Anda di halaman 1dari 29

NAMA : WINA PUTRI DEANI

NIM : 1235020138

KELAS : 2/D

MATA KULIAH : SASTRA INDONESIA

ESSAY

Identifikasi dan relevansi dalam kritik sastra historisisme greenblatt

Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek
dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca,
pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan
dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir
dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.New historisisme
diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme. New historisisme tegas
menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan tidak terhindarkan dari
pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah mampu menyediakan
kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia suatu masyarakat pada
masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah merupakan suatu diskursus; cara
pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik, agama, dan lainnya, merupakan
suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan.

Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam
interprestasi suatu teks. Hal ini oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara
aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun bsebagaimanaudaya,
satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks
merupakan tindakan politis. Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan,
moral, seni, dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak
mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh
manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam
perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung
ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint and mobility) (1995).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa yang diciptakan oleh
diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa, maka
pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari dunia
yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh karena
itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-mempengaruhi
dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya atau dengan
fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks. Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu.

Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian
tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni
dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini
merupakan desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka, tekstualitas
sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian Greenblatt
sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negotiation, dimana
dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku Shakespearean Negotiation
ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya. Selama tahun 1940-1960an, new
kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab
suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya.
Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam
tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks
historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan.

Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam
interprestasi suatu teks. Hal ini oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara
aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu
diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks
merupakan tindakan politis. Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan,
moral, seni, dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak
mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh
manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam
perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung
ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu.

Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi
kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah,
yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz.
Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah
(locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983. Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan
analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada
orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal
1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme
atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian
mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning. Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti
budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat
persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya
sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya.
Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di
dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain,
praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu
teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt
menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu
masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode
historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana
kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara
teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan
representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah
sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas
relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.
Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan
Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca,
pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan
dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir
dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan keindahan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning. Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti
budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat
persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya
sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya.
Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di
dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain,
praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu
teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt
menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu
masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode
historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana
kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara
teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan
representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah
sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas
relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84).

Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The New
Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations dan
tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983. Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new
historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi
old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan
background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai
keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya,
mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural (Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui
bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat
dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana
makna teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian,
yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari
situasi historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya
merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung
oleh teks itu sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan)
masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh
teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).
Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi.
Jika salah satu area diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial.
Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam
interpretasi teks dan budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa
mendatang (Bressler, 2002: 189-190). Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of
Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada
memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif
pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan
bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi
old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks. Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik,
Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya
berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks
(Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan
dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.
Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks
berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni dengan
memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis
di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan perhatian
pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu sendiri.
Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti
diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan
teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189). Dengan demikian, dalam
memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area
diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan
prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002:
189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang
muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel)
yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt
menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-
orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus
kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh
praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan
institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana
yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci,
Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui
aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan
konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams). Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu
buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri
daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan
alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme
mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti
pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning. Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti
budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat
persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya
sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya.
Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di
dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain,
praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu
teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt
menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu
masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode
historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana
kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara
teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan
representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah
sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas
relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84).

Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The New
Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations dan
tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983. Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new
historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi
old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan
background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai
keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya,
mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural (Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui
bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat
dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.
Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks
berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni dengan
memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis
di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan perhatian
pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu sendiri.
Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti
diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan
teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189). Dengan demikian, dalam
memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area
diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan
prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002:
189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988. Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam
dunia baru (New World) yang muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi
penjelajahan (narrative travel) yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif.
Kemudian Greenblatt menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai
representasi orang-orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual)
dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini
juga menjadi contoh praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik
material dan institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas
sebagaimana yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh
Gramsci, Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi
melalui aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode
dan konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams). Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt
memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya.
Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan
interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan
bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).

Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-
Fashioning. Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya.
Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan
menghasilkan dirinya sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah
atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik
interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan
sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi
yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa
narasi tersebut demikian pada masa kini.Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri)
Foucauldian, terutama pada representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-
diri. Dalam Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai
pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya
Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut
merupakan suatu proses pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam
kesadaran puncak dari posisi diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan.Halaman hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada
memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif
pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan
bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi
old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain. Lebih lanjut menurut
Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk
material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interpretasi pengarang atau
penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam
pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan
sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi
lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai
masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau
keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan konstruksi kultural masa
kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Greenblatt,
1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu
teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible),
bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan Greenbatt dalam konsep self-fashioning. Meskipun
budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan
improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan
Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya.
Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di
dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain,
praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu
teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt
menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu
masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode
historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana
kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara
teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan
representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah
sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas
relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt
menulis “Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse
(1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana
makna teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian,
yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari
situasi historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya
merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung
oleh teks itu sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan)
masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh
teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).
Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi.
Jika salah satu area diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial.
Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam
interpretasi teks dan budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa
mendatang (Bressler, 2002: 189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang muncul
pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel) yang
dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt menghubungkan
praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-orang Eropa (secara
historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu
relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh praktik kritis—yang
dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan institusional, tetapi juga
representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana yang dianut oleh marxisme
—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci, Althusser, Williams dan
Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui aparatus ideologis (Althusser),
dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan konvensi sosial dan kultural
masyarakat (Williams).

Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas
(self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural
berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan
teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan,
produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna
(Bressler, 2002: 183). Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance
Self-Fashioning. Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan
dirinya. Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan
menghasilkan dirinya sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah
atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik
interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan
sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi
yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa
narasi tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada
representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-
Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas
manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya Renaissans menciptakan
representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses
pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi
diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan.Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan
dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi
Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu
tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu
manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-
kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis
yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra
semata hanya sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang
sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu,
dalam buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa
Renaissans yang menurutnya sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan
tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak
berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan,
1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau.
Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan
berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini
berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau
mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita
perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka
kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka
interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian interdisipliner sastra. Selama
tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin
Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang,
dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi
pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi
dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu.

Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi
kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah,
yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz.
Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah
(locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna
teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni
dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi
historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan
perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu
sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti
diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan
teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189). Dengan demikian, dalam
memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area
diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan
prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002:
189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang muncul
pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel) yang
dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt menghubungkan
praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-orang Eropa (secara
historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu
relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh praktik kritis—yang
dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan institusional, tetapi juga
representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana yang dianut oleh marxisme
—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci, Althusser, Williams dan
Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui aparatus ideologis (Althusser),
dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan konvensi sosial dan kultural
masyarakat (Williams).

Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas
(self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural
berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan
teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan,
produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna
(Bressler, 2002: 183). Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance
Self-Fashioning. Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan
dirinya. Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan
menghasilkan dirinya sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah
atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik
interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan
sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi
yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa
narasi tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada
representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-
Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas
manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya Renaissans menciptakan
representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses
pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi
diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan. Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan
dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi
Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu
tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu
manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-
kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis
yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra
semata hanya sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang
sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu,
dalam buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa
Renaissans yang menurutnya sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan
tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak
berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan,
1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau.
Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan
berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini
berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau
mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita
perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka
kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka
interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian interdisipliner sastra. Pada
tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’
(power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah pada
keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan
Greenblatt merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya dalam relasi praktik-praktik sosial dan
kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial dan
posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang mempersoalkan representasi atau penggambaran diri
(konstruksi imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya mengenai narasi
pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam
Interpretation of Culture (1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut merupakan suatu ‘acted
document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan
bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran,
penyusunan, dan penulisan (2005: 35). Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti misalnya analisisnya
terhadap buku Mimesis-nya Auerbach, karya-karya Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara
representasi suatu narasi pada masa lampau yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara realitas dan
representasi, antara suatu karya (teks) yang dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam
Practicing New Historicism (2000) pada bagian pertama, sedangkan pada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote”
menambahkan pandangannya mengenai konsep anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks
historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50), anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis.
Baik Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2)
penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis
ideologis secara skeptis. Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature
(1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan
relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi
tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat
ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks. Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik,
Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya
berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks
(Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan
dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt
menulis “Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse
(1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84).

Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The New
Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations dan
tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983. Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new
historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi
old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan
background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai
keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya,
mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural (Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui
bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat
dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.
Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks
berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni dengan
memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis
di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan perhatian
pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu sendiri.
Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti
diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan
teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189). Dengan demikian, dalam
memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area
diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan
prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002:
189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang
muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel)
yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt
menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-
orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus
kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh
praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan
institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana
yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci,
Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui
aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan
konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams). Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt
memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya.
Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan
interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan
bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).

Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning.
Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya. Dalam praktik
analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi
pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik interpretasi new
historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam
sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi yang
tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi
tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada
representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-
Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas
manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya Renaissans menciptakan
representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses
pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi
diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan. Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan
dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi
Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu
tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu
manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-
kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis
yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra
semata hanya sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang
sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu,
dalam buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa
Renaissans yang menurutnya sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan. Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan,
bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi
dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk
kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan, 1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses
atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau. Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita
secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan
sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik
yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber
informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak.
Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik,
yang dengan demikian tidak hanya membuka interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga
membuka kajian interdisipliner sastra.

Pada tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada
‘kekuasaan’ (power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah
pada keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan
Greenblatt merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya dalam relasi praktik-praktik sosial dan
kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial dan
posisi kultural yang spesifik. Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang mempersoalkan representasi atau
penggambaran diri (konstruksi imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya
mengenai narasi pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di
dalam Interpretation of Culture (1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut merupakan suatu ‘acted
document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan
bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran,
penyusunan, dan penulisan (2005: 35).

Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach,
karya-karya Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi suatu narasi pada masa lampau
yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang
dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian
pertama, sedangkan pada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep
anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50),
anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini
lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari
rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis ideologis secara skeptis. Konsep anekdot narasi historis
Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New World atau representasi orang-orang
Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and Wonder” (1990). Dalam tulisan “Resonance and Wonder”
Greenblatt memeriksa keadaan historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya pada keadaan kekinian. Relasi kekinian
tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu merupakan suatu intervensi terhadap masa lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan
Greenblatt untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan) tersebut. Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik
terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt memberikan contoh pada keindahan karya-
karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini.

New Historisisme Stephen Greenblatt Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku
Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada
memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif
pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan
bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi
old historisisme. New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old
historisisme. New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang
dituliskan tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah
tidak pernah mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau
pandangan dunia suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa
sejarah merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi,
politik, agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian
sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks.
Hal ini oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai
suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak
dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.
Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum
yang dianut oleh masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya
hanya secara samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt
meredefinisi konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya
dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan
mobilitas (constraint and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain. Lebih lanjut menurut
Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk
material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interpretasi pengarang atau
penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam
pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan
sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi
lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6). Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai
masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau
keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan konstruksi kultural masa
kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Greenblatt,
1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu
teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible),
bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan
dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari diskursus dan
relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks. Dalam relasi diskursus
(Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik
pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di dalam karya, dan
elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa
sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt menyebutnya
dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu.
Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan
pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan yang dapat
mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik,
Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya
berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks
(Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas relasi kekuasaan
dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis
“Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse (1990).
Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84). Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The
New Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations
dan tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna
teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian, yakni
dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi
historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya merefleksikan
perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu
sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti
diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh teks. Begitu pula dengan
teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189). Dengan demikian, dalam
memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area
diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial. Dengan menerapkan
prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002:
189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang
muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel)
yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt
menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-
orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus
kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh
praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan
institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana
yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci,
Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui
aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan
konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams). Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt
memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya.
Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan
interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan
bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).
Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning.
Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya. Dalam praktik
analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi
pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik interpretasi new
historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam
sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi yang
tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi
tersebut demikian pada masa kini. Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri)
Foucauldian, terutama pada representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-
diri. Dalam Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai
pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya
Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut
merupakan suatu proses pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam
kesadaran puncak dari posisi diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan.

Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan dan diadaptasi melalui suatu narasi di
dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi Greenblatt, pembentukan-diri (self-
fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4).
Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu manifestasi dari tindakan konkret seorang
pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini
mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis yang cenderung psikologis atau analisis
historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra semata hanya sebagai produk struktur
sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang sebagai refleksi kode perilaku, maka
akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu, dalam buku ini Greenblatt juga
memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa Renaissans yang menurutnya
sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan
tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak
berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan,
1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau.
Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan
berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini
berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau
mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita
perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka
kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka
interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian interdisipliner sastra. Pada
tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’
(power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah pada
keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan
Greenblatt merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya dalam relasi praktik-praktik sosial dan
kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial dan
posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang mempersoalkan representasi atau penggambaran diri
(konstruksi imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya mengenai narasi
pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam
Interpretation of Culture (1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut merupakan suatu ‘acted
document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan
bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran,
penyusunan, dan penulisan (2005: 35).

Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach,
karya-karya Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi suatu narasi pada masa lampau
yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang
dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian
pertama, sedangkan pada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep
anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50),
anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini
lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari
rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis ideologis secara skeptis.

Konsep anekdot narasi historis Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New
World atau representasi orang-orang Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and Wonder” (1990).
Dalam tulisan “Resonance and Wonder” Greenblatt memeriksa keadaan historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya
pada keadaan kekinian. Relasi kekinian tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu merupakan suatu intervensi terhadap masa
lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan Greenblatt untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan) tersebut.
Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt
memberikan contoh pada keindahan karya-karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini. Belakangan pada tahun 2010
Greenblatt melanjutkan konsep narasi historis atau travel writing dengan konsep barunya: mobilitas kultural, melalui suatu manifesto dalam buku The
Cultural Mobillity: A Manifesto (2010: 250-253). Manifesto pertama, bahwa mobilitas mesti dipahami dalam pengertian literal. Pemahaman ini
melanjutkan gagasan mengenai tekstualitas dan pandangan metaforis terhadap objek analisisnya: suatu fenomena kultural dipahami sebagai suatu teks.
Kedua, bahwa mobilitas mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik itu suatu gagasan, kepentingan ideologis, pencitraan atau penggambaran dari
suatu teks dengan mengkaji bentuk-bentuk mekanisme kulturalnya. Ketiga, mobilitas mengidentifikasi dan menganalisis zona yang saling berhubungan
(‘contact zones’), yakni suatu tempat dimana barang-barang dipertukarkan, suatu pertukaran produk kultural yang beroperasi diantara agen individu,
kelompok, institusi, atau masyarakat yang saling interkoneksi satu sama lain dalam suatu perbedaan budaya.

Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu bingkai new historisisme, yang sering disebut dengan puitika
kultural. Secara garis besar Veeser (1989: xi) merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1) bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam suatu
jaringan praktik-praktik (budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan pengungkapan, kritik, dan perlawanan mesti akan menggunakan
perangkat-perangkat dari yang ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi teks sastra dan non-sastra tidak dapat
dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4) bahwa tidak ada diskursus baik fiksi atau faktual yang memberikan akses pada kebenaran mutlak yang tidak
berubah-ubah ataupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode kritis dan bahasa cukup memadai untuk
mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.

Kesimpulan Veeser di atas terlalu umum, yang memang hanya berupa asumsi paradigmatik mengenai relasi fungsional antara teks sastra dan non-
sastra. Hal ini jika dibandingkan dengan kesimpulan Payne dalam The Greenblatt Reader (2005: 3), bahwa new historisisme merupakan suatu kumpulan
praktik dari pada suatu metode atau teori akademisi, dan lebih lanjut Payne mencoba merumuskannya: 1) new historisisme memandang bahwa budaya
merupakan suatu sistem semiotik, sebagai suatu jaringan tanda; 2) new historisisme menentang hegemoni disiplin ilmu pengetahuan, dan
mengarahkannya pada studi interdisipliner yakni dalam upaya penemuan dan pembangkitan suatu pengetahuan baru; 3) new historisisme selalu
menyadari bahwa sejarah merupakan gabungan dari apa yang terjadi (suatu rangkaian peristiwa) pada masa lampau dengan dari suatu laporan atau
cerita mengenai peristiwa tersebut, dengan kata lain bahwa kebenaran historis muncul (dapat dicapai dengan) dari suatu refleksi kritis atas suatu cerita
yang dikatakan; 4) sejarah pada awalnya suatu ragam dari diskursus, yang tidak menyangkal bahwa peristiwa yang nyata memang ada dan pernah
terjadi; 5) kekhasan cara yang dilakukan new historisisme ialah dimulai dengan peristiwa yang ‘menarik’ atau anekdot, yang efeknya dapat
membangkitkan skeptisisme tentang narasi besar historis atau mengutamakan deskripsi suatu periode sejarah tertentu (semisal masa Renaissans); 6)
new historisisme dengan dapat dipastikan mencurigai keutuhan, ketunggalan penggambaran budaya atau periode sejarah, memandang bahwa adanya
pandangan dunia yang tidak terbilang pada suatu periode tertentu (misalnya mitos besar dan tunggal diciptakan untuk melayani suatu kepentingan
tertentu pada masa tertentu); 7) memahami sejarah dengan satu perspektif adalah tidak mungkin, sebab semua sejarah tergantung pada waktu masa
kini atau kekinian, waktu dimana seseorang terkonstruksi; 8) new historisisme secara implisit mengkritik formalisme (atau new kritisisme) yang
memperlakukan objek sastra sebagai suatu benda mati yang ahistoris. New historisisme memprioritaskan pemeriksaan kembali relasi antara sastra dan
sejarah; 9) new historisisme menentang bahwa teks sastra sebagai objek yang otonom, yang terlepas dari pengarangnya dan pembacanya, maka masa
lampau sebagai suatu objek tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi tekstualnya; 10) dalam studi sastra sejarah bukan hanya sebagai background sastra
atau seni, tetapi sastra dan sejarah saling interkoneksi, yang pengaruh-mempengaruhi dan saling menutupi. Maka, sastra dan sejarah dalam pandangan
new historisisme mesti dilihat sebagai disiplin yang dianalisis secara bersamaan atau bolak-balik (Geertz dalam thick description menyebutnya dengan
pembacaan pararel) yang menempatkan seluruh teks dalam suatu pengkajian untuk mengungkap suatu keberagaman pandangan dan kebenaran dalam
masa lampau.

Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek
dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca,
pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan
dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat ahistoris dan terisolir
dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak belakang dan menentang pandangan old historisisme.
New historisisme tegas menyatakan bahwa semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah yang dituliskan
tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang, pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah
mampu menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh mengenai peristiwa atau pandangan dunia
suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik,
agama, dan lainnya, merupakan suatu diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan. Dengan demikian sejarah
sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh new historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat tidak dilibatkan.
Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis. Demikian pula
dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh
masyarakat. Karena istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti apa-apa. Budaya hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari ‘kemampuan dan kebiasaan’ (capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan,
dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan (fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas (constraint
and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling
berjejalin. Bahkan seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 185). Subjektivitas
(individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan
oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi. Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa,
maka pengalaman subjek pun dapat dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks hanyalah representasi dari
dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh
karena itu sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di dalam suatu relasi yang saling pengaruh-
mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan lainnya
atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis.
Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah
menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng
potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan
sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang
maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca
mata dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu
keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995: 480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang didasarkan pada
kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478). Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya
relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan
Greenbatt dalam konsep self-fashioning. Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan diri. Terbukti
budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat
persoalan ini berangkat dari diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang menganggap bahwa budaya
sebagai suatu teks.

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya.
Maka, dalam praktik pembacaan suatu teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis yang ditunjukkan di
dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain,
praktik analisis tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu
teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—Greenblatt
menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu
masa tertentu. Greenblatt mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter ‘pengetahuan’ suatu periode
historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana
kekuasaan yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu waktu tertentu. Dalam kajiannya baik secara
teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan
representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah
sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9), sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan desakan atas
relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka,
tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara kemudian
Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean
Negotiation, dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan ‘puitika kultural’ dalam buku
Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989) dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt
menulis “Toward a Poetics of Culture”. Kemudian Greenblatt menulis “Renaissance Cultural Poetics” yang dikumpulkan dalam buku Learning to Curse
(1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah ‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia
mengklaim bahwa tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah ‘a poetics of culture’ (1980: 5). Selain itu, Greenblatt juga sebenarnya menggunakan
istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan,
1998: 84).Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni dalam tulisan pengantar di dalam tulisan “The New
Historicism: Studies in Cultural Poetics”. Lebih lanjut, dalam tulisan “Invisible Bullets” (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean Negotiations dan
tulisan “Murdering Peasants” dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan
mengenai teks sastra otonom dan terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada sebagai praktik kritis
yang “menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis
lainnya” (Greenblatt, 1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan new historisisme yang cenderung
ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori. Hasilnya, mungkin, adalah ‘pengerasan’ (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler,
2002: 182). Dengan demikian, menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki
diskursus. Semua diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga mesti memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau
metode atau kritik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2002: 189). Tidak ada hierarki dan
diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa dan diskursus merupakan produk kultural, dimana
makna teks berada pada sistem budaya yang jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi penguraian,
yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari
situasi historis di dalam teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan dan keyakinannya
merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat (dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung
oleh teks itu sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-aturan kepantasan (dalam pergaulan)
masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh
teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).
Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi.
Jika salah satu area diabaikan, maka akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu produksi sosial.
Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam
interpretasi teks dan budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara yang mungkin pada masa
mendatang (Bressler, 2002: 189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang
cukup luas (Greenblatt, 1988: 5). Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general dan universal. Dengan
demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara
spesifik terbentuk, 3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural merupakan suatu upaya (praktik) bersama
dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil
kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang
muncul pada narasi penjelajahan orang-orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan (narrative travel)
yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt
menghubungkan praktik kultural, historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai representasi orang-
orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus
kolonial beroperasi, suatu relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak langsung, buku ini juga menjadi contoh
praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan
institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana
yang dianut oleh marxisme—bahwa ‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti pula oleh Gramsci,
Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui
aparatus ideologis (Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik yang merasuk ke dalam kode dan
konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams). Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988), Greenblatt
memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya.
Dengan konsep-konsep tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai sifat-dasar realitas dan
interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan
bahwa teks memiliki banyak kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).

Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri) diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning.
Greenblatt merujuk pada konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk menciptakan dirinya. Dalam praktik
analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi
pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik interpretasi new
historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam
sirkulasi dengan teks-teks lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada penguraian narasi-narasi yang
tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi
tersebut demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating (pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada
representasi yang berhubungan dengan dominasi dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam Renaissance Self-
Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas
manusia sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi” (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana budaya Renaissans menciptakan
representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses
pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi
diri (self) di dalam struktur-struktur kekuasaan. Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang diformulasikan
dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi
Greenblatt, pembentukan-diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang menciptakan individu
tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu
manifestasi dari tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-
kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis biografis
yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor 2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra
semata hanya sebagai produk struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula, jika sastra hanya dipandang
sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu,
dalam buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk menyebut diskursus yang mendominasi pada masa
Renaissans yang menurutnya sebagai suatu mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan
tersebut menunjukkan adanya potensi subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan tampak
berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan,
1998: 8). Maka, new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi yang mendominasi pada masa lampau.
Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan
berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini
berimplikasi pada analisisnya yakni dengan menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau
mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita
perjalanan, dan lainnya, dan dengan tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil membuka
kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka
interpretasi dan pembacaan antara sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian interdisipliner sastra. Pada
tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’
(power) yang Foucauldian. Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah pada
keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan
Greenblatt merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya dalam relasi praktik-praktik sosial dan
kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial dan
posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang mempersoalkan representasi atau penggambaran diri
(konstruksi imaji) pada masa lampau yang dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya mengenai narasi
pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam
Interpretation of Culture (1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut merupakan suatu ‘acted
document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik (symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan
bahwa diskursus antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan, penceritaan, penggambaran,
penyusunan, dan penulisan (2005: 35).

Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach,
karya-karya Balzac, untuk menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi suatu narasi pada masa lampau
yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang
dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian
pertama, sedangkan pada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep
anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50),
anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt maupun Callagher dalam hal ini
lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari
rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis ideologis secara skeptis.
Konsep anekdot narasi historis Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New
World atau representasi orang-orang Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and Wonder” (1990).
Dalam tulisan “Resonance and Wonder” Greenblatt memeriksa keadaan historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya
pada keadaan kekinian. Relasi kekinian tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu merupakan suatu intervensi terhadap masa
lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan Greenblatt untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan) tersebut.
Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt
memberikan contoh pada keindahan karya-karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini. Belakangan pada tahun 2010
Greenblatt melanjutkan konsep narasi historis atau travel writing dengan konsep barunya: mobilitas kultural, melalui suatu manifesto dalam buku The
Cultural Mobillity: A Manifesto (2010: 250-253). Manifesto pertama, bahwa mobilitas mesti dipahami dalam pengertian literal. Pemahaman ini
melanjutkan gagasan mengenai tekstualitas dan pandangan metaforis terhadap objek analisisnya: suatu fenomena kultural dipahami sebagai suatu teks.
Kedua, bahwa mobilitas mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik itu suatu gagasan, kepentingan ideologis, pencitraan atau penggambaran dari
suatu teks dengan mengkaji bentuk-bentuk mekanisme kulturalnya. Ketiga, mobilitas mengidentifikasi dan menganalisis zona yang saling berhubungan
(‘contact zones’), yakni suatu tempat dimana barang-barang dipertukarkan, suatu pertukaran produk kultural yang beroperasi diantara agen individu,
kelompok, institusi, atau masyarakat yang saling interkoneksi satu sama lain dalam suatu perbedaan budaya.

Manifesto keempat Greenblatt dalam buku tersebut adalah, bahwa mobilitas terjadi di dalam ketegangan antara agen individual dengan
pembatasan struktural. Determinasi struktur dan kontrol sosial memungkinkan (memaksa) individu melakukan suatu tindakan dan membuat strategi.
Ketegangan antara keduanya itulah yang menjadi kajian Greenblatt. Kelima, mobilitas mengkaji sensasi yang mendasar. Tidak mungkin mengkaji
mobilitas tanpa juga memahami hal-hal yang statis atau hal-hal yang dapat membatasi mobilitas. Mobilitas seringkali dianggap sebagai suatu ancaman
oleh tradisi, kepercayaan, ritual-ritual dan otoritas tertentu yang sudah mapan (established) pada suatu budaya tertentu—budaya yang oleh Greenblatt
dipahami bersifat lokal (tidak global atau universal), partikular pada ruang dan waktu yang spesifik. Ancaman dan upaya menghadapinya menjadi kajian
mobilitas kultural. Dengan demikian, mobilitas tetap mengkaji kondisi dimana dominasi dan resistensi dalam merespon kemapanan budaya atau
terjadinya suatu perubahan dan perbedaan budaya.

Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu bingkai new historisisme, yang sering disebut dengan puitika
kultural. Secara garis besar Veeser (1989: xi) merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1) bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam suatu
jaringan praktik-praktik (budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan pengungkapan, kritik, dan perlawanan mesti akan menggunakan
perangkat-perangkat dari yang ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi teks sastra dan non-sastra tidak dapat
dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4) bahwa tidak ada diskursus baik fiksi atau faktual yang memberikan akses pada kebenaran mutlak yang tidak
berubah-ubah ataupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode kritis dan bahasa cukup memadai untuk
mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.

Kesimpulan Veeser di atas terlalu umum, yang memang hanya berupa asumsi paradigmatik mengenai relasi fungsional antara teks sastra dan non-
sastra. Hal ini jika dibandingkan dengan kesimpulan Payne dalam The Greenblatt Reader (2005: 3), bahwa new historisisme merupakan suatu kumpulan
praktik dari pada suatu metode atau teori akademisi, dan lebih lanjut Payne mencoba merumuskannya: 1) new historisisme memandang bahwa budaya
merupakan suatu sistem semiotik, sebagai suatu jaringan tanda; 2) new historisisme menentang hegemoni disiplin ilmu pengetahuan, dan
mengarahkannya pada studi interdisipliner yakni dalam upaya penemuan dan pembangkitan suatu pengetahuan baru; 3) new historisisme selalu
menyadari bahwa sejarah merupakan gabungan dari apa yang terjadi (suatu rangkaian peristiwa) pada masa lampau dengan dari suatu laporan atau
cerita mengenai peristiwa tersebut, dengan kata lain bahwa kebenaran historis muncul (dapat dicapai dengan) dari suatu refleksi kritis atas suatu cerita
yang dikatakan; 4) sejarah pada awalnya suatu ragam dari diskursus, yang tidak menyangkal bahwa peristiwa yang nyata memang ada dan pernah
terjadi; 5) kekhasan cara yang dilakukan new historisisme ialah dimulai dengan peristiwa yang ‘menarik’ atau anekdot, yang efeknya dapat
membangkitkan skeptisisme tentang narasi besar historis atau mengutamakan deskripsi suatu periode sejarah tertentu (semisal masa Renaissans); 6)
new historisisme dengan dapat dipastikan mencurigai keutuhan, ketunggalan penggambaran budaya atau periode sejarah, memandang bahwa adanya
pandangan dunia yang tidak terbilang pada suatu periode tertentu (misalnya mitos besar dan tunggal diciptakan untuk melayani suatu kepentingan
tertentu pada masa tertentu); 7) memahami sejarah dengan satu perspektif adalah tidak mungkin, sebab semua sejarah tergantung pada waktu masa
kini atau kekinian, waktu dimana seseorang terkonstruksi; 8) new historisisme secara implisit mengkritik formalisme (atau new kritisisme) yang
memperlakukan objek sastra sebagai suatu benda mati yang ahistoris. New historisisme memprioritaskan pemeriksaan kembali relasi antara sastra dan
sejarah; 9) new historisisme menentang bahwa teks sastra sebagai objek yang otonom, yang terlepas dari pengarangnya dan pembacanya, maka masa
lampau sebagai suatu objek tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi tekstualnya; 10) dalam studi sastra sejarah bukan hanya sebagai background sastra
atau seni, tetapi sastra dan sejarah saling interkoneksi, yang pengaruh-mempengaruhi dan saling menutupi. Maka, sastra dan sejarah dalam pandangan
new historisisme mesti dilihat sebagai disiplin yang dianalisis secara bersamaan atau bolak-balik (Geertz dalam thick description menyebutnya dengan
pembacaan pararel) yang menempatkan seluruh teks dalam suatu pengkajian untuk mengungkap suatu keberagaman pandangan dan kebenaran dalam
masa lampau.

Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat ditambahkan bahwa new historisisme atau puitika kultural merupakan pendekatan untuk analisis sastra
yang dipahami sebagai praktik interpretasi yang masih dalam proses yang secara terus-menerus mendefinisikan dan menyusun tujuannya, filosofinya,
dan praktiknya. Sebab, teks adalah suatu lahan perebutan atau medan pertempuran (battleground) dari persaingan gagasan diantara pengarang,
masyarakat, kebiasaan, institusi, dan praktik sosial yang semua itu bernegosiasi dengan pengarang dan pembaca dan pengaruh dari episteme (Bressler,
2002: 187). Sejak pembaca atau kritikus dipengaruhi oleh budaya dimana mereka hidup, baik pembaca ataupun kritikus tidak dapat terasing (atau lepas
dari) pengaruh publik dan budayanya sendiri. Dengan demikian, setiap pembaca atau kritikus akan mencapai sebuah interpretasi yang unik dari sebuah
teks dan pembacaan akan semakin beragam, interpretasi akan terus-menerus dilakukan dan tidak pernah berhenti pada satu kebenaran yang mutlak. Hal
ini seiring dengan semangat postmodernisme dan gejala overproduksi dalam kesusastraan kita, dimana banyaknya teks sastra diproduksi mestinya
sejalan dengan praktik analisis dan interpretasi terhadapnya.

Anda mungkin juga menyukai