Anda di halaman 1dari 6

Adalah Saskia Eleonora Wieringa, seorang profesor Universiteit van Amsterdam di Belanda

dan baru-baru ini menjadi Ketua IPT 1965 (International people’s Tribunal 1965) yang
menggelar sidang pengadilan rakyat internasional tersebut pada pertengahan November 2015
lalu di Belanda, menuliskan apa yang selama ini disebut “sejarah yang disembunyikan” dari
gerakan perempuan paling progresif dan revolusioner di Indonesia, Gerwani, dalam buku
bertajuk Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan
PKI. Buku ini dilarang beredar dan bahkan penulisnya dicekal untuk masuk ke Indonesia di
zaman rezim orde baru Suharto.

Pada malam 1 Oktober 1965 itu beberapa perempuan Gerwani melakukan penyiksaan sadis
terhadap enam Jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira yang diculik dan disekap di
kawasan Lubang Buaya sebelum kemudian mayat para jenderal itu dimasukkan ke dalam
sumur. Dikabarkan bahwa mereka mencungkil mata, menyilet-nyilet penis para jenderal
hingga berdarah-darah, memegang dan menggosok-gosokkan penis itu ke vagina mereka
sendiri, lalu merangkumnya dalam pesta seks berlatar tarian “Harum Bunga”. Bugil, liar dan
nakal. Diiringi lagu Genjer-Genjer, lagu daerah Banyuwangi yang telah direproduksi
maknanya sedemikian rupa sebagai magis-mistis dan subversif. Demikian cuplikan
film Pengkhianatan G30S/PKI yang populer di tahun 1980-an hingga sebelum 1998 lantaran
sebagai film wajib tonton saban tahun di TVRI dan ungkapan nan populer, “Darah itu merah,
Jenderal!” kerap didengung-dengungkan.
Sekelumit narasi juga dipropagandakan secara masif dalam berita-berita yang ditulis oleh
koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Dua harian yang hidup dan diperbolehkan
hidup pada saat itu untuk membungkam media-media lain dari ‘situasi panas’ karena
peristiwa malam 30 September/ dini hari 1 Oktober 1965. Seikat dengan narasi itu
dikobarkan berita yang berapi-api bahwa perempuan-perempuan Gerwani adalah perempuan
tak bermoral, bejat, dan terminologi sundal lainnya. Lebih jauh, narasi itu dikemas dan
‘disejarahkan’ sebagai monumen ingatan dalam relief museum Lubang Buaya. Kini, 50 tahun
telah terlipat waktu. Suara-suara yang selama ini disenyapkan membuka diri. Dokter yang
mengautopsi jenazah para jenderal kala itu pun menyangkal narasi itu dengan mengatakan
bahwa tak ada temuan sedikitpun bahwa penis para jenderal ada bekas sayatan silet maupun
mata yang tercungkil. Sempurna sudah fitnah terhadap Gerwani, demikian simpulan usai
membaca buku ini.

Gerwani: Organisasi Perempuan Militan


Sejarah berdirinya gerwani diwarnai proses panjang dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun
sejak organisasi Gerwis pertama kali berdiri sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi
Gerwani. Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di
Semarang, sebuah kota yang secara historis memiliki ‘nilai’ lantaran PKI didirikan di kota
ini. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membuat organisasi perempuan
bersama yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan
Gerwis adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar
(Surabaya), Isteri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita
Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruhan). Para pendiri
Gerwis ini berasal dari latar belakang sosial berbeda, bahkan banyak di antaranya dari
keturunan priayi rendah. Terdapat pula beberapa orang yang pernah ambil bagian dalam
gerakan bawah tanah dengan ilham komunisme, misal Umi Sardjono (hlm. 214-215). Semua
pendiri ini adalah para perempuan yang terjun dalam gerakan nasional, bahkan banyak
diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut disepakati
ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa
Tengah.

Konstitusi yang dirumuskan Gerwis adalah menegaskan diri sebagai organisasi non politik
dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Namun, secara tak langsung PKI
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis.
Sebagaimana yang dijelaskan Ny. Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai
meminta saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm. 218).
Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya
Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan
berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis (hlm. 219).

Kongres pertama Gerwis berada dalam masa yang sulit mengingat beberapa anggotanya
masih berada dalam penjara. Dalam kesempatan ini, komponen komunis dan feminis
bercampur dalam satu organisasi, lalu beberapa langkah diambil untuk mengucilkan sayap
feminis sebagaimana direpresentasikan oleh S.K. Trimurti (istri dari Sayuti Melik, tokoh
penting dalam Proklamasi Kemerdekaan 1845, yaitu pengetik naskah Proklamasi). Trimurti
mengundurkan diri dari pencalonan, 1957 ia menarik diri dari jajaran pimpinan, 1965 ia
keluar dari keanggotaan (hlm. 225). Pengalaman perdana bulan-bulan awal dibentuknya
Gerwis adalah berada di garda depan perang kemerdakaan, turut aktif dalam menentang
Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia. Gerwis juga menentang perjanjian KMB
(Konferensi Meja Bundar) yang mereka anggap hanya akan mengembalikan modal asing ke
Indonesia.

Sepanjang kongres pertama dan kedua, Gerwis aktif dalam tiga front: pertama, dalam bidang
politik mereka berjuang terhadap ‘elemen reaksioner’, yakni peristiwa 17 Oktober di mana
sejumlah komandan Angkatan Darat (AD) melakukan pembangkangan terhadap pemerintah
yang hendak mengurangi kekuasaan militer. Kedua, dalam tataran feminisme mereka
menentang PP 19 yang mengatur masalah perkawinan yang diskriminatif. ketiga, mendukung
perjuangan umum bagi Undang-Undang Perkawinan Demokratis serta dengan lunak
menghindari konfontrasi langsung dengan Presiden Soekarno. Selain itu, di tingkat lokal,
Gerwis ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan
pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka
duduki (hlm. 227-228). Tidak tanggung-tanggung, mereka berani ‘pasang badan’ terhadap
traktor maut yang hendak merebut tanah itu.

Kongres kedua Gerwis pada tahun 1954 mengubah dirinya menjadi Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono–yang juga merupakan anggota PKI−sebagai
ketuanya. Perkembangan pesat tampak mencolok. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang
dengan 6.000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Pada
aras ini ada arah yang berubah dari Gerwani, yakni dari organisasi kader menjadi organisasi
massa. Tawaran dilakukan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa
memandang latar belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya,
para pemimpinnya berasal dari keluarga Pamong Praja, atau memiliki pendidikan yang cukup
tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung
menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan
mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar
organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan
yang terjadi sehari-hari.

Lalu pada saat kongres ketiga, Gerwani mulai menampakkan diri dengan condong kepada isu
perpolitikan nasional. Pergeseran ini tampak pada isu yang disuarakan, dari semula
persoalan-persoalan feminis seperti masalah perkawinan, menjadi masalah ‘sosial’ yakni
kenaikan kebutuhan harga bahan pokok makanan. Gerwani ingin mengubah dirinya betul-
betul menjadi organisasi massa dengan skala nasional lebih luas. Untuk itu Gerwani
memfokuskan diri pada bagaimana memimpin gerakan yang lebih luas, membangun gerakan
massa—sebagaimana garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa
sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan
perempuan. Gerwani juga merambah partisipasi dalam politik nasional seperti terlibat dalam
Trikora, perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu
untuk itu.

Dari sini mulai ditemukan titik jelas bahwa Gerwani sebagai organisasi pergerakan
perempuan yang memiliki militansi kuat di antara pengikutnya. Hal tersebut juga tak bisa
dilepaskan dari ideologi yang mewarnai garisnya. Feminisme, sosialisme, dan nasionalisme,
dalam Tujuan dan Kewajiban Gerwani (1954), Gerwani membuat rumusan bagaimana
kondisi perempuan kala itu yang “setengah kolonial setengah feodal” sesungguhnya adalah
gerakan perempuan yang independen tidak berafiliasi atau menjadi underbouw partai politik
manapun (hlm. 234-235). Bahkan, periode antara kongres pertama dan kedua itulah Gerwani
dapat dikatakan paling menampakkan ideologi feminisnya. Sementara pada ranah Sosialis
jelas sekali bagaimana Gerwani mampu kerjasama dan mengorganisir dirinya dengan BTI
dan SOBSI untuk menuntaskan kasus-kasus upah rendah di kalangan buruh perempuan. Pada
pandangan politik secara umum—berbingkai nasionalisme. Gerwani mengadakan perayaan
Hari Perempuan Internasional (HPI) 1955 dengan aksi perdamaian dan protes terhadap
percobaan persenjataan nuklir serta pendudukan Belanda atas Irian Barat. Kemudian pada
Januari 1957 melakukan penuntutan atas melambungnya harga bahan pokok.

Ide Gerwani terkait sosialisme bisa ditengarai dari kedekatan mereka dengan PKI.
Pergulatannya menjadi menantang. Kaitannya dengan sosialisme dus marxisme, Gerwani
bergulat dengan sejumlah problem teoritis, yakni pertama, perjuangan perempuan harus
ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakan, maka
perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan
menggantikannya (hlm 83). Tentu saja perspektif ini bermasalah, sebagaimana dikemukakan
Wieringa, pandangan Engels tentang keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the
Family (1884) dianggap ahistoris, terutama tentang masyarakat suku. Kedua, karena
perempuan berada dalam rumah tangga, maka teori marxis hanya memiliki sedikit pengertian
terhadap peran perempuan di tengah masyarakat. Ketiga, karena eksploitasi perempuan dalam
keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari di luar rumah
tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi masyarakat, pekerjaan rumah tangga
harus disosialisasi. Dan lalu, lantaran penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme,
sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu adanya perjuangan
perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku laki-laki maupun mengubah hubungan
antar-pribadi.

Gerwani dan Pergerakan Perempuan Lokal hingga Global


Panggung Gerwani yang dirumuskan secara pasti membangun sebuah gerakan massa,
menjadikan Gerwani merangkul dan mencoba memengaruhi gerakan perempuan Indonesia.
Garis sosialisme mesti dicapai terlebih dahulu baru kemudian perjuangan feminis bisa
didapatkan, demikian ujaran yang didapat dari PKI. Sebagaimana ‘tidak ada tindakan
revolusioner/sosialis tanpa melibatkan perempuan’. Gerwani berhubungan baik dengan
Perwari dan di tingkat lokal Gerwani ‘bergandengan’ dengan BTI mengorganisir buruh tani
dan terlibat beberapa pelaksanaan land reform agraria. Akan tetapi, Gerwani sempat ‘dijauhi’
organisasi-organisasi perempuan yang lain karena bersikap pasif terhadap perkawinan
Sukarno dengan Hartini dalam sistem poligami. Garis ‘halus’ yang digunakan Gerwani
dianggap sebagai apologetik belaka. Di sini tampak sikap yang mendua, memperjuangkan
sosialisme namun kembali ‘tunduk’ pada feodalisme.
Di tingkat global, Gerwani memperluas kancahnya dengan menjadi anggota dari WIDF
(Women’s International Democratic Federation), Gerwani turut berpartisipasi
dalam Congress of Women di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah
memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara,
memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan, mendukung
kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan fasisme. Kendati
hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling mendukung,
sejak tahun 1960 mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963.
Meningkatnya militansi Gerwani dan makin dekatnya Gerwani dengan Tiongkok menjadi
salah satu penyebabnya. Gerwani yang ikut memobilisasikan kadernya dalam perjuangan
pembebasan Irian Barat--dirasa tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian—menjadi
penyebab yang lain. Pada tahun 1963, hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk.
Dalam kongres bulan Juni, timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa
organisasi ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian selama
imperialisme masih ada di dunia. Meskipun WIDF masih bisa memahami apa yang dilakukan
Gerwani dalam memperjuangkan pembebasan Irian Barat adalah dalam rangka perjuangan
nasional dan kemerdekaan 100 persen, tetapi dalam isu konfrontasi dengan Malaysia, WIDF
sama sekali tidak mendukungnya karena dinilai tidak memiliki alasan yang kuat.
Sementara ranah persinggungan sedari awal yang juga berbuntut ‘panas’ adalah sikap
Gerwani yang terlalu frontal terhadap Undang-Undang Perkawinan Demokratis, di mana
Gerwani menolak poligami, sementara organisasi perempuan Islam sebaliknya. Bila menilik
ke belakang, dikeluarkannya Tris Metty dari keanggotaan juga lantaran dipandang memberi
warna legal pada lesbianisme, sesuatu yang kala itu menjadi paradoks perjuangan
‘perempuan timur yang bermoral’.

Fitnah Gerwani: PKI, Sukarno, dan Peristiwa Lubang Buaya


Dari 1954 hingga 1965, Gerwani menyatakan diri sebagai organisasi yang tidak berpihak
pada partai politik. Baru kemudian ketika pemerintah menginstruksikan kepada organisasi
massa untuk memilih pasangan partai politik dalam kerangka Nasakom, maka Gerwani
dipaksa berafiliasi dengan PKI. Aspirasi ideologis Gerwani dalam hal ini adalah berdasarkan
tokoh Srikandi, yang menyematkan perjuangan di area politik. Langkah Gerwani misalnya
dalam memberikan ‘kursus-kursus’ penyadaran politik di tingkat daerah menjadi kontroversi
besar-besaran di desa-desa dengan reaksi konservatif yang keras. Gelombang progresivitas
Gerwani juga diluapkan dalam majalah Gerwani yakni Api Kartini, agar menyulut kesadaran
perjuangan perempuan. Wacana ‘feminisme’ dan ‘sosialisme’ dalam tubuh Gerwani menjadi
‘kabur’ pada saat itu, lantaran perjuangan politik yang lebih populis sangat diutamakan.
Kedekatan secara pribadi anggota Gerwani dengan orang-orang PKI tak ayal memberi warna
pula dalam tubuh organisasi. Tak jarang ditemukan ketika si suami anggota PKI, si ibu
anggota Gerwani sekaligus BTI sekaligus SOBSI, lalu sang anak anggota Pemuda Rakyat.
Dialektika demikian membantu pembacaan akan ‘warna merah’ dalam Gerwani.

Kurun Demokrasi Terpimpin Sukarno, Gerwani pun tak kalah ‘intim’ dekat dengan Sukarno.
Tercatat begitu berapi-apinya Sukarno hadir dan memberikan sambutan dalam Kongres
Gerwani keempat--terakhir sebelum meletus peristiwa G30S. Sukarno kian membakar api
semangat anggota Gerwani dengan pemikiran Sukarno yang kala itu cenderung ke kiri. Nama
Clara Zetkin, pemimpin perempuan sosialis dan partai sosialis terbesar dari Jerman berulang-
ulang diucapkan sebagai role type perempuan sosialis pejuang. Maka tak mengherankan kala
itu, anggota Gerwani terbiasa melek dengan bacaan-bacaan sosialis-marxis. Gerwani tampil
menjadi organisasi perempuan ‘radikal’ yang berjuang di garda depan politik Nasakom
Sukarno. Pengiriman delegasi pada pelatihan fisik demi menghadapi Trikora di Irian Barat
dan Dwikora dalam pengganyangan Malaysia, kian memampatkan dugaan kemesraan
Gerwani dengan arah politik Sukarno.

Pada akhirnya, meletusnya malam 30 September 1965 menjadi penutup rangkaian panjang 15
tahun Gerwani hidup di Indonesia. Sebuah gerakan kup terhadap pemerintahan resmi
Sukarno yang diwarnai banjir darah para jenderal AD, membuat si kambing PKI berikut
organisasi-organisasi underbouw-nya, simpatisannya, sekaligus siapa saja yang pernah dekat
dengannya tak terkecuali Gerwani turut terseret dalam bumi hangus yang dilakukan oleh
Suharto. Pencidukan paksa, penghilangan nyawa, pemenjaraan, penyiksaan, penghilangan
paksa, pemutusan mata rantai hidup kemanusiaan orang-orang di sekelilingnya dilakukan
pada periode panjang sepanjang Suharto berkuasa secara ‘ganjil’, yakni dengan selembar
surat perintah yang kontroversial bernama Supersemar itu.

Tuduhan sadis dan keji diawali dari Gerwani dianggap sebagai sayap perempuan PKI.
Kemudian berlanjut pada Gerwani adalah organisasi bejat tidak bermoral, ateis yang terlibat
dalam pembunuhan sadis para jenderal di Lubang Buaya yang di kemudian hari dinamai
Pahlawan Revolusi.

Kesimpulan
Dibumihanguskannya Gerwani hingga ‘ke akar-akarnya’, tak pelak menandai babak baru
lenyapnya organisasi perempuan yang begitu penting bagi bangunan keindonesiaan pasca
kolonial. Orde baru menanam benih hibrida dengan pembungkaman perempuan dalam fungsi
‘kodrati’ dalam rumusan mereka. Para perempuan ditalikan kuat dalam satu ideologi ibuisme
melalui organisasi-organisasi bentukan negara dari tingkat pusat hingga keluarga. Tak ada
yang tak berada dalam kontrol orde baru. Perempuan ditarik total dalam misi ‘domestik’
dalam naungan ideologi patriarki. Gemilangnya hasil-hasil pemikiran dan gerakan progresif-
revolusioner Gerwani pada bangunan Indonesia dilenyapkan dari panggung sejarah.

Anda mungkin juga menyukai