Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkembangan sistem keuangan syariah ditandai dengan berdirinya berbagai


lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrumen keuangan
berdasarkan hukum syariah. Lembaga keuangan syariah pada dasarnya berbeda dengan
lembaga keuangan konvensional dalam hal tujuan, mekanisme, kewenangan, ruang
lingkup dan tanggung jawab. Setiap lembaga dalam lembaga keuangan Islam
merupakan bagian integral dari sistem keuangan Islam. Lembaga keuangan syariah
bertujuan untuk membantu mencapai tujuan sosial ekonomi masyarakat
Islam.(SOEMITRA, 2009)
Dalam konteks ini, mulai bermunculan lembaga keuangan non bank atau biasa
disebut pegadaian. PT Pegadaian atau biasa dikenal dengan Pegadaian merupakan salah
satu anak perusahaan Bank Rakyat Indonesia yang bergerak di bidang usaha gadai.
Untuk menunjang kegiatan usahanya, perseroan akan memiliki 12 kantor wilayah, 61
kantor wilayah, 642 cabang, dan 3.444 unit layanan di seluruh Indonesia pada akhir
tahun 2022.
Awal dari munculnya pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Belanda (VOC)
mendirikan Bank van Leening yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit
dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20
Agustus 1746. Kemudian, ketika Inggris mengalahkan Belanda dan menguasai
Indonesia (1811-1816), Bank Van Leinen milik pemerintah dibubarkan dan masyarakat
bebas membuka usaha pegadaian asalkan mendapat izin dari pegadaian setempat.
Pemerintah daerah (“liecentie stelsel”). Namun pendekatan ini membawa dampak
buruk bagi pemegang izin untuk melakukan praktik rentenir atau rentenir yang saat itu
dianggap kurang menguntungkan oleh pemerintah Inggris. Oleh karena itu, cara
“liecentie stelsel” diubah menjadi “pacth stelsel”, yaitu hak mendirikan pegadaian
diberikan kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan membayar pajak yang
tinggi kepada pemerintah daerah.
Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan
“cultuur stelsel”, suatu anjuran yang disampaikan pada saat melakukan kajian terhadap
pegadaian bahwa kegiatan pegadaian sebaiknya ditangani oleh pemerintah sendiri agar
dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan yang lebih besar kepada

1
2

masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda


mengeluarkan Staatsblad No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha
Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan
Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya setiap tanggal 1 April
diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda pada masa pendudukan Jepang, gedung
markas Pegadaian Jawatan di Jalan Kramat Raya 162 Jakarta digunakan sebagai tempat
tawanan perang, dan markas Biro Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132.
Pada masa pemerintahan Jepang, baik kebijakan maupun struktur organisasi Biro
Pegada tidak banyak berubah.
Setelah masa penjajahan Jepang, pemerintah Republik Indonesia mengelola
lembaga Pegadaian secara mandiri. Saat itu kantor Biro Pegadaian telah dipindahkan
ke Karanganyar di Kebumen karena situasi perang. Kemudian pada invasi militer
Belanda yang kedua, kantor Biro Pegadaia dipindahkan lagi ke Magelang. Setelah
Perang Kemerdekaan, kantor Pegadaian kembali ke Jakarta dan Pegadaian dikelola
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Indonesia, Pegadaian beberapa kali mengalami
perubahan status, yaitu sebagai Badan Usaha Milik Negara (PN) sejak 1 Januari 1961,
kemudian menjadi Perusahaan Biro (Perjan) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1969, dan kemudian sebagai Perusahaan Perjan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10/Peraturan Nomor 1990 (diperbarui dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (Perum). Kemudian
pada tahun 2011, perubahan status kembali terjadi yakni dari Perum menjadi Perseroan
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2011 yang
ditandatangani pada 13 Desember 2011. Namun perubahan tersebut akan mulai berlaku
pada 1 April 2012, setelah anggaran dasar perseroan diserahkan kepada pihak yang
berwenang.
Kemudian pada 11 Juni 2021, Pegadaian resmi menyerahkan hotelnya kepada
Wika Realty sebagai bagian dari upaya pemerintah menyatukan kepemilikan hotel pelat
merah. Pada tanggal 2 Juli 2021, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 2021 resmi mengalihkan sebagian besar saham Pegadaian kepada
Bank Negara Indonesia sebagai bagian dari pembentukan Perusahaan Induk BUMN
yang bergerak di sektor ultra mikro.
3

Seiring berkembangnya jaman pegadaian terbagi menjadi dua yaitu pegadaian


konvensional dan pegadaian syariah. Diantara keduanya masih tetap saham mayoritas
milik Bank Rakyat Indonesia. Pada hal ini pegadaian syariah maupunkonvensional
tetap dibawah naungan BUMN yang sama. Walaupun dalam naungan yang sama
pegadaian konvensional dan syariah memiliki sebuah perbedaan. Pegadaian
konvensional merupakan kegiatan meminjamkan barangbarang untuk memperoleh
sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut
dinamakan usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan
barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan
harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut
perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya
dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian. Sedangkan pegadaian syariah adalah lembaga
yang menaungi kegiatan gadai syariah (Rahn) yaitu menahan salah satu harta dari si
peminjam yang diperlukan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Dalam
gadai syariah ini, barang yang ditahan mempunyai nilai ekonomis dan pihak yang
menahan akan memperoleh jaminan untuk mengambil seluruh atau sebagian
piutangnya. (Gunawan, Febri, Raha B., 2022)
Pegadaian Cabang Syariah Cipto merupakan salah satu pegadaian syariah yang
berada di kota Cirebon. Pegadaian syariah cabang Cipto ini memiliki tempat yang
strategis. Mudah diakses dengan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi. Untuk
lebih tepatnya Pegadaian Syariah Cabang Cipto ini terletak di JL. Cipto
Mangunkusumo, No. 121, Pekiringan Kesambi, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.
Dengan lokasi yang strategis, pegadaian ini bisa menjadi tujuan untuk para nasabahnya.
Di dalam pegadaian tentu saja suatu akad atau transaksi yang digunakan yaitu
gadai. Menurut KBBI gadai merupakan meminjam uang dalam batas waktu tertentu
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya
tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Secara umum pengertian
usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak
tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus
kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
Dalam akad gadai juga terdapat beberapa rukun agar akad gadai tersebut
berjalan sesuai dengan syariat Islam. Menurut sebagian besar (jumhur ulama) rukun
dari akad rahn ada 4 unsur yaitu, orang yang menggadaikan (ar-rahin), barang-barang
yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin), sesuatu yang karenana
4

diadakan gadai (marhun bih), yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan menurut
Ulama Hanafiyah, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai
jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan
mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang.
Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn,
bukan rukunnya.
Sedangkan syarat rahn menurut jumhur ulama sesuai dengan rukunnya yaitu
sebagai berikut
1. Orang yang mengadakan akad (Ar-Rahn dan Murtahin)
Menurt jumhur ulama atau sebagian besar ulama mengatan untuk melakukan
akad gadai baik rahin maupun murtahin harus cakap bertindak hokum ( baligh dan
berkal). Sedangkan menurut imam hanafi baligh dan berakal saja tidak cukup,
karena anak kecil yang mumayiz (dapat membedakan yang baik dan buruk) boleh
melakukan akad rahn dengan syarat sepengetahuan orang tua.
2. Marhun bih
a. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtarin,
b.Marhum bih itu boleh dilumasi dengan marhun itu,
c. Marhum bih itu jelas/tetap dan tertentu.
3. Marhun
a. Marhan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhum bih;
b.Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);
c. Marhun itu jelas dan tertentu;
d.Marhun itu milik sah rahin;
e. Marhun tidak terkait dengan hak orang lain
f. Marhun itu merupakan harta yang tidak bertebaran dalam satu tempat.
Dalam melakukan gadai atau rahn kita juga dapat menemui hukum dari akad
tersebut. Pada dasarnya terdapat dua hukum dalam rahn, yaitu Hukum Rahn
Sahih/Rahn Lazim dan Hukum Rahn Fasid. Kelaziman rahn bergantung pada rahin,
bukan murtahin. Rahin tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan
murtahin berhak membatalkannya kapan saja sesuai dengan keinginannya. Selain itu,
menurut pandangan jumhur ulama, gadai baru dipandang sah bila borg (barang yang
dijadikan jaminan) telah diterima oleh murtahin. Sedangkan menurut ulama Malikiyah
5

cukup dengan adanya ijab-qabul kemudian meminta kepada rahin untuk menyerahkan
borg.
Jumhur ulama Fiqih juga telah sepakat bahwa gadai yang dikategorikan tidak
sah dan menyebabkan akad batal atau rusak, yakni tidak adanya dampak hukum pada
borg. Dengan demikian. murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya, Rahin juga
diharuskan meminta kembali borg. Jika murtahin menolak dan borg sampai rusak,
murtahin dipandang atau bisa dikatakan ebagai perampas. Oleh karena itu harus
menggantinya, baik dengan barn yang sama atau dengan sesuatu yang sama nilainya.
Dan jika rahin meningga tapi masih berulang, murtahin lebih berhak atas rahn fasid
tersebut sebagaimana pada ralın sahih.
Pendapat ulama Malikiyah hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiyah,
bahwa jika rahn didasarkan pada akad yang fasiad. Murtahin lebih berhak atas barang
daripada orang-orang yang memiliki piutang lainnya. Adapun jika borg rusak ditangan
murtahin, hukumnya sebagaimana pada rahn sahih. Sedangkan ulama Syafjiyah dan
Hanhaliyah berpendapat bahwa hukum akad rahn fasid sama dengan hukum akad sahih
dalam hal ada atau tidaknya tanggung jawab atas borg. Jika pada akad sahih, murtahin
tidak bertanggung jawab atas borg, apalagi pada akad yang tidak sahih, jika borg
ditangan.
Dalam akad rahn pemerintah Indoneisa menetapkan dasar hukum dari suatu
akad gadai atau rahn ini yang termuat dalam UU No.7 tahun 1992 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No.10 tahun 1998 mengenai pembahasan tentang pokok-
pokok perbankan yang di dalamnya mengatur “Perbankan Syariah memberi peluang
berdirinya lembaga keuangan syariah dengan berbasis bagi hasil”. Selain termuat pada
UU No.7 tahun 1922, pada Undang-Undang No. 9 tahun 1969 pada Pasal 6 memuat
bahwasannya sifat usaha yang dilakukan pegadaian adalah menyediakan pelayanan
maksimal bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan
prinsip pengelolahan perushaan yang ada.
Selain termuat di dalam Undang-Undang, gadai atau pegadaian juga dijelaskan
dalam PP N0 103 tahun 2000. Adapun PP No 103 tahun 2000 ini, mengatur tentang
Perusahaan umum (Perum) Pegadaian. Peraturan ini menjadi salah satu peraturan yang
menguatkan status pegadaian sebagai perusahaan umum dan masuk pada wilayah
BUMN tepatnya di lingkungan Departemen Keuangan RI.
Dalam KUHP juga dijelaskna tentang segala sesuatu yang berekaitan dengan
prinsip, kinerja, konsep dan lain sebagainya dari gadai. Lebih tepatnya pasal KUHP
6

yang membahas pegadaian yaitu pada pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1160 yang berada di buku II KUH Perdata.
Pada pegadaian pemerintah sudah mengatur dan menata regulisai mengenai
pegadaian. Mulai dari sifat, prinsip, kinerja, isi pokok, peraturan, ketetapannya sebagai
salah satu BUMN dan regulasi dari pegadaian. Sedangkan dalam dewan syariah
nasional (DSN) atau bisa disebut sebagai lembaga yang memilik kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk, jasa dan kegiatan bank yang melakukan prinsip
syariah sudah mentapkan fatwa mengenai pegadaian.
Fatwa pertama yang menjelaskan gadai atau rahn dijelaskan pada Fatwa DSN
No. 25/DSN-MUI/III/2002. Fatwa ini menjelaskan bagaimana akad gadai (rahn)
berjalan sesuai dengan syariat islam syariat. Dalam Fatwa DSN No. 26/DSN-
MUI/III/2002 juga menjelaskan tentang rahn. Akan tetapi pada fatwa ini menjelaskan
lebih spesifik mengenai rahn emas.
Selain dari keduan fatwa tersbut, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan Fatwa
No. 68 tahun 2008. Fatwa ini menjelaskan tentang rahn tasjily. Rahn tasjily merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Mu’nah ialah biaya pemeliharaan gadai yang dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari taksiran barang jaminan gadai. Pelaksanaan praktek Rahn di Pegadaian
Syariah menunjukkan adanya perbedaan dari apa yang menjadi patokan bertransaksi
yakni Fatwa DSN MUI dalam transaksi Rahn di pegadaian Syariah. Diantarnya ialah
pelaksanaan mu’nah atau biaya pemeliharaan marhun yang berpedoman berdasarkan
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN/ MUI/III/2002 Tentang Rahn bahwa
dalam poin 4 dijelaskan mengenai Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
Terdapat kesenjangan pelaksanaan Mu’nah (biaya pemeliharaan) berdasarkan
Fatwa Dewan syariah nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
lagi masalah tersebut dengan judul “PENERAPAN MU’NAH (BIAYA
PEMELIHARAAN) MARHUN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG CIPTO
KOTA CIREBON BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
NOMOR: 25/DSN-MUI/III/2002”
7

B. Rumusan Masalah

1. Identfikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas fokus penelitian dalam skripsi ini adalah
terletak pada Penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) Marhun pada Pegadaian
Syariah cabang Cipto Kota Cirebon
2. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan masalah yang berkaitan dengan jenis transaksi
gadai di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon, maka peneliti hanya
membatasi masalah tentang penerapan akad rahn pada transaksi gadai emas yang ada
di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
3. Pertanyaan Penelitiian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ada, maka sebagai bahan
penelitian ada beberapa hal yang difokuskan, antara lain adalah:
a. Bagaimana penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian Syariah
Cabang Cipto Kota Cirebon?
b.Bagaimana pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto
Cirebon?

C. Tujuan Penelitian
Adapun dalam peneelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian
Syariah Cabang Cipto Cirebon;
2. Untuk mengetahui pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional No 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Cirebon.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan latar belakang penelitian diatas sebagaiamana yang telah
dipaparkan oleh penulis, maka penulis berharap akan memberikan manfaat:
1. Bagi Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon
Penelitian ini dapat dijadikan dasar atau acuan bagi Nasabah khususnya nasabah
gadai pada Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon untuk lebih memahami
proses dan cara bertransaksi di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
8

2. Bagi Penulis
Penelitian ini menjadi akhir dari perkulihan peneliti dan menumpahkan segala
pemahamannya dan penalaran ilmiahnya setelah melaksanakan perkuliahan hingga
akhir, serta untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi (SE) pada Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
3. Masyarakat Umum
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi masyarakat untuk memahami
mengenai kesesuaian antara dasar hukum lembaga keuangan syariah dengan
pelaksanaannya di masyarakat.

E. Batasan Istilah

Agar penulisan lebih terarah dan permasalahan yang dihadapi tidak terlalu luas,
maka diperlukan adanya batasan istilah. Adapun batasan istilah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah mengenai Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) Marhun Pada produk
Rahn saja.

F. Penelitian Terdahulu

Pada studi literatur ini, penulis mencantumkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh pihak lain sebagai rujukan dalam mengembangkan materi yang ada
dalam penelitian yang dibuat oleh penulis. Penelitian sebelumnya yang memiliki
korelasi dengan penelitian ini adalah: (ini diurutkan dari yang termuda: 2023-2022-
2021dst)
Penelitian terdahulu yang pertama dilakukan oleh Norliyani Auliya, 2018 (IAIN
Palangkaraya) yang berjudul “Penerapan Akad Rahn Pada Sistem Gadai Syariah Di Pt
Pegadaian Syariah (Persero) Kota Palangka Raya Menurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional”. Hasil dari penelitian ini, yaitu penerapan akad rahn di pegdaian syariah Kota
Palangka Raya terhadap tinjauan dari Fatwa Dewan Syariah Nasional sudah berjalan
dengan baik dan sesuai dengan fatwa dewan syariah nasional. Akan tetapi pada untuk
biaya penyimpanan barang Pegadaian Syariah Palangka Raya ini sudah tidak lagi
menggunakan akad ijarah untuk jasa atas penyimpanan barang, melainkan sudah
diganti dengan menggunakan jasa atas pemeliharaan/penjagaan barang yang dikenal
dengan istilah mu’nah yang terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
92/DSN-MUI/IV/2014. Jenis penelitian yaitu kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti
9

menggunakan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan


dokumentasi
Dede Maslina Pohan, 2021 (Fakultas Syariah Hukum UIN Sumatra Utara
Medan) yang berjudul “Implementasi Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) Marhun Di
Pegadaian Syariah Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/Dsn-
Mui/III/2002 Tentang Rahn”. Hasil dari penelitian ini, yaitu Penerapan Mu’nah (biaya
pemeliharaan) Marhun (barang jaminan gadai) dalam akad Rahn berdasarkan pinjaman
yang diterapkan oleh Unit Pegadaian Syariah Kota Pinang tidak sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn bahwa Besar
biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode kulaitatif dan
metode pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.
Bellina Hayyu Ristia, 2021 (progam study : Hukum Ekonomi Syariah
(Muamalah) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung) yang
berjudul “Pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.92 Tahun 2014 Tentang
Pembiayaan Yang Disertai Rahn Terhadap Penerapan Mu’nah dalam Akad Rahn”.
Hasil dari penelitian ini, yaitu…….
Gita Lestari A, 2019 (Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri Parepare) yang berjudul “Sistem
Pembayaran Mu’nah Dalam Pembiayaan Amanah Pada Pegadaian Syariah Cabang
Sidrap (analisis Ekonomi Islam)”. Hasil dari penelitian ini, yaitu Implementasi sistem
pembayaran Mu'nah, dalam pembiayaan amanah ada jaminan yang ditahan oleh pihak
pegadaian berupa BPKB kendaraan yang di jaga keamanan dan keselamatannya inilah
yang dikenakan mu'nah (biaya pemeliharaan) kepada nasabah yang dikalikan dengan
pinjaman pokok meskipun BPKB ditahan oleh pihak pegadain namun kendaraan masih
dapat digunakan oleh nasabah dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Dalam Fatwa
DSN-MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn(al-
Tamwil al-Mautsut bi al-Rahn) telah dijelaskan bahwa tidak ada barang jaminan pada
pembiayaan amanah, namun untuk berjaga-jaga agar nasabah tidak melakukan hal-hal
yang tidak dinginkan, maka pegadaian boleh menahan BPKB atas kendaraan.
Penentuan mu'nah telah ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan dan telah
disetujui olels OJK, meskipun tidak ada dalil dalam syariah yang berkaitan dengan
penentuan batasan keuntungan usaha, sehingga bisa melebihi jumlah tersebut dianggap
haram.
10

Hajar Hanifa1, Ikhwan Hamdani, Yono


Nazil Fahmi, 2020 (Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas
Syariah (FASYA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu) dengan judul
Implementasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn (Studi Pada
Pegadaian Syariah Cabang Palu Plasa)

G. Metodelogi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
fenomonologi, pendekatan ini didasari atas pandangan dan asumsi bahwa
pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interprestasi. Objek, orang-orang,
situasi dan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai arti dengan sendirinya melainkan
melalui interprestasi mereka.
Penelitian fenomenologi berupaya menjelaskan dan menjelaskan
pengalaman-pengalaman yang dialami seseorang dalam hidupnya, termasuk ketika
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks penelitian
kualitatif, keberadaan suatu fenomena dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang ada dan
muncul dalam kesadaran peneliti, melalui penggunaan metode tertentu dan proses
menjelaskan bagaimana sesuatu itu menjadi jelas dan nyata. Penelitian
fenomenologis berfokus pada menemukan, mempelajari, dan mengkomunikasikan
makna fenomena, peristiwa, dan hubungannya dengan orang biasa dalam situasi
tertentu.
Agar dapat mengetahui fenomena yang terjadi pada akad rahn mengenai
pembayaran mu'nah apakah telah terlaksana sesuai dengan hukum ekonomi islam di
pegadaian syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
2. Jenis Penelitian
Penulis memilih jenis penelitian ini yaitu secara kualitatif. Metode kualitatif
merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah.
Metode penelitian ini sering disebut dengan pencarian alamiah (naturalistic
inquiry) karena mengutamakan pemahaman tentang situasi alamiah partisipan,
lingkungan serta tempatnya. Keadaannya benar-benar berdasarkan atas apa yang
terjadi serta sesuai dengan fakta. Dalam hal ini peneliti ikut berperan serta dan
11

mendalami keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya yang terjadi di tempat tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti tidak akan memanipulasi gejala serta situasi yang ada
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian
yang dilakukan di lapangan atau dalam masyarakat, yang berarti bahwa datanya
diambil atau didapat dari lapangan atau masyarakat.
Meskipun penelitian ini berbasis penelitian lapangan, penulis juga
menggunakan sumber-sumber data kepustakaan dengan memanfaatkan buku-buku,
hasil penelitian, dan internet digunakan untuk menelaah hal-hal yang berkenaan
dengan pembiayaan (mu’nah) dalam akad rahn.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Data penelitian adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden
maupun yang berasal dari dokumen-dokumen, baik dalam bentuk statistik atau
dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden atau
obyek yang diteliti atau ada hubungannya dengan obyek yang diteliti atau data
yang diperoleh berdasarkan pengukuran secara langsung oleh peneliti dari
sumbernya (subyek peneliti).
Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data melalui observasi dan
wawancara kepada pihak Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon yang
memahami langsung tentang penerapan mu’nah dalam akad rahn pada Pegadaian
Syariah cabang Cipto Kota Cirebon dan nasabah yang menggunakan akad rahn
pada Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain dan telah
terdokumentasikan sehingga peneliti tinggal menyalin data tersebut untuk
kepentingan penelitiannya. Dalam penelitian ini adalah berupa dokumen-
dokumen, literatur, jurnal nasional kitab atau buku tentang muamalah serta
informasi lain yang tertulis dan berkaitan dengan penerapan mu’nah dalam akad
rahn.(Sujarweni, 2015)
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, data diartikan sebagai kenyataan yang ada
yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun suatu pendapat,
12

keterangan yang benar, dan keterangan atau bahan yang dipakai untuk penalaran
dan penyelidikan. Jadi yang dimaksud sumber data dari uraian diatas adalah
subyek penelitian dimana data menempel. Sumber data dapat berupa benda,
gerak, manusia, tempat dan sebagainya.
Untuk memperoleh sumber data terdapat 4 klasifikasi mengenai sumber data.
Empat pengelompokan sumberdata tersbut terdiri dari infoman (narasumber),
peristiwa (aktivitas), tempat (lokasi), dokumen atau arsip. Dalam melakukan
penelitian ini peneliti menggunakan 4 klasifikasi dari sumber data.(Subadi, 2006)
4. Teknik Pengumpulan Data,
a. Teknik Observasi
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun
dari berbagai proses dialogis. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk
menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu
dengan panca indera lainnya. Observasi yang dilakukan penulis dalam penelitian
ini yaitu mengamati secara langsung praktik akad rahn khususnya yang
berhubungan dengan praktik pelaksanaan penetapan Mu’nah (Biaya
Pemeliharaan) Marhun di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
b. Teknik Wawsancara
Wawancara adalah proses memperoleh penjelasan untuk mengumpulkan
informasi dengan menggunakan cara tanya jawab bisa dengan cara tatap muka
secara langsung ataupun tanpa tatap muka yaitu melalui media telekomunikasi
antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman.
Dalam hal ini penulis akan melakukan pengumpulan data dengan cara
bertanya secara langsung kepada pihak Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota
Cirebon untuk mendapatkan informasi atau keterangan dan data serta bertanya
kepada pihak nasabah yang menggunakan produk rahn tentang biaya jasa
pemeliharaan (mu'nah) yang ditentukan.
c. Teknik Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data kualitatif sejumlah besar
fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Dalam hal
ini penulis akan mencari dokumen tentang penerapan pembiayaan (mu’nah)
dalam akad rahn Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
13

5. Teknik Penentuan dan pengambilan Sampel


Sample adalah bagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel dalam
penelitian ini adalah insidental sampling merupakan teknik pengambilan sampel
berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara kebetulan (insidental) bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila dilihat orang yang kebetulan
ditemui itu cocok sebagai sumber data.
Pada penelitian kualitatif teknik sampling yang lebih sering digunakan
adalah purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang
tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan. Pada penelitian ini
peneliti menggunakan teknik purposive sampling.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti di lokasi penelitian dan dapat dijadikan sebagai
sampel, yaitu apabila orang yang ditemui tersebut merupakan nasabah rahn di
Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon.
Berdasarkan penjelasan diatas pada penelitian ini jumlah sampel yang akan
diteliti adalah beberapa nasabah yang memakai jasa produk rahn dan 3 karyawan atau
staf pada Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota Cirebon yang berada di sector gadai
(rahn).
6. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mendapatkan dan
mengumpulkan data penelitian, sebagai langkah untuk menemukan hasil atau
kesimpulan dari penelitian dengan tidak meninggalkan kriteria pembuatan instrumen
yang baik.
Instrumen dalam sebuah penelitian dibedakan menjadi dua yaitu bentuk tes dan
non tes. Instrumen tes terdiri dari tes psikologis dan tes non-psikologis, sedangkan
instrumen non tes teridiri dari angket atau kuesioner, interview atau wawancara,
observasi atau pengamatan, skala bertingkat dan dokumentasi. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan metode wawancara dan dokumentasi. Wawancara dan
dokumentasi termasuk kedalam instrument non tes.
Interview atau wawancara adalah percakapan orang-perorang (the person–to-
person) dan wawancara kelompok (group interviews). Percakapan dilakukan
dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu peneliti sebagai pewawancara dan subjek
penelitian sebagai informan. Sedangkan observasi penulis melakukan pengamatan
14

secara langsung terhadap beberapa aspek perilaku atau fenomena yang menjadi
objek sasarannya.(Arifin, 2014)
7. Uji Validasi Data
Uji validitas dalam penelitian kualitatif dilakukan untuk menunjukkan
kesahihan data dalam penelitian. Hal yang dilakukan yaitu dengan mendapatkan
data yang akurat melalui penyajian gambaran yang jujur tentang pengalaman hidup
subjek penelitian. Dalam validasi data peneliti menggunakan 6 teknik untuk validas
data. Enam teknik validasi tersebut yaitu: triangulasi, menyakan ulang ke
narasumber, penyajian yang kaya dan detail, mengklarifikasi bias penelitian,
memperhatikan waktu, tanya jawab-teman sejawat (peer debriefing).
Teknik triangulate yaitu menggunakan beberapa sumber informasi untuk
membangun suatu justifikasi tertentu. Sebagai contoh, data yang didapatkan
peneliti melalui wawancara perlu diuji kebenarannya dengan sumber sekunder
seperti berita, laporan lembaga, atau sumber lainnya. Di riset kualitatif, triangulasi
merupakan strategi paling umum dan mendasar untuk dilakukan dalam upaya
menguji validitas data. Pada metode ini penulis melakukan wawancara kepada
narasumber. Setelah melakukan wawancara peneliti menyocokan hasil wawancara
dengan beberapa jurnal dan media.
Selanjutnya metode yang kedua yaitu menanyakan ulang ke narasumber. Pada
metode ini penulis membawa deskripsi spesifik kepada narasumber dan
menanyakan apakah mereka merasa bahwa deskripsi tersebut akurat. Selain itu,
peneliti juga bisa melakukan wawancara tindak lanjut (follow-up interview) dan
memberikan mereka kesempatan untuk memberikan komentar pada temuan data.
Pada metode ketiga yakni penulis menyajikan dan menulis hasil temuan dari
berbagai perspektif agar analisis data bersifat kaya dan penjelasan dapat dilakukan
secara detail, Hal ini dilakukan agar laporan penelitian memiliki validitas yang baik.
Untuk metode mengkalrifikasi bias penelitian penulis memuat penjelasan
tentang bagaimana latar belakang peneliti seperti identitas gender, budaya, sejarah,
atau status sosial dan ekonomi yang berpotensi memengaruhi interpretasi atas
temuan data dalam penelitian. Hal ini dilakukan penulis untuk disclaimer sebagai
bagian dari tanggung jawab etik metodologis seorang peneliti kualitatif.
Metode selanjutnya yaitu memperhatikan waktu. Pada saat
melakukanpenelitian, penulis banyak menghabiskan waktu bersama narasumber.
Pada hal ini peneliti menghabiskan waktu secara kuantitas dan kualitas dengan
15

objek penelitian. Pada kesempatan ini peneliti berpotensi mengembangkan


pengetahuan yang mendalam tentang fenomena yang sedang diteliti. Selain itu,
peneliti juga bisa menjelaskan secara detail mengenai subjek penelitian mereka di
dalam laporan penelitian.
Untuk teknik validitas data yang terakhir penulis menggunakan strategi tanya-
jawab teman sejawat (peer debriefing). Strategi ini dilakukan dengan mengulas dan
menanyakan tentang studi kualitatif oleh orang yang peneliti kenal atau orang
tersebut mengetahui penelitian yang sedang peneliti lakukan. Hal ini dapat
membantu meningkatkan akurasi laporan penelitian.(Afiati, 2008)
8. Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisis data kualitatif, tekniknya cenderung menggunakan
deskripsi untuk hasil analisisnya. Teknik ini tidak berpusat pada jumlah, melainkan
pada penjelasan, penyebab, serta hal-hal yang mendasari topik. Sama seperti metode
penelitian kualitatif, teknik analisis data ini bertujuan untuk mendalami serta mencari
tahu suatu fenomena tertentu. Teknik ini tentunya digunakan pada penelitian yang
datanya berupa deskripsi ataupun mengangkat permasalahan terkait fenomena sosial,
perilaku manusia dan hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka. Maka penulis
menggunakan metode analisis naratif. (Rijali, 2019)

H. Sistematika Pembahasan

Penulis Menyusun Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing
bab terdiri dari beberapa sub bab yang tersusun secara sistematis diantaranya ialah:
Pada bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, kajian pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Kemudian pada bab yang kedua memaparkan tentang kajian pustaka yang
berasal dari tinjauan pustaka yaitu penelusuran dari penelitian terdahulu, landasan teori
yang berisi tentang definisi rahn, mu’nah, dan marhun.
Pada bab yang ketiga menjelaskan mengenai profil Pegadaian Syariah Cabang
Cipto, visi & misi Pegadaian Syariah Cabang Cipto, serta permasalahan yang meliputi
objek dan subjek penelitian, jenis penelitian, jenis data, metode pengumpulan data,
metode pengabsahan data, populasi dan sampel, teknik penarikan sampel dan metode
analisis data.
16

Selanjutnya pada bab yang keempat peneliti ini akan membahas tentang
penerapan Mu’nah (Biaya Pemeliharaan) pada Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota
Cirebon, serta pandangan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 pada penerapan Mu’nah di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Cirebon.
Untuk bab terakhir atau bab penutup ini berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan dan saran dari hasil temuan penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pegadaian Syariah

Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, dan misi mereka, menurut


Pegadaan, adalah menolak praktik riba, misi yang tidak berubah hingga saat ini dan
menjadi landasan bisnis pegadaian. Ide pendirian pegadaian syariah lahir dari tuntutan
idealis dan keberhasilan berbagai lembaga Islam lainnya. Dasar hukum pendirian
pegadaian syariah adalah Al-Quran dan Hadist. Protokol gadai yang diajarkan dalam
Al-Qur'an dan Hadits kemudian dirumuskan oleh para Ulama atas persetujuan mereka.
Pegadaian di Indonesiaberdiri sejak masa penjajahan Belanda. Pada tanggal 20
Agustus 1746, pemerintah Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) mendirikan Bank Van Leening di Batavia sebagai lembaga keuangan yang
memberikan pelayanan kredit dengan sistem gadai. Selain itu, pada tanggal 12 Maret
1901, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-undang Negara Nomor 12. Undang-
undang Nomor 131 mengatur tentang pegadaian, sehingga berdirilah lembaga
pegadaian nasional yang pertama pada tanggal 1 April 1901.
Hingga saat ini, pegadaian telah beberapa kali berganti nama dan identitas.
Perubahan terkini bagi pegadaian di Indonesia adalah perubahan status badan hukum
dari “PERSERO” menjadi “Perseroan Terbatas” yaitu PT Pegadaian berdasarkan PP
No.1. Nomor 73 Tahun 2021 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia pada Modal Saham Perseroan (Persero) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.
Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka PT
Pegadaian mendirikan divisi Syariah berupa unit usaha Syariah yang
menyelenggarakan produk dan jasa gadai sesuai dengan prinsip Syariah, diawasi oleh
Dewan Pengawas Syariah, dan telah mendapat persetujuan Syariah nasional. Dewan
Syariah. Perbedaan antara pegadaian tradisional dan pegadaian syariah adalah pada
sistem riba dan adanya biaya tambahan pada dana pinjaman. Pegadaian tradisional
mengenakan biaya berupa bunga majemuk yang bersifat kumulatif. Sedangkan, dalam
pegadaian syariah tidak menerapkan bunga tetapi menetapkan biaya penitipan, biaya
pemeliharaan, biaya penjagaan, dan biaya penaksiran yang hanya dikenakan sekali
dalam satu transaksi (Nasution, 2016, p. 94).
Motif pegadaian syariah bersifat sosio-emosional, artinya dapat membantu
meringankan beban kehidupan sehari-hari masyarakat menengah ke bawah serta

17
18

mencapai kemaslahatan masyarakat. Artikel ini mengulas perkembangan pegadaian


syariah di Indonesia dan kemunculan pegadaian syariah digital di Indonesia serta
mengulas pemanfaatan layanan digital tersebut.(Safitri & Wati, 2023)
Tujuan utama didirikannya pegadaian syariah oleh masyarakat Indonesia adalah
agar masyarakat yang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan rentenir atau rentenir
atau rentenir yang menawarkan bunga relatif tinggi. Perusahaan pegadaian memberikan
pinjaman uang dengan menggunakan barang berharga sebagai jaminan. Meminjam
uang ke pegadaian bukan hanya karena prosedurnya yang cepat dan mudah, namun juga
karena biaya yang dikenakan lebih rendah dibandingkan dengan rentenir atau rentenir
berikat. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari perum pegadaian dalam
memberi pinjaman kepada masyarakat dengan moto “menyelesaikan masalah tanpa
masalah”.
Jika seseorang membutuhkan dana, sebenarnya ia bisa mengajukan berbagai
sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Namun
kendala utamanya adalah prosedurnya rumit dan memakan waktu. Selain itu,
persyaratan yang lebih sulit antara lain dokumentasi yang harus lengkap sehingga
sangat menyulitkan masyarakat untuk memenuhinya. Begitu pula dengan agunan yang
diberikan harus terhadap barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat
dijadikan agunan bank.
Namun pada perusahaan pegadaian hal ini sangat mudah dilakukan, cukup
datang ke kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu
kemudian dana pinjaman dapat dicairkan dalam waktu singkat. Jaminannya juga sangat
sederhana, misalnya Anda bisa mendapatkan sejumlah uang dengan menggunakan
jaminan jam tangan, hal yang hampir tidak mungkin dilakukan di lembaga keuangan
lain.
Keuntungan lain dipegadaian adalah piak pegadaian tidak mempermasalahkan
untuk apa uang tersebut digunakan dalam hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak
perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang peguanaan uangnya. Begitu pula
dengan sanksi yang diberikan relatif ringan, apabila tidak bisa melunasi dalam waktu
tertentu. Sanksi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk
menutupi kekurangan pinjaman yang telah diberikan.(Choirunnisak & Handayani,
2020)
Dalam menjalankan aktivitasnya, pegadaian syariah harus memiliki sumber
dana terlebih dahulu. Kemudian setelah terhimpun, dana itu harus disalurkan ke aktiva
19

produktif tertentu agar dapat memberikan keuntungan bagi perum pengadaian. Secara
umum, sumber dana pegadaian syariah berasal dari modal sendiri, pinjaman jangka
pendek, penerbitan obligasi.
Modal sendiri yang dimiliki oleh perum pegadaian berasal dari modal awal,
penyertaan dari pemerintah, dan laba ditahan yang berasal dari akumulasi laba sejak
masa pemerintahan hindia belanda.sumber dana pinjaman jangka pendek ini berasal
dari perbankan dan pihak lainnya. Pinjaman dari perbankan merupakan sumber dana
yang paling dominan dibandingkan dengan sumber dana lainnya. Adapun pinjaman
dari pihak lainnya berasal dari pendapatan diterima dimuka, biaya yang masih harus
dibayar, dan lainnya. Sedangkan sumber dana yang terakhir yaitu penerbitan obligasi,
obligasi atau instrumen surat hutang. Obligasi ini diterbitkan dengan tujuan
menghimpun dana dari masyarakat. Atas obligasi yang dibelinya, masyarakat
memperoleh imbalan berupa bunga.
Dalam penggunaan dana pegadaian syariah menggunakan beberpa kegiatan
yaitu uang kas, jasa pembiayaan, operasional perusahaan, pembelian aktiva
tetap.penggunaan dana yang pertama uang kas. Uang kas ini merupakan dana likuid
yang harus selalu tersedia untuk memenhi kewajiban yang harus segera dibayar.
Kewajiban ini berupa pengeluaran untuk jasa pembiayaan, biaya pajak, biaya
operasional, investasi dan biaya-biaya lainnya.
Penggunaan dana yang kedua di pegadaian syariah yaitu jasa pembiayaan. Jasa
pembiayaan merupakan aktivitas utama perum pegadaian yang akan memberikan
pendapatan yang paling dominan. Penggunaan dana terbesar di pegadaian pegadaian
adalah untuk aktivitas ini. Pendapatan yang diterima adalah berupa bunga dan biaya
administratif lainnya. Penggunaan dana yang ketiga yaitu operasional perusahaan.
Kegiatan operasional perusahaan pada perum pegadaian adalah berupa pembayaran
upah penggawai, perawatan barang bergerak, dan lainnya.
Pembelian aktiva tetap ditunjukkan untuk menunjang aktivitas usaha dari
pegadaian syariah. Aktiva tetap umumnya berupa kantor, gudang penyimpanan barang,
peralatan,kendaraan, dan lainnya. Untuk penggunaan dana yang terakhir yaitu
pegadaian syariah melakukan investasi. Investasi dilakukan pada dana-dana yang
tidak dapat tersalurkan kemasyarakat. Kelebihan dana ini belum diperlukan oleh
masyarakat dalam jangka pendek, sehingga perum pegadaian memanfaatkannya untuk
pembelian instrumen investasi jangka pendek yang diharapkan dapat memberikan
keuntungan.
20

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat ingin semakin dimudahkan


dengan adanya teknologi. PT Pegadaian akhirnya meluncur aplikasi Pegadaian Syariah
Digital pada tanggal 29 Oktober 2018. Dengan adanya aplikasi ini diharapkan para
nasabah akan merasa terbantu karena dapat bertransaksi melalui smartphone miliknya
tanpa harus bertransaksi secara manual.Pegadaian syaraiah digital ialah pegadaian
syariah dalam bentuk aplikasi yang berisi berbagai layanan keuangan dengan
berlandaskan prinsip syariah. Layanan tersebut mulai dari rahn(gadai) untuk seluruh
kebutuhan hidup, tabungan emas, gadai kendaraan, investasi emas, gadai sertfikat,
gadai pembiayaan usaha, gadai porsi haji, transaksi pembayaran, dan beragam layanan
keuangan yang lain.
Tentu kita berharap perkembangan Gadai Syariah semakin baik kedepannya.
SBU Syariah Spin Off, menjadi PT Pegadaian Syariah yang merupakan anak
perusahaan dari PT Pegadaian (Persero). Sehingga lebih leluasa melakukan
perkembangan bisnis syariah dengan produk-produk yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Operasional dari pengelolaan usaha gadai syariah yang diberlakukan menganut sistem
manajemen modern dengan penggunaan azas rasionalitas, efisiensi dan efektivitas
dengan tetap berdasarkan landasan hukum dalam islam. Jadi Sejarah Pegadaian Syariah
atau Sejarah Pegadaian Syariah di Indonesia, khususnya di PT Pegadaian (Persero) ada
sejak tahun 2003.
Dalam perkembangan pegadaian syariah yang sangat pesat di Indonesia untuk
saat ini. Pegadaian syariah juga memberikan peranan dalam perekonomian di
Indonesia, pegadaian syariah cocok untuk menunjang pertumbuhan UMKM di
Indonesia. Oleh karena itu kontribusi dari pegadaian syariah dalam menggerakan
ekonomi terutama bagi sektor UMKM sangat diharapkan.

B. Akad Gadai (Rahn)

1. Pengertian Gadai (Rahn)


Gadai adalah hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh seorang lain atas nama
orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang
21

telah diserahkan untung melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Al-rahn (artinya lughat) dalam bahasa Arab berarti al-thubia wa al-dawam
(tetap dan abadi). Sebagian ulama mendefinisikan ar-rahn sebagai al-habs
(pengekangan). Sementara itu, al-Rahn mengartikan istilah sebagai jaminan yang
memegang suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan hukum Islam
sebagai utang sehingga seluruh atau sebagian benda itu dapat diperoleh kembali.
Dapat juga diartikan sebagai pinjaman dengan cara menyerahkan suatu barang,
dengan batas waktu (jika tidak ditebus dalam batas waktu tersebut, maka barang
tersebut menjadi milik pemberi pinjaman).
Menurut Imam Ibnu Mandur, kata rahn diartikan sebagai segala sesuatu
yang diberikan sebagai jaminan untuk kepentingan benda yang dijadikan jaminan
tersebut. “Ulama Marhab Maliki mengartikan “rahn” sebagai harta yang digunakan
pemiliknya sebagai jaminan atas pengikatan utang. ulama mazhab hanafi
mendefinisikannya dengan menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut. Baik seluruhnya
maupun sebagiannya ulama syafi dan hambali dalam mengartikan rafın dalam arti
akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang yg berhutang tidak bisa membayar utang.
Menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshari dalam bukunya “Fathul Wahab”,
pengertian al-rahn adalah suatu amanah yang didalamnya barang/barang yang
bersifat harta benda dijadikan sebagai utang, dan apabila utang itu tidak dilunasi,
maka akan timbul utang. dapat dilunasi keluar dari properti. Menurut Imam Ibnu
Qudhamah dalam Kitb al-Mughni, apabila debitur tidak mampu melunasi hutang
dari debitur, maka dapat dijadikan amanah untuk melunasi hutang tersebut dari
harga.
Sedangkan menurut pengertian al-rahn menurut Imam Taqiyyudin Abu
Bakar Al-Husaini dalam bukunya “Kifayatul Ahyar fii Halli ghayati al-ikhtisar”,
diyakini bahwa al-rahn adalah akad atau perjanjian utang piutang yang memberikan
hak kepada pemberi pinjaman untuk menjual barang yang digadaikan pada saat
penegasan hak, dengan menitipkan barang itu atau dengan memaksakan hutang.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rahn adalah
menahan harta si peminjam barang sebagai jaminan yang diterimanya, atau akad
22

utang-piutang dengan menjadikan barang yang bernilai harta sebagai jaminan,


hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.(Saiful, 2014)
Dalam hukum islam dan transaksi modern akad gadai (rahn) terdapat
problematika. Problematika yang pertama, yaitu apabila dalam akad gadai tersebut
ditentukan bahwa ar-rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada al-
murtahin atau penerima gadai ketika membayar utangnya. Dan problematika yang
kedua yaitu apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar hutangnya hingga pada
waktu yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-marhun kepada ar-
rahin. Padahal utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari al-marhun.(Suaidi, 2022)
Sedangkan Gadai menurut Kompilasi hukum ekonomi syariah yaitu
penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Pengaturan mengenai gadai menurut kompilasi hukum islam yaitu sebagai berikut:
Pasal 329 (1) Akad gadai terdiri dari unsur: penerima gadai, pemberi gadai, harta
gadai, utang, dan akad. (2) Akad yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus
dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat. Pasal 330 Para
pihak yang melakukan akad gadai harus memiliki kecakapan hukum. Pasal 331
Akad gadai sempurna bila harta gadai telah dikuasai oleh penerima gadai. Pasal 332
(1) Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahkan-terimakan. (2) Harta gadai harus
ada ketika akad dibuat. Menurut buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab
XIII tentang Rahn pasal 343, bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai
mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semua utang râhin dilunasi. Oleh
sebab itu, apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku pemberi
utang maka akad rahn bersifat mengikat serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak
oleh rahin.(Ri, 2016)
2. Dasar Hukum (Rahn)
Dalam Syariah Islam gadai sendiri memiliki 3 landasan hukum, yaitu Al-
Quran, Hadist, ijtihad. Dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 283 ini merupakan
dasar hokum dari akad rahn.
َ‫ض ُك ْم َب ْعضًا فَ ْلي َُؤ ِد الَّىِا اتْ ت ُ ِنن‬ ُ ‫ضةٌ ۗفَا ِْن اَ ِمنَ َب ْع‬ َ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا كَاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقب ُْو‬ َ ‫۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم َع ٰلى‬
ࣖ ‫ش َهادَ ۗة َ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْن َها فَ ِانَّهٗ ٓٗ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗ ۗ َواللّٰهُ بِ َنا تَ ْع َنلُ ْونَ َع ِل ْي ٌم‬ ِ َّ‫ا َ َمانَت َهٗ َو ْليَت‬.
َّ ‫ق اللّٰهَ َربَّهٗ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُنوا ال‬

Ayat tersebut memiliki arti: “Jika kamu dalam perjalanan (dan


bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidakmemperoleh seorang penulis,
23

maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

Ayat tersebut memiliki tafsiran tafsir tahlili sebagai berikut Ayat ini
menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai, yang
dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak
ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang
tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang.
Kecuali jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada
Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.
Ayat ini tidak menetapkan bahwa jaminan itu hanya boleh dilakukan dengan syarat
dalam perjalanan, muamalah tidak dengan tunai, dan tidak ada juru tulis. Tetapi
ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan
muamalah dengan memakai jaminan. Dalam situasi yang lain, boleh juga memakai
jaminan sesuai dengan hadis yang diriwayatkan al-Bukhari bahwa Nabi
Muhammad saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di
Medinah. Pada ayat yang lalu Allah memperingatkan bahwa manusia jangan
enggan menjadi juru tulis atau memberikan persaksian bila diminta. Kemudian pada
ayat ini Allah menegaskan kembali agar jangan menyembunyikan kesaksian.
Penegasan yang demikian mengisyaratkan bahwa penulisan dan kesaksian itu
menolong manusia dalam menjaga hartanya, dan jangan lengah melakukan
keduanya. Demikian pula pemilik harta tidak disusahkan karena meminjamkan
hartanya, dan tidak dibayar pada waktunya. Dengan keterangan di atas bukan berarti
bahwa semua perjanjian muamalah wajib ditulis oleh juru tulis dan disaksikan oleh
saksi-saksi, tetapi maksudnya agar kaum Muslimin selalu memperhatikan dan
meneliti muamalah yang akan dilakukannya. Bila muamalah itu muamalah yang
biasa dilakukan setiap hari, seperti jual beli yang dilakukan di pasar dan tidak
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari serta dilandasi rasa
24

saling mempercayai, maka muamalah yang demikian tidak perlu ditulis dan
disaksikan. Sebaliknya bila muamalah itu diduga akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari, maka muamalah itu wajib ditulis dan disaksikan
oleh dua orang saksi.

Sedangkan dalam tafsir wajiz, tafsiran dari ayat ini yaitu sebagai berikut
Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang
dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan
tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat
menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang
sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya, utang atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima
amanat tersebut bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para
saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni jangan mengurangi,
melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh
pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun
yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.(kementrian
Agama RI, n.d.)

Selannjutnya landasan hukum dari akad rahn ini juga dijelaskan oleh
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari A’isyah berkata:

ً ‫طعَا ًما ِم ْن يَ ُه ْو ِدي ٍ إِلَى أ َ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْر‬


‫عا ِم ْن‬ َ ‫سلَّ َم ا ْشت ََرا‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َ ‫س ْو َل الل ِه‬
‫ َح ِد ْي ٍد‬.
Hadits diatas memiliki arti sebagai berikut: bahwa Rasul bersabda:
Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan baju besinya
sebagai barang jaminannya. (HR Bukhari dan Muslim)

ُ ‫علَ ْي ِه‬
ُ‫غ ْر ُمه‬ َ ‫غ ْن ُنهُ َو‬ ْ ‫احبِ ِه الَّى‬
ُ ُ‫ لَه‬،ُ‫ِي َر َهنَه‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫َلَ يُ ْغلَق‬.
َ ‫الر ْه ُن ِم ْن‬
25

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yangmenggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah)

‫علَى‬ ُ ‫ َولَبَ ُن الد َِّر يُ ْش َر‬،‫ب ِبنَفَقَ ِت ِه ِإذَا َكانَ َم ْر ُه ْونًا‬


َ ‫ َو‬،‫ب ِبنَفَقَ ِت ِه ِإذَا َكانَ َم ْر ُه ْونًا‬ َّ
ُ ‫الظ ْه ُر ي ُْر َك‬
ُ‫ب النَّفَقَة‬
ُ ‫ب َويَ ْش َر‬ ْ ‫الَّى‬.
ُ ‫ِي يَ ْر َك‬
Nabi Bersabda: Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan (HR Jamaah,
kecuali Muslim dan An Nasai).
Sedangkan dalam ijtihad dibolehkannya akad gadai juga dianggap boleh
oleh sebagian ulama, dan mereka tidak berselisih terkait perbedaan pendapat
mereka dalam masalah ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa gadai disyariatkan
ketika sedang tidak melakukan perjalanan atau bepergian dan berlandaskan dari
hadis riwayat perilaku Nabi Muhammad SAW terhadap kaum Yahudi Madinah
dalam hadis tersebut di atas. Syarat-syarat dalam perjalanan sebagaimana diatur
dalam QS Al-Baqarah: 283, karena melihat adat-istiadat dalam melakukan rahn
dalam perjalanan. Penganut mazhab Adh-Dhahak dan Az-Zahri meyakini bahwa
menurut ayat Al-Qur'an tersebut di atas, raan tidak diperlukan kecuali saat
bepergian. Klaim mereka telah terbantahkan oleh hadis ini.
Dalam ushul fiqh juga gadai atau rahn ini dibolehkan karena tidak ada
larangan mengenai gadai atau rahn. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah ushul
fiqh yaitu
ِ َ‫ص ُل فِي ْال ُن َعا َمال‬
.‫ت اْ ِإلبَا َحةُ ِإَلَّ أ َ ْن يَد ُ َّل دَ ِل ْي ٌل َعلَى تَحْ ِري ِْن َها‬ ْ َ ‫األ‬
Yang berarti: “pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”(Djazuli, 2007)
Kemudian Dewan Syariah Nasional atau lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk atau jasa yeng memiliki
prinsip syariah. Pada dewan syariah ini menetapkan 4 fatwa mngenai rahn atau
gadai sendiri. Fatwa fatwa tersebut yaitu No.25/DSN-MUI/III/2002, No.26/DSN-
MUI/III/2002, 68/DSN-MUI/III/2008, 92/DSN-MUI/IV/2014.
26

Pada fatwa yang pertama yaitu fatwa nomor No.25/DSN-MUI/III/2002, di


dalam fatwa tersebut menetapkan fatwa tentang hukum rahn, ketentuan rahn
umum, ketentuan penutup. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa rahn tersebut
diperbolehkan. Namun diperbolehkannya gadai atau rahn tersebut harus sesuai
dengan ketentuan sebagai mana yang sudah dijelaskan pada fatwa No.25/DSN-
MUI/III/2002. Dan pada fatwa tersbut dijelakan jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Badan Arbitrase Syariah
merupakan lembaga yang memiliki peran dalam menyelesaikan sengketa yang
berprinsip syariah secara damai dengan tidak melibatkan peradilan umum.
(Muhammad Rauuf Ramadan, 2021)
Adapaun pada fatwa selanjutnya yaitu fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002
menetapkan tentang rahn emas. Pada fatwa ini menjelaskan tentang
diperbolehkannya rahn emas sebagaimana dijelaskan pada fatwa nomor 25/DSN-
MUI/III/2002. Dalam fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 ini juga memaparkan
mengenai ongkos dan biaya pemeliharaan itu ditangguhkan kepada rahin
(penggadai). Pada fatwa ini juga tidak terlepas menjelaskan besaran ongkos yang
harus dikeluarkan oleh rahin. Untuk besaran dari ongkos tersebut yaitu sesuai
dengan pengeluaran yang perlukan. Dalam pemeliharaan barang jaminan atau yang
bisa disebut dengan marhun terlaksana dengan menggunakan ijarah. MUI
mengeluarkan fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 ini dikarenakan setelah
memperhatikan surat dari Bank Syariah Mandiri No 3/305/DPM Tanggal 23
Oktober 2001 Tentang Permohonan Fatwa atas Produk Gadai Emas.
Selanjutnya pada fatwa nomor 68/DSN-MUI/III2008 dijelaskan mengenai
rahn tasjily. Rahn tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan
kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya
bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap
berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin). Rahn tasjily
juga bisa disebut dengan rahn ta’mini, rahn rasmi, atau rahn hukmi.(DSN NO 68,
2008) Rahn tasjily memiliki ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan pada fatwa
DSN MUI nomor 68/DSN-MUI/III2008.
Pada fatwa yang terakhir yang membahasa mengenai rahn yaitu fatwa
nomor 92/DSN-MUI/IV/2014. Di dalam fatwa ini menetapkan tentang pembiayaan
27

yang disertai rahn (at-tamwil al-mautsuq hi al-rahn). Adapun pembahasan pada


fatwa ini menjelaskan mengenai ketentuan umum, ketentuan hukum, ketentuan
barang jaminan (marhun), ketentuan utang (marhun bih/dain), ketentuan akad.
3. Rukun Gadai dan Syarat Barang Gadai (Marhun)
Dalam melaksanakan kegiatan gadai tentunyaterdapat beberapa rukun dan
syarat. Rukun sendiri merupakan sesuatu yang menentukan suatu perbuatan dan
termasuk bagian dari perbuatan itu sendiri. Sedangkan syarat merupakan yang
menentukan suatu perbuatan namun bukan termasuk bagian dari kegiatan
tersebut.(Hakim, 2010)
Gadai memiliki empat unsur, yaitu rahin, murtahin, marhun, dan marhun
bin. Rahin adalah orang yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang
menerima gadai, marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin
hutang. Akan tetapi, untuk menetapkan rukun gadai, hanafiah tidak melihat kepada
keempat unsur tersebut, melainkan mereka melihat kepada pernyataan yang
dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rahin dan murtahin. Oleh karena itu,
seperti halnya dalam akad-akad yang lain, Hanafiyah menyatakan bahwa rukun
gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan oleh rahin dan murtahin.
Terkait mengenai marhun tentu saja memiliki ketentuan dan beberapa
syarat. Harus bisa diperjualbelikan, harus berupa harta yang bernilai, marhun harus
bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram, harus diketahui
keadaan fisiknya, harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus atas izin pemiliknya.
4. Macam-Macam Gadai (Rahn)
Dalam pelaksanaannya rahn yang diatur menggunakan prinsip syariah
dibedakan atas dua macam, yaitu rahn iqar dan rahn hiyazi. Rahn iqar atau biasa
diskenal dengan nama rahn rasmi, rahn takmini, rahn tasjily, merupakan bentuk
gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun
barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Contoh dari gadai ini yaitu ketika marhunnya berupa kendaraan. Jadi ketika kita
melakukan akad gadai kendaraan tersebut boleh tetap digunakan oleh kita namun
surat dari kendaraan tersebut disimpan oleh murtahin. Rahn Hiyazi Bentuk rahn
hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep gadai, baik dalam hukum adat
maupun dalam hukum positif. Jadi, berbeda dengan rahn iqar yang hanya
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn hiyazi tersebut
barangnyapun dikuasai oleh kreditur.(Muljono, 2015)
28

5. Batalnya Akad Gadai


Batalnya akad gadai dapat dijelaskan oleh Sayid Sabiq, yaitu apabila
barang gadai kembali ke tangan Rahin, atau dengan kata lain apabila barang gadai
kembali dalam penguasaan Rahin, maka akad gadai tersebut menjadi sah. tidak
valid pada saat itu. Oleh karena itu, Said Sabik meyakini benda yang digadaikan
harus berada dalam penguasaan Mutaxin agar akad gadai tidak batal. Misalnya
pihak murtahin wajib mengajukan syarat, seperti tidak menjual barang yang
digadaikan setelah utangnya lunas jika pihak rahin belum melunasi utang yang
ada, atau meminta sesuatu yang memberatkan rahin dan menguntungkan
murtahin, seperti mewajibkan pihak yang menggadaikan untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang gadainya tanpa membatasi jangka waktu tertentu atau
menjelaskan biaya penggunaan dan pemanfaatannya. Atau meminta agar
tambahan yang dihasilkan barang gadai tersebut diserahkan kepada pihak
murtahin. Batalnya akad gadai dapat dijelaskan oleh Sayid Sabiq, yaitu apabila
barang gadai kembali ke tangan Rahin, atau dengan kata lain apabila barang gadai
kembali dalam penguasaan Rahin, maka akad gadai tersebut menjadi sah. tidak
valid pada saat itu. Oleh karena itu, Said Sabik meyakini benda yang digadaikan
harus berada dalam penguasaan Mutaxin agar akad gadai tidak batal. Misalnya
pihak murtahin wajib mengajukan syarat, seperti tidak menjual barang yang
digadaikan setelah utangnya lunas jika pihak rahin belum melunasi utang yang
ada, atau meminta sesuatu yang memberatkan rahin dan menguntungkan
murtahin, seperti mewajibkan pihak yang menggadaikan untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang gadainya tanpa membatasi jangka waktu tertentu atau
menjelaskan biaya penggunaan dan pemanfaatannya. Atau meminta agar
tambahan yang dihasilkan barang gadai tersebut diserahkan kepada pihak
murtahin. Syarat seperti ini tidak sah karena apa yang disyaratkan tersebut
mengandung unsur jahaalah (tidak diketahui, tidak jelas).
Dari pokok pembahasan batalnya akad gadai dapat disimpulkan bahwa
apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati maka
pihak rahin berkewajiban membayar hutangnya. Namun jika dari pihak rahin tidak
punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin
kepada pihak murtahin untuk menjual barang gadaian tersebut, apabila izin tersebut
29

tidak diberikan maka murtahin dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa
rahin melunasi utangnya.
6. Hikmah Gadai Kepada Masyarakat
Hikmah disyariatkannya gadai seperti yang telah dijelaskan oleh Ahmad
Wardi Muslich bahwa hikmah gadai adalah suatu keadaan setiap orang yang
berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap
jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk
menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia
pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan
uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia
mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara
berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia
meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadaisebagai
jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Sohari Sahrani dan
Ruf’ah Abdullah, bahwa Allah telah menetapkan ar-rahn (gadai) untuk
kemaslahatan gadai (rahin), debitur (murtahin) dan masyarakat. Bagi Racine,
keuntungannya adalah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini tentu saja
membuatnya bisa keluar dari krisis, menghilangkan kegelisahan di hatinya, dan
terkadang menggunakan modal tersebut untuk berdagang, itulah sebabnya ia
menjadi kaya. Sedangkan bagi murtahin (debitur) akan merasa tenang dan merasa
terjamin haknya serta mendapat manfaat syariah. Jika dia mempunyai niat yang
baik, maka dia akan diberi pahala oleh Allah. Adapun manfaat kembali ke
masyarakat adalah memperluas perdagangan dan meningkatkan rasa saling
mencintai antar umat manusia, karena didalamnya termasuk saling kebaikan dan
kesalehan. Ada manfaatnya dalam menyelesaikan krisis, mengurangi permusuhan
dan memperluas kekuasaan.
Dari penjelasan diatas hikmah disyariatkannya gadai itu disamping dapat
memberikan pemanfaatan atas barang yang digadaikan juga disisi lain dapat
memberikan keamanan bagi rahin dan murtahin, bahwa dananya tidak akan hilang
jika dari pihak rahin ingkar janji untuk membayar utangnya karena ada suatu aset
atau barang yang dipegang oleh pihak murtahin. Dari sisi peminjamatau rahin dapat
memanfaatkan dana pinjamanya untuk usaha secara maksimal sehingga membantu
30

menggerakkan roda perekonomian menuju kesejahteraan lebih baik, lebih maju,


dan lebih makmur.(M. A. Hidayatullah, 2020)

7. Berakhirnya Akad Gadai (Rahn)


Pada pelaksanaan suatu akad, terkhusus pada akad gadai atau rahn bisa
ditemui beberapa kondisi yang mengharuskan akad dari gadai tersebut berhenti.
Dalam hal tersebut berakhirnya akad rahn (gadai) bisa dikarenakan barang telah
diserahkan kembali pada pemiliknya, rahin (penggadai) membayar hutangnya,
dijual secara paksa. Maksudnya, yaitu apabila hutang telah jatuh tempo dan rahin
tidak mampu melunasi maka atas permintaan hakim, rahin bisa menjual borg
(barang gadaian). Dan jika rahin tidak mau menjual hartanya maka hakim yang
menjualnya untuk melunasi utangnya (rahin) . maka dari itu dengan lunasinya
hutang tersebut,maka akad gadai telah berakhir.
Pembatalan hutang dengan cara apapun sekalipun dengan pemindahan oleh
murtahin. Pembatalan oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak
rahin. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
Memanfatkan barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak
rahin atau murtahin. Meningglnya rahin (menurut Malikiyah) atau murtahin
(menurut Hanafiyah). sedangkan syafi`iyah dan Hambali, menganggap kematian
salah satu pihak buklan lah penyebab dari beraklhirnya akad rahn tersebut.(Bima
Aditia wijaya, 2017)
31
32

C. Akad Ijarah

1. Pengertian Ijarah
Ijarah secara bahasa berasal dari kata al-ajruyang berarti al-‘iwadhu (ganti).
Ijarah adalah suatu transaksi sewa menyewa antara pihak penyewa dengan yang
mempersewakan sesuatu harta atau barang untuk mengambil manfaatnya dengan
harga tertentu dan dalam waktu tertentu. Secara istilah ijarah ialah urusan sewa
menyewa yang jelas manfaat dan tujuannya, dan dapat diserah terimakan, boleh
dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).
Adapun pengertian istilah, menurut 4 imam besar terdapat perbedaan.
Menurut Hanafiah “ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalanberupa harta.
Menurut Malikiyah “ijarah adalah suatu akad yang memberikanhak milikatas
manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu denganimbalan yang bukan
berasal dari manfaat. Menurut Syafi’iyah “definisi akad ijarah adalah suatu akad
atas manfaatyang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan
denganimbalan tertentu.Menurut Hanabilah “ijarah adalah suatu akad atas manfaat
yang bisa sah dengan lafal ijarah dengan kara’ dan semacamnya”.
2. Dasar Hukum Ijarah
Dalam akad ijarah tentunya terdapat beberapa landasan hukum untuk dalam
melaksanakan akad ijarah. Landasan atau dasar hukum tersebut termuat dalam Al-
Quran Surat al-Baqoroh ayat 233, Surat al-Qashos ayat 26. Selain termuat dalam
beberapa ayat Al-Quran, akad ijarah ini juga dijelaskan pada beberapa hadits nabi
dan qowaidul fiqih. Untuk penjelasan dari landasan-landasan hukum tersbut, kita
bisa lihat penjelasan berikut ini.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
‫ضا َعةَ ۗ َو َعلَى ْال َن ْولُ ْو ِد لَهٗ ِر ْزقُ ُه َّن‬ َ ‫الر‬ َّ ‫َاملَي ِْن ِل َن ْن ا َ َرادَ ا َ ْن يُّ ِت َّم‬
ِ ‫ض ْعنَ ا َ ْو ََلدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك‬ ِ ‫َو ْال َوا ِل ٰدتُ ي ُْر‬
‫ث ِمثْ ُل‬ِ ‫ض ۤا َّر َوا ِلدَة ٌ ۢبِ َو َل ِدهَا َو ََل َم ْولُ ْود ٌ لَّهٗ بِ َولَد ِٖه َو َعلَى ْال َو ِار‬ َ ُ ‫س ا ََِّل ُو ْسعَ َها ۚ ََل ت‬ ٌ ‫ف َن ْف‬ ِ ۗ ‫َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِ ْال َن ْع ُر ْو‬
ُ َّ‫ف ََل تُكَل‬
ِ ‫َاو ٍر َف َال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َنا َۗوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم ا َ ْن ت َ ْست َْر‬
‫ضعُ ْٓٗوا اَ ْو ََلدَ ُك ْم فَ َال‬ ُ ‫اض ِم ْن ُه َنا َوتَش‬ ٍ ‫ص ًاَل َع ْن ت ََر‬ َ ِ‫ٰذلِكَ ۚ َفا ِْن ا َ َرادَا ف‬
‫صي ٌْر‬ ِ ۗ ‫سلَّ ْنت ُ ْم َّما ٓٗ ٰات َ ْيت ُ ْم بِ ْال َن ْع ُر ْو‬
ِ َ‫ف َواتَّقُوا اللّٰهَ َوا ْعلَ ُن ْٓٗوا ا َ َّن اللّٰهَ بِ َنا تَ ْع َنلُ ْونَ ب‬ َ ‫ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم اِذَا‬

Ayat ini memiliki arti “dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya


selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan
kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena
33

anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.”

Dalam ayat tersebut kementrian agama Saudi Arabia membrikan tafsir dari
ayat tersebut. Yang mana tafsir tersebut yaitu sebagai berikut: Dan menjadi
kewajiban pada ibu untuk menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh
bagi ibu yang berniat menyempurnakan proses penyusuan, dan menjadi kewajiban
para ayah untuk menjamin kebutuhan pangan dan sandang wanita-wanita menyusui
yang telah dicerai dengan cara-cara yang patut sesuai syariat dan kebiasaan
setempat. Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Dan kedua orang tua tidak boleh menjadikan anak yang terlahir
sebagai jalan untuk saling menyakiti antara mereka berdua, dan menjadi kewajiban
ahli waris setelah kematian ayah seperti apa yang menjadi kewajiban sang ayah
sebelum kematiannya dalam hal pemenuhan kebutuhan nafkah dan sandang. Maka
apabila kedua orang tua berkeinginan menyapih bayi sebelum dua tahun maka tidak
ada dosa atas mereka berdua bila mereka telah saling menerima dan bermusyawarah
dalam urusan tersebut, agar mereka berdua dapat mencapai hal-hal yang menjadi
kemaslahatan si bayi. Dan apabila kedua orang tua sepakat untuk menyusukan bayi
yang terlahir kepada wanita lain yang menyusui selain ibunya, maka tidak ada dosa
atas keduanya, apabila ayah telah menyerahkan untuk Ibu apa yang berhak dia
dapatkan dan memberikan upah bagi perempuan yang menyusui dengan kadar yang
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan orang-orang. Dan takutlah
kepada Allah dalam seluruh keadaan kalian dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan dan akan memberikan balasan
kepada kalian atas perbuatan tersebut.

Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, yakni seorang mudarris tafsir


pada Universitas Islam Madinah. Menafsirkan ayat ini menjelaskan tafsir mengenai
ayat ini. Menurut penafsiran beliau yaitu sebagai berikut :

‫ض ْعنَ أ َ ْو ٰلدَه َُّن‬


ِ ‫( َو ْال ٰو ِل ٰدتُ ي ُْر‬Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya)
34

Setelah Allah menyebutkan masalah pernikahan dan perceraian kemudian


disini menyebutkan masalah persusuan karena sepasang suami istri ketika berpisah
bisa jadi keduanya memiliki anak. Pada kata (‫ )يرضعن‬mempunyai makna perintah.

ۖ ‫َاملَي ِْن‬
ِ ‫( َح ْولَي ِْن ك‬selama dua tahun penuh)

Yakni dua tahun penuh secara pasti dan bukan kira-kira, dan tidak ada
persusuan setelah dua tahun.

ۚ َ‫ضا َعة‬ َّ ‫( ِل َن ْن أَ َرادَ أَن يُتِ َّم‬yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan)
َ ‫الر‬

Yakni menyusui selama dua tahun bukanlah keharusan melainkan itu adalah
batas sempurna. Dan dibolehkan kurang dari itu apabila kedua orang tua meridhai.

‫( َو َعلَى ْال َن ْولُو ِد لَهۥ ُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن‬Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu)

Yakni atas ayah yang telah diberi anak kewajiban untuk memberi makan
dan pakaian bagi ibu anaknya yang telah menyusui. Oleh sebab itulah seorang anak
dinisbahkan kepada ayaknya dan bukan kepada ibunya, seakan-akan para ibu hanya
melahirkan anak para ayah. Dan hukum memberi makan dan pakaian ini jika sang
ibu telah dicerai, dan jika bukan ibu yang dicerai maka memberi nafkah dan pakaian
ini merupakan kewajiban atas ayah meski sang ibu tidak menyusui anaknya.

ۚ ‫س ِإ ََّل ُو ْس َع َها‬ ُ َّ‫( ََل ت ُ َكل‬Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
ٌ ‫ف نَ ْف‬
kesanggupannya)

Yakni seorang wanita tidak dibebani untuk bersabar atas nafkah yang
sedikit, dan tidak pula seorang ayah dibebani nafkah yang besar yang tidak ia
sanggupi, akan tetapi harus memperhatikan keadilan atas keduanya.

‫آر‬ َ ُ ‫( ََل ت‬Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan)


َّ ‫ض‬

Yakni seorang ibu tidak boleh menyengsaran ayah disebabkan anak dengan
meminta kepadanya nafkah makan dan pakaian yang tidak ia sanggupi, dan tidak
boleh pula ayah menyengsarakan seorang ibu dengan melalaikan kewajibannya
atau mengambil anaknya dari ibu tanpa alasan.

ۗ َ‫ث ِمثْ ُل ٰذلِك‬


ِ ‫( َو َعلَى ْال َو ِار‬dan warispun berkewajiban demikian)
35

Yakni apabila ayah tadi meninggal maka ahli waris atas anak ini
berkewajiban untuk memberi upah menyusui kepada sang ibu, sebagaimana yang
dilakukan sang ayah sebelum meninggal. Dan pendapat lain mengatakan yang
dimaksud dengan ahli waris disini adalah ahli waris ayah, yang berkewajiban untuk
memberi nafkah dan pakaian bagi yang menyusui dengan cara yang baik. Dan
diharamkan bagi yang memberi nafkah ini untuk memberi kemadharatan kepada
sang ibu sebagaimana dulu diharamkan atas sang ayah.

‫ص ًاَل‬
َ ِ‫( ف‬menyapih)

Yakni menghentikan penyusuan.

‫اض ِم ْن ُه َنا‬
ٍ ‫( َعن ت ََر‬dengan kerelaan keduanya)

Yakni atas dasar kerelaan dari kedua orangtua. Maka apabila salah seorang
dari keduanya ingin menyapih anaknya maka ia harus meminta kerelaan orang
satunya dan bermusyawarah dengannya sampai keduanya bersepakat demi
kebaikan anak.

‫ضعُ ٓٗو ۟ا أ َ ْو ٰلدَ ُك ْم‬


ِ ‫( َو ِإ ْن أ َ َردت ُّ ْم أَن تَ ْست َْر‬Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain) Yakni meminta agar yang menyusui anak adalah wanita lain selain ibu si anak.

‫سلَّ ْنتُم َّمآ َءات َ ْيتُم‬


َ ‫( فَ َال ُجنَا َح َع َل ْي ُك ْم ِإذَا‬maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran)

Yakni hal itu tidak mengapa jika meminta agar yang menyusui anak adalah
wanita lain selain ibu si anak asalkan kalian memberi upah kepada ibu si anak sesuai
dengan lamanya waktu menyusui, atau memberi upah kepada yang kamu mintai
agar menyusui anakmu.

‫( بالنعروف‬dengan cara yang ma’ruf)

Yakni tanpa menunda-nunda atau mengurangi upah tersebut, karena tidak


memberi upah secara baik kepada mereka menunjukkan bahwa sang ayah
meremehkan dan lalai dalam urusan si anak.

Dan dibolehkannya meminta agar si anak disusui oleh orang lain jika tidak
memberikan madharat kepada sang ibu sebagaimana dijelaskan diawal ayat ini.

Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:


36

ُّ ‫ ِإ َّن َخي َْر َم ِن ا ْست َأ ْ َج ْرتَ ْالقَ ِو‬،ُ‫ت ا ْست َأ ْ ِج ْره‬


. ُ‫ي اْأل َ ِم ْين‬ ِ َ‫ت ِإحْ دَا ُه َنا يَآأَب‬
ْ َ‫قَال‬

"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.""

Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:

َّ ‫طوا اْأل َ ِجي َْر أَجْ َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج‬


.ُ‫ف َع َرقُه‬ ُ ‫أ َ ْع‬

"Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."

Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi
s.a.w. bersabda:

.ُ‫َم ِن ا ْستَأ ْ َج َر أ َ ِجي ًْرا فَ ْليُ ْع ِل ْنهُ أَجْ َره‬

"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َوآ ِل ِه‬ ِ ‫س ِعدَ ِب ْال َن‬


ُ ‫ فَنَ َهانَا َر‬،‫اء ِم ْن َها‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬ َّ َ‫ض ِب َنا َعلَى الس ََّواقِ ْي ِمن‬
َ ‫الز ْرعِ َو َما‬ َ ‫ُكنَّا نُ ْك ِري اْأل َ ْر‬
َّ ِ‫ب أ َ ْو ف‬
.ٍ‫ضة‬ ٍ ‫سلَّ َم َع ْن ذَلِكَ َوأَ َم َرنَا أ َ ْن نُ ْك ِر َي َها ِبىَ َه‬
َ ‫َو‬

"Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka,


Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami
menyewakannya dengan emas atau perak."

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

ً ‫وط ِه ْم ِإَلَّ ش َْر‬


‫طا َح َّر َم‬ ُ ‫ص ْل ًحا َح َّر َم َحالََلً أ َ ْو أ َ َح َّل َح َرا ًما َو ْال ُن ْس ِل ُنونَ َعلَى‬
ِ ‫ش ُر‬ ُ َّ‫ص ْل ُح َجائِ ٌز بَيْنَ ْال ُن ْس ِل ِنينَ ِإَل‬ ُّ ‫اَل‬
.‫َحالََلً أ َ ْو أ َ َح َّل َح َرا ًما‬

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang


mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram."

Kaidah fiqh:
37

ِ َ‫ص ُل فِى ْال ُن َعا َمال‬


.‫ت اْ ِإلبَا َحةُ ِإَلَّ أَ ْن يَد ُ َّل دَ ِل ْي ٌل َعلَى ت َحْ ِري ِْن َها‬ ْ َ ‫اَأل‬

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”

َ ‫ب ْال َن‬
ِ‫صا ِلح‬ ِ ‫دَ ْر ُء ْال َنفَا ِس ِد ُمقَدَّ ٌم َعلَى َج ْل‬

"Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas


mendatangkan kemaslahatan."

Sedangkan pada regulasi yang mengatur tentang perekonomian secara


syariah di Indonesia atau yang sering disebut dengan Dewan Syariah Nasional
menjelaskan beberapa fatwa mengenai ijarah. Pada DSN fatwa mengenai ijarah
dijelas pada fatwa nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 (pembiayaan ijarah), 27/DSN-
MUI/III/2002 (al-ijarah al-muntahiyah bi tamlik), 41/DSN-MUI/III/2002 (obligasi
syariah ijarah), 72/DSN-MUI/IV/2008 (surat berharga syariah negara ijarah sale
and lease back), 76/DSN-MUI/IV/2010 (SBSN ijarah asset to be leased), 101/DSN-
MUI/IV/2016 (Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah), 102/DSN-
MUI/IV/2016 (Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah untuk Produk
Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent), 112/DSN-MUI/IV/2017 (akad
iajarah).
3. Rukun Ijarah
Menurut jumhur Ulama, rukun ijarah itu ada empat. Yang pertama yaitu
‘Aqid, yaitu mu’ajir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orangyang
menyewa). Rukun yang kedua Shighat, yaitu ijab dan qabul. Rukun yang ketiga
yaitu ujrah pemberian upah yaitu jasa yang diberikan sebagai imbalanmanfaat. Dan
rukun yang terakhir yaitu Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau
jasa dantenaga orang yang bekerja.
4. Syarat dan Syarat Syah Ijarah
Selain rukun, pada akadijarah juga terdapat syarat dan syarat syah mengenai
ijarah. Untuk syarat ijarah sendiri ada 3 syarat yaitu Syarat terjadinya akad
(syaratin’iqah), Syaratnafadzh (berlangsungnya akad), Syarat sahnya ijarah, dan
Syarat mengikatnya akad (syaratluzum).
Sedangkan syarat syahnya ijarah itu ada 3, yang pertama yaitu kerelaannya
untuk melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang diantaranyamerasa terpaksa
melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Syarat syah yang kedua yaitu objek
38

akad (ma’qud ‘alaih) yaitu manfaat harus jelas, dan bolehdimanfaatkan menurut
pandangan syara’, sehingga tidakmenimbulkan perselisihan. Sedangkan syarat syah
yang ketiga yaitu objek manfaat, penjelasan objek manfaat bisa dengan
mengetahuibendayang disewakan.
5. Macam-macam akad iajarah
Apabila dilihat dari segi objeknya, fuqaha membagi akad ijarah menjadi dua
macam yaitu yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan (jasa). Akad ijarah yang
bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah,
toko,tanah,kendaraan,pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat tersebut merupakan
manfaat yang dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan, maka fuqaha sepakat
menyatakan kebolehannya untuk dijadikan objek sewa.
Dalam kasus sewa atas tanah ada dua prinsip yang mendasarinya yaitu:
Keadilan dan hemurahan Hati, yang merupakan penentu dasar dari sewa atas tanah.
Kata “keadilan” yang dimaksud adalah sewa dibebankan kepada petani penggarap
sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sehingga mereka merasa
gembira dan puas, hal ini menjadi faktor pendorong bagi pekerja untuk bekerja
sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka.Sedangkan
maksud dari kata “kemurahan hati” adalah bahwa sewa yang hanya akan dipungut
ketika yang mereka hasilkan melebihidi atas kebutuhan mereka.
Akad ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut fuqaha
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas, seperti buruh bangunan, tukang
jahit, buruh pabrik dan lain sebagainya.(Nasrun, 2000)
6. Perbedaan ijarah dengan bunga
Dari sudut pandang hukum Islam, membayar sewa tampaknya tidak
bertentangan dengan etika ekonomi Islam, karena terdapat perbedaan yang
signifikan antara sewa dan bunga. Namun sekilas sewa dan bunga tampak sama,
karena sewa dikatakan sebagai tanah atau harta benda, sedangkan bunga adalah
modal, dan modal mempunyai potensi untuk diubah menjadi harta atau kekayaan
apa pun. Meskipun sekilas terdapat kesamaan, perdagangan dan keuntungan dalam
kedua kasus tersebut berbeda secara signifikan dalam beberapa aspek.
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif dan efisiensi perusahaan. Itu terjadi
setelah proses penciptaan nilai tertentu. Karena pemilik properti atau aset tetap
terlibat dan berkepentingan dengan segala penggunaan oleh pengguna. Tidak
39

demikian halnya dengan bunga, karena setelah pinjaman diperoleh dan bunga
dijamin, pemberi pinjaman tidak lagi mempunyai kepentingan dalam penggunaan
pinjaman tersebut.
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses
menciptakan nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan
merubahnya menjadi milik atau kekayaan. Oleh karena itu, unsur kewirausahaan
tetap jelas dan aktif dalam produksi barang dan jasa. Pada saat yang sama, minat
dapat memperlambat proses penciptaan nilai. Unsur kewirausahaan hilang sama
sekali karena pemberi pinjaman tetap tidak tertarik dalam memanfaatkan pinjaman
tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan sewa, pola, skala dan efisiensi produk
ditentukan oleh pemilik modal sendiri. Karena sebatas penggunaannya yang jelas
dan terarah. Pada saat yang sama, dalam hal kepentingan, pemilik sebenarnya
tampaknya tidak tertarik dengan penggunaan modal secara ekonomi, sehingga
potensi penyalahgunaan modal tinggi.
Keempat, karena dalam hal sewa banyak faktor kerugiannya, maka
penggunaan modal oleh pemilik untuk memperoleh sewa tidak akan menyebabkan
munculnya golongan pemalas dalam masyarakat, dan faktor kerugian sama sekali
tidak ada dalam hal ini. Bunga bisa menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin kaya.(Mannan, 1992) Dengan demikian dalam sewa-menyewa
tidak terdapat unsur eksploitasi sebagaimana terjadi dalam bunga. Karena itu dalam
sewa menyewa dimensi insaninya lebih dominan dibandingkan dengan dimensi
ilahinya.(Jamaa, 2011) Sebab sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh muamalah
berkaitan erat dengan kepentingan manusia.
7. Sifat dari akad ijarah
Fuqaha berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendapat akad ijarah bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur (halangan)
dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak meninggal dunia atau
kehilangan kecakapan dalam bertindak hukum. Jumhur fuqaha yang berpendapat
bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada kecacatan yang menyebabkan
barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.(Hilal, 2013)
8. Prinsip-prinsip akad ijarah
40

Dalam pandangan Islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah haruslah dipenuhi


oleh seseorang dalam suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukakannya. Prinsip
pokok ijarah yang pertama yaitu jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal
sehingga dibolehkan melakukan transaksi al-ijarah untuk keahlian memproduksi
barang-barang keperluan seharihari yang halal seperti untuk memproduksi
makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Namun tidak dibolehkan
transaksi al-ijarah untuk keahlian membuat minuman keras, membuat narkoba dan
obat-obat terlarang atau segala aktifitas yang terkait dengan riba.
Prinsip yang kedua yaitu memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah yakni
orang-orang yang mengadakan transaksi ajiir dan musta’jir haruslah sudah
mumayyiz yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk sehingga tidak sah
melakukan transaksi alijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz
seperti anak kecil. Kemudian Transaksi atau akad harus didasarkan pada keridaan
kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan.
Prinsip pokok dari ijarah adalah transaksi ijarah harus berpegang pada syarat
dan aturan yang jelas sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan antar pihak
yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan sesuatu yang bersifat akad. Apabila
transaksi itu berkaitan dengan ajîr, maka tenaganya digunakan, maka untuk
mengontrak ajîr harus ditentukan bentuk usaha, waktu, upah dan tenaga. Oleh
karena itu, jenis pekerjaan harus dijelaskan untuk menghindari ambiguitas. Karena
tidak jelas apakah transaksi ijarah itu sah secara fasid (korupsi). Dan waktunya juga
harus ditentukan, misalnya harian, bulanan, atau tahunan. Selain itu, gaji untuk
pekerjaan itu juga harus ditentukan. Oleh karena itu, dalam suatu transaksi ijarah,
bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-amal), lamanya pekerjaan (muddah al-amal),
upah pekerjaan (ujrah al-amal), jumlah tenaga yang dikeluarkan selama bekerja
(ujrah al-amal). pekerjaan harus dinyatakan dengan jelas. (al-juhd alladziy yubdzalu
fii al-amal).
9. Berakhirnya akad iajarah
Akad ijarah adalah jenis akad lazim, suatu akad yang mana salahsatu pihak
yang berakad tidak mempunyai hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran,
kecuali jika di dapati hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah tidak menjadi fasakh
dengan meninggalnya salah satu pihak yang berakad, pewaris memegang peranan
warisan, apakah sebagai pihak muajjir atau musta’jir. Dan tidak menjadi fasakh
dengan dijualnya barang (ain) yang disewakan untuk pihak penyewa atau lainnya,
41

dan pembeli menerimanya jika ia bukan sebagai penyewa sesudah berakhirnya


masa ijarah.
Dalam beberapa kasus, ijarah bisa menjadi fasakh (pembatalan). Keadaan-
keadaan yang menyebabkan batalnya ijarah atau fasakh adalah tidak berfungsinya
barang sewaan di tangan yang menyewakan atau aib jangka panjang yang
ditimbulkan padanya. Barang sewaan kemudian mengalami kerusakan, seperti
kerusakan rumah dan hewan. Alasan ketiga mengapa ijarah dikompromikan adalah
apakah manfaat yang dijanjikan telah terpenuhi, atau pekerjaan telah selesai, atau
jangka waktunya telah berakhir, kecuali jika ada kendala syariat yang menghalangi
fasakh. Misalnya, jika masa ijarah suatu tanah pertanian berakhir sebelum hasil
panen dipanen, maka tanah tersebut tetap berada di tangan penggarap sampai
berakhirnya masa panen. Alasan batalnya akad ijarah selanjutnya adalah
meninggalnya salah satu pihak dalam akad, karena akad ijarah tidak dapat
diwariskan. Menurut Hanafye. Sementara itu, Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa
akad ijarah tidak batal jika salah satu pihak meninggal dunia karena bunganya dapat
diwariskan dan akad ijarah sama dengan jual beli. Sedangkan menurut Fuqaha dari
madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memfasakhkan ijarah, karena ada
halangan syar’I sekalipun dari salah satu pihak. Seperti seseorang yang menyewa
toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau dicuri atau dirampas atau
bangkrut, maka ia berhak memfasakhkan ijarahnya.(Sabiq, 1995)

Skema Ijarah

gadai Pegadaian Safe


Simpan +
Syariah pemeliharaan deposit
qord Box

Nasabah

IJARAH
42

D. Mu’nah dan Marhun

1. Pengertian Mu’nah
Mu’nah merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan suatu
barang investasi agar terus berfungsi. Menurut ulama Hanafiyyah biaya jasa
pemeliharaan (mu'nah) ditanggung oleh rahin sebagai pemilik barang gadai dan
oleh murtahin sebagai orang yang bertanggung jawab menjaganya. Seluruh biaya
yang dibutuhkan untuk kemaslahatan barang gadai (marhun) ditanggung oleh rahin,
karena barang tersebut miliknya dan segala biaya untuk memelihara barang gadai
ditanggung oleh murtahin, dikarenakan dia menahan barang gadai (marhun) maka
dia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan marhun. Dalam hal ini
srahin bertanggung jawab untuk menyediakan biaya makan, minum, dan
penggembalaan apabila barang jaminannya berupa hewan ternak. Kemudian rahin
bertanggung jawab membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan, dan
cukai apabila marhun berupa tanah. Semua itu merupakan biaya yang harus
ditanggung oleh rahin. Rahin tidak dapat mengambil biaya jasa pemeliharaan
(mu'nah) marhun dari hasil marhun kecuali atas izin murtahin dikarenakan barang
gadai (marhun) semuanya berhubungan dengan hak murtahin.
Rahin bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya menjaga dan
tempat pemeliharaan, seperti biaya kandang, biaya tempat simpanan karena biaya
pemeliharaan barang gadai (marhun) adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan
tanggung jawab tersebut, rahin tidak boleh mensyaratkan dalam akad rahn bahwa
pembayaran biaya harus kepadanya, karena pemeliharaan barang gadai (marhun)
adalah kewajibannya.59 Kemudian menurut ulama Malikiyyah, Hanabillah, dan
Syafi'iyah semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan dengan
barang gadai (marhun) harus ditanggung oleh rahin.
Masing-masing yang berakad rahn, yakni rahin (pemberi gadai) dan murtahin
(penerima gadai) memiliki kebebasan dalam menentukan syarat-syarat seperti
penentuan batas waktu pembayaran pinjaman (marhun bih) dan biaya
simpanan/titipan yang dalam akad rahn ini hanya mengikat salah satu pihak yang
berakad, yaitu pemberi gadai (rahin). Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabillah
selama tidak ada larangan dalam Al-Qur'an dan hadits, sedangkan menurut ulama
43

Syafi'iyah dan Hanafiyyah menambahkan bahwa syarat itu tidak bertentangan


dengan hakikat akad.
2. Pengertian Marhun
Barang jaminan (marhun) harus berupa harta (mal) berharga baik benda
bergerak maupun tidak bergerak yang boleh dan dapat diperjual-belikan, termasuk
aset keuangan berupa sukuk, efek syariah atau surat berharga syariah lainnya.
Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan musya' (bagian dari kepemilikan
bersamaJpart of undivided ownership), maka musya' yang digadaikan harus sesuai
dengan porsi kepemilikannya. Barang jaminan (marhun) boleh diasuransikan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku danlatau kesepakatan.
Kemudian tentang penjualan dari marhuntersebut ada beberapa ketentuan. Yang
pertamna jika jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera
melunasi utangnya. Ketentuian selanjutnya yaitu apabila Rahin tetap tidak dapat
melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai
syariah. Untuk hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Dan jika
ada kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.
Kemudian untuk pemanfaatan barang gadai (marhun), menurut jumhur ulama
Hanafiyyah, murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai (marhun) sebab dia
tidak berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sedangkan ulama
Malikiyyah mengizinkan murtahin memanfaatkan barang gadai (marhun) apabila
diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut merupakan
barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat ulama Syafi'iyah. Adapun para ulama
berbeda pendapat dengan ulama Hanabillah, mereka berpendapat jika barang gadai
(marhun) berupa hewan, maka murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai
atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh
rahin. Barang gadai (marhun) selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas
izin rahin.
3. Dasar Hukum Mu’nah
Adapun dasar hukum Al-Qur'an seperti yang dijelaskan pada Q.S Al-Baqaraah
ayat 233 yang berkaitan dengan biaya jasa pemeliharaan yang yang berbunyi:
44

‫عةَ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َن ْولُو ِد لَهۥ ُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن‬ َ ‫ضا‬ َ ‫لر‬ َّ ‫َاملَي ِْن ۖ ِل َن ْن أ َ َرادَ أَن يُتِ َّم ٱ‬ ِ ‫ض ْعنَ أ َ ْو ٰلَدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك‬ ِ ‫َوٱ ْل ٰ َو ِل ٰدَتُ ي ُْر‬
‫ث ِمثْ ُل ٰذَلِكَ ۗ فَإ ِ ْن‬ ِ ‫ضا ٓٗ َّر ٰ َو ِلدَ ۢة ٌ ِب َولَ ِد َها َو ََل َم ْولُودٌ لَّهۥ ُ ِب َولَ ِد ِهۦ ۚ َو َعلَى ٱ ْل َو ِار‬
َ ُ ‫س ِإ ََّل ُو ْس َع َها ۚ ََل ت‬
ٌ ‫ف نَ ْف‬ ِ ‫ِبٱ ْل َن ْع ُر‬
ُ َّ‫وف ۚ ََل ت ُ َكل‬
‫ضعُ ٓٗو ۟ا أ َ ْو ٰلَدَ ُك ْم فَ َال ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم إِذَا‬
ِ ‫َاو ٍر فَ َال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َنا ۗ َوإِ ْن أ َ َردتُّ ْم أَن ت َ ْست َْر‬ ُ ‫اض ِم ْن ُه َنا َوتَش‬ ٍ ‫ص ًاَل َعن ت ََر‬ َ ِ‫أ َ َرادَا ف‬
‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫وا ٱللَّهَ َوٱ ْعلَ ُن ٓٗو ۟ا أ َ َّن ٱللَّهَ بِ َنا ت َ ْع َنلُونَ ب‬
۟ ُ‫وف ۗ َوٱتَّق‬
ِ ‫سلَّ ْنت ُم َّما ٓٗ َءاتَ ْيتُم بِٱ ْل َن ْع ُر‬
َ
Ayat tersebut mempunyai arti yaitu sebagai berikut “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Untuk kandungan terkait dengan surat Al Baqoroh ayat 233 tersebut ada
beberpa ulama yang menafsirkan salah satunya yaitu dari kementrian agama Saudi
Arabiya atau yang bisa disebut dengan tafsir Al-Muyassar. Berikut ini merupakan
tafsir al-muyassar: Dan menjadi kewajiban pada ibu untuk menyusui anak-anak
mereka selama dua tahun penuh bagi ibu yang berniat menyempurnakan proses
penyusuan, dan menjadi kewajiban para ayah untuk menjamin kebutuhan pangan
dan sandang wanita-wanita menyusui yang telah dicerai dengan cara-cara yang
patut sesuai syariat dan kebiasaan setempat. Sesungguhnya Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kedua orang tua tidak boleh
menjadikan anak yang terlahir sebagai jalan untuk saling menyakiti antara mereka
berdua, dan menjadi kewajiban ahli waris setelah kematian ayah seperti apa yang
menjadi kewajiban sang ayah sebelum kematiannya dalam hal pemenuhan
kebutuhan nafkah dan sandang. Maka apabila kedua orang tua berkeinginan
menyapih bayi sebelum dua tahun maka tidak ada dosa atas mereka berdua bila
mereka telah saling menerima dan bermusyawarah dalam urusan tersebut, agar
mereka berdua dapat mencapai hal-hal yang menjadi kemaslahatan si bayi. Dan
apabila kedua orang tua sepakat untuk menyusukan bayi yang terlahir kepada
wanita lain yang menyusui selain ibunya, maka tidak ada dosa atas keduanya,
apabila ayah telah menyerahkan untuk Ibu apa yang berhak dia dapatkan dan
45

memberikan upah bagi perempuan yang menyusui dengan kadar yang sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku dikalangan orang-orang. Dan takutlah kepada Allah
dalam seluruh keadaan kalian dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan dan akan memberikan balasan kepada kalian
atas perbuatan tersebut.
Selain dari Al-Quran ada juga hadits nabi yang meriwayatkan mengenai
pengadaan barang jaminan atau marhun ini. Hadits nabi tersebut berbunyi
ُ ‫علَ ْي ِه‬
ُ ‫غ ْر ُمه‬ َ ‫غ ْن ُمهُ َو‬ ْ ‫صاحِ ِب ِه الَّ ِذ‬
ُ ُ ‫ي َر ِهنَهُ لَه‬ َّ ‫الَ َي ْغلَ ُق‬
َ ‫الر ْهنَ مِ ْن‬
Adapun makna dari hadits ini yaitu ”pemilik harta yang diagunkan jangan
dilarang memanfaatkan hartanya itu,karena segala hasil barang itu menjadi milik
(pemilik)- nya dan segala kerugian barang itu menjadi tanggung jawab (pemilik)-
nya”(HR IMAM Asy-Syafi’I ad-Daruquthni).
Perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat
tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum hutang sendiri tidaklah
wajib,begitu juga penggantinya,yaitu barang jaminan. Terjadinya hal demikian
dikarenakan tidak percayanya kedua belah pihak.
4. Pemanfaatan Marhun
Pegadaian Syari'ah atau rahn mempunyai persyaratan antara lain: dilakukan
secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keutungan; hak gadai
berlaku pada seluruh harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak; dapat
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, dan tidak ada istilah bunga.
Pemanfaatan marhun (barang gadaian) dalam Islam tetap merupakan hak rahin
termasuk hasil barang gadaian tersebut, seperti anaknya, buahnya dan bulunya.
Sebab perjanjian dilaksanakan hanyalah untuk menjamin utang dan dipegang oleh
murtahin, bukan untuk mengambil suatu keuntungan. Perbuatan murtahin
memanfaatkan marhun adalah merupakan perbuatan yang melahirkan kemanfaatan,
dan setiap jenis qiral yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai riba.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa marhun tetap berada dalam
penguasaan murtahin, yaitu selama orang yang menggadaikan barang tersebut
belum melunasi utangnya. Bahkan Ibnu Al-Munzir, seperti yang dikutip Sayyid
Sabiq. mengemukakan. "Semua orang yang alim berpendapat bahwa siapa yang
menjaminkan sesuatu dengan harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia
menghendaki mengeluarkan sebagian jaminan. Sesungguhnya yang demikian itu
46

bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi utang
membebaskannya."
Dari beberapa pendapat para ulama tentang pemanfaatan marhun dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu manfaat dari marhun adalah hak dan
manfaat dari marhun adalah hak murtahin. Dari kedua kategori tersebut terdapat
perbedaan dari kalangan ulama. Pendapat yang pertama dipegang oleh Imam
Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad serta merupakan pendapat Jumhur Ulama.
Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu manfaat dari marhun adalah hak murtahin.
Pendapat ini dipegang Imam Hanafi.(Chuzaimah, 1995)
Pada dasarnya semua marhun, baik bergerak maupun tak bergerak, dapat
digadaikan sebagai jaminan dalam gadai syariah. Namun, menurut Basyir yang
marhun harus memenuhi tiga syarat. Tiga syarat marhun tersebut yaitu marhun
harus erupakan benda bernilai menurut hukum syara, marhun sudah ada wujudnya
ketika perjanjian terjadi,marhun mungkin diserahkan seketika kepada
murtahin.(Basyir, 1983)
Adapun dalam pandanga imam Syafi bahwa barang yang dapat digadaikan itu
berupa semua barang yang boleh dijual. Sedangkan menurut pendapat ulama yang
rajih (unggul) bahwa barang-barang tersebut harus memiliki 3 (tiga) syarat.(al-
Husaini et al., 1997) Adapun tiga syarat yang dimaksud dari ulama rajah
yaitumarhun harus berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena
barang nyata itu dapat diserahterimakan secara langsung, barang tersebut menjadi
milik rahin, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat digadaikan, barang
yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kategori marhun dalam
sudut hukum Islam tidak hanya berlaku bagi barang bergerak saja, namun juga
meliputi barang yang tidak bergerak dengan catatan barang tersebut dapat dijual.
Namun, mengingat keterbatasan tempat penyimpanan, keterbatasan SDM di
Pegadaian syariah, perlunya meminimalkan risiko yang ditanggung gadai syariah,
serta memperhatikan peraturan yang berlaku, maka ada barang tertentu yang tidak
dapat digadaikan. Barang yang tidak dapat digadaikan itu, antara lain, surat utang,
surat aksi, surat efek, dan surat-surat berharga lainnya. Kemudian selain dari itu
benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari satu tempat ke
tempat lainnya memerlukan izin juga tidak bisa menjadi barang jaminan (marhun).
Dan yang ketiga yaitu benda yang hanya berharga sementara atau yang harganya
47

naik turun dengan cepat, sehingga sulit ditaksir oleh petugas gadai.(Suhrawardi &
Farid, 2000) Hal ini ada dikarenakan dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Dalam memelihara marhun, tentu saja pihak gadai mempunyai hak dan
kewajiban. Adapun kewajiban pemegang gadai yaitu berhak menahan barang yang
dipertanggungkan selama hutanghutang, bunga dan biaya-biaya yang belum
dilunasi. Bila tidak ada ketentuan lain, pemegang gadai setelah waktu yang
ditentukan telah lampau atau tidak ditetapkan waktunya, setelah mengadakan
somasi, dapat melelang barang yang digadaikan dimuka umum. Pemegang gadai
berhak untuk minta digantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang
gadai untuk menyelamatkan barang yang dipertanggungkannya itu. Pemegang
gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang tanggungannya itu apabila hak sudah
menjadi kebiasaan (seperti halnya penggadaian surat-surat sero dan obligasi).
Apabila hutang-hutang tidak dibayar sepenuhnya, maka pemegang gadai tidak
wajib mengembalikan barang yang dipertanggungkan itu.
Adapun kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang gadai yaitu
bertanggung jawab atas kerugian, apabila karena kesalahannya barang yang
dipertanggungkan menjadi hilang atau kemunduran harga barang tanggungannya.
Kemudian pemegang gadai harus memberitahukan kepada orang yang berhutang
apabila ia hendak menjual atau melelang barang tanggungannya. Kewajiban yang
harus dilakukan pemegang gadai yang terakhir yaitu harus mengembalikan barang
yang dipertanggungkan apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk
menyelamatkan atau perawat barang tanggungan telah dibayar lunas.
48

BAB III
PEGADAIAN SYARIAH CABANG CIPTO KOTA CIREBON
A. Profil Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon

Pegadaian Syariah Cabang Cipto merupakan pegadaian yang berlokasi di Jl. Dr.
cipto mangunkusumo No. 121, Pekiringan, Kesambi, Cirebon, kode pos 45131.
Pegadaian Syariah Cabang Cipto ini dipimpin oleh ibu Ayu Minnatul Ilah SE.
menaungi beberapa pegadaian unit yang berda di 3 wilyah Cirebon. Pegadaian Syariah
Cabang Cipto ini memiliki beberapa unit di bawahnya. Untuk unit pegadaian syariah
yang membawahi pegadaian cabang cipto ini ada 6 unit. Enam unit pegadaian syariah
tersebut yaitu Pegadaian Syariah Unit Pekalipan, Pegadaian Syariah Unit CBC,
Pegadaian Syariah Unit Perjuangan, Pegadaian Syariah Unit Tukmudal, Pegadaian
Syariah Unit Arjawinangun, Pegadaian Syariah Unit Cikijing.

B. Visi dan Misi Pegadaian Syariah

a. Visi Pegadaian Syariah


Dalam rangka menjawab kebutuhan sebagai konsumen Muslim di Indonesia
yang menginginkan transaksi pinjam meminjam yang sesuai syariah Islam maka
Perum Pegadaian sebagai lembaga yang bergerak di sektor usaha penyaluran
pinjaman perlu merespon tuntutan konsumen.
Adapun yang menjadi visi Pegadaian yaitu sebagai solusi bisnis terpadu
terutama berbasis gadai yang selalu menjadi market leader dan mikro berbasis
fidusia selalu menjadi yang terbaik untuk masyarakat menengah kebawah.
b. Misi Pegadaian Syariah
Selain mempunyai visi, tentunya pegadaian syariah dalam menjalankan
kewajibannya sebagai lembaga keuangan syariah (LKS) mempunyai misi.
Tentunya misi dari pegadaian syariah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
dan kesejahteraan masyarakat. Misi Pegadaian Syariah yaitu memberikan
pembiayaan yang tercepat, termudah, aman dan selalu memberikan pembinaan
terhadap usaha golongan menengah kebawah untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Misi yang kedua yaitu memastikan pemerataan pelayanan dan
infrastruktur yang memberikan kemudahan dan kenyamanan di seluruh Pegadaian
dalam mempersiapkan diri menjadi pemain regional dan tetap menjadi pilihan
utama masyarakat. Dan misi yang terakhir dari pegadaian syariah yaitu membantu
49

Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah


kebawah dan melaksanakan usaha lain dalam rangka optimalisasi sumber daya
perusahaan.

C. Motto Pegadaian Syariah

Dalam menjalankan tugas serta wewenang, pegadaian syariah mempunyai


sebuah motto. Motto dari pegadaian syariah yang menjadi panduan dalam
melaksanakan tugas. Motto dari pegadauan syariah yaitu “mengatasi masalah tanpa
masalah”. Pada motto ini memiliki pemahaman bahwa pegadaian syariah memberikan
kemudahan dalam mengatasi masalah kita dengan cepat dan mudah. Kebutuhan akan
uang tunai terkadang menjadi kendala bagi masyarakat dalam memperoleh pinjaman.
Pegadaian syariah memfasilitasi warga untuk dapat memperoleh pinjaman tersebut
dengan praktis dan cepat dengan menjaminkan sebagian harta yang dimiliki.

D. Struktur Organisasi dan Job description

Struktur organisasi perusahaan merupakan suatu kerangka usaha dalam


menjalankan atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang akan dilakukan, organisasi
dapat dianggap sebagai wadah untuk mencapai tujuan tertentu, mengetahui kedudukan
dan wewenang, tugas, fungsi, dantanggung jawab dalam setiap pekerjaan untuk
mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103tahun 2000,
tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian bahwa“Perum Pegadaian dipimpin
oleh seorang Direktur, yaitu Direktur Operasi dan Pengembangan, Direktur Keuangan,
serta Direktur Umum yang seluruhnya berfungsi sebagai Staf Direktur Utama”.
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas teknis operasional penyaluran uang
pinjaman kepada masyarakat, dilakukan hubungan struktural teknis operasional dengan
para pimpinan wilayah, serta pimpinan wilayah melakukan hubungan struktural teknis
operasional dengan para manajer kantor cabang.
Sesuai dengan struktural organisasi tersebut, bentuk organisasi perum
pegadaian adalah bentuk line atau staff dengan tata kerja sebagai berikut: Setiap
manajer kantor cabang dalam melaksanakan tugas operasionalnya bertanggung jawab
langsung kepada pimpinan wilayah.
50

Setiap pimpinan wilayah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung


dengan direktur utama. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari direktur utama
dibantu oleh para direktur yang berfungsi sebagai staff direktur utama.
Setiap pimpinan wilayah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh para
manajer serta inspektur wilayah yang seluruhnya berfungsi sebagai staff pimpinan
wilayah.
Setiap manajer kantor cabang dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh
para asisten manajernya.
Unit layanan gadai syariah merupakan suatu unit cabang dari Perum Pegadaian
yang berada di bawah binaan Divisi usaha lain. Unit ini merupakan unit bisnis mandiri
yang secara struktural terpisah pengelolaanya dari usaha gadai secara Konvensional.
Dengan adanya pemisahan ini, maka konsekuensinya perlu dibentuk kantor
cabang yangterpisah dan mandiri dari usaha gadai secara Konvensional, namun masih
dalam binaan pimpinan wilayah pegadaian sesuai dengan tempat kedudukan kantor
cabang tersebut. Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu badan independen yang
ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional, yang terdiri dari ahli dibidang fiqh
muamalah dan memiliki pengetahuan dalam bidang perbankan. Adapun persyaratan
anggota ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-
hari, DPS wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional yang merupakan otoritas
tertinggi dalam mengeluarkan fatwa produk dan jasa.
Gadai Syariah adalah pengatur kebijakan umum operasional gadai syariah dan
mengintegrasikan kegiatan Unit Layanan Gadai Syariah dengan unit bisnis lain
sehingga membentuk sinergi menguntungkan perusahaan. Fungsi Pimpinan Wilayah
dalam pembinaan Unit Layanan Gadai Syariah adalah bertanggung jawab dari mulai
merintis pembukaan kantor cabang Unit Layanan Gadai Syariah, pembinaan
operasional sehari-hari maupun penanganan administrasi keuangan seluruh kantor
cabang gadai syariah di wilayah masing-masing.
Adapun beberapa fungsi dari manajer Unit Layanan Gadai Syariah pusat yaitu,
sebagai koordinator teknis pengoperasian unit layanan gadai syariah hingga sampai
proses pembuatan laporan keuangan unit layanan gadai syariah konsolidasi se-
Indonesia. Selanjutnya selain menjadi koordinator manajer unit layanan gadai pusat
bertanggung jawab terhadap seluruh operasional unit layanan gadai syariah. Dan fungsi
yang terakhir dari manajer Unit Layanan Gadai Syariah pusat yaitu membuat kebijakan
51

serta petunjuk operasional yang wajib ditaati oleh pemimpin cabang unit layanan gadai
syariah.
Fungsi Manajer Kantor Cabang Unit Layanan Gadai Syariah pusat adalah :
a. Sebagai pimpinan pelaksanaan teknis dari perusahan yangberhubungan langsung
dengan masyarakat. Secara organisatorisManajer Kantor Cabang Unit Layanan
Gadai Syariahbertanggungjawab langsung kepada pimpinan wilayah,
selanjutnyapimpinan wilayah akan melaporkan hasil kegiatan binaannya
kepadaDireksi. Sedangkan Direksi akan membuat kebijakan pengelolaan
UnitLayanan Gadai Syariah dan memberikan respon atau tindak lanjut ataslaporan
pimpinan wilayah dengan di bantu oleh Jendral Manajer usahalain dan manajer Unit
Layanan Gadai Syariah pusat. Dalam melaksanakan fungsi tersebut di atas manajer
kantor cabang mengkordinasi kegiatan pelayanan peminjaman uang menggunakan
prinsip atau akad Rahn (gadai syariah), ijaroh (sewa tempat) untuk penyimpanan
barang jaminan.
b. Membantu kelancaran pelaksanaan tugas dikantor Unit Layanan Gadai Syariah
pimpinan cabang dibantu sejumlah pegawai dengan masing-masing bagian sebagai
berikut :
 Penaksir, bertugas menaksir barang jaminan untuk menentukan mutu dan nilai
barang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka mewujudkan
penetapan taksiran dan uang yang wajar seta citra baik perusahaan.
 Kasir bertugas melakukan tugas penerimaan, penyimpanan danpembayaran serta
pembelian sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan
operasional kantor cabang unitlayanan gadai syariah.
 Bagian gudang bertugas melakukan pemeriksaan, penyimpanan, pemeliharaan,
dan pengeluaran serta pembukuan marhun selain barang kantor sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam rangka ketetapan dan keamanan serta keutuhan
marhun.
52

Berikut merupakan struktur organisasi di pegadaian syariah cabang cipto Cirebon

pemimpin Cabang
Ayu Minatul Ilah SE

Manager Non Penyimpanan AO


Penaksir
Unit-Unit Gadai Barang Jaminan Nepu Parahara
Liana Melati S.E
Rio Sunaryo S.E Tirta Lestari S.E S.E

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kantor pegdaian syriah cabang cipto
dibantu oleh 6 unit pegdaian syariah yang tersebar di kota Cirebon, kabupaten Cirebon dan
kabupaten majalengka. Untuk lokasi lebih tepatnya dari keenam unit tersebut yaitu Pegadaian
Syariah Unit Pekalipan yang dikelola oleh bapak Fajar S.E. unit yang kedua yaitu pegadaian
Syariah Unit CBCyang dikelola oleh Ibu Nurdiana Sholehah. S.E. kemudia di dekat kampus
kita juga terdapat Pegadaian Syariah Unit Perjuangan yang dikelola oleh ibu Indri S.E. unit
selanjutnya yaitu berada di daerah sumber. Unit ini bernama Pegadaian Syariah Unit
Tukmudalyang dikelola oleh bapak Eman S.E. selanjut masih di daerah kabupaten juga yaitu
di daerah arjawingun terdapat pegadaian Syariah Unit Arjawinangun. Adapun unit ini
dipimpin oleh bapak Asep Supriatno S.E. dan unit yang terakhir yaitu berada di majalengka
yaitu dicikijing. Untuk nama dari unit ini yaitu Pegadaian Syariah Unit Cikijing. Unit ini
dipimpin oleh bapak Iksan S.E. dari beeberapa unit yang telah disebutkan tetap berada di
bawah pengawas serta wilayah pegadaian syariah cabang cipto kota Cirebon.
53

E. Deskripsi Jabatan dan Tugas

Pada gambar struktur Organisasi di Pegadaian Syariah cabang Cipto Kota


Cirebon yang sudah dicantumkan di atas, terdapat penjelasan mengenai masing-masing
jabatan dan tugas tersebut.untuk jabatan tertinggi pada suatu cabang pegadaian terdapat
pemimpin cabang. Beliau memiliki tugas dan wewnang untuk memantau berjalannya
cabang pegadaian syariah tersebut dari seluruh aspek. Selain dari itu tugas dari
pemimpin cabang yaitu mengawasi serta memberi arahan kepada staf yang berada di
bawahnya.
Dibawah pemimpin terdapat beberapa staf, yang pertama yaitu penaksir cabang,
kasir dan penaksir. Dari ketiga staf ini memiliki peranan dan tugas yang berbeda-beda.
Adapun penaksir cabang memiliki tugas pokok untuk menaksir marhun atau barang
jaminan sebagaimana digunakan untuk menentukan mutu dan nilai barang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka mewujudkan penetapan uang pinjaman
yang wajar. Namun tugas dari penaksir cabang secara rinci yaitu memberikan
pelayanan cepat, mudah dan aman kepada nasabah. Melaksanakan penaksiran terhadap
barang jaminan dan menentukan serta menetapkan uang rahn juga merupakan tugas
dari penaksir cabang. Satu hal yang pasti dari penaksir cabang yaitu melaksanakan
penaksiran terhadap barang jaminan yang akan dilelang. Selain menaksir suatu barang
jaminan penaksir cabang juga memiliki tugas umtuk menetapkan biaya administrasi
dan jasa simpan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun tugas yang terakhi dari
penaksir cabang yaitu merencanakan dan menyimpan barang jaminan yang akan
disimpan.
Selain penaksir cabang, dalam Cabang pegadaian syariah juga terdapat kasir.
Adapun tugas pokok dari seorang kasir yaitu melakukan tugas penerimaan,
penyimpanan, dan pembayaran, serta pembukuan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Selain itu seorang kasir harus menyiapkan peralatan dan kelengkapan kerja
setiap harinya. Kasir juga memiliki kewajiban untuk menerima modal kerja harian dari
atasan. Mancatat penerimaan dari transfer dan penjualan lelang adalah salah satu bentuk
dari kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang kasir. Mencatat pembayaran dan
pengeluaran lain-lainmerupakan kegiatan yang tidak pernah terlewatkan dari seorang
kasir.kasir juga harus melayani nasabah yang melakukan pelunasan, pinjaman, dan
54

gadai ulang. Kegiatan tersebut merupakan tugas serta kewajiban bagi seorang kasir
pada cabang pegadaian syariah.
Adapun staf yang terakhir pada cabang pegadaian syariah yaitu pengelola
anggunan. Pengelola agunan memiliki tugas yang berbeda dari kasir maupun penaksir
barang. Adapun tugas atau kewajiban dari seorang pengelolal agunan yaitu mengurus
gudang barang jaminan emas dengan baik dan benar sesuai dengan regulasi yang ada.
Selain itu seorang agunan barang harus memeriksa keadaan gedung penyimpanan
baranag jaminan secara berkala. Pengelola agunan ialah orang yang memeiliki
kewajiban untuk menerima, menyimpan, merawat, dan mengeluarkan barang jaminan
tersebut. Dalam hal ini pengelola agunan harus bertanggung untuk barang jaminan agar
tetap terjaga.
Adapun pegawai yang terakhir yaitu keamanan (security). Keamanan atau
security ini memiliki tugas pokok untuk melaksanakan dan mengendalikan ketertiban
serta keamanan di Kantor Cabang. Selain itu security juga harus bertanggung jawab
atas ketertiban serta keamanan di lingkungan Kantor Cabang. Memberikan informasi
kepada nasabah sesuai kebutuhan nasabah juga merupakan tanggung jawab dari
seorang security. Tugas terakhir dari seorang security yang terakhir yaitu mengatur dan
mengawasi keluar masuknya kendaraan di lingkungan Kantor Cabang.

F. Produk Pegadaian Syariah

Beberapa prinsip syariah yang diterapkan dalam Pegadaian Syariah meliputi


larangan riba atau bunga, larangan spekulasi, dan keadilan dalam transaksi. Adapun
dalam konteks gadai, Pegadaian Syariah tidak mengenakan bunga pinjaman atau bunga
atas gadai. Hal ini karena transaksi yang dilakukan Pegadaian Syariah harus sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam melaksanakan aktivitas pokok dari pegadaian
yaitu berupa akad rahn (gadai). Pegadaian syariah memiliki dua kategori produk yaitu
produk pembiayaan dan produk untuk investasi. Untuk produk pembiayaan pegadaiaan
syariah memilik 9 produk. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai produk
pembiayaan yang tersedia di pegadaian:
1. Amanah
Salah satu produk Pegadaian Syariah adalah Amanah. Amanah sendiri
merupakan pemberian pinjaman kepada pengusaha mikro/kecil, karyawan serta
professional untuk pembelian kendaraan bermotor. Pegadaian Amanah
memberikan pinjaman mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 450 juta dengan jangka waktu
55

peminjaman 12-60 bulan. Di Pegadaian Syariah tidak menerapkan bunga, namun


ada biaya pemeliharaan barang atau yang disebut dengan mu'nah. Selain
itu, nasabah dikenakan biaya administrasi atau (mu'nah akad) yang besarannya
bervariasi.
Agar bisa mendapatkan pembiayaan ini, maka nasabah tercatat sebagai
pegawai tetap dari suatu instansi pemerintah/swasta yang telah bekerja selama
minimal 2 tahun. Selain itu, nasabah juga diharuskan untuk memenuhi beberapa
persyaratan diantaranya melampirkan fotokopi KTP (suami/istri), fotokopi Kartu
Keluarga, fotokopi SK pengangkatan sebagai pegawai/karyawan tetap,
rekomendasi atasan langsung, slip gaji 2 bulan terakhir, mengisi dan
menandatangani form aplikasi amanah, membayar uang muka yang telah disepakati
(minimal 20%), serta menandatangani akad amanah.
2. Rahn
Produk rahn dari Pegadaian Syariah merupakan pemberian pinjaman
dengan barang jaminan berupa emas perhiasaan, emas batangan, berlian,
smartphone, laptop, barang elektronik lainnya, sepeda motor, mobil atau barang
bergerak lainnya. Pinjaman (marhun bih) pada pembiayaan rahn ini mulai dari Rp
50.000 sampai dengan Rp 1 miliar ke atas dengan jangka waktu pinjaman selama 4
bulan dan dapat diperpanjang hingga berkali-kali. Pelunasan pembiayaan rahn
dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan perhitungan mu’nah selama masa pinjam
3. Arrum BPKB
Arrum BPKB adalah salah satu produk berupa pembiayaan untuk
pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan jaminan BPKB
kendaraan bermotor. Uang pinjaman pada Arrum BPKB mulai dari Rp 3 juta hingga
Rp 400 juta dengan pilihan jangka waktu pinjaman mulai dari 12, 18, 24 hingga 36
bulan. Pada pembiayaan ini, Pegadaian hanya menyimpan BPKB dan kendaraan
dapat digunakan nasabah.
Untuk melakukan pembiayan ar rum BPKB nasabah harus melakukan
prosedur yang telah ditentukan oleh pihak pegdaian. Langkah pertama dalam
pembiayaan pembiayaan arum yaitu Mengisi formulir aplikasi pembiayaan
ARRUM. Setelah mengisi fomulir nasabah wajib melampirkan dokumen-dokumen
usaha, agunan, serta dokumen pendukung lainnya yang terkait. Setelah itu,
dokumen yang nasabah lampirkan akan diperiksa oleh petugas pegadaian.
Selanjutnya petugas pegadaian melakukan survei analisis kelayakan usaha serta
56

menaksir agunan. Setelah disurvei penandatanganan akad pembiayaan. Setelah


akad ditandatangi barulah pencairan pembiayaan.
Dalam pengajuan pembiayaan arum BPKB nasabah perlu memenuhi
persyatan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu nasabah
harus memiliki usaha yang dapat memenuhi kriteria kelayakan serta telah berjalan
satu tahun. Melampirkan fotokopi KTP dan kartu keluarga, serta menyerahkan
dokumen kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB asli, fotokopi STNK dan faktur
pembelian.
4. Arrum Emas
Arrum Emas Arrum Emas merupakan produk Pegadaian Syariah berupa
pinjaman dana tunai dengan jaminan perhiasan (emas dan berlian). Melalui
pembiayaan ini, pinjaman dapat diangsur melalui proses yang mudah dan sesuai
syariah. Pinjaman mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 500 juta dengan jangka waktu 12,
18, 24, dan 36 bulan.
5. Arrum Haji
Arrum haji adalah produk berupa pembiayaan untuk mendapatkan porsi
ibadah haji secara syariah dengan proses mudah, cepat dan aman. Nasabah hanya
menyerahkan logam mulia senilai 3,5 gram atau 5 gram logam mulia, langsung
mendapat pinjaman Rp 25 juta yang digunakan untuk memperoleh nomor porsi haji
di Kementrian Agama. Pada pembiayaan arrum haji, terdapat beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi oleh nasabah, yakni nasabah harus tercatat sebagai pendaftar
haji dan membawa fotokopi KTP. Adapun keunggulan dari produk ini adalah
nasabah dapat memperoleh tabungan haji yang dapat langsung digunakan untuk
memperoleh nomor porsi haji.
Biaya akad arrum haji:
a. Setoran awal biaya haji : Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah)
b. Biaya administrasi : Rp 270.000 (dua ratus tujuh puluh ribu rupiah)

Biaya Imbal Jasa Kafalah


12 bulan Rp. 70.000
18 bulan Rp. 92.500
24 bulan Rp. 112.500
36 bulan Rp. 175.000
48 bulan Rp. 265.000
57

60 bulan Rp. 412.000

Simulasi angsuran Arrum Haji:

Biaya Imbal Jasa Kafalah


12 bulan Rp. 2.336.200
24 bulan Rp. 1.294.000
36 bulan Rp. 947.300
48 bulan Rp. 773.700
60 bulan Rp. 669.500

6. Rahn Hasan
Rahn Hasan merupakan fitur dari produk rahn dengan tarif mu’nah
pemeliharaan sebesar 0 persen, dengan tenor 60 hari. Maksimal marhun bih (uang
pinjaman) pada Rahn Hasan sebesar Rp 500.000 dengan jangka waktu 60 hari.
7. Rahn Fleksi
Rahn flexi merupakan fitur dari produk rahn berupa pemberian pinjaman
dengan jaminan barang bergerak sesuai syariah, plafon pinjaman tinggi dan
menggunakan biaya titip harian. Rahn Fleksi bisa diperpanjangan, cicil atau tambah
pinjaman. Uang pinjaman pada layanan ini diterima utuh tanpa biaya administrasi
dengan jangka waktu 10 hari, 30 hari, 60 hari dan minimal 5 hari.
8. Rahn Bisnis
Rahn Bisnis adalah produk Pegadaian Syariah berupa pinjaman dana tunai
kepada pemilik usaha dengan jaminan emas (batangan atau perhiasan). Pinjaman
mulai dari Rp 100 juta sampai lebih dari Rp 1 miliar dengan jangka waktu 4 bulan.
Baca juga: RI Terima Peta Jalan Dekarbonisasi dari UNDP
9. Rahn Tasjily Tanah
Pembiayaan Rahn Tasjily Tanah merupakan pembiayaan yang diberikan
kepada masyarakat berpenghasilan tetap/rutin, pengusaha mikro/kecil dan petani
dengan jaminan sertifikat tanah dan HGB dengan plafon pembiayaan Rp 1 juta
hingga Rp 200 juta.
58

Selain memberikan layanan pembiayaan, sebagaimana yang telah dijelazskan di


atas. Pegadaian Syariah juga menyediakan wadah untuk investasi, yaitu melalui produk
Mulia dan Tabungan Emas.

1. Mulia
Mulia merupakan layanan penjualan emas batangan kepada masyarakat
secara tunai atau angsuran dengan proses mudah dan jangka waktu yang fleksibel.
Produk ini dapat menjadi alternatif pilihan investasi yang aman untuk mewujudkan
kebutuhan masa depan, seperti menunaikan ibadah haji, mempersiapkan biaya
pendidikan anak, memiliki rumah idaman serta kendaraan pribadi.
Layanan penjualan emas batangan/mulia hanya dapat menggunakan emas
batanngan sebagai alat transaksi penggadaian. Dalam hal ini emas batangan pada
produk mulia ini tersedia dalam beberapa pilihan dimulai dari berat 5 gram sampai
dengan 1 kilogram.
Adapun prosedur dari layanan penjualan emas batangan/mulia ini terdapat
tiga tahap yaitu pemesanan, pemberian, dan pelunasan mulia. Pada proses yang
pertama yaitu prosedur pemesanan mulia ini, pihak pegadaian harus meneliti
(verifikasi) data-data yang diserahkan nasabah dari segi administrasinya,
kemampuan nasabah untuk membayar uang muka, angsuran, serta mootif tujuan
menggunakan mulia.
Setelah tahap pemesanan selesai, pihak pegaddaian akan melakukan ke
tahapan atau prosedur selanjutnya yaitu prosedur pemberian mulia. Prosedur
pemberian mulia Prosedur untuk pemberian mulia yang dilakukan antara pihak
pegadaian kepada nasabah terdiri dari beberapa aspek penilaian, yaitu menentukan
jumlah pembiayaan mulia, jangka waktu, jumlah unit emas logam mulia dan jumlah
angsurannya. Proses pemberian mulia terbagi menjadi dua, yaitu dalam proses
produk mulia tunai dan proses produk mulia kredit.
Dan tahapan terakhir pada akad mulia ini yaitu tahapa pelunasan mulia.
Pada saat pelunasan mulia, maka dapat dilakukan melalui pembayaran secara
angsuran (cicilan) setiap bulan sampai tanggal jatuh tempo atau dengan pelunasan
secara tunai. Adapun pembayaran yang dilakukan secara angsuran/cicilan, maka
harus ditentukan besarnya angsuran bulanan yang jumlahnya sama pada tanggal
yang ditentukan dalam akad mulia dan menetapkan margin pembayarannya.
59

Sedangkan untuk prosedur pelunasan mulia secara tunai, maka permohonan dari
nasabah dapat langsung diproses dan berhak mendapatkan potongan margin.
2. Tabungan Emas Pegadaian adalah layanan penitipan saldo emas yang
memudahkan masyarakat untuk berinvestasi emas. Produk Tabungan Emas
Pegadaian memungkinkan nasabah melakukan investasi emas secara mudah,
murah, aman dan terpercaya. Biaya administrasi dan pengelolaan pada Tabungan
Emas lebih ringan. Nasabah juga dapat melakukan transfer ke rekening Tabungan
Emas mulai dari 0,1 gram, melakukan pembelian tabungan emas (top Uup) mulai
dari 0,01 gram serta melakukan buyback mulai dari 1 gram.
60

BAB IV
IMPLEMENTASI MU’NAH (BIAYA PEMELIHARAAN) MARHUN DI PEGADAIAN
SYARIAH BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NOMOR:
25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN
A. Akad Gadai Dalam Fatwa DSN-MUI

Secara bahasa, Fiqh berarti ilmu, pengertian, mengetahui baik dan buruk dalam
memahaminya atau memahami maksud dan perkataan pembicara. Sementara itu, pengertian
fiqih menurut istilah ini adalah fiqih secara eksklusif, yang berkisar pada hukum amari
(praktis) yang diambil dari asumsi (rincian) Tafshili. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa fiqh adalah ilmu yang berdasarkan hukum Amalia yang diturunkan oleh para ulama
berdasarkan dalil. (S. Hidayatullah, 2019). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fikih
adalah sebuah ilmu tentang hukum-hukum amaliyah yang disimpulkan para ulama dari dalil-
dalil.
Pada zaman modern ini, umat Islam membutuhkan adanya fatwa. Fatwa merupakan
elemen penting yang berfungsi sebagai menerangkan dan menjelaskan kepada masyarakat
tentang hukumhukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Fatwa menurut
Jumhur Ulama adalah jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga
fatwa merupakan sebuah jawaban atas persoalan yang diajukan oleh masyarakat. Bagi Umat
Islam fatwa tidak saja dipahami sebagai sebuah produk hukum yang harus diketahui, fatwa
suatu pedoman dalam melaksanakan ajaran agama(Nafis, 2011).
Pada tahun 2002 Lembaga Keuangan Syariah (LKS) melihat kebutuhan masyarakat
Indonesia tentang pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang atau biasa
disebut dengan gadai. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merespon kebutuhan masyarakat
tersebut dengan berbagai produknya. Dengan menimbang kebutuhan masyarakat mengenai
gadai, Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan fatwa sebagai landasan tentang rahn, yaitu
menahan barangnya sebagai jaminan pinjaman. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
mengenai rahn tersebut dikeluarkan agar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjalankan
rahn sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Atas pertimbangan tersebut Dewan Syarian
Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn.
61

Dalam fatwa ini menjelaskan tentang hukum, ketentuan umum, dan ketentuan
penutup. Penjelasan pertama mengenai hukum yaitu Bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai
berikut. Mengenai Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah. Mulai dari Murtahin (penerima
barang), Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya;
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin;
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman;
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera
melunasi utangnya;
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah;
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan;
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.

Ketentuan poin 1 sd 3 dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-


MUI/III/2002 tentang Penyelenggaraan Pegadaian Syariah di Kota Pinang telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya dan sesuai dengan Fatwa Nomor 25/DSN-MUI. /III/2002 tentang Rahn.
Penahanan barang jaminan yang digadaikan oleh pegadaian dilakukan sebagaimana dimaksud
62

pada angka 1, pada angka 2 mengenai penggunaan Marhun (jaminan yang digadaikan) telah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan fatwa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn,
syariah pegadaian (Murtahin) dan nasabah (Rahin) sama-sama tidak dapat menggunakan
agunan yang digadaikan (Marhun) karena agunan yang digadaikan (Marhun) yang digadaikan
oleh nasabah (Rahin) akan disimpan dalam brankas di Pegadaian Syariah Kota Pinang untuk
menjamin keamanannya. dan kualitas agunan yang digadaikan (Marhun) tersebut.

Ketentuan pada poin 3 telah dijelaskan pada angka 2 bahwa mengenai penyimpanan
agunan yang digadaikan (Marhun) perusahaan (pegadaian syariah) mempunyai hak untuk
menyimpan agunan yang digadaikan (Marhun) namun biaya pemeliharaannya (Mu'nah) tetap
menjadi kewajiban nasabah. (Rahin).

Ketentuan pada poin 4 mengenai biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan besarnya pinjaman, karena Mu'nah merupakan biaya
pemeliharaan gadai yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari taksiran barang jaminan
yang digadaikan. Pengenaan mu'nah melalui perkiraan memenuhi unsur keadilan, barang yang
mempunyai nilai tinggi mempunyai resiko biaya yang lebih tinggi sehingga wajar jika
dikenakan mu'nah yang lebih tinggi. Ketentuan poin 4 dalam fatwa nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, penetapan biaya
pemeliharaan (Mu'nah) pada pegadaian syariah Kota Pinang ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman nasabah. (Rahin).

Ketentuan angka 5 tentang penjualan Marhun (jaminan yang digadaikan) sesuai dengan
ketentuan fatwa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, pegadaian syariah (Murtahin)
akan menghubungi nasabah pada saat pembayaran Mu'nah ( biaya pemeliharaan) telah jatuh
tempo, agunan yang digadaikan akan dilelang apabila tidak ada itikad baik dari nasabah untuk
menebus Marhun (jaminan) yang digadaikan yang digadaikannya, maka hasil pelelangan
agunan yang digadaikan akan digunakan untuk melunasi seluruh biaya yang telah digadaikan.
belum dibayar oleh Rahin (nasabah), apabila ada kelebihannya diserahkan oleh Pegadaian
Syariah (Murtahin) Kota Pinang kepada Rahin (nasabah).

Sedangkan untuk ketentuan penutup atau selesainya dari suatu akad yaitu Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
63

tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Fatwa ini berlaku sejak tanggal 15 rabiul awal 1423
H atau 26 juni 2002 M. Fatwa ini ditetap oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI), bertempat di Jakarta.(MUI, 2016)

B. Persepsi Masyarakat dalam pelaksanaan Mu’nah (biaya pemeliharaan) Marhun di


Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan wawancara terhadap dua orang
nasabah Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon menganai tanggapan mereka
tentangpenerapan mu’nah yang dilakukan oleh Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota cirebon.
Wawancara yang pertama kepada Ibu Dian Suswati yang pada saat diwawancarai beliah
berusia 44 tahun. Ibu Dian ini berprofesi sebagai pengacara. Beliau merupakan nasabah setia
dari pegadaian. Karena sebelum adanya pegadaian syariah muncul beliau sudah menjadi
nasabah di pegadaian konvensional. Ketika pegadaian syariah muncul beliau pindah menjadi
nasabah pegadaian syariah. Beliau berpendapat bahwa pegadaian syariah sudah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan fatwa serta peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Beliau
juga yakin bahwa penerapan mu’nah (biaya pemeliharaan) marhun sudah sesuai dengan syariat
islam.
Untuk wawancara yang kedua penulis melakukan wawancara kepada saudara farhan
beliau berusa 21 tahun pada saat melakukan wawancara. Untuk saat ini Farhan berprofesi
sebagai wirausaha. Pada saat yang berbarengan juga dia sedang melakukan pendidikan di
UNSWAGATI dan UNNES. Beliau mengaku menjadi nasabah pegadaian syariah bertujuan
untuk investasi di masa depan yaitu berupa investasi LM (logam mulia). Beliau juga pernah
menjadi nasabah pada pegadaian konvensional. Beliau berpendapat bahwa pada pegadaian
syariah lemih mudah dan lebih direkomendasikan. Karena pada pegadaian syariah sudah
menerapkan prinsip-prinsip syariah. Dan beliau juga mengatakan bahwa penerapan mu’nah
lebih mudah dan ringan biayanya dibandingkan yang lainnya.
Pada wawancara yang terakhir penulis melakukan wawaancara kepada salah satu
pegawai pegadaian syariah cabang cipto. Beliau bernama ibu ????????. Ibu ?????
mengemukakan bahwa besaran biaya pemeliharaan (mu’nah) pada barang jaminan (marhun)
itu terhitung sesuai dengan taksiran barang jaminan (marhun). Dalam hal ini apa yang
dituturkan oleh Ibu ???? sesuai dengan Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III tahun 2002
64

yakni biaya pemeliharaan ditentukan melalu besaran dari taksiran barang yang dijadikan
jaminan. Dengan kata lain pegadaian syariah cabang cipto ini sudah berjalan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ibu ????? juga menyampaikan bahwa dalam penyimpanan jaminan (marhun)
pegadaiaan syariah menerapkan akad ijarah. Hal ini juga berjalan sesuai dengan fatwa dari
dewan syariah nasional nomor 26/DSN-MUI/III tahun 2002 yakni biaya pemeliharaan atau
penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah. Dalam terlaksananya akad ijarah ini,
nasabah berposisi sebagai penyewa atau yang sering disebut dengan mu’jir. Sedangkan pihak
pegadaian berkedudukan sebagai pemberi sewa atau yang biasa disebut musta’jir. Pada
pelaksanaan ijarah ini pegadaian syariah cabang cipto sudah menjalankan fatwa DSN-MUI
No. 26 tahun 2002 mengenai rahn emas.

C. Analisis Implementasi Mu’nah (biaya pemeliharaan) Marhun di Pegadaian Syariah


Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang
Rahn.

Salah satu dasar hukum dalam Syariah Islam pada akad gadai yaitu terdapat pada Al
Quran surat Al Baqoroh ayat 283 ini merupakan dasar hokum dari akad rahn. Adapun ayat
tersebut yaitu:

ِ َّ ‫ض ُك ْم َب ْعضًا فَ ْليُؤ َِد الَّىِا اتْ ت ُِننَ اَ َماتَتَ و َو ْل َيت‬ ُ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَا ِت ًبا َف ِر ٰهنٌ َّم ْقبُ ْوضَةٌ ۗ َفا ِْن ا َ ِمنَ َب ْع‬ َ ‫۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى‬
َ َ‫شهَا َد ۗةَ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْنهَا فَ ِاتَّ و ٓٗ ٰاثِ ٌم قَ ْلبُ و ۗ َواللّٰ ُ بِ َنا ت َ ْع َنلُ ْون‬
ࣖ ‫ع ِل ْي ٌم‬ َّ ‫اللّٰ َ َربَّ و ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُنوا ال‬.

Ayat tersebut memiliki arti: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidakmemperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.

Selannjutnya dalam sebuah hadits juga dijelaskan mengenai hukum dari akad rahn.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari A’isyah berkata:
65

‫شت َ َرا َط َعا ًما ِم ْن يَ ُه ْو ِدي ٍ ِإ َلى أ َ َج ٍل َو َر َه َن ُ د ِْرعًا ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬


ْ ‫سلَّ َم ا‬
َ ‫ع َل ْي ِ َو‬
َ ُ ‫صلَّى الل‬ ُ ‫أَنَّ َر‬.
َ ِ ‫س ْو َل الل‬

Hadits diatas memiliki arti sebagai berikut: bahwa Rasul bersabda: Rasulullah membeli
makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminannya.
(HR Bukhari dan Muslim).

Dibolehkannya akad Rahn telah dijelaskan pada ayat dan hadis diatas, akad Rahn
pegadaian Syariah tidak terlepas dari biaya pemeliharaan (mu'nah) yang akan dibayarkan oleh
nasabah (Rahin) kepada pegadaian syariah (murtahin). Mu'nah adalah biaya pemeliharaan
gadai yang dihitung berdasarkan persentase terhadap taksiran agunan gadai (marhun) yang
digadaikan oleh nasabah (Rahin).

Adapun ketentuan-ketentuan aturan mengenai mu’nah (biaya pemeliharaan) marhun di


Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota cirebon yaitu ada tiga. Ketetapan yang pertama yaitu
jumlah biaya perawatan serta penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan oleh seberapa besar
jumlah pinjaman.(MUI, 2016). Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap salah satu
pegawai pegadaian syariah cabang cipto, yang bernama Ibu Nuraini S.E. Beliau memparkan
bahwa mu’nah (biaya pemeliharan) marhun itu ditentukan oleh besaran barang jaminan
(marhun). Artinya biaya pemeliharaan tidak ditentukan oleh berapa besaran
pinjaman,melainkan ditentukan dari barang jaminan yang rahin berikan kepada pihak
pegadaian.

Kemudian untuk ketetapan selanjutnya mengenai mu’nah dalam pegadaian syariah


yaitu jasa pengelolaan marhun ini dipungut untuk sewa tempat, biaya pengamanan barang dan
pemeliharaan marhun milik rahin selama digadaikan. Adapun biaya dalam pemeliharaan ini
tergantung nilai taksiran dan lamanya barang disimpan atau lamanya pinjaman(Iv, 2002).
Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama Ibu Nuarini ini, beliau juga memaparkan
biaya pemeliharaan ini digunakan untuk biaya sewa tempat dan keamanan dari barang jaminan
tersebut (marhun). Dalam hal ini terjadi akad ijarah, yang mana nasabah sebagai mustajir
sedangkan pihak pegadaian sebagai mu’jir.

Penulis berpendapat agar kepada seluruh nasabah yang melakukan bertransaksi di


Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon bisa langsung bertanya tentang bagaimana
kesesuaian akad-akad transaksi yang terjadi di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota cipto
66

supaya nasabah mengetahui kesesuaian dan ketidak sesuaian dasar hukum dengan pelaksanaan
akad yang terjadi. Dalam penelitian ini menurut penulis dalam penerapan yang diterapkan oleh
Pegadaain Syariah Cabang Cipto sedah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang mana biaya pemeliharan atau mu’nah itu ditentukan melalui
besaran taksiran marhun (barang jaminan) yang diberikan nasabah terhadap pihak pegadaian
syariah. Adapun biaya pemeliharaan (mu’nah) menerapkan akad ijarah. Dalam hal ini nasabah
berposisi sebagai mustajir, dikarenakan nasabah menggunakan jasa penyewaan tempat penyimpanan
yang ditawarkan oleh pihak pegadaian. Sedangkan pihak pegadaian menjadi mu’jir, karena akad
tersebut pihak pegadaian menyewakan tempat penyimpanan terhadap nasabah.
67

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di Pegadaian Syariah Cabang


Cipto Kota Cirebon diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Mu’nah ialah biaya pemeliharaan gadai (Rahn) yang dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari taksiran barang jaminan gadai (Marhun). Pengenaan Mu’nah (biaya
pemeliharaan) Marhun di Cabang Cipto Pegadaian Syariah Kota Cirebon dibayarkan setiap
10 (Sepuluh) hari setelah Marhun (barang jaminan gadai) digadaikan oleh Rahin (nasabah)
maksimal Penebusan Marhun (barang jaminan gadai) oleh Rahin (nasabah) 120 (Seratus
dua puluh) hari setelah akad;
2. Sistem perhitungan Mu’nah (biaya pemeliharaan) Marhun (barang jaminan gadai) dalam
akad Rahn pada dasarnya dihitung melalui Taksiran dari Marhun (barang jaminan gadai)
sesuai dengan aturan dasar hukum gadai syariah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn;
3. Penerapan Mu’nah (biaya pemeliharaan) Marhun (barang jaminan gadai) dalam akad Rahn
berdasarkan pinjaman yang diterapkan oleh Cabang Cipto Pegadaian Syariah Kota Cirebon
dilakukan dengan mengguanakan akad ijarah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002. Tentang Rahn emas bahwa dijelaskan pada poin
ke 4 dalam fatwa tersebut menjelaskan bahwa biaya penyimpanan barang menerapkan akad
ijarah.

B. Saran

Selama proses penelitian yang telah dilakukan penulis di Pegadaian Syariah cabang
Cipto Kota Cirebon sehingga penulis memberi saran-saran sebagai berikut:
1. Diharapkan Nasabah (Rahin) di Pegadaian Syariah Cabang Cipti Kota Cirebon lebih
memahami atau mengetahui mengenai pelaksanaan akad-akad di Pegadaian Syariah
Cabang Cipto Kota Cirebon telah sesuai dengan aturan syariah serta dasar hukum yang
berlaku di Lembaga Keuangan Syariah;
68

2. Diharapkan Nasabah (Rahin) di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon lebih aktif
menanyakan informasi kepada Pegawai atau Staff mengenai proses-proses akad yang
terjadi di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon serta dasar hukum yang
digunakan dalam akad;
3. Diharapkan fasilitas-fasilitas yang sudah ada di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota
Cirebon dijaga agar tidak rusak, serta ditambahnya beberapa fasilitas yang belum ada di
Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon. Tingginya minat nasabah yang
melaksanakan transaksi di Pegadaian Syariah Cabang Cipto Kota Cirebon seharusnya bisa
menajadi bahan acuan bagi pegadaian atau perusahaan lain untuk membenahi fasilitas demi
kenyamanan nasabah.

Anda mungkin juga menyukai