Anda di halaman 1dari 23

Konsep Ganti Rugi Perspektif Hukum Islam

Jaya Miharja
IAI Nurul Hakim Lombk Barat

Abstrak
Ganti rugi terhadap korban perdata maupun pidana, sejak awal sudah
disebutkan oleh nas al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Dari nas-nas tersebut
para ulama merumuskan berbagai kaidah fiqh yang berhubungan
dengan dhaman atau ganti rugi. Memang diakui sejak awal, para
fuqaha tidak menggunakan istilah masuliyah madaniyah sebagai sebutan
tanggung jawab perdata, dan juga masuliyah al-jina’iyah untuk sebutan
tanggung jawab pidana. Namun demikian sejumlah pemikir hukum Islam
klasik terutama al-Qurafi dan al-‘Iz Ibn Abdi Salam memperkenalkan
istilah al-jawabir untuk sebutan ganti rugi perdata (baca:dhaman), dan
al-zawajir untuk sebutan ganti rugi pidana (baca: ­‘uqubah diyat, arusy
dan lain-lain).Walaupun dalam perkembangannya kemudian terutama
era kekinian para fuqaha’ sering menggunakan istilah masuliyah yang
tidak lain merupakan pengaruh dari karya-karya tentang hukum Barat.
Dhaman dapat terjadi karena penyimpangan terhadap akad dan
disebut dhaman al-aqdi, dan dapat pula terjadi akibat pelanggran yang
disebut dhaman ‘udwan. Di dalam menetapkan ganti rugi unsur-unsur
yang paling penting adalah darar atau kerugian pada korban. Darar
dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga kerusakan
yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan darar adabi
termasuk di dalamnya pencemaran nama baik.Tolok ukur ganti rugi baik
kualitas maupun kuantitas sepadan dengan darar yang diderita pihak
korban, walaupun dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti
rugi dapat dilakukan sesuai dengat kondisi pelaku.
Kata Kunci: Ganti rugi, Hukum Islam

A. Pendahuluan dan bekerja secara sungguh-sungguh


Secara umum, hukum Islam untuk memeliharanya. Dalam
secara kualitatif maupun kuantitatif konteks ini Al-Qur’an menjelaskan
melindungi kemaslahatan setiap bahwa man qotala nafsan bigairi nafsin
individu di tengah masyarakat. awu fasâdin fi al-ardh fakaannamâ
Perlindungan tersebut meliputi aspek qotala al-nâsa jamî’a, juga man qotala
agama, jiwa, keturunan, akal, dan mu’minan khotho’an fatahrîru roqobatin
harta. Semua orang diwajibkan untuk mu’minatin wa diyyatun musallamah ilâ
menghormati kelima hak tersebut ahlihi.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 133


Al-Qur’an juga mewajibkan pada amwal (harta), al-mumtalikat (hak
berlaku adil dalam bermuamalah milik), Nabi menegaskan “’ala al-yadi
dan berlaku ihsân kepada kerabat, ma akhazat hatta tarudduhu”.
tetangga, dan umat Islam secara Bertitik tolak dari prinsip-
keseluruhan. Al-Qur’an melarang prinsip umum tersebut di atas, para
makan harta orang lain dengan cara fuqaha’ memformulasikan kaidah-
batil, mewajibkan qisas terhadap kaidah pertanggungjawaban (qawa’id
pelaku pembunuhan yang zalim untuk al-masûliyah). Mereka melakukan
menghilangkan darar pada korban: wa identifikasi mana yang masuk dalam
jaz al-’u sayyiatin sayyiatun misluhâ, kategori khitab al-taklif al-jina’i
juga famani’ tadâ ‘alaikum fa’tadu (pidana) yang berimplikasi pada al-
‘alaihi bi misli mani’tada ‘alaikum. ‘uqubah (hukuman) terhadap pelaku
Islam juga meletakkan prinsip-prinsip (mukholafatu awâmir al-syari’ wa
tanggung jawab seseorang terhadap ahkâmihi), dengan al-taklif bi dhaman
perbuatannya, bukan atas perbuatan (beban ganti rugi). Dalam hubungan
orang lain: fakullu nafsin bimâ kasabat inilah al-Qurafi dan ‘Izzuddin Ibn Abdi
rahinah, juga wa likulli insânin ma al-Salam masing-masing dalam karya
kasaba wa ‘alaihi ma iktasaba, serta mereka al-Furuq dan al-Qawa’id al-
walâ taziru wâziratun wizra ukhrâ dan Ahkam menegaskan dan menjelaskan
prinsip-prinsip lainnya yang belum secara konkret perbedaan antara al-
dikenal oleh sistem hukum Barat awajir atau al-‘uqubat dengan al-jawabir
kecuali di zaman modern ini. atau dhamanat.1
Sunnah Nabi pun muncul
untuk memperkuat makna prinsip 1
Kenyataan ini kemudian menyimpan pe -
pertanggungjawaban tersebut. tanyaan akan sumber perundang-undangan Barat
yang sesungguhnya ketika membedakan antara al-
Ditegaskan oleh Nabi Muhammad masuliyah al-jinaiyah (tanggung jawab pidana) dan
bahwa al-muslim akhu al-muslim la al-masuliyah al-madaniyah (tanggung jawab per-
data), dan antara al-masuliyah al-taqshiriyah (tang-
yazlimuhu wala yakhzuluhu. Sunah gung jawab akibat kecerobohan dan kelalaian) dan
Nabi juga meletakkan pondasi kaidah- al-masuliyah al-aqdiyah (tanggung jawab akibat pe-
kaidah umum yang bertujuan untuk langgaran perjanjian kontrak). Adalah sangat tidak
mungkin model pembagian ini tanpa dipengaruhi
menghilangkan darar secara mutlak oleh sistem hukum Islam.
seperti disebutkan oleh hadis Nabi Meski demikian al-Sanhuri berkeyaki-
Lâ darara walâ diroro. Pada saat haji nan bahwa sistem hukum Perancis adalah paling
awal dalam menjelaskan masuliyah dan macam-
wada’ (haji perpisahan) Nabi juga macamnya dengan melakukan interpretasi terh-
menegaskan dasar-dasar umum untuk adap hukum Romawi. Padahal hukum Romawi
kehidupan sosial yang anggun dan tidak melakukan pembagian al-masuliyah secara
rinci seperti itu. Inilah yang ditegaskan oleh Sayyid
bermartabat. Pada saat-saat terakhir Abdullah Husain ketika menolak pendapat San-
kehidupan Muhammad, beliau huri dengan menyatakan: “Pengambilan atau pe-
mewajibkan dhaman (ganti rugi) pada nyaduran dari mazhab Malik bukan dimulai pada
tahun 1805, melainkan sejak tahun 200 H. Ketika
perbuatan yang berlatar belakang Islam menguasai Eropa, Andalusia menjadi pusat
ta’addi (pelanggaran terhadap hukum) ilmu pengetahuan, pada saat Eropa secara umum
berada dalam kegelapan intelektual.” Pada saat itu

134 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


Kaidah-kaidah universal yang
menjadi teori umum dhaman antara ‫ واخلراج‬،)38 ‫بقدر اإلمكان (م‬
lain adalah2: ‫) والغرم بالغنم‬58 ‫بالضمان (م‬
‫الضرر وال ضرار (اجمللة‬ ‫ ويضاف الفعل إىل‬، )85 ‫(م‬
‫)؛‬02 ‫ والضرر يزال (م‬، )91 ‫الفاعل ال اآلمر ما مل يكن جمربا‬
‫والضرورات تبيح احملظورات‬ ‫) واجلواز الشرعي ينايف‬98 ‫(م‬
‫ والضرورات تقدر‬، )12 ‫(م‬ . )19 ‫الضمان (م‬
Demikian pula pada pasal-pasal
‫ والضرر ال‬،)22 ‫بقدرها (م‬ lain dalam al-Majallah. Hukum-hukum
‫ ويتحمل‬، )52‫يزال مبثله (م‬ yang berkaitan dengan perampasan
(al-gasb), misalnya, dimuat dalam
‫الضرر اخلاص لدفع الضرر‬ pasal 890—912. hukum-hukum yang
‫ والضرر األشد‬، )62‫العام (م‬ berkaitan dengan perusakan barang
(itlâf ) dimuat dalam pasal 912-942.
، )72 ‫يزال بالضرر األخف (م‬
Tulisan ini tidak bermaksud
‫والضرر يدفع بقدر اإلمكان (م‬ melakukan perbandingan antara teori
‫) واالضطرار ال يبطل حق‬13 dhaman menurut fiqh dan hukum,
apalagi melakukan kajian terhadap
‫ والعادة حمكمة (م‬،)33 ‫الغري (م‬ pengaruh hukum fiqh terhadap
‫ واملعروف عرفا كاملشروط‬، )63 sistem hukum Barat terutama
hukum Perancis. Tulisan ini hendak
‫ واملعروف بني‬، )34‫شرطا (م‬ mengemukakan teori dhaman secara
، )44 ‫التجار كاملشروط بينهم (م‬ umum dan sebagian aplikasinya
terhadap tanggung jawab seseorang
‫وإذا بطل األصل يصار إىل البدل‬ atas perbuatannya.
‫ ويلزم مراعاة الشرط‬،)35 ‫(م‬ B. Pengertian Dhaman 13
Dalam term fiqh, dhaman juga
Islam masuk daratan Eropa dan memerintah pen-
duduknya serta membangun kaidah-kaidah hukum
dimaknai beragam.3 Imam Ghazali,4
yang adil. Penduduk Eropa berdatangan ke Andalu- misalnya memaknai dhaman dengan
sia semata-mata untuk menimba ilmu pengetahuan. “luzumu rad al-syayy’ awu badaluhu
Abdullah Husain juga berpendapat bahwa hukum
perdata Perancis yang menjadi sumber berbagai hu-
kum saat ini adalah terambil dari mazhab Malik ibn 3
Definisi dhaman yang beragam mengarah
Anas. Lihat Sayyid Abdullah Husain, “al-Muqaranât pada makna menjamin (menanggung) untuk mem-
al-Tasyri’iyah”, dalam Muhammad Ahmad Siraj, bayar utang, mengadakan barang, atau menghadir-
Dhaman al-‘Udwan fi al-Fiqh al-Islami (Dirâsah Fiqhi- kan orang pada tempat yang telah ditentukan. Kare-
yah Muqâranah bi ahkâm al-masuliyah al-Taqshiriyah na itu, biasanya dhaman mengandung tiga masalah
fi al-qanun), al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirâsat pokok, yaitu (1) jaminan atas utang seseorang; (2)
wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, hal. 15. jaminan dalam pengadaan barang; dan (3) jaminan
2
Mustofa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al- dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu,
Fiqhi al-‘Am (al-Fiqh al-Islami fi Saubihi al-Jadid),Beirut: seperti pengadilan.
Dar al-Fikr. 4
al-Gazali, al-Wajiz, hal. I/208.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 135


bil mitsli awu bil qimati (keharusan awu kulli hâdisun bi al-nafsi al-insâniyah
mengganti suatu barang dengan awu bi’udhwin minhâ.10
barang yang sama atau sepadan dengan Baik definisi al-Gazali maupun
nilai jualnya). Al-Hamawy5 pensyarah al-Majallah sama-sama membatasi
kitab al-Asybah wa al-Naza’ir karya Ibn dhaman pada tanggung jawab akibat
Nujaim mengatakan bahwa dhaman perbuatan yang tergolong ta’addi
adalah ’ibâratun ‘an raddi misli al-hâlik seperti merampas atau merusak harta
awu qimatuhu (mengganti barang yang orang lain. Kedua definisi tersebut juga
rusak dengan barang yang sama atau tidak menyentuh dhaman al-aqdi (ganti
yang sepadan dengan nilai jualnya). rugi yang muncul akibat pelanggaran
Sedangkan as-Syaukani6 mengatakan akad). Pengertian dhaman seperti ini
bahwa dhaman adalah ‘ibaratun ‘an sudah barang tentu masih kurang
garamati al-tâlif (mengganti barang karena tidak mengakomodasi seluruh
yang rusak). teori dhaman yang sudah dirumuskan
Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah7 oleh para fuqaha’.
menyebutkan bahwa ganti rugi Adapun definisi al-Syaukani,
disesuiakan dengan jenis barang yang al-Zarqa’, dan al-Zuhaili sama-sama
rusak (dhaman huwa i’tha’u misli al- berangkat dari darar. Darar-lah yang
syai’ inkâna minal misliyât, waqimatuhu mewajibkan ganti rugi. Berdasarkan
inkâna minal qimiyât). Apabila jenisnya titik tolak ini maka dhaman mencakup
tergolong al-misliyât, maka ganti sesuatu yang wajib pada zimmah
ruginya dengan barang yang sama untuk menghilangkan darar yang
(al-misli). Jika barang yang rusak muncul akibat pelanggaran pada
tergolong al-qimiyât, maka nilai ganti akad (mukhalafatu aqdin), melakukan
rugi disesuaikan dengan nilai jualnya dan atau tidak melakukan perbuatan
di pasar (qimah).8 Menurut al-Zarqa’9 tertentu sehingga mengakibatkan
dhaman adalah iltizâm bi ta’widhin mafasid. Al-Bazdawi mengisyaratkan
maliyin ‘an darari al-gair. Sedangkan dua macam dhaman, yaitu dhaman al-
menurut al-Zuhaili dhaman adalah aqdi fasidan kana awu jaizan yajibu bi al-
hua al-iltizâm bita’widhi al-gair ‘amma tarodhi, wa dhaman al-‘udwan ya’tamidu
lahiqahu min talafi al-mal awu dhiyâ’ al- awusofal ‘ain11 (ganti rugi akibat
manâfi’, awu ishabatin min dhararin juz’i pelanggaran terhadap perjanjian
dalam akad fasid maupun jaiz (akad
5
Ahmad Ibn Muhammad al-Hamawy, Gamzu sahih) diwajibkan berdasarkan
‘Uyûni al-Basha’ir wa Syarah al-Asybâh wa al-Nâza’ir, kerelaan masing-masing pihak, dan
Bairut: Dar al-Kutub al-‘ilmiah, Cet. 1405 H/1985
M, hal. 2/211.
ganti rugi akibat pelanggaran tersebut
6
As-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa mengacu pada sifat-sifat barang).
al-Akhbar, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1380 H,
hal. 5/299.
7
Atasi, Syarah Majallatu al-Ahkam al-‘Adliyah, 10
Wahbah al-Zuhaily, al-Mas’uliyah ‘an Fi’li
dicetak di Hims Suriah, 1352 H. al-Gair, Damaskus: Dar al-Muktabi, Cet. 1, 1416
8
al-Majallah, pasal 416. H/1995 M, hal. 12.
9
al-Zarqa’, al-Madkhal, hal. 1032, pasal 648. 11
Al-Bazdawi, Ushul, hal. 31.

136 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


Hal yang sama juga dilakukan tersebut. Pihak yang dirugikan
oleh al-Sarakhsi. Ia membedakan antara (mutadarrar) berhak mengadukan
dhaman al-‘udwan dengan dhaman al- mutasabbib (penyebab kerugian)
aqdi (ganti rugi akibat pelanggaran ke pengadilan agar memenuhi
dengan ganti rugi berdasarkan akad).12 kewajibannya. Berbeda dengan
Indikasi perbedaan tersebut juga kewajiban yang bersifat moral
ditunjukkan oleh al-Suyuthi yang atau keagamaan, syari’ hanya
merinci sebab-sebab dhaman menjadi mendorong untuk memenuhinya
dua yaitu ta’addi dan aqdi.13 Cakupan tanpa implikasi hukuman
dhaman, dengan demikian, meliputi keduniaan karena merupakan
wilayah perdata dan pidana. Sehingga khitab al-targib yang meliputi
ganti rugi dapat terjadi atas barang makruhat dan mandubat. Zimmah
yang rusak atau manfaat barang menurut bahasa adalah al-‘ahdu
yang hilang, atau luka fisik seseorang (perjanjian). Menurut tradisi
sehingga mengakibatkan kerugian, fuqaha’ zimmah adalah suatu
baik total atau sebagian. sifat yang menjadikan seseorang
Dari catatan tersebut dapat mempunyai kompetensi untuk
disimpulkan bahwa dhaman adalah menerima hak atau melakukan
tanggungan seseorang untuk kewajiban. Ahlu zimmah adalah
memenuhi hak yang berkaitan dengan mereka yang melakukan
kehartabendaan, fisik, maupun perjanjian di mana dengan
perasaan seperti pencemaran nama perjanjian itu mereka memiliki
baik. Hal ini berlaku baik darar yang hak dan kewajiban.
muncul akibat pelanggaran seluruh 2. Kewajiban atas dasar dhaman
dan atau sebagian perjanjian dalam berbeda dengan kewajiban atas
akad, melakukan perbuatan (yang dasar ‘uqubah, baik pada karakter
diharamkan) dan atau tidak melakukan maupun tujuannya. Dhaman
perbuatan yang (diwajibkan) oleh ditetapkan untuk melindungi
pembuat undang-undang. Dengan hak-hak individu. Sedangkan
demikian definisi ini mencakup ‘uqubah ditetapkan karena
makna-makna sebagai berikut: adanya unsur pelanggaran
1. Obyek wajib dhaman terletak terhadap hak-hak Allah SWT.
pada zimmah (perjanjian). Kewajiban pada dhaman
Kewajiban dhaman tidak akan bertujuan untuk mengganti atau
gugur kecuali dengan memenuhi menutupi (al-jabru) kerugian
atau dibebaskan oleh pihak yang pada korban. Sementara ‘uqubah
berhak menerima ganti rugi ditetapkan untuk menghukum
pelaku kejahatan agar jera dan
12
Al-Sarakhsi, al-Mabsut, Mesir: al-Sa’adah, tidak melakukan perbuatan itu
1324 H, hal 11/69.
13
Jalaluddin Al-Suyuthi, al-Asybah wa al- lagi (al- zajru). Jadi tujuan yang
Naza’ir, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Saqofiyah, berorientasi pada al-jabru disebut
Cet. 1, 1415 H/1994 M, hal. 362.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 137


dhaman. Sedangkan tujuan yang seperti al-gasbu (perampasan).
berorientasi pada al-zajru disebut Menurut jumhur ulama, pelaku
‘uqubah. perampasan harus mengganti
3. Sebab-sebab dhaman adalah manfaat barang selama berada
adanya unsur ta’addi, yaitu dalam penguasaannya walaupun
melakukan perbuatan terlarang tidak difungsikan. Pendapat
dan atau tidak melakukan ini berdasarkan asumsi bahwa
kewajiban menurut hukum. kerugian selalu terjadi pada
Ta’addi dapat terjadi karena kasus-kasus perampasan.
melanggar perjanjian dalam Kerugian atau darar juga akan
akad yang semestinya harus dialami oleh orang-orang yang
dipenuhi. Misalnya, penerima dibatasi kebebasannya oleh
titipan barang (al-muda)’ tidak penguasa atau seseorang yang
memelihara barang sebagaimana ditahan secara ilegal menurut
mestinya, seorang al-ajir (buruh fuqaha’ Hanabilah. Pendapat ini
upahan, orang sewaan) dangan memperkuat kaidah bahwa al-
al-musta’jir (penyewa) sama- dharar syarthun liwujubi dhaman
sama tidak komitmen terhadap (kerugian adalah syarat terhadap
akad yang mereka sepakati. keharusan ganti rugi).
Ta’addi juga dapat terjadi karena 5. Antara ta’addi (pelanggaran)
melanggar hukum syariah dengan darar (kerugian) harus
(mukhalafatu ahkâm syari’ah) memiliki hubungan kausalitas.
seperti pada kasus perusakan Artinya, darar dapat dinisbatkan
barang( al-itlâf), perampasan kepada pelaku pelanggaran
(al-gasb), maupun kelalaian atau secara langsung. Jika darar
penyia-nyiaan barang secara dinisbatkan kepada sebab-sebab
sengaja (al-ihmâl). lain, bukan perbuatan pelaku
4. Ta’addi yang mewajibkan dhaman (muta’addi) sendiri, maka dhaman
benar-benar menimbulkan tidak dapat diberlakukan, karena
darar (kerugian). Jika tidak seseorang tidak dapat dibebani
menimbulkan kerugian, maka tanggung jawab atas akibat
tidak ada dhaman, karena perbuatan orang lain. Kaidah
secara faktual tidak ada darar syariah mengenai masalah ini
yang harus digantirugikan. adalah:
Itulah sebabnya jika seorang
pengendara yang lalai menabrak ‫ال تزر وازرة وزر أخرى ؛ ال‬
barang orang lain tetapi tidak . ‫يؤاخذ أحد جبريرة غريه‬
menimbulkan kerusakan, tidak
wajib memberikan dhaman. 6. Darar harus bersifat umum
Namun demikian, terdapat sesuai dengan keumuman hadis
suatu perbuatan dengan Nabi: laa dharara wa laa dhirara
sendirinya mewajibkan dhaman (tidak boleh merugikan diri

138 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


sendiri dan merugikan orang bahasa, yakni ganti rugi. Maksud ganti
lain). Tingkat darar diukur rugi yaitu penggantian kerugian yang
berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang dialami seseorang. Pemaknaan seperti
berlaku. Hal ini sejalan dengan ini juga terdapat dalam KUH Perdata
kaidah ushul: yajibu hamlu al- pasal 1244 dan 1248.
lafzi ‘ala ma’nahu al-muhaddad fi Dari sini perlu dimengerti
as-syar’i in wujida, wa illa wajaba bahwa dhaman dapat diterapkan
hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi dalam berbagai bidang muamalah,
(suatu keharusan membawa kata terutama menyangkut jaminan harta
kepada maknanya yang definitif benda dan nyawa manusia. Maka
secara syara’ jika ditemukan, dari itu, tidak mengherankan bila al-
tetapi kalau tidak ada, maka Mawardi mengatakan bahwa dhaman
dialihkan kepada makna definitif dalam pendayagunaan harta benda,
berdasarkan ‘urf ). Karena tanggungan dalam masalah diyat,
syari’ tidak menetapkan makna jaminan terhadap kekayaan, jaminan
darar, sehingga ukurannya, baik terhadap jiwa, dan jaminan terhadap
kualitas maupun kuantitas, beberapa perserikatan adalah hal
mengacu pada ‘urf. Dengan yang lumrah terjadi di masyarakat.
demikian, darar yang diganti Dengan demikian, dhaman dapat
rugi berkaitan dengan harta diterapkan juga dalam masalah
benda, manfaat harta benda, jual beli, pinjam meminjam, titipan
jiwa, dan hak-hak yang berkaitan (al-wadi’ah), jaminan (rahn), kerja
dengan kehartabendaan jika patungan (qirad/mudharabah), barang
selaras dengan ‘urf yang berlaku temuan (luqathah), peradilan (qada’),
di tengah masyarakat. hukuman terhadap pembunuhan
7. ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­Kualitas dan kuantitas dhaman
harus seimbang dengan darar. jazâ’u sayyiatin sayyiatun misluhâ(al-Syuro: 40); ayat
wa in ‘âqabtum fa’âqibû bimisli mâ ‘ûqibtum bihi” (al-
Hal ini sejalan dengan filosofi Nahl: 126). Adapun di dalam al-Sunnah disebut-
dhaman, yaitu untuk mengganti kan, antara lain hadis, riwayat Anas berkata: Ahdat
dan menutupi kerugian yang ba’dhu azwajin nabi SW ilaihi tha’aman fi qush’atin,
fadharabat al-qus’ata biyadiha, fa alqat mâ fihâ, faqâla
diderita pihak korban, bukan an-nabi SW: tha’amun bitha’amin, wa inâun bi inâin
membuat pelakunya agar (Riwayat Tirmizi). Juga hadis yang cukup populer
menjadi jera. Kendati demikian, ‘Alâ al-yadi mâ akhazat hattâ tuaddihi (Riwayat Ah-
mad). Hadis lainnya, Inna dimâakum wa amwâlakum
tujuan ini selalu ada dalam ‘alaikum haromun kahurmati yaumikum haza, fi syah-
berbagai sanksi, walau hanya rikum haza, fi baladikum haza (BukhariMuslim). Ibn
bersifat konvensional. Hazam juga mengatakan bahwa yang sahih adalah
bahwa harta yang diharamkan tidak ada kewajiban
Penetapan makna demikian seseorang untuk memberikan ganti rugi terhadap-
sejalan dengan makna dhaman14secara nya, baik di dalam nas ataupun ijma’. Hadis lain
yang paling populer adalah lâ dharara wa lâ dhirâra.
Imam al-Kasani berkata, “Diwajibkan ganti rugi
Dasar legalitas dhaman antara lain ayat
14
pada kasus perampasan dan perusakan (al-gashbu
al-Qur’an: famani’tadâ ‘alaikum fa’tadû ‘alaihi bi- wa al-itlaf), karena semua itu mengandung unsur
misli mâ i’tadâ ‘alaikum”(al-Baqarah: 194); ayat wa perbuatan i’tidâ’ dan idrâr.”(Badâ’i, hal. VII/165).

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 139


(qisas), perampasan (gasab), pencurian, berbagai tempat, antara lain di
dan sebagainya. dalam kitab-kitab al-furu’, kaidah-
kaidah fiqh, dan kitab ushul al-fiqh.
C. Sebab-Sebab Dhaman15
Walau begitu, rukun dhaman sudah
Kaum fuqaha’ tidak tergambar di dalam pemikiran mereka
mendiskusikan rukun dhaman secara ketika mendiskusikan berbagai kasus
sistematis dan terpadu seperti yang hukum fiqh. Dari berbagai konstruksi
dilakukan oleh ahli hukum. Mereka dan fatwa hukum dalam karya-karya
membahasnya secara sporadis di fiqh, dapat disimpulkan bahwa rukun
dhaman adalah khatha’, dharar, dan
15
Seseorang tidak dapat dibebankan ganti sababiyah.
rugi kecuali memenuhi dua rukun, yaitu: al-i’tida’
dan al-darâr. Al-i’tidâ’ adalah melampaui batas yang Perbuatan-perbuatan hukum
menurut para fuqaha’ mengandung unsur kezali- yang mewajibkan dhaman hampir
man, rasa permusuhan, dan melampaui hak. Kri-
terianya adalah menyimpang dari perilaku normal.
tidak terbatas jumlahnya. Tetapi
Adapun sebab-sebab dhaman ada tiga, yaitu aqad, secara akumulatif perbuatan-
yad, dan itlâf. Dhaman pada aqad dapat terjadi ketika perbuatan tersebut dapat disebut
ada pihak yang melakukan interpretasi terhadap ke-
tentuan eksplisit dari redaksi perjanjian atau makna perbuatan gair masyru’ah, atau akhtha’
implisitnya sesuai dengan keadaan dan situasi (al- atau ta’ddiyat (delicts, torts, wrongs).
‘urf atau al-‘âdah) yang berlaku. Sedangkan wadh’u Namun untuk memudahkan sistem
al-yad dapat menjadi sumber ganti rugi baik itu al-
yad mu’tamanah maupun bukan mu’tamanah. Yad pertanggungjawaban terhadap akibat
al-mu’tamanah seperti yad al-wâdi’ dan al-mudhârib, perbuatan, maka para ahli hukum
al-‘âmil al-musâqi, al-ajir al-khâs, al-washi ‘ala mâl al- pertama-tama melakukan pembagian
yatim, hakim dan al-qadhi ‘ala sunduq al-aitâm, dan
lain-lain. Mereka ini jika melakukan ta’addi (per- terhadap perbuatan prespektif motif
sonal abuse case) atau taqshir dibebani/dikenakan dan tujuan pelaku menjadi: akhtha’
ganti rugi. Namun jika tidak ada unsur ta’addi atau ‘amdiyah (intekntional torts) dan akhtha’
taqshir tidak dapat dibebankan ganti rugi karena
mereka tergolong al-aydi al-amânah (tangan-tangan taqshiriyah atau al-ihmal (negligence).
amanah). Adapun al-yad gairu al-mu’tamanah yang Di dalam fiqh, al-akhtha’ gair
melakukan sesuatu terhadap harta orang lain tan-
pa izin dari pemilik seperti pencuri dan perampas, al-‘amdiyah dibagi menjadi dua
atau dengan seizin pemilik seperti al-yad al-bâ’i’ macam yaitu al-khatha’ dan mâ jarâ
terhadap barang yang dijual sebelum serah terima, majrâhu. Suatu perbuatan yang
atau al-musytari setelah serah terima barang, dan
penyewa hewan tunggangan atau semisalnya jika menjadi tujuan pelaku, namun tidak
melakukan ta’addi terhadap syarat-syarat yang su- menghendaki akibatnya disebut al-
dah ditentukan atau ketentuan yang sudah biasa
berlaku. Mereka ini wajib memberikan ganti rugi
khatha’. Sedangkan suatu perbuatan
terhadap kerusakan barang pada saat berada di dan akibatnya sama-sama tidak
tangannya, apapun penyebab kerusakan sekalipun dikehendaki oleh pelaku disebut
terpaksa seperti bencana alam dan lainnya. Adapun
al-itlâf menjadi sebab ganti rugi baik langsung mau-
mâ jarâ majrâ al-khatha’. Yang pasti
pun hanya sebagai penyebab. Itlâf biasanya diar- khatha’ ‘amdi sangat berbahaya
tikan mendisfungsikan barang. al-Itlâf dibagi dua sehingga di dalam hukum Barat—
yaitu al-itlaf al-mubasyir (perusakan langsung), dan
al-itlaf bi al-tasabbub (perusakan tidak langsung).
dengan mengacu kepada istilah
(Pembahasan tuntas dapat dilihat dalam al-Kasani, hukum Perancis—disebut al-khatha’
al-Badâ’i’ dan dalam Majallatu al-Ahkâm al-‘Adliyah
pasal 887-888.

140 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


lâ yagtafiru (kesalahan yang tidak melakukan dhaman, tetapi secara etis
dimaafkan).16 relegius dia tidak berdosa.
Perbuatan-perbuatan Dhaman tidak terkait dengan
mewajibkan dhaman, kata al-Qurafi17 al-qasdu dan al-niat. Pendapat ini
adalah dilakukan secara langsung berdasarkan ijma’. Karena ijma’-
oleh pelaku (al-‘udwan bi al-mubâsyir), lah yang mewajibkan dhaman bagi
kemudian karena perbuatannya seorang anak yang belum dewasa (al-
tersebut mengakibatkan kerusakan sabiyi), orang gila (al-majnun), orang
(al-tasabbub li al-itlâf) pada harta benda pelupa (al-nasi), orang tidur (al-naim)
misalnya. Singkatnya, sebab-sebab dan orang lalai (al-gafil). Dhaman
dhaman adalah al-mubasyir, al-tasabbub, semata-mata terkait dengan al-asbab
dan al-itlaf. Kerusakan ini tidak mesti (adanya sebab akibat). Atau dengan
menjadi tujuan dari pelaku (qashdu meminjam istilah imam al-Gazali
al-fa’il). Karena masing-masing bahwa al-ahliyah (cakap hukum) yang
orang bertanggung jawab atas akibat menjadi syarat dalam menetapkan
perbuatannya. Prinsip ini sesuai dhaman adalah ahliyatu al-wujub yaitu
dengan kaidah fiqh: ‫الرضا بالشيء رضا مبا‬ seseorang dianggap cakap hukum
‫يتولد عنه‬ untuk menerima hak, bukan ahliyat
Adapun kesengajaan (al- al-ada’ di mana seseorang dianggap
‘amd) yang mengakibatkan darar cakap melakukan perbuatan hukum.
atau kesengajaan untuk melakukan Meski sangat jelas bahwa
perbuatan namun tidak mengakibatkan khatha’, ihmal, dan taqshir menjadi
darar, tidak menjadi syarat dalam syarat wajib dhaman, namun tim
penetapan dhaman. Karena dhaman penyusun al-Majallah al-Ahkam al-
berkaitan dengan perbuatan hukum ‘Adliyah sepertinya mengabaikan
dalam lingkup khatha’ atau ‘udwan prinsip-prinsip umum dhaman. Hal ini
bukan pada tujuan perbuatan atau terbukti bahwa mereka menetapkan
niat pelaku. unsur kesengajaan (ta’ammud) sebagai
Namun demikian, khatha’ yang syarat dhaman seperti disebutkan
mengharuskan dhaman dibedakan dalam pasal 92, ‫املباشر ضامن وإن مل يتعمد‬.
dengan khata’ yang mengharuskan Sedangkan dalam pasal 93 disebutkan:
‘uqubah serta khatha’ al-akhlaqi ‫املتسبب ال يضمن إال بالتعمد‬
(kesalahan secara moral) yang hanya Kemungkinan ada dua faktor
berimplikasi pada dosa. Orang tidur yang menyebabkan kekeliruan
menurut teori ini tidak salah secara tersebut. Pertama, mengikuti kesalahan
moral dan juga tidak berdosa. Dengan yang terdapat dalam karya-karya
demikian kalau dia terbolak balik klasik terutama kitab al-Asybâh karya
atau jatuh menimpa sesuatu sehingga Ibn Nujaim yang menyebutkan:
menimbulkan kerusakan, dia wajib
‫املباشر ضامن وإن مل يتعمد‬
16
Siraj, Dhaman, Ibid.
17
al-Qurafi, al-Furuq, Ibid. ‫ إال إذا كان‬،‫واملتسبب ال‬

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 141


‫متعمدا‬ Hadis tentang ‫رفع عن أميت اخلطأ والنسيان‬
(diampuni umatku suatu perbuatan
Kedua, ada kemungkinan karena kelalaian dan kealpaan) tidak
mengikuti jejak sebagian fuqaha’ menafikan hukum dhaman ketika
Hanafiyah generasi awal yang keliru terjadi al-taqshir (kecerobohan) dan
memahami dan menafsirkan mazhab al-ihmal (kelalaian). Karena yang
Abu Hanifah yang menetapkan diampuni adalah dosa atau hukuman
bahwa penyebab kerusakan dibebani pidana, bukan hukuman dhaman.
ganti rugi (tadhmin mutasabbib). Hal inilah yang menjadi perhatian
Imam mazhab sendiri tidak melihat para fuqaha’. Seorang faqih Sadru
tadhmin mutasabbib kecuali ada unsur al-Syari’ah menyebutkan bahwa al-
kesalahan (al-khatha’) yang mirip khatha’ adalah apabila seseorang
dengan kesengajaan atau suatu mengerjakan suatu perbuatan, tetapi
kesalahan yang sangat berlebihan perbuatan itu sendiri tidak diniati
sehingga mendekati atau setidaknya secara sempurna. Misalnya, orang
mirip dengan kesengajaan. menembak hewan buruan namun
Terlepas dari apakah ini pelurunya nyasar mengenai seseorang
merupakan kesalahan ilmiah atau sehingga tewas. Di sini terdapat niat
kesalahan teknis pengetikan, namun atau al-qasdu yang tidak sempurna.
yang pasti kaidah tersebut harus dibaca Sehubungan dengan ini si pemburu
dalam konteks: ‫أن املتسبب ال يضمن (إال إذا‬ tidak dapat dikenakan qisas karena
‫ )كان متعديا‬Hal ini sesuai dengan kaidah hukuman ini diperuntukkan bagi
yang ada di dalam Majma’ Dhamanat.18 pelaku pidana penuh. Atas dasar
Kaum fuqaha’ tidak menetapkan ini, ia tidak dapat dikenakan kepada
syarat bahwa orang yang menyebabkan orang ma’zur (orang yang dimaafkan).
(mutasabbib) kerugian harus sudah Namun ‘uzur ini terkait dengan hak-
mumayyiz, atau memiliki al-idrak hak hamba sehingga kategori dhaman-
(pemahaman dan pengetahuan) nya adalah dhaman al-‘udwan.
terhadap kewajiban dhaman. Sehingga
D. Macam-macam Khatha’
seorang anak yang masih usia mumayyiz dan Darar
atau belum, wajib dikenakan dhaman
Secara teoritis khata’ dapat
jika melakukan perbuatan yang
berupa meninggalkan kewajiban yang
mengakibatkan kerugian pada orang
ditetapkan oleh syariah. Misalnya,
lan. Demikian pula al-ma’tuh (orang
seorang ibu meninggalkan anaknya
idiot) dan al-majnun (gila). Karena
sehingga jatuh. Khata’ juga dapat
tujuan dari dhaman adalah ganti rugi
dalam bentuk melakukan perbuatan
dengan mal, yang pembayarannya
yang haram. Misalnya, memberikan
dapat diwakilkan kepada pihak lain.
kesaksian palsu, merampas harta orang
lain, merusak atau menyebabkan
al-Bagdadi, Majma’ al-Dhamanat, Mesir: al-
18 rusaknya harta.
Khairiyah, 1388 H, hal. 57.

142 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


Dhaman tidak akan berlaku benda tidak bergerak (‘iqarat), dan jasa
kalau tidak ada unsur khatha’. Dan (al-manafi’).19
khatha’ tidak akan ada kalau seseorang Para fuqaha’ sepakat atas dhaman
melakukan suatu perbuatan yang terhadap kerusakan benda bergerak
diijinkan oleh syariah (hukum). (karena merampas barang, merusak
Sedangkan darar sendiri ada tiga atau menguranginya, mengubah
macam, yaitu darar yang berkaitan bentuk barang atau mengeksploitasi
dengan kehartabendaan; darar yang pemanfaatannya). Sehubungan
berkaitan dengan fisik; dan darar yang dengan dhaman barang-barang
berkaitan dengan kehormatan dan bergerak terdapat dua syarat:
nama baik seseorang atau lembaga. Pertama, maliyatu al-manqul
Yang terakhir ini disebut dengan (barang bergerak itu betul-betul
darar adabi. Menjaga dan melindungi harta secara syara’). Al-manqulat
kehormatan dan nama baik masuk (bentuk jamak dari al-manqul) yang
dalam kategori al-masalih al-daruriyah kehartaannya tidak diakui oleh
atau kemaslahatan primer. syara’ tidak dapat dilakukan ganti
Namun dari aspek lain, darar rugi terhadapnya. Itulah sebabnya
dibagi menjadi dua, yaitu, pertama, tidak ada dhaman dengan merusak
darar al-yasir (kerugian ringan). Para bangkai, kulit bangkai, darah dan lain-
fuqaha’ pada umumnya berpendapat lain yang pemanfaatannya dilarang
tidak ada dhaman terhadap darar ini. oleh syara’. Juga yang tidak dapat
Menurut hemat penulis, permasalahan dilakukan dhaman terhadapnya adalah
ganti rugi terhadap darar yasir bersifat al-mubahat al-‘âmmah (hak-hak umum)
kondisional. Kedua, darar fakhisy yaitu al-kala’ (rumput), al-ma’ (air)
(kerugian berat). dan al-nâr (api). Itulah sebabnya jika
Beberapa kaidah yang berkaitan ada seseorang menimba sumur orang
dengan darar adalah: lain sampai kering, tidak dikenakan
dhaman. Sebab pemilik sumur, bukan
‫يتحمل الضرر اخلاص لدفع‬ berarti memiliki air, berbeda kalau
merampas air dari wadah yang
‫ الضرر األشد‬، ‫الضرر العام‬ lain. Hukum al-kala’ (kecuali kalau
‫ إذا‬، ‫يزال بالضرر األخف‬ dipelihara dan ditanam), dan al-nâr
sama dengan hukum al-mâ’.
‫تعارض مفسدتان روعي‬ Kedua, tuqawwimu al-manqul
‫أعظمهما ضرر بارتكاب‬ (barang tersebut mengandung nilai
‫أخفهما وخيتار أهون الشرين‬ ekonomis). al-Taqawwum menurut Ibn
Nujaim dapat ditetapkan berdasarkan
Sementara kerusakan terhadap
harta benda (darar maliyah) dapat Lihat Ibrahim Fadil al-Dabbo, Dhaman al-
19

digolongkan menjadi kerusakan Manafi’ dirasah muqaranah fi al-fiqh al-islami wa al-


terhadap benda bergerak (manqulat), qanun al-madani, Amman, Beirut: Dar al-Bayariq,
Dar ‘Ammar, Cet. I, 1417 H/1997.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 143


dua hal, yaitu adanya unsur kehartaan Misalnya, hilangnya pendengaran dan
(al-maliyah) dalam suatu barang, dan penglihatan. Terhadap semua kasus
barang tersebut boleh dimanfaatkan yang berkaitan dengan kerugian fisik
menurut syara’. seluruh atau sebagiannya, menurut
Adapun barang-barang tetap para fuqaha’ berlaku hukum dhaman
(al-‘iqârât, immovable property), para terhadapnya.
fuqaha’ bersepakat wajibnya dhaman E. Menakar Ganti Rugi
terhadapnya apabila merusak
Tujuan dari pada dhaman
keseluruhan, sebagian atau merugikan
adalah untuk memberikan ganti rugi
pemiliknya. Berbeda dengan manâfi’
pada korban dan menghilangkan
terdapat perbedaan pendapat yang
kerugian yang diderita (raf ’u al-darar
berkaitan dengan dhaman terhadapnya.
wa izalatuha). Hal ini mencakup dua
Perbedaan ini sebagai konsekuensi dari
hal. Pertama ganti rugi terhadap
silang pendapat yang terjadi antara
kerugian yang berhubungan dengan
fuqaha tentang status kehartaan al-
jiwa, kehormatan, dan nama baik
manafi’ (maliyatu al-manafi’). Fuqaha’
seseorang. Kedua, ganti rugi terhadap
Hanafiyah terutama generasi awal
kerugian yang berkaitan dengan harta
tidak menetapkan dhaman terhadap
benda.
al-manafi’, karena wujudnya yang
abstrak, sehingga ia tidak termasuk Ganti rugi terhadap kerugian
harta. Pendapat ini berbeda dengan yang berhubungan dengan jiwa
pendapat mayoritas fuqaha dari disebut jawabir al-dharar al-badaniyah
berbagai mazhab, termasuk Syiah mencakup kehilangan jiwa, kehilangan
Imamiyah, menurut mereka dhaman anggota badan, atau fungsi keduanya.
terhadap al-manafi’ sesuatu yang Jawabir model ini oleh para fuqaha’
wajib. disebut dengan diyat (ganti rugi
pembunuhan), ursy al-muqaddarah
Argumentasi fuqaha’ Ahnaf
wa gairu al-muqaddarah (denda luka
antara lain bahwa al-manafi’ tidak
yang sudah ditetapkan di dalam nas).
mengandung nilai ekonomis. Statusnya
Ganti rugi model ini sering disebut
sama dengan khamar dan bangkai.
hukumatu ‘adl karena ukuran kualitas
Artinya, al-itlâf tidak tergambar pada
dan kuantitasnya diserahkan kepada
al-manâfi’ mengingat sifatnya yang
otoritas peradilan yang adil.
abstrak. Pendapat ini oleh fuqaha’
Hanafiyah generasi mutaakhkhirin Adapun ganti rugi yang
dianggap lemah, sehingga mereka berkaitan dengan harta (jawabir al-
mengevaluasi pendapat tersebut dan darar al-maliyah) seperti perampasan,
mengemukakan bahwa al-manâfi’ perusakan terhadap barang atau
adalah bagian dari al-mal (harta). manfaatnya mencakup dua hal yaitu:
Adapun darar badaniyah meliputi 1. Jawabir naqdiyah yaitu ganti rugi
jiwa, anggota badan, atau hilangnya dengan mengembalikan nilai
fungsi salah satu anggota badan. jual barang (al-qimah).

144 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


2. Jawabir ‘ainiyah, yaitu ganti rugi darar yang ada, tidak lebih dan
dengan mengembalikan barang juga tidak kurang. Menyimpang
itu sendiri, atau menggantinya dari prinsip ini dikategorikan
dengan barang yang sama “aklu amwalinnas bi al-bathil
dalam kasus-kasus perampasan (makan harta orang lain secara
dan penguasaan terhadap harta batil). Kecuali dalam kasus
orang lain secara tidak legal. di mana tingkat ta’addi-nya
Adapun hitungan atau perkiraan sangat tinggi, ganti rugi perlu
(al-taqdir) ganti rugi bisa mengacu dilipatgandakan agar pelaku
pada beberapa model berikut. menjadi jera.
Pertama, perhitungan ganti rugi Bila dilihat dari berat ringannya
berdasarkan kesepakatan (al-taqdir ganti rugi, para fuqaha’ membaginya
al-ittifaqi). Kedua, penggantian ganti menjadi dua macam. Pertama,kerugian
rugi yang dilakukan oleh hakim (al- ringan (jawabir mukhaf-fafah) yang
taqdir al-qadai) yang mengacu pada diukur berdasarkan tingkat kerugian
ijtihad dan pendapatnya. Dan, ketiga, (darar) yang diderita pihak korban.
penghitungan ganti rugi sesuai Kedua, kerugian berat (jawabir
dengan yang ditetapkan oleh pembuat mughallazah). Jawabir mukhaf-fafah
undang-undang (al-taqdir al-syar’i). terlihat pada kasus-kasus dalam
Hitungan dan perkiraan ganti kategori khatha’. Sedangkan jawabir
rugi tersebut berasaskan pada mugallazah terlihat pada kasus-
beberapa hal. kasus syibhu al-‘amad (perbuatan
1. Ganti rugi tidak dimaksudkan semi sengaja). Pelipatgandaan ganti
untuk memperkaya pihak rugi dikenakan kepada mereka
yang dirugikan, menolongnya, yang mengambil harta orang lain
atau memberikan tabarru’ dan membelanjakannya untuk
terhadapnya. Namun, memperkaya diri sendiri. Tujuan
dimaksudkan untuk dari tagliz (pemberatan dengan
mengembalikan keadaannya pelipatgandaan kerugian) adalah
seperti sebelum terjadi zijru al-muta’addi (membuat pelaku
kerugian—dengan catatan jika agar menjadi jera) tidak mengulangi
hal itu memungkinkan. perbuatan yang melawan hukum.
Kendati demikian perbedaan antara
2. Ganti rugi dibebankan kepada
al-‘uqubah dengan dhaman selalu ada,
pihak yang mengakibatkan darar
setidaknya dapat diamati sebagai
secara langsung. Adapun darar
berikut:
tidak langsung yang tidak dapat
dinisbatkan kepada perbuatan 1. Al-qatl syibhu al-‘amad
muta’addi tidak dapat dikenakan (pembunuhan semi sengaja). Sisi
ganti rugi. tagliz dalam kasus pembunuhan
ini adalah tingginya umur unta
3. Hitungan dan perkiraan ganti
yang dijadikan sebagai diyat
rugi disesuaikan dengan tingkat

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 145


wajib. Hal ini berdasarkan hadis
riwayat Abdullah Ibn Amr bahwa ‫سرق منه شيئا بعد أن يؤويه‬
Rasulullah bersabda20: ‫اجلرين فبلغ مثن اجملن فعليه‬
‫آال إن يف قتيل عمد اخلطأ ‘ قتيل السوط‬
‫ منها أربعون خلفة في‬،‫ مائة من اإلبل‬،‫والعصا‬
.‫القطع‬ 21

‫( بطونها أوالدها‬bahwa dalam kasus Dengan demikian jawabir


pembunuhan semi sengaja yaitu mugallazah tidak hanya pada luka-luka
pembunuhan dengan cemeti dan fisik, melainkan juga pada kerugian
tongkat, dendanya seratus unta, 40 harta dalam situsi-situasi yang
di antaranya sedang mengandung). memerlukan “pemberatan terdakwa”
Hadis yang searti dengan itu juga seperi ingin memperkaya diri dengan
diriwayatkan oleh Amr Ibn Syu’aib cara merugikan orang lain. Fenomena
bahwa seseorang yang bernama ini sekaligus memberikan keleluasaan
Qatadah melempar anaknya dengan hakim dalam menghitung dan
pedang sampai tewas. Karena itu, memperkirakan kualitas dan kuantitas
diyat yang dibebankan kepadanya ganti rugi.
adalah 30 ekor unta kategori hiqqah F. Prinsip Umum Penetapan
(umur 3 tahun masuk tahun ke 4), Ganti Rugi
30 unta lagi kategori jiz’ah (umur 4
Penggunaan istilah al-jabr oleh
tahun masuk tahun ke 5), dan 30 ekor
para fuqaha’ dalam konteks dhaman
lagi kategori khilfah (unta yang sedang
yang dihubungkan dengan darar
mengandung).
masih mengandung ambiguitas.
2. Mengambil harta orang lain Karena makna darar sangat beragam
yang sulit diletakkan pada mengikuti konteksnya. Misalnya,
wadah tertentu atau dijaga al-jibr al-kamil (ganti rugi penuh)
sepanjang waktu. Diriwayatkan bertujuan untuk menetapkan ganti
dari Amr Ibn Syu’aib dari rugi yang harus ditanggung oleh pihak
ayah dan neneknya berkata: pelaku (al-mutadarrir). Darar dalam
“Rasulullah pernah ditanya konteks ini mencakup darar maliyah,
tentang buah-buahan yang masih darar badaniyah, dan darar adabiyah.
menggantung di pohonnya. Lalu Standarisasi jibru al-kamil bersifat
beliau bersabda: kondisional, tergantung pengadilan
dan usaha cerdas hakim. Karena
‫من أصاب منه بفيه من ذي‬ betapa sulitnya mengukur rasa sakit
‫حاجة غري متخد خبنة فال شيئ‬ yang bersifat psikis dibandingkan
kerugian lain yang bersifat material.
‫ ومن خرج بشيئ فعليه‬. ‫عليه‬ Dengan kata lain, rasa keadilan
‫ ومن‬.‫غرامة مثليه والعقوبة‬ yang didambakan oleh para pencari

21
Lihat juga beberapa hadis lain yang s -
Hadis dan takhrij-nya dapat dilihat dalam
20
makna dalam Nail al-Authar oleh al-Syaukani, hal.
Nail al-Authar oleh al-Syaukani, hal. 7/167. 7/301 dst.

146 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


keadilan sangat ditentukan oleh sikap, mumasalah (persamaan), dan juga
kecermatan, dan keadilan hakim itu untuk mengingatkan si pelaku agar
sendiri. menjadi jera. Prinsip al-mumasalah
Dalam menetapkan ganti rugi, juga diperkuat oleh ayat fa mani’tada
setidaknya harus didasarkan pada ‘alaikum fa’tadu ‘alahi bi misli ma
empat prinsip. Pertama, prinsip al-yusr i’tada ‘alaikum. Untuk membantu
(memudahkan) dalam menghitung kita dalam menafsirkan ayat ini, perlu
dan mengukur ganti rugi tersebut kiranya mengutip perkataan al-Zaila’i,
untuk menghindari proses dan seorang fuqaha’ Hanafi, wa dhaman
prosudur yang panjang di pengadilan al-udawan masyruthun bi al-mumasalah
agar para pencari keadilan tidak terlalu bi al-nassi wa al-ijma’. Wasummiya
lama menunggu haknya. dhaman al-muqabil i’tidaan bi thariq al-
Kedua, konsisten. Artinya, muqabalah li fi’li al-i’tida’ awu al-idhrar
terdapat keseragaman kualitas dan majazan la haqiqatan, li anna al-majazat
kuantitas ganti rugi dalam kasus yang awu dhaman la yakun saiyiah wala
sama pula. ta’ddiyan.22 Inti dari pernyataan al-
Zaila’i bahwa ganti rugi pelanggaran
Ketiga, menyamakan (al-
disyaratkan harus sama berdasarkan
musawat) antara semua penduduk
nas dan ijma’, sedangkan penamaan
dalam menerima ganti rugi. Misalnya,
dhaman berdasarkan pelanggaran
jangan sampai ada pembedaan antara
dalam konteks majazi, bukan pada
petani dengan pengusaha untuk ganti
makna hakikinya, karena ganti rugi
rugi kasus yang sama, karena prinsip
menurut makna majazinya bukanlah
dalam menetapkan darar bukan
sesuatu yang buruk atau merupakan
mempertimbangkan strata sosial atau
suatu pelanggaran.
kemampuan finansial.
Menghitung ganti rugi mengacu
Dan keempat, harus terlebih
pada kaidah kesepadanan (al-misli)
dahulu mengidentifikasi dan
dengan mempertimbangkan metode
menetapkan tingkat keterlibatan
syari’ dalam menetapkan al-misli, al-
para pelaku. Karena hal ini akan
qimah dan ujratu al-misli terhadap ganti
menentukan kualitas ganti rugi yang
rugi al-mal. Namun, manakala kaidah
akan dibebankan kepada mereka.
al-misli sulit diterapkan dalam kasus-
G. Prinsip al-Misli dalam kasus luka fisik (al-isabat al-badaniyah),
Menetapkan Ganti rugi karena luka fisik, sesungguhnya,
Prinsip persamaan (mabda’ al- tidak mungkin sepadan dengan ganti
misliyah) dalam ganti rugi ditetapkan rugi dalam bentuk uang, maka syari’
berdasarkan nas syariah antara lain menetapkan ukuran-ukuran tertentu
firman Allah wajazau saiatin saiatun yang dapat direalisasikan yaitu al-
misluha. Disebut dengan istilah al-
uqubah atau al-jaza’ semata-mata 22
Usman Ibn Ali al-Zaila’i, Tabyin al-haqoiq
dalam konteks al-musyakalah/al- Syarh Kanzu al-Daqaiq, Kairo: Dar al-Kitab al-Islami,
Cet. II, 1990, hal. V: 223.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 147


jawabir al-muqaddarah misalnya diyat Al-Qur’an mengharamkan
(denda pembunuhan), al-urusy (denda apa pun bentuk perbuatan yang
luka), al-aqilah (denda pembunuhan menyentuh kehormatan muslim.
kolektif ), dan lain-lain. Hal ini Dalam surat al-Nur ayat 4 dan 5, al-
kemudian oleh para fuqaha’ disebut Qur’an mengharamkan qazf, zina,
al-mumasalah al-hukmiyah. dan hukumannya. Sementara dalam
ayat 11 dan 12 Surat al-Hujarat
H. Pencemaran Nama Baik
mengisyaratkan berbagai bentuk
(iza’ al-muslim fi sum’atihi)
pelanggaran yang menyentuh
Untuk melindungi kehormatan kehormatan dalam pengertian
seseorang, syariah memulai dari yang lebih luas. Misalnya sukhriyah
masalah yang sederhana. Misalnya, (pengejekan), al-lamz (mencela dan
larangan menuduh seseorang mengkritik dengan bahasa yang tidak
melakukan zina (al-qazf), larangan etis), tanabuz bi al-qaaf (saling mencela
saling mencela dan memberi julukan dengan memberi julukan jelek),
jelek (al-tanabuz bi al-alqaf) atau tajassus (memata-matai) dan al-gibah
menafikan keturunan (nafyu al- (umpatan).
nasab). Hal ini sesuai surat al-Hujarat
Betapapun terbatasnya konsep
ayat 11-12. Demikian pula dalam
perlindungan nama baik yang telah
Surat al-Nur ayat 4-5. Sedang di
dirumuskan para fuqaha’, namun dapat
dalam hadis disebutkan, al-muslim
diidentifikasi menjadi pelanggaran
man salimal muslimun min lisanihi
(al-ta’addiyat) terhadap nama baik
wayadih (seseorang baru dikatakan
seseorang yang meliputi tuduhan
muslim apabila menyelamatkan umat
melakukan zina dan tuduhan terhadap
Islam dari gangguan ucapan dan
selain zina yang dapat mengakibatkan
prilakunya).
pencemaran nama baik.
Para fuqaha’ kemudian
Oleh karena itu fungsi faqih
merumuskan masalah pencemaran
termasuk hakim dalam hal ini
nama baik dalam bingkai al-maqasid
adalah melakukan istimbath hukum
al-khamsah li al-syariah (lima
sekaligus mengembangkan konsep
kemaslahatan) , yaitu menjaga agama,
perlindungan terhadap kehormatan.
jiwa, moral, akal, dan harta. Hanya
Tegasnya, mereka harus mewujudkan
saja, para fuqaha’ lebih banyak fokus
konsep tersebut berdasarkan
pada hal-hal yang terkait dengan al-
keumuman konsep syariah dan
‘ardh dalam pengertian yang sangat
maqasid-nya.
sempit dengan menjelaskan hukuman
pelaku zina, hukuman bagi penuduh I. Hal-hal yang Menafikan
berbuat zina. Tegasnya, para fuqaha’ Dhaman
lebih asyik menjelaskan hukum- Pada prinsipnya dhaman
hukum yang berkaitan dengan zina (al- diberlakukan kepada siapapun yang
qazf), atau hukum lain yang berkaitan menyebabkan kerugian pihak lain.
dengan kehormatan keluarga.

148 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


Namun demikian, dhaman juga tidak memberi perintah. Dengan
dapat diberlakukan kalau terdapat demikian ganti rugi dibebankan
halangan (al-mawani’) atau alasan kepada yang memberi perintah,
pembenar, antara lain: dengan catatan jika perbuatan
1. Pemusnahan barang secara tersebut memang benar-benar
legal. Misalnya, khamar mengharuskan ganti rugi.
atau barang-barang sejenis 4. Melakukan sesuatu yang
tidak dapat diberlakukan merugikan orang lain dalam
ganti rugi terhadap muslim keadaan darurat. Misalnya
baik pribadi mapun kolektif. melakukan perusakan terhadap
Karena khamar dan babi adalah harta benda orang lain,
harta yang pemanfaatannya dalam keadaan terancam baik
dilarang oleh syariah (mal gairu jiwa maupun hartanya oleh
mutaqawwim). Memusnahkan orang lain atau hewan, tidak
harta jenis ini termasuk suatu dibebankan ganti rugi. Tentu
kewajiban syariah. Pendapat ini saja terikat dengan syarat-
dikemukakan oleh mayoritas syarat tertentu. Misalnya
ulama. Hanya saja ulama mencegah terjadinya suatu
Syafi’iyah dan Hanabilah kerugian dengan melakukan
menambahkan khamar dan babi sesuatu yang merugikan pihak
yang dimiliki kaum zimmi juga lain harus bersifat tiba-tiba dan
harus dimusnahkan. seketika. Tanpa direncanakan
2. Pemusnahan terhadap harta sebelumnya.
benda yang dilakukan oleh 5. Keadaan darurat (halat al-
seseorang semata-mata karena darurah). Apabila seseorang
melaksanakan tugas (perintah dalam keadaan lapar atau haus
dalam konteks ketaatan) seperti yang dapat mengakibatkan
para pembantu hakim, tidak kematiannya. Untuk mencegah
dibebani ganti rugi. Berbeda, kematian tersebut diperbolehkan
misalnya perintah itu dalam makan atau minum milik
konteks maksiat, maka ganti orang lain, dengan syarat tidak
rugi menjadi suatu kewajiban. melebihi kebutuhan. Dalam
3. Apabila sesuatu yang diperintah keadaan seperti ini kewajiban
tergolong boleh dilakukan (ja’iz ganti rugi menjadi gugur, tetapi
al-fi’l) serta dikerjakan atas dasar ia diwajibkan untuk membayar
ketaatan terhadap perintah— makanan dan minuman itu
ketaatan seorang pegawai sebagai pengamalan dari kaidah:
terhadap atasan, misalnya—
maka dalam hal ini perbuatan ،‫الضرورات تييح احملظورات‬
orang yang diperintah sama ،‫الضرورة تقدر بقدرها‬
dengan perbuatan orang yang

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 149


J. Perubahan Status Yadu
.‫االضطرار ال يبطل حق الغري‬ Amanah Menjadi Yadu
Pendapat tersebut disepakati Dhamanah
oleh mazhab empat dan juga pendapat Tidak terdapat perbedaan antara
mazhab Zaidiyah. para fuqaha’ bahwa yad al-wadi’
1. Ada kerelaan dari pihak yang (orang yang menerima titipan), al-
dirugikan. Jika seseorang musta’jir (penyewa), al-mudarib (pelaku
memerintahkan orang lain untuk usaha), al-syarik (mitra usaha), al-rasul
membuang bajunya ke laut, atau (utusan), al-ajir al-khas, wakil sukarela,
merusak rumahnya, ternyata wali, wasi, al-multaqith atau orang
perintah itu dilakukan, maka yang menemukan dan memungut
orang tersebut tidak dibebani barang yang bertujuan untuk
ganti rugi. Sebab, perintah untuk memperkenalkan barang adalah yadu
melakukan hal tersebut, masih amanah. Mereka tidak dibebani ganti
dalam batas wewenangnya. rugi jika terjadi kerusakan barang
Lagipula, yang melakukan pada saat berada dalam penguasaan
perintah tersebut tidak termasuk mereka, kecuali kalau melakukan
pelaku pelanggaran (muta’addi). pelanggaran dan kecerobohan (ta’addi
2. Apabila pembebanan ganti rugi dan tafrith). Karena tangan-tangan
itu tidak berguna (‘adamu al- ini secara keseluruhan tergolong
faidah fi al-tadhmin). Jika kaum penolong (al-irfaq wa al-ma’unah).24
muslim memusnahkan harta Jika tangan-tangan mereka dibebani
benda kaum pemberontak ganti rugi, maka kepentingan publik
(al-bugat), atau sebaliknya al- akan terabaikan.
bugat memusnahkan harta Aakan tetapi fuqaha’ berbeda
benda kaum muslim, masing- pendapat pada sebagian al-yad yang
masing tidak dapat dibebani lain seperti yad al-musta’ir (peminjam
ganti rugi. Sebab, pembebanan barang), yad al-murtahin (penerima
ganti rugi kepada mereka tidak gadai), yad al-wakil dengan upah,
berguna. Umat Islam tidak boleh yad ajir al-musytarak, dan yad sunna’
menanggung ganti rugi terhadap (pembuat barang pada akad istisna’).
harta benda orang-orang bugat. Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa
Sebaliknya orang muslim pun tangan-tangan mereka termasuk
tidak dapat memberlakukan tangan amanah sehingga kalau terjadi
ganti rugi terhadap kaum bugat kerusakan barang tidak dibebani ganti
mengingat tidak ada kewenangan rugi. Sedangkan fuqaha’ yang lain
pemerintah muslim terhadap berpendapat bahwa tangan-tangan
mereka.23
yah ‘ala al-Syarh al-Kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-
Jami’ al-Fushulain, hal. 2/78, Ibn Abidin,
23
‘ilmiyah, Cet.I, 1417 H/1996 M, hal.4/240.
Raddu al-Mukhtar ‘ ala al-Durri al-Mukhtar, Beirut: 24
Al-Mawardi, al-Hawi, hal. 8/192, 394,
Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, Cet. I, 1415H/1994M, hal. 9/104, 10/385.
5/140, Muhammad Ibn Ahmad al-Dasuqi, Hasyi-

150 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


mereka adalah yadu dhaman, artinya 28
‫ ىل اليد ما أخذت حتى تؤديه‬dan ‫أد األمانة إىل‬
jika terjadi kerusakan pada barang 29
‫ من ائتمنك وال ختن من خانك‬dan ‫ما روي عن‬
pada saat dalam mpenguasaan mereka ‫النيب صلى اهلل عليه وسلم أنه استعار من صفوان بن‬
dibebani ganti rugi.25 ‫ أغصبا يا حممد ؟ فقال‬: ‫ فقال‬، ‫أموية أدرعا يوم حنني‬
‫ “بل عارية مضمونة‬:”30
Perbedaan pendapat tersebut
muncul karena beberapa sebab. Terlepas dari silang pendapat
Pertama: Sebagian al-aidi (jamak dari tersebut status yadu amanah dapat
al-yad) tersebut dari satu sisi memiliki berubah menjadi yadu dhamanah
kemiripan secara dominan dengan karena antara lain pertimbagan ‘urf
al-aidi al-aminah, sedang di sisi lain atau tradisi kolektif yang berlaku
kemiripannya juga dominan dengan di tengah masyarakat. Pendapat ini
al-aidi al-daminah. Fuqaha yang umum di kalangan fuqaha’ Hanafiyah
mentarjih kemiripannya dengan al-aidi dan Malikiyah. Mereka kemudian
al-aminah menjadikannya bagian dari mengemukakan kaidah fiqh yang
yad amanah sendiri, sebaliknya fuqaha’ berkaitan dengan al-‘urf yaitu:
yang mentarjih kemiripannya dengan
al-aidi al-daminah menjadikannya ‫العادة حمكمة‬
bagian dari al-yad al-daminah.26
Kedua sebagian fuqaha’ ‫العرف حجة يلزم العمل به ما‬
melakukan istihsan untuk menetapkan ‫مل خيالف نصا شرعيا‬
ganti rugi terhadap al-aidi al-aminah
Contoh konkret mengenai
untuk mengantisipasi kerugian akibat
masalah tersebut dapat ditemukan
kerusakan barang karena suatu
dalam fiqh mazhab Hanbali yang
kecerobohan dan kelalaian mereka.
mengatakan bahwa para hurras (tukang
Ketiga terdapat perbedaan pendapat
jaga, satpam untuk masa sekarang)
tentang subut-nya sejumlah nas yang
barang tidak dapat dibebankan ganti
berkaitan dengan al-aidi. Misalnya
rugi. Sebab mereka tergolong yadu
hadis: ‫ ليس على املستعري غري املغل ضمان‬27 dan
amanah. Namun demikian, seperti
25
Lihat referensi sejumlah fiqh klasik dalam dikemukakan oleh penulis Kasyfu al-
Nazih Hammad, Qodoya Fiqhiyah Mu’asirah fi al-mal
wa al-Iqtisad, Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. I, 1421
H/ 2001 M, hal. 370
26
Lihat al-Muqaddimat al-mumahhidat, 28
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibn
hal. 2/246, 368, al-Mawardi, al-Hawi, ha. 8/191, majah dan lain-lain. Hadis ini juga da’if. Lihat Ibn
9/254, al-Qurafi, al-Furuq, hal. 2/207, Ibn Rajab, al- Hajar, al-Talkhis, hal. 3/353 dan Syaukani, Nail al-
Qawa’id, hal. 60, Kasyfu al-Qina’, hal. 92, al-Zakhirah, Authar, hal 5/298.
hal. 8/112. 29
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, al-
27
Diriwayatkan oleh Daral-quthni dan al- Daromi, dan lain-lain, kendati diakui sebagai hadis
Baihaqi dari hadis ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya hasan oleh Tirmizi, namun Syafi’i mengatakan bah-
dan kakeknya. Daral-quthni menda’ifkan hadis ini. wa hadis ini tidak sabit.
Ibn Hajar berkata: dalam isnadnya ada dua orang 30
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi,
yang da’if. Lihat Ibn Hajar al-Asqalani, al-Talkhis Nasa’i, Ibn Majah dan lain-lain. Sebagian ulama
al-Habir fi Takhrij Ahadis al-Rafi’I al-Kabir, Mesir: mensahihkan hadis ini. Tetapi menurut Syaukani
Syarikat al-Thiba’ah al-Fanniyah, 1384 H, hal. 3/97, jalan hadis ini dianggap cacat oleh Ibn Hazm dan
dan Syaukani, Nail al-Authar, hal. 5/296. Ibn Qattan. Lihat Ibn Hajar al-Talkhis, hal. 3/52.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 151


Qina’,31 para hurras tersebut sewaktu- dengan merusak atau memanfaatkan
waktu dapat dibebani ganti rugi tanpa seizin pemiliknya. Atau juga
berdasarkan pertimbangan al-‘urf: ta’addi yang dilakukan oleh mudharib
Beliau mengatakan: (yang melakukan usaha dalam akad
mudarabah) ketika mengerjakan
‫والعرف اآلن ضمان احلارسني‬ sesuatu di luar kontrak dengan sahib
al-mal (pemilik modal). Seperti juga
‫ ألنهم يستأجرون على ذلك‬، al-ta’addi yang dilakukan oleh al-
Makna yang sama juga ajir (tenaga sewaan/orang upahan)
dikemukakan oleh Ibn Nujaim, dengan tidak mengindahkan perintah
seorang faqih penganut mazhab al-musta’jir (orang yang menyewa
Hanafi, ketika menjawab pertanyaan tenaga), atau juga tindakan wakil
dan mengomentari kaidah: ‫املعروف‬ (wakil) yang melampaui wewenang
‫كاملشروط‬. Beliau mengatakan: yang didelegasikan oleh al-muwakkil
(pihak yang diwakili). Mereka ini
‫وقد جرى العرف يف املطابخ‬ terkena kewajiban dhaman karena
‫فأجبت‬
ُ ‫بضمانها على املستأجر‬ sebagai pelaku langsung (mubasyir)
yang mengakibatkan kerusakan, atau
‫ فصار‬، ‫بأن املعروف كاملشروط‬ penyebab rusaknya barang secara
‫ والعارية‬. ‫كأنه صرح بضمانها‬ zalim dan adanya unsur permusuhan.
Jika terjadi perselisihan
‫إذا اشرتط فيها الضمان على‬ antara al-amin dengan sahib al-mal
‫املستعري تصري مضمونة عندنا‬ tentang prilaku ta’addi ini, maka
penyelesaiannya diserahkan kepada
. ‫يف رواية‬ ahli atau orang yang memiliki
Jadi, menurut Ibn Nujaim, kompetensi untuk itu. Solusi seperti
para pekerja dan peminjam barang ini sesuai dengan petunjuk Majallatu
dikenakan ganti rugi jika terjadi al-Ahkam al-Syar’iyah ‘ala Mazhabi
kerusakan akibat kecerobohan atau Ahmad32.
kelalaian. Al-tafrith menurut bahasa
Selain faktor ‘urf, unsur al-taqshir dan al-tadhyi’ (kelalain,
ta’addi (perlakuan yang melampaui kealpaan, kesembronoan). Sedangkan
wewenang baik secara syara’ maupun al-Ifrath bermakna al-israf wa
‘urf) juga dapat menyebabkan ganti mujawazatu al-had (melampaui batas,
rugi bagi yad amanah. Hal ini menjadi pemborosan). Menurut al-Jurjani33 al-
kesepakatan para fuqaha’ seperti ifrath digunakan pada kesewenangan yang
ta’addi yang dilakukan oleh al-wadi’ berlebihan melampaui porsi yang normal
(yang diberi kepercayaan memegang (tajawazu al-had min janib al-ziyadah wa al-
titipan) terhadap al-wadi’ah (titipan) 32
Al-Qori, Majallatu Al-Ahkam Al-‘Adliyah ‘Ala
Mazhabi Ahmad, Jedah: Tihamah, 1401 H.
Al-Buhuti, Kasy-Syaf`Al-Qina’, Makkah:
31 33
Syarif Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Al-Dar Al-T -
Mathba’ah Al-Hukumah . 1394 H, hal. 2/69. nisiyah Li Al-Nasyr, 1971, Hal. 43.

152 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


kamal). Sedangkan al-tafrith digunakan pada syarik atau lainnya. Tetang masalah
sikap minimalis yang tidak proporsional ini terdapat silang pendapat di antara
(tajawazu al-had min jihat al-nuqshon wa al- para fuqaha’. Pendapat pertama,
taqshir). syarat yang ditetapkan tersebut adalah
Para fuqaha’ sepakat bahwa batal karena tidak sejalan dengan
yadu amanah dapat berubah status karakteristik akad yang berstatus
menjadi yadu dhamanah karena amanah. Pendapat ini dikemukakan
perilaku tafrith. Hal ini bisa terjadi oleh fuqaha’ Hanafiyah, Syafi’iyah,
pada mudharib, wadi’, dan musta’jir. Malikiyah, dan fuqaha’ Hanabilah
Standar tafrith yang mengharuskan dalam salah satu pendapat mereka
dhaman itu ditakar dengan al-‘urf. yang populer. Pendapat tersebut juga
Sedangkan tatawwu’ul amin bi iltizam dikemukakan oleh al-Sauri, Auza’i,
ad-dhaman ba’da al-‘aqdi (kesanggupan Ishaq, Nakha’i, dan Ibn al-Munzir. Atas
dan kerelaan dari al-amin secara suka dasar pendapat ini muncul kaidah fiqh
rela untuk melakukan ganti rugi dalam mazhab Hanafi, yaitu
setelah akad), menurut mazhab Maliki
termasuk dalam kategori tabarru’. ‫اشرتاط الضمان على األمني‬
Selain itu, pertimbangan
maslahah juga dapat memposisikan
‫باطل‬
yadu amanah menjadi yadu dhamanah. Pendapat kedua, menetapkan
Tentunya kemaslahatan pihak yang syarat karena faktor yang
dikorbankan. Terakhir adalah al- mengkhawatirkan pemilik modal
tuhmah. Maksudnya, terdapat dugaan misalnya, dapat dibenarkan dan
kuat bahwa terjadi kebohongan dari diberlakukan jika sesuatu yang
al-amin yang menyatakan bahwa dikhawatirkan itu dalam kenyataannya
kerusakan barang bukan karena merusak barang sehingga
kelalaian atau kecerobohannya, mengakibatkan kerugian pada pemilik
melainkan faktor lain di luar modal. Pendapat ini dikemukakan
kemampuannya. Klaim seperti ini oleh Mutharrif dari mazhab Maliki.
sangat mungkin dilakukan oleh Pendapat ketiga, syarat tersebut
mereka yang berstatus yadu amanah sahih dan mengikat. Pendapat ini
yang tidak menyadari tanggung dikemukakan oleh Qatadah, Usman al-
jawabnya. Atas dasar ini ganti rugi Buttiy, Ubaidillah ibn Hasan al-‘Anbari,
tetap diberlakukan kepada mereka. Dawud al-Zahiri dan Ahmad dalam
Demikian pula yadu amanah salah satu riwayatnya. Walaupun
berubah menjadi yadu dhamanah pendapat ini kurang populer di
karena syarat-syarat yang ditetapkan kalangan fuqaha’ Malikiyah, dan
secara sepihak (isytirath dhaman ‘ala al- pendapat yang tergolong lemah dalam
amin), namun mendapat persetujuan mazhab Hanafi, namun pendapat
dari pihak yadu amanah baik itu ini mendapat dukungan dari Imam
mudharib, musta’jir, wadi’, wakil, Syaukani, beliau mengatakan:

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 153


untuk menetapkan nominal ganti
‫الرتاضي هو املناط يف حتليل‬ rugi asal sesuai dengan prinsip-
‫ واملسلمون على‬،‫أموال العباد‬ prinsip penetapan ganti rugi dan tidak
bertentangan dengan rasa keadilan.
‫شروطهم‬
K. Penutup
Daftar Pustaka
Ide dhaman dalam hukum Islam
bersamaan dengan datangnya sumber Al-Quran al-Karim
hukum Islam sendiri. Sejumlah Ahmad Siraj, Muhammad, Dhaman
ayat dan hadis secara eksplisit telah al-‘Udwan fi al-Fiqh al-Islami
mengisyaratkan dhaman ini. Lalu (Dirâsah Fiqhiyah Muqâranah bi
kemudian dikembangkan oleh para ahkâm al-masuliyah al-Taqshiriyah
fuqaha’ dalam kontek perdata dan fi al-qanun), al-Muassasah al-
pidana. Dalam konteks perdata para Jami’iyyah li al-Dirâsat wa al-
fuqaha, khususnya al-Qurofi dan al-‘Iz Nasyr wa al-Tauzi’.
Ibn Abdi Salam menggunakan istilah Atasi, Syarah Majallatu al-Ahkam al-
al-zawajir. Sedangkan dalam kontek ‘Adliyah, dicetak di Hims Suriah,
pidana mereka menggunakan istilah 1352 H.
al-zawajir. Adapun istilah al-masuliyah
baru banyak ditemukan dalam fiqh- Al-Bagdadi, Majma’ al-Dhamanat,
fiqh karya ahli hukum Islam modern. Mesir: al-Khairiyah, 1388 H.
Secara garis besar dhaman Al-Buhuti, Kasy-syaf`al-qina’, Makkah:
muncul karena darar badaniyah, darar Mathba’ah al-Hukumah 1394 H.
maliyah dan darar sangat mungkin Al-Dabbo, Ibrahim Fadil, Dhaman
terjadi di luar fisik dan harta, seperti al-Manafi’ dirasah muqaranah fi
pencemaran nama baik. Tetapi al-fiqh al-islami wa al-qanun al-
terdapat darar yang kualifikasinya tidak madani, Amman, Beirut: Dar
mudah dinominalkan dengan ganti al-Bayariq, Dar ‘Ammar, Cet. I,
rugi dalam bentuk uang misalnya. 1417 H/1997.
Karena itu berapa jumlah ganti
Al-Dasuqi, Muhammad Ibn Ahmad,
rugi yang harus dibayarkan selain
Hasyiyah ‘ala al-Syarh al-Kabir,
yang tidak ditetapkan berdasarkan
Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah,
nas. Persoalan ini kembali kepada
Cet.I, 1417 H/1996 M.
al-‘urf yang berlaku di masyarakat.
Karena itu besarnya ganti rugi dapat Al-Hamawy, Ahmad Ibn Muhammad,
ditetapkan berdasarkan kesepakatan Gamzu ‘Uyûni al-Basha’ir wa
para pihak. Jika cara ini sulit dilakukan Syarah al-Asybâh wa al-Nâza’ir,
maka besarnya ganti rugi ditetapkan Bairut: Dar al-Kutub al-‘ilmiah,
berdasarkan ketetapan dari pembuat Cet. 1405 H/1985 M.
undang-undang. Namun demikian Ibn Abidin, Raddu al-Mukhtar ‘ ala al-
seorang hakim punya wewenang Durri al-Mukhtar, Beirut: Dar

154 | Muamalat Jurnal Hukum Ekonomi Syariah


al-Kutub al-‘ilmiyah, Cet. I, Al-Qurafi, Ahmad Ibn Idris, al-Furuq fi
1415H/1994M Anwar al-Buruq fi Anwai al-Furuq,
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Talkhis al- Mansyurat Muhammad Ali
Habir fi Takhrij Ahadis al-Rafi’I al- Baidhun, Beirut: Dar al-Kutub al-
Kabir, Mesir: Syarikat al-Thiba’ah ‘ilmiyah, Cet. I, 1418 H/ 1998 M.
al-Fanniyah, 1384 H. Al-Sarakhsi, al-Mabsut, Mesir: al-
Ibn Rajab, Syihabuddin, al-Qawa’id al- Sa’adah, 1324 H.
Fiqhiyah, Kairo, 1392 H/ 1997 M Suyuthi, Jalaluddin, al-Asybah wa al-Naza’ir,
Ibn Rusyd al-Hafid, Bidayat al-Mujtahid, Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, Saqofiyah, Cet. 1, 1415 H/1994 M.
Cet. I, 1418 H/1997 M. Al-Syarbini, Muhammad Ibn Ahmad,
Al-Jurjani, Syarif, al-Ta’rifat, al-Dar al- Mugni al-Muhtaj, Beirut: Dar
Tunisiyah li al-Nasyr, 1971. Kutub al-‘ilmiyah, Cet. I,
1415H/1994M.
Majduddin al-Fairuzabadi, al-Qamus
al-Muhit, Kairo: Dar al-Hadis, tt. Al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh
Muntaqa al-Akhbar, Mesir: Mustafa
Al-Mawardi, Ali Ibn Muhammad, al- al-Babi al-Halabi, 1380 H.
Hawi al-Kabir Syarh Mukhtasar al-
Muzani, Beirut: Dar al-Kutub al- Al-Zaila’i, Usman Ibn Ali, Tabyin al-
‘ilmiyah, Cet. I, 1414 H/1994 M haqoiq Syarh Kanzu al-Daqaiq,
Kairo: Dar al-Kitab al-Islami,
Qol’aji, Muhammad Ruwas dan Qunaibi, Cet. II, 1990.
Hamid Sodiq, Mu’jam Lugat al-
Fuqaha’ “Arabi-Inklizi, Beirut: Dar`al- Al-Zarkasyi, Badruddin, al-Mantsur fi
Nafa’is, Cet.II, 1408 H/1988 M. al-Qawa’id, Dar al-Kuwait, Cet.
II, 1405 H.
Al-Fatlawi, Shahib ‘Ubaid, Dhaman al-
‘uyub watakhallafa al-muwasafat fi Al-Zarqa’, Mustofa Ahmad, al-Madkhal
‘Uqud al-Bai’, Amman: Maktabah al-Fiqhi al-‘Am (al-Fiqh al-Islami fi
Dar al-Saqofah li al-Nasyr wa al- Saubihi al-Jadid),Beirut: Dar al-
tauzi’, Cet. I, 1417 H/1997 M. Fikr, hal. 1032.

Al-Qori, Majallatu al-Ahkam al-‘Adliyah Al-Zuhaily, Wahbah, al-Mas’uliyah ‘an


‘ala Mazhabi Ahmad, Jedah: Fi’li al-Gair, Damaskus: Dar al-
Tihamah, 1401 H. Muktabi, Cet. 1, 1416 H/1995 M.

Muamalat Volume VIII, Nomor 2, Desember 2016 | 155

Anda mungkin juga menyukai