itu milik sah rahin;
e. Marhun tidak terkait dengan hak orang lain
f. Marhun itu merupakan harta yang tidak bertebaran dalam satu tempat.
Dalam melakukan gadai atau rahn kita juga dapat menemui hukum dari akad
tersebut. Pada dasarnya terdapat dua hukum dalam rahn, yaitu Hukum Rahn
Sahih/Rahn Lazim dan Hukum Rahn Fasid. Kelaziman rahn bergantung pada rahin,
bukan murtahin. Rahin tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan
murtahin berhak membatalkannya kapan saja sesuai dengan keinginannya. Selain itu,
menurut pandangan jumhur ulama, gadai baru dipandang sah bila borg (barang yang
dijadikan jaminan) telah diterima oleh murtahin. Sedangkan menurut ulama Malikiyah
5
cukup dengan adanya ijab-qabul kemudian meminta kepada rahin untuk menyerahkan
borg.
Jumhur ulama Fiqih juga telah sepakat bahwa gadai yang dikategorikan tidak
sah dan menyebabkan akad batal atau rusak, yakni tidak adanya dampak hukum pada
borg. Dengan demikian. murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya, Rahin juga
diharuskan meminta kembali borg. Jika murtahin menolak dan borg sampai rusak,
murtahin dipandang atau bisa dikatakan ebagai perampas. Oleh karena itu harus
menggantinya, baik dengan barn yang sama atau dengan sesuatu yang sama nilainya.
Dan jika rahin meningga tapi masih berulang, murtahin lebih berhak atas rahn fasid
tersebut sebagaimana pada ralın sahih.
Pendapat ulama Malikiyah hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiyah,
bahwa jika rahn didasarkan pada akad yang fasiad. Murtahin lebih berhak atas barang
daripada orang-orang yang memiliki piutang lainnya. Adapun jika borg rusak ditangan
murtahin, hukumnya sebagaimana pada rahn sahih. Sedangkan ulama Syafjiyah dan
Hanhaliyah berpendapat bahwa hukum akad rahn fasid sama dengan hukum akad sahih
dalam hal ada atau tidaknya tanggung jawab atas borg. Jika pada akad sahih, murtahin
tidak bertanggung jawab atas borg, apalagi pada akad yang tidak sahih, jika borg
ditangan.
Dalam akad rahn pemerintah Indoneisa menetapkan dasar hukum dari suatu
akad gadai atau rahn ini yang termuat dalam UU No.7 tahun 1992 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No.10 tahun 1998 mengenai pembahasan tentang pokok-
pokok perbankan yang di dalamnya mengatur “Perbankan Syariah memberi peluang
berdirinya lembaga keuangan syariah dengan berbasis bagi hasil”. Selain termuat pada
UU No.7 tahun 1922, pada Undang-Undang No. 9 tahun 1969 pada Pasal 6 memuat
bahwasannya sifat usaha yang dilakukan pegadaian adalah menyediakan pelayanan
maksimal bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan
prinsip pengelolahan perushaan yang ada.
Selain termuat di dalam Undang-Undang, gadai atau pegadaian juga dijelaskan
dalam PP N0 103 tahun 2000. Adapun PP No 103 tahun 2000 ini, mengatur tentang
Perusahaan umum (Perum) Pegadaian. Peraturan ini menjadi salah satu peraturan yang
menguatkan status pegadaian sebagai perusahaan umum dan masuk pada wilayah
BUMN tepatnya di lingkungan Departemen Keuangan RI.
Dalam KUHP juga dijelaskna tentang segala sesuatu yang berekaitan dengan
prinsip, kinerja, konsep dan lain sebagainya dari gadai. Lebih tepatnya pasal KUHP
6
yang membahas pegadaian yaitu pada pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1160 yang berada di buku II KUH Perdata.
Pada pegadaian pemerintah sudah mengatur dan menata regulisai mengenai
pegadaian. Mulai dari sifat, prinsip, kinerja, isi pokok, peraturan, ketetapannya sebagai
salah satu BUMN dan regulasi dari pegadaian. Sedangkan dalam dewan syariah
nasional (DSN) atau bisa disebut sebagai lembaga yang memilik kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk, jasa dan kegiatan bank yang melakukan prinsip
syariah sudah mentapkan fatwa mengenai pegadaian.
Fatwa pertama yang menjelaskan gadai atau rahn dijelaskan pada Fatwa DSN
No. 25/DSN-MUI/III/2002. Fatwa ini menjelaskan bagaimana akad gadai (rahn)
berjalan sesuai dengan syariat islam syariat. Dalam Fatwa DSN No. 26/DSN-
MUI/III/2002 juga menjelaskan tentang rahn. Akan tetapi pada fatwa ini menjelaskan
lebih spesifik mengenai rahn emas.
Selain dari keduan fatwa tersbut, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan Fatwa
No. 68 tahun 2008. Fatwa ini menjelaskan tentang rahn tasjily. Rahn tasjily merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Mu’nah ialah biaya pemeliharaan gadai yang dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari taksiran barang jaminan gadai. Pelaksanaan praktek Rahn di Pegadaian
Syariah menunjukkan adanya perbedaan dari apa yang menjadi patokan bertransaksi
yakni Fatwa DSN MUI dalam transaksi Rahn di pegadaian Syariah. Diantarnya ialah
pelaksanaan mu’nah atau biaya pemeliharaan marhun yang berpedoman berdasarkan
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN/ MUI/III/2002 Tentang Rahn bahwa
dalam poin 4 dijelaskan mengenai Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
Terdapat kesenjangan pelaksanaan Mu’nah (biaya pemeliharaan) berdasarkan
Fatwa Dewan syariah nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
lagi masalah tersebut dengan judul “PENERAPAN MU’NAH (BIAYA
PEMELIHARAAN) MARHUN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG CIPTO
KOTA CIREBON BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
NOMOR: 25/DSN-MUI/III/2002”
7
B. Rumusan Masalah
1. Identfikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas fokus penelitian dalam skripsi ini adalah
terletak pada Penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) Marhun pada Pegadaian
Syariah cabang Cipto Kota Cirebon
2. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan masalah yang berkaitan dengan jenis transaksi
gadai di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon, maka peneliti hanya
membatasi masalah tentang penerapan akad rahn pada transaksi gadai emas yang ada
di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
3. Pertanyaan Penelitiian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ada, maka sebagai bahan
penelitian ada beberapa hal yang difokuskan, antara lain adalah:
a. Bagaimana penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian Syariah
Cabang Cipto Kota Cirebon?
b.Bagaimana pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto
Cirebon?
C. Tujuan Penelitian
Adapun dalam peneelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian
Syariah Cabang Cipto Cirebon;
2. Untuk mengetahui pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional No 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Cirebon.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan latar belakang penelitian diatas sebagaiamana yang telah
dipaparkan oleh penulis, maka penulis berharap akan memberikan manfaat:
1. Bagi Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon
Penelitian ini dapat dijadikan dasar atau acuan bagi Nasabah khususnya nasabah
gadai pada Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon untuk lebih memahami
proses dan cara bertransaksi di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
8
2. Bagi Penulis
Penelitian ini menjadi akhir dari perkulihan peneliti dan menumpahkan segala
pemahamannya dan penalaran ilmiahnya setelah melaksanakan perkuliahan hingga
akhir, serta untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi (SE) pada Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
3. Masyarakat Umum
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi masyarakat untuk memahami
mengenai kesesuaian antara dasar hukum lembaga keuangan syariah dengan
pelaksanaannya di masyarakat.
E. Batasan Istilah
Agar penulisan lebih terarah dan permasalahan yang dihadapi tidak terlalu luas,
maka diperlukan adanya batasan istilah. Adapun batasan istilah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah mengenai Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) Marhun Pada produk
Rahn saja.
F. Penelitian Terdahulu
Pada studi literatur ini, penulis mencantumkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh pihak lain sebagai rujukan dalam mengembangkan materi yang ada
dalam penelitian yang dibuat oleh penulis. Penelitian sebelumnya yang memiliki
korelasi dengan penelitian ini adalah: (ini diurutkan dari yang termuda: 2023-2022-
2021dst)
Penelitian terdahulu yang pertama dilakukan oleh Norliyani Auliya, 2018 (IAIN
Palangkaraya) yang berjudul “Penerapan Akad Rahn Pada Sistem Gadai Syariah Di Pt
Pegadaian Syariah (Persero) Kota Palangka Raya Menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional”. Hasil dari penelitian ini, yaitu penerapan akad rahn di pegdaian syariah Kota
Palangka Raya terhadap tinjauan dari Fatwa Dewan Syariah Nasional sudah berjalan
dengan baik dan sesuai dengan fatwa dewan syariah nasional. Akan tetapi pada untuk
biaya penyimpanan barang Pegadaian Syariah Palangka Raya ini sudah tidak lagi
menggunakan akad ijarah untuk jasa atas penyimpanan barang, melainkan sudah
diganti dengan menggunakan jasa atas pemeliharaan/penjagaan barang yang dikenal
dengan istilah mu’nah yang terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
92/DSN-MUI/IV/2014. Jenis penelitian yaitu kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti
9
G. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
fenomonologi, pendekatan ini didasari atas pandangan dan asumsi bahwa
pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interprestasi. Objek, orang-orang,
situasi dan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai arti dengan sendirinya melainkan
melalui interprestasi mereka.
Penelitian fenomenologi berupaya menjelaskan dan menjelaskan
pengalaman-pengalaman yang dialami seseorang dalam hidupnya, termasuk ketika
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks penelitian
kualitatif, keberadaan suatu fenomena dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang ada dan
muncul dalam kesadaran peneliti, melalui penggunaan metode tertentu dan proses
menjelaskan bagaimana sesuatu itu menjadi jelas dan nyata. Penelitian
fenomenologis berfokus pada menemukan, mempelajari, dan mengkomunikasikan
makna fenomena, peristiwa, dan hubungannya dengan orang biasa dalam situasi
tertentu.
Agar dapat mengetahui fenomena yang terjadi pada akad rahn mengenai
pembayaran mu'nah apakah telah terlaksana sesuai dengan hukum ekonomi islam di
pegadaian syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
2. Jenis Penelitian
Penulis memilih jenis penelitian ini yaitu secara kualitatif. Metode kualitatif
merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah.
Metode penelitian ini sering disebut dengan pencarian alamiah (naturalistic
inquiry) karena mengutamakan pemahaman tentang situasi alamiah partisipan,
lingkungan serta tempatnya. Keadaannya benar-benar berdasarkan atas apa yang
terjadi serta sesuai dengan fakta. Dalam hal ini peneliti ikut berperan serta dan
11
mendalami keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya yang terjadi di tempat tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti tidak akan memanipulasi gejala serta situasi yang ada
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian
yang dilakukan di lapangan atau dalam masyarakat, yang berarti bahwa datanya
diambil atau didapat dari lapangan atau masyarakat.
Meskipun penelitian ini berbasis penelitian lapangan, penulis juga
menggunakan sumber-sumber data kepustakaan dengan memanfaatkan buku-buku,
hasil penelitian, dan internet digunakan untuk menelaah hal-hal yang berkenaan
dengan pembiayaan (mu’nah) dalam akad rahn.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Data penelitian adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden
maupun yang berasal dari dokumen-dokumen, baik dalam bentuk statistik atau
dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden atau
obyek yang diteliti atau ada hubungannya dengan obyek yang diteliti atau data
yang diperoleh berdasarkan pengukuran secara langsung oleh peneliti dari
sumbernya (subyek peneliti).
Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data melalui observasi dan
wawancara kepada pihak Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon yang
memahami langsung tentang penerapan mu’nah dalam akad rahn pada Pegadaian
Syariah cabang Cipto Kota Cirebon dan nasabah yang menggunakan akad rahn
pada Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain dan telah
terdokumentasikan sehingga peneliti tinggal menyalin data tersebut untuk
kepentingan penelitiannya. Dalam penelitian ini adalah berupa dokumen-
dokumen, literatur, jurnal nasional kitab atau buku tentang muamalah serta
informasi lain yang tertulis dan berkaitan dengan penerapan mu’nah dalam akad
rahn.(Sujarweni, 2015)
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, data diartikan sebagai kenyataan yang ada
yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun suatu pendapat,
12
keterangan yang benar, dan keterangan atau bahan yang dipakai untuk penalaran
dan penyelidikan. Jadi yang dimaksud sumber data dari uraian diatas adalah
subyek penelitian dimana data menempel. Sumber data dapat berupa benda,
gerak, manusia, tempat dan sebagainya.
Untuk memperoleh sumber data terdapat 4 klasifikasi mengenai sumber data.
Empat pengelompokan sumberdata tersbut terdiri dari infoman (narasumber),
peristiwa (aktivitas), tempat (lokasi), dokumen atau arsip. Dalam melakukan
penelitian ini peneliti menggunakan 4 klasifikasi dari sumber data.(Subadi, 2006)
4. Teknik Pengumpulan Data,
a. Teknik Observasi
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun
dari berbagai proses dialogis. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk
menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu
dengan panca indera lainnya. Observasi yang dilakukan penulis dalam penelitian
ini yaitu mengamati secara langsung praktik akad rahn khususnya yang
berhubungan dengan praktik pelaksanaan penetapan Mu’nah (Biaya
Pemeliharaan) Marhun di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
b. Teknik Wawsancara
Wawancara adalah proses memperoleh penjelasan untuk mengumpulkan
informasi dengan menggunakan cara tanya jawab bisa dengan cara tatap muka
secara langsung ataupun tanpa tatap muka yaitu melalui media telekomunikasi
antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman.
Dalam hal ini penulis akan melakukan pengumpulan data dengan cara
bertanya secara langsung kepada pihak Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota
Cirebon untuk mendapatkan informasi atau keterangan dan data serta bertanya
kepada pihak nasabah yang menggunakan produk rahn tentang biaya jasa
pemeliharaan (mu'nah) yang ditentukan.
c. Teknik Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data kualitatif sejumlah besar
fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Dalam hal
ini penulis akan mencari dokumen tentang penerapan pembiayaan (mu’nah)
dalam akad rahn Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
13
secara langsung terhadap beberapa aspek perilaku atau fenomena yang menjadi
objek sasarannya.(Arifin, 2014)
7. Uji Validasi Data
Uji validitas dalam penelitian kualitatif dilakukan untuk menunjukkan
kesahihan data dalam penelitian. Hal yang dilakukan yaitu dengan mendapatkan
data yang akurat melalui penyajian gambaran yang jujur tentang pengalaman hidup
subjek penelitian. Dalam validasi data peneliti menggunakan 6 teknik untuk validas
data. Enam teknik validasi tersebut yaitu: triangulasi, menyakan ulang ke
narasumber, penyajian yang kaya dan detail, mengklarifikasi bias penelitian,
memperhatikan waktu, tanya jawab-teman sejawat (peer debriefing).
Teknik triangulate yaitu menggunakan beberapa sumber informasi untuk
membangun suatu justifikasi tertentu. Sebagai contoh, data yang didapatkan
peneliti melalui wawancara perlu diuji kebenarannya dengan sumber sekunder
seperti berita, laporan lembaga, atau sumber lainnya. Di riset kualitatif, triangulasi
merupakan strategi paling umum dan mendasar untuk dilakukan dalam upaya
menguji validitas data. Pada metode ini penulis melakukan wawancara kepada
narasumber. Setelah melakukan wawancara peneliti menyocokan hasil wawancara
dengan beberapa jurnal dan media.
Selanjutnya metode yang kedua yaitu menanyakan ulang ke narasumber. Pada
metode ini penulis membawa deskripsi spesifik kepada narasumber dan
menanyakan apakah mereka merasa bahwa deskripsi tersebut akurat. Selain itu,
peneliti juga bisa melakukan wawancara tindak lanjut (follow-up interview) dan
memberikan mereka kesempatan untuk memberikan komentar pada temuan data.
Pada metode ketiga yakni penulis menyajikan dan menulis hasil temuan dari
berbagai perspektif agar analisis data bersifat kaya dan penjelasan dapat dilakukan
secara detail, Hal ini dilakukan agar laporan penelitian memiliki validitas yang baik.
Untuk metode mengkalrifikasi bias penelitian penulis memuat penjelasan
tentang bagaimana latar belakang peneliti seperti identitas gender, budaya, sejarah,
atau status sosial dan ekonomi yang berpotensi memengaruhi interpretasi atas
temuan data dalam penelitian. Hal ini dilakukan penulis untuk disclaimer sebagai
bagian dari tanggung jawab etik metodologis seorang peneliti kualitatif.
Metode selanjutnya yaitu memperhatikan waktu. Pada saat
melakukanpenelitian, penulis banyak menghabiskan waktu bersama narasumber.
Pada hal ini peneliti menghabiskan waktu secara kuantitas dan kualitas dengan
15
H. Sistematika Pembahasan
Penulis Menyusun Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing
bab terdiri dari beberapa sub bab yang tersusun secara sistematis diantaranya ialah:
Pada bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, kajian pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Kemudian pada bab yang kedua memaparkan tentang kajian pustaka yang
berasal dari tinjauan pustaka yaitu penelusuran dari penelitian terdahulu, landasan teori
yang berisi tentang definisi rahn, mu’nah, dan marhun.
Pada bab yang ketiga menjelaskan mengenai profil Pegadaian Syariah Cabang
Cipto, visi & misi Pegadaian Syariah Cabang Cipto, serta permasalahan yang meliputi
objek dan subjek penelitian, jenis penelitian, jenis data, metode pengumpulan data,
metode pengabsahan data, populasi dan sampel, teknik penarikan sampel dan metode
analisis data.
16
Selanjutnya pada bab yang keempat peneliti ini akan membahas tentang
penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota
Cirebon, serta pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Cirebon.
Untuk bab terakhir atau bab penutup ini berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan dan saran dari hasil temuan penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pegadaian Syariah
17
18
produktif tertentu agar dapat memberikan keuntungan bagi perum pengadaian. Secara
umum, sumber dana pegadaian syariah berasal dari modal sendiri, pinjaman jangka
pendek, penerbitan obligasi.
Modal sendiri yang dimiliki oleh perum pegadaian berasal dari modal awal,
penyertaan dari pemerintah, dan laba ditahan yang berasal dari akumulasi laba sejak
masa pemerintahan hindia belanda.sumber dana pinjaman jangka pendek ini berasal
dari perbankan dan pihak lainnya. Pinjaman dari perbankan merupakan sumber dana
yang paling dominan dibandingkan dengan sumber dana lainnya. Adapun pinjaman
dari pihak lainnya berasal dari pendapatan diterima dimuka, biaya yang masih harus
dibayar, dan lainnya. Sedangkan sumber dana yang terakhir yaitu penerbitan obligasi,
obligasi atau instrumen surat hutang. Obligasi ini diterbitkan dengan tujuan
menghimpun dana dari masyarakat. Atas obligasi yang dibelinya, masyarakat
memperoleh imbalan berupa bunga.
Dalam penggunaan dana pegadaian syariah menggunakan beberpa kegiatan
yaitu uang kas, jasa pembiayaan, operasional perusahaan, pembelian aktiva
tetap.penggunaan dana yang pertama uang kas. Uang kas ini merupakan dana likuid
yang harus selalu tersedia untuk memenhi kewajiban yang harus segera dibayar.
Kewajiban ini berupa pengeluaran untuk jasa pembiayaan, biaya pajak, biaya
operasional, investasi dan biaya-biaya lainnya.
Penggunaan dana yang kedua di pegadaian syariah yaitu jasa pembiayaan. Jasa
pembiayaan merupakan aktivitas utama perum pegadaian yang akan memberikan
pendapatan yang paling dominan. Penggunaan dana terbesar di pegadaian pegadaian
adalah untuk aktivitas ini. Pendapatan yang diterima adalah berupa bunga dan biaya
administratif lainnya. Penggunaan dana yang ketiga yaitu operasional perusahaan.
Kegiatan operasional perusahaan pada perum pegadaian adalah berupa pembayaran
upah penggawai, perawatan barang bergerak, dan lainnya.
Pembelian aktiva tetap ditunjukkan untuk menunjang aktivitas usaha dari
pegadaian syariah. Aktiva tetap umumnya berupa kantor, gudang penyimpanan barang,
peralatan,kendaraan, dan lainnya. Untuk penggunaan dana yang terakhir yaitu
pegadaian syariah melakukan investasi. Investasi dilakukan pada dana-dana yang
tidak dapat tersalurkan kemasyarakat. Kelebihan dana ini belum diperlukan oleh
masyarakat dalam jangka pendek, sehingga perum pegadaian memanfaatkannya untuk
pembelian instrumen investasi jangka pendek yang diharapkan dapat memberikan
keuntungan.
20
telah diserahkan untung melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Al-rahn (artinya lughat) dalam bahasa Arab berarti al-thubia wa al-dawam
(tetap dan abadi). Sebagian ulama mendefinisikan ar-rahn sebagai al-habs
(pengekangan). Sementara itu, al-Rahn mengartikan istilah sebagai jaminan yang
memegang suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan hukum Islam
sebagai utang sehingga seluruh atau sebagian benda itu dapat diperoleh kembali.
Dapat juga diartikan sebagai pinjaman dengan cara menyerahkan suatu barang,
dengan batas waktu (jika tidak ditebus dalam batas waktu tersebut, maka barang
tersebut menjadi milik pemberi pinjaman).
Menurut Imam Ibnu Mandur, kata rahn diartikan sebagai segala sesuatu
yang diberikan sebagai jaminan untuk kepentingan benda yang dijadikan jaminan
tersebut. “Ulama Marhab Maliki mengartikan “rahn” sebagai harta yang digunakan
pemiliknya sebagai jaminan atas pengikatan utang. ulama mazhab hanafi
mendefinisikannya dengan menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut. Baik seluruhnya
maupun sebagiannya ulama syafi dan hambali dalam mengartikan rafın dalam arti
akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang yg berhutang tidak bisa membayar utang.
Menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshari dalam bukunya “Fathul Wahab”,
pengertian al-rahn adalah suatu amanah yang didalamnya barang/barang yang
bersifat harta benda dijadikan sebagai utang, dan apabila utang itu tidak dilunasi,
maka akan timbul utang. dapat dilunasi keluar dari properti. Menurut Imam Ibnu
Qudhamah dalam Kitb al-Mughni, apabila debitur tidak mampu melunasi hutang
dari debitur, maka dapat dijadikan amanah untuk melunasi hutang tersebut dari
harga.
Sedangkan menurut pengertian al-rahn menurut Imam Taqiyyudin Abu
Bakar Al-Husaini dalam bukunya “Kifayatul Ahyar fii Halli ghayati al-ikhtisar”,
diyakini bahwa al-rahn adalah akad atau perjanjian utang piutang yang memberikan
hak kepada pemberi pinjaman untuk menjual barang yang digadaikan pada saat
penegasan hak, dengan menitipkan barang itu atau dengan memaksakan hutang.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rahn adalah
menahan harta si peminjam barang sebagai jaminan yang diterimanya, atau akad
22
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Ayat tersebut memiliki tafsiran tafsir tahlili sebagai berikut Ayat ini
menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai, yang
dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak
ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang
tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang.
Kecuali jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada
Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.
Ayat ini tidak menetapkan bahwa jaminan itu hanya boleh dilakukan dengan syarat
dalam perjalanan, muamalah tidak dengan tunai, dan tidak ada juru tulis. Tetapi
ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan
muamalah dengan memakai jaminan. Dalam situasi yang lain, boleh juga memakai
jaminan sesuai dengan hadis yang diriwayatkan al-Bukhari bahwa Nabi
Muhammad saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di
Medinah. Pada ayat yang lalu Allah memperingatkan bahwa manusia jangan
enggan menjadi juru tulis atau memberikan persaksian bila diminta. Kemudian pada
ayat ini Allah menegaskan kembali agar jangan menyembunyikan kesaksian.
Penegasan yang demikian mengisyaratkan bahwa penulisan dan kesaksian itu
menolong manusia dalam menjaga hartanya, dan jangan lengah melakukan
keduanya. Demikian pula pemilik harta tidak disusahkan karena meminjamkan
hartanya, dan tidak dibayar pada waktunya. Dengan keterangan di atas bukan berarti
bahwa semua perjanjian muamalah wajib ditulis oleh juru tulis dan disaksikan oleh
saksi-saksi, tetapi maksudnya agar kaum Muslimin selalu memperhatikan dan
meneliti muamalah yang akan dilakukannya. Bila muamalah itu muamalah yang
biasa dilakukan setiap hari, seperti jual beli yang dilakukan di pasar dan tidak
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari serta dilandasi rasa
24
saling mempercayai, maka muamalah yang demikian tidak perlu ditulis dan
disaksikan. Sebaliknya bila muamalah itu diduga akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari, maka muamalah itu wajib ditulis dan disaksikan
oleh dua orang saksi.
Sedangkan dalam tafsir wajiz, tafsiran dari ayat ini yaitu sebagai berikut
Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang
dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan
tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat
menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang
sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya, utang atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima
amanat tersebut bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para
saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni jangan mengurangi,
melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh
pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun
yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.(kementrian
Agama RI, n.d.)
Selannjutnya landasan hukum dari akad rahn ini juga dijelaskan oleh
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari A’isyah berkata:
ُ علَ ْي ِه
ُغ ْر ُمه َ غ ْن ُنهُ َو ْ احبِ ِه الَّى
ُ ُ لَه،ُِي َر َهنَه ِ ص َّ َلَ يُ ْغلَق.
َ الر ْه ُن ِم ْن
25
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yangmenggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah)
tidak diberikan maka murtahin dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa
rahin melunasi utangnya.
6. Hikmah Gadai Kepada Masyarakat
Hikmah disyariatkannya gadai seperti yang telah dijelaskan oleh Ahmad
Wardi Muslich bahwa hikmah gadai adalah suatu keadaan setiap orang yang
berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap
jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk
menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia
pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan
uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia
mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara
berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia
meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadaisebagai
jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Sohari Sahrani dan
Ruf’ah Abdullah, bahwa Allah telah menetapkan ar-rahn (gadai) untuk
kemaslahatan gadai (rahin), debitur (murtahin) dan masyarakat. Bagi Racine,
keuntungannya adalah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini tentu saja
membuatnya bisa keluar dari krisis, menghilangkan kegelisahan di hatinya, dan
terkadang menggunakan modal tersebut untuk berdagang, itulah sebabnya ia
menjadi kaya. Sedangkan bagi murtahin (debitur) akan merasa tenang dan merasa
terjamin haknya serta mendapat manfaat syariah. Jika dia mempunyai niat yang
baik, maka dia akan diberi pahala oleh Allah. Adapun manfaat kembali ke
masyarakat adalah memperluas perdagangan dan meningkatkan rasa saling
mencintai antar umat manusia, karena didalamnya termasuk saling kebaikan dan
kesalehan. Ada manfaatnya dalam menyelesaikan krisis, mengurangi permusuhan
dan memperluas kekuasaan.
Dari penjelasan diatas hikmah disyariatkannya gadai itu disamping dapat
memberikan pemanfaatan atas barang yang digadaikan juga disisi lain dapat
memberikan keamanan bagi rahin dan murtahin, bahwa dananya tidak akan hilang
jika dari pihak rahin ingkar janji untuk membayar utangnya karena ada suatu aset
atau barang yang dipegang oleh pihak murtahin. Dari sisi peminjamatau rahin dapat
memanfaatkan dana pinjamanya untuk usaha secara maksimal sehingga membantu
30
C. Akad Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Ijarah secara bahasa berasal dari kata al-ajruyang berarti al-‘iwadhu (ganti).
Ijarah adalah suatu transaksi sewa menyewa antara pihak penyewa dengan yang
mempersewakan sesuatu harta atau barang untuk mengambil manfaatnya dengan
harga tertentu dan dalam waktu tertentu. Secara istilah ijarah ialah urusan sewa
menyewa yang jelas manfaat dan tujuannya, dan dapat diserah terimakan, boleh
dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).
Adapun pengertian istilah, menurut 4 imam besar terdapat perbedaan.
Menurut Hanafiah “ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalanberupa harta.
Menurut Malikiyah “ijarah adalah suatu akad yang memberikanhak milikatas
manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu denganimbalan yang bukan
berasal dari manfaat. Menurut Syafi’iyah “definisi akad ijarah adalah suatu akad
atas manfaatyang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan
denganimbalan tertentu.Menurut Hanabilah “ijarah adalah suatu akad atas manfaat
yang bisa sah dengan lafal ijarah dengan kara’ dan semacamnya”.
2. Dasar Hukum Ijarah
Dalam akad ijarah tentunya terdapat beberapa landasan hukum untuk dalam
melaksanakan akad ijarah. Landasan atau dasar hukum tersebut termuat dalam Al-
Quran Surat al-Baqoroh ayat 233, Surat al-Qashos ayat 26. Selain termuat dalam
beberapa ayat Al-Quran, akad ijarah ini juga dijelaskan pada beberapa hadits nabi
dan qowaidul fiqih. Untuk penjelasan dari landasan-landasan hukum tersbut, kita
bisa lihat penjelasan berikut ini.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
ضا َعةَ ۗ َو َعلَى ْال َن ْولُ ْو ِد لَهٗ ِر ْزقُ ُه َّن َ الر َّ َاملَي ِْن ِل َن ْن ا َ َرادَ ا َ ْن يُّ ِت َّم
ِ ض ْعنَ ا َ ْو ََلدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك ِ َو ْال َوا ِل ٰدتُ ي ُْر
ث ِمثْ ُلِ ض ۤا َّر َوا ِلدَة ٌ ۢبِ َو َل ِدهَا َو ََل َم ْولُ ْود ٌ لَّهٗ بِ َولَد ِٖه َو َعلَى ْال َو ِار َ ُ س ا ََِّل ُو ْسعَ َها ۚ ََل ت ٌ ف َن ْف ِ ۗ َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِ ْال َن ْع ُر ْو
ُ َّف ََل تُكَل
ِ َاو ٍر َف َال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َنا َۗوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم ا َ ْن ت َ ْست َْر
ضعُ ْٓٗوا اَ ْو ََلدَ ُك ْم فَ َال ُ اض ِم ْن ُه َنا َوتَش ٍ ص ًاَل َع ْن ت ََر َ ِٰذلِكَ ۚ َفا ِْن ا َ َرادَا ف
صي ٌْر ِ ۗ سلَّ ْنت ُ ْم َّما ٓٗ ٰات َ ْيت ُ ْم بِ ْال َن ْع ُر ْو
ِ َف َواتَّقُوا اللّٰهَ َوا ْعلَ ُن ْٓٗوا ا َ َّن اللّٰهَ بِ َنا تَ ْع َنلُ ْونَ ب َ ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم اِذَا
anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut kementrian agama Saudi Arabia membrikan tafsir dari
ayat tersebut. Yang mana tafsir tersebut yaitu sebagai berikut: Dan menjadi
kewajiban pada ibu untuk menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh
bagi ibu yang berniat menyempurnakan proses penyusuan, dan menjadi kewajiban
para ayah untuk menjamin kebutuhan pangan dan sandang wanita-wanita menyusui
yang telah dicerai dengan cara-cara yang patut sesuai syariat dan kebiasaan
setempat. Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Dan kedua orang tua tidak boleh menjadikan anak yang terlahir
sebagai jalan untuk saling menyakiti antara mereka berdua, dan menjadi kewajiban
ahli waris setelah kematian ayah seperti apa yang menjadi kewajiban sang ayah
sebelum kematiannya dalam hal pemenuhan kebutuhan nafkah dan sandang. Maka
apabila kedua orang tua berkeinginan menyapih bayi sebelum dua tahun maka tidak
ada dosa atas mereka berdua bila mereka telah saling menerima dan bermusyawarah
dalam urusan tersebut, agar mereka berdua dapat mencapai hal-hal yang menjadi
kemaslahatan si bayi. Dan apabila kedua orang tua sepakat untuk menyusukan bayi
yang terlahir kepada wanita lain yang menyusui selain ibunya, maka tidak ada dosa
atas keduanya, apabila ayah telah menyerahkan untuk Ibu apa yang berhak dia
dapatkan dan memberikan upah bagi perempuan yang menyusui dengan kadar yang
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan orang-orang. Dan takutlah
kepada Allah dalam seluruh keadaan kalian dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan dan akan memberikan balasan
kepada kalian atas perbuatan tersebut.
ۖ َاملَي ِْن
ِ ( َح ْولَي ِْن كselama dua tahun penuh)
Yakni dua tahun penuh secara pasti dan bukan kira-kira, dan tidak ada
persusuan setelah dua tahun.
ۚ َضا َعة َّ ( ِل َن ْن أَ َرادَ أَن يُتِ َّمyaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan)
َ الر
Yakni menyusui selama dua tahun bukanlah keharusan melainkan itu adalah
batas sempurna. Dan dibolehkan kurang dari itu apabila kedua orang tua meridhai.
( َو َعلَى ْال َن ْولُو ِد لَهۥ ُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّنDan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu)
Yakni atas ayah yang telah diberi anak kewajiban untuk memberi makan
dan pakaian bagi ibu anaknya yang telah menyusui. Oleh sebab itulah seorang anak
dinisbahkan kepada ayaknya dan bukan kepada ibunya, seakan-akan para ibu hanya
melahirkan anak para ayah. Dan hukum memberi makan dan pakaian ini jika sang
ibu telah dicerai, dan jika bukan ibu yang dicerai maka memberi nafkah dan pakaian
ini merupakan kewajiban atas ayah meski sang ibu tidak menyusui anaknya.
ۚ س ِإ ََّل ُو ْس َع َها ُ َّ( ََل ت ُ َكلSeseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
ٌ ف نَ ْف
kesanggupannya)
Yakni seorang wanita tidak dibebani untuk bersabar atas nafkah yang
sedikit, dan tidak pula seorang ayah dibebani nafkah yang besar yang tidak ia
sanggupi, akan tetapi harus memperhatikan keadilan atas keduanya.
Yakni seorang ibu tidak boleh menyengsaran ayah disebabkan anak dengan
meminta kepadanya nafkah makan dan pakaian yang tidak ia sanggupi, dan tidak
boleh pula ayah menyengsarakan seorang ibu dengan melalaikan kewajibannya
atau mengambil anaknya dari ibu tanpa alasan.
Yakni apabila ayah tadi meninggal maka ahli waris atas anak ini
berkewajiban untuk memberi upah menyusui kepada sang ibu, sebagaimana yang
dilakukan sang ayah sebelum meninggal. Dan pendapat lain mengatakan yang
dimaksud dengan ahli waris disini adalah ahli waris ayah, yang berkewajiban untuk
memberi nafkah dan pakaian bagi yang menyusui dengan cara yang baik. Dan
diharamkan bagi yang memberi nafkah ini untuk memberi kemadharatan kepada
sang ibu sebagaimana dulu diharamkan atas sang ayah.
ص ًاَل
َ ِ( فmenyapih)
اض ِم ْن ُه َنا
ٍ ( َعن ت ََرdengan kerelaan keduanya)
Yakni atas dasar kerelaan dari kedua orangtua. Maka apabila salah seorang
dari keduanya ingin menyapih anaknya maka ia harus meminta kerelaan orang
satunya dan bermusyawarah dengannya sampai keduanya bersepakat demi
kebaikan anak.
Yakni hal itu tidak mengapa jika meminta agar yang menyusui anak adalah
wanita lain selain ibu si anak asalkan kalian memberi upah kepada ibu si anak sesuai
dengan lamanya waktu menyusui, atau memberi upah kepada yang kamu mintai
agar menyusui anakmu.
Dan dibolehkannya meminta agar si anak disusui oleh orang lain jika tidak
memberikan madharat kepada sang ibu sebagaimana dijelaskan diawal ayat ini.
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.""
Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi
s.a.w. bersabda:
Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
Kaidah fiqh:
37
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
َ ب ْال َن
ِصا ِلح ِ دَ ْر ُء ْال َنفَا ِس ِد ُمقَدَّ ٌم َعلَى َج ْل
akad (ma’qud ‘alaih) yaitu manfaat harus jelas, dan bolehdimanfaatkan menurut
pandangan syara’, sehingga tidakmenimbulkan perselisihan. Sedangkan syarat syah
yang ketiga yaitu objek manfaat, penjelasan objek manfaat bisa dengan
mengetahuibendayang disewakan.
5. Macam-macam akad iajarah
Apabila dilihat dari segi objeknya, fuqaha membagi akad ijarah menjadi dua
macam yaitu yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan (jasa). Akad ijarah yang
bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah,
toko,tanah,kendaraan,pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat tersebut merupakan
manfaat yang dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan, maka fuqaha sepakat
menyatakan kebolehannya untuk dijadikan objek sewa.
Dalam kasus sewa atas tanah ada dua prinsip yang mendasarinya yaitu:
Keadilan dan hemurahan Hati, yang merupakan penentu dasar dari sewa atas tanah.
Kata “keadilan” yang dimaksud adalah sewa dibebankan kepada petani penggarap
sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sehingga mereka merasa
gembira dan puas, hal ini menjadi faktor pendorong bagi pekerja untuk bekerja
sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka.Sedangkan
maksud dari kata “kemurahan hati” adalah bahwa sewa yang hanya akan dipungut
ketika yang mereka hasilkan melebihidi atas kebutuhan mereka.
Akad ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut fuqaha
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas, seperti buruh bangunan, tukang
jahit, buruh pabrik dan lain sebagainya.(Nasrun, 2000)
6. Perbedaan ijarah dengan bunga
Dari sudut pandang hukum Islam, membayar sewa tampaknya tidak
bertentangan dengan etika ekonomi Islam, karena terdapat perbedaan yang
signifikan antara sewa dan bunga. Namun sekilas sewa dan bunga tampak sama,
karena sewa dikatakan sebagai tanah atau harta benda, sedangkan bunga adalah
modal, dan modal mempunyai potensi untuk diubah menjadi harta atau kekayaan
apa pun. Meskipun sekilas terdapat kesamaan, perdagangan dan keuntungan dalam
kedua kasus tersebut berbeda secara signifikan dalam beberapa aspek.
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif dan efisiensi perusahaan. Itu terjadi
setelah proses penciptaan nilai tertentu. Karena pemilik properti atau aset tetap
terlibat dan berkepentingan dengan segala penggunaan oleh pengguna. Tidak
39
demikian halnya dengan bunga, karena setelah pinjaman diperoleh dan bunga
dijamin, pemberi pinjaman tidak lagi mempunyai kepentingan dalam penggunaan
pinjaman tersebut.
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses
menciptakan nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan
merubahnya menjadi milik atau kekayaan. Oleh karena itu, unsur kewirausahaan
tetap jelas dan aktif dalam produksi barang dan jasa. Pada saat yang sama, minat
dapat memperlambat proses penciptaan nilai. Unsur kewirausahaan hilang sama
sekali karena pemberi pinjaman tetap tidak tertarik dalam memanfaatkan pinjaman
tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan sewa, pola, skala dan efisiensi produk
ditentukan oleh pemilik modal sendiri. Karena sebatas penggunaannya yang jelas
dan terarah. Pada saat yang sama, dalam hal kepentingan, pemilik sebenarnya
tampaknya tidak tertarik dengan penggunaan modal secara ekonomi, sehingga
potensi penyalahgunaan modal tinggi.
Keempat, karena dalam hal sewa banyak faktor kerugiannya, maka
penggunaan modal oleh pemilik untuk memperoleh sewa tidak akan menyebabkan
munculnya golongan pemalas dalam masyarakat, dan faktor kerugian sama sekali
tidak ada dalam hal ini. Bunga bisa menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin kaya.(Mannan, 1992) Dengan demikian dalam sewa-menyewa
tidak terdapat unsur eksploitasi sebagaimana terjadi dalam bunga. Karena itu dalam
sewa menyewa dimensi insaninya lebih dominan dibandingkan dengan dimensi
ilahinya.(Jamaa, 2011) Sebab sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh muamalah
berkaitan erat dengan kepentingan manusia.
7. Sifat dari akad ijarah
Fuqaha berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendapat akad ijarah bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur (halangan)
dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak meninggal dunia atau
kehilangan kecakapan dalam bertindak hukum. Jumhur fuqaha yang berpendapat
bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada kecacatan yang menyebabkan
barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.(Hilal, 2013)
8. Prinsip-prinsip akad ijarah
40
Skema Ijarah
Nasabah
IJARAH
42
1. Pengertian Mu’nah
Mu’nah merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan suatu
barang investasi agar terus berfungsi. Menurut ulama Hanafiyyah biaya jasa
pemeliharaan (mu'nah) ditanggung oleh rahin sebagai pemilik barang gadai dan
oleh murtahin sebagai orang yang bertanggung jawab menjaganya. Seluruh biaya
yang dibutuhkan untuk kemaslahatan barang gadai (marhun) ditanggung oleh rahin,
karena barang tersebut miliknya dan segala biaya untuk memelihara barang gadai
ditanggung oleh murtahin, dikarenakan dia menahan barang gadai (marhun) maka
dia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan marhun. Dalam hal ini
srahin bertanggung jawab untuk menyediakan biaya makan, minum, dan
penggembalaan apabila barang jaminannya berupa hewan ternak. Kemudian rahin
bertanggung jawab membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan, dan
cukai apabila marhun berupa tanah. Semua itu merupakan biaya yang harus
ditanggung oleh rahin. Rahin tidak dapat mengambil biaya jasa pemeliharaan
(mu'nah) marhun dari hasil marhun kecuali atas izin murtahin dikarenakan barang
gadai (marhun) semuanya berhubungan dengan hak murtahin.
Rahin bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya menjaga dan
tempat pemeliharaan, seperti biaya kandang, biaya tempat simpanan karena biaya
pemeliharaan barang gadai (marhun) adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan
tanggung jawab tersebut, rahin tidak boleh mensyaratkan dalam akad rahn bahwa
pembayaran biaya harus kepadanya, karena pemeliharaan barang gadai (marhun)
adalah kewajibannya.59 Kemudian menurut ulama Malikiyyah, Hanabillah, dan
Syafi'iyah semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan dengan
barang gadai (marhun) harus ditanggung oleh rahin.
Masing-masing yang berakad rahn, yakni rahin (pemberi gadai) dan murtahin
(penerima gadai) memiliki kebebasan dalam menentukan syarat-syarat seperti
penentuan batas waktu pembayaran pinjaman (marhun bih) dan biaya
simpanan/titipan yang dalam akad rahn ini hanya mengikat salah satu pihak yang
berakad, yaitu pemberi gadai (rahin). Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabillah
selama tidak ada larangan dalam Al-Qur'an dan hadits, sedangkan menurut ulama
43
عةَ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َن ْولُو ِد لَهۥ ُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن َ ضا َ لر َّ َاملَي ِْن ۖ ِل َن ْن أ َ َرادَ أَن يُتِ َّم ٱ ِ ض ْعنَ أ َ ْو ٰلَدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك ِ َوٱ ْل ٰ َو ِل ٰدَتُ ي ُْر
ث ِمثْ ُل ٰذَلِكَ ۗ فَإ ِ ْن ِ ضا ٓٗ َّر ٰ َو ِلدَ ۢة ٌ ِب َولَ ِد َها َو ََل َم ْولُودٌ لَّهۥ ُ ِب َولَ ِد ِهۦ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َو ِار
َ ُ س ِإ ََّل ُو ْس َع َها ۚ ََل ت
ٌ ف نَ ْف ِ ِبٱ ْل َن ْع ُر
ُ َّوف ۚ ََل ت ُ َكل
ضعُ ٓٗو ۟ا أ َ ْو ٰلَدَ ُك ْم فَ َال ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم إِذَا
ِ َاو ٍر فَ َال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َنا ۗ َوإِ ْن أ َ َردتُّ ْم أَن ت َ ْست َْر ُ اض ِم ْن ُه َنا َوتَش ٍ ص ًاَل َعن ت ََر َ ِأ َ َرادَا ف
ير
ٌ صِ َوا ٱللَّهَ َوٱ ْعلَ ُن ٓٗو ۟ا أ َ َّن ٱللَّهَ بِ َنا ت َ ْع َنلُونَ ب
۟ ُوف ۗ َوٱتَّق
ِ سلَّ ْنت ُم َّما ٓٗ َءاتَ ْيتُم بِٱ ْل َن ْع ُر
َ
Ayat tersebut mempunyai arti yaitu sebagai berikut “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Untuk kandungan terkait dengan surat Al Baqoroh ayat 233 tersebut ada
beberpa ulama yang menafsirkan salah satunya yaitu dari kementrian agama Saudi
Arabiya atau yang bisa disebut dengan tafsir Al-Muyassar. Berikut ini merupakan
tafsir al-muyassar: Dan menjadi kewajiban pada ibu untuk menyusui anak-anak
mereka selama dua tahun penuh bagi ibu yang berniat menyempurnakan proses
penyusuan, dan menjadi kewajiban para ayah untuk menjamin kebutuhan pangan
dan sandang wanita-wanita menyusui yang telah dicerai dengan cara-cara yang
patut sesuai syariat dan kebiasaan setempat. Sesungguhnya Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kedua orang tua tidak boleh
menjadikan anak yang terlahir sebagai jalan untuk saling menyakiti antara mereka
berdua, dan menjadi kewajiban ahli waris setelah kematian ayah seperti apa yang
menjadi kewajiban sang ayah sebelum kematiannya dalam hal pemenuhan
kebutuhan nafkah dan sandang. Maka apabila kedua orang tua berkeinginan
menyapih bayi sebelum dua tahun maka tidak ada dosa atas mereka berdua bila
mereka telah saling menerima dan bermusyawarah dalam urusan tersebut, agar
mereka berdua dapat mencapai hal-hal yang menjadi kemaslahatan si bayi. Dan
apabila kedua orang tua sepakat untuk menyusukan bayi yang terlahir kepada
wanita lain yang menyusui selain ibunya, maka tidak ada dosa atas keduanya,
apabila ayah telah menyerahkan untuk Ibu apa yang berhak dia dapatkan dan
45
memberikan upah bagi perempuan yang menyusui dengan kadar yang sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan orang-orang. Dan takutlah kepada Allah
dalam seluruh keadaan kalian dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan dan akan memberikan balasan kepada kalian
atas perbuatan tersebut.
Selain dari Al-Quran ada juga hadits nabi yang meriwayatkan mengenai
pengadaan barang jaminan atau marhun ini. Hadits nabi tersebut berbunyi
ُ علَ ْي ِه
ُ غ ْر ُمه َ غ ْن ُمهُ َو ْ صاحِ ِب ِه الَّ ِذ
ُ ُ ي َر ِهنَهُ لَه َّ الَ َي ْغلَ ُق
َ الر ْهنَ مِ ْن
Adapun makna dari hadits ini yaitu ”pemilik harta yang diagunkan jangan
dilarang memanfaatkan hartanya itu,karena segala hasil barang itu menjadi milik
(pemilik)- nya dan segala kerugian barang itu menjadi tanggung jawab (pemilik)-
nya”(HR IMAM Asy-Syafi’I ad-Daruquthni).
Perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat
tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum hutang sendiri tidaklah
wajib,begitu juga penggantinya,yaitu barang jaminan. Terjadinya hal demikian
dikarenakan tidak percayanya kedua belah pihak.
4. Pemanfaatan Marhun
Pegadaian Syari'ah atau rahn mempunyai persyaratan antara lain: dilakukan
secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keutungan; hak gadai
berlaku pada seluruh harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak; dapat
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, dan tidak ada istilah bunga.
Pemanfaatan marhun (barang gadaian) dalam Islam tetap merupakan hak rahin
termasuk hasil barang gadaian tersebut, seperti anaknya, buahnya dan bulunya.
Sebab perjanjian dilaksanakan hanyalah untuk menjamin utang dan dipegang oleh
murtahin, bukan untuk mengambil suatu keuntungan. Perbuatan murtahin
memanfaatkan marhun adalah merupakan perbuatan yang melahirkan kemanfaatan,
dan setiap jenis qiral yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai riba.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa marhun tetap berada dalam
penguasaan murtahin, yaitu selama orang yang menggadaikan barang tersebut
belum melunasi utangnya. Bahkan Ibnu Al-Munzir, seperti yang dikutip Sayyid
Sabiq. mengemukakan. "Semua orang yang alim berpendapat bahwa siapa yang
menjaminkan sesuatu dengan harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia
menghendaki mengeluarkan sebagian jaminan. Sesungguhnya yang demikian itu
46
bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi utang
membebaskannya."
Dari beberapa pendapat para ulama tentang pemanfaatan marhun dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu manfaat dari marhun adalah hak dan
manfaat dari marhun adalah hak murtahin. Dari kedua kategori tersebut terdapat
perbedaan dari kalangan ulama. Pendapat yang pertama dipegang oleh Imam
Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad serta merupakan pendapat Jumhur Ulama.
Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu manfaat dari marhun adalah hak murtahin.
Pendapat ini dipegang Imam Hanafi.(Chuzaimah, 1995)
Pada dasarnya semua marhun, baik bergerak maupun tak bergerak, dapat
digadaikan sebagai jaminan dalam gadai syariah. Namun, menurut Basyir yang
marhun harus memenuhi tiga syarat. Tiga syarat marhun tersebut yaitu marhun
harus erupakan benda bernilai menurut hukum syara, marhun sudah ada wujudnya
ketika perjanjian terjadi,marhun mungkin diserahkan seketika kepada
murtahin.(Basyir, 1983)
Adapun dalam pandanga imam Syafi bahwa barang yang dapat digadaikan itu
berupa semua barang yang boleh dijual. Sedangkan menurut pendapat ulama yang
rajih (unggul) bahwa barang-barang tersebut harus memiliki 3 (tiga) syarat.(al-
Husaini et al., 1997) Adapun tiga syarat yang dimaksud dari ulama rajah
yaitumarhun harus berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena
barang nyata itu dapat diserahterimakan secara langsung, barang tersebut menjadi
milik rahin, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat digadaikan, barang
yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kategori marhun dalam
sudut hukum Islam tidak hanya berlaku bagi barang bergerak saja, namun juga
meliputi barang yang tidak bergerak dengan catatan barang tersebut dapat dijual.
Namun, mengingat keterbatasan tempat penyimpanan, keterbatasan SDM di
Pegadaian syariah, perlunya meminimalkan risiko yang ditanggung gadai syariah,
serta memperhatikan peraturan yang berlaku, maka ada barang tertentu yang tidak
dapat digadaikan. Barang yang tidak dapat digadaikan itu, antara lain, surat utang,
surat aksi, surat efek, dan surat-surat berharga lainnya. Kemudian selain dari itu
benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari satu tempat ke
tempat lainnya memerlukan izin juga tidak bisa menjadi barang jaminan (marhun).
Dan yang ketiga yaitu benda yang hanya berharga sementara atau yang harganya
47
naik turun dengan cepat, sehingga sulit ditaksir oleh petugas gadai.(Suhrawardi &
Farid, 2000) Hal ini ada dikarenakan dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Dalam memelihara marhun, tentu saja pihak gadai mempunyai hak dan
kewajiban. Adapun kewajiban pemegang gadai yaitu berhak menahan barang yang
dipertanggungkan selama hutanghutang, bunga dan biaya-biaya yang belum
dilunasi. Bila tidak ada ketentuan lain, pemegang gadai setelah waktu yang
ditentukan telah lampau atau tidak ditetapkan waktunya, setelah mengadakan
somasi, dapat melelang barang yang digadaikan dimuka umum. Pemegang gadai
berhak untuk minta digantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang
gadai untuk menyelamatkan barang yang dipertanggungkannya itu. Pemegang
gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang tanggungannya itu apabila hak sudah
menjadi kebiasaan (seperti halnya penggadaian surat-surat sero dan obligasi).
Apabila hutang-hutang tidak dibayar sepenuhnya, maka pemegang gadai tidak
wajib mengembalikan barang yang dipertanggungkan itu.
Adapun kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang gadai yaitu
bertanggung jawab atas kerugian, apabila karena kesalahannya barang yang
dipertanggungkan menjadi hilang atau kemunduran harga barang tanggungannya.
Kemudian pemegang gadai harus memberitahukan kepada orang yang berhutang
apabila ia hendak menjual atau melelang barang tanggungannya. Kewajiban yang
harus dilakukan pemegang gadai yang terakhir yaitu harus mengembalikan barang
yang dipertanggungkan apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk
menyelamatkan atau perawat barang tanggungan telah dibayar lunas.
48
BAB III
PEGADAIAN SYARIAH CABANG CIPTO KOTA CIREBON
A. Profil Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon
Pegadaian Syariah Cabang Cipto merupakan pegadaian yang berlokasi di Jl. Dr.
cipto mangunkusumo No. 121, Pekiringan, Kesambi, Cirebon, kode pos 45131.
Pegadaian Syariah Cabang Cipto ini dipimpin oleh ibu Ayu Minnatul Ilah SE.
menaungi beberapa pegadaian unit yang berda di 3 wilyah Cirebon. Pegadaian Syariah
Cabang Cipto ini memiliki beberapa unit di bawahnya. Untuk unit pegadaian syariah
yang membawahi pegadaian cabang cipto ini ada 6 unit. Enam unit pegadaian syariah
tersebut yaitu Pegadaian Syariah Unit Pekalipan, Pegadaian Syariah Unit CBC,
Pegadaian Syariah Unit Perjuangan, Pegadaian Syariah Unit Tukmudal, Pegadaian
Syariah Unit Arjawinangun, Pegadaian Syariah Unit Cikijing.
serta petunjuk operasional yang wajib ditaati oleh pemimpin cabang unit layanan gadai
syariah.
Fungsi Manajer Kantor Cabang Unit Layanan Gadai Syariah pusat adalah :
a. Sebagai pimpinan pelaksanaan teknis dari perusahan yangberhubungan langsung
dengan masyarakat. Secara organisatorisManajer Kantor Cabang Unit Layanan
Gadai Syariahbertanggungjawab langsung kepada pimpinan wilayah,
selanjutnyapimpinan wilayah akan melaporkan hasil kegiatan binaannya
kepadaDireksi. Sedangkan Direksi akan membuat kebijakan pengelolaan
UnitLayanan Gadai Syariah dan memberikan respon atau tindak lanjut ataslaporan
pimpinan wilayah dengan di bantu oleh Jendral Manajer usahalain dan manajer Unit
Layanan Gadai Syariah pusat. Dalam melaksanakan fungsi tersebut di atas manajer
kantor cabang mengkordinasi kegiatan pelayanan peminjaman uang menggunakan
prinsip atau akad Rahn (gadai syariah), ijaroh (sewa tempat) untuk penyimpanan
barang jaminan.
b. Membantu kelancaran pelaksanaan tugas dikantor Unit Layanan Gadai Syariah
pimpinan cabang dibantu sejumlah pegawai dengan masing-masing bagian sebagai
berikut :
Penaksir, bertugas menaksir barang jaminan untuk menentukan mutu dan nilai
barang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka mewujudkan
penetapan taksiran dan uang yang wajar seta citra baik perusahaan.
Kasir bertugas melakukan tugas penerimaan, penyimpanan danpembayaran serta
pembelian sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan
operasional kantor cabang unitlayanan gadai syariah.
Bagian gudang bertugas melakukan pemeriksaan, penyimpanan, pemeliharaan,
dan pengeluaran serta pembukuan marhun selain barang kantor sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam rangka ketetapan dan keamanan serta keutuhan
marhun.
52
pemimpin Cabang
Ayu Minatul Ilah SE
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kantor pegdaian syriah cabang cipto
dibantu oleh 6 unit pegdaian syariah yang tersebar di kota Cirebon, kabupaten Cirebon dan
kabupaten majalengka. Untuk lokasi lebih tepatnya dari keenam unit tersebut yaitu Pegadaian
Syariah Unit Pekalipan yang dikelola oleh bapak Fajar S.E. unit yang kedua yaitu pegadaian
Syariah Unit CBCyang dikelola oleh Ibu Nurdiana Sholehah. S.E. kemudia di dekat kampus
kita juga terdapat Pegadaian Syariah Unit Perjuangan yang dikelola oleh ibu Indri S.E. unit
selanjutnya yaitu berada di daerah sumber. Unit ini bernama Pegadaian Syariah Unit
Tukmudalyang dikelola oleh bapak Eman S.E. selanjut masih di daerah kabupaten juga yaitu
di daerah arjawingun terdapat pegadaian Syariah Unit Arjawinangun. Adapun unit ini
dipimpin oleh bapak Asep Supriatno S.E. dan unit yang terakhir yaitu berada di majalengka
yaitu dicikijing. Untuk nama dari unit ini yaitu Pegadaian Syariah Unit Cikijing. Unit ini
dipimpin oleh bapak Iksan S.E. dari beeberapa unit yang telah disebutkan tetap berada di
bawah pengawas serta wilayah pegadaian syariah cabang cipto kota Cirebon.
53
gadai ulang. Kegiatan tersebut merupakan tugas serta kewajiban bagi seorang kasir
pada cabang pegadaian syariah.
Adapun staf yang terakhir pada cabang pegadaian syariah yaitu pengelola
anggunan. Pengelola agunan memiliki tugas yang berbeda dari kasir maupun penaksir
barang. Adapun tugas atau kewajiban dari seorang pengelolal agunan yaitu mengurus
gudang barang jaminan emas dengan baik dan benar sesuai dengan regulasi yang ada.
Selain itu seorang agunan barang harus memeriksa keadaan gedung penyimpanan
baranag jaminan secara berkala. Pengelola agunan ialah orang yang memeiliki
kewajiban untuk menerima, menyimpan, merawat, dan mengeluarkan barang jaminan
tersebut. Dalam hal ini pengelola agunan harus bertanggung untuk barang jaminan agar
tetap terjaga.
Adapun pegawai yang terakhir yaitu keamanan (security). Keamanan atau
security ini memiliki tugas pokok untuk melaksanakan dan mengendalikan ketertiban
serta keamanan di Kantor Cabang. Selain itu security juga harus bertanggung jawab
atas ketertiban serta keamanan di lingkungan Kantor Cabang. Memberikan informasi
kepada nasabah sesuai kebutuhan nasabah juga merupakan tanggung jawab dari
seorang security. Tugas terakhir dari seorang security yang terakhir yaitu mengatur dan
mengawasi keluar masuknya kendaraan di lingkungan Kantor Cabang.
6. Rahn Hasan
Rahn Hasan merupakan fitur dari produk rahn dengan tarif mu’nah
pemeliharaan sebesar 0 persen, dengan tenor 60 hari. Maksimal marhun bih (uang
pinjaman) pada Rahn Hasan sebesar Rp 500.000 dengan jangka waktu 60 hari.
7. Rahn Fleksi
Rahn flexi merupakan fitur dari produk rahn berupa pemberian pinjaman
dengan jaminan barang bergerak sesuai syariah, plafon pinjaman tinggi dan
menggunakan biaya titip harian. Rahn Fleksi bisa diperpanjangan, cicil atau tambah
pinjaman. Uang pinjaman pada layanan ini diterima utuh tanpa biaya administrasi
dengan jangka waktu 10 hari, 30 hari, 60 hari dan minimal 5 hari.
8. Rahn Bisnis
Rahn Bisnis adalah produk Pegadaian Syariah berupa pinjaman dana tunai
kepada pemilik usaha dengan jaminan emas (batangan atau perhiasan). Pinjaman
mulai dari Rp 100 juta sampai lebih dari Rp 1 miliar dengan jangka waktu 4 bulan.
Baca juga: RI Terima Peta Jalan Dekarbonisasi dari UNDP
9. Rahn Tasjily Tanah
Pembiayaan Rahn Tasjily Tanah merupakan pembiayaan yang diberikan
kepada masyarakat berpenghasilan tetap/rutin, pengusaha mikro/kecil dan petani
dengan jaminan sertifikat tanah dan HGB dengan plafon pembiayaan Rp 1 juta
hingga Rp 200 juta.
58
1. Mulia
Mulia merupakan layanan penjualan emas batangan kepada masyarakat
secara tunai atau angsuran dengan proses mudah dan jangka waktu yang fleksibel.
Produk ini dapat menjadi alternatif pilihan investasi yang aman untuk mewujudkan
kebutuhan masa depan, seperti menunaikan ibadah haji, mempersiapkan biaya
pendidikan anak, memiliki rumah idaman serta kendaraan pribadi.
Layanan penjualan emas batangan/mulia hanya dapat menggunakan emas
batanngan sebagai alat transaksi penggadaian. Dalam hal ini emas batangan pada
produk mulia ini tersedia dalam beberapa pilihan dimulai dari berat 5 gram sampai
dengan 1 kilogram.
Adapun prosedur dari layanan penjualan emas batangan/mulia ini terdapat
tiga tahap yaitu pemesanan, pemberian, dan pelunasan mulia. Pada proses yang
pertama yaitu prosedur pemesanan mulia ini, pihak pegadaian harus meneliti
(verifikasi) data-data yang diserahkan nasabah dari segi administrasinya,
kemampuan nasabah untuk membayar uang muka, angsuran, serta mootif tujuan
menggunakan mulia.
Setelah tahap pemesanan selesai, pihak pegaddaian akan melakukan ke
tahapan atau prosedur selanjutnya yaitu prosedur pemberian mulia. Prosedur
pemberian mulia Prosedur untuk pemberian mulia yang dilakukan antara pihak
pegadaian kepada nasabah terdiri dari beberapa aspek penilaian, yaitu menentukan
jumlah pembiayaan mulia, jangka waktu, jumlah unit emas logam mulia dan jumlah
angsurannya. Proses pemberian mulia terbagi menjadi dua, yaitu dalam proses
produk mulia tunai dan proses produk mulia kredit.
Dan tahapan terakhir pada akad mulia ini yaitu tahapa pelunasan mulia.
Pada saat pelunasan mulia, maka dapat dilakukan melalui pembayaran secara
angsuran (cicilan) setiap bulan sampai tanggal jatuh tempo atau dengan pelunasan
secara tunai. Adapun pembayaran yang dilakukan secara angsuran/cicilan, maka
harus ditentukan besarnya angsuran bulanan yang jumlahnya sama pada tanggal
yang ditentukan dalam akad mulia dan menetapkan margin pembayarannya.
59
Sedangkan untuk prosedur pelunasan mulia secara tunai, maka permohonan dari
nasabah dapat langsung diproses dan berhak mendapatkan potongan margin.
2. Tabungan Emas Pegadaian adalah layanan penitipan saldo emas yang
memudahkan masyarakat untuk berinvestasi emas. Produk Tabungan Emas
Pegadaian memungkinkan nasabah melakukan investasi emas secara mudah,
murah, aman dan terpercaya. Biaya administrasi dan pengelolaan pada Tabungan
Emas lebih ringan. Nasabah juga dapat melakukan transfer ke rekening Tabungan
Emas mulai dari 0,1 gram, melakukan pembelian tabungan emas (top Uup) mulai
dari 0,01 gram serta melakukan buyback mulai dari 1 gram.
60
BAB IV
IMPLEMENTASI MU’NAH (BIAYA PEMELIHARAAN) MARHUN DI PEGADAIAN
SYARIAH BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NOMOR:
25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN
A. Akad Gadai Dalam Fatwa DSN-MUI
Secara bahasa, Fiqh berarti ilmu, pengertian, mengetahui baik dan buruk dalam
memahaminya atau memahami maksud dan perkataan pembicara. Sementara itu, pengertian
fiqih menurut istilah ini adalah fiqih secara eksklusif, yang berkisar pada hukum amari
(praktis) yang diambil dari asumsi (rincian) Tafshili. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa fiqh adalah ilmu yang berdasarkan hukum Amalia yang diturunkan oleh para ulama
berdasarkan dalil. (S. Hidayatullah, 2019). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fikih
adalah sebuah ilmu tentang hukum-hukum amaliyah yang disimpulkan para ulama dari dalil-
dalil.
Pada zaman modern ini, umat Islam membutuhkan adanya fatwa. Fatwa merupakan
elemen penting yang berfungsi sebagai menerangkan dan menjelaskan kepada masyarakat
tentang hukumhukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Fatwa menurut
Jumhur Ulama adalah jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga
fatwa merupakan sebuah jawaban atas persoalan yang diajukan oleh masyarakat. Bagi Umat
Islam fatwa tidak saja dipahami sebagai sebuah produk hukum yang harus diketahui, fatwa
suatu pedoman dalam melaksanakan ajaran agama(Nafis, 2011).
Pada tahun 2002 Lembaga Keuangan Syariah (LKS) melihat kebutuhan masyarakat
Indonesia tentang pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang atau biasa
disebut dengan gadai. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merespon kebutuhan masyarakat
tersebut dengan berbagai produknya. Dengan menimbang kebutuhan masyarakat mengenai
gadai, Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan fatwa sebagai landasan tentang rahn, yaitu
menahan barangnya sebagai jaminan pinjaman. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
mengenai rahn tersebut dikeluarkan agar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjalankan
rahn sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Atas pertimbangan tersebut Dewan Syarian
Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn.
61
Dalam fatwa ini menjelaskan tentang hukum, ketentuan umum, dan ketentuan
penutup. Penjelasan pertama mengenai hukum yaitu Bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai
berikut. Mengenai Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah. Mulai dari Murtahin (penerima
barang), Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya;
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin;
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman;
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera
melunasi utangnya;
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah;
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan;
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.
pada angka 1, pada angka 2 mengenai penggunaan Marhun (jaminan yang digadaikan) telah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan fatwa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn,
syariah pegadaian (Murtahin) dan nasabah (Rahin) sama-sama tidak dapat menggunakan
agunan yang digadaikan (Marhun) karena agunan yang digadaikan (Marhun) yang digadaikan
oleh nasabah (Rahin) akan disimpan dalam brankas di Pegadaian Syariah Kota Pinang untuk
menjamin keamanannya. dan kualitas agunan yang digadaikan (Marhun) tersebut.
Ketentuan pada poin 3 telah dijelaskan pada angka 2 bahwa mengenai penyimpanan
agunan yang digadaikan (Marhun) perusahaan (pegadaian syariah) mempunyai hak untuk
menyimpan agunan yang digadaikan (Marhun) namun biaya pemeliharaannya (Mu'nah) tetap
menjadi kewajiban nasabah. (Rahin).
Ketentuan pada poin 4 mengenai biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan besarnya pinjaman, karena Mu'nah merupakan biaya
pemeliharaan gadai yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari taksiran barang jaminan
yang digadaikan. Pengenaan mu'nah melalui perkiraan memenuhi unsur keadilan, barang yang
mempunyai nilai tinggi mempunyai resiko biaya yang lebih tinggi sehingga wajar jika
dikenakan mu'nah yang lebih tinggi. Ketentuan poin 4 dalam fatwa nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, penetapan biaya
pemeliharaan (Mu'nah) pada pegadaian syariah Kota Pinang ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman nasabah. (Rahin).
Ketentuan angka 5 tentang penjualan Marhun (jaminan yang digadaikan) sesuai dengan
ketentuan fatwa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, pegadaian syariah (Murtahin)
akan menghubungi nasabah pada saat pembayaran Mu'nah ( biaya pemeliharaan) telah jatuh
tempo, agunan yang digadaikan akan dilelang apabila tidak ada itikad baik dari nasabah untuk
menebus Marhun (jaminan) yang digadaikan yang digadaikannya, maka hasil pelelangan
agunan yang digadaikan akan digunakan untuk melunasi seluruh biaya yang telah digadaikan.
belum dibayar oleh Rahin (nasabah), apabila ada kelebihannya diserahkan oleh Pegadaian
Syariah (Murtahin) Kota Pinang kepada Rahin (nasabah).
Sedangkan untuk ketentuan penutup atau selesainya dari suatu akad yaitu Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
63
tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Fatwa ini berlaku sejak tanggal 15 rabiul awal 1423
H atau 26 juni 2002 M. Fatwa ini ditetap oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI), bertempat di Jakarta.(MUI, 2016)
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan wawancara terhadap dua orang
nasabah Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon menganai tanggapan mereka
tentangpenerapan mu’nah yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota cirebon.
Wawancara yang pertama kepada Ibu Dian Suswati yang pada saat diwawancarai beliah
berusia 44 tahun. Ibu Dian ini berprofesi sebagai pengacara. Beliau merupakan nasabah setia
dari pegadaian. Karena sebelum adanya pegadaian syariah muncul beliau sudah menjadi
nasabah di pegadaian konvensional. Ketika pegadaian syariah muncul beliau pindah menjadi
nasabah pegadaian syariah. Beliau berpendapat bahwa pegadaian syariah sudah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan fatwa serta peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Beliau
juga yakin bahwa penerapan mu’nah (biaya pemeliharaan) marhun sudah sesuai dengan syariat
islam.
Untuk wawancara yang kedua penulis melakukan wawancara kepada saudara farhan
beliau berusa 21 tahun pada saat melakukan wawancara. Untuk saat ini Farhan berprofesi
sebagai wirausaha. Pada saat yang berbarengan juga dia sedang melakukan pendidikan di
UNSWAGATI dan UNNES. Beliau mengaku menjadi nasabah pegadaian syariah bertujuan
untuk investasi di masa depan yaitu berupa investasi LM (logam mulia). Beliau juga pernah
menjadi nasabah pada pegadaian konvensional. Beliau berpendapat bahwa pada pegadaian
syariah lemih mudah dan lebih direkomendasikan. Karena pada pegadaian syariah sudah
menerapkan prinsip-prinsip syariah. Dan beliau juga mengatakan bahwa penerapan mu’nah
lebih mudah dan ringan biayanya dibandingkan yang lainnya.
Pada wawancara yang terakhir penulis melakukan wawaancara kepada salah satu
pegawai pegadaian syariah cabang cipto. Beliau bernama ibu ????????. Ibu ?????
mengemukakan bahwa besaran biaya pemeliharaan (mu’nah) pada barang jaminan (marhun)
itu terhitung sesuai dengan taksiran barang jaminan (marhun). Dalam hal ini apa yang
dituturkan oleh Ibu ???? sesuai dengan Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III tahun 2002
64
yakni biaya pemeliharaan ditentukan melalu besaran dari taksiran barang yang dijadikan
jaminan. Dengan kata lain pegadaian syariah cabang cipto ini sudah berjalan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ibu ????? juga menyampaikan bahwa dalam penyimpanan jaminan (marhun)
pegadaiaan syariah menerapkan akad ijarah. Hal ini juga berjalan sesuai dengan fatwa dari
dewan syariah nasional nomor 26/DSN-MUI/III tahun 2002 yakni biaya pemeliharaan atau
penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah. Dalam terlaksananya akad ijarah ini,
nasabah berposisi sebagai penyewa atau yang sering disebut dengan mu’jir. Sedangkan pihak
pegadaian berkedudukan sebagai pemberi sewa atau yang biasa disebut musta’jir. Pada
pelaksanaan ijarah ini pegadaian syariah cabang cipto sudah menjalankan fatwa DSN-MUI
No. 26 tahun 2002 mengenai rahn emas.
Salah satu dasar hukum dalam Syariah Islam pada akad gadai yaitu terdapat pada Al
Quran surat Al Baqoroh ayat 283 ini merupakan dasar hokum dari akad rahn. Adapun ayat
tersebut yaitu:
ِ َّ ض ُك ْم َب ْعضًا فَ ْليُؤ َِد الَّىِا اتْ ت ُِننَ اَ َماتَتَ و َو ْل َيت ُ سفَ ٍر َّولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَا ِت ًبا َف ِر ٰهنٌ َّم ْقبُ ْوضَةٌ ۗ َفا ِْن ا َ ِمنَ َب ْع َ ۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى
َ َشهَا َد ۗةَ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْنهَا فَ ِاتَّ و ٓٗ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُ و ۗ َواللّٰ ُ بِ َنا ت َ ْع َنلُ ْون
ࣖ ع ِل ْي ٌم َّ اللّٰ َ َربَّ و ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُنوا ال.
Ayat tersebut memiliki arti: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidakmemperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
Selannjutnya dalam sebuah hadits juga dijelaskan mengenai hukum dari akad rahn.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari A’isyah berkata:
65
Hadits diatas memiliki arti sebagai berikut: bahwa Rasul bersabda: Rasulullah membeli
makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminannya.
(HR Bukhari dan Muslim).
Dibolehkannya akad Rahn telah dijelaskan pada ayat dan hadis diatas, akad Rahn
pegadaian Syariah tidak terlepas dari biaya pemeliharaan (mu'nah) yang akan dibayarkan oleh
nasabah (Rahin) kepada pegadaian syariah (murtahin). Mu'nah adalah biaya pemeliharaan
gadai yang dihitung berdasarkan persentase terhadap taksiran agunan gadai (marhun) yang
digadaikan oleh nasabah (Rahin).
supaya nasabah mengetahui kesesuaian dan ketidak sesuaian dasar hukum dengan pelaksanaan
akad yang terjadi. Dalam penelitian ini menurut penulis dalam penerapan yang diterapkan oleh
Pegadaain Syariah Cabang Cipto sedah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang mana biaya pemeliharan atau mu’nah itu ditentukan melalui
besaran taksiran marhun (barang jaminan) yang diberikan nasabah terhadap pihak pegadaian
syariah. Adapun biaya pemeliharaan (mu’nah) menerapkan akad ijarah. Dalam hal ini nasabah
berposisi sebagai mustajir, dikarenakan nasabah menggunakan jasa penyewaan tempat penyimpanan
yang ditawarkan oleh pihak pegadaian. Sedangkan pihak pegadaian menjadi mu’jir, karena akad
tersebut pihak pegadaian menyewakan tempat penyimpanan terhadap nasabah.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Selama proses penelitian yang telah dilakukan penulis di Pegadaian Syariah cabang
Cipto Kota Cirebon sehingga penulis memberi saran-saran sebagai berikut:
1. Diharapkan Nasabah (Rahin) di Pegadaian Syariah Cabang Cipti Kota Cirebon lebih
memahami atau mengetahui mengenai pelaksanaan akad-akad di Pegadaian Syariah
Cabang Cipto Kota Cirebon telah sesuai dengan aturan syariah serta dasar hukum yang
berlaku di Lembaga Keuangan Syariah;
68
2. Diharapkan Nasabah (Rahin) di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon lebih aktif
menanyakan informasi kepada Pegawai atau Staff mengenai proses-proses akad yang
terjadi di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon serta dasar hukum yang
digunakan dalam akad;
3. Diharapkan fasilitas-fasilitas yang sudah ada di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota
Cirebon dijaga agar tidak rusak, serta ditambahnya beberapa fasilitas yang belum ada di
Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon. Tingginya minat nasabah yang
melaksanakan transaksi di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon seharusnya bisa
menajadi bahan acuan bagi pegadaian atau perusahaan lain untuk membenahi fasilitas demi
kenyamanan nasabah.